Anda di halaman 1dari 25

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Work Engagement
Saat ini, engagement merupakan salah satu topik yang hangat di antara
perusahan konsultan dan media-media bisnis terkenal (Saks, 2006). Work
engagement menjadi istilah yang meluas dan populer (Robinson, Perryman &
Hayday, 2004) dan beberapa menyebutkan engagement dengan istilah anggur tua
dalam botol yang baru (Saks, 2004). Hasil survey dari 665 kepala eksekutif
karyawan di Amerika, Eropa, Jepang dan negara-negara lainnya menyebutkan
bahwa engagement merupakan salah satu dari lima tantangan teratas bagi
manajemen (Wah, 1999; Sakovska, 2012).
Penelitian-penelitian yang dilakukan menemukan banyak manfaat dan
keuntungan dari adanya work engagement. Para peneliti yakin bahwa organisasi
dengan level engagement yang tinggi memberikan hasil yang positif bagi
organisasi (Kular, Gatenby, Rees, Soane, & Truss, 2008). Kahn (1990)
menyatakan bahwa level engagement yang tinggi membawa kepada hasil yang
positif bagi individu (kualitas dari pekerjaan orang-orang dan pengalaman mereka
dalam melakukan pekerjaan) dan juga level organisasi (pertumbuhan dan
produktivitas organisasi). Work engagement memungkinkan individu untuk
menanamkan diri sepenuhnya terhadap pekerjaan dengan meningkatkan selfefficacy dan berdampak positif pada kesehatan karyawan yang akan meningkatkan
dukungan karyawan terhadap organisasi (Robertson & Markwick, 2009).

Universitas Sumatera Utara

1. Definisi Work Engagement


Telah banyak studi yang dilakukan mengenai engagement, tetapi sampai
saat ini belum ada definisi yang konsisten dan universal mengenai engagement ,
begitu juga dalam hal operasionalisasi dan pengukurannya yang masih dalam cara
yang berbeda-beda (Kular, Gatenby, Rees, Soane, & Truss, 2008). Oleh karena itu
penggunaan istilah engagement yang dikemukakan oleh berbagai peneliti masih
berbeda-beda, ada yang menyebut dengan istilah employee engagement seperti
Saks (2006) dan istilah work engagement, seperti Schaufeli, Salanova, GonzalezRoma, & Bakker (2002).
Murnianita (2012) menyatakan bahwa istilah employee engagement
dengan work engagement seringkali digunakan bergantian, tetapi work
engagement dianggap lebih spesifik. Work engagement mengacu pada hubungan
antara karyawan dengan pekerjaannya, sedangkan employee engagement terkait
hubungan antara karyawan dengan organisasi (Schaufeli & Bakker, 2010).
Konsep engagement pertama sekali diperkenalkan oleh Kahn. Kahn (1990)
mendefinisikan engagement sebagai penguasaan karyawan sendiri terhadap peran
mereka dalam pekerjaan, dimana mereka akan mengikat diri dengan
pekerjaannya, kemudian akan bekerja dan mengekspresikan diri secara fisik,
kognitif dan emosional selama memerankan performanya. Aspek kognitif
mengacu pada keyakinan pekerja terhadap organisasi, pemimpin dan kondisi
pekerjaan. Aspek emosional mengacu pada bagaimana perasaan pekerja apakah
positif atau negatif terhadap organisasi dan pemimpinnya. Sedangkan aspek fisik

Universitas Sumatera Utara

mengenai energi fisik yang dikerahkan oleh karyawan dalam melaksanakan


perannya.
Kahn (1990) juga berpendapat bahwa engagement meliputi kehadiran baik
secara psikologis maupun fisik saat menunjukkan peran organisasi. Menurut
Kahn, level-level ini secara signifikan dipengaruhi oleh tiga domain psikologis,
yaitu kebermaknaan, keamanan dan ketersediaan. Domain inilah yang akan
mempengaruhi bagaimana karyawan menerima dan melaksanakan peran mereka
di tempat kerja. Namun demikian, meskipun Kahn memberikan model teoritis
yang

kompherensif

dari

kehadiran

psikologis,

ia

tidak

mengusulkan

operasionalisasi dari konstruk engagement ini. Selain itu, model engagement


Kahn ini, belum teruji secara empiris di konteks yang berbeda dan diantara
kelompok kelompok pekerjaan lainnya dan inilah yang menjadi salah satu
kelemahannya (Chugtai, 2010).
Pendekatan kedua mengenai konsep engagement berasal dari literatur
mengenai burnout (Maslach, Schaufeli, & Leiter (2001). Maslach dkk. (2001)
mendefinisikan work engagement sebagai lawan dari burnout, dimana
engagement

sebagai

keadaan

emosional

yang

menetap

(persisten),

dikarakteristikkan dengan adanya level yang tinggi dalam aktivasi dan


kesenangan. Maslach & Leiter (1997; Schaufeli & Bakker, 2003) berasumsi
bahwa engagement dan burnout membentuk kutub-kutub yang berlawanan dalam
suatu kontinum kerja yang berkaitan dengan kesejahteraan, dimana burnout
sebagai kutub negatif dan engagement sebagai kutub positif. Namun demikian,
meskipun

penelitian

burnout

memberikan

perkembangan

terhadap

Universitas Sumatera Utara

operasionalisasi definisi engagement, asumsi mengenai burnout dan engagement


merupakan kutub-kutub yang saling berlawanan belum begitu diterima dan
penggunaan instrument tunggal, yaitu Maslach Burnout Index (MBI) untuk
membuktikan konsep tersebut masih dipertanyakan dalam penelitian lain (Lee,
2012).
Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma, & Bakker (2002) menyediakan
pendekatan ketiga bagi engagement dengan memberikan perspektif yang berbeda
mengenai teori kontinum engagement-burnout. Mereka mendefinisikan work
engagement sebagai keadaan positif, pemenuhan, pandangan terhadap kondisi
kerja yang dikarakteristikkan dengan adanya vigor, dedication dan absorption.
Vigor mengacu pada tingkat energi dan resiliensi mental yang tinggi ketika sedang
bekerja, kemauan berusaha sunguh-sunguh dalam pekerjaan dan gigih dalam
menghadapi kesulitan. Dedication mengacu pada perasaan yang penuh makna,
antusias, inspirasi, kebanggan dan tantangan. Absorption dikarakteristikkan
dengan konsentrasi penuh, minat yang mendalam terhadap pekerjaan dimana
waktu terasa berlalu begitu cepat dan sulit melepaskan diri dari pekerjaan.
Schaufeli dkk. (2002) membedakan engagement dari konstruk-konstruk
peran pekerjaan lainnya, dimana daripada keadaan sesaat dan spesifik,
engagement mengacu pada keadaan afektif-kognitif yang lebih menetap
(persisten) dan menyeluruh, yang tidak hanya fokus pada objek, kejadian, individu
atau perilaku tertentu.
Definisi work engagement oleh Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan
Bakker (2002) ini, merupakan definisi yang lebih luas dan lebih sering digunakan

Universitas Sumatera Utara

dalam studi penelitian (Lee, 2012). Selain itu, model work engagement Schaufeli
dkk. (2002) memiliki dasar teori yang kuat dibandingkan teori engagement lain
(Chugtai, 2010).
Berdasarkan uraian di atas, mengacu pada pendapat Schaufeli dkk. (2002),
maka definisi work engagement dalam penelitian ini adalah keadaan motivasional
yang positif dan adanya pemenuhan diri dalam pekerjaan yang dikarakteristikkan
dengan adanya vigor (kekuatan), dedication (dedikasi), dan absorption (absorpsi).

2. Aspek- Aspek Work Engagement


Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (2002) mendefinisikan
work engagement sebagai keadaan motivasional positif, pemenuhan, pandangan
terhadap kondisi kerja yang dikarakteristikkan dengan adanya vigor, dedication
dan absorption. Berdasarkan definisi ini, Schaufeli dan Bakker (2003)
mengkonseptualisasikan aspek-aspek dari engagement, sebagai berikut :
a. Vigor (kekuatan)
Vigor mengacu pada level energi yang tinggi dan resiliensi, kemauan
untuk berusaha, tidak mudah lelah dan gigih dalam menghadapi kesulitan.
Biasanya orang-orang yang memiliki skor vigor yang tinggi memiliki
energi, gelora semangat, dan stamina yang tinggi ketika bekerja, sementara
yang memiliki skor yang rendah pada vigor memiliki energi, semangat dan
stamina yang rendah selama bekerja.

Universitas Sumatera Utara

b. Dedication (dedikasi)
Dedication mengacu pada perasaan penuh makna, antusias dan bangga
dalam pekerjaan, dan merasa terinspirasi dan tertantang olehnya. Orangorang yang memiliki skor dedication yang tinggi secara kuat
mengidentifikasi pekerjaan mereka karena menjadikannya pengalaman
berharga, menginspirasi dan menantang. Disamping itu, mereka biasanya
merasa antusias dan bangga terhadap pekerjaan mereka. Sedangkan skor
rendah pada dedication berarti tidak mengidentifikasi diri dengan
pekerjaan karena

mereka tidak memiliki

pengalaman

bermakna,

menginspirasi atau menantang, terlebih lagi mereka merasa tidak antusias


dan bangga terhadap pekerjaan mereka.
c. Absorption (absorpsi)
Absorption mengacu pada berkonsentrasi secara penuh dan mendalam,
tenggelam dalam pekerjaan dimana waktu berlalu terasa cepat dan
kesulitan memisahkan diri dari pekerjaan, sehingga melupakan segala
sesuatu disekitarnya. Orang-orang yang memiliki skor tinggi pada
absorption biasanya merasa senang perhatiannya tersita oleh pekerjaan,
merasa tenggelam dalam pekerjaan dan memiliki kesulitan untuk
memisahkan diri dari pekerjaan. Akibatnya, apapun disekelilingnya
terlupakan dan waktu terasa berlalu cepat. Sebaliknya orang dengan skor
absorption yang rendah tidak merasa tertarik dan tidak tenggelam dalam
pekerjaan, tidak memiliki kesulitan untuk berpisah dari pekerjaan dan
mereka tidak lupa segala sesuatu disekeliling mereka, termasuk waktu.

Universitas Sumatera Utara

3. Konsep-Konsep yang Berkaitan Dengan Work Engagement


Dalam literatur akademik, terdapat beberapa konsep yang dihubungkan
dengan engagement, tetapi konsep-konsep tersebut tidak sama dengan
engagement (Saks, 2006), diantaranya :
a.

Flow
Flow merupakan sensasi menyeluruh yang dirasakan seseorang ketika
mereka bertindak dengan penuh keterlibatan (Csikszentmihalyi, 1975;
May, Gilson, & Harter, 2008). Ketika seseorang berada dalam keadaan
flow dibutuhkan sedikit kontrol kesadaran untuk tindakan mereka. Individu
membatasi perhatian mereka kepada stimulus khusus. Mereka kehilangan
kesadaran mengenai diri mereka sendiri karena sudah terlarut dengan
aktivitas itu sendiri. Individu yang mengalami flow tidak membutuhkan
reward eksternal atau tujuan untuk memotivasi mereka selama aktivitas
tersebut menghadirkan tantangan-tantangan yang konstan. Jika konsep
flow semata dinilai sebagai keterlibatan kognitif dengan suatu aktivitas dan
menghadirkan pengalaman puncak yang unik dari keterlarutan kognitif
menyeluruh (May dkk., 2004), engagement lebih digambarkan sebagai
keadaan afektif-kognitif yang menetap dan tidak fokus pada objek,
kejadian, individu atau perilaku tertentu (Schaufeli dkk., 2002).

b.

Workaholism
Pekerja yang engaged bekerja keras karena pekerjaannya menantang dan
menyenangkan, bukan karena mereka didorong oleh desakan kuat dari
dalam diri yang tidak dapat dilawan (Schaufeli & Bakker, 2010).

Universitas Sumatera Utara

c.

Organizational Commitment
Work engagement juga sering didefinisikan sebagai komitmen emosional
dan intelektual terhadap organisasi (Baumruk, 2005; Kular dkk, 2008).
Menurut Maslach dkk. (2001) komitmen organisasi merupakan sikap
seseorang dan kedekatan terhadap organisasi mereka, sedangkan work
engagement bukanlah sikap, melainkan derajat dimana individu berminat
dan terserap dalam kinerja peran mereka. Disamping itu, komitmen fokus
pada organisasi, sedangkan work engagement fokus pada tugas-tugas.

d.

Organizational Citizen Behavior


Saks (2006) menyatakan bahwa OCB melibatkan kesadaran dan perilaku
informal yang dapat menolong rekan kerja dan organisasi, sedangkan
fokus engagement adalah kinerja peran formal seseorang dibandingkan
peran ekstra dan perilaku sadar. Selain itu, OCB fokus pada karakteristik
dan perilaku individu, dibandingkan organisasi.

e.

Job Involvement
Work engagement juga berbeda pula dengan job involvement, dimana job
involvement merupakan hasil dari penilaian kognitif mengenai kebutuhan
pemuasan kemampuan dari pekerjaan dan mengikat gambaran diri
seseorang, sedangkan work engagement melibatkan penggunaan secara
aktif emosi dan perilaku disamping kognisi (May, Gilson, & Harter, 2004;
Saks, 2006).

Universitas Sumatera Utara

4. Faktor- Faktor yang Mendorong Work Engagement


Berbagai penelitian telah meneliti faktor-faktor yang menjadi pendorong
work engagement. Berikut ini dirangkum beberapa faktor pendorong dari berbagai
penelitian, diantaranya sebagai berikut :
a. Job Characteristic
Kahn (1990) mengungkapkan bahwa kebermaknaan psikologis dapat
dicapai dari karakteristik tugas yang menyediakan pekerjaan menantang,
bervariasi, membutuhkan berbagai keterampilan, kebebasan mengambil
keputusan sendiri dan kesempatan untuk membuat suatu kontribusi yang
penting. Hal ini sesuai dengan karakteristik pekerjaan dari Hackman dan
Oldham, yaitu skill variety, task identity, task significance, autonomy, dan
feedback. Menurut Kahn, pekerja akan lebih engaged apabila disediakan
pekerjaan yang memiliki kelima karakteristik tersebut.
b. Perceived Organizational and Supervisor Support
Variabel yang penting dalam dukungan sosial adalah peresepsi terhadap
dukungan organisasi dan persepsi terhadap dukungan supervisor. POS
mengacu pada keyakinan umum bahwa organisasi menghargai kontribusi
mereka dan peduli akan kesejahteraan mereka. Dasar dari penelitian
dukungan organisasi adalah social exchange theory (SET). SET
merupakan norma timbal balik antara karyawan dengan perusahaan,
dimana ketika karyawan menerima sumber-sumber yang penting dari
organisasi, maka karyawan akan merasa berkewajiban untuk membayar
ataupun meresponnya dengan kinerjanya terhadap organisasi. POS

Universitas Sumatera Utara

menciptakan

sebuah

kewajiban

karyawan

untuk

peduli

terhadap

kesejahteraan organisasi dan membantu organisasi mencapai tujuannya


sebagai balasannya organisasi akan menghargai kontribusi karyawannya
dan peduli terhadap kesejahteraan karyawannya. POS dapat membawa
pada hasil yang postitif yaitu melalui engagement. Dengan kata lain,
karyawan yang memiliki POS yang tinggi, menjadi lebih engaged terhadap
pekerjaan dan organisasi mereka sebagai bagian dari norma timbal balik
dari SET sehingga membantu organisasi untuk mencapai tujuannya (Saks,
2006).
c. Reward and Recognition
Kahn (dalam Saks, 2006) mengungkapkan bahwa individu bervariasi
dalam engagement mereka sesuai dengan bagaimana fungsi mereka
mempersepsikan keuntungan yang diterima dari perannya. Pekerja akan
lebih mungkin untuk engaged dalam pekerjaan sejauh mana mereka
mempersepsikan jumlah yang lebih besar dari rewards dan rekognisi bagi
kinerja peran mereka
d. Distributive Justice-Procedural Justice
Distributive justice merupakan persepsi terhadap keadilan sebuah
keputusan sedangkan procedural justice merupakan persepsi keadilan
terhadap proses yang digunakan dalam menentukan dan mendistribusikan
sumber daya yang ada. Ketika karyawan memiliki persepsi yang tinggi
terhadap keadilan organisasi, mereka akan lebih mungkin untuk merasa

Universitas Sumatera Utara

wajib adil untuk berperforma dalam peran mereka dengan memberikan diri
mereka sendiri melalui tingkat engagement yang lebih besar (Saks, 2006).
e. Keterlibatan dalam pembuatan keputusan, sejauh mana karyawan merasa
mampu menyuarakan ide mereka, manajer mendengar pandangan
karyawannya dan menghargai kontribusi dari karyawan, kesempatan
karyawan untuk mengembangkan pekerjaan mereka, dan sejauh mana
organisasi perhatian terhadap kesehatan dan kesejahteraan karyawan akan
meningkatkan engagement (Robinson, 2004).
f. Komunikasi
Perusahan harus mengikuti kebijakan pintu terbuka. Harus ada komunikasi
ke atas dan ke bawah dengan jalur komunikasi yang tepat dalam
organisasi. Jika karyawan diizinkan dalam memberikan pembuatan
keputusan dan benar-benar di dengar oleh pemimpinnya, maka level
engagement akan tinggi (Vazirani, 2007).
g. Kepemimpinan
Organisasi yang sukses menghargai setiap kualitas dan kontribusi
karyawan tanpa menghiraukan level pekerjaan mereka (Vazirani, 2007).
Pemimpin yang efektif mampu mempengaruhi pengikutnya untuk dapat
mencapai tujuan organisasi. Pemimpin memiliki peran penting dalam
mengembangkan engagement dengan menunjukkan karakteristik yang
mendorong engagement, seperti mau berbagi visi organisasi dan menjadi
supportive (Taran, Shuck, Gutierrez, & Baralt, 2009).

Universitas Sumatera Utara

h. Health and Safety


Penelitian telah mengindikasikan bahwa level engagement rendah jika
karyawan merasa tidak aman ketika bekerja. Oleh sebab itu, organisasi
seharusnya membuat metode dan sistem yang berkaitan dengan kesehatan
dan keselamatan karyawan (Vazirani, 2007).
i. Job Satisfaction
Hanya karyawan yang puas yang dapat menjadi karyawan yang engaged.
Oleh sebab itu, sangat penting bagi organisasi untuk melihat pekerjaan
yang diberikan kepada karyawan dan membuat suatu tujuan karir dimana
hal tersebut akan membuat mereka menikmati pekerjaan mereka dan
otomatis akan puas dengan pekerjaannya (Vazirani, 2007).
j. Kepercayaan dan Integritas
Seorang manajer harus mengkomunikasikan dengan baik dan memegang
perkataannya (The Conference Board dalam Siddhanta & Roy, 2010).
Karyawan yang mempercayai pemimpin-pemimpin di organisasi karena
pemimpin yang mengatur irama dari kebudayaan organisasi dan
menginspirasi kinerja dan komitmen yang tinggi akan mendorong
engagement. Kepercayaan yang tinggi pada manajer dan pemimpinpemimpin senior berhubungan dengan skor engagement yang tinggi
(Blessing White, 2010).

Universitas Sumatera Utara

B. Kepercayaan kepada Pemimpin


Kepercayaan merupakan topik yang telah banyak dipeljari dan telah
diidentifikasi sebagai salah satu konstruk yang paling sering diteliti dalam literatur
organisasi

(Burke,

Sims,

Lazzara

&

Salas,

2007).

Gambetta

(1988)

mendefinisikan kepercayaan organisasi sebagai evaluasi terhadap rasa percaya


pada organisasi yang dipersepsikan oleh karyawan, dimana karyawan memiliki
kepercayaan

diri

bahwa

organisasi

akan

menunjukkan

tindakan

yang

menguntungkan dan tidak merugikan karyawannya. Costigan (2006) membagi


kepercayaan organisasi menjadi dua jenis, yaitu kepercayaan horizontal dan
kepercayaan vertikal. Kepercayaan horizontal merupakan kepercayaan diantara
sesama rekan kerja, sedangkan kepercayaan vertikal merupakan kepercayaan
antara atasan-bawahan ataupun pemimpin dengan bawahannya.
Beberapa dekade terakhir, kepercayaan kepada pemimpin menjadi konsep
yang penting dalam banyak disipilin ilmu, seperti psikologi organisasi
manajemen, administrasi publik, komunikasi organisasi dan sebagainya. Dalam
penelitian literatur perilaku organisasi, misalnya, kepercayaan diidentifikasi
sebagai bagian yang penting dalam teori kepemimpinan (Dirks & Sarlicki, 2000).
Tan & Tan (2000) menyatakan bahwa kepercayaan kepada pemimpin dan
organisasi merupakan variabel yang saling berhubungan. Pekerja bisa membuat
penilaian terhadap kepercayaan organisasi dengan membuat kesimpulan dari
interaksi dengan pemimpinnya. Ketika bawahan mempercayai pemimpin, mereka
dapat menyamaratakan kepercayaan tersebut ke keseluruhan organisasi karena
mereka menerima pemimpin sebagai representasi dari organisasi (Konovsky &

Universitas Sumatera Utara

Pugh, 1994; Tan, 2000). Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa dengan adanya
kepercayaan kepada pemimpin, akan lebih mudah bagi karyawan untuk
mengembangkan kepercayaan terhadap organisasi.
Laine (2008) menyebutkan ada dua alasan utama mengapa kepercayaan
dalam hubungan antara pemimpin atau atasan dengan bawahan itu penting. Alasan
pertama dihubungkan dengan cara berhubungan di tempat kerja, karena bagi
kebanyakan orang hubungan sosial di tempat kerja menjadi pusat dari interaksi
kehidupan mereka setiap hari. Kepercayaan dalam hubungan antara atasan dengan
bawahan berhubungan secara sosial karena atasan akan mempengaruhi
kesejahteraan karyawannya di tempat kerja. Alasan kedua karena sejauh ini masih
sedikit penelitian empiris mengenai kepercayaan dalam konteks kepemimpinan.
Padahal pemimpin memiliki peran penting dalam menentukan efektivitas
organisasi pada semua level (individu, tim, unit) yang ada dalam organisasi
(Burke, Sims, Lazzara, & Salas, 2007).
Dirks dan Ferrin (2001) menemukan dari hasil metanalisisnya bahwa
kepercayaan kepada pemimpin memiliki hubungan yang signifikan dengan
dengan outcome individu, seperti kinerja pekerjaan, OCB, turnover intentions,
komitmen organisasi dan komitmen terhadap keputusan pemimpin. Studi-studi
sebelumnya juga telah menyoroti pentingnya kepercayaan bagi kesejahteraan
individu dalam lingkungan bisnis. Kepercayaan merupakan fondasi dari hubungan
yang bermanfaat dan sukses diantara individu maupun organisasi (Mayer, Davis,
& Schoorman, 1995).

Universitas Sumatera Utara

1. Definisi Kepercayaan kepada Pemimpin


Definisi kepercayaan yang dikutip secara luas berasal dari definisi yang
dikemukakan oleh Mayer, Davis, & Schoorman (1995). Mayer dkk. (1995)
mendefinisikan kepercayaan sebagai kemauan seseorang untuk menjadi rentan
(vulnerable) terhadap tindakan pihak lain dengan mengharapkan hal yang positif
dari tindakan pihak lain tersebut. Dua hal penting dari definisi ini adalah adanya
harapan positif dan kemauan untuk menjadi rentan, dalam arti, dimana rentan
merupakan resiko yang harus diambil dalam menghadapi ketidakpastian. Model
kepercayaan Mayer dkk. (1995) ketika diaplikasikan dalam hubungan antara
pemimpin dan pengikutnya, memperkirakan bahwa kepercayaan pada pemimpin
akan berfungsi khususnya pada ability, benevolence, dan integrity yang ada pada
pemimpin. Ability merupakan sekelompok keterampilan, kompetensi dan
karakteristik yang memungkinkan suatu pihak memiliki pengaruh dalam domain
yang spesifik. Benevolence merupakan sejauh mana satu pihak (trustee) yakin
untuk melakukan hal yang baik terhadap pihak lain yang dipercaya (trustor).
Integrity melibatkan persepsi trustor yang dilekati oleh trustee terhadap
seperangkat prinsip bahwa trustor menemukan penerimaan. Kelemahan konsep
ini adalah belum mengungkapkan bagaimana harapan positif itu dapat dihasilkan
(Chugtai, 2010).
Kelemahan konsep kepercayaan dari Mayer dkk. (1995) diatasi oleh
konsep multidimensional kepercayaan yang dikemukakan oleh Mishra (1996).
Mishra (1996) mendefinisikan kepercayaan sebagai kemauan untuk menjadi

Universitas Sumatera Utara

rentan terhadap pihak lain berdasarkan keyakinan bahwa pihak lain tersebut
competen, reliable, openness, dan concern.
Mishra dan Mishra (2008) mengembangkan konsep kepercayaan dari
Mishra (1996) dengan mengemukakan definisi yang sama, namun dimensi peduli
(concern) berubah menjadi compassion, meskipun kedua konstruk tersebut
sebenarnya memiliki makna yang sama. Konsep Mishra dan Mishra (2008)
dikenal dengan istilah ROCC trust (reliability, openness, competence dan
compassion). ROCC trust menjadi kunci elemen yang mempengaruhi seseorang
untuk dapat mempercayai pemimpinnya (Mishra & Mishra, 2008). Melalui studistudi penelitian selama hampir dua dekade, Mishra dan Mishra mengidentifikasi
empat fondasi kuat bagi individu untuk dapat mempercayai pemimpinnya ataupun
orang lain, yaitu didasarkan pada ROCC trust.
Definisi kepercayaan lainnya diungkapkan oleh McAllister (1997).
McAllister mengemukakan kepercayaan interpersonal sebagai keyakinan individu
dan kemauan untuk bertindak berdasarkan kata-kata, tindakan dan keputusan yang
lain. Perspektif ini menunjukkan bahwa kepercayaan melibatkan keintiman
dengan kepercayaan diri terhadap yang lain, yang dibawa oleh individu ke dalam
situasi ketergantungan yang beresiko. McAllister membagi kepercayaan menjadi
dua, yaitu cognition-based trust dan affect-based trust. Cognition based trust
berdasarkan keyakinan individu terhadap reliabilitas dan dependability. Affectedbased trust berdasarkan saling peduli dan perhatian dalam suatu hubungan.
Kepercayaan terhadap pemimpin menurut Tan & Tan (2000) merupakan
kemauan dari bawahan untuk menjadi rentan terhadap tindakan supervisornya

Universitas Sumatera Utara

yang perilaku dan tindakan tersebut tidak dapat dikontrolnya dan yang
bertanggung jawab untuk mengkomunikasikan kepada mereka tujuan dan
kebijakan yang telah ditentukan oleh manajemen atas. Persepsi mengenai
kepercayaan ini didasarkan pada karakter yang dimiliki oleh pemimpin.
Dirks & Ferrin (2002) menyatakan bahwa kepercayaan merupakan fitur
penting dalam hubungan yang dimiliki pemimpin dengan bawahan mereka dan
melalui kepercayaan bawahan dan respek dari pimpinan mereka, bawahan akan
termotivasi untuk berperforma melebihi dari yang diharapkan.
Dirks and Skarlicki (2004) menyatakan bahwa kepercayaan dengan
memperhatikan karakter pemimpin adalah penting karena pemimpin memiliki
otoritas untuk membuat keputusan yang signifikan yang berdampak terhadap
pengikutnya dan kemampuan pengikutnya untuk mencapai tujuan (seperti
promosi, bayaran, tugas pekerjaan, pemberhentian sementara).
Berdasarkan pendapat yang tersebar diantara peneliti dan para ahli bahwa
konsep kepercayaan Mishra memiliki kelebihan daripada konsep kepercayaan
lain, sehingga lebih sering digunakan (Chugtai, 2010). Karakteristik kepercayaan
dari Mishra paling sering muncul dalam berbagai literatur penelitian dan
selangkah lebih maju daripada konsep Mayer dkk (1995) karena Mishra secara
eksplisit menetapkan empat karakteristik dari trustee yang mana dapat
menimbulkan harapan positif dan mendorong trustor untuk mau mengambil
resiko dengan meletakkan kesejahteraannya sendiri di tangan trustee.
Berdasarkan uraian di atas, definisi kepercayaan kepada pemimpin
merupakan kemauan karyawan untuk menjadi rentan terhadap pihak lain (dalam

Universitas Sumatera Utara

hal ini adalah pemimpin) bedasarkan keyakinan bahwa pihak tersebut kompeten,
terbuka, peduli (compassion) dan reliabel.

2. Aspek- Aspek Kepercayaan


Mishra & Mishra (2008) mengkonseptualisasikan aspek-aspek dari
kepercayaan sebagai berikut :
a. Reliability
Seseorang dikatakan reliable ketika berperilaku dalam cara yang seimbang
dan konsisten. Bertanggung jawab melakukan apa yang dikatakan untuk
dilakukannya. Melakukan sesuatu ketika memiliki kemauan dan akan
menunjukkannya ketika ada keinginan dan juga dapat diandalkan.
Mengingat hal-hal yang penting bagi orang lain dan menjadi sumber
kenyamanan dan keseimbangan dalam kehidupan orang tersebut.
Kepercayaan tanpa aspek ini membuat orang lain tidak akan memberikan
kesempatan kedua. Reliability memerlukan kata-kata dan tindakan.
Adanya ketidakkonsistenan antara kata-kata dan tindakan menurunkan
kepercayaan yang juga menyiratkan penjagaan komitmen seseorang.
Orang-orang akan lebih mungkin untuk mempercayai pemimpin yang
reliable karena itu dapat mengurangi ketidakpastian akan perilaku
pemimpin.
b. Openness
Keterbukaan merupakan kemauan untuk jujur dan terbuka dalam
berhubungan dengan orang lain. Individu akan lebih mau mempercayai
perkataan seseorang apabila mereka yakin bahwa orang tersebut berkata

Universitas Sumatera Utara

jujur. Adanya keterbukaan dari diri sendiri juga akan mendorong orang
lain untuk lebih terbuka. Jika seseorang itu jujur dengan tetangga, rekan
kerja atau anggota keluarganya, maka orang lain akan lebih mau untuk
terbuka kepadanya. Menjadi terbuka juga termasuk berlaku wajar dan mau
berbagi informasi atau pandangan. Pemimpin menunjukkan openness
dengan berbagi informasi dan jujur terhadap satu sama lain. Minimalnya,
menjadi terbuka berarti tidak berbohong kepada pihak lain. Sedangkan
dalam

level

terbesarnya,

openness

berarti

penuh

penyingkapan

(disclosure). Sifat kepercayaan dalam istilah openness membutuhkan


waktu yang lebih lama untuk dikembangkan dibandingkan dengan
kepercayaan berdasarkan reliability karena tidak hanya melibatkan
perkataan akan kebenaran saja, tetapi juga pernyataan informasi mengenai
maksud dan harapan seseorang, dan bagi pemimpin hal ini dapat
melibatkan informasi sensitif yang tinggi. Komunikasi yang jujur dan
terbuka dapat mengurangi ketidakpastian dan ambiguitas karena membuat
tujuan, agenda dan sasaran lebih transparan. Openness sebagai konstruk
dari kepercayaan merupakan pertumbuhan informasi. Informasi dibagikan
untuk dapat menyelesaikan pekerjaan atau bersifat pribadi diantara trustee
dan trustor.
c. Competence
Individu tidak ingin mempercayai orang lain sampai orang tersebut dapat
melakukan pekerjaan tersebut bahkan ketika sebelumnya orang tersebut
digambarkan sebagai seseorang yang reliable dan jujur. Pengalaman

Universitas Sumatera Utara

langsung dengan orang lain merupakan cara yang lebih meyakinkan untuk
memperlihatkan kompetensi yang dimiliki. Pemimpin menunjukkan
kompetensi mereka dengan menemukan dan melebihi harapan kinerja dan
memberikan hasil yang mendukung tujuan dan sasaran strategi organisasi.
Pengikut ingin tahu apakah mereka dapat bergantung pada pemimpin
mereka untuk menjadi kompeten dalam menyelesaikan masalah dan
mengarahkan mereka kepada solusi. Pengikut akan lebih mungkin untuk
merespon usaha yang dikembangkan oleh pemimpin apabila mereka
percaya bahwa pemimpin memiliki pengetahuan dan kemampuan yang
penting untuk mengasah bakat dan kekuatan mereka.
Competene mengacu pada kapabilitas dan keahlian individu untuk dapat
tampil dalam tugas-tugas yang spesifik. Perasaan mampu atau kompeten
merupakan pusat dari kepercayaan dalam hubungan pemimpin dan
pengikutnya karena pengikut tidak akan mungkin mengembangkan
kepercayaan terhadap pemimpin, kecuali jika mereka percaya bahwa
pemimpin

mampu

melaksanakan

peran

kepimimpinan

(Whitener,

Korsgaard & Werner, 1998). Pemimpin juga dikarakteristikkan dengan


bagaimana pengikutnya mempercayai mereka untuk membuat keputusan
yang kompeten.
d. Compassion
Memiliki

compassion

terhadap

orang

lain

berarti

harus

mau

mengesampingkan kepentingan priadi untuk bisa menjadi benar-benar


empati terhadap orang lain. Yang juga berarti harus meletakkan

Universitas Sumatera Utara

kepentingan orang lain sama atau di atas kepentingan sendiri. Compassion


memerlukan waktu yang lama untuk dapat ditunjukkan karena
membutuhkan

pemahaman

atau

empati

terhadap

kebutuhan

dan

kepentingan orang lain. Compassion dari pemimpin juga dapat


membangun hubungan positif dengan karyawannya. Pemimpin yang
menunjukkan compassion lebih mungkin untuk meningkatkan hubungan
yang membantu perkembangan individu dan pertumbuhan bersama.
Seorang individu yang memiliki compassion terhadap orang lain berarti ia
harus memiliki kemauan untuk mengatur kepedulian diri sehingga bisa
benar-benar berempati terhadap orang lain. Percaya dalam hal concern
berarti bahwa kepentingan diri tersebut seimbang dengan minat dalam
kesejahteraan orang lain (Mishra, 1996).
Aspek-aspek kepercayaan dari Mishra & Mishra (2008) merupakan aspekaspek yang akan digunakan sebagai pengukuran dalam penelitian ini. Review dari
literatur-literatur menyingkap bahwa aitem pada skala yang dikembangkan oleh
Mishra menyediakan penilaian yang reliabel dan valid dari komponen-komponen
kepercayaan yang diidentifikasi oleh Mishra. Selain itu juga karena pendapat yang
tersebar di antara peneliti dan ilmuwan menyetujui bahwa keempat faktor
kepercayaan dari Mishra (1996) sebelumnya, paling sering muncul pada literaturliteratur penelitian dan menjelaskan bagian lebih besar dari sifat yang dapat
dipercaya (Ellis & Zalabak, 2001). Beberapa ilmuwan menganggap dimensi
kepercayaan Mishra tersebut sebagai faktor krusial dari kepercayaan (Chugtai,
2010).

Universitas Sumatera Utara

Kekuatan lainnya dari model Mishra adalah konseptualisasi kepercayaan


sebagai konstruk yang multidimensional. Manfaat utama dari pandangan multi
dimensi kepercayaan ini yaitu memberikan wawasan yang lebih mendalam dari
kompleksitas hubungan kerja (Chugtai, 2010).

C. Hubungan antara Kepercayaan kepada Pemimpin dengan Work


Engagement
Kepercayaan diantara pemimpin dan bawahan memampukan kedua bagian
untuk dapat tampil dalam level yang tinggi dan bahkan mencapai tugas-tugas dan
tujuan mereka (Kaskivirta, 2011).
Untuk dapat dipercaya, sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Mishra
& Mishra (2008), seorang pemimpin harus memiliki karakteristik reliability,
openness, competence, dan compassion. Ketika karyawan yakin bahwa pemimpin
memiliki kapabilitas untuk menyelesaikan tanggung jawab pekerjaannya secara
professional dan efisien, maka mereka lebih mungkin untuk merasa nyaman dan
lebih mau untuk memberikan energi mereka dan berusaha untuk menyelesaikan
pekerjaannya. Level energi dan usaha ini dapat memuncak dalam work
engagement yang lebih besar.
Pekerja yang merasa bahwa pemimpin mereka tidak sukses dalam
memenuhi janji seperti dalam hal insentif, maka level kepercayaannya akan
berkurang dan mereka bisa mempersepsikannya sebagai pelanggaran kontrak
psikologis (Robinson, 1996). Dalam lingkup ini, pekerja dapat menjadi kurang
menunjukkan energi, antusias dan keterlibatan dalam pekerjaan mereka dan lebih

Universitas Sumatera Utara

mungkin untuk mengurangi level energi, antusias dan keterlibatan mereka bahkan
dapat beralih kepada disengagement pada pekerjaan (Schaufeli & Salanova,
2007).
Apabila pekerja merasa bahwa pemimpin mengkomunikasikan isu-isu
organisasi secara terus terang, terbuka dan jujur, maka ketidakamanan dan
keraguan-keraguan akan rendah (Mishra & Sprietzer, 1998). Dalam keadaan
seperti ini, pekerja akan cenderung untuk tetap fokus menyelesaikan tujuan
pekerjaan

mereka

dibandingkan

selalu

sibuk

memikirkan

perasaan

ketidakpercayaan dan keragu-raguaan. Keterlibatan psikologis secara penuh


dalam pekerjaan dapat meningkatkan engagement dalam bekerja (Kahn, 1990).
Apabila pekerja merasa bahwa mereka tidak dapat mengandalkan
pemimpin mereka untuk memberikan penghargaan secara adil bagi usaha mereka,
maka kemungkinan mereka akan merasa tidak puas dan akibatnnya dapat
menunjukkan berkurangnya antusias, keterikatan dalam pekerjaan mereka.
Sebaliknya, ketika karyawan yakin bahwa pemimpinnya memperlakukan mereka
secara adil, maka motivasi dan komitmen akan lebih mungkin untuk meningkat.
Dalam keadaan seperti ini, karyawan akan lebih mungkin untuk memberikan
jumlah yang lebih besar dari sumber mental dan fisik mereka terhadap performa
peran, yang selanjutnya akan menghasilkan work engagement yang lebih tinggi
(May, Gilson & Harter, 2004; Chugtai 2010).
Pekerja yang memiliki keyakinan bahwa pemimpinnya mampu dan
terampil (kompeten), mereka lebih mungkin untuk merasa lebih pasti bahwa
mereka dapat mengandalkan pemimpinnya untuk menyediakan bantuan dan

Universitas Sumatera Utara

memandu mereka ketika mereka sedang berada dalam masalah yang berkaitan
dengan pekerjaan (Tan & Tan, 2000). Hal ini dapat meningkatkan rasa percaya
diri dan membawa kepada work engagement yang kuat.
Pekerja yang yakin bahwa pemimpinnya peduli (compassion) terhadap
kesejahteraan mereka, memiliki kepercayaan diri terhadap kemampuannya dan
memperlakukan bawahannya dengan hormat, mereka lebih mungkin untuk
mengeluarkan energi yang lebih besar, pengabdian dan minat terhadap
pekerjaannya (Saks, 2006).
Vazirani (2007) mengatakan bahwa kepemimpinan dan komunikasi
merupakan beberapa faktor yang mendorong munculnya engagement. Di dalam
kepemimpinan dan komunikasi itu sendiri, kepercayaan merupakan unsur yang
penting. Krot & Lewicka (2012) mengungkapkan bahwa kepercayaan merupakan
elemen kunci bagi komunikasi yang efektif dan kerjasama tim antara rekan kerja,
antara manajer dan karyawannya, dan antara karyawan dengan manajernya.
Dengan kata lain, komunikasi dan kepemimpinan yang dibangun dengan adanya
unsur kepercayaan akan dapat menimbulkan work engagement karyawan dalam
organisasi.
Dari studi-studi yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa
meningkatnya kepercayaan menghasilkan baik secara langsung maupun tidak
langsung perilaku dan sikap yang positif di tempat kerja seperti komitmen
organisasi dan engagement (Dirks & Ferrin, 2002). Dalam suatu hubungan,
kepercayaan merupakan keadaan penting yang menjaga komitmen dan
engagement tetap kuat (Dicke, Holwerda, & Kontakos, 2007). Idealnya,

Universitas Sumatera Utara

pemimpin dan manajemen berbagi semua informasi yang tersedia dalam cara
yang jujur dan terus terang (Axelrod, 2000; Dicke dkk., 2007). Dalam hal ini
nyata bahwa kepercayaan berada di tangan pemimpin dan manajemennya dimana
dengan adanya kepercayaan kepada pemimpin, akan dapat mendorong karyawan
untuk menjadi engaged dengan pekerjaannya.

D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan sebagai jawaban sementara dalam penelitian ini,
yaitu:
Kepercayaan kepada pemimpin berpengaruh positif terhadap work
engagement. Kepercayaan karyawan kepada pemimpin akan meningkatkan work
engagement.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai