Tim Penulis:
Blasius Urikame Udak
David Pandie
Jermi Haning
Patricius Usfomeny
Laurensius P.S. Rani
Fr. Stanley Jawa, SVD
Dengan
ff
THE FORD FOUNDATION
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Studi menyangkut perkembangan negaranegara berkembang termasuk Indonesia
menunjukkan bahwa birokrasi merupakan elemen penting dan sentral dalam segenap
proses pembangunan. Birokrasi pemerintah dianggap sebagai satusatunya lembaga
yang secara konstitusional memiliki kapasitas sebagai agen pembaharuan dan
pembangunan bangsa.
Katz (1986) memberikan dua alasan pokok mengapa birokrasi mempunyai peranan
utama dalam pembangunan nasional. Pertama, birokrasi mempunyai in put in put
(tenaga tenaga penggerak) yang diperlukan untuk pembangunan; kedua, kekurangan
bertindak dari berbagai kalangan masyarakat, ketidakcukupan pasar bebas dan
kebutuhan kebutuhan idiologi tertentu. Peranan birokrasi pemerintahan yang
dominan dalam dinamika pembangunan merupakan suatu kenyataan yang harus diakui
dan hal ini sebagai akibat dari kebutuhan tenaga tenaga penggerak yang semakin
besar dalam mendukung pembangunan dan modernisasi.
Pembangunan pada negara berkembang pada dasarnya bersifat sangat kompleks
yang melibatkan banyak faktor baik politik, ekonomi dan sosial budaya dengan
tingkat kompleksitas persoalan yang sangat tinggi pula. Namun di sisi lain, kapasitas
kelembagaan di negara negara berkembang baik itu lembaga politik, ekonomi dan
sosial budaya juga masih rendah. Kondisi ini akhirnya harus menempatkan birokrasi
pemerintah sebagai lembaga utama dalam proses pembangunan tersebut.
Birokrasi dalam posisinya sebagai agen pembangunan tersebut cenderung makin
besar skala kekuasaan dan strukturnya sebagai implikasi dari peranannya tersebut.
Peran birokrasi mulai dikondisikan untuk mengontrol, mengatur, menstabilkan dan
menjaga kontinuitas pembangunan yang hampir menyentuh segala aspek kehidupan
dan domaian.
Dalam perkembangan selanjutnya intervensi birokrasi dalam pembangunan justru
mulai mengalami kegagalan yang disebabkan oleh
proses administrasi dan
manejemen birokrasi yang buruk. Dalam beberapa studi (Waterson,1979) ditemukan
B. Perumusan Masalah
Dalam konteks pembangunan di berbagai negara termasuk Indonesia, birokrasii
mempunyai peranan yang penting sebagai agen pembaruan. Keinginan untuk
melakukan proses pembangunan yang besar telah mendorong adanya dominasii
birokrasi sebagai pelaku pembangunan utama yang dilatarbelakangi oleh asumsii
bahwa birokrasi adalah satusatunya lembaga yang memiliki kapasitas yang memadai
untuk mengemban tugas tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, peran ini justru
menjadi over productive di mana birokrasi menjadi gurita yang menggerogoti seluruh
aspek kehidupan masyarakat. Berbagai studi empirik selanjutnya membuktikan
bahwa kegagalan berbagai program pembangunan di Indonesia justru disebabkan
oleh rendahnya kapasitas administratif atau manajemen birokrasi yang ditandai
dengan berbagai realitas patologi birokrasi.
Terkait dengan konsep tersebut maka menarik untuk mencermati realitas kinerja
birokrasi di tingkat lokal sebagai salah satu upaya mengkaji dinamika proses
pembangunan di daerah. Karena itu rumusan masalah penelitian ini adalah:
Bagaimana Determinasi Struktural dan Kultural Birokrasi Dalam Membentuk
Perilaku Birokrasi Di Kabupaten Ngada?
10
2
BIROKRASI, SEBUAH REVIEW TEORITIK
A. Terminologi Birokrasi
Istilah birokrasi sesungguhnya berasal dari kata Bahasa Perancis bereaumonia yang
merujuk pada suatu pernyataan dari Vincent de Gouruay pad abab 17 sebagai suatu
penyakit dalam pemerintahan. Kata ini kemudian berubah menjadi bureaucratia
(Perancis), bureukratic atau burokratic (Jerman), burocrazia (Italia), bureaucracy
(Inggris) dan di-Indonesia-kan menjadi birokrasi. Selanjutnya kata bureaucracy
dapat diturunkan menjadi bureacrat, bureaucratic, bureaucratism, bureaucratist
dan bureaucratization.
Dalam perkembangan konsep birokrasi, akan ditemui banyak konsep tentang
birokrasi yang dikonotasi dengan berbagai hal yang kadang sangat membingungkan.
Albrow (1989) yang kemudian dielaborasi oleh Pandie (2000) mencoba menangkap
pengertian birokrasi yang tersebar tersebut dan mencoba membuat semacam
taksonomi birokrasi dalam tujuh konsep birokrasi sebagai berikut :
1. Birokrasi Sebagai Organisasi Rasional
Terminologi ini terutama diwakili oleh pemikiran Weber yang merumuskan tipe ideal
birokrasi sebagai bentuk organisasi yang di dalamnya terdapat mekanisme social
yang memaksimumkan efisiensi dalam pencapaian tujuannya. Peter Blau (1989)
sebagai penganut weberian memandang birokrasi sebagai organisasi yang
berdasarkan rasionalitas; birokrasi akan memberikan kontribusi terhadap kinerjanya
yang lebih akurat, bersinambung, disiplin, ajeg sehingga birokrasi secara teknis
merupakan tipe organisasi yang paling memuaskan. Perkembangan dunia modern yang
mengagungkan rasionalitas menjadi bukti empiris tentang kemampuan organisasii
rasional sebagai pemacu transformasi sosial dalam masyarakat industri. Rasionalitas
birokrasi yang dianut oleh sektor negara dan swasta telah memungkinkan terjadinya
dinamika perkembangan ekonomi dan pelayanan yang memuaskan.
2. Birokrasi Sebagai Inefisiensi
Terminologi ini dibangun sebagai kritik terhadap proposisi birokrasi yang diajukan
oleh para weberian. Para penganut birokrasi sebagai inefisiensi mencoba melihat sisi
11
gelap dari birokrasi yang justru counter-produktive terhadap efisiensi itu sendiri.
Terminologi ini berakar pada gejala patologi birokrasi yang ditandai oleh
kelambanan, kurang inisiatif, formalisasi yang berlebihan, korupsi, duplikasi,
tertutup dan infleksibilitas. Gagasan patologi sebenarnya bersumber
pada
pandangan Alvin Gouldner yang mencoba mencari apa yang disebut metaphysical
patos sebagai sisi gelap birokrasi.
Goodsell (1994) mengkategorikan kritik terhadap rasionalitas birokrasi dalam tiga
kategori :
Kinerja pelayanan yang unacceptable;
Memobilisasi kekuatan politik yang berbahaya;
Sebagai alat represi terhadap individu
Sosiolog Robert K. Merton melihat inefisiensi dalam konsep disfunction yaitu
deviasi fungsi birokrasi yang dibaca dalam fenomena yang dikenal sebagai goal
displacement, sebagai tindakan yang menempatkan caracara lebih penting daripada
tujuan. Hal ini mengakibatkan terjadinya formalisme organisasi yang mendewakan
aturan di atas segalanya, yang tercermin dalam rigiditas dan ketidakmampuan
organisasi membuat inovasi yang berakibat pada kecenderungan organizational break
down.
3. Birokrasi Sebagai Kekuasaan yang Dijalankan oleh Pejabat
Terminologi ini bersumber dari konsep lahirnya birokrasi yang dikemukan oleh De
Gournay. Menurutnya, birokrasi merupakan cabang keempat
dari kekuasaan
(eksekutif, legislatif dan yudikatif), yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat.
W.R. Sharp (Pandie dan Kuahaty; 2000) menyebut birokrasi sebagai pelaksana
kekuasaan oleh para administrator yang professional. Dalam defenisi defenisi di
atas, terkandung maksud untuk menguraikan bahwa birokrasi menjadi bentuk
kekuasaan yang berasal dari golongan pejabat yang dapat disejajarkan dengan
aristokrasi (kekuasaan oleh bangsawan) dan demokrasi (kekuasaan yang berasal dari
rakyat)
4. Birokrasi Sebagai Administrasi Negara
Birokrasi dalam pengertian umum, selalu sinonim dengan konsep administrasi negara
yang oleh Stillman II (1992) mempunyai beberapa pengertian :
the executive branch of government (cabang pemerintahan eksekutif)
the formulation and implementation of public policies (perumusan dan
implementasi kebijakan publik)
12
13
14
15
16
makin tinggi dari kelompok aktivis politik dan meningkatnya harapan masyarakat
terhadap pemerintah. Selanjutnya seiring dengan perkembangan masyarakat
modern, ekspansi peranan pemerintah dalam ekonomi dan masyarakat makin
kompleks dalam bentuk government overload atau big government.
b. The Technocratic View
Anti tesis pandangan pluralisme diekspresikan oleh aliran pemikiran teknokratik
(the technocratic school of thought). Aliran pemikiran ini muncul di Perancis
sebagai fenomena dalam sistem politik dimana teknokrat mempunyai pengaruh
yang menentukan dalam administrasi (birokrasi) dan ekonomi. Teknokratik adalah
kelompok pemikir yang terhimpun dalam birokrasi guna menopang efektivitas
sistem politik. Etzioni-Halevi (1983), mengidentifikasi teknokratik-birokratik
dalam beberapa indikator :
1. Peningkatan intervensi pemerintah;
2. Peningkatan kompleksitas tugas-tugas pemerintah;
3. Ekspertasi yaitu kebutuhan kelompok ahli yang mempunyai ekspert yang
berpengetahuan;
4. Information. Untuk membuat keputusan politik, setiap pemimpin politik
membutuhkan informasi yang akurat. Tiap unit birokrasi harus mampu
memanipulasi informasi untuk mempengaruhi keputusan;
5. Time and number sebagai alat kontrol dalam birokrasi.
17
d. Marxist View
Dalam bukunya Manifesto of the Communist Party (1969), Marx bersama Engels
menegaskan secara keras bahwa eksekutif negara moderen adalah komite untuk
mengelola kepentingan dari kelas berjuis. Menurut teori Marxits, Negara
bekerja atas tiga pertimbangan : pertama, orang-orang yang berada dalam pospos komando negara cendrung untuk menjadi kelas dominan atau cendrung
memperoleh privilege yang memadai untuk menguasai dan memberi warna
terhadap hubungan-hubungan sosial, pendidikan dan cara panjang. Kelas ini
membentuk opini publik dalam hegemoni kekuasaan.
Kedua, kelas kapitalis yaitu mereka yang mempunyai kekuatan ekonomi, menjadi
kelompok penekan yang dominan dalam masyarakat kapitaslis, dan pemerintah
berada dalam tekanan kelas kapitalis. Ketiga, tindakan-tindakan negara dalam
sistem produksi kapitalis, secara struktural tunduk pada rasionalitas kapitalis
(meskipun secara terbatas). Aparatur negara (birokrasi) berkewajiban
mempromosikan kepentingan-kepentingan kelas kapitalis karena melalui cara
demikian birokrasi dapat mengambil keuntungan rente dan sekaligus mengamakan
kekuasaanya. Birokrasi secara mendasar menjadi tulang punggung negara untuk
mempromosikan kelas penguasa, dan otonom dalam kepentingannya. Pertumbuhan
birokrasi adalah signifikan dengan kelas penguasa sehingga ada kecendrungan
yang kuat mempertahankan status qou.
18
19
menjadi suatu kelas sosial dan mereka mempunyai kesempatan untuk melestarikan
posisi sosial mereka, akhirnya kepriyayiannnya ini juga menjadi suatu hal yang turun
temurun sepertinya halnya abdi dalem.
3. Birokrasi Indonesia Kontemporer
Dalam memahami perilaku birokrasi di Indonesia, selain dengan menggunakan
pendekatan kultural seperti yang dijelaskan di atas, dapat juga digunakan
pendekatan lain yaitu model bureaucratic polity (masyarakat politik birokratik).
Usman (1998) menjelaskan bahwa permasalahan yang paling penting di Indonesia
pada masa orde baru adalah terjadinya apa yang lazimnya disebut politisasi birokrasi
publik. Kondisi ini pada awalnya dimaksudkan untuk meredakan konflikkonflik
internal birokrasi (tinggalan orde lama), tetapi dalam perkembanganya justru
menciptakan bentuk pelayanan yang tidak adil dan berkembangnya birokrasi
partisipan. Para birokrasi sangat sulit menolak keinginan rezim politik yang berkuasa.
Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam perspektif sosiologi, ada dua implikasi dari
politisasi birokrasi tersebut. Pertama, posisi birokrasi menjadi sangat marginal dan
tidak memiliki bargaining power; kedua, pelembagaan hubungan kekeluargaan pada
proses promosi dalam organisasi publik.
Emmerson dan Wilner (Hariandja,1999) menjelaskan bahwa nilainilai tradisional
secara subtansial terus berlanjut, meskipun dalam berbagai segi memperlihatkan
ekspresi baru. Hal ini dapat diamati bagaimana sampai saat ini posisi dan status
sosial masih berkaitan erat dengan hirarki birokrasi seperti bagaimana pegawai
negeri sipil diorganisir dalam organisasi tunggal yang posisi kepemimpinannya
diterapkan sesuai dengan tingkat jabatan dalam birokrasi.
D. Pembaruan Birokrasi
Wajah birokrasi Indonesia penuh dengan
cacat akibat deviasi-deviasi yang
terpelihara yang memunculkan penyakit atau patologi birokrai. Secara teoritik
Merton menyebut gejala ini sebagai dysfunction dan yang lainnya merumuskannya
sebagai bureau pathology. Ada banyak cara yang ditawarkan untuk mengreformasi
birokrasi. Patologi birokrasi Indonesia pada umumnya disebabkan oleh beberapa hal
(Siagian,1994) :
1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manejerial para pejabat di
lingkungan birokrasi;
2. Patologi yang disebabkan karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan
keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional;
3. Patologi yang timbul karena tindakan para anggota birokrasi yang melanggar
norma-norma hukum dan peraturan perundangan yang berlaku;
20
21
6.
7.
8.
9.
10.
Lebih lanjut Osborne dan Plastrik (2000) menegaskan pentingnya pemahaman yang
luas terhadap makna pembaharuan birokrasi tersebut sehingga tidak menjadi tidak
tepat sasaran. Pembaruan oleh keduanya didefenisikan sebagai tranformasi sistem
dan organisasi pemerintah secara fundamental guna menciptakan peningkatan
dramatis dalam efektivitas, efisiensi dan kemampuan mereka untuk melakukan
inovasi. Transformasi ini dicapai dengan mengubah tujuan, sistem insentif,
pertanggungjawaban, struktur kekuasaan, dan budaya sistem dan organisasi
pemerintah. Pembaharuan adalah menciptakan organisasi dan sistem pemerintah
yang terus-menerus berinovasi, yang secara kontinu memperbaiki kualitas mereka,
tanpa mendapat tekanan dari pihak luar. Pembaharuan adalah penciptaan sektor
pemerintah yang mempunyai dorongan dari dalam untuk melakukan perbaikan yang
oleh sebagaian orang disebut sistem pembaruan diri.
Hal menarik yang ditawarkan oleh Osborne dan Plastrik adalah mencoba membedah
sumber permasalahan pada birokrasi yang disebut dengan melihat kembali kode
genetika dari birokrasi. Mengambil pengandaian dari dunia pertanian, dijelaskan
bahwa semua organisme dibentukan oleh DNA yaitu instruksi berkode yang
menentukan siapa dan apa mereka. Dengan mengubah DNA suatu organisme maka
kemampauan dan prilaku baru akan muncul pula. Hal yang sama dianalogikan juga
pada sistem pemerintahan. Mereka bergerak sangat lamban dan birokratis pada
dasarnya karena mereka dirancang untuk demikian.
Dalam sistuasi demikian, solusi yang ditawarkan adalah rekayasa genetika atau
mengubah DNA dari sistem tersebut. Disimpulkan bahwa bagaian bagian paling
fundamental dari birokrasi pada umumnya menyangkut hal hal sebagai berikut :
1. Tujuan Sistem
Bagian kritis pertama adalah bagaimana menentukan tujuan sistem organisasi
pemerintah. Jika suatu organisasi tidak jelas tujuannnya atau mempunyai tujuan
ganda dan saling bertentangan maka organisasi tersebut tidak bisa mencapai kinerja
yang baik.
Strategi memperjelas tujuan disebut sebagai strategi inti karena berkaitan dengan
fungsi inti pemerintahan: fungsi mengarahkan. Strategi ini menghapus fungsi fungsi
22
yang tidak lagi menjalankan tujuan pemerintah yang sebenarnya, fungsi yang lebih
baik jika dikerjakan oleh sektor swasta atau tingkat pemerintahan yang lain.
Strategi ini memisahkan fungsi mengarahkan dan fungsi melaksanakan, sehingga tiap
organisasi dapat memusatkan pada satu tujuan dan meningkatkan kemampuan
pemerintah untuk mengarahkan dengan menciptakan mekanisme yang bisa
mengdefenisikan tujuan dan strategi.
2. Insentif
Bagian penting kedua dari DNA sistem pemerintah adalah DNA yang menentukan
sistem insentif pemerintah. DNA birokratis memberi insentif yang kuat kepada
pegawai untuk taat aturan dan tunduk. Inovasi hanya akan membawa kesulitan,
status qou terus-menerus mendatangkan hadiah. Pegawai dibayar sama tanpa
memandang hasil. Dan sebagaian besar organisasi adalah monopoli atau mendekati
monopoli yang diisolasi dari kegagalan mereka.
3. Pertanggungjawaban
Hal ini berkaiatan dengan kepada siapa seharusnya organisasi pemerintah
bertanggungjawab, apa yang harus dipertanggungjawabkan. Sebagian besar entitas
pemerintah bertanggungjawab kepada pejabat terpilih yang membuat entitas
tersebut. Karena itu pejabat ditekan terus-menerus untuk menjawab tuntutan
kelompokkelompok kepentingan, mereka lebih sering peduli terhadap penggunaan
sumber daya pemerintah daripada terhadap hasil-hasil yang mereka peroleh.
4. Kekuasaan
Dalam sistem birokrasi, sebagian besar kekuasaan tetap berada di puncak hirarki.
Dan biasanya para pejabat mempertahan kekuasaan sebanyak mungkin di tangannya.
Para manejer lini mempunyai kekuasaan yang terbatas dan kekeluasaan mereka
dihambat oleh instruksi anggaran yang rinci, aturan kepegawaian, sistem pengadaan,
pratekpratek auditing dan sebagainya. Pegawai hampir tidak memiliki kekuasaan
untuk mengambil keputusan. Akibatnya, organisasi-organisasi pemerintah lebih
tanggap pada peraturan baru daripada kepada perubahan situasi atau kebutuhan
pelanggan.
5. Budaya
Akhirnya, bagian kritis dari DNA sistem pemerintah adalah DNA yang menentukan
budaya organisasi pemerintah yaitu menyangkut nilai-nilai, norma, sikap dan harapan
pegawai. Budaya sangat dipengaruhi oleh bagian DNA lainnya baik itu tujuan, sistem
insentif, sistem pertanggungjawaban dan struktur kekuasaannya. Ubahlah unsur
23
unsur ini maka budaya akan berubah. Tetapi budaya tidak selalu berubah persis
seperti apa yang diharapkan para pemimpinnnya. Kadang-kadang budaya akan
memperkeras resistensi. Seringkali budaya akan berubah lamban sekali dalam
memuaskan pelanggan dan pembuat kebijakan.
Sistem birokrasi menggunakan spesifikasi yang rinci, unit-unit fungsional dan uraian
pekerjaan untuk membentuk hal-hal yang harus dikerjakan pegawai. Spesifikasi ini
membuat inisiatif menjadi resiko. Apabila pegawai terbiasa dengan kondisi ini maka
mereka akan menjadi pembawa budaya ini. Mereka menjadi reaktif, menggantungkan
diri, takut mengmbil inisiatif. Dengan cara demikian, DNA birokrasi menciptakan
budaya takut, menyalahkan dan sikap defensif.
24
3
METODE PENELITIAN
A. Variabel Penelitian
1. Determinan Struktural Birokrasi
1.1. Sistem Konsekuensi
Pola kompetisi
Pola pengukuran kinerja
Pola insentif
1.2. Sistem pertanggungjawaban
Mekanisme pertanggungjawaban organisasi
Isi pertanggungjawaban
Akses masyarakat
1.3. Struktur Kekuasaan
Pola pengambilan keputusan
Pola pengawasan dan pengendalian
2. Determinan Budaya Patrimonial
2.1. Budaya Organisasi
Pola pola prilaku
Nilai nilai yang dianut
2.2.
Pola Promosi
Hubungan kekeluargaan
Hubungan etnik
Hubungan politik
2.3.
Polarisasi dalam birokrasi
Klik etnik
Klik politik
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Birokrasi Pemerintahan Kabupaten Ngada Propinsi Nusa
Tenggara Timur yang dilakukan sejak bulan Februari sampai Maret 2005.
25
1
2
3
Dinas
Badan
Bagian Sekretariat
Jumlah
Eselon
II
10
6
3
19
Komponen Responden
Eselon
Eselon
Non Eselon
III
IV
20
30
40
20
30
40
11
37
40
51
97
120
26
27
Tabel 1
Keadaan Penduduk Kabupaten Ngada
Keadaan Tahun 2002
No
Kecamatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Jumlah
Penduduk
Aimere
19.673
Ngada Bawa
19.611
Golewa
30.401
Mauponggo
27.321
Nangaroro
19.028
Boawae
29.465
Bajawa
16.785
Riung
19.737
Aesesa
33.482
Soa
14.047
Wolowae
4.470
Jere Buu
Keo Tengah
Riung Barat
Jumlah
234.020
Sumber : Ngada Dalam Angka, 2002
Luas
Wilayah
(Km2)
234,76
44,46
250,72
141,89
264,27
325,42
256,22
683,00
503,29
151,76
182,09
Kepadatan
Penduduk/Km2
Jumlah
Desa/Kel
84
441
121
193
72
91
66
29
67
93
25
3.037,88
77
11
9
20
19
12
20
12
10
23
10
5
6
11
5
173
Gambaran mengenai komposisi penduduk yang bekerja menunjukan pada tahun 2001
sebagian besar penduduk yang bekerja memiliki lapangan usaha di sektor pertanian
101.446 orang atau 86.82 persen. Dilihat dari status pekerjaan utamanya, sebanyak
7.773 atau 6,65 persen penduduk bekerja sebagai buruh. Hal yang menarik adalah
jumlah penduduk yang bekerja dengan status pekerja keluarga mencapai sebanyak
60.682 orang atau 51.93 persen dari penduduk yang bekerja. Sebagaian besar
penduduk bekerja dengan jam kerja antara 25-34 jam dan 35-44 jam kerja
seminggu. Sekitar 42.466 orang dari 116.853 orang yang bekerja atau 36.34 persen
berkerja antara 25-34 jam per minggu dan 28.23 persen bekerja antara 25-34 jam
per minggu.
Rata-rata anak yang pernah dilahirkan menurut Sensus Penduduk 2000 dan Susenas
2001 terlihat bahwa secara keseluruhan rata-rata yang dilahirkan oleh wanita umur
spesifik 45-49 tahun menurun dari 4.23 persen pada tahun 2000 menjadi 4.17
persen pada tahun 2001. Sedangkan angka kematian bayi di Kabupaten Ngada pada
periode 1977-1987 telah menurun cukup besar. Pada tahun 1987 angka kematian bayi
adalah 72 per 1000 kelahiran. Oleh karena itu, angka harapan hidup pada periode ini
menjadi meningkat dari 47,9 tahun pada tahun 1977 menjadi 59,5 tahun 1987.
28
Menyangkut mata pencararian, menurut data Susenas 2002, sebanyak 124.461 orang
menpunyai pekerjaan, sedangkan jumlah usia produktif (usia 15-50 tahun) tercatat
mencapai 109.130 jiwa atau 47.75% dari total penduduk Kabupaten Ngada.
Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sebanyak 15.331 penduduk
di luar usia produktif sudah mempunyai pekerjaan, sehingga bisa diartikan terdapat
sebagian penduduk yang seharusnya menuntut ilmu atau terdapat sebagain penduduk
yang seharusnya beristirahat atau pensiun ternyata masih melaksanakan aktivitas
seperti biasa untuk mencari nafkah yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2
Keadaan Ketenagakerjaan Penduduk Kabupaten Ngada
Tahun 2002
No
1
Status Pekerjaan
Angkatan Kerja
a. Bekerja
b. Mencari pekerjaan
2
Bukan Angkatan Kerja
a. Sekolah
b. Lainnya
c. TT
Sumber : Ngada Dalam Angka,2002
Jumlah
125.447
Persen
124.461
806
99.36
0,64
8.120
9.965
1
44,90
55,10
0.01
18.086
29
Tabel 3
Keadaan Penduduk Menurut Lapangan Usaha Di Kabupaten Ngada
Tahun 2002
No
Lapangan Usaha
Jumlah
Persen
1
Pertanian Tanaman Pangan
96.345
77,30
2
Perkebunan
8.950
7.18
3
Jasa
7.853
6.30
4
Industri
3.467
2.78
5
Perdangan
2.886
2.32
6
Perikanan
1.302
1.04
7
Peternakan
1.227
0.98
8
Lainnya
1.016
0.82
9
Pertanian lainnya
972
0.78
10
Angkutan
614
0.49
11
TT
9
0.01
Jumlah
124.641
100.00
Sumber : Ngada Dalam Angka, 2002
Berikutnya menyangkut keadaan tingkat pendidikan penduduk, berdasarkan hasil
publikasi BPS tahun 1996 dan tahun 1999 diperoleh gambaran sebagai berikut :
Angka melek huruf meningkat dari 86,4 persen menjadi 92,3 persen
Rata-rata lama sekolah meningkat dari 5.7 persen menjadi 6.3 persen
Angka buta huruf usia dewasa 7.7 persen
Angka partisipasi sekolah usia SD mencapai 95 persen
Angka partisipasi usia sekolah SLTP mencapai 69.6 persen
Angka partisipasi usia sekolah SLTA mencapai 30.3 persen
Angka partisipasi sekolah usia PT mencapai 3.1 persen
Angka putus sekolah usia SD dan SLTP hanya mencapai 3.7 persen
Angka putus sekolah usia SLTA hanya mencapai 28.3 persen
Angka putus sekolah usia PT hanya mencapai 26.8 persen
Menurut hasil SUSENAS 2001, terkait angka butu huruf penduduk Kabupaten
Ngada, nampak bahwa penduduk berumur 10 tahun ke atas yang buta huruf pada
tahun 2001 tercatat 14.443 orang (8.60 persen) dimana penduduk perempuan
memiliki jumlah hampir dua kali lebih besar dibandingkan penduduk laki-laki.
Pada tahun 2001 banyaknya penduduk berumur 10 tahun ke atas yang tidak atau
belum pernah sekolah, masih sekolah dann tidak sekolah lagi masing-masing 12.400
orang (7,38 persen) , 26.580 orang (15.83 persen) dan 128.952 (76.79 persen).
30
Selanjutnya, gambaran mengenai jumlah sekolah, guru dan murid serta rasio
guru/sekolah dan murid/sekolah dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4
Data Jumlah Sekolah, Guru dan Murid Di Kabupaten Ngada
Tahun 2002
N
o
1
2
3
4
Jenjang
Jumlah
Sekolah Guru
SD
274
1.796
SLTP
47
593
SMU Umum
11
254
SMU Kejuruan 3
87
a. STM
2
67
b. SMEA
1
20
Sumber : Ngada Dalam Angka,2002
Murid
34.983
8.874
3.516
1.525
1.212
313
Rataan
Guru/Sekolah
6.6
12.6
23.1
26.8
33.5
20
Rataan
Murid/Sekolah
127.7
188.8
319.6
459.5
606.0
313.0
31
Tabel 5
Gambaran Umum PDRB Kabupaten Ngada
Keadaan Tahun 2000
No
1
Lapangan Usaha
Pertanian
a. Tanaman Bahan Makanan
b. Tanaman Perkebunan Rakyat
c. Peternakan dan hasilnya
d. Kehutanan
e. Perikanan
2
Pertambangan dan Penggalian
3
Industri Pengolahan
a. Migas
b. Non Migas
4
Listrik dan Air Bersih
a. Listrik
b. Air bersih
5
Bangunan/konstruksi
6
Perdagangan
a. Perdagangan besar dan eceran
b. Restoran dan rumah makan
c. Hotel
7
Pengangkutan dan komunikasi
a. Angkutan
- Angkutan jalan raya
- Angkutan laut
- Angkutan udara
- Jasa angkutan
b. Komunikasi
8
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahan
a. Bank
b. Lembaga keuangan nirlaba
c. Sewa bangunan
d. Jasa Perusahaan
9
Jasa-jasa
a. Pemerintahan Umum
b. Swasta
- Sosial kemasyarakatan
- Hiburan dan rekreasi
- Perorangan
Jumlah
Sumber : Ngada Dalam Angka,2002
Jumlah
(Ribuan Rp)
183.960.893
110.100.748
33.876.321
28.909.808
1.990.904
9.083.112
4.578.108
4.578.108
8.200.973
2.719.148
794.234
1.924.914
32.025.550
32.039.460
30.834.979
925.712
278.769
18.469.430
17.094.217
15.671018
528.775
836.156
1.375.213
13.079.283
4.749.100
4.739.512
3.521.200
69.471
58.408.564
53.730.921
4.677.643
2.609.336
76.798
1.991.509
353.481.409
32
Menyangkut tingkat kemiskinan penduduk, pada tahun 1996 jumlah penduduk yang
hidup di bawah garis kemiskinan diperkirakan mencapai 23.952 orang atau 11,27
persen dari seluruh Penduduk Kabupaten Ngada. Akibat krisis ekonomi yang terus
berkelanjutan, sampai dengan Februari tahun 1999, jumlah penduduk miskin
diperkirakan telah menjadi 42.933 orang atau 19,44 persen. Dibandingkan dengan
tahun 1996 jumlah penduduk miskin tersebut mengalami peningkatan sebesar 79.25
persen. Selama periode 1996-1999, garis kemiskinan meningkat 210,62 persen. Garis
kemiskinan ini naik dikarenakan naiknya harga-harga pada pertengahan tahun 1997.
33
5
DETERMINAN STRUKTURAL DAN KULTURAL PADA
BIROKRASI PEMERINTAHAN KABUPATEN NGADA
A DETERMINAN STRUKTURAL BIROKRASI
1. Sistem Konsekuensi
1.1
Pola Kompetisi
34
dapat lebih fleksibel sesuai dengan kebutuhan organisasi. Struktur ini dianggap
bukan sebagai pemisahan tugas tetapi hanya pembagaian tugas sehingga antar bagian
dapat saling berhubungan sehingga ada hubungan horisontal antar bagian sehingga
semua dapat saling memahami tugas dan fungsi bagian lain.
Manfaat kompetisi yang fair tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Kompetisi
dalam olah raga dan bisnis, sebagai contoh, yang telah hadir ratusan tahun silam,
memungkinkan seseorang atlit/businessman tidak ragu-ragu melakukan investasi
yang besar demi suatu keuntungan di masa yang akan datang. Kompetisi
memungkinkan para orangtua mengirim anak-anak mereka pergi berlatih/mencari
ilmu hingga ke negeri seberang, menghabiskan waktu berjam-jam berlatih dan
belajar tanpa lelah dan putus asa. Prinsip kompetisi: the best is the winner,
merangsang mereka untuk menemukan cara-cara terbaik, efisien dan efektif dalam
mengelola diri dan/atau usaha mereka agar mereka dapat menawarkan sesuatu yang
unggul, murah, ramah dan berkualitas. Sementara itu pengusaha yang tidak efisien
akan menjual barang/jasa yang mahal yang pada akhirnya akan gugur dalam proses
kompetisi.
Kenyataan inilah yang harusnya menginspirasi dan meransang para pemimpin untuk
mereformasi sektor publik. Kebanyakan para calon pemimpin, sebagai contoh,
biasanya berjanji untuk mewujudkan keadaan yang ideal, memberantas KKN,
memberantas kemiskinan, mereformasi sektor publik, dan lain-lain, tetapi sangat
terbatas pernyataan tentang kebijakan yang akan diambil. Keadaan-keadaan ideal di
atas merupakan tujuan kebijakan, tetapi tentu saja hal-hal ini tidak terwujud jika
tidak ada suatu penjelasan tentang kebijakan yang akan diambil dan bagaimana
merealisasikannya.
Pada sektor swasta, kompetisi merupakan jiwa penggerak utama. Kompetisi
memungkinkan penunjukkan karyawan yang terbaik dalam mewujudkan tujuan
organisasi. Demikian juga seharusnya pada sektor publik. Kenyataan bahwa pada
tingkat yang lebih tinggi dalam hirarki birokrasi, jabatan yang tersedia semakin
berkurang, harusnya dapat mendorong para pemimpin untuk bisa mewujudkan suatu
iklim kompetisi dalam pengisian jabatan ini. Ke depan kemungkinan keterlibatan pihak
luar dalam mengisi jabatan-jabatan pada sektor publik akan semakin terbuka,
sehingga apabila calon-calon internal kurang memiliki kompetisi maka mereka tidak
akan bisa bersaing dengan calon eksternal yang umumnya memiliki kemampuan lebih.
Praktek promosi otomatis yang selama ini berlangsung dalam sektor publik yang
didasarkan pada senioritas, sangat berbeda dengan penciptaan suatu budaya
kompetisi. Pada praktek promosi otomatis, seorang karyawan memiliki insentif yang
sangat terbatas untuk bekerja lebih dan berprestasi lebih. Promosi otomatis ini
mematikan kompetisi. Yang terjadi selama ini adalah sepanjang tidak melakukan
35
36
Ketiga, pelamar juga sebenarnya bisa dari luar. Sama halnya seperti yang diperoleh
dari perputaran antarunit, maka masuknya pihak luar, terutama dari sektor swasta,
akan membawa manfaat yang luar biasa.
Keempat, dalam rangka penilaian kemampuan seorang pelamar, maka praktek-praktek
yang selama ini dilakukan dalam menjaring para pejabat publik politik dapat diadopsi.
Dengan suatu proyek ujicoba/percontohan, beberapa posisi yang strategis dapat
dibuka untuk setiap pegawai untuk melamar dengan memenuhi persyaratan
administratif tertentu dan bahkan suatu forum kompetisi untuk mengetahui apa
yang hendak mereka lakukan dan (visi dan misi) kemana suatu organisasi hendak
dibawa dapat diadakan agar publik secara transparan dapat mengetahui kapasitas
seseorang pejabat birokrat yang akan melayani mereka. Suatu tim perlu dibentuk
untuk mengelola pendekatan dan forum semacam ini.
Kompetisi dalam alokasi sumber daya kepada badan/kantor/dinas/bagian pada
pemerintah daerah juga merupakan suatu praktek yang telah lama diadopsi di
negara-negara barat. Dengan penekanan pada efisiensi, efektifitas dan
produktifitas maka mereka yang mampu yang memiliki kompetensilah yang umumnya
memperoleh lebih banyak resources.
Dalam prakteknya pada pemerintah daerah, keberadaan suatu badan, dengan tugas
pokok dan fungsi yang jelas tidaklah selamanya menjadi ukuran/standar alokasi
resources. New Zealand melakukan hal ini melalui prinsip purchaser/provider split
(pemisahan antara penjual dan pembeli) dimana setiap organisasi, termasuk di
dalamnya sektor swasta dan lembaga swadaya masyarakat bisa berpatisipasi dalam
pelaksanaan suatu program atau proyek tertentu. Kondisi yang tercipta adalah
terwujudnya suasana kompetisi antarunit-unit yang ada maupun antarunit
pemerintah dengan swasta. Mereka diberi kebebasan untuk mengajukan proposal
untuk perolehan dana guna memecahkan suatu persoalan tertentu yang masih
berkaitan. Sehingga yang terjadi adalah suatu badan, sebagai contoh Badan
Pemberdayaan Masyarakat Desa, yang selama ini memfokuskan diri pada upaya
pengentasan kemiskinan, bisa jadi tidak memperoleh alokasi dana yang cukup oleh
karena uang tersebut telah direbut oleh unit lain (Haning 2004).
Hal ini sebenarnya juga telah diadopsi oleh beberapa pemerintah daerah, seperti
yang terlihat dalam pengadopsian sistem anggaran kinerja. Dalam anggaran ini,
penekanannya bukan hanya pada pengelolaan inputs, tetapi juga pada processes dan
outputs. Outcomes sendiri tentu agak sulit untuk diukur atau menjadi tanggungjawab satu unit organisasi, mengingat tidak menentunya batas waktu dan pengaruh
faktor lain terhadap delivery of the outputs. Pengentasan kemiskinan, sebagai
contoh, hanya akan terwujud selama suatu jangka waktu panjang terntentu dan
sudah pasti bukan hanya merupkan kontribusi satu unit pemerintah.
37
Demikian pula dengan pengenaan sanksi yang bertitiktolak dari outputs, sebenarnya
sangat sulit dan dilematis. Kesulitannya terletak pada kenyataan bahwa suatu output
bisa jadi merupakan hasil kerja keroyokan beberapa unit, dan bukan hanya satu
individual unit. Sementara itu hal dilematisnya terletak pada kenyataan juga bahwa
pengurangan alokasi resources kepada suatu unit, sebagai contoh, sebagai akibat
kegagalan unit tersebut dalam memenuhi target yang ditetapkan bisa berdampak
kepada keseluruhan cakupan pelayanan yang merupakan tanggung-jawab unit itu.
Untuk itu, solusi yang dipakai adalah dengan mendorong kehadiran lembaga
(pemerintah, swasta maupun civil society) untuk berkompetisi dalam mengambilalih
pelayanan yang vakum tadi. Solusi kedua adalah dengan mengkombinasikan prinsip
punishment pengurangan alokasi resources dengan pengenaan sanksi pribadi kepada
pimpinan unit tersebut.
Kesemua best practices ini pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan suatu
kondisi yang memungkinkan para pegawai untuk bekerja secara maksimal, tanpa
paksaan tetapi dengan motivasi yang tinggi, berlomba-lomba membekali diri dan
membangun organisasi untuk menghasilkan sesuatu yang tidak seperti biasa dengan
berbekal sesuatu yang hanya biasa. Sehingga prinsip efiensiensi, prinsip the right
man on the right place, dan prinsip the best deserves the best (yang terbaik
memperoleh yang terbaik) dapat terwujud (Haning 2004).
1.2
Setiap organisasi dibentuk atau didirikan untuk mencapai suatu tujuan yang telah
ditetapkan. Untuk mengetahui sejauhmana tujuan organisasi telah tercapai perlu
dilakukan penilaian melalui evaluasi secara terus menerus
terhadap kinerja
organisasi. Hal ini penting dilakukan, karena dengan melakukan penilaian terhadap
kinerja, oraganisasi dapat melakukan penilaian terhadap kinerja, perbaikan mutu.
Dengan demikian yang menjadi sasaran penilaian kinerja adalah tingkat keberhasilan
suatu organiasasi dalam kurung waktu tertentu.
Pengukuran kinerja menjadi suatu hal penting yang terabaikan oleh birokrasi
pemerintah dalam menjalankan keeksistensiannya sebagai pelayanan. Birokrasi
pemerintah tidak mengetahui secara pasti sudah sejauh mana mereka telah bekerja.
Penilaian kinerja adalah suatu kegiatan yang sangat penting yang dapat digunakan
sebagai ukuran keberhasilan dan dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan
perubahan atau pembaharuan secara terarah dan sistimatis.
Kondisi ini agak berbeda dengan organisasi bisnis yang mau dan dapat dengan mudah
mengukur kinerja yang dilihat dari tingkat keuntungannya, maka birokrasi publik
tidak memiliki standar atau tolok ukur kinerjanya. Hal ini menyebabkan agak sulit
38
masyarakat dapat mengetahui atau memiliki informasi yang lengkap tentang kinerja
birokrasi. Informasi mengenai kualitas kinerja birokrasi masih bersifat sporadis
yang tersebar dalam berita di koran-koran, diskusi dan sebagainya. Namun informasi
yang valid yang disediakan oleh pemerintah sebagai hasil pengukuran dengan standar
yang jelas memang harus diakui sampai saat ini belum ada.
L.W. Rue dan L.W. Byars (1980) mendefenisikan kinerja sebagai tingkat pencapaian
hasil (the degree of accomplishment). Atau dengan kata lain kinerja merupakan
tingkat pencapaian tujuan organisasi. Bagi pemerintah daerah yang mengemban
fungsi pemerintah yaitu pelayanan publik, penilaian kinerja sebenarnya memiliki arti
penting dalam menilai aspek kuantitas, kualitas, dan efisiensi pelayanan, motivasi
para birokrat pelaksana dan lain sebagainya. Tetapi persoalannya, apakah penilaian
yang dilakukan telah menggambarkan kinerja yang sebenarnya? Hal ini sangat
ditentukan oleh ketajaman dalam menentukan cakupan, cara dan indikatorindokator yang digunakan. Suatu penilaian yang menggunakan cakupan, cara dan
indikator yang sangat terbatas akan memberikan hasil yang terbatas pula.
Salim dan Woodward (dalam Agus Dwiyanto,dkk; 2002) melihat kinerja berdasarkan
pertimbangan ekonomi, efesiensi, efektifitas dan persamaan pelayanan. Aspek
ekonomi dalam kinerja diartikan sebagai strategi untuk menggunakan sumber daya
seminimal mungkin dalam proses penyelenggaraan kegiatan pelayanan publik.
Efisiensi kinerja pelayanan publik juga dilihat untuk menunjuk suatu kondisi
tercapainya perbandingan terbaik atau proporsional antara input pelayanan dan
output pelayanan. Demikian pula, aspek efektifitas kinerja pelayanan publik ialah
untuk melihat tercapainya pemenuhan tujuan atau target pelayanan yang telah
ditentukan. Prinsip keadilan dalam pemberian pelayanan publik juga dilihat sebagai
ukuran untuk menilai seberapa jauh suatu bentuk pelayanan telah memperhatikan
aspek-aspek keadilan dan membuat publik memiliki akses yang sama terhadap sistem
pelayanan yang ditawarkan.
Selama ini, penilaian secara sistimatik terhadap kinerja pemerintah daerah belum
menjadi sebuah tradisi. Akibatnya, seringkali muncul perdebatan yang tidak
terselesaikan ketika terjadi hasil penilaian yang berbeda antara pihak yang satu
dengan pihak yang lain. Oleh karena itu kemudian menjadi sangat sulit untuk
mengatakan apakah kinerja pemerintah daerah itu buruk atau baik, rendah atau
tinggi, menurun atau meningkat dan sebagainya.
Dalam birokrasi pemerintahan Kabupaten Ngada, mekanisme yang digunakan dalam
mengukur kinerja personil masih sebatas evaluasi berkala. Hal ini pun dilakukan
setiap tiga bulan, enam bulan dan akhir tahun untuk mengetahui kinerja staf. Isi
evaluasi adalah kegiatan-kegitan secara kongkrit dari setiap program. Hasil evaluasi
diukur dengan selesai atau tidaknya suatu pekerjaan. Selanjutnya ada juga DP3
39
40
41
akan dicatat dalam DP3 yang secara formal bisa menghambat kenaikan pangkatnya.
Namun pengukuran dan sistem konsekuensi ini dalam prateknya tidak efektif karena
cendrung bersifat subyektif yang disebabkan oleh tenggang rasa antara atasan dan
bawahan. Subyektifitas ini pada dasarnya juga disebabkan oleh tidak jelasnya ukuran
dari aspekaspek tersebut sehingga tidak cukup jelas mengukur kinerja staf yang
dapat dipertanggungjawabkan.
Ketiadaan sistem dan standar pengukuran kinerja dan pola konsekuensi terhadap
kinerja ini berimplikasi pada rendahnya etos kerja para birokrat yang terdorong
untuk berprestasi. Para birokrat hanya terdorong untuk bekerja apa adanya sesuai
aturan yang ada karena pada dasarnya orang yang berprestasi maupun tidak
diperlakukan sama terutama berkaitan dengan promosi, gaji, penghargaan dan
sebagainya.
Lalu apa kesulitan dalam menentukan indikator penilaian kinerja? Kesulitan pertama
adalah ketika kita mencoba tujuan dan misi pemerintah daerah serta sifat
organisasi yang multi dimensi. Satu kenyataan, sedikit di antara sekian banyak
organisasi pemerintah yang memiliki rumusan secara jelas mengenai visi, misi, tujuan
dan strategi pencapaiannya.
Kesulitan kedua, organisasi pelayanan publik seperti pemerintah memiliki
stakeholders yang jauh lebih banyak dan kompleks dibandingkan dengan organisasi
perusahaan swasta. Hal ini memungkinkan terjadinya kepentingan yang beraneka
macam dan dapat terbentur satu dengan yang lainnya. Akibatnya, ketika ditanya
mengenai indikator penilaian kinerja jawabannya juga berbeda. Pejabat birokrasi
seringkali menempatkan hasil yang dicapai dalam satu kurun waktu tertentu sebagai
ukuran, sementara masyarakat lebih cendrung mengedepankan kualitas pelayanan.
Kesulitan ketiga, orientasi pemerintah daerah adalah public sevice, walaupun
beberapa di antara perangkat yang dimiliki mengembangkan fungsi memperoleh
pemasukan sebagai pendapatan atau profit. Seperti dinas yang memungut retribusi
dan pajak daerah dan sebagainya. Oleh karena mengemban fungsi memperoleh
pemasukan dalam konteks pendapatan asli daerah dan sekaligus mengembangkan
fungsi pelayanan publik, indikator penilaian kinerja juga harus mencakup sisi penting
dari keduanya.
Kesulitan keempat, penilaian kinerja pemerintah daerah belum dianggap sebagai
kebutuhan yang mendesak oleh aparaturnya sendiri. Birokrasi menjadi tidak terbiasa
untuk mengukur kinerjanya. Mereka cenderung bekerja secara rutinitas tanpa
target yang hendak dicapai.
42
43
44
Tabel 7
Kepuasan Masyarakat Terhadap Kecepatan Waktu Pelayanan
Tingkat Kepuasaan
Dokumen
Kependudukan
N
%
1
5.88
Sangat
Tidak
Memuaskan
Tidak Memuaskan
3
17.64
Memuaskan
9
52.94
Sangat
4
23.52
Memuaskan
Jumlah
17
100
Sumber : Olahan Data Primer,2005
Jenis Pelayanan
Izin Usaha
Rumah Sakit
Umum
N
%
2
10
N
-
%
-
12
1
2
80
6.66
13.33
13
5
-
65
25
15
100
20
100
45
b. Prosedur Pelayanan
Tabel 8
Kepuasan Masyarakat Terhadap Prosedur Pelayanan
Tingkat Kepuasaan
Dokumen
Kependudukan
N
%
Sangat
Tidak
Memuaskan
Tidak Memuaskan
5
29.41
Memuaskan
9
52.94
Sangat
3
17.64
Memuaskan
Jumlah
17
100
Sumber : Olahan Data Primer,2005
Jenis Pelayanan
Izin Usaha
Rumah Sakit
Umum
N
%
11
3
1
73.33
20
6.66
1
17
5.55
94.44
15
100
18
100
Tabel 9
Kepuasan Masyarakat Terhadap Biaya Pelayanan
Tingkat Kepuasaan
Dokumen
Kependudukan
N
%
1
5.88
Sangat
Tidak
Memuaskan
Tidak Memuaskan
4
23.52
Memuaskan
11
64.70
Sangat Memuaskan
1
5.88
Jumlah
17
100
Sumber : Olahan Data Primer,2005
Jenis Pelayanan
Izin Usaha
4
11
26.66
73.33
15
100
2
15
1
18
11,11
83.33
5.55
100
46
Tabel 10
Kepuasan Masyarakat Terhadap Sikap Petugas Dalam Pemberian Pelayanan
Tingkat Kepuasaan
Dokumen
Kependudukan
N
%
1
5.88
Sangat
Tidak
Memuaskan
Tidak Memuaskan
7
41.17
Memuaskan
9
52.94
Sangat
Memuaskan
Jumlah
17
100
Sumber : Olahan Data Primer,2005
Jenis Pelayanan
Izin Usaha
N
2
%
13.33
7
6
46.66
40
12
5
1
66.66
27.77
5.55
15
100
18
100
Tabel di atas menunjukan bahwa pada umumnya responden menyatakan tidak puas
terhadap sikap aparat dalam memberikan pelayanan. Pada palayanan kesehatan di
RSU, responden pada umumnya mengeluhkan sikap para petugas kesehatan yang
cenderung tidak ramah, serta tidak tanggap terhadap keluhan pasien. Penilaian
serupa juga sama pada pelayanan izin usaha. Para petugas dinilai lambat dalam
mengurus permohonan yang diajukan oleh masyarakat dalam mengurus surat izin
usahanya.
47
e. Fasilitas Pelayanan
Tabel 11
Kepuasan Masyarakat Terhadap Fasilitas Pelayanan
Tingkat Kepuasaan
Dokumen
Kependudukan
N
%
Sangat
Tidak
Memuaskan
Tidak Memuaskan
13
76.47
Memuaskan
4
23.52
Sangat Memuaskan
Jumlah
17
100
Sumber : Olahan Data Primer,2005
Jenis Pelayanan
Izin Usaha
N
2
%
13.33
Rumah Sakit
Umum
N
%
1
5.55
7
5
1
15
46.66
33.33
6.66
100
10
5
2
18
55.55
27.77
11.11
100
48
Namun pada tabel 12 nampak bahwa walaupun pola pemberian insentif masih belum
berdasarkan prestasi, namun insentif yang diberikan dalam bentuk gaji yang
diberikan secara teratur dianggap sudah memuaskan bagi karyawan. Hal ini
menunjukan bahwa selain karena rendahnya iklim persaingan dalam menunjukan
prestasi yang belum baik sehingga karyawan belum terlalu peduli terhadap prestasi,
juga disebabkan oleh kecendrungan sikap karyawan yang sudah merasa puas dengan
tunjangan gaji yang walaupun dinilai kecil tetapi diberikan secara pasti.
Tabel 13
Tanggapan Karyawan Terhadap insentif Yang Diberikan
Klasifikasi
Frekuensi
Persentase
Sangat Tidak Memuaskan
5
5.31
Tidak Memuaskan
36
38.29
Memuaskan
50
53.19
Sangat Memuaskan
3
3.19
Jumlah
94
100
Sumber : Olahan Data Primer, 2005
Di sisi lain, ternyata para karyawan justru menunjukan sikap negatif tehadap jenis
insentif yang diberikan kepada lembaga atau dinas/instansi tempat ia bekerja. Pada
tabel 13 nampak sebagian besar responden menyatakan ketidakpuasan terhadap
insentif yang diberikan kepada lembaga. Diakui, selama ini memang belum ada suatu
49
standar insentif yang diberikan kepada lembaga yang berhasil. Insentif berkaitan
dengan alokasi anggaran khusus, perhatian khusus terhadap staf dalam lembaga
tersebut juga belum ada. Hal ini menimbulkan rendahnya etos kerja tim dan semua
karyawan hanya berorientasi pada kepentingan pribadi karyawan.
Tabel 14
Tanggapan Karyawan Terhadap Jenis insentif Yang
Diberikan Kepada Lembaga
Klasifikasi
Frekuensi
Persentase
Sangat Tidak Memuaskan
3
3.19
Tidak Memuaskan
66
70.21
Memuaskan
20
21.27
Sangat Memuaskan
5
5.31
Jumlah
94
100
Sumber : Olahan Data Primer,2005
Belum adanya suatu sistem pemberian insentif yang memadai baik kepada personal
maupun lembaga ini membawa implikasi terhadap rendahnya motivasi aparat
birokrasi untuk meningkatkan prestasi kerja. Mereka akan selalu beranggapan
bahwa tidak ada gunanya bekerja atau berprestasi lebih baik karena tidak ada
sesuatu yang mereka peroleh sebagai imbalan dari usaha itu.
50
Mengapa berharap saja tidak cukup? Ada beberapa hal yang perlu disadari.
Pertama, adalah naf kalau hanya berharap bahwa para birokrat selalu berpikir
tentang rakyat (government for the people). Dari tinjaun teoritis, Public Choice
Theory dengan jelas-jelas menunjukkan bahwa semua individu memiliki kepentingan;
vested interest. Sebagai manusia, baik politisi maupun birokrat memiliki
kecendrungan mengutamakan kepentingan diri, di atas kepentingan orang banyak dan
negara. Melalui pengemasan yang cantik dalam proyek-proyek besar atas nama
rakyat; pengentasan kemiskinan, beras miskin, bahkan sumbangan-sumbangan
terhadap masyarakat yang menderita akibat bencana alam, makluk-makluk biologis
ini memuaskan nafsu mereka. Semakin banyak terungkapnya kasus KKN akhir-akhir
ini memperlihatkan bahwa para pejabat publik tidak sungguh-sungguh peduli dengan
penderitaan rakyat.
Hal kedua adalah bahwa para birokrat yang stereotyped, red-tape, complicated,
slacked, merciless adalah juga mereka yang kuat, punya kuasa sekaligus experts.
Merekalah juga yang ikut menetukan formulasi kebijakan, melaksanakan dan
mengevaluasi. Para politisi yang mungkin suka meminta-minta adalah mereka yang
juga punya kuasa untuk mengatakan tidak atau ya kepada suatu kebijakan. Mereka
jugalah yang mengatakan bahwa di pundak kami terletak amanat rakyat. Para
businessmen yang memiliki resources, juga adalah mereka yang memiliki informasi
pasar dan akses input serta modal yang kuat. Mereka inilah yang memberi kontribusi
pajak yang besar. Sedangkan pemerintah lebih tinggi yang menentukan kebanyakan
framework kebijakan, keuangan, organisasi dan lain-lainya adalah juga yang memberi
penilaian terhadap laporan pertanggungjawaban KDH dan bahkan ikut menentukan
penunjukkan para pejabat eselon II. Demikian juga partai politik (Haning 2005).
Serangkain reformasi yang dilakukan terhadap pemerintah daerah ternyata belum
mampu menyentuh permasalahan inti. Mengembalikan government of the people, by
the people and for the people (Lincoln 1863). Lalu apa yang mesti dilakukan agar
birokrasi tetap sadar bahwa apapun perubahan yang telah terjadi, hanya rakyat yang
merupakan TUAN-nya?
Di sinilah sebenarnya peran akuntabilitas, walapun sangatlah kompleks dan sulit
untuk dimengerti (Mulgan 1997; Sinclair 1995). Akuntabilitas di sektor publik
melibatkan multi-hubungan, banyak tuan, banyak peranan dan tugas dengan tingkat
resiko, ketidakpastian yang bermacam-macam dan berbeda-beda dan bahkan
harapan-harapan yang saling bertentangan. Sehingga Barberis (1998:1) berpendapat
bahwa accountability is an old and tricky subject. Namun empat unsur yang
terkandung dalam pengertian akuntabilitas adalah: pemberian/penyedian informasi,
pemberian alasan/justifikasi, review dan revisi, dan pengenaan reward and
punishment (Caiden 1988:25).
51
Keempat unsur akuntabilitas ini ingin memastikan atau mengingatkan kepada semua
aktor bahwa: kekuasaan itu DARI, OLEH dan UNTUK rakyat. Apa artinya ini? Bahwa
rakyat tidak hanya berharap, tetapi dapat berbuat sesuatu. Sehingga menjadi
sangat penting untuk merancang instrument-instrument akuntabilitas antara lain:
adanya suatu prosedur pengaduan, publikasi informasi tentang kinerja unit-unit
pemerintah daerah (sebagai contoh di media, surat khabar, tempat umum, kantor
pemerintah), publikasi standar kinerja unit-unit pemerintah, survey kepuasan
pelanggan, penggunaan kelompok konsumen sebagai referensi, rencana pembangunan
partisipatif, tanggapan terhadap permohonan informasi, kode etik untuk PNS,
penilaian kinerja PNS, transparansi proses-proses dan dokumen, charter
warga/konsumen, undang-undang kebebasan informasi, undang-undang anti korupsi,
ombudsman, whistleblowing (Haning 2003).
External auditing adalah instrumen yang semestinya bisa juga dipakai oleh DPRD dan
rakyat. Dalam prakteknya di Indonesia, yang dimaksudkan dengan external auditing
adalah BPK, yang tidak memiliki hubungan akuntabilitas dengan DPRD. Sehingga
integritas dan independensinya sangatlah diragukan. DPRD juga tidak memiliki Komisi
Audit Parlement (KAP) yang ikut terlibat dalam manajemen internal maupun external
auditors (Haning 2005).
Tantangan yang paling utama dalam menerapkan intrumen akuntabilitas di atas
adalah bagaimana memastikan bahwa instrument-intrumen ini memperhatikan
peranan dan tanggungjawab birokrasi secara jelas; tujuan dan harapan akan kinerja
yang jelas; harapan kinerja yang seimbang dengan kemampuan, diikuti oleh legislasi
yang up-to-date, tidak terjadi pertentangan antara instrument-instrument yang ada.
Hal yang sering ditakutkan adalah bahwa keanekaragaman instrument dan TUAN
sering juga berarti keanekaragaman standar dan harapan sehingga memuaskan
harapan suatu instrumen atau TUAN tidak berarti memuaskan, bahkan
mengorbankan yang lain.
Sebagai framework untuk akuntabilitas, pemerintah daerah perlu menetapkan suatu
standar akuntabilitas daerah yang memungkinkan pemerintah dan rakyat bersamasama memahami hubungan akuntabilitas keduanya. Melalui beragam instrumen
akuntabilitas seperti yang diuaraikan di atas, rakyat dan pemerintah akan bisa
melihat keseluruhan kewajiban akuntabilitas suatu daerah sebagai suatu matriks
hubungan. Beberapa instrumen perlu ditetapkan oleh pemerintah pusat dan sebagian
dikembangkan oleh pemerintah daerah yang merefleksikan kebutuhan dan harapan
yang spesifik. Beberapa instrumen diarahkan kepada publik, DPRD atau pemerintah
pusat. Standar akuntabilitas ini akan merupakan suatu dokumen publik yang
memberi informasi kepada unit-unit pemerintah dan masyarakat akan keseluruhan
proses dan hubungan akuntabilitas di daerah dan bagaimana mereka harus
diimplementasikan.
52
53
54
Tabel 15
Laporan Akuntanilitas Kinerja (Lakip) Dinas Perhubungan Tahun 2003
Program
Uraian
Indikator
Kinerja
1.
Peningkatan
kualitas SDM
1. Bimbingan teknis
bagi
pengusaha
dan
pengemudi
angkutan
Input
Dana
2. Pembangunan
dan
pengembangan
Sarana
dan
Prasarana
Perhubungan
2.
Pembangunan
pelataran parkir di
Kecamatan boawae
Out put
Terlatihnya
pengusaha dan
pengemudi
angkutan
Out come
Meningkatnya
kualitas SDM
In put
Dana
Out put
Terbangunnya
pelataran parkir
Outcome
Terciptanya lalu
lintas
yang
tertib
Kegiatan
Satuan
Target
Realisasi
Rp
26.175.000
26.175.000
100
75
orang
75 orang
75 orang
100
82
75
91
Rp
199.230.000
53.455.8000
30
M2
1.500 M2
1.500M2
100
90
60
60
55
berbagai fungsi dan berdasarkan fungsi tersebut yang kemudian dijabarkan dalam
suatu besaran organisasi, termasuk perkiraan kebutuhan anggaran.
Ketersedian sumber daya baik itu personil maupun anggaran adalah satu faktor
penting yang harus diperhatikan dalam penyusunan besaran organisasi. Apabila
kemampuan sumberdaya masih terbatas, maka pemerintah perlu selektif dalam
penataan organisasinya. Penataan organisasi perangkat daerah juga hendaknya
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat di daerah dan kemampuan keuangan
daerah. Kebutuhan masyarakat di suatu daerah dapat dilihat dari dua segi, yaitu :
Kebutuhan pokok (basic needs) seperti pendidikan, kesehatan, air, listrik dan
sebagainya;
Pengembangan sektor unggulan (core competency) yaitu apa yang menjadi kekuatan
daerah seperti pertanian, pariwisata dan sebagainya yang berpotensi untuk
dikembangkan. Core competency ini pada hakekatnya berkaitan erat dengan
penyusunan visi dan misi daerah, karena itu penataan organisasi perangkat
daerah juga hendaknya diarahkan untuk mendukung pencapaian visi dan misi
daerah.
Struktrur birokrasi pemerintahan Kabupaten Ngada dibentuk berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 yang ditetapkan pada enam Peraturan
Daerah (Perda) yaitu Perda Nomor 2 tahun 2001 tentang Pembentukan Organisasi
dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Kabupaten Ngada; Perda Nomor 3 tahun 2001
tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat DPRD; Perda Nomor 4
tahun 2001 tentang Pembentukan Dinas-Dinas; Perda Nomor 5 tahun 2001 tentang
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah; Perda Nomor 6
tahun 2001 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Kecamatan;
Perda Nomor 7 tahun 2001 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintahan Kelurahan. Uraian struktur birokrasi pemerintahan Kabupaten Ngada
sebagai berikut :
1.
56
Dinas Kehutanan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Dinas Sosial
Dinas Informasi dan Komunikasi
57
Unit Kerja
Setda
BPMD
Badan Pengawas
Bappeda
Bapelda
Kesbang
Mawil Hansip
Dinas Perindag
Dinas Infokom
Dinas tenaga kerja
Dispenda
Dinas sosial
Dinas Kop dan UKM
Dinas kebudayaan dan pariwisata
Dinas Kehutanan
Dinas peternakan
Dinas pertanian
Dinas perikanan
Dinas perkebunan
Dinas perhubungan
Dinas Kimpraswil
Dispenduk
Dinas kesehatan
Dispemundora
RSUD
Sek. DPRD
BIPP
Kecamatan
SKB Aimere
Guru SLTA dan pegawai
Guru SLTP dan pegawai
Guru SDN/I dan pegawai
Yasukda
Total
Jumlah
Pegawai
317
23
33
31
17
18
8
23
40
10
53
23
30
22
55
35
36
33
56
24
87
14
297
298
72
19
51
275
14
107
355
1175
665
4336
1V
5
0
1
1
1
1
1
1
1
0
0
1
0
1
0
2
1
0
0
0
0
1
1
6
0
1
0
0
14
13
6
111
64
219
Golongan
III
129
23
27
22
12
13
4
18
25
10
19
11
22
11
12
11
19
20
26
12
29
8
112
206
27
7
4
121
9
79
278
648
456
2424
II
161
0
3
8
4
2
3
4
14
0
31
11
8
10
40
21
15
13
30
12
48
5
183
84
42
7
47
146
5
14
64
366
145
1572
I
22
0
2
1
0
2
0
0
0
0
3
0
0
0
3
1
1
0
0
0
10
0
1
2
34
4
0
8
0
1
7
50
9
121
Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Ngada Tahun anggaran 2001 yang
ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 19 Tahun 2001 diuraikan bahwa
jumlah penerimaan sebesar Rp.158.749.323.000 yang terdiri atas Pendapatan Asli
58
59
Tabel 17
Ringkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten Ngada Tahun Anggaran 2004
NO
Uraian
Anggaran
Sebelum
Perubahan
(Rp)
195.768.199.000,00
9.523.585.000,00
PENDAPATAN
Pendapatan
Asli
Daerah
Dana Perimbangan
177.153.509.000,00
Lain-lain
Pendapatan 9.091.105.000,00
Yang Sah
2
BELANJA
204.179.896.000,00
2.1
Belanja Aparatur
67.520.131.000,00
2.1.1. Belanja
Administrasi 53.623.113.000,00
Umum
2.1.
Belanja Operasi dan 10.555.911.000,00
Pemeliharaan
2.3.
Belanja Modal
3.341.107.000,00
3
BELANJA PUBLIK
136.659.765.000,00
3.1.
Belanja
Administrasi 57.732.548.000,00
Umum
3.2.
Belanja Operasi dan 28.338.826.000,00
Pemeliharaan
3.3.
Belanja Modal
30.819.762.000,00
3.4.
Belanja Bagi Hasil dan 17.011.388.000,00
Bantuan Keuangan
3.5.
Belanja Tak Tersangka 2.757.241.000,00
Sumber : Perubahan ABPD Kabupaten Ngada,2004
Anggaran
Setelah
Perubahan
(Rp)
200.814.168.000,00
11.434.137.000,00
Berlebih/Berkurang
(Rp)
5.045.969.000,00
1.0910.552.000,00
180.288.926.000,00
9.091.105.000,00
3.135.417.000,00
257.237.233.000,00
74.250.515.626,00
55.798.213.300,00
53.057.337.000,00
6.730.384.626,00
2.175.100.300,00
12.509.748.076,00
1.953.837.076,00
5.942.554.250,00
182.986.717.374,00
59.387.588.500,00
2.601.447.250,00
46.326.952.374,00
1.655.040.500,00
38.522.707.364,00
10.183.881.364,00
56.419.687.260,00
27.251.484.500,00
25.599.925.260,00
10.240.096.500,00
1.405.249.750,00
1.351.991.250,00
60
61
Tabel 18
Bidang Kewenangan, Skor dan rekomendasi Pembentukan Unit Organisasi
No
1
Bidang Kewenangan
Pertanian
Skor
664
2
3
4
5
847
952
862
772
Rekomendasi
Dapat dibentuk organisasi perangkat
daerah yang berdiri sendiri,
berbentuk kantor
Dapat dibentuk dinas atau badan
Dapat dibentuk dinas atau badan
Dapat dibentuk dinas atau badan
Dapat dibentuk dinas atau badan
832
472
6
7
badan
badan
badan
badan
badan
62
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Unit Kerja
Eselon
III
II
IV
Lama
Baru
Lama
Baru
Lama
Baru
Sekretariat daerah
a. Assisten Tata Praja
b. Asisten Ekbang
3
1
1
2
1
11
3
3
7
3
37
10
9
14
8
c. Assisten Administrasi
Sekretariat DPRD
Dinas
Dinas Pertanian Tanaman
Pangan
Dinas Perkebunan
1
1
17
1
1
1
12
1
5
3
74
5
4
3
60
5
18
7
245
16
8
7
120
10
16
15
10
1
1
1
1
5
4
5
5
17
15
10
10
1
1
1
1
4
4
5
5
15
20
10
10
12
10
Keterangan
63
11
12
13
14
15
16
17
18
19
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
Perdagangan
Dinas Pendaftaran
Penduduk
Dinas Tenaga Kerja
Dinas Koperasi dan UKM
4
5
4
4
4
4
5
5
5
12
10
15
14
10
14
13
11
10
10
10
1
1
1
1
1
1
1
1
12
13
6
1
5
1
33
7
25
5
101
19
51
10
Badan Pemberdayaan
Masyarakat Desa
Badan Koordinasi
Penanaman Modal Daerah
15
10
Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan
Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah
Badan Kesatuan Bangsa
dan Perlindungan
Masyarakat
Badan Kepegawaian
Daerah
Kantor
Kantor Pengolahan Data
Elektronik
Kantor Perpustakaan
Umum Daerah
Kantor Polisi Pamong
Praja
Kantor Catatan Sipil
11
10
22
10
19
10
15
Dalam menyingkapi persoalan ini, harus ada beberapa langkah penataan pegawai
negeri sipil yang dapat dilakukan :
1. Perlu dilakukan analisis jabatan dan analisis beban kerja pada setiap satuan
organisasi untuk menyusun peta jabatan, kompetensi jabatan, dan jumlah
64
65
Mekanisme transparansi yang menjamin akses publik kepada hasil pemeriksaan belum
ada. Pertanggungjawaban atas hasil pemeriksaan kepada publik belum dilakukan
secara baik dengan alasan etika pemerintahan dimana Banwas hanya bertugas
melaporkan berbagai hasil pemeriksaaan kepada bupati dan tidak dibuka secara
transparan kepada publik tetapi hanya dilaporkan secara politik kepada DPRD
menyangkut pencapaian hasil kinerja instansi pemerintah. Jadi DPRD hanya
mengetahui kondisi umum pencapaian kinerja bukan ditail menyangkut personal dan
tindak penyimpangannnya.
Selain itu tidak jelas standar yang dipakai bagi pemilahan kasus yang akan
dilanjutkan ke proses hukum atau sekadar menjadi bahan evaluasi oleh bupati.
Aspek-aspek yang diawasi Banwas :
- tugas dan fungsi organisasi
- pengelolaan keuangan
- pengelolaan barang
Standar yang dipakai dalam pengawasan atau pemeriksaan yaitu hanya mengacu
kepada peraturan atau ketentuan dan kebijakan yang dibuat baik itu aturan
keuangan, teknis proyek dan sebagainya. Jadi sifat pemeriksaannya cendrung hanya
mengecek atau memeriksa hasil dengan ketentuan yang berlaku.
Menyangkut frekuensi pengawasan terhadap obyek pengawasan atau pemeriksaan
pada umumnya tidak pasti. Hal ini berkaitan dengan keterbatasan waktu dan tenaga
yang berhubungan dengan jumlah obyek pemeriksaan yang cukup banyak yaitu
sekitar 200 obyek pemeriksaan. Permasalahan pengawasan masih juga diperhadapkan
pada kemampuan personil sebagai auditor yang profesional.
Konsekuensi hasil pemeriksaan pada umumnya hanya sebagai bahan evaluasi bersama
instansi atau badan yang menjadi obyek pemeriksaan dalam melihat permasalahan
yang terjadi.
66
67
1. Budaya Organisasi
Osborn dan Plastrik (2001) mendefenisikan budaya organisasi sebagai seperangkat
perilaku, perasaan dan kerangka psikologis yang terinternalisasi sangat mendalam
dan dimiliki bersama oleh anggota organisasi. Budaya organisasi dapat nampak dalam
sesuatu yang berwujud yang berupa kebiasaan dan rutinitas, ritual, tata cara
termasuk, mungkin, mitos-mitos yang berkembang di antara mereka. Namun budaya
birokrasi juga dapat tidak berwujud yaitu berupa keyakinan orang, asumsi, gagasan,
harapan dan impian. Setiap aspek dalam organisasi baik itu struktur, uraian
pekerjaan, kebijakan dan sebagainya berkontribusi terhadap budaya organisasi.
Budaya organisasi secara sadar maupun tidak menjadi panduan bagi seluruh anggota
organisasi dalam berpikir dan berprilaku.
Pada tingkat struktur birokrasi, prilaku dan simbolsimbol sebagai wujud budaya
organisasi birokrasi yang dipergunakan oleh elit birokrasi lebih diarahkan untuk
mencari dan mempertahankan karakteristik yang menjadi status dan simbol
kelompok elit dalam birokrasi.
Mengamati budaya birokrasi publik maka akan nampak dalam prilaku yang sangat
kaku, tidak responsif, tidak inovatif dan sebagainya. Oleh Osborn dan Plastrik hal
inilah yang disebut budaya birokratis. Budaya ini dapat muncul paling tidak
disebabkan oleh beberapa hal :
1. Organisasi pemerintah adalah ciptaan sektor politik. Tak dapat dihindari,
organisasi pemerintah terus-menerus menjadi sasaran tuntutan publik yang
disalurkan melalui pejabat terpilih. Organisasi pemerintah menjadi bola sepak
dalam konteks politik, ditendang dari satu kaki ke kaki yang lain. Sebagai respon
terhadap lingkungan semacam ini, organisasi mulai belajar membela dirinya
dengan menutup diri dan respon terhadap lingkungan di luarnya.
2. Badan pemerintah hampir semuanya diorganisir dalam bentuk hirarki berlapislapis. Aturan kepangkatan menentukan wewenang, kompensasi dan peluang karir.
Aturan ini memisahkan antara kelompok orang yang memberi perintah dan
kelompok yang menjalankan perintah dan siapa yang patuh. Sebagai respon
terhadap konsentrasi kekuasaan ini, pegawai pemerintah cendrung menjadi kaku
kerangkengan dan jika ingin mengubah sesuatu, mereka meminta ijin terlebih
dahulu dan kebanyakan yang tidak mau mencoba.
3. Pemerintah diorganisir secara birokratis. Kegiatan pemikiran dipisahkan dari
pelaksanaan. Fungsi pelaksanaan diuraikan dalam fungsi-fungsi dan kemudian
dibagi ke dalam unit-unit. Dan unit ini dipisahkan dalam pekerjaan yang dipilah
dalam tugas-tugas spesifik. Tugas ini dilakukan oleh spesialis yang mengusai
bidang-bidang tertentu. Model ini telah sangat lama dan rutin diterima serta
dianggap sebagai kebijakan yang sudah baku dan tidak dapat diubah. Kondisi ini
68
memaksa para birokrat bergerak secara statis dan efeknya menjadi jelas orang
terikat dalam mesin birokratis monoton menjadi tidak imajinatif dan tidak
responsif.
4. Organisasi pemerintah biasanya memiliki monopoli atau hampir monopoli.
Birokrasi publik hanya mendapat tekanan yang kecil dari masyarakat karena
mereka tidak memiliki konsekuensi apapun atas kinerjanya. Orang-orang dalam
pemerintahan lebih mengkuatirkan anggaran dan kepangkatan serta status
birokratis daripada memikirkan cara-cara memperbaiki kinerjanya.
69
Tabel 21
Pola Kritik yang Dibangun
Klasifikasi
Frekuensi
Sangat Tertutup
3
Tertutup
66
Terbuka
21
Sangat Terbuka
4
Jumlah
94
Persentase
3.19
70.21
22.34
42.55
100
Persentase
44.68
31.91
3.19
6.38
1.06
10
100
70
Menyangkut harapan setelah bekerja, orientasi para PNS pada umumnya hanya
kepada memperoleh gaji dan tunjangan secara teratur serta memperoleh kenaikan
pangkat secara teratur pula. Sedangkan orientasi kepada peningkatan kapasitas dan
kualitas pribadi masih belum nampak. Kondisi ini menunjukan bahwa, birokrasi belum
sepenuhnya mampu menjadi organisasi yang dapat digunakan sebagai media
pengembangan prestasi tetapi lebih sebagai media pengembangan karir PNS belaka.
Tabel 23
Harapan-Harapan dalam Bekerja
Klasifikasi
Frekuensi
Memperoleh kenaikan pangkat secara
10
teratur
Memperoleh gaji dan tunjangan
35
secara teratur
Pelayanan kepada masyarakat
7
meningkat
Memperoleh pengalaman kerja
1
Mengembangkan kemampuan
5
Lain-lain
Jumlah
58
Persentase
17.24
60.34
12.06
1.72
8.62
100
1.3
Pola Patron-Client
71
1.4
Hal ini menunjukan bahwa faktor politik dianggap masih berpengaruh dalam pola
promosi. Pola suksesi misalnya dianggap sangat berpengaruh terhadap pola mutasi
72
yang akan dilaksanakan pasca suksesi. Walaupun sudah ada beberapa persyaratan
yang ditentukan dalam mengisi suatu tingkatan jabatan tertentu, misalnya
pendidikan penjenjangan dan syarat kepangkatan dan sebagainya, faktor kedekatan
politik dianggap sangat berperan untuk menentukan posisi seorang pejabat.
1.5
Faktor etnik juga dianggap mempunyai pengaruh dalam proses promosi jabatan
walaupun dianggap kurang siginifikan. Sebanyak 41.48 persen dan 11.70 persen
responden menyatakan ada pengaruh etnik dalam proses promosi pada birokrasi
pemerintahan Kabupaten Ngada. Perhatian terhadap faktor etnik ini paling tidak
pada pemahaman tentang perlunya perimbangan pejabat untuk menduduki jabatanjabatan pada struktur yang ada berdasarkan ketiga etnik yang ada di Ngada yaitu
etnik Bajawa, Nagekeo dan Riung.
73
74
75
KESIMPULAN
Potret karakter birokrasi Kabupaten Ngada pada dasarnya memperlihatkan
pengaruh aspek struktural dan kultural birokrasi yang secara bersamaan membangun
karakter yang patologis.
Pada tataran struktural, bangunan struktur birokrasi yang dirancang cendrung masih
bersifat kaku formalistis. Penelitian ini menunjukan bahwa dalam birokrasi belum
ada suatu sistem konsekuensi yang bersifat reward and punisment secara
tersistimatis yang dapat memacu kinerja seseorang. Pola kompetisi sebagai bagian
penjaringan tenaga yang profesional dan berkualitas belum berjalan dengan baik.
Dalam birokrasi kompetisi cenderung tidak ada. Hal ini karena dinamika organisasi
cendrung hanya berdasarkan aturan formal yang ada. Pola kompetisi dalam pengisian
jabatan eselon misalnya hampir tidak nampak karena hal ini lebih berkaitan dengan
aspek kepangkatan dan senioritas. Hal ini menyebabkan kinerja staf menjadi kurang
terpacu dalam berlomba-lomba menunjukan prestasi dan kemampuan.
Rendahnya kompetisi ini juga diperparah dengan ketiadaan standar pengukuran
kinerja staf dan lembaga birokrasi pada umumnya. Pengukuran kinerja staf masih
sebatas evaluasi pimpinan kepada bawahan tanpa ada suatu ukuran-ukuran yang jelas.
Hal ini menyebabkan, aktivitas staf terdorong hanya menjadi suatu rutinitas
administrasi tanpa ada upaya pengembangan kualitas staf secara baik. Implikasinya
adalah agak sulit membedakan secara baik mana staf yang berkualitas dan mana yang
tidak.
Sedangkan menyangkut sistem insentif, terlihat bahwa insentif yang diberikan
kepada staf masih terbatas pada pemberian tunjangan dan gaji. Walaupun demikian,
kondisi ini dianggap sudah cukup memuaskan bagi staf dalam bekerja.
Aspek lain dari faktor struktural yang dikaji dalam penelitian ini adalah menyangkut
sistem pertanggungjawaban. Hasil penelitian menunjukan bahwa pertanggungjawaban
yang dilakukan oleh birokrasi pemerintahan Kabupaten Ngada masih sebatas
pertanggungjawaban internal (responsibilitas). Hal ini dilakukan secara berjenjang
dari bawahan kepada atasan sampai kepada bupati. Pertangungjawaban birokrasi
terhadap publik melalui pertanggungjawaban bupati kepada DPRD. Hal ini berarti
pertanggungjawaban kepada publik luas tidak ada dan akses masyarakat untuk
menilai pertanggungjawaban tersebut juga tidak diberi ruang yang memadai.
76
77
Referensi
Antlov, Hans. (2002). Negara Dalam Desa : Patronase Kepemimpinan Lokal.
Jogjakarta: LAPERA Pustaka Utama.
Biro Pusat Statistik Nusa Tenggara Timur. (2004). NTT Dalam Angka. Kupang : BPS
NTT.
Dwiyanto, Agus, dkk. (2002). Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Pusat studi
Kependudukan dan Kebijakan. Jogjakarta : Universitas Gadjah Mada.
Giddens, Anthony. (2004). Sociology. Oxford : Blackwell Publishing.
Haning, Jermi. (2005). Seperti Apakah Akuntabilitas Publik Kepala Daerah
(Tanggapan Terhadap SARAN KEPADA CALON KEPALA DAERAH). Kupang: Harian
Timor Express, 8 Februari 2005.
Haning, Jermi. (2004). Kompetisi: Salah Satu Kunci Reformasi Pemerintah Daerah.
Kupang: Harian Kursor, 7 Oktober 2004.
Haning, Jermi (2003). Accountability for Performance in Local Government in
Indonesia: Sustainability Balanced Scorecard Approach for Better Practices of
Corporate Governance. Unpublished Research Project at Flinders Institute of Public
Policy and Management, Flinders University, Adelaide.
Osborne, David dan Gaebler, Ted. (1996). Mewirausahakan Birokrasi:
Mengtransformasi Semangat Wira Usaha Ke Dalam Sektor Publik. Jakarta : PT.
Pustaka Binaman Pressindo.
Osborne, David dan Plastrik, Peter. (2000). Memangkas Birokrasi Lima Strategi
Menuju Pemerintahan Wirausaha. Jakarta : Penerbit PPM.
Rap, Edwin. (1997). Preparing Exploratory Research : A Guideline for the Design of
a Research Proposal for MAKS Students. Wegeningen : MSc Program on
Management of Agricultural Knowledge Systems (MAKS), Wageningen University.
Rollinson, Derek. (2002). Organizational Behavior and Analysis : An Integrated
Approach. London: Prentice Hall.
Udak, Blasius (et all). (2003). Karakteristik Pemerintahan Lokal di Nusa Tenggara
Timur: Studi di Kabupaten Kupang, TTS, TTU dan Belu. Kupang : Yayasan Peduli
Sesama The Ford Foundation.
78
Sejarah
History
79
Fokus Kegiatan
Saat ini fokus kegiatan SANLIMA adalah:
Penguatan masyarakat sipil dan
pemerintahan lokal yang demokratis lewat
civic education dan penyadaran kritis bagi
masyarakat serta penguatan kapasitas
lokal bagi pelaksana pemerintahan lokal
dan monitoring serta advokasi kebijakan
publik lokal.
Pengembangan ekonomi masyarakat lewat
pendampingan organisasi berbasis
masyarakat serta pengembangan usaha
kecil-menengah.
Perlindungan dan pengembangan lingkungan
hidup lewat revitalisasi
kearifan/pengetahauan lokal dan
pengalaman-pengalaman baik dalam kaitan
dengan lingkungan hidup serta konservasi
wilayah pedesaan kritis.
Kesetaraan gender lewat kampanye sosial
terkait isu-isu gender, promosi hak-hak
politik, sosial dan ekonomi perempuan
serta monitoring dan advokasi kebijkan
publik yang bias gender.
Focus of Activities:
Strategi:
Berpihak pada masyarakat: menekankan
fokus kegiatan dan hasilnya untuk
kepentingan masyarakat.
Partisipasi: melakukan civic education
dengan mengkombinasikan partisipasi
masyarakat dan intervensi intelektual.
Fasilitasi: membuka dan mengembankan
dialog antar-pihak serta memperkuat
masyarakat dampingan.
Strategy:
Community-Based: to emphasize the focus
of activities and their results for
communitys interests.
Participation: to do civic education by
combining participation from the target
groups and intellectual interventions.
Facilitation: to open up and to expand
dialog of the stakeholders as well as to
strengthen the target groups.
80
Programs
Currently, SANLIMA is conducting several
programs/projects such as:
Local Capacity Strengthening to Support
Good Governance in Nusa Tenggara Timur
Village autonomy empowering
Improving Multi-Ethnic Relation trough
Community Economy Development
Empowering Women and Children Position
trough Improving the Roles of Village
Apparatus
Environmental Protection and Rural
Critical Area Conservation
Experiences
The SANLIMA Foundation has experiences
conducting projects/programs in cooperation
with national and international organizations
as follows:
Local Capacity Strengthening to Support
Good Governance in Nusa Tenggara Timur
in cooperation with the Ford Foundation
(May 2002-June 2006)
Restructurization of Local Institutions &
Synchronization of Customary System in
cooperation with Partnership-UNDP
(January-December 2002)
Indonesian Rapid Decentralization
Appraisal (IRDA) in cooperation with the
Asia Foundation (June 2002-June 2004)
81
82
Alamat:
Yayasan Peduli Sesama (SANLIMA)
Jl. Tugu Adipura No. 1 Penfui, KupangNTT, Indonesia 85361.
Telpon (62) 380-882071
Email: sanlima@kupang.wasantara.net.id
Patris_usfomeny@yahoo.com
Address:
Yayasan Peduli Sesama (SANLIMA)
Jl. Tugu Adipura No. 1 Penfui, Kupang-NTT,
Indonesia - 85361
Phone (62) 380-882071
Email: sanlima@kupang.wasantara.net.id
patris_usfomeny@yahoo.com
83