Anda di halaman 1dari 4

STAGNASI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM


DI TANGERANG SELATAN

Oleh: Dr. Parlindungan Siregar, MA.*

Ketika menerima kunjungan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota


Tangerang Selatan yang dipimpin ketuanya Drs. Syamsuddin Dasan, MA. di kantornya,
Walikota Tangerang Selatan (Tangsel) Ir. H. Saleh menyebutkan bahwa lembaga-
lembaga pendidikan dasar dan menengah Islam yang dikelola umat Islam belum
mampu meraih prestasi bertaraf nasional dan internasional; bahkan cenderung
mengalami kemandegan (stagnasi). Padahal lembaga pendidikan Islam jumlahnya
sangat banyak termasuk di dalamnya lembaga pendidikan yang dikelola oleh
Muhammadiyah.
Pandangan di atas sudah seharusnya diresponi secara positif oleh pengelola
lembaga pendidikan di Tangsel baik swasta maupun negeri mengingat bahwa wilayah
ini sangat berpotensi menjadi barometer pendidikan di tingkat nasional. Faktor
Pendukungnya adalah sumber daya manusia (SDM) di universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidatatullah, Universitas Pamulang (UNPAM), Univrsitas Muhammadiyah
(UMJ) Cirende, Institut Ilmu Alqur’an (IIQ), Insitut Teknologi Indonesia (ITI) Serpong,
Sekolah Tinggi Administasi Negara (STAN) Bintaro, dan lain-lain. Akses menuju ibukota
Negara, Jakarta, yang mudah membuat masyarakat Tangsel mudah mendapatkan
sarana dan prasarana pembelajaran dan pengembangan pendidikan. Inipun sebuah
faktor yang hanya dimiliki oleh Tangsel, Bekasi, dan Depok.
Jika demikian pertanyaannya adalah apakah yang menghambat perkembangan
lembaga pendidikan dasar dan menengah Islam di Tangsel sehingga banyak orang tua
justru menghantar putra-putrinya menimba ilmu di tempat lain?

PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM


Salah satu aspek dari ajaran Islam adalah pendidikan Islam. Pendidikan Islam
menganut prinsip keseimbangan, yaitu keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi.
Paradigma di atas didasarkan pada Alqur’an surat al-Mujadalah(58): 11, Az-Zumar(39):
9, dan Al-Qashash(27): 77 serta hadis-hadis sahih.
Dari berbagai definisi pendidikan Islam selalu melekat kata duniawi dan ukhrawi.
Maka hampir di setiap komplek lembaga pendidikan Islam ditemukan sekolah/
madrasah perlambang kehidupan duniawi (fikir), dan masjid sebagai lambang ukhrawi
(dzikir). Dengan kata lain pendidikan Islam berorientasi rasional dengan meningkatkan
kekuatan intelektual dan orientasi emosional dengan memperkuat budi pekerti dan
keimanan. Dalam kacamata M. Natsir kedua hal inilah yang menghantar manusia
sampai pada kelengkapan dan kesempurnaan kemanusiaan dalam arti sesungguhnya.
Sebagai sebuah bangsa yang hidup ditengah-tengah pluralitas etnis, agama,
budaya, dan di era globalisasi, umat Islam Indonesia terikat juga pada the rule of the
game sebuah Negara. Jika Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan
sebagai falsafah dan dasar Negara Indonesia, maka umat Islam harus tunduk
kepadanya demikian pula pendidikan Islam yang mereka bangun harus sejalan dengan


Makalah ini telah dimuat di Tangsel Pos pada Agustus 2009
prinsip-prinsip tersebut. Oleh karena prinsip dasar Islam dan negara tidak bertentangan,
maka sangat mudah mengembangkan pendidikan Islam.
Eksistensi dan pemberdayaan pendidikan Islam yang ditopang Alqur’an dan
Sunnah Rasul serta dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta Undang-undang
No. 20 Tahun 2003 merupakan modal yang sangat besar dalam pengembangan
pendidikan Islam. Dengan demikian terjadinya stagnasi dalam pendidikan Islam
khususnya di Tangsel bukan disebabkan oleh paradigma pendidikan Islam, tetapi lebih
pada pemahaman terhadap paradigma itu. Pemahaman ini harus selalu diperbarui,
untuk mengejar ketertinggalan dari lembaga-lembaga pendidikan lainnya.

MENGEJAR KETERTINGGALAN
Menjadikan lembaga pendidikan Islam sebagai sekolah unggulan, sekolah
model, sekolah elit agar orang tua muslim mau mengirim putra-putrinya belajar di
dalamnya, bukan ke sekolah misionaris perlu dipikirkan dengan upaya bagaimana
memberdayakan pendidikan Islam. Masih bisa dihitung dengan jari lembaga pendidikan
Islam unggulan, elit atau model; di antaranya Al-Azhar Kebayoran Baru, Insan Cendikia
Serpong, dan SMU madania parung. Sangat mungkin menjadikan lembaga-lembaga
pendidikan Islam ini sebagai proto tipe lembaga pendidikan Islam di Tangsel. Namun
dapat pula melakukan langkah-langkah sebagai berikut di bawah ini.
Pertama, meningkatkan kualitas. Kualitas pendidikan Islam sangat ditentukan
berbagai faktor, di antaranya Raw input (bahan baku). Raw input dibentuk melalui
proses belajar mengajar (Learning Teaching Process). Proses inipun sangat
dipengaruhi lingkungan (environmental input), sosial dan alam serta instrumental
(instrumental input), kurikulum, program, sarana-prasarana, guru atau tenaga pengajar.
Dengan kata lain yang perlu mendapat perhatian adalah 1) tenaga pendidik, 2) sarana
dan fasilitas, 3) beban kurikulum, serta 4) struktural dan kultural.
Berbagai faktor di atas hendaknya dimuarakan ke berbagai output; yakni output
politik, output ekonomi, output sosial, output kultural, dan output moral. Artinya, dalam
era globalisasi ini peserta didik dipersiapkan agar mampu menghadapi perkembangan
dalam bidang-bidang birokrasi sipil-militer, menjadi tenaga kerja yang siap pakai,
memiliki mobilitas yang tinggi, mengembangkan budaya rasional dan innovatif, serta
berakhlakul karimah.
Kedua, menyeimbangkan aspek bimbingan dan pengajaran. Aspek pengajaran,
sekalipun mengandung konotasi otoritatif pihak guru, masih sangat relevan untuk
mengejar ketertinggalan pendidikan Islam sebagai sebuah proses pendidikan. Namun
ia harus dibarengi dengan aspek bimbingan. Aspek bimbingan menempatkan
penyelenggara pendidikan Islam, khususnya guru, sebagai fasilitator atau pembimbing
kearah penggalian ilmu pengetahuan dan potensi anak didik. Aspek ini memberikan
ruang yang seluas-luasnya kepada peserta didik mengembangkan kemampuan yang
dimilikinya.
Ketiga, sinkronisasi aspek sosio-kultural masyarakat Tangsel dan aktualisasi
pendidikan Islam. Sisa-sisa pemikiriran yang sentralistis belum terkikis habis dari
masyarakat Indonesia yang sudah memulai era desentralisasi. Sehingga banyak orang
tua, khususnya yang membentuk pemukiman-pemukiman baru di perbatasan selatan
Jakarta, mengasumsikan Jakarta sebagai sentra lembaga pendidikan terbaik. Asumsi
lainnya adalah semakin mahal biaya lembaga pendidikan maka semakin ia bermutu,
bukan asumsi sebaliknya; memasukkan anak ke dalamnya adalah sebuah prestise.
Pandangan feodalisitis semacam ini akan terkikis jika pengelola lembaga pendidikan
Islam mampu membangun citra positif akan eksistensi lembaga pendidikan Islam mulai
dari hulu sampai hilir dan dituntut pula mampu menangkap perkembangan aspek sosio-
kulutural ini. Pada gilirannya, jika semua harapan dan keinginan terhadap lembaga
pendidikan Islam teradaptasi dan terakomodir, maka era kemajuan pendidikan Islam di
Tangsel akan dapat direngkuh.
Keempat, meningkatkan profesionalisme pendidikan Islam. Membangun
profesionalisme, seperti dalam kacamata Dr. Gautama, terkait dengan peningkatan
wawasan, pengetahuan dan ketrampilan bagi pelaksana/pengambil kebijakan. Dengan
watak profesionalitas semacam ini, Kata Prof. Malik Fadjar, pengelola atau pengambil
kebijakan dalam lembaga pendidikan Islam akan dapat mendeskripsikan secara
mendasar dan mendalam tentang manusia yang ingin dihasilkan serta memahami
bahwa pendidikan Islam tidak dilaksanakan dalam ruang hampa.
Disamping itu, seperti disebutkan Houle (1987) yang dikutip oleh Prof. Suyanto,
profesionalisme juga menuntut adanya kompetisi yang sehat bukan berdasar KKN,
sistem seleksi berdasarkan kompetensi individual, kesadaran professional yang tinggi,
dan prinsip-prinsip etika.

PENUTUP
Mengatasi berjalan ditempatnya lembaga pendidikan Islam, khususnya yang ada
di Tangsel, perlu kerjasama antar pengelola/pelaksana lembaga pendidikan Islam mulai
dari tingkat dasar hinga perguruan tinggi, kerjasama dengan pemerintah dan
masyarakat sebagai user. Pada gilirannya, diharapkan masyarakat Tangsel tidak lagi
meragukan eksistensi lembaga pendidikan Islam dan mengirimkan putra-putri mereka
kesana.

*Penulis:
Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah
Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tangsel.
Dosen Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Jakarta

Referensi:
1. Prof. H.A. Malik Fadjar. Visi Pembaharuan Pendidikan Islam.
2. Prof. Azyumardi Azra. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru
3. Prof. Samsul Nizar. Sejarah Pendidikan Islam.
4. Prof. H. Haidar Putra Daulay. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan
Pendidikan Islam di Indonesia.
5. Prof. Muzayyin Arifin, M.Ed. Kapita Selekta Pendidikan Islam.

Anda mungkin juga menyukai