Anda di halaman 1dari 11

Reformasi Perusahaan Daerah:

Terapi Apa Yang Mungkin Cocok Untuk PDAM?


Jermi Haning
MUNGKIN tidak berlebihan jika Kupang dijuluki Kota Bunga, Kota Karang dan Kota Mete
Air. Julukan pertama adalah impian yang belum menjadi kenyataan, julukan kedua adalah kenyataan
yang tidak dapat dihindari, sedangkan julukan ketiga adalah kenyataan pahit yang dapat dihindari.
Setelah menunggu puluhan tahun, akhirnya upaya untuk menghilangkan julukan terakhir ini datang.
Khabar gembira disampaikan oleh Walikota Kupang beberapa waktu yang lalu. Katanya bila tidak
berhasil dalam negosiasi untuk mengelolah PDAM bersama, maka pemerintah kota akan membentuk
PDAM tersendiri.
Sejuk memang pernyataan itu, tetapi mungkin sebagian kita bertanya. Mengapa baru sekarang?
Kemana saja pemerintah selama ini sehingga baru ada ide untuk melakukan sesuatu yang belum tentu
menyelesaikan masalah yang ada? Lebih dari bertanya, rakyat mungkin juga kuatir. Yang mungkin
dipersoalkan rakyat itu bukan saja dari mana sumber keuangan untuk membiaya perusahaan yang
baru, tetapi yang lebih ditakutkan rakyat adalah potensi penyalagunaan, kongkalikong dan label
seperti red tape, ineficiency, ineffectiveness and corrupted yang selalu melekat pada organisasi dan
perusahaan publik.
Perlu dicatat bahwa secara teoritis, telah terjadi kegagalan pasar (market failure) dalam pelayanan air
bersih. Didalam hukum ekonomi publik dikatakan terdapat kegagalan pasar bila terjadi nonexcludability, non-rival in supply dan market imperfections. Wujudnya dapat berupa monopoly
supply: terdapat satu atau beberapa produsen potensial atau situasi dimana pasar hanya mendukung
satu produsen. Situasi ini dapat mendorong produsen untuk mengeksploitasi posisinya dalam
berhubungan dengan para konsumen, tetapi kemudian menjadi pembenaran campur tangan
pemerintah, melalui regulasi, subsidy, pembukaan akses pasar, operasi pasar, dll. Namun bila
pemerintah tidak juga mampu mencarikan solusi kegagalan market maka timbullah apa yang disebut
kegagalan pemerintah (government failure) yang memberi pembenaran pergantian rezim yang sedang
berkuasa.
Public Policy and Management Specialist. Alumnus Flinders University of South Australia. Jabatan: Sekretaris Lurah Oenesu, Kec Kupang Barat,
Kab Kupang. Email: :jermihaning@yahoo.com.au. A Slight different version of the rticle was firstly published in TIMOR EXPRESS, Monday,
16 May 2005

Sedangkan khusus mengenai PDAM, masalah utama yang melilitnya adalah masalah manajemen.
Masalah ini merupakan kunci utama yang akan dengan sendirinya menyelesaikan masalah lain seperti
investasi, kredit macet, costumer service yang buruk, dll. Masalah ini tidak terkait dengan siapa
pemilik perusahaan seperti yang selalu menjadi alasan pembenaran pemerintah kota. Dalam kebijakan
dan manajemen publik masalah ini dapat dijelaskan melalui agency theory dan public choice theory.
Agency theory menyoroti perbedaan kepentingan antara pemilik perusahaan (principal) dan
manajemen (agent) yang diperburuk oleh ketidakpastian dan keterbatasan akses informasi. Dikatakan
bahwa principal membutuhkan tenaga dan keahlian agent, tetapi principal memiliki keterbatasan
untuk memonitor atau mengevaluasi tindakan agent, apakah outcome final memuaskan atau tidak.
Banyak literature kemudian menawarkan berbagai jenis kontrak seperti pembayaran dan mekanisme
monitoring sebagai upaya untuk menyamakan insentif dan mancari keseimbangan antara kepentingan
diri dan indepensi (Sappington 1991).
Sedangkan public choice theory menyoroti kenyataan bahwa perilaku semua individu didominasi oleh
kepentingan diri yang selalu diupayakan untuk dipenuhi. Inilah alasan yang membentuk reaksi
individu pada berbagai setting organisasi dan strutur insentif yang berbeda. Teori ini memberi
penekanan kepada pemenuhan kebutuhan kolektif yang sering tidak terpenuhi sebagai akibat dari
upaya individu untuk mengutamakan kepentingan diri (Scott, Ball & Dale 1999).
Solusi dari Negara Tetangga
Dengan perspektif di ataslah, maka para reformists berupaya menghindari atau mengurangi masalah
yang ada pada agency theory dan public choice theory. Dalam teori dan praktek manajemen modern,
sistim pengawasan langsung selalu dilihat sebagai solusi yang tidak tepat untuk kedua masalah ini.
Sebaliknya pendekatan sosiologi organisasi yang mewajibakan pemberdayaan staf dilihat sebagai
kunci yang mempengaruhi kinerja organisasi publik.
Para reformists di New Zealand kemudian memperkenalkan model manajemen yang dipengaruhi
oleh prinsip let the managers manage and make the managers manage (Kettl 1997). Wujudnya
melalui: 1) pemisahan antara kepemilikan dan kontrol organisasi; 2) pemisahan kepentingan
Public Policy and Management Specialist. Alumnus Flinders University of South Australia. Jabatan: Sekretaris Lurah Oenesu, Kec Kupang Barat,
Kab Kupang. Email: :jermihaning@yahoo.com.au. A Slight different version of the rticle was firstly published in TIMOR EXPRESS, Monday,
16 May 2005

pemerintah selaku pemilik organisasi dari kepentingan selaku pembeli pelayanan organisasi tersebut;
3) pemisahan pembiayaan, pembelian, dan pengadaan pelayanan publik; 4) spesifikasi kinerja
organisasi yang jelas, dengan mengunakan kriteria finansial komersial untuk organisasi bisnis; 5)
pembentukan korporasi-korporasi yang bermisi tunggal di bawah department; 6) pemisahaan
akuntabilitas outputs dan outcomes; 7) pengenalan kompetisi antara para penyedia pelayanan; 8)
pengadaptasian dan pengadopsian model manajemen sektor privat; 9) privatisasi untuk memperkuat
insentif untuk efisiensi penggunaan sumber daya (Hood 1996).
Perbedaan tingkatan pengadopsian elemen-elemen ini melahirkan tiga model pendekatan: privatisasi,
korporasi dan otonomi (Harding & Preker 2000). Ketiga model ini melahirkan setting organisasi yang
berbeda pula: aspek kepemilikan (kolektif vs individual) dan aspek orientasi (sosial vs ekonomi).
Ketiganya juga memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Namun satu hal yang lazim ditemui dari
ketiga konsep ini adalah pengenalan kompetisi melalui mekanisme pasar demi terwujudnya pelayanan
yang efisien, efektif, produktif dan terjangkau secara finansial.
Pemahaman privatisasipun berbeda-beda. Mulai dari penjualan secara komplet dan total perusahaan
dan asset publik kepada swasta, pengenalan investasi modal dan manajemen swasta pada
infrastruktur publik, contracting out suatu pelayanan kepada swasta, hingga deregulasi, melalui
pengurangan campur tangan pemerintah terhadap tingkah laku organisasi dan individu (Chapman
1990; Ernst 1999). Ini artinya didalam privatisasi terdapat ide otonomi dan korporasi. Contracting
out suatu pelayanan, sebagai contoh, sering disebut sebagai privatization of labor (Paddon 1993:7).
Selain pertimbangan kontrol dan sosial, privatisasi hanya mungkin menarik privat sektor setelah
perusahaan pemerintah tersebut disehatkan. Beberapa negara kemudian memperkenalkan privatisasi
model popular capitalism. Disini suatu perusahaan yang akan diprivatisasi tidak diserahkan kepada
sekelompok individu yang memiliki kemampuan finansial yang tinggi. Penyerahan kepemilikan
perusahaan kepada para karyawan dan masyarakat awam dilihat sebagai cara yang tepat untuk
meningkatkan rasa memiliki (sense of belonging) yang berujung pada peningkatan produktifitas,
efisiensi dan efektifitas pelayanan.

Public Policy and Management Specialist. Alumnus Flinders University of South Australia. Jabatan: Sekretaris Lurah Oenesu, Kec Kupang Barat,
Kab Kupang. Email: :jermihaning@yahoo.com.au. A Slight different version of the rticle was firstly published in TIMOR EXPRESS, Monday,
16 May 2005

Tidak semua perusahaan pemerintah cocok untuk diprivatisasi. Oleh karena sifat monopolinya yang
alamiah, dimana biaya yang harus ditangggung sebagai akibat dari penyediaan suatu pelayanan dapat
diimbangi oleh satu penyedia, maka keterlibatan sektor privat justru tidak efisien. Sehingga sebagai
salah satu alternatif privatisasi, beberapa negara mencoba apa yang dikenal dengan konsep halfway
house, pilihan antara kepemilikan publik dan privat yang disebut sebagai korporasi (Beresford
2000:71).
Korporasi adalah upaya untuk meniru struktur dan efisiensi organisasi privat tanpa meninggalkan
misi sosial melalui kepemilikan publik (pemerintah). Korporasi dilakukan dengan menetapkan
beberapa kebijakan yang merupakan ciri dari sektor privat yaitu insentif, termasuk pengurangan biaya
dan harga yang efisien sebagai target yang mesti dicapai. Melalui korporasi akuntabilitas para manajer
lebih bersifat tidak langsung yang memberi diskresi yang luas. Mekanisme akuntabilitas melalui
boards dan corporate plan, yang merupakan perjanjian yang mengikat antara perusahaan (dan boards)
dengan departemen terkait. Para manajer diberi kontrol yang besar dalam hal input dan issues yang
berhubungan dengan pemberian pelayanan umum.

Sehingga perusahaan yang di-korporasi

merupakan organisasi yang independent, dimana transfer kekuasaan dilakukan untuk jangka waktu
tertentu, dan pemerintah tidak diperkenankan untuk mengintervensi manajemen perusahaan.
Independensi perusahaan terletak pula pada ketersediaan modal awal dalam jumlah tertentu yang
harus dipertanggungjawabkan dan menentukan kelangsungan hidup perusahaan. Insentif pasar dapat
berupa peningkatan pendapatan yang diperoleh dari penjualan (bukan alokasi anggaran) dan
penyerahaan kembali seluruh pendapatan kepada perusahaan. Pendapatan perusahaan tidak
diserahkan kepada pemerintah seperti sebelum dikorporasi. Ini artinya perusahaan dapat
menggunakan pendapatan yang ada untuk meningkat motivasi manajemen/staf dan kualitas
pelayanan, tetapi perusahaan juga bertanggungjawab terhadap kerugian.
Sementara itu perusahaan yang di beri otonomi difokuskan pada making managers manage dengan
mengalihkan kontrol atas keputusan operasional sehari-hari dari pemerintah kepada manajemen.
Perubahan ini sering diikuti dengan peningkatan skop untuk memperoleh pendapatan yang
dihubungkan dengan pemberian pelayanan. Hal ini dapat dicapai dengan memperkenalkan
performance payment (Zuna 2002), meningkatkan biaya pelayanan bagi konsumen kelas tertentu,
Public Policy and Management Specialist. Alumnus Flinders University of South Australia. Jabatan: Sekretaris Lurah Oenesu, Kec Kupang Barat,
Kab Kupang. Email: :jermihaning@yahoo.com.au. A Slight different version of the rticle was firstly published in TIMOR EXPRESS, Monday,
16 May 2005

dll. Sehingga perusahaan yang diberi otonomi mengalami peningkatan skop untuk menguasai
pendapatan yang ada. Hal ini dapat juga dilakukan dengan merubah alokasi anggaran dari per mata
anggaran menjadi anggaran global, dimana penghematan di satu area pelayanan atau mata
anggaran dapat dipakai untuk mata anggaran lainnya.
Akuntabilitas perusahaan yang diberi otonomi masih berhubungan dengan pengawasan pemerintah.
Namun tujuan-tujuan yang harus dicapai dispesifikasi lebih jelas. Umumnya skop tujuan menjadi
lebih sempit dan fokus pada kinerja keuangan dan ekonomi meningkat. Suatu perjanjian antara
pemerintah dan manajemen perusahaan dapat dilakukan dengan menetapkan target-target kinerja
yang dapat dicapai. Standar kinerja yang harus dicapai ini merupakan kontrak kinerja dimaksudkan
untuk mempersempit dan mengklarifikasi tujuan perusahaan dan juga sebagai dasar formal yang
dipakai untuk menilai kinerja perusahaan. Tanggungjawab sosial tak lupa pula dispesifikasi dalam
perjanjian.

Perlu Corporate Governance


Untuk dapat mewujudkan perusahaan yang sehat dan kuat, tidaklah cukup dengan memperkenalkan
prinsip let the managers manage and make the manager manage (Kettl 1997). Banyak BUMN yang
telah menerapkan prinsip ini namun masih mengalami krisis keuangan. Bangkrutnya Enron di US,
dan praktek illegal yang menimpa BCA, Kimia Farma dan Sinar Mas Group beberapa waktu yang
lalu memperlihatkan bahwa reformasi belum selesai. Para reformists kemudian memperkenalkan
konsep Corporate Governance (CG). Konsep ini dilihat sebagai seperangkat aturan yang
merumuskan hubungan antara para pemegang saham, manajer, kreditor, pemerintah, karyawan, dan
pihak lain yang berkepentingan baik internal maupun eksternal sehubungan dengan hak-hak dan
tanggung jawab mereka (Cadbury Report 1992).
Hal pertama yang dilihat adalah struktur boards (Tricker 1994). Ada berbagai jenis struktur boards:
One-Tier Board dan Two-Tier Board. One-Tier Board terdiri dari tiga tipe: Tipe A (All-Executive
Board), Tipe B (Majority Executive Board), dan Tipe C (Majority Outside Board). Struktur yang
paling dipakai di Indonesia adalah Two-Tier Board. Dalam struktur ini ada pemisahan yang jelas
Public Policy and Management Specialist. Alumnus Flinders University of South Australia. Jabatan: Sekretaris Lurah Oenesu, Kec Kupang Barat,
Kab Kupang. Email: :jermihaning@yahoo.com.au. A Slight different version of the rticle was firstly published in TIMOR EXPRESS, Monday,
16 May 2005

antara Dewan (Komisaris) dan Manajemen (Direksi). Komisaris bertugas mengawasi direksi dan
memiliki kewenangan untuk mengangkat dan menurunkan seorang CEO/ditektur.
Untuk mendukung efektifitas pelaksanaanya, maka KepMen BUMN 117/M/M-MBU/2002
mewajibkan BUMN untuk memiliki Komisaris Indepeden, Direksi Independent; Komite
Nominasi yang bertugas menyusun kriteria seleksi dan prosedur nominasi bagi anggota komisaris,
direksi dan para eksekutif lainnya; Komite Renumerasi yang bertugas menyusun sistim penggajian
dan pemberian tunjungan, Komite Assurance dan Resiko Usaha yang bertugas melakukan
penilaian secara berkala dan memberikan rekomendasi tentang resiko usaha, jenis serta jumlah
asuransi yang ditutup perusahaan dalam hubungan dengan resiko usaha; dan Komite Audit yang
bertugas membantu komisaris dalam memastikan sistim pengendalian internal dan efektifitas
pelaksanaan tugas auditor internal dan eksternal.
Beberapa issues yang menjadi penekanan CG antara lain konsep checks and balances antara
komisaris dan direksi, konsep agency theory yang melihat pada pemisahan antara kepemilikan dan
pengendalian, independence and integrity of the auditors, fungsi sistim perencanaan dan
pengendalian internal yang berhubungan erat dengan otoritas, independensi dan integritas komisaris
sebagai pengawas, otoritas, independensi dan integritas direksi, dan efektifitas sistim remunerasi dan
insentif bagi manajemen sehingga manajemen tidak berusaha mencari pendapatan di luar sistim.
Hal kedua adalah prinsip-prinsip governance: kewajaran (fairness), transparansi (disclosure dan
transparency), akuntabilitas (accountability), dan responsibilitas (responsibility). Fairness diwujudkan
antara lain dengan membuat peraturan korporasi yang melindungi kepentingan minoritas; membuat
pedoman perilaku perusahaan dan/atau kebijakan yang melindungi korporasi terhadap perbuatan
buruk orang dalam, self-dealing, dan konflik kepentingan; menetapkan peran dan tanggungjawab
komisaris, direksi, dan komite, termasuk sistim remunerasi; menyajikan informasi secara
wajar/pengungkapan penuh material apapun; mengedepankan equal job opportunity.
Disclosure dan Transparancy menyangkut penyediaan informasi tentaqng kinerja perusahaan,
kepemilikan, pemegang saham, perubahan-perubahan yang mendasar atas perusahaan dan
keuntungan yang diperoleh. Prinsip ini diwujudkan melalui pengembangan sistim akuntasi yang
Public Policy and Management Specialist. Alumnus Flinders University of South Australia. Jabatan: Sekretaris Lurah Oenesu, Kec Kupang Barat,
Kab Kupang. Email: :jermihaning@yahoo.com.au. A Slight different version of the rticle was firstly published in TIMOR EXPRESS, Monday,
16 May 2005

berbasis standar akuntansi yang menjamin adanya laporan keuangan dan pengungkapan yang
berkualitas; mengembangkan information technology dan management information system untuk
menjamin adanya pengukuran kinerja yang memadai dan proses pengambilan keputusan yang efektif;
mengembangkan enterprise risk management; mengumumkan jabatan yang kosong secara terbuka.
Accountability diwujudkan antara lain melalui penyiapan laporan keuangan (financial statement);
mengembangkan komite audit dan resiko; mengembangkan dan merumuskan peran dan fungsi
internal audit sebagai mitra bisnis strategic berdasarkan best practices (bukan sekedar audit).
Responsibility menyangkut kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan
perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi. Prinsip ini dapat diwujudkan melalui kesadaran
bahwa tanggung jawab merupakan konsekuensi logis dari adanya wewenang; menyadari akan adanya
tanggung jawab sosial; menghindari penyalagunaan kekuasaan; menjadi professional dan menjunjung
etika; memelihara lingkungan bisnis yang sehat.
Bagaimana Praktek Corporate Governance?
Dalam prakteknya di Indonesia, diketahui dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap BUMN/D
oleh ADB (Zhuang 2001) bahwa kebanyakan direksi, apalagi komisaris, dipilih oleh/atau berasal dari
lingkungan pemegang saham pengendali/pemerintah. Hal ini terbalik dengan prinsip CG. Untuk
mewujudkan Dewan Komisaris yang kuat dan professional, maka umumnya 2/3 keanggotaan terdiri
dari Komisaris Independent. Bahkan di General Motors (GM) satu-satunya komisaris dalam
adalah CEO (Chief Executive Officer), anggota lainnya adalah independent, bukan karyawan GM
(HBR 2000).
Peran pemerintah yang semestinya hanya sebatas merumuskan maksud dan tujuan poerusahaan,
ataupun memberi konsen kepada direksi dan/atau komisaris untuk melakukan tindakan tertentu yang
belum dilimpahkan kepadanya dalam anggaran dasar, ternyata secara de facto justru sering bertindak
sebagai Direksi Bayangan. Akibatnya komisaris yang seharusnya memainkan peran pengawasan,
ternyata hanya sebagai simbol untuk memenuhi ketentuan peraturan yang ada. Komisaris umumnya
tidak berdaya menghadapi hegemoni pemerintah yang kuat, apalagi kalau tidak ada komisaris
independent.
Public Policy and Management Specialist. Alumnus Flinders University of South Australia. Jabatan: Sekretaris Lurah Oenesu, Kec Kupang Barat,
Kab Kupang. Email: :jermihaning@yahoo.com.au. A Slight different version of the rticle was firstly published in TIMOR EXPRESS, Monday,
16 May 2005

Kebanyakan dewan tidak memiliki tanggungjawab mendasar dalam memilih kandidat anggota dewan.
Pemerintah sering mengambilalih peran dewan dalam identifikasi dan perekrutan kandidat direktur,
dengan berpatokan kepada standarnya sendiri. Kinerja dewan tidak terukur. Dewan tidak memiliki
suatu proses untuk meninjau kinerjanya sendiri. Padahal semestinya dewan perlu menetapkan secara
sistematis apakah mereka mengawasi manajemen dan memberikan nasihat yang efektif. Komisaris
independent juga berkewajiban menilai dengan jadwal teratur kinerja CEO dan para eksekutif kunci,
berdasarkan atas kriteria resmi dan objektif dan kemudian melaporkan hasilnya kepada CEO.
Bentuk penyimpangan lainnya adalah pemberian paket renumerasi (gaji) yang berlebihan kepada
direksi yang tidak mencerminkan kinerja, penyalagunaan fasilitas BUMN/D; kuatnya pengaruh
pemegang saham/pemilik sehingga dalam pemberian paket renumerasi tidak merangsang direksi
untuk mengeluarkan usaha terbaiknya bagi kepentingan BUMN/D; transaksi bisnis dengan pihak
luar yang dilakukan manajemen tidak memperhatikan kepentingan pemilik; direksi melakukan strategi
diversifikasi/ekspansi untuk meningkatkan ukuran perusahaan demi prestise dirinya tanpa
memperhatikan dampaknya pada kinerja perusahaan; intervensi pemilik/pihak luar secara berlebihan;
praktek perusahaan dalam perusahaan yang dilakukan oleh manajemen.
Apa Yang Mungkin Berubah?
Akan ada beberapa perubahan yang dialami oleh stakeholder dalam berhubungan dengan perusahaan
yang telah menerapkan Good Corporate Governance (GCG). Bagi perusahaan yang telah
menerapkan CG, pemerintah tidak harus menjadi pemegang saham mayoritas. Perusahaan tidak lagi
sebagai badan usaha yang birokratis, tidak efisien, sarat intervensi, tetapi sebaliknya menjadi efisien,
dinamis, professional dan berorientasi pelanggan dan pasar. BUMN/D tidak beroperasi sendirisendiri, tidak memonopoli, tidak mendapatkan proteksi, dan tidak disubsidi.
Misi yang diemban oleh BUMN/D bukan misi sosial dan politis seperti di era yang lalu. BUMN/D
yang telah menerapkan GCG akan memfokuskan diri pada pengembangan misi value creation. Value
yang dimaksudkan disini tidak hanya mencakup value ekonomi, sosial maupun politis, tetapi lebih
pada publik value seperti keadilan, kejujuran, kebersamaan, etika, budaya, moral, independency,
accountability, transparency, responsibility, community development, dll.
Public Policy and Management Specialist. Alumnus Flinders University of South Australia. Jabatan: Sekretaris Lurah Oenesu, Kec Kupang Barat,
Kab Kupang. Email: :jermihaning@yahoo.com.au. A Slight different version of the rticle was firstly published in TIMOR EXPRESS, Monday,
16 May 2005

Ada tiga manfaat penerapan GCG (IIFCG 2000). Pertama, berkurangnya agency cost, yaitu biaya
yang timbul sebagai akibat dari pendelegasian kewenangan kepada manajemen, termasuk biaya
penggunaan sumber daya perseroan oleh manajemen untuk kepentingan pribadi maupun dalam
rangka pengawasan terhadap perilaku manajemen itu sendiri. Kedua, berkurangnya cost of capital,
yaitu biaya modal yang harus ditanggung bila perusahaan mengajukan pinjaman kepada kreditur
sebagai dampak dari pengelolaan perusahaan secara baik dan sehat yang pada gilirannya menciptakan
suatu referensi positif bagi para kreditur. Ketiga, meningkatnya nilai saham perusahaan sebagai
dampak dari meningkatnya citra perusahaan, kepercayaan para kreditur dan para investor.
Akhirnya dapat dikatakan bahwa perbaikan pelayanan air minum dan kinerja PDAM tidak hanya
terkait dengan ketersedian modal dan kepemilikan semata. Tidak ada jaminan pula bahwa pendirian
perusahaan baru akan menyelesaikan permasalahan yang ada. Implementasi salah satu dari ketiga
model reformasi yang ditawarkan di atas belum juga cukup untuk mewujudkan perusahaan yang
sehat dan kuat. Masalah utama yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana mewujudkan
keseimbangan antara politik vs manajemen, kontrol vs independesi, internal vs eksternal (komisaris,
direktur dan auditor), insentif vs tanggungjawab, tanggungjawab vs akuntabilitas, kontrak vs
permanent, komisaris vs direktur, kepentingan pribadi vs kepentingan perusahaan, profit vs sosial,
efisiensi vs kualitas, pelanggan vs warga negara dan tujuan jangka pendek vs jangka panjang.

Public Policy and Management Specialist. Alumnus Flinders University of South Australia. Jabatan: Sekretaris Lurah Oenesu, Kec Kupang Barat,
Kab Kupang. Email: :jermihaning@yahoo.com.au. A Slight different version of the rticle was firstly published in TIMOR EXPRESS, Monday,
16 May 2005

Reference
Beresford, Q. 2000. Governments, Markets and Globalization: Public policy in context, New South Wales, Allen &
Unwin
Cadbury Report. 1992. The Report of the Cadbury Committee on Financial Aspects of Corporate Governance: The Code of
Best Practice, [Online], Available:
http://www.ecgi.org/codes/country_documents/uk/cadbury.pdf [14 May 2003].
Ernst, J. 1999. The cost-benefit of privatization and competition: Towards a broader frame of reference in
Colin Clark and David Corbett (eds) Reforming the public sector: Problems and solutions, New South Wales, Allen &
Unwin, pp 79-99.
The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG). 2000. Corporate Governance atau Corporate Failure,
Jakarta
Harding, A., Preker, A.S. 2000. Unsderstanding Organizational Reforms: The Corporazation of Public Hospitals,
Washington, The World Bank
Harvard Business Review (HBR). 2000. Hal. 189-197; http://www.thecorporatelibrary.com; http://www.ge.com
Hood, C.C. 1996. Exploring Variations in Public Management Reform of the 1980s, in H.A. Bekke, J.L. Perry
and T.A. Toonen, Civil Service Systems in Comparative Perspective, Bloomington, Indiana University Press, 1996,
pp.268-287.
Kettl, D.F. 1997. The Global Revolution in Public Management: Driving Themes, Missing Links, Journal of
Policy Analysis and Management, Vol. 16, No. 3, pp. 446-462.
Paddon, M. 1993. Competitive Tendering and Contracting Out in British Local Government 1979-1992, Public Sector
Research Centre, Kensington.
Sappington, D.E. 1991. Incentives in Principal Agent Relationships, Journal of Economic Perspective, Vol 5, No.
2, pp. 45-66.

Public Policy and Management Specialist. Alumnus Flinders University of South Australia. Jabatan: Sekretaris Lurah Oenesu, Kec Kupang Barat,
Kab Kupang. Email: :jermihaning@yahoo.com.au. A Slight different version of the rticle was firstly published in TIMOR EXPRESS, Monday,
16 May 2005

10

Scott, G., Ball. I., Dale, T. 1999. New Zealands public sector management reform in Colin Clark and David
Corbett (eds) Reforming the public sector: Problems and solutions, New South Wales, Allen & Unwin, pp 53-76.
The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG). 2000. Corporate Governance atau Corporate Failure,
Jakarta.
Tricker. 1994. International Corporate Governance: Text, Readings and Cases, Singapore, Prentice Hall and Simon
Schuster Asia, Pte., Ltd.
Zhuang, J. 2001. Corporate Governance and Finance in East Asia: A Study of Indonesia, Republic of Korea, Malaysia,
Philipines, and Thailand, Manila, Asia Development Bank
Zuna, H.B. 2002. The Effects of Corporatisation on Political Control in 121-144 Tom Christensen and Per
Laegreid (eds) New Public Management: The Transformation of ideas and practice, USA, Ashgate
Keputusan Mentri BUMN Nomor: 117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Pratik Good Corporate
Governance Pada Badan Usaha Milik Negara.

Public Policy and Management Specialist. Alumnus Flinders University of South Australia. Jabatan: Sekretaris Lurah Oenesu, Kec Kupang Barat,
Kab Kupang. Email: :jermihaning@yahoo.com.au. A Slight different version of the rticle was firstly published in TIMOR EXPRESS, Monday,
16 May 2005

11

Anda mungkin juga menyukai