LANDASAN TEORI
A. Work Engagement
Saat ini, engagement merupakan salah satu topik yang hangat di antara
perusahan konsultan dan media-media bisnis terkenal (Saks, 2006). Work
engagement menjadi istilah yang meluas dan populer (Robinson, Perryman &
Hayday, 2004) dan beberapa menyebutkan engagement dengan istilah anggur tua
dalam botol yang baru (Saks, 2004). Hasil survey dari 665 kepala eksekutif
karyawan di Amerika, Eropa, Jepang dan negara-negara lainnya menyebutkan
bahwa engagement merupakan salah satu dari lima tantangan teratas bagi
manajemen (Wah, 1999; Sakovska, 2012).
Penelitian-penelitian yang dilakukan menemukan banyak manfaat dan
keuntungan dari adanya work engagement. Para peneliti yakin bahwa organisasi
dengan level engagement yang tinggi memberikan hasil yang positif bagi
organisasi (Kular, Gatenby, Rees, Soane, & Truss, 2008). Kahn (1990)
menyatakan bahwa level engagement yang tinggi membawa kepada hasil yang
positif bagi individu (kualitas dari pekerjaan orang-orang dan pengalaman mereka
dalam melakukan pekerjaan) dan juga level organisasi (pertumbuhan dan
produktivitas organisasi). Work engagement memungkinkan individu untuk
menanamkan diri sepenuhnya terhadap pekerjaan dengan meningkatkan selfefficacy dan berdampak positif pada kesehatan karyawan yang akan meningkatkan
dukungan karyawan terhadap organisasi (Robertson & Markwick, 2009).
kompherensif
dari
kehadiran
psikologis,
ia
tidak
mengusulkan
sebagai
keadaan
emosional
yang
menetap
(persisten),
penelitian
burnout
memberikan
perkembangan
terhadap
dalam studi penelitian (Lee, 2012). Selain itu, model work engagement Schaufeli
dkk. (2002) memiliki dasar teori yang kuat dibandingkan teori engagement lain
(Chugtai, 2010).
Berdasarkan uraian di atas, mengacu pada pendapat Schaufeli dkk. (2002),
maka definisi work engagement dalam penelitian ini adalah keadaan motivasional
yang positif dan adanya pemenuhan diri dalam pekerjaan yang dikarakteristikkan
dengan adanya vigor (kekuatan), dedication (dedikasi), dan absorption (absorpsi).
b. Dedication (dedikasi)
Dedication mengacu pada perasaan penuh makna, antusias dan bangga
dalam pekerjaan, dan merasa terinspirasi dan tertantang olehnya. Orangorang yang memiliki skor dedication yang tinggi secara kuat
mengidentifikasi pekerjaan mereka karena menjadikannya pengalaman
berharga, menginspirasi dan menantang. Disamping itu, mereka biasanya
merasa antusias dan bangga terhadap pekerjaan mereka. Sedangkan skor
rendah pada dedication berarti tidak mengidentifikasi diri dengan
pekerjaan karena
pengalaman
bermakna,
Flow
Flow merupakan sensasi menyeluruh yang dirasakan seseorang ketika
mereka bertindak dengan penuh keterlibatan (Csikszentmihalyi, 1975;
May, Gilson, & Harter, 2008). Ketika seseorang berada dalam keadaan
flow dibutuhkan sedikit kontrol kesadaran untuk tindakan mereka. Individu
membatasi perhatian mereka kepada stimulus khusus. Mereka kehilangan
kesadaran mengenai diri mereka sendiri karena sudah terlarut dengan
aktivitas itu sendiri. Individu yang mengalami flow tidak membutuhkan
reward eksternal atau tujuan untuk memotivasi mereka selama aktivitas
tersebut menghadirkan tantangan-tantangan yang konstan. Jika konsep
flow semata dinilai sebagai keterlibatan kognitif dengan suatu aktivitas dan
menghadirkan pengalaman puncak yang unik dari keterlarutan kognitif
menyeluruh (May dkk., 2004), engagement lebih digambarkan sebagai
keadaan afektif-kognitif yang menetap dan tidak fokus pada objek,
kejadian, individu atau perilaku tertentu (Schaufeli dkk., 2002).
b.
Workaholism
Pekerja yang engaged bekerja keras karena pekerjaannya menantang dan
menyenangkan, bukan karena mereka didorong oleh desakan kuat dari
dalam diri yang tidak dapat dilawan (Schaufeli & Bakker, 2010).
c.
Organizational Commitment
Work engagement juga sering didefinisikan sebagai komitmen emosional
dan intelektual terhadap organisasi (Baumruk, 2005; Kular dkk, 2008).
Menurut Maslach dkk. (2001) komitmen organisasi merupakan sikap
seseorang dan kedekatan terhadap organisasi mereka, sedangkan work
engagement bukanlah sikap, melainkan derajat dimana individu berminat
dan terserap dalam kinerja peran mereka. Disamping itu, komitmen fokus
pada organisasi, sedangkan work engagement fokus pada tugas-tugas.
d.
e.
Job Involvement
Work engagement juga berbeda pula dengan job involvement, dimana job
involvement merupakan hasil dari penilaian kognitif mengenai kebutuhan
pemuasan kemampuan dari pekerjaan dan mengikat gambaran diri
seseorang, sedangkan work engagement melibatkan penggunaan secara
aktif emosi dan perilaku disamping kognisi (May, Gilson, & Harter, 2004;
Saks, 2006).
menciptakan
sebuah
kewajiban
karyawan
untuk
peduli
terhadap
wajib adil untuk berperforma dalam peran mereka dengan memberikan diri
mereka sendiri melalui tingkat engagement yang lebih besar (Saks, 2006).
e. Keterlibatan dalam pembuatan keputusan, sejauh mana karyawan merasa
mampu menyuarakan ide mereka, manajer mendengar pandangan
karyawannya dan menghargai kontribusi dari karyawan, kesempatan
karyawan untuk mengembangkan pekerjaan mereka, dan sejauh mana
organisasi perhatian terhadap kesehatan dan kesejahteraan karyawan akan
meningkatkan engagement (Robinson, 2004).
f. Komunikasi
Perusahan harus mengikuti kebijakan pintu terbuka. Harus ada komunikasi
ke atas dan ke bawah dengan jalur komunikasi yang tepat dalam
organisasi. Jika karyawan diizinkan dalam memberikan pembuatan
keputusan dan benar-benar di dengar oleh pemimpinnya, maka level
engagement akan tinggi (Vazirani, 2007).
g. Kepemimpinan
Organisasi yang sukses menghargai setiap kualitas dan kontribusi
karyawan tanpa menghiraukan level pekerjaan mereka (Vazirani, 2007).
Pemimpin yang efektif mampu mempengaruhi pengikutnya untuk dapat
mencapai tujuan organisasi. Pemimpin memiliki peran penting dalam
mengembangkan engagement dengan menunjukkan karakteristik yang
mendorong engagement, seperti mau berbagi visi organisasi dan menjadi
supportive (Taran, Shuck, Gutierrez, & Baralt, 2009).
(Burke,
Sims,
Lazzara
&
Salas,
2007).
Gambetta
(1988)
diri
bahwa
organisasi
akan
menunjukkan
tindakan
yang
Pugh, 1994; Tan, 2000). Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa dengan adanya
kepercayaan kepada pemimpin, akan lebih mudah bagi karyawan untuk
mengembangkan kepercayaan terhadap organisasi.
Laine (2008) menyebutkan ada dua alasan utama mengapa kepercayaan
dalam hubungan antara pemimpin atau atasan dengan bawahan itu penting. Alasan
pertama dihubungkan dengan cara berhubungan di tempat kerja, karena bagi
kebanyakan orang hubungan sosial di tempat kerja menjadi pusat dari interaksi
kehidupan mereka setiap hari. Kepercayaan dalam hubungan antara atasan dengan
bawahan berhubungan secara sosial karena atasan akan mempengaruhi
kesejahteraan karyawannya di tempat kerja. Alasan kedua karena sejauh ini masih
sedikit penelitian empiris mengenai kepercayaan dalam konteks kepemimpinan.
Padahal pemimpin memiliki peran penting dalam menentukan efektivitas
organisasi pada semua level (individu, tim, unit) yang ada dalam organisasi
(Burke, Sims, Lazzara, & Salas, 2007).
Dirks dan Ferrin (2001) menemukan dari hasil metanalisisnya bahwa
kepercayaan kepada pemimpin memiliki hubungan yang signifikan dengan
dengan outcome individu, seperti kinerja pekerjaan, OCB, turnover intentions,
komitmen organisasi dan komitmen terhadap keputusan pemimpin. Studi-studi
sebelumnya juga telah menyoroti pentingnya kepercayaan bagi kesejahteraan
individu dalam lingkungan bisnis. Kepercayaan merupakan fondasi dari hubungan
yang bermanfaat dan sukses diantara individu maupun organisasi (Mayer, Davis,
& Schoorman, 1995).
rentan terhadap pihak lain berdasarkan keyakinan bahwa pihak lain tersebut
competen, reliable, openness, dan concern.
Mishra dan Mishra (2008) mengembangkan konsep kepercayaan dari
Mishra (1996) dengan mengemukakan definisi yang sama, namun dimensi peduli
(concern) berubah menjadi compassion, meskipun kedua konstruk tersebut
sebenarnya memiliki makna yang sama. Konsep Mishra dan Mishra (2008)
dikenal dengan istilah ROCC trust (reliability, openness, competence dan
compassion). ROCC trust menjadi kunci elemen yang mempengaruhi seseorang
untuk dapat mempercayai pemimpinnya (Mishra & Mishra, 2008). Melalui studistudi penelitian selama hampir dua dekade, Mishra dan Mishra mengidentifikasi
empat fondasi kuat bagi individu untuk dapat mempercayai pemimpinnya ataupun
orang lain, yaitu didasarkan pada ROCC trust.
Definisi kepercayaan lainnya diungkapkan oleh McAllister (1997).
McAllister mengemukakan kepercayaan interpersonal sebagai keyakinan individu
dan kemauan untuk bertindak berdasarkan kata-kata, tindakan dan keputusan yang
lain. Perspektif ini menunjukkan bahwa kepercayaan melibatkan keintiman
dengan kepercayaan diri terhadap yang lain, yang dibawa oleh individu ke dalam
situasi ketergantungan yang beresiko. McAllister membagi kepercayaan menjadi
dua, yaitu cognition-based trust dan affect-based trust. Cognition based trust
berdasarkan keyakinan individu terhadap reliabilitas dan dependability. Affectedbased trust berdasarkan saling peduli dan perhatian dalam suatu hubungan.
Kepercayaan terhadap pemimpin menurut Tan & Tan (2000) merupakan
kemauan dari bawahan untuk menjadi rentan terhadap tindakan supervisornya
yang perilaku dan tindakan tersebut tidak dapat dikontrolnya dan yang
bertanggung jawab untuk mengkomunikasikan kepada mereka tujuan dan
kebijakan yang telah ditentukan oleh manajemen atas. Persepsi mengenai
kepercayaan ini didasarkan pada karakter yang dimiliki oleh pemimpin.
Dirks & Ferrin (2002) menyatakan bahwa kepercayaan merupakan fitur
penting dalam hubungan yang dimiliki pemimpin dengan bawahan mereka dan
melalui kepercayaan bawahan dan respek dari pimpinan mereka, bawahan akan
termotivasi untuk berperforma melebihi dari yang diharapkan.
Dirks and Skarlicki (2004) menyatakan bahwa kepercayaan dengan
memperhatikan karakter pemimpin adalah penting karena pemimpin memiliki
otoritas untuk membuat keputusan yang signifikan yang berdampak terhadap
pengikutnya dan kemampuan pengikutnya untuk mencapai tujuan (seperti
promosi, bayaran, tugas pekerjaan, pemberhentian sementara).
Berdasarkan pendapat yang tersebar diantara peneliti dan para ahli bahwa
konsep kepercayaan Mishra memiliki kelebihan daripada konsep kepercayaan
lain, sehingga lebih sering digunakan (Chugtai, 2010). Karakteristik kepercayaan
dari Mishra paling sering muncul dalam berbagai literatur penelitian dan
selangkah lebih maju daripada konsep Mayer dkk (1995) karena Mishra secara
eksplisit menetapkan empat karakteristik dari trustee yang mana dapat
menimbulkan harapan positif dan mendorong trustor untuk mau mengambil
resiko dengan meletakkan kesejahteraannya sendiri di tangan trustee.
Berdasarkan uraian di atas, definisi kepercayaan kepada pemimpin
merupakan kemauan karyawan untuk menjadi rentan terhadap pihak lain (dalam
hal ini adalah pemimpin) bedasarkan keyakinan bahwa pihak tersebut kompeten,
terbuka, peduli (compassion) dan reliabel.
jujur. Adanya keterbukaan dari diri sendiri juga akan mendorong orang
lain untuk lebih terbuka. Jika seseorang itu jujur dengan tetangga, rekan
kerja atau anggota keluarganya, maka orang lain akan lebih mau untuk
terbuka kepadanya. Menjadi terbuka juga termasuk berlaku wajar dan mau
berbagi informasi atau pandangan. Pemimpin menunjukkan openness
dengan berbagi informasi dan jujur terhadap satu sama lain. Minimalnya,
menjadi terbuka berarti tidak berbohong kepada pihak lain. Sedangkan
dalam
level
terbesarnya,
openness
berarti
penuh
penyingkapan
langsung dengan orang lain merupakan cara yang lebih meyakinkan untuk
memperlihatkan kompetensi yang dimiliki. Pemimpin menunjukkan
kompetensi mereka dengan menemukan dan melebihi harapan kinerja dan
memberikan hasil yang mendukung tujuan dan sasaran strategi organisasi.
Pengikut ingin tahu apakah mereka dapat bergantung pada pemimpin
mereka untuk menjadi kompeten dalam menyelesaikan masalah dan
mengarahkan mereka kepada solusi. Pengikut akan lebih mungkin untuk
merespon usaha yang dikembangkan oleh pemimpin apabila mereka
percaya bahwa pemimpin memiliki pengetahuan dan kemampuan yang
penting untuk mengasah bakat dan kekuatan mereka.
Competene mengacu pada kapabilitas dan keahlian individu untuk dapat
tampil dalam tugas-tugas yang spesifik. Perasaan mampu atau kompeten
merupakan pusat dari kepercayaan dalam hubungan pemimpin dan
pengikutnya karena pengikut tidak akan mungkin mengembangkan
kepercayaan terhadap pemimpin, kecuali jika mereka percaya bahwa
pemimpin
mampu
melaksanakan
peran
kepimimpinan
(Whitener,
compassion
terhadap
orang
lain
berarti
harus
mau
pemahaman
atau
empati
terhadap
kebutuhan
dan
mungkin untuk mengurangi level energi, antusias dan keterlibatan mereka bahkan
dapat beralih kepada disengagement pada pekerjaan (Schaufeli & Salanova,
2007).
Apabila pekerja merasa bahwa pemimpin mengkomunikasikan isu-isu
organisasi secara terus terang, terbuka dan jujur, maka ketidakamanan dan
keraguan-keraguan akan rendah (Mishra & Sprietzer, 1998). Dalam keadaan
seperti ini, pekerja akan cenderung untuk tetap fokus menyelesaikan tujuan
pekerjaan
mereka
dibandingkan
selalu
sibuk
memikirkan
perasaan
memandu mereka ketika mereka sedang berada dalam masalah yang berkaitan
dengan pekerjaan (Tan & Tan, 2000). Hal ini dapat meningkatkan rasa percaya
diri dan membawa kepada work engagement yang kuat.
Pekerja yang yakin bahwa pemimpinnya peduli (compassion) terhadap
kesejahteraan mereka, memiliki kepercayaan diri terhadap kemampuannya dan
memperlakukan bawahannya dengan hormat, mereka lebih mungkin untuk
mengeluarkan energi yang lebih besar, pengabdian dan minat terhadap
pekerjaannya (Saks, 2006).
Vazirani (2007) mengatakan bahwa kepemimpinan dan komunikasi
merupakan beberapa faktor yang mendorong munculnya engagement. Di dalam
kepemimpinan dan komunikasi itu sendiri, kepercayaan merupakan unsur yang
penting. Krot & Lewicka (2012) mengungkapkan bahwa kepercayaan merupakan
elemen kunci bagi komunikasi yang efektif dan kerjasama tim antara rekan kerja,
antara manajer dan karyawannya, dan antara karyawan dengan manajernya.
Dengan kata lain, komunikasi dan kepemimpinan yang dibangun dengan adanya
unsur kepercayaan akan dapat menimbulkan work engagement karyawan dalam
organisasi.
Dari studi-studi yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa
meningkatnya kepercayaan menghasilkan baik secara langsung maupun tidak
langsung perilaku dan sikap yang positif di tempat kerja seperti komitmen
organisasi dan engagement (Dirks & Ferrin, 2002). Dalam suatu hubungan,
kepercayaan merupakan keadaan penting yang menjaga komitmen dan
engagement tetap kuat (Dicke, Holwerda, & Kontakos, 2007). Idealnya,
pemimpin dan manajemen berbagi semua informasi yang tersedia dalam cara
yang jujur dan terus terang (Axelrod, 2000; Dicke dkk., 2007). Dalam hal ini
nyata bahwa kepercayaan berada di tangan pemimpin dan manajemennya dimana
dengan adanya kepercayaan kepada pemimpin, akan dapat mendorong karyawan
untuk menjadi engaged dengan pekerjaannya.
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan sebagai jawaban sementara dalam penelitian ini,
yaitu:
Kepercayaan kepada pemimpin berpengaruh positif terhadap work
engagement. Kepercayaan karyawan kepada pemimpin akan meningkatkan work
engagement.