TINJAUAN PUSTAKA
ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata
sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya yang matrealistis atau dapat pula
diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan
non alami dengan gejala pemusatan penduduk daerah belakangnya. Beberapa
aspek kehidupan di kota antara lain aspek sosial sebagai pusat pendidikan, pusat
kegiatan ekonomi , dan pusat pemerintahan. Ditinjau dari hirarki tempat, kota itu
memiliki tingkat atau rangking yang tertinggi, walaupun demikian menurut
sejarah perkembangannya kota itu berasal dari tempat-tempat pemukiman
sederhana.
Kota juga memiliki banyak ikon yang memungkinkan terjadinya
perubahan dan perkembangan, sehingga kita dapat menemukan pola yang pasti
untuk menentukan perencanaan pembangunan yang lebih terarah. Sehingga sudah
semestinya jika perbedaan-perbedaan yang penting antara satu kota dengan kota
lainnya akan menarik perhatian untuk dikaji lebih jauh. Misalnya ada perbedaan
mengenai penulisan tema kota diharapkan akan memperkaya pengetahuan dan
wawasan kita tentang keadaan kota yang dikaji itu secara lebih kompleks.
Di dalam pembangunan ekonomi, perencanaan wilayah sangat perlu untuk
menetapkan suatu tempat pemukiman atau tempat berbagai kegiatan itu sebagai
kota atau bukan. Hal ini karena kota memiliki fungsi yang berbeda sehingga
8
kebutuhan fasilitasnya pun berbeda. Pada dasarnya untuk melihat apakah daerah
itu sebagai kota atau tidak, adalah dari seberapa banyak jenis fasilitas perkotaan
yang tersedia dan seberapa jauh kota itu menjalankan fungsi perkotaan. Menurut
Robinson Tarigan (2005:158-159) fasilitas perkotaan atau fungsi perkotaan antara
lain adalah sebagai berikut :
1. Pusat perdagangan, yang digunakan untuk melayani masyarakat kota itu
sendiri, melayani masyarakat kota dan daerah pinggiran, melayani
beberapa kota kecil (pusat kabupaten), melayani pusat provinsi dan pusat
beberapa provinsi sekaligus
2. Pusat pelayanan jasa baik jasa perorangan maupun jasa perusahaan
3. Tersedianya prasarana perkotaan, seperti sistem jalan kota yang baik,
jaringan listrik, jaringan telepon, jaringan air minum, pelayanan sampah,
sistem drainase, taman kota, atau pasar
4. Pusat penyediaan fasilitas sosial atau seperti prasarana pendidikan
(universitas, akademi, SLTP, SD), prasarana kesehatan, tempat ibadah,
prasarana olahraga, prasarana sosial seperti gedung pertemuan, dan lainlain
5. Pusat pemerintahan. Pusat pemerintahan turut mempercepat tumbuhnya
suatu kota karena banyak masyarakat yang perlu datang ke tempat itu
untuk urusan pemerintahan
6. Pusat komunikasi dan transportasi
7. Lokasi pemukiman yang tertata
Menurut Wibowo, dkk, (1999), pengembangan wilayah merupakan suatu
usaha mengembangkan dan meningkatkan hubungan saling ketergantungan dan
9
pengembangan
wilayah
menganut
berbagai
azas/dasar
teori
lokasi.
Oleh
karena
itu,
menurut
Budiharsono
(2005),
Aspek
Sosial
Aspek
Kelembagaan
Pengembangan
Wilayah
Aspek
Ekonomi
Aspek
Lokasi
Aspek
Lingkungan
kegiatan ekonomi yang terjadi di sekitar wilayah. Aspek sosial meliputi budaya,
polotik dan hankam yang merupakan pembinaan kualitas sumber daya manusia,
budaya masyarakat serta pertahanan dan keamanan. Aspek lokasi menunjukkan
keterkaitan antar wilayah yang satu dengan yang lainnya yang berhubungan
dengan sarana produksi, pengelolaan maupun pemasaran. Aspek lingkungan
meliputi kajian mengenai bagaimana proses produksi mengambil input apakah
merusak atau tidak. Aspek kelembagaan meliputi kelembagaan masyarakat yang
ada dalam pengelolaan suatu wilayah apakah kondusif atau tidak.
Aspek pengembangan wilayah yang dilakukan dalam penelitian ini dilihat
dari aspek ekonomi dan aspek lokasinya. Di dalam aspek ekonomi ini terdapat
unsur pendapatan masyarakat sekitar dan didalam aspek lokasi terdapat unsur
keterkaitan antara keberadaan lokasi kegiatan jasa pendidikan dengan wilayah
sekitarnya.
keseluruhan. Secara lebih rinci deskripsi tentang ruang kota dapat dilihat dari sisi
fisik morfologis, fungsi dan kepemilikan. Dari sisi fisik morfologis kota
dipandang sebagai susunan dari street dan square. Secara fungsi, aktifitas yang
berlangsung di ruang perkotaan adalag aktifitas sosial, aktifitas pergerakan dan
aktifitas ekonomi. Dari segi kepemilikan, suatu ruang perkotaan dapat secara
penuh dimiliki suatu publik, yangmana dalam hal ini adalah pemerintah daerah
setempat.
Dalam pandangan Zahnd, kota dapat dianalisis sebagai suatu produk fisik
yang terdiri atas street dan square dimana secara teoritis dapat dipahami sebagai
berikut:
a. Teori Figure/Ground
Teori ini dipahami melalui pola perkotaan dengan hubungan antara
bentuk yang dibangun dan ruang terbuka.
b. Teori Linkage
Teori ini dipahami dari segi dinamika rupa perkotaan yang dianggap
sebagai generator kota.
c. Teori Place
Teori ini dipahami dari segi seberapa besar kepentingan tempat-tempat
perkotaan yang terbuka terhadap sejarah, budaya dan sosialisasinya.
Dalam
pandangannya,
Zahnd
(1999)
menyimpulkan
bahwa
pola
perkembangan dasar fisik kota dikenal dengan tiga istilah teknis yaitu :
1. Perkembangan Horizontal dimana cara perkembangannya mengarah
keluar, artinya daerah bertambah sedangkan ketinggian dan kuantitas
lahan terbangun (coverage) tetap sama. Perkembangan dengan cara ini
14
sering terjadi di pinggir kota dimana lahan masih lebih murah dan dekat
jalan raya yang mengarah ke kota.
2. Perkembangan Vertikal dimana cara perkembangannya mengarah
keatas, artinya daerah pembangunan dan kuantitas lahan terbangun tetap
sama sedangkan ketinggian bangunan bertambah. Perkembangan dengan
cara ini sering terjadi di pusat kota dan di pusat-pusat perdagangan yang
memiliki potensi ekonomi.
3. Perkembangan Interstisial dimana cara perkembangannya dilangsungkan
kedalam, artinya daerah dan ketinggian bangunan rata-rata tetap sama
sedangkan
kuantitas
lahan
terbangun
(coverage)
bertambah.
Perkembangan dengan cara ini sering terjadi di pusat kota dan antara
pusat dan pinggir kota yang kawasannya sudah dibatasi dan hanya dapat
dipadatkan.
Perkembangan
Interstisial
Perkembangan
Horizontal
Perkembangan
Vertikal
perkotaan yang dapat menciptakan 3 kategori kesan, yaitu kesan sempit, kesan
netral atau harmonis dan kesan luas atau sunyi.
rangka
mewujudkan
konsep
pengembangan
wilayah
yang
17
Dengan demikian, selain merupakan proses untuk mewujudkan tujuantujuan pembangunan, penataan ruang sekaligus juga merupakan produk yang
memiliki landasan hukum (legal instrument) untuk mewujudkan tujuan
pengembangan wilayah. Chapin (dalam Soekonjono, 1998) mengemukakan ada 2
hal yang mempengaruhi tuntutan kebutuhan ruang yang selanjutnva menyebabkan
perubahan penggunaan lahan yaitu adanya perkembangan penduduk dan
perekonomian serta pengaruh sistem aktivitas, sistem pengembangan, dan sistem
lingkungan.
Rencana pola ruang merupakan elemen penting dalam rencana tata ruang
wilayah kota, dimana didalamnya ditunjukkan alokasi ruang bagi berbagai
kegiatan perkotaan.
10
3
4
Central Business
District (CBD)
II
Zone in transition
III
Zone of workmens
homes
IV
Residential zone
Commuters zone
3
3
Sector Theory
of Urban Growth
Gambar
3.1
Gambar. 6.4.
TEORI-TEORI POLA PERKEMBANGAN /
PENGGUNAAN TANAH PERKOTAAN
III
Loop
6
10
9
bisa mencapai pusat kota dengan mudah. Selanjutnya perkembangan ini akan
menimbulkan dampak dalam penggunaan lahannya. Lokasi di sepanjang tepi jalan
merupakan lokasi yang strategis untuk melakukan aktivitas. Lokasi tersebut
memiliki aksesibilitas yang tinggi karena mudah dijangkau. Dengan semakin
banyaknya aktivitas di tempat tersebut, maka lahan yang jumlahnya terbatas akan
diperebutkan agar manusia tetap bisa memperoleh keuntungan yang maksimal.
Persaingan tersebut secara langsung akan menjadikan nilai lahan perkotaan
menjadi meningkat. Nilai lahan adalah suatu penilaian atas lahan yang didasarkan
pada
kemampuan
lahan
secara
ekonomis
dalam hubungannya
dengan
produktivitas dan strategi ekonominya (Drabkin dalam Yunus, 2000 : 89). Nilai
lahan merupakan nilai ruang secara horizontal (distance decay principle from the
center) berdasarkan Urban Growth Model (Brotosunaryo, 2005 : 6).
Teori mengenai nilai lahan sudah ada sejak abad 19. Tokoh yang pertama
kali mencetuskan teori mengenai nilai lahan adalah David Ricardo (1821) dalam
bukunya Principle of Political Economy and Taxation. Teori Ricardo merujuk
pada sewa lahan (land rent) yang dipengaruhi oleh tingkat kesuburan tanah dan
mengabaikan faktor lokasi dari pusat kota. Selanjutnya teori nilai lahan
dikembangkan oleh Von Thunen (1826). Von Thunen menyatakan bahwa pola
penggunaan lahan sangat ditentukan oleh biaya transportasi yang dikaitkan
dengan jarak dan sifat barang dagangan khususnya hasil pertanian. Von Thunen
mengkondisikan ada empat hal yang harus dipenuhi, yaitu : (1) isolated state; (2)
uniform plain; (3) transportation costs berbanding lurus dengan jarak; dan (4)
maximise profits (Yunus, 2002 : 90 - 91). Dari sinilah maka muncul istilah
Location Rent. Teori Von Thunen ini memiliki banyak kekurangan, yang antara
20
lain bahwa semua kota tidak memiliki kondisi fisik lingkungan yang sama
(uniform plain). Sehingga kota akan memiliki pola penggunaan lahan yang
berbeda-beda sesuai dengan karakteristik wilayahnya.
Menurut Kurdinanto, (Cholis 1995, dalam Luky 1997) nilai tanah terbentuk
oleh faktor - faktor yang mempunyai hubungan, pengaruh serta daya tarik yang
kuat terhadapnya yang diklasifikasikan menjadi dua faktor, yaitu :
1. Faktor - faktor terukur (tangible factors)
Faktor terukur adalah faktor pembentuk harga tanah yang bisa diolah
secara ilmiah menggunakan logika logika akademik. Faktor ini
kemunculannya terencana dan bentuk fisiknya ada di lapangan, misalnya
aksesbilitas (jarak dan transportasi) dan jaringan infrastruktur (sarana dan
prasarana kota seperti jalan, listrik, perkantoran dan perumahan).
2. Faktor - faktor tak terukur (intangible factors)
Faktor tak terukur adalah faktor pembentuk harga tanah yang muncul tiba
tiba/dengan sendirinya dan tidak bisa dikendalikan di lapangan. Oleh
Wilcox (1983) dalam Luky (1997), faktor tak terukur ini dibagi menjadi
tiga, yaitu :
a. Faktor
adat
kebiasaan
(custom)
dan
pengaruh
kelembagaan
(institutional factors)
b. Faktor estetika, kenikmatan dan kesenangan (esthetic amenity factors)
seperti tipe tetangga dan kesenangan
c. Faktor spekulasi (speculation motives), seperti antisipasi perubahan
penggunaan lahan, pertimbangan pada perubahan moneter
21
22
ekonomi regional. Adanya uang yang mengalir keluar masuk wilayah dengan
bebas turut mempengaruhi besarnya kebocoran ini.
Ada tiga efek multiplier yang dihasilkan dalam suatu sistem perekonomian
yaitu pengaruh langsung (direct multiplier), pengaruh tidak langsung (indirect
multiplier), dan total effect. Yang dimaksud dengan pengaruh langsung yaitu
pengaruh yang ditimbulkan terhadap suatu sektor secara langsung yaitu pengaruh
kenaikan permintaan terhadap sektor itu sendiri. Pengaruh tidak langsung yaitu
pengaruh yang ditimbulkan terhadap sektor lain akibat kenaikan permintaan di
suatu sektor. Jumlah dari pengaruh ini dinamakan pengaruh total (Herawati,
1993).
Kegiatan basis merupakan kegiatan yang pertumbuhannya akan mendorong
dan menetukan pola pembangunan daerah secara keseluruhan, sedangkan kegiatan
non-basis merupakan kegiatan yang perkembangannya diakibatkan oleh
pembangunan daerah secara keseluruhan. Menurutnya teori ekonomi basis dapat
berfungsi untuk melihat peranan suatu sektor di dalam efek tenaga kerja maupun
efek pendapatan, yaitu dengan cara menentukan apakah sektor itu merupakan
sektor basis atau bukan (Sirojuzilam, 2008). Disamping itu, ekonomi basis dapat
digunakan untuk :
1. Mengindentifikasi kegiatan daerah yang bersifat ekspor
2. Meramal pertumbuhan yang mungkin terjadi dalam aktivitas basis
3. Mengevaluasi pengaruh kegiatan ekspor tambahan terhadap kegiatan
bukan basis
26
27
b. memiliki hasi penjualan tahunan paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus
juta rupiah)
Sedangkan Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri
sendiri yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan
merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki,
dikuasai atau menjadi bagian langsung maupun tidak langsung dari Usaha
Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
sampai dengan paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha ; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (dua milyar lima
ratus juta rupiah)
Usaha mikro diartikan sebagai model usaha yang paling kecil, biasanya
dilakukan di rumah (Wikipedia, 2008). Jika dikaitkan dengan jumlah pekerja,
usaha mikro menurut defenisi Amerika dan Eropa sama yaitu jumlah pekerja
dibawah 10 pekerja. Usaha mikro termasuk dalam kategori usaha kecil, sedangkan
usaha kecil didefenisikan sebagai usaha dengan pekerja kecil. Defenisi kecil
bervariasi menurut negara dan industri, namun biasanya dibawah 100 pekerja
untuk Amerika dan dibawah 50 pekerja untuk Eropa. Contoh usaha kecil adalah
toko kecil, salon, pedagang, ahli hukum, akuntan, restoran, penginapan,
fotografer, dan lain sebagainya.
28
usaha dan warung kecil disekitarnya dimana pendapatan rata-rata usaha yang ada
kurang lebih Rp.714.666 per hari atau sekitar Rp. 260.853.090 per tahun.
30
Analisis Deskriptif
Dampak Keberadaan
Kampus UHN
Terhadap Wilayah
Sekitarnya
31