Anda di halaman 1dari 83

Karakter Birokrasi Lokal

STUDI DETERMINASI STRUKTURAL DAN KULTURAL PADA BIROKRASI


PEMERINTAHAN KABUPATEN NGADA

Tim Penulis:
Blasius Urikame Udak
David Pandie
Jermi Haning
Patricius Usfomeny
Laurensius P.S. Rani
Fr. Stanley Jawa, SVD

Diterbitkan atas kerjasama

YAYASAN PEDULI SESAMA (SANLIMA)


Jl. Tugu Adipura No.1 Penfui Kupang, NTT
Telp/Fax : 0380-882071, E-mail : Sanlima@kupang.wasantara.net.id

Dengan

ff
THE FORD FOUNDATION

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

Buat rekan terbaik kami,


Blasius Urikame Udak
atas inspirasi dan kerja yang cemerlang...

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

Pengantar Tim Penulis

MENCARI BUDAYA BIROKRASI MULTIKULTUR


Mencari budaya birokrasi baru, adalah suatu pernyataan yang mengingatkan bahwa
memang ada sesuatu yang kosong, sesuatu yang hilang atau sesuatu yang ada tidak
bermanfaat lagi berhubungan dengan penampilan budaya birokrasi yang
disfungsional. Itulah kata reinventing menjadi frasa baru yang merangsang untuk
menemukan kembali sejatinya sebuah birokrasi pemerintahan yang beradab. Yaitu
birokrasi yang berwajah manusia dan memancarkan keadilan bagi rakyat yang
dilayani. Bahwa budaya birokrasi berkaitan dengan nilai, norma dan sistem
kepercayaan yang menjadi way of life yang menuntun dan mengarahkan perilaku
birokrasi.
Secara klasik, kehadiran birokrasi sebagai sebuah organisasi modern yang diilhami
oleh Max Weber, merupakan suatu upaya untuk membangun suatu kultur organisasi
yang memisahkan kepentingan domestik dan publik. Birokrasi bertumbuh atas asas
rasionalitas dan legal, telah mereduksi segala kemungkinan tumbuhnya vested
interested untuk mengoreksi kultur organisasi feodalistik serta kesetiaan buta
dalam organisasi berbasis semangat kharismatik. Keunggulan rasionalisasi birokrasi
bertumbuh bersamaan dengan abad pencerahan yang diadopsi sebagai model paling
menjanjikan untuk mengembangkan peradaban manusia dan mengelola sebuah
kekuasaan negara yang adil.
Adopsi budaya birokrasi legal-rasional bukan tanpa soal. Bahwa teori ini kemudian
menuai kritik pedas yang dialamatkan pada mesin birokrasi yang begitu formalistik
dan mekanistik. Organisasi ini kemudian menjadi begitu kaku, tak berwajah
manusiawi dan dikatakan sebagai organisasi yang angker. Budaya birokrasi legalrasional yang tumbuh dalam kebudayaan barat, dianggap sebagai model paling ideal
dan patut diimitasi oleh organisasi publik di negara dunia ketiga. Namun, pesan
teoretik yang begitu indah, akhirnya harus bertemu dengan kenyataan lingkungan
non-barat, khususnya di masyarakat Indonesia yang begitu feodalistik dan
menjunjung tinggi asas partikularistik. McGregor yang mengungkapkan Teori X dalam
manajemen barat, begitu yakin bahwa manusia mempunyai keunggulan yang dapat
didayagunakan kemampuan intelektualnya untuk pengembangan organisasi. Tetapi
kemudian, Teori Z yang berlatar kebudayaan Jepang menjadi referensi baru dalam
memperkenalkan budaya birokrasi yang dapat bertumbuh karena dimensi ikatan
kekeluargaan. Siapapun yang bekerja dalam organisasi, ia harus menganggap
organisasi itu miliknya, maka patut ia bekerja keras untuk mempertahankan miliknya.
Tetapi perjumpaan teori birokrasi modern dan birokrasi tradisional tidak dapat

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

berlangsung dengan baik. Terdapat sejumlah perilaku menyimpang yang terjadi


akibat perkawinan budaya birokrasi. Bahwa kita secara formal-normatif telah
menganut sistem birokrasi modern, tetapi ketika diterapkan, semuanya hanya
verbalistis, tak ada faedahnya sebagai penuntun perilaku birokrasi. Istilahnya good
theory, but poor practices.
Fred W. Riggs sebagai seorang pakar administrasi negara, meneliti khusus soal
birokrasi di negara berkembang dan menamakannya sebagai suatu model prismatik
birokrasi. Model birokrasi ini bercirikan formalistik dan tindan (tumpang tindih)
antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Disebut formalistik karena,
peraturan yang menjadi dasar hukum untuk menuntun tindakan dan perilaku birokrasi
seringkali berbeda dengan penerapannya. Demikian juga, organisasi birokrasi yang
legal rasional tidak dapat memisahkan antara kepentingan yang bersifat umum
dengan kepentingan partikularistik. Bahkan kepentingan partikularistik ini begitu
kuat, sehingga birokrasi sendiri menjadi lahan untuk mencapai kepentingankepentingan yang bersifat komunal.
Ketika pelaksanaan otonomi daerah, banyak harapan yang membumbung tinggi,
karena dalam desentralisasi pemerintahan akan berimplikasi pada peningkatan
keadilan dan semakin baiknya pelayanan kepada masyarakat. Namun dalam praktek
selama lima tahun terakhir, geliat otonomi daerah banyak yang melenceng dari
filosofinya. Desentralisasi yang bersifat devolusi, terlalu membuka ruang yang
begitu besar bagi daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri yang
akhirnya dipersepsipkan secara sempit dengan multitafsir dari setiap daerah.
Otonomi daerah tidak memunculkan harapan untuk melahirkan birokrasi yang
berbasis pada rakyat (people-based bureaucracy), tetapi malah muncul ethnic-based
bureaucracy. Otonomi ternyata membangkitkan rivalitas suku dan etnis untuk
menguasai birokrasi pemerintahan daerah. Kenyataan ini begitu kuat dan menjadi
tarik-menarik yang diperhitungkan dalam pemilihan langsung kepala daerah, dimana
sentimen etnik dan agama dieksploitasi dalam kalkulasi untuk menangguk suara.
Perpolitikan berbasis etnik ini begitu menguat dan jika tidak dikelola serta dikontrol
akan menjadi bom waktu yang memicu radikalisme komunal yang berujung pada
konflik terbuka di daerah. Rivalitas etnik untuk menguasai birokrasi daerah
tercermin kuat dalam desain rekruitmen dan promosi serta pelayanan publik di
daerah. Bahwa secara diam-diam pola diskriminasi dan marjinalisasi berbasis etnik
dan kepentingan politik menjadi model baru di daerah, sebagaimana teori
paternalistik birokrasi yang memperkenankan diterapkannya sistem rekruitmen
berdasarkan nepotisme dan interes politik (spoil system). Birokrasi dengan demikian
kehilangan roh integritasnya untuk melayani rakyat, karena dia sendiri telah menjadi
alat kelompok-kelompok dominan dalam politik identitas.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

Di sini birokrasi pemerintahan mengalami suatu siklus sejarah yang berputar


kembali, yaitu dari birokrasi komunalbirokrasi feodal---birokrasi kolonial--birokrasi penguasa---birokrasi etnik yang komunal. Bayangan tentang birokrasi yang
netral dan adil dalam masyarakat yang yang majemuk ini menjadi pekerjaan rumah
untuk menemukan kembali sejatinya sebuah birokrasi pemerintahan daerah.
Penelitian ini sebagai upaya mengungkapkan ranah birokrasi dalam siklus perubahan
birokrasi di atas. Bahwa birokrasi berbasis etnis begitu menggejala kuat dalam
panampilan budaya birokrasi daerah. Birokrasi tercabik-cabik dalam dominasi etnik
dan kepentingan politik, membuat format birokrasi daerah mengalami disfungsional,
karena jabatan bukanlah suatu prestasi, tetapi suatu prestise yang diperoleh tanpa
tempaan profesionalisme. Ada kesan kuat bahwa etnik menjadi sumberdaya politik
yang bersifat ampuh untuk membangkitkan budaya parochial dalam birokrasi.
Kajian ini, sangat bermakna sebagai koreksi total terhadap penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang non-demokratis. Salah satu hal yang perlu diperhatikan
adalah merumuskan suatu model birokrasi yang multikultur. Bahwa kehadiran
birokrasi dalam ruang publik yang multi-etnik, multi-kultur adalah suatu keniscayaan
yang tak terelakkan. Karena itu, dibutuhkan suatu konsep multikultural sebagai suatu
kesadaran tentang pentingnya menghargai semua etnik dan kultur yang ada dalam
suatu wilayah politik. Prinsipnya adalah kesamaan dan keadilan, dimana unsur
mayoritas menghargai unsur minoritas, dan semuanya berada dalam tatanan yang
adil. Model birokrasi multikultural sangat penting menghargai pengalaman negaranegara Balkan yang hancur lebur karena ketegangan dan konflik etnik yang tak bisa
didamaikan. Keragaman budaya harus dilihat sebagai kekayaan yang perlu dikelola
untuk mendapat hasil yang optimal dan bukan sesuatu yang selalu dipertentangkan.
Budaya birokrasi multikultural diharapkan menjadi model untuk membangun
pemerintahan daerah yang demokratis, adil dan aman. Birokrasi sesungguhnya suatu
miniatur multikultural yang indah dan bukan miniatur konflik kekerasan yang
diskriminatif.
Penelitian dan penerbitan hasilnya dalam bentuk buku ini merupakan kerjasama
Yayasan Peduli Sesama (Sanlima Kupang) dengan The Ford Foundation dalam
program Local Capacity Strengthening to Support Good Governance in Nusa
Tenggara Timur. Akhirnya kami haturkan terima kasih yang mendalam kepada semua
pihak yang membantu hingga terlaksananya penelitian dan penerbitan buku ini.
Kepada the Ford Foundation atas dukungan finansialnya, Bpk. Dr. Hans Antlov
sebagai Program Officer Government and Civil Society yang memungkinkan hal ini
terlaksana, Bupati Ngada dan seluruh jajaran Pemkab Ngada yang membantu dengan
berbagai bentuk fasilitas selama penelitian berlangsung, singkatnya seluruh pihak
yang telah berkontribusi. Semoga buku ini bisa bermanfaat di tengah kelangkaan
studi dan publikasi lokal di Nusa Tenggara Timur.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

Kupang, November 2005


Tim Penulis
Daftar Isi
Pengantar Tim Penulis ..............................................................................................................
Daftar Isi ...................................................................................................................................
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang ............................................................................................................
2. Perumusan Masalah ....................................................................................................
3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..............................................................................
II. BIROKRASI, SEBUAH REVIEW TEORITIK
1. Terminologi Birokrasi ...............................................................................................
2. Ragangan Teori Klasik dan Modern Birokrasi ...................................................
3. Profil Birokrasi Indonesia Kontemporer ..............................................................
4. Pembaruan Birokrasi .................................................................................................
III. METODE PENELITIAN
1. Variabel Penelitian ....................................................................................................
2. Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................................................
3. Populasi dan Sampel ..................................................................................................
4. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................................
5. Pengolahan dan Analisis Data ..................................................................................
IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN NGADA
V. DETERMINAN STRUKTURAL DAN KULTURAL BIROKRASI PEMERINTAHAN
KABUPATEN NGADA
A. Determinan Struktural Birokrasi ..........................................................................
1. Sistem Konsekuensi ..................................................................................................
1.1 Pola Kompetisi ...............................................................................................
1.2 Pola Pengukuran Kinerja .............................................................................
1.3 Pola Insentif .................................................................................................
2. Sistem Pertanggungjawaban (Akuntabilitas) .....................................................
2.1 Mekanisme Pertanggungjawaban Organisasi .........................................
2.2 Substansi Pertanggungjawaban ................................................................
3. Struktur Kekuasaan (Birokras) .............................................................................
a. Ukuran Birokrasi ..........................................................................................
b. Pola Pengawasan dan Pengendalian .........................................................

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

B. Determinan Budaya Patrimonial ............................................................................


1. Budaya Organisasi ....................................................................................................
1.1 Pola-Pola Prilaku .........................................................................................
1.2 Nilai-Nilai yang Dianut ..............................................................................
1.3 Pola Patron Client ....................................................................................
1.4 Pengaruh Politik dalam Promosi ...............................................................
1.5 Hubungan Etnik dalam Promosi ................................................................
2. Polarisasi dalam Birokrasi ......................................................................................
2.1 Klik Politik ....................................................................................................
2.2 Klik Etnik ......................................................................................................
VI. KESIMPULAN ...........................................................................................................
Referensi .................................................................................................................................
Profil Yayasan Peduli Sesama ............................................................................................

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Studi menyangkut perkembangan negaranegara berkembang termasuk Indonesia
menunjukkan bahwa birokrasi merupakan elemen penting dan sentral dalam segenap
proses pembangunan. Birokrasi pemerintah dianggap sebagai satusatunya lembaga
yang secara konstitusional memiliki kapasitas sebagai agen pembaharuan dan
pembangunan bangsa.
Katz (1986) memberikan dua alasan pokok mengapa birokrasi mempunyai peranan
utama dalam pembangunan nasional. Pertama, birokrasi mempunyai in put in put
(tenaga tenaga penggerak) yang diperlukan untuk pembangunan; kedua, kekurangan
bertindak dari berbagai kalangan masyarakat, ketidakcukupan pasar bebas dan
kebutuhan kebutuhan idiologi tertentu. Peranan birokrasi pemerintahan yang
dominan dalam dinamika pembangunan merupakan suatu kenyataan yang harus diakui
dan hal ini sebagai akibat dari kebutuhan tenaga tenaga penggerak yang semakin
besar dalam mendukung pembangunan dan modernisasi.
Pembangunan pada negara berkembang pada dasarnya bersifat sangat kompleks
yang melibatkan banyak faktor baik politik, ekonomi dan sosial budaya dengan
tingkat kompleksitas persoalan yang sangat tinggi pula. Namun di sisi lain, kapasitas
kelembagaan di negara negara berkembang baik itu lembaga politik, ekonomi dan
sosial budaya juga masih rendah. Kondisi ini akhirnya harus menempatkan birokrasi
pemerintah sebagai lembaga utama dalam proses pembangunan tersebut.
Birokrasi dalam posisinya sebagai agen pembangunan tersebut cenderung makin
besar skala kekuasaan dan strukturnya sebagai implikasi dari peranannya tersebut.
Peran birokrasi mulai dikondisikan untuk mengontrol, mengatur, menstabilkan dan
menjaga kontinuitas pembangunan yang hampir menyentuh segala aspek kehidupan
dan domaian.
Dalam perkembangan selanjutnya intervensi birokrasi dalam pembangunan justru
mulai mengalami kegagalan yang disebabkan oleh
proses administrasi dan
manejemen birokrasi yang buruk. Dalam beberapa studi (Waterson,1979) ditemukan

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

bahwa hambatan paling utama dalam mengimplementasikan proyek dan program


pembangunan, bukan karena keterbatasan sumber pendanaan, tetapi
karena
administrative capacity. Masalah ini dapat diamati pada beberapa hal: sistem
administrasi yang anachronistic; kompotensi personalia birokrasi yang kurang
memadai; prosedur birokrasi yang lambat; kurangnya koordinasi; kurang efektifnya
organisasi birokrasi; penyalahgunaan jabatan administrasi (maladministrasi).
Kegagalan birokrasi sebagai agen pembangunan ini pada dasarnya telah berimplikasi
serius terhadap kegagalan berbagai program pembangunan dan kondisi kemiskinan
dan ketertinggalan yang terus membingkai negara negara berkembang. Ini adalah
harga yang harus dibayar dan ditanggung.
Mencermati kondisi di atas, Philip Quarhes Van Ufford (1998) menjelaskan bahwa
saat ini birokrasi pemerintahan sedang mengalami posisi krisis dan taruhannya
adalah peran mereka dalam pembangunan. Pertanyaannya adalah apakah birokrasi
saat ini mampu mengatasi persoalan kemiskinan, kelaparan, kekeringan? Ataukah
mereka sendiri sedang dalam posisi menjadi biang kemacetan dan kegagalan yang
ada?
Terlepas dari kekhawatiran di atas, pada dasarnya peranan birokrasi tetap penting
dalam agenda pembangunan di negaranegara berkembang. Persoalannya adalah
bagaimana birokrasi dapat mengikuti perubahan dan dinamika pembangunan serta
perubahan tuntutan masyarakat yang cepat.
Uraian di atas menandaskan ada persoalan untuk menemukan gap dalam
pembangunan, antara apa yang diharapkan dan apa yang sesungguhnya terjadi. Studi
terhadap birokrasi sebenarnya adalah studi untuk menemukan mata rantai yang
hilang untuk menutupi gap yang ada yang dicari pada variablevariable birokrasi.

B. Perumusan Masalah
Dalam konteks pembangunan di berbagai negara termasuk Indonesia, birokrasii
mempunyai peranan yang penting sebagai agen pembaruan. Keinginan untuk
melakukan proses pembangunan yang besar telah mendorong adanya dominasii
birokrasi sebagai pelaku pembangunan utama yang dilatarbelakangi oleh asumsii
bahwa birokrasi adalah satusatunya lembaga yang memiliki kapasitas yang memadai
untuk mengemban tugas tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, peran ini justru
menjadi over productive di mana birokrasi menjadi gurita yang menggerogoti seluruh
aspek kehidupan masyarakat. Berbagai studi empirik selanjutnya membuktikan
bahwa kegagalan berbagai program pembangunan di Indonesia justru disebabkan
oleh rendahnya kapasitas administratif atau manajemen birokrasi yang ditandai
dengan berbagai realitas patologi birokrasi.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

Terkait dengan konsep tersebut maka menarik untuk mencermati realitas kinerja
birokrasi di tingkat lokal sebagai salah satu upaya mengkaji dinamika proses
pembangunan di daerah. Karena itu rumusan masalah penelitian ini adalah:
Bagaimana Determinasi Struktural dan Kultural Birokrasi Dalam Membentuk
Perilaku Birokrasi Di Kabupaten Ngada?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian


Tujuan Penelitian
Kajian penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk :
1. Mengungkapkan determinasi aspek struktural birokrasi dalam mempengaruhi pola
perilaku birokrasi di Kabupaten Ngada;
2. Mengungkapkan determinasi aspek budaya patrimonial dalam mempengaruhi pola
perilaku birokrasi di Kabupaten Ngada.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian dan kajian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
1. Kepentingan praktis, yaitu untuk memberikan masukan bagi pemerintah daerah
dalam melakukan penataan birokrasi lokal;
2. Kepentingan teoritis, yaitu memberikan masukan dalam rangka pengembangan
kajian terhadap birokrasi.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

10

2
BIROKRASI, SEBUAH REVIEW TEORITIK
A. Terminologi Birokrasi
Istilah birokrasi sesungguhnya berasal dari kata Bahasa Perancis bereaumonia yang
merujuk pada suatu pernyataan dari Vincent de Gouruay pad abab 17 sebagai suatu
penyakit dalam pemerintahan. Kata ini kemudian berubah menjadi bureaucratia
(Perancis), bureukratic atau burokratic (Jerman), burocrazia (Italia), bureaucracy
(Inggris) dan di-Indonesia-kan menjadi birokrasi. Selanjutnya kata bureaucracy
dapat diturunkan menjadi bureacrat, bureaucratic, bureaucratism, bureaucratist
dan bureaucratization.
Dalam perkembangan konsep birokrasi, akan ditemui banyak konsep tentang
birokrasi yang dikonotasi dengan berbagai hal yang kadang sangat membingungkan.
Albrow (1989) yang kemudian dielaborasi oleh Pandie (2000) mencoba menangkap
pengertian birokrasi yang tersebar tersebut dan mencoba membuat semacam
taksonomi birokrasi dalam tujuh konsep birokrasi sebagai berikut :
1. Birokrasi Sebagai Organisasi Rasional
Terminologi ini terutama diwakili oleh pemikiran Weber yang merumuskan tipe ideal
birokrasi sebagai bentuk organisasi yang di dalamnya terdapat mekanisme social
yang memaksimumkan efisiensi dalam pencapaian tujuannya. Peter Blau (1989)
sebagai penganut weberian memandang birokrasi sebagai organisasi yang
berdasarkan rasionalitas; birokrasi akan memberikan kontribusi terhadap kinerjanya
yang lebih akurat, bersinambung, disiplin, ajeg sehingga birokrasi secara teknis
merupakan tipe organisasi yang paling memuaskan. Perkembangan dunia modern yang
mengagungkan rasionalitas menjadi bukti empiris tentang kemampuan organisasii
rasional sebagai pemacu transformasi sosial dalam masyarakat industri. Rasionalitas
birokrasi yang dianut oleh sektor negara dan swasta telah memungkinkan terjadinya
dinamika perkembangan ekonomi dan pelayanan yang memuaskan.
2. Birokrasi Sebagai Inefisiensi
Terminologi ini dibangun sebagai kritik terhadap proposisi birokrasi yang diajukan
oleh para weberian. Para penganut birokrasi sebagai inefisiensi mencoba melihat sisi

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

11

gelap dari birokrasi yang justru counter-produktive terhadap efisiensi itu sendiri.
Terminologi ini berakar pada gejala patologi birokrasi yang ditandai oleh
kelambanan, kurang inisiatif, formalisasi yang berlebihan, korupsi, duplikasi,
tertutup dan infleksibilitas. Gagasan patologi sebenarnya bersumber
pada
pandangan Alvin Gouldner yang mencoba mencari apa yang disebut metaphysical
patos sebagai sisi gelap birokrasi.
Goodsell (1994) mengkategorikan kritik terhadap rasionalitas birokrasi dalam tiga
kategori :
Kinerja pelayanan yang unacceptable;
Memobilisasi kekuatan politik yang berbahaya;
Sebagai alat represi terhadap individu
Sosiolog Robert K. Merton melihat inefisiensi dalam konsep disfunction yaitu
deviasi fungsi birokrasi yang dibaca dalam fenomena yang dikenal sebagai goal
displacement, sebagai tindakan yang menempatkan caracara lebih penting daripada
tujuan. Hal ini mengakibatkan terjadinya formalisme organisasi yang mendewakan
aturan di atas segalanya, yang tercermin dalam rigiditas dan ketidakmampuan
organisasi membuat inovasi yang berakibat pada kecenderungan organizational break
down.
3. Birokrasi Sebagai Kekuasaan yang Dijalankan oleh Pejabat
Terminologi ini bersumber dari konsep lahirnya birokrasi yang dikemukan oleh De
Gournay. Menurutnya, birokrasi merupakan cabang keempat
dari kekuasaan
(eksekutif, legislatif dan yudikatif), yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat.
W.R. Sharp (Pandie dan Kuahaty; 2000) menyebut birokrasi sebagai pelaksana
kekuasaan oleh para administrator yang professional. Dalam defenisi defenisi di
atas, terkandung maksud untuk menguraikan bahwa birokrasi menjadi bentuk
kekuasaan yang berasal dari golongan pejabat yang dapat disejajarkan dengan
aristokrasi (kekuasaan oleh bangsawan) dan demokrasi (kekuasaan yang berasal dari
rakyat)
4. Birokrasi Sebagai Administrasi Negara
Birokrasi dalam pengertian umum, selalu sinonim dengan konsep administrasi negara
yang oleh Stillman II (1992) mempunyai beberapa pengertian :
the executive branch of government (cabang pemerintahan eksekutif)
the formulation and implementation of public policies (perumusan dan
implementasi kebijakan publik)

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

12

the involvement in a considerable range of problem concerning human


behavior and cooperative human effort (kegiatan yang berkaitan dengan
persoalan prilaku manusia dan usaha kerjasama dalam organisasi negara)
a field than can be differentiated in several
ways from private
administration (suatu bidang ilmu yang dalam beberapa hal berbeda
administrasi privat/bisnis)
the production of public goods and services (produksi barangbarang dan
jasa publik untuk melayani citizens consumers). Dalam hal ini diartikan
sebagai public servant atau public services.

5. Birokrasi Sebagai Sebuah Organisasi


Prajudi Atmosudirdjo (1990) mengartikan birokrasi sebagai organisasi dari setiap
negara modern yaitu keseluruhan strukturstruktur, unit-unit organisasi dan prosesproses, di mana di dalamnya terjadi keputusankeputusan yang oleh negara
dinyatakan atau dianggap sebagai mengikat semua pihak yang bersangkutan.
Birokrasi dalam pengertian sebagai organisasi berciri sebagai bentuk organisasi yang
berskala besar, kompleks, formal dan modern. Sebagai organisasi birokrasi memilikii
spesialisasi, hierarki, otoritas, status, rantai komando, kompetensi atau kualifikasi.
Birokrasi identik dengan big organization atau large scale organization.
6. Birokrasi Sebagai Administrasi yang Dijalankan oleh Pejabat
Konsep ini berhubungan dengan suatu kerangka eksplisit bagi analisis organisasi
yang dengannya organisasi dilihat sebagai strukturstruktur, di mana staf-staf
administrasi yang menjalankan otoritas keseharian merupakan bagian yang penting.
Di dalam staf-staf itu terdiri dari orang-orang yang diangkat dan mereka disebut
birokrasi-birokrasi.
7. Birokrasi Sebagai Masyarakat Modern
Birokrasi menjadi lambang masyarakat modern karena azasnya berpijak pada
rasionalitas dan efisiensi. Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang masih
dikuasai oleh kekuatan magis, tradisi, mitos-mitos dan kekuatan dogmatika. Struktur
masyarakat tradisional yang berbasis pada bidang pertanian, yang pola organisasinya
belum didasarkan atas pembagian kerja dan spesialisasi. Hanya dalam masyarakat
modern yang telah mengalami diferensiasi struktur dan pertimbanganpertimbangan
rasionalitas yang dapat mengadopsi model organisasi birokrasi. Itulah sebabnya
rasionalisasi dalam birokrasi merupakan persyarat untuk mengerahkan secara penuh
pengetahuan teknologi dalam melakukan produksi yang bersifat massal atau dengan
kata lain suatu persyarat dalam proyek modernisasi. Spesialisasi, hierarki,

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

13

wewenang, sistem peraturan dan hubunganhubungan yang tidak bersifat pribadi


(impersonal) merupakan ciriciri birokrasi yang berasosiasi dengan ciri masyarakat
modern.
B. Ragangan Teori Klasik dan Moderen Birokrasi
Ragangan teori ini dibangun dari kerangka teori Pandie (2000) :
1. Teori Klasik Birokrasi
a. Karl Marx
Marx mulai mengelaborasi konsep birokrasi dengan menganalisis dan mengkritik
falsafah Hegel mengenai negara. Analisis hegelian menggambarkan bahwa
administrasi negara atau birokrasi sebagai suatu jembatan antara negara (the
state) dengan masyarakat/rakyatnya (the civil society). Di antara keduanya,
birokrasi pemerintah merupakan perantara (medium) yang memungkinkan pesan
pesan dari kepentingan khusus tersebut tersalurkan ke kepentingan umum. Tiga
susunan ini (negara, birokrasi dan masyarakat rakyat) diterima oleh Marx akan
tetapi diubah isinya. Birokrasi Hegel meletakkan pengertiannnya dengan
melawankan antara kepentingan khusus dan umum, maka Marxis mengkritiknya
bahwa meletakan birokrasi semacam itu tidak mempunyai arti apa apa. Menurut
Marx, negara itu tidak mewakili kepentingan umum akan tetapi mewakili
kepentingan khusus dari klas dominan.
Birokrasi menurut Marxis merupakan suatu instrumen dimana klas dominan
melaksanakan dominasinya atas klas sosial lainnnya. Marx yang terkenal dengan
teori kelasnya itu menegaskan bahwa birokrasi itu tidak bisa netral dan harus
memihak, yakni memihak pada kelas yang dominan.
b. Gaetano Mosca
Mosca mencoba menelaah birokrai sebagai topik sentral dalam kajian struktur
politik, antara the ruling dan the ruled (penguasa dan yang dikuasai). Dalam
bukunya The Ruling Class (1895), ia membagi masyarakat (societies) atas dua
kelas: kelas berkuasa dan kelas yang dikuasai. Kelas pertama memonopoli
kekuasaan politik dan menikmati keuntungannya denga melaksanakan kekuasaan
tersebut, sementara kelas kedua dikontrol oleh kelas pertama.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa elit birokrasi dengan keahlian, kompetensi dan
jabatannya akhirnya menjadi kelas yang disebut bureaucratic state. Geral
Caiden (Lane,1986) menyebut sebagai administrative state dimana semua

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

14

problem masyarakat dimasukan dalam arena publik yang kemudian


diimplementasikan oleh birokrasi publik, sekaligus memonitornya. Rakyat
kemudian memandang institusi administrasi yang paling baik, sehingga mereka
menyetujui penguatan birokrasi pemerintah. Penguatan negara administrasi
cenderung akan menjauhkan semboyang pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat
dan berubah menjadi pemerintah berasal dari birokrat, oleh birokrat dan untuk
birokrat.
c. Robert Michels
Michels menegaskan bahwa birokrasi diperlukan untuk menjamin eksistensi suatu
negara moderen. Dalam bukunya Political Parties dia menjelaskan bahwa negara
moderen membutuhkan birokrasi yang besar karena melaluinya kelas dominan
secara politik menjamin dominasinya. Birokrasi sebagai sumber kekuasaan bagi
kelas politik dominan, sebagai sumber keamanan bagi bahagian terbesar kelas
menengah, tetapi di pihak lain merupakan sumber operasi bagi the rest of
society. Konsentrasi kekuasaan pada kelas menengah ini (birokrasi) disebut
Michels sebagi oligarki yang merujuk pada adanya kecenderungan kekuasaan yang
terkonsentrasi di tangan beberapa orang pada level top organisasi. Dari studi
ekonomi-politik birokrasi, ia menyimpulkan bahwa tekanan ke arah oligarki yang
makin kuat sehingga disebutnya sebagai the iron law of oligarchy (Sulivan and
Thompson,1987). Akibatnya para elit penguasa bebas melaksanakan kekuasaan
birokrasi menurut keinginan mereka.
d. Max Weber
Konsep birokrasi Weber dibicarakan dalam kerangka teori tentang domination.
Ada tiga tipe domination yang diajukan yaitu; pertama. charismatic domination
yaitu keabsahan bentuk hubungan kekuasaan bersumber pada kualitas
supranatural pribadi si pemimpin; kedua, traditional domination yaitu bentuk
hubungan kekuasaan yang memperoleh keabsahan karena bersumber pada
tradisi; ketiga, legal rasional domination yang melihat keabsahan bentuk
hubungan kekuasaan dari kenyataan bahwa kekuasaan bersumber pada ketentuan
atau peraturan formal.
Birokrasi dalam bentuknya yang paling rasional memprasyaratakan proposisiproposisi menurut legitimasi dan otoritas, serta memiliki ciri tertentu sebagai
berikut :
1. Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas
impersonal jabatan mereka;
2. Adanya hirarki jabatan yang jelas;
3. Fungsi fungsi jabatan ditentukan secara jelas;

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

15

4. Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak;


5. Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idelanya didasarkan suatu
diploma (ijasah) yang diperoleh melalui suatu ujian;
6. Mereka memiliki gaji dan biasanya juga hakhak pensiun. Gaji berjenjang
menurut kedudukan dan hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya, dan
dalam keadaan keadaan tertentu ia juga dapat diberhentikan;
7. Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja pokok;
8. Terdapat suatu struktur karir, dan promosi dimungkinkan berdasarkan
senioritas maupun keahlian (merit) dan menurut pertimbangan keunggukan
(superior);
9. Pejabat mungkin tidak sesuai baik dengan posnya maupun dengan sumbersumber yang tersedia di pos tersebut;
10. Ia tunduk pada system disipliner dan kontrol yang seragam.

2. Teori Modern Birokrasi


a. Pluralism dan Government Overload
Pluralism merupakan ciri moderernisasi barat, khususnya pada abab ke-20,
dimana kekuasaan politik terfragmantasi dan terdefusi secara meningkat. Sistem
politik modern yang pluralist telah menyeimbangkan penggunaan kekuasaan yang
tumpah tindih antara asosiasi ekonomi, professional, agama, etnik dan lain-lain.
Tiap kelompok memainkan pengaruh tertentu terhadap proses policy-making,
tetapi tidak monopoli antara yang satu terhadap yang lain, karena ada check and
balance.
Dalam system yang pluralistik ini birokrasi tidak mampu untuk berkuasa sendiri,
karena dikontrol ketat oleh pelbagai kelompok interest. Pengaruh yang mungkin
terjadi, jika birokrasi dapat mempengaruhi parlemen.
Birokrasi dengan demikian sebagai bagian dalam struktur negara yang pluralist,
bukan hirarki yang monolitik. Secara empiris, pada kondisi pluralist hal yang
menguntungkan bagi birokrasi adalah mencari penyesuaian timbal balik dengan
lembaga lain (mutual adjustments with other), dalam bentuk aliansi, koalisi,
pertukaran, persuasi, ancaman dan cara manipulasi.
Salah satu versi pendekatan pluralis yang popular dewasa ini adalah tesis
government overload, sebagaimana yang diusulkan oleh Michael Crozier, S.P.
Huntington, Daniel Bell dan lain-lain. Menurut tesis ini, ada tekanan yang kuat
terhadap pemerintah untuk memenuhi tuntutan publik yang begitu kompleks yang
dihasilkan oleh revolusi entitlements. Revolusi ini diakibatkan oleh eskalasi yang

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

16

makin tinggi dari kelompok aktivis politik dan meningkatnya harapan masyarakat
terhadap pemerintah. Selanjutnya seiring dengan perkembangan masyarakat
modern, ekspansi peranan pemerintah dalam ekonomi dan masyarakat makin
kompleks dalam bentuk government overload atau big government.
b. The Technocratic View
Anti tesis pandangan pluralisme diekspresikan oleh aliran pemikiran teknokratik
(the technocratic school of thought). Aliran pemikiran ini muncul di Perancis
sebagai fenomena dalam sistem politik dimana teknokrat mempunyai pengaruh
yang menentukan dalam administrasi (birokrasi) dan ekonomi. Teknokratik adalah
kelompok pemikir yang terhimpun dalam birokrasi guna menopang efektivitas
sistem politik. Etzioni-Halevi (1983), mengidentifikasi teknokratik-birokratik
dalam beberapa indikator :
1. Peningkatan intervensi pemerintah;
2. Peningkatan kompleksitas tugas-tugas pemerintah;
3. Ekspertasi yaitu kebutuhan kelompok ahli yang mempunyai ekspert yang
berpengetahuan;
4. Information. Untuk membuat keputusan politik, setiap pemimpin politik
membutuhkan informasi yang akurat. Tiap unit birokrasi harus mampu
memanipulasi informasi untuk mempengaruhi keputusan;
5. Time and number sebagai alat kontrol dalam birokrasi.

c. The Corporotorist View


Konsep corporotorist atau corpotorism secara umum didefenisikan sebagai
konfigurasi institusional ketika kebijakan publik dikerjakan melalui interaksi
antara elit negara dan pemimpin pemimpin organisasi perwakilan kepentingan
atau korporasi dalam jumlah yang dibatasi.
Menurut Schmitter (dalam Santoso,1993) dijelaskan bahwa corpororism terbagi
atas dua tipe : pertama, state corporotorism. Tipe ini ditandai dengan dominasi
negara atas kelompok korporasi (himpunan kelompok kepentingan) dengan
melakukan represi melalui kekuatan politik yang otoriter; kedua, societal
corporotorism yaitu peranan peranan kelompok korporasi begitu dominan
terhadap negara dalam perumusan perumusan kebijakan publik dan ini biasanya
terjadi pada negara negara barat yang berbentuk kapitalis dan demokratik.
Di bawah model ini, peranan birokrasi sangat minimal. Ada dua alasan pengabaian
birokrasi ini yaitu formalisasi peraturan yang membuat kinerja birokrasi
pemerintah sangat lamban dan kaku, serta kapasitas aparatur negara yang
rendah dan korupsi yang tinggi.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

17

d. Marxist View
Dalam bukunya Manifesto of the Communist Party (1969), Marx bersama Engels
menegaskan secara keras bahwa eksekutif negara moderen adalah komite untuk
mengelola kepentingan dari kelas berjuis. Menurut teori Marxits, Negara
bekerja atas tiga pertimbangan : pertama, orang-orang yang berada dalam pospos komando negara cendrung untuk menjadi kelas dominan atau cendrung
memperoleh privilege yang memadai untuk menguasai dan memberi warna
terhadap hubungan-hubungan sosial, pendidikan dan cara panjang. Kelas ini
membentuk opini publik dalam hegemoni kekuasaan.
Kedua, kelas kapitalis yaitu mereka yang mempunyai kekuatan ekonomi, menjadi
kelompok penekan yang dominan dalam masyarakat kapitaslis, dan pemerintah
berada dalam tekanan kelas kapitalis. Ketiga, tindakan-tindakan negara dalam
sistem produksi kapitalis, secara struktural tunduk pada rasionalitas kapitalis
(meskipun secara terbatas). Aparatur negara (birokrasi) berkewajiban
mempromosikan kepentingan-kepentingan kelas kapitalis karena melalui cara
demikian birokrasi dapat mengambil keuntungan rente dan sekaligus mengamakan
kekuasaanya. Birokrasi secara mendasar menjadi tulang punggung negara untuk
mempromosikan kelas penguasa, dan otonom dalam kepentingannya. Pertumbuhan
birokrasi adalah signifikan dengan kelas penguasa sehingga ada kecendrungan
yang kuat mempertahankan status qou.

C. Profil Birokrasi Indonesia Kontemporer


Pemerintahan Indonesia sejak awal orde baru telah mulai melakukan pembenahan
terhadap birokrasi secara lebih serius sebagai upaya untuk mewujudkan
keberhasilan pembangunan ekonomi. Birokrasi mulai ditata menjadi suatu birokrasi
bertipe legal rasional yang ditandai oleh tingkat spesialisasi yang tinggi, struktur
kewenangan hirarkis dengan batas batas kewenangan yang jelas, hubungan antaranggota organisasi yang tidak bersifat pribadi, rekrutmen berdasarkan kemampuan
teknis dan lain sebagainya. Kualitas ini ingin dicapai melalui pengaturan struktural
seperti hirarki wewenang, pembagian kerja, profesionalisme, system pengupahan
yang semua berdasarkan atas peraturan perundangan.
Dalam perkembangannya sosok birokrasi legal formal tidaklah sepenuhnya dapat
diwujudkan dengan baik yang nampaknya sangat dipengaruhi oleh banyak faktor dan
birokrasi Indonesia dewasa ini belumlah mampu melepaskan dirinya dari akar
historis dan budayanya. Emmerson (dalam Santoso,1993) mengatakan bahwa
birokrasi Indonesia dewasa ini masih mencerminkan percampuran dan perpaduan

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

18

antara karakteristik birokrasi modern yang legal rasional dengan kararakteristik


birokrasi yang berakar pada sejarah. Warisan budaya aristokrasi, orientasi ke atas,
kesadaran prestise dan status yang amat kuat, pengaruh misticsim dalam
pengambilan keputusan masih tetap mewarnai perjalanan birokrasi Indonesia.
Merujuk pada karya F.W. Riggs (1996) yang berjudul Administrasi Negara Negara
Berkembang: Teori Masyarakat Prismastis, dapat dikatakan bahwa birokrasi yang
berkembang di Indonesia saat ini merupakan birokrasi yang lahir dari rahim
masyarakat prismastic yaitu masyarakat yang ditandai dengan saling terbenturnya
nilai-nilai tradisional dengan nilainilai modern. Secara struktural ditampilkan ciri
ciri sebagaimana birokrasi modern, namun secara kultural, birokrasi di Indonesia
masih membawa semangat feodalisme dalam segala aspeknya.
Pola prilaku birokrasi Indonesia saat ini pada dasarnya dipengaruhi oleh berbagai
faktor yang merupakan suatu hasil dari proses sejarah dari zaman kerajaan
tradisional, kolonial dan birokrasi Indonesia modern saat ini (Santoso,1993;
Wignjosoeroto,1989; Hariandja, 1999).
1. Birokrasi Kerajaan
Birokrasi sebagai korps pegawai negara telah eksis di Indonesia sejak zaman pra
kolonial yaitu zaman kerajaan Hindu Jawa dan Mataram Islam. Korps ini disebut abdi
dalem. Para abdi dalem oleh raja diberikan hakhak atas tanah, menarik pajak tanpa
peraturan dan batasan yang jelas. Karir dan posisinya sangat tergantung pada
kecerdikan mereka dalam memelihara dan memanfaatkan hubungan pribadinya
denga raja. Para abdi dalem ini kemudian berkembang menjadi kelas sosial tersendiri
yang terpisah dari masyarakat. Mereka berkesempatan menurunkan kedudukannya
jika raja berkenan. Anggota keluarga lainnya mendapat kesempatan untuk menduduki
jabatan birokrasi, sehingga birokrasi bukan saja lembaga dengan fungsinya tetapi
juga sebuah lapisan sosial. Dengan demikian posisi dan status setidaknya ditentukan
oleh pertalian darah dengan keluarga kerajaan.
2. Birokrasi Kolonial
Tujuan pemerintahan kolonial adalah eksploitasi dan penguasaan politik. Untuk
melaksanakan tujuan tersebut birokrasi dibentuk. Priyayi sebagai ambtenaar
mempunyai kedudukan sebagai penyelenggara kekuasaan kolonial. Dengan memakai
para priyayi, maka secara umum pihak Belanda telah mengadopsi sistem dan struktur
birokrasi tradisional yang dinilai sangat menguntungkan dalam mengukuhkan
kekuasaan Belanda terhadap masyarakat pribumi. Sebenarnya ada perubahan dalam
birokrasi kolonial dimana priyayi tidak diangkat berdasarkan kualifikasi genelogis
tetapi berdasarkan kriteria rasional. Tetapi karena priyayi ini telah berkembang

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

19

menjadi suatu kelas sosial dan mereka mempunyai kesempatan untuk melestarikan
posisi sosial mereka, akhirnya kepriyayiannnya ini juga menjadi suatu hal yang turun
temurun sepertinya halnya abdi dalem.
3. Birokrasi Indonesia Kontemporer
Dalam memahami perilaku birokrasi di Indonesia, selain dengan menggunakan
pendekatan kultural seperti yang dijelaskan di atas, dapat juga digunakan
pendekatan lain yaitu model bureaucratic polity (masyarakat politik birokratik).
Usman (1998) menjelaskan bahwa permasalahan yang paling penting di Indonesia
pada masa orde baru adalah terjadinya apa yang lazimnya disebut politisasi birokrasi
publik. Kondisi ini pada awalnya dimaksudkan untuk meredakan konflikkonflik
internal birokrasi (tinggalan orde lama), tetapi dalam perkembanganya justru
menciptakan bentuk pelayanan yang tidak adil dan berkembangnya birokrasi
partisipan. Para birokrasi sangat sulit menolak keinginan rezim politik yang berkuasa.
Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam perspektif sosiologi, ada dua implikasi dari
politisasi birokrasi tersebut. Pertama, posisi birokrasi menjadi sangat marginal dan
tidak memiliki bargaining power; kedua, pelembagaan hubungan kekeluargaan pada
proses promosi dalam organisasi publik.
Emmerson dan Wilner (Hariandja,1999) menjelaskan bahwa nilainilai tradisional
secara subtansial terus berlanjut, meskipun dalam berbagai segi memperlihatkan
ekspresi baru. Hal ini dapat diamati bagaimana sampai saat ini posisi dan status
sosial masih berkaitan erat dengan hirarki birokrasi seperti bagaimana pegawai
negeri sipil diorganisir dalam organisasi tunggal yang posisi kepemimpinannya
diterapkan sesuai dengan tingkat jabatan dalam birokrasi.

D. Pembaruan Birokrasi
Wajah birokrasi Indonesia penuh dengan
cacat akibat deviasi-deviasi yang
terpelihara yang memunculkan penyakit atau patologi birokrai. Secara teoritik
Merton menyebut gejala ini sebagai dysfunction dan yang lainnya merumuskannya
sebagai bureau pathology. Ada banyak cara yang ditawarkan untuk mengreformasi
birokrasi. Patologi birokrasi Indonesia pada umumnya disebabkan oleh beberapa hal
(Siagian,1994) :
1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manejerial para pejabat di
lingkungan birokrasi;
2. Patologi yang disebabkan karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan
keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional;
3. Patologi yang timbul karena tindakan para anggota birokrasi yang melanggar
norma-norma hukum dan peraturan perundangan yang berlaku;

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

20

4. Patologi dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang bersifat


disfungsional atau negatif;
5. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi dalam
lingkungan pemerintah.
Dari berbagai potret birokrasi itu maka sangat diperlukan suatu proses pembaruan
atau reformasi birokrasi secara mendasar. Ada beberapa pendekatan yang
berkembang dalam kaitan melakukan reformasi birokrasi ini yaitu pendekatan atau
perubahan paradigma administrasi publik menjadi manajemen publik. Ada beberapa
alasan perlu dilakukannya perubahan paradigma ini yaitu : (1) pendekatan adminstrasi
terlalu normatif; (2) model tersebut kurang memiliki akurasi yang deskriptif; (3)
bahwa model normatif gagal untuk mengidentifikasi mekanisme terbaik administrasi
publik yang kondusif terhadap efektivitas dan efisiensi operasionalnya (Lane,1998).
Kristiadi (1998) mencatat beberapa hal dalam upaya menuntun model manajemen
publik dalam mereformasi birokrasi Indonesia :
1. Bagaimana membangun manajemn publik yang bercirikan good governance;
2. Bagaimana membangun manajemen publik yang memungkinkan terwujudnya
keseimbangan baru antara peranan pemerintah yang tepat dengan peranan
masyarakat yang partisipatif, sekaligus mengindahkan kaidahkaidah
internasional;
3. Bagaimana mempersiapkan unsurunsur organisasi yang mendukung
terwujudnya manajemen publik yang memenuhi ketiga kriteria di atas;
4. Ke arah manakah pengembangan paradigma dan ilmu manajemen publik yang
dapat mendukung terwujudnya pratikpratik manajemen publik yang
memenuhi kriteria di atas.
Selain pendekatan manajemen di atas, juga muncul pendekatan untuk
mewirausahakan birokrasi yang disponsori oleh David Osborne dan Ted Gabler
dengan bukunya Reinventing Government serta David Orborne bersama Peter
Plastrik dalam bukunya Memangkas Birokrasi sebagai strategi dalam
mengimplementasikan prinsip- prinsip pemerintahan wirausaha.
Reinventing government sebagaimana yang diusulkan bukan dimaksudkan untuk
menggantikan peran para administrator dalam sektor publik melainkan dimaksudkan
untuk mengubah cara pandang klasik para birokrat menjadi cara pandang yang lebih
dinamis yang dirumuskan dalam 10 prinsip sebagai berikut:
1. Birokrasi yang lebih banyak mengarahkan ketimbang mengayuh;
2. Lebih memberi wewenang ketimbang melayani;
3. Menumbuhkan semangat persaingan dalam pemberian pelayan publik;
4. Merubah birokrasi yang digerakan oleh aturan;
5. Prinsip membiayai hasil dan bukn membiayai masukan;

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

21

6.
7.
8.
9.
10.

Berorientasi pada kebutuhan masyarakat pelanggan, ketimbang struktur;


Berorientasi hasil bukan pegeluaran;
Lebih bersifat mencegah daripada mengobati;
Dari hirarki menuju partisipasi dan team work;
Mendongkrak perubahan melalui mekanisme pasar.

Lebih lanjut Osborne dan Plastrik (2000) menegaskan pentingnya pemahaman yang
luas terhadap makna pembaharuan birokrasi tersebut sehingga tidak menjadi tidak
tepat sasaran. Pembaruan oleh keduanya didefenisikan sebagai tranformasi sistem
dan organisasi pemerintah secara fundamental guna menciptakan peningkatan
dramatis dalam efektivitas, efisiensi dan kemampuan mereka untuk melakukan
inovasi. Transformasi ini dicapai dengan mengubah tujuan, sistem insentif,
pertanggungjawaban, struktur kekuasaan, dan budaya sistem dan organisasi
pemerintah. Pembaharuan adalah menciptakan organisasi dan sistem pemerintah
yang terus-menerus berinovasi, yang secara kontinu memperbaiki kualitas mereka,
tanpa mendapat tekanan dari pihak luar. Pembaharuan adalah penciptaan sektor
pemerintah yang mempunyai dorongan dari dalam untuk melakukan perbaikan yang
oleh sebagaian orang disebut sistem pembaruan diri.
Hal menarik yang ditawarkan oleh Osborne dan Plastrik adalah mencoba membedah
sumber permasalahan pada birokrasi yang disebut dengan melihat kembali kode
genetika dari birokrasi. Mengambil pengandaian dari dunia pertanian, dijelaskan
bahwa semua organisme dibentukan oleh DNA yaitu instruksi berkode yang
menentukan siapa dan apa mereka. Dengan mengubah DNA suatu organisme maka
kemampauan dan prilaku baru akan muncul pula. Hal yang sama dianalogikan juga
pada sistem pemerintahan. Mereka bergerak sangat lamban dan birokratis pada
dasarnya karena mereka dirancang untuk demikian.
Dalam sistuasi demikian, solusi yang ditawarkan adalah rekayasa genetika atau
mengubah DNA dari sistem tersebut. Disimpulkan bahwa bagaian bagian paling
fundamental dari birokrasi pada umumnya menyangkut hal hal sebagai berikut :

1. Tujuan Sistem
Bagian kritis pertama adalah bagaimana menentukan tujuan sistem organisasi
pemerintah. Jika suatu organisasi tidak jelas tujuannnya atau mempunyai tujuan
ganda dan saling bertentangan maka organisasi tersebut tidak bisa mencapai kinerja
yang baik.
Strategi memperjelas tujuan disebut sebagai strategi inti karena berkaitan dengan
fungsi inti pemerintahan: fungsi mengarahkan. Strategi ini menghapus fungsi fungsi

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

22

yang tidak lagi menjalankan tujuan pemerintah yang sebenarnya, fungsi yang lebih
baik jika dikerjakan oleh sektor swasta atau tingkat pemerintahan yang lain.
Strategi ini memisahkan fungsi mengarahkan dan fungsi melaksanakan, sehingga tiap
organisasi dapat memusatkan pada satu tujuan dan meningkatkan kemampuan
pemerintah untuk mengarahkan dengan menciptakan mekanisme yang bisa
mengdefenisikan tujuan dan strategi.
2. Insentif
Bagian penting kedua dari DNA sistem pemerintah adalah DNA yang menentukan
sistem insentif pemerintah. DNA birokratis memberi insentif yang kuat kepada
pegawai untuk taat aturan dan tunduk. Inovasi hanya akan membawa kesulitan,
status qou terus-menerus mendatangkan hadiah. Pegawai dibayar sama tanpa
memandang hasil. Dan sebagaian besar organisasi adalah monopoli atau mendekati
monopoli yang diisolasi dari kegagalan mereka.
3. Pertanggungjawaban
Hal ini berkaiatan dengan kepada siapa seharusnya organisasi pemerintah
bertanggungjawab, apa yang harus dipertanggungjawabkan. Sebagian besar entitas
pemerintah bertanggungjawab kepada pejabat terpilih yang membuat entitas
tersebut. Karena itu pejabat ditekan terus-menerus untuk menjawab tuntutan
kelompokkelompok kepentingan, mereka lebih sering peduli terhadap penggunaan
sumber daya pemerintah daripada terhadap hasil-hasil yang mereka peroleh.
4. Kekuasaan
Dalam sistem birokrasi, sebagian besar kekuasaan tetap berada di puncak hirarki.
Dan biasanya para pejabat mempertahan kekuasaan sebanyak mungkin di tangannya.
Para manejer lini mempunyai kekuasaan yang terbatas dan kekeluasaan mereka
dihambat oleh instruksi anggaran yang rinci, aturan kepegawaian, sistem pengadaan,
pratekpratek auditing dan sebagainya. Pegawai hampir tidak memiliki kekuasaan
untuk mengambil keputusan. Akibatnya, organisasi-organisasi pemerintah lebih
tanggap pada peraturan baru daripada kepada perubahan situasi atau kebutuhan
pelanggan.
5. Budaya
Akhirnya, bagian kritis dari DNA sistem pemerintah adalah DNA yang menentukan
budaya organisasi pemerintah yaitu menyangkut nilai-nilai, norma, sikap dan harapan
pegawai. Budaya sangat dipengaruhi oleh bagian DNA lainnya baik itu tujuan, sistem
insentif, sistem pertanggungjawaban dan struktur kekuasaannya. Ubahlah unsur

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

23

unsur ini maka budaya akan berubah. Tetapi budaya tidak selalu berubah persis
seperti apa yang diharapkan para pemimpinnnya. Kadang-kadang budaya akan
memperkeras resistensi. Seringkali budaya akan berubah lamban sekali dalam
memuaskan pelanggan dan pembuat kebijakan.
Sistem birokrasi menggunakan spesifikasi yang rinci, unit-unit fungsional dan uraian
pekerjaan untuk membentuk hal-hal yang harus dikerjakan pegawai. Spesifikasi ini
membuat inisiatif menjadi resiko. Apabila pegawai terbiasa dengan kondisi ini maka
mereka akan menjadi pembawa budaya ini. Mereka menjadi reaktif, menggantungkan
diri, takut mengmbil inisiatif. Dengan cara demikian, DNA birokrasi menciptakan
budaya takut, menyalahkan dan sikap defensif.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

24

3
METODE PENELITIAN
A. Variabel Penelitian
1. Determinan Struktural Birokrasi
1.1. Sistem Konsekuensi
Pola kompetisi
Pola pengukuran kinerja
Pola insentif
1.2. Sistem pertanggungjawaban
Mekanisme pertanggungjawaban organisasi
Isi pertanggungjawaban
Akses masyarakat
1.3. Struktur Kekuasaan
Pola pengambilan keputusan
Pola pengawasan dan pengendalian
2. Determinan Budaya Patrimonial
2.1. Budaya Organisasi
Pola pola prilaku
Nilai nilai yang dianut
2.2.
Pola Promosi
Hubungan kekeluargaan
Hubungan etnik
Hubungan politik
2.3.
Polarisasi dalam birokrasi
Klik etnik
Klik politik
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Birokrasi Pemerintahan Kabupaten Ngada Propinsi Nusa
Tenggara Timur yang dilakukan sejak bulan Februari sampai Maret 2005.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

25

C. Populasi dan Sampel


Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh aparat birokrasi pemerintahan
Kabupaten Ngada yang berjumlah 1830 orang yang tersebar dalam Dinas,
Sekretariat Daerah, dan Badan serta yang tersebar di seluruh kecamatan.
Sample ditentukan dengan teknik cluster purposive sampling, dimana
organisasi birokrasi pemerintahan di kabupaten Ngada diklaster berdasarkan
bentuk organisasi yaitu dinas, badan dan organisasi sekretariat dan dari
masing masing kelompok tersebut ditentukan responden secara sengaja
dengan memperhatian tingkat eselon dan non eselon.
Tabel 1. Kerangka Sampling
No
Cluster

1
2
3

Dinas
Badan
Bagian Sekretariat
Jumlah

Eselon
II
10
6
3
19

Komponen Responden
Eselon
Eselon
Non Eselon
III
IV
20
30
40
20
30
40
11
37
40
51
97
120

Informan penelitian yang diambil untuk melengkapi pengumpulan data yaitu


meliputi anggota DPRD, tokoh masyarakat dan masyarakat umum yang
jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan data yang diperlukan.

D. Teknik Pengumpulan Data


Library research yaitu dengan mempelajari berbagai literatur dan dokumen
dokumen yang ada hubungannnya dengan obyek penelitian
Pengumpulan data primer yang dilakukan dengan menggunakan kuesioner,
wawancara mendalam dan berstruktur serta focus group discussion.
E. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang terkumpul ditabulasi dan dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif
kualitatif yang dipadukan dengan perbandingan teoritik.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

26

GAMBARAN UMUM KABUPATEN NGADA


Kabupaten Ngada merupakan salah satu dari 16 kabupaten/kota di Propinsi Nusa
Tenggara Timur, yang secara geografis terletak di antara 8-9 0 lintang selatan dan
1200450 1210500 bujur timur. Bagian utara berbatasan dengan Laut Flores, bagian
selatan berbatasan dengan Laut Sawu, bagian timur berbatasan dengan Kabupaten
Ende dan bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Manggarai. Kabupaten Ngada
tergolong daerah yang beriklim tropis. Sebagian besar wilayahnya adalah padang
rumput yang ditumbuhi pepohonan seperti kemiri, asam, kayu manis dan sebagainya
serta kaya dengan fauna, antara lain hewan-hewan besar, hewan-hewan kecil dan
unggas. Daerah ini juga kaya dengan obyek wisata seperti Taman Laut 17 Pulau
(Riung), panorama alam seperti air terjun, gua alam, sumber air panas (Mengeruda)
dan wisata budaya seperti peninggalan batu megalith, rumah adat tradisional (Bena).
Secara administratif, Kabupaten Ngada terdiri dari 14 kecamatan, 143 desa dan 30
kelurahan. Luas Kabupaten Ngada sampai dengan tahun 2002 mencapai 3.037,88 km2
dengan jumlah penduduk sebesar 234.020 jiwa lebih yang tersebar pada 14
kecamatan. Selanjutnya dapat dilihat pada tabel berikut :

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

27

Tabel 1
Keadaan Penduduk Kabupaten Ngada
Keadaan Tahun 2002
No

Kecamatan

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Jumlah
Penduduk

Aimere
19.673
Ngada Bawa
19.611
Golewa
30.401
Mauponggo
27.321
Nangaroro
19.028
Boawae
29.465
Bajawa
16.785
Riung
19.737
Aesesa
33.482
Soa
14.047
Wolowae
4.470
Jere Buu
Keo Tengah
Riung Barat
Jumlah
234.020
Sumber : Ngada Dalam Angka, 2002

Luas
Wilayah
(Km2)
234,76
44,46
250,72
141,89
264,27
325,42
256,22
683,00
503,29
151,76
182,09

Kepadatan
Penduduk/Km2

Jumlah
Desa/Kel

84
441
121
193
72
91
66
29
67
93
25

3.037,88

77

11
9
20
19
12
20
12
10
23
10
5
6
11
5
173

Gambaran mengenai komposisi penduduk yang bekerja menunjukan pada tahun 2001
sebagian besar penduduk yang bekerja memiliki lapangan usaha di sektor pertanian
101.446 orang atau 86.82 persen. Dilihat dari status pekerjaan utamanya, sebanyak
7.773 atau 6,65 persen penduduk bekerja sebagai buruh. Hal yang menarik adalah
jumlah penduduk yang bekerja dengan status pekerja keluarga mencapai sebanyak
60.682 orang atau 51.93 persen dari penduduk yang bekerja. Sebagaian besar
penduduk bekerja dengan jam kerja antara 25-34 jam dan 35-44 jam kerja
seminggu. Sekitar 42.466 orang dari 116.853 orang yang bekerja atau 36.34 persen
berkerja antara 25-34 jam per minggu dan 28.23 persen bekerja antara 25-34 jam
per minggu.
Rata-rata anak yang pernah dilahirkan menurut Sensus Penduduk 2000 dan Susenas
2001 terlihat bahwa secara keseluruhan rata-rata yang dilahirkan oleh wanita umur
spesifik 45-49 tahun menurun dari 4.23 persen pada tahun 2000 menjadi 4.17
persen pada tahun 2001. Sedangkan angka kematian bayi di Kabupaten Ngada pada
periode 1977-1987 telah menurun cukup besar. Pada tahun 1987 angka kematian bayi
adalah 72 per 1000 kelahiran. Oleh karena itu, angka harapan hidup pada periode ini
menjadi meningkat dari 47,9 tahun pada tahun 1977 menjadi 59,5 tahun 1987.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

28

Menyangkut mata pencararian, menurut data Susenas 2002, sebanyak 124.461 orang
menpunyai pekerjaan, sedangkan jumlah usia produktif (usia 15-50 tahun) tercatat
mencapai 109.130 jiwa atau 47.75% dari total penduduk Kabupaten Ngada.
Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sebanyak 15.331 penduduk
di luar usia produktif sudah mempunyai pekerjaan, sehingga bisa diartikan terdapat
sebagian penduduk yang seharusnya menuntut ilmu atau terdapat sebagain penduduk
yang seharusnya beristirahat atau pensiun ternyata masih melaksanakan aktivitas
seperti biasa untuk mencari nafkah yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2
Keadaan Ketenagakerjaan Penduduk Kabupaten Ngada
Tahun 2002
No
1

Status Pekerjaan
Angkatan Kerja
a. Bekerja
b. Mencari pekerjaan
2
Bukan Angkatan Kerja
a. Sekolah
b. Lainnya
c. TT
Sumber : Ngada Dalam Angka,2002

Jumlah
125.447

Persen
124.461
806

99.36
0,64

8.120
9.965
1

44,90
55,10
0.01

18.086

Menyangkut jenis pekerjaan, sebagian besar penduduk Kabupaten Ngada


bermatapencaharian sebagai petani atau bekerja pada sektor pertanian. Keadaan
penduduk menurut mata pencaharian dapat dilihat pada tabel berikut :

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

29

Tabel 3
Keadaan Penduduk Menurut Lapangan Usaha Di Kabupaten Ngada
Tahun 2002
No
Lapangan Usaha
Jumlah
Persen
1
Pertanian Tanaman Pangan
96.345
77,30
2
Perkebunan
8.950
7.18
3
Jasa
7.853
6.30
4
Industri
3.467
2.78
5
Perdangan
2.886
2.32
6
Perikanan
1.302
1.04
7
Peternakan
1.227
0.98
8
Lainnya
1.016
0.82
9
Pertanian lainnya
972
0.78
10
Angkutan
614
0.49
11
TT
9
0.01
Jumlah
124.641
100.00
Sumber : Ngada Dalam Angka, 2002
Berikutnya menyangkut keadaan tingkat pendidikan penduduk, berdasarkan hasil
publikasi BPS tahun 1996 dan tahun 1999 diperoleh gambaran sebagai berikut :
Angka melek huruf meningkat dari 86,4 persen menjadi 92,3 persen
Rata-rata lama sekolah meningkat dari 5.7 persen menjadi 6.3 persen
Angka buta huruf usia dewasa 7.7 persen
Angka partisipasi sekolah usia SD mencapai 95 persen
Angka partisipasi usia sekolah SLTP mencapai 69.6 persen
Angka partisipasi usia sekolah SLTA mencapai 30.3 persen
Angka partisipasi sekolah usia PT mencapai 3.1 persen
Angka putus sekolah usia SD dan SLTP hanya mencapai 3.7 persen
Angka putus sekolah usia SLTA hanya mencapai 28.3 persen
Angka putus sekolah usia PT hanya mencapai 26.8 persen
Menurut hasil SUSENAS 2001, terkait angka butu huruf penduduk Kabupaten
Ngada, nampak bahwa penduduk berumur 10 tahun ke atas yang buta huruf pada
tahun 2001 tercatat 14.443 orang (8.60 persen) dimana penduduk perempuan
memiliki jumlah hampir dua kali lebih besar dibandingkan penduduk laki-laki.
Pada tahun 2001 banyaknya penduduk berumur 10 tahun ke atas yang tidak atau
belum pernah sekolah, masih sekolah dann tidak sekolah lagi masing-masing 12.400
orang (7,38 persen) , 26.580 orang (15.83 persen) dan 128.952 (76.79 persen).

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

30

Selanjutnya, gambaran mengenai jumlah sekolah, guru dan murid serta rasio
guru/sekolah dan murid/sekolah dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4
Data Jumlah Sekolah, Guru dan Murid Di Kabupaten Ngada
Tahun 2002
N
o
1
2
3
4

Jenjang

Jumlah
Sekolah Guru
SD
274
1.796
SLTP
47
593
SMU Umum
11
254
SMU Kejuruan 3
87
a. STM
2
67
b. SMEA
1
20
Sumber : Ngada Dalam Angka,2002

Murid
34.983
8.874
3.516
1.525
1.212
313

Rataan
Guru/Sekolah
6.6
12.6
23.1
26.8
33.5
20

Rataan
Murid/Sekolah
127.7
188.8
319.6
459.5
606.0
313.0

Keadaan penduduk menurut agama terlihat bahwa pada umumnya penduduk


Kabupaten Ngada memeluk agama Katolik (205.505 orang); sementara Protestan
2.001 orang; Islam 15.790 orang; Hindu 192 orang dan Budha 2 orang.
Selanjutnya menyangkut kondisi perekonomian, PDRB Kabupaten Ngada sebesar Rp.
1.510.475 sedangkan menurut harga konstant, PDRB Kabupaten Ngada pada tahun
1999 sebesar Rp.156.033.480.000 dan pada tahun 2000 sebesar Rp.
161.063.164.000. Berdasarkan hal ini maka laju pertumbuhan ekomomi Kabupaten
Ngada pada tahun 2000 sebesar 3.22%. Gambaran lengkap PDRB Kabupaten Ngada
dapat dilihat pada tabel berikut :

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

31

Tabel 5
Gambaran Umum PDRB Kabupaten Ngada
Keadaan Tahun 2000
No
1

Lapangan Usaha

Pertanian
a. Tanaman Bahan Makanan
b. Tanaman Perkebunan Rakyat
c. Peternakan dan hasilnya
d. Kehutanan
e. Perikanan
2
Pertambangan dan Penggalian
3
Industri Pengolahan
a. Migas
b. Non Migas
4
Listrik dan Air Bersih
a. Listrik
b. Air bersih
5
Bangunan/konstruksi
6
Perdagangan
a. Perdagangan besar dan eceran
b. Restoran dan rumah makan
c. Hotel
7
Pengangkutan dan komunikasi
a. Angkutan
- Angkutan jalan raya
- Angkutan laut
- Angkutan udara
- Jasa angkutan
b. Komunikasi
8
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahan
a. Bank
b. Lembaga keuangan nirlaba
c. Sewa bangunan
d. Jasa Perusahaan
9
Jasa-jasa
a. Pemerintahan Umum
b. Swasta
- Sosial kemasyarakatan
- Hiburan dan rekreasi
- Perorangan
Jumlah
Sumber : Ngada Dalam Angka,2002

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

Jumlah
(Ribuan Rp)
183.960.893
110.100.748
33.876.321
28.909.808
1.990.904
9.083.112
4.578.108
4.578.108
8.200.973
2.719.148
794.234
1.924.914
32.025.550
32.039.460
30.834.979
925.712
278.769
18.469.430
17.094.217
15.671018
528.775
836.156
1.375.213
13.079.283
4.749.100
4.739.512
3.521.200
69.471
58.408.564
53.730.921
4.677.643
2.609.336
76.798
1.991.509
353.481.409

32

Menyangkut tingkat kemiskinan penduduk, pada tahun 1996 jumlah penduduk yang
hidup di bawah garis kemiskinan diperkirakan mencapai 23.952 orang atau 11,27
persen dari seluruh Penduduk Kabupaten Ngada. Akibat krisis ekonomi yang terus
berkelanjutan, sampai dengan Februari tahun 1999, jumlah penduduk miskin
diperkirakan telah menjadi 42.933 orang atau 19,44 persen. Dibandingkan dengan
tahun 1996 jumlah penduduk miskin tersebut mengalami peningkatan sebesar 79.25
persen. Selama periode 1996-1999, garis kemiskinan meningkat 210,62 persen. Garis
kemiskinan ini naik dikarenakan naiknya harga-harga pada pertengahan tahun 1997.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

33

5
DETERMINAN STRUKTURAL DAN KULTURAL PADA
BIROKRASI PEMERINTAHAN KABUPATEN NGADA
A DETERMINAN STRUKTURAL BIROKRASI
1. Sistem Konsekuensi
1.1

Pola Kompetisi

Sistem persaingan pada dasarnya penting untuk diperhatikan karena ia menyangkut


sistem pengelolaan kepentingan antar individu yang dapat menjamin rasa puas aparat
dalam berkinerja.
Organisasi birokrasi Kabupaten Ngada pada dasarnya belum memiliki suatu sistem
kompetisi yang dibuat secara terlembaga dengan standar dan mekanisme yang jelas.
Ada kecendrungan para staf bekerja hanya pada bidangnya dengan programnya
sehingga hanya bergerak secara mekanistik dan di sisi lain ruang kompetisi ini juga
tidak dibangun dalam kerangka standar kinerja yang jelas dan hasil atau implikasi
kinerja yang terarah pula. Pola promosi misalnya cenderung masih bersifat kaku
berdasarkan aturan legalistik formal aturan kepegawaian
sehingga tidak
memungkinkan adanya ruang kompetisi berdasarkan penilaian prestasi dalam proses
promosi.
Implikasi dari model ini adalah para staf cenderung memiliki motivasi untuk
berprestasi yang rendah dan selanjutnya berdampak pada tidak jelasnya kinerja
staf yang tidak terukur dengan baik dan hasil atau implikasi dari kinerja yang tidak
diapresiasi secara baik dan jelas pula.
Dinas Perhubungan misalnya, dalam membangun sistem kompetisinya cendrung dinilai
berdasarkan pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi yang sudah ditentukan dalam
Perda. Dinas perhubungan dibagi dalam dua subdinas yaitu Sub Dinas Sarana
Prasarana dan Sub Dinas Perhubungan Darat yang keduanya dijabarkan dalam seksiseksi. Dalam organisasi ini ada hubungan horisontal dan hubungan vertikal yaitu
hubungan atas dari seksi ke sub dinas dan ke dinas selain itu ada juga KTU yang
berperan mengkoordinir kegiatan administrasi yang dibagi atas beberapa bagian.
Hubungan ini bersifat teratur dalam uraian tugasnya yang selanjutnya tugas ini

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

34

dapat lebih fleksibel sesuai dengan kebutuhan organisasi. Struktur ini dianggap
bukan sebagai pemisahan tugas tetapi hanya pembagaian tugas sehingga antar bagian
dapat saling berhubungan sehingga ada hubungan horisontal antar bagian sehingga
semua dapat saling memahami tugas dan fungsi bagian lain.
Manfaat kompetisi yang fair tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Kompetisi
dalam olah raga dan bisnis, sebagai contoh, yang telah hadir ratusan tahun silam,
memungkinkan seseorang atlit/businessman tidak ragu-ragu melakukan investasi
yang besar demi suatu keuntungan di masa yang akan datang. Kompetisi
memungkinkan para orangtua mengirim anak-anak mereka pergi berlatih/mencari
ilmu hingga ke negeri seberang, menghabiskan waktu berjam-jam berlatih dan
belajar tanpa lelah dan putus asa. Prinsip kompetisi: the best is the winner,
merangsang mereka untuk menemukan cara-cara terbaik, efisien dan efektif dalam
mengelola diri dan/atau usaha mereka agar mereka dapat menawarkan sesuatu yang
unggul, murah, ramah dan berkualitas. Sementara itu pengusaha yang tidak efisien
akan menjual barang/jasa yang mahal yang pada akhirnya akan gugur dalam proses
kompetisi.
Kenyataan inilah yang harusnya menginspirasi dan meransang para pemimpin untuk
mereformasi sektor publik. Kebanyakan para calon pemimpin, sebagai contoh,
biasanya berjanji untuk mewujudkan keadaan yang ideal, memberantas KKN,
memberantas kemiskinan, mereformasi sektor publik, dan lain-lain, tetapi sangat
terbatas pernyataan tentang kebijakan yang akan diambil. Keadaan-keadaan ideal di
atas merupakan tujuan kebijakan, tetapi tentu saja hal-hal ini tidak terwujud jika
tidak ada suatu penjelasan tentang kebijakan yang akan diambil dan bagaimana
merealisasikannya.
Pada sektor swasta, kompetisi merupakan jiwa penggerak utama. Kompetisi
memungkinkan penunjukkan karyawan yang terbaik dalam mewujudkan tujuan
organisasi. Demikian juga seharusnya pada sektor publik. Kenyataan bahwa pada
tingkat yang lebih tinggi dalam hirarki birokrasi, jabatan yang tersedia semakin
berkurang, harusnya dapat mendorong para pemimpin untuk bisa mewujudkan suatu
iklim kompetisi dalam pengisian jabatan ini. Ke depan kemungkinan keterlibatan pihak
luar dalam mengisi jabatan-jabatan pada sektor publik akan semakin terbuka,
sehingga apabila calon-calon internal kurang memiliki kompetisi maka mereka tidak
akan bisa bersaing dengan calon eksternal yang umumnya memiliki kemampuan lebih.
Praktek promosi otomatis yang selama ini berlangsung dalam sektor publik yang
didasarkan pada senioritas, sangat berbeda dengan penciptaan suatu budaya
kompetisi. Pada praktek promosi otomatis, seorang karyawan memiliki insentif yang
sangat terbatas untuk bekerja lebih dan berprestasi lebih. Promosi otomatis ini
mematikan kompetisi. Yang terjadi selama ini adalah sepanjang tidak melakukan

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

35

sesuatu yang merupakan suatu pelanggaran, maka seseorang karyawan pemerintah


dipastikan akan dipromosikan setelah bekerja dan berada dalam pangkat/golongan
yang sekarang selama maksimal empat tahun.
Praktek yang terjadi adalah terjadinya kelebihan staf pada level yang lebih tinggi,
sebagai akibat dari promosi otomatis, baik itu yang berprestasi ataupun yang tidak
berprestasi. Sehingga mereka yang berprestasi menjadi frustasi sebagai akibat dari
kurangnya pengakuan yang bermakna terhadap usaha mereka. Hal ini tentu bisa
mendorong mereka untuk meningggalkan sektor publik dimana mereka bisa
memperoleh penghargaan yang layak, atau mereka hanya sekadar menjadi kurang
termotivasi (dispirited), yang berakibat pada menurunnya produktivitas. Pada saat
yang sama, ada insentif yang sangat terbatas untuk meningkatkan pendidikan atau
pengetahuan atau ketrampilan mereka mengingat kenyataan bahwa perubahan
pengetahuan yang akan mereka lakukan tidak akan membawa perubahan yang layak
dalam hal gaji atau promosi (Haning 2004).
Apa yang semestinya dijumpai adalah suatu sistem, dimana promosi hanya akan
terjadi bila ada kebutuhan untuk mengisi suatu posisi yang kosong, dan kompetisi
untuk pengisian jabatan tersebut didorong dengan memberi kesempatan kepada
pelamar-pelamar yang potensial, dan bukan merupakan hak yang otomatis.
Penekanannya harus selalu pada bagaimana memperoleh seorang pegawai yang
terbaik untuk mengisi setiap posisi. Dengan fokus ini, maka berbagai perubahan
dapat dilakukan.
Pertama, sistem yang menekankan pada senioritas dan kualifikasi pendidikan sebagai
prasyarat untuk menduduki posisi yang lebih tinggi harus dihentikan. Jika seorang
pegawai muda dengan pengalaman yang relatif sedikit mampu mendemonstrasikan
suatu kompetensi yang tinggi, maka semestinya tidak ada alasan yang lebih kuat
untuk tidak mengikutsertakannya dalam berkompetisi dengan pelamar-pelamar yang
lebih senior.
Kedua, pegawai negeri harusnya didorong untuk melamar posisi-posisi baik itu di
dalam maupun di luar badan/dinas/kantor/bagian mereka. Ada banyak manfaat yang
diperoleh dengan perputaran semacam itu, oleh karena mereka akan mengalami
lingkungan kerja dan praktek yang berbeda, dan unit yang mereka masuki tentu juga
memperoleh manfaat dari pengalaman mereka. Orang luar umumnya akan membawa
baik itu ide-ide yang baik maupun buruk; yang pertama tentu bisa diadopsi dan yang
terakhir dapat diabaikan. Sekali lagi dengan memberi kesempatan kepada sebanyakbanyaknya pelamar, maka kesempatan untuk memperoleh yang terbaik itu akan lebih
besar.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

36

Ketiga, pelamar juga sebenarnya bisa dari luar. Sama halnya seperti yang diperoleh
dari perputaran antarunit, maka masuknya pihak luar, terutama dari sektor swasta,
akan membawa manfaat yang luar biasa.
Keempat, dalam rangka penilaian kemampuan seorang pelamar, maka praktek-praktek
yang selama ini dilakukan dalam menjaring para pejabat publik politik dapat diadopsi.
Dengan suatu proyek ujicoba/percontohan, beberapa posisi yang strategis dapat
dibuka untuk setiap pegawai untuk melamar dengan memenuhi persyaratan
administratif tertentu dan bahkan suatu forum kompetisi untuk mengetahui apa
yang hendak mereka lakukan dan (visi dan misi) kemana suatu organisasi hendak
dibawa dapat diadakan agar publik secara transparan dapat mengetahui kapasitas
seseorang pejabat birokrat yang akan melayani mereka. Suatu tim perlu dibentuk
untuk mengelola pendekatan dan forum semacam ini.
Kompetisi dalam alokasi sumber daya kepada badan/kantor/dinas/bagian pada
pemerintah daerah juga merupakan suatu praktek yang telah lama diadopsi di
negara-negara barat. Dengan penekanan pada efisiensi, efektifitas dan
produktifitas maka mereka yang mampu yang memiliki kompetensilah yang umumnya
memperoleh lebih banyak resources.
Dalam prakteknya pada pemerintah daerah, keberadaan suatu badan, dengan tugas
pokok dan fungsi yang jelas tidaklah selamanya menjadi ukuran/standar alokasi
resources. New Zealand melakukan hal ini melalui prinsip purchaser/provider split
(pemisahan antara penjual dan pembeli) dimana setiap organisasi, termasuk di
dalamnya sektor swasta dan lembaga swadaya masyarakat bisa berpatisipasi dalam
pelaksanaan suatu program atau proyek tertentu. Kondisi yang tercipta adalah
terwujudnya suasana kompetisi antarunit-unit yang ada maupun antarunit
pemerintah dengan swasta. Mereka diberi kebebasan untuk mengajukan proposal
untuk perolehan dana guna memecahkan suatu persoalan tertentu yang masih
berkaitan. Sehingga yang terjadi adalah suatu badan, sebagai contoh Badan
Pemberdayaan Masyarakat Desa, yang selama ini memfokuskan diri pada upaya
pengentasan kemiskinan, bisa jadi tidak memperoleh alokasi dana yang cukup oleh
karena uang tersebut telah direbut oleh unit lain (Haning 2004).
Hal ini sebenarnya juga telah diadopsi oleh beberapa pemerintah daerah, seperti
yang terlihat dalam pengadopsian sistem anggaran kinerja. Dalam anggaran ini,
penekanannya bukan hanya pada pengelolaan inputs, tetapi juga pada processes dan
outputs. Outcomes sendiri tentu agak sulit untuk diukur atau menjadi tanggungjawab satu unit organisasi, mengingat tidak menentunya batas waktu dan pengaruh
faktor lain terhadap delivery of the outputs. Pengentasan kemiskinan, sebagai
contoh, hanya akan terwujud selama suatu jangka waktu panjang terntentu dan
sudah pasti bukan hanya merupkan kontribusi satu unit pemerintah.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

37

Demikian pula dengan pengenaan sanksi yang bertitiktolak dari outputs, sebenarnya
sangat sulit dan dilematis. Kesulitannya terletak pada kenyataan bahwa suatu output
bisa jadi merupakan hasil kerja keroyokan beberapa unit, dan bukan hanya satu
individual unit. Sementara itu hal dilematisnya terletak pada kenyataan juga bahwa
pengurangan alokasi resources kepada suatu unit, sebagai contoh, sebagai akibat
kegagalan unit tersebut dalam memenuhi target yang ditetapkan bisa berdampak
kepada keseluruhan cakupan pelayanan yang merupakan tanggung-jawab unit itu.
Untuk itu, solusi yang dipakai adalah dengan mendorong kehadiran lembaga
(pemerintah, swasta maupun civil society) untuk berkompetisi dalam mengambilalih
pelayanan yang vakum tadi. Solusi kedua adalah dengan mengkombinasikan prinsip
punishment pengurangan alokasi resources dengan pengenaan sanksi pribadi kepada
pimpinan unit tersebut.
Kesemua best practices ini pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan suatu
kondisi yang memungkinkan para pegawai untuk bekerja secara maksimal, tanpa
paksaan tetapi dengan motivasi yang tinggi, berlomba-lomba membekali diri dan
membangun organisasi untuk menghasilkan sesuatu yang tidak seperti biasa dengan
berbekal sesuatu yang hanya biasa. Sehingga prinsip efiensiensi, prinsip the right
man on the right place, dan prinsip the best deserves the best (yang terbaik
memperoleh yang terbaik) dapat terwujud (Haning 2004).
1.2

Pola Pengukuran Kinerja

Setiap organisasi dibentuk atau didirikan untuk mencapai suatu tujuan yang telah
ditetapkan. Untuk mengetahui sejauhmana tujuan organisasi telah tercapai perlu
dilakukan penilaian melalui evaluasi secara terus menerus
terhadap kinerja
organisasi. Hal ini penting dilakukan, karena dengan melakukan penilaian terhadap
kinerja, oraganisasi dapat melakukan penilaian terhadap kinerja, perbaikan mutu.
Dengan demikian yang menjadi sasaran penilaian kinerja adalah tingkat keberhasilan
suatu organiasasi dalam kurung waktu tertentu.
Pengukuran kinerja menjadi suatu hal penting yang terabaikan oleh birokrasi
pemerintah dalam menjalankan keeksistensiannya sebagai pelayanan. Birokrasi
pemerintah tidak mengetahui secara pasti sudah sejauh mana mereka telah bekerja.
Penilaian kinerja adalah suatu kegiatan yang sangat penting yang dapat digunakan
sebagai ukuran keberhasilan dan dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan
perubahan atau pembaharuan secara terarah dan sistimatis.
Kondisi ini agak berbeda dengan organisasi bisnis yang mau dan dapat dengan mudah
mengukur kinerja yang dilihat dari tingkat keuntungannya, maka birokrasi publik
tidak memiliki standar atau tolok ukur kinerjanya. Hal ini menyebabkan agak sulit

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

38

masyarakat dapat mengetahui atau memiliki informasi yang lengkap tentang kinerja
birokrasi. Informasi mengenai kualitas kinerja birokrasi masih bersifat sporadis
yang tersebar dalam berita di koran-koran, diskusi dan sebagainya. Namun informasi
yang valid yang disediakan oleh pemerintah sebagai hasil pengukuran dengan standar
yang jelas memang harus diakui sampai saat ini belum ada.
L.W. Rue dan L.W. Byars (1980) mendefenisikan kinerja sebagai tingkat pencapaian
hasil (the degree of accomplishment). Atau dengan kata lain kinerja merupakan
tingkat pencapaian tujuan organisasi. Bagi pemerintah daerah yang mengemban
fungsi pemerintah yaitu pelayanan publik, penilaian kinerja sebenarnya memiliki arti
penting dalam menilai aspek kuantitas, kualitas, dan efisiensi pelayanan, motivasi
para birokrat pelaksana dan lain sebagainya. Tetapi persoalannya, apakah penilaian
yang dilakukan telah menggambarkan kinerja yang sebenarnya? Hal ini sangat
ditentukan oleh ketajaman dalam menentukan cakupan, cara dan indikatorindokator yang digunakan. Suatu penilaian yang menggunakan cakupan, cara dan
indikator yang sangat terbatas akan memberikan hasil yang terbatas pula.
Salim dan Woodward (dalam Agus Dwiyanto,dkk; 2002) melihat kinerja berdasarkan
pertimbangan ekonomi, efesiensi, efektifitas dan persamaan pelayanan. Aspek
ekonomi dalam kinerja diartikan sebagai strategi untuk menggunakan sumber daya
seminimal mungkin dalam proses penyelenggaraan kegiatan pelayanan publik.
Efisiensi kinerja pelayanan publik juga dilihat untuk menunjuk suatu kondisi
tercapainya perbandingan terbaik atau proporsional antara input pelayanan dan
output pelayanan. Demikian pula, aspek efektifitas kinerja pelayanan publik ialah
untuk melihat tercapainya pemenuhan tujuan atau target pelayanan yang telah
ditentukan. Prinsip keadilan dalam pemberian pelayanan publik juga dilihat sebagai
ukuran untuk menilai seberapa jauh suatu bentuk pelayanan telah memperhatikan
aspek-aspek keadilan dan membuat publik memiliki akses yang sama terhadap sistem
pelayanan yang ditawarkan.
Selama ini, penilaian secara sistimatik terhadap kinerja pemerintah daerah belum
menjadi sebuah tradisi. Akibatnya, seringkali muncul perdebatan yang tidak
terselesaikan ketika terjadi hasil penilaian yang berbeda antara pihak yang satu
dengan pihak yang lain. Oleh karena itu kemudian menjadi sangat sulit untuk
mengatakan apakah kinerja pemerintah daerah itu buruk atau baik, rendah atau
tinggi, menurun atau meningkat dan sebagainya.
Dalam birokrasi pemerintahan Kabupaten Ngada, mekanisme yang digunakan dalam
mengukur kinerja personil masih sebatas evaluasi berkala. Hal ini pun dilakukan
setiap tiga bulan, enam bulan dan akhir tahun untuk mengetahui kinerja staf. Isi
evaluasi adalah kegiatan-kegitan secara kongkrit dari setiap program. Hasil evaluasi
diukur dengan selesai atau tidaknya suatu pekerjaan. Selanjutnya ada juga DP3

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

39

berkala yang berisikan penilaian terhadap aspek-aspek seperti kesetiaan, prestasi


kerja, tanggung jawab, kerjasama dan lain sebagainya, dengan kriteria penilaian amat
baik, baik dan cukup. DP3 ini adalah salah satu bahan yang digunakan dalam proses
kenaikan pangkat dan jika hasil DP3 hanya mendapat nilai cukup maka orang tersebut
kenaikan pangkatnya dapat ditunda. Penilaian terhadap aspek ini diberikan secara
berjenjang oleh pimpinan terhadap bawahan.
Menyangkut pengukuran kinerja lembaga, nampak juga bahwa birokrasi pemerintahan
Kabupaten Ngada juga belum memiliki suatu mekanisme pengukuran kinerja lembaga
yang dapat menjamin terukurnya kinerja sebuah instansi atau dinas secara tepat.
Ada kecendrungan pemerintah dalam mengukur kinerjanya hanya difokuskan pada
input yaitu berapa banyak yang dikeluarkan, berapa orang yang dilayani dan di sisi
lain pemerintah sedikit sekali atau secara intens memusatkan perhatian kepada
outcome atau hasil. Hal ini pada dasarnya selalu ada anggapan bahwa pemerintah
dengan segala tugas dan fungsinya akan sulit mengukur hasil jika dibandingkan
dengan dunia usaha.
Selain itu pengukuran yang dilakukan oleh pemerintah biasanya hanya menyangkut
output yang mungkin dengan angka-angka yang mengagumkan tetapi tidak
menghasilkan outcome. Pemerintah mungkin juga mendefenisikan outcome secara
sempit, sehingga mendorong pula pada pencapaian kinerja yang hanya sebagian kecil
saja dari hasil sebenarnya yang harus dicapai organisasi pemerintah.
Kecenderungan untuk mengukur output yang sangat memusatkan perhatian pada
proses pada satu sisi memang sesuatu hal yang wajar. Para birokrat mengukur apa
yang mereka kerjakan dalam organisasi yang digerakan oleh aturan yang ditetapkan
dan ada anggapan bahwa jika mereka menganggap bekerja adalah mengikuti proses
tersebut secara baik dan menghasilkan volume output yang dihasilkan, maka berarti
mereka sudah bekerja dengan baik. Para birokrat jarang sekali dikondisikan untuk
memikirkan outcome.
Hal lain yang dapat dicermati dari pengukuran kinerja dalam birokrasi pemerintah
adalah birokrasi juga cendrung hanya mengukur efesiensi yaitu ukuran berapa
banyak biaya untuk masing-masing output dan cendrung mengabaikan efektifitas
yaitu ukuran kualitas output tersebut.
Walaupun efisiensi dan efektifitas keduanya adalah penting, tetapi ketika birokrasi
mulai mengukur kinerjanya, mereka cendrung hanya mengukur efisiensinya saja.
Biasanya sebuah dinas atau instansi akan mengukur berapa banyak biaya yang
dikeluarkan untuk satuan outputnya.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

40

Penilaian kinerja birokrasi pemerintah cendrung hanya mengukur sistem kerjanya


secara kaku tanpa melihat kepuasan pelanggan sebagai indikator untuk mengukur
kinerjanya. Penilaian kinerja dari sisi pengguna jasa menjadi hal yang sangat penting
karena pada dasarnya keeksistensian pemerintah untuk melayani masyarakat.
Namun dalam realitasnya pelayanan yang diberikan oleh birokrasi publik nampaknya
tidak ada hubungannya sama sekali dengan kepuasan pelanggan.
Permasalahan yang kemudian muncul dari sistem pengukuran yang hanya mengukur
proses adalah organisasi birokrasi kemudian menjadi tidak cukup inovatif untuk
secara tepat mengidentifikasi persoalan publik yang sesungguhnya terjadi dan cara
baru apa yang harus dikembangkan untuk mengatasi persoalan tersebut.
Berbagai kondisi ini menunjukan bahwa kinerja masih belum dianggap menjadi
sesuatu yang penting untuk diperhatikan. Tersedianya informasi dan sistem
pengukuran kinerja birokrasi publik secara standar sebenarnya mau menunjukan
ketidakseriusan pemerintah menjadikan kinerja pelayanan publik sebagai agenda
kebijakan yang penting.
Hal berikut juga perlu dicermati kenapa birokrasi sepertinya sangat sulit mengukur
kinerja. Pada dasarnya kesulitan pemerintah untuk mau mengukur kinerjanya
disebabkan oleh sifat monopoli dari pemerintah dalam memberikan pelayanan. Hal ini
menyebabkan rakyat kemudian tidak memiliki pilihan untuk mendapatkan pelayanan.
Rakyat mau tidak mau harus selalu berhubungan dengan pemerintah. Kondisi ini
kemudian membentuk suatu kemapanan watak dan prilaku birokrasi yang tidak
terpacu untuk berkinerja dengan baik.
Di sisi lain memang harus diakui bahwa birokrasi publik mempunyai tujuan dan misi
yang sering kali kurang jelas atau kabur tetapi juga mempunyai masalah yang lebih
kompleks. Birokrasi publik memiliki stakeholder yang sangat banyak dan beragam
sehingga memiliki kepentingan yang banyak dan saling berbenturan. Akibatnya,
ukuran kinerja birokrasi di mata publik juga berbeda-beda.
Konsekuensi dari hasil pengukuran kinerja atau penilain terhadap personal maupun
lembaga baik itu yang bersifat admistratif maupun anggaran belum ada. Perlakuan
terhadap personal atau lembaga sering kali tidak ada hubungan dengan kinerjanya.
Pada aspek anggaran misalnya, pemerintah tidak mengaitkan anggaran dengan
kinerja. Anggaran yang diterima oleh birokrasi lebih ditentukan oleh kebutuhan
bukan oleh kualitas hasil kerja yang diberikan kepada masyarakat.
Hasil evaluasi hanya berkonsekuensi dengan memberikan reward berupa pujian,
kenaikan pangkat secara teratur dan mungkin ada kenaikan pangkat pilihan dan
sebagaianya. Menyangkut hukuman hanya berupa teguran. Kinerja yang yang buruk

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

41

akan dicatat dalam DP3 yang secara formal bisa menghambat kenaikan pangkatnya.
Namun pengukuran dan sistem konsekuensi ini dalam prateknya tidak efektif karena
cendrung bersifat subyektif yang disebabkan oleh tenggang rasa antara atasan dan
bawahan. Subyektifitas ini pada dasarnya juga disebabkan oleh tidak jelasnya ukuran
dari aspekaspek tersebut sehingga tidak cukup jelas mengukur kinerja staf yang
dapat dipertanggungjawabkan.
Ketiadaan sistem dan standar pengukuran kinerja dan pola konsekuensi terhadap
kinerja ini berimplikasi pada rendahnya etos kerja para birokrat yang terdorong
untuk berprestasi. Para birokrat hanya terdorong untuk bekerja apa adanya sesuai
aturan yang ada karena pada dasarnya orang yang berprestasi maupun tidak
diperlakukan sama terutama berkaitan dengan promosi, gaji, penghargaan dan
sebagainya.
Lalu apa kesulitan dalam menentukan indikator penilaian kinerja? Kesulitan pertama
adalah ketika kita mencoba tujuan dan misi pemerintah daerah serta sifat
organisasi yang multi dimensi. Satu kenyataan, sedikit di antara sekian banyak
organisasi pemerintah yang memiliki rumusan secara jelas mengenai visi, misi, tujuan
dan strategi pencapaiannya.
Kesulitan kedua, organisasi pelayanan publik seperti pemerintah memiliki
stakeholders yang jauh lebih banyak dan kompleks dibandingkan dengan organisasi
perusahaan swasta. Hal ini memungkinkan terjadinya kepentingan yang beraneka
macam dan dapat terbentur satu dengan yang lainnya. Akibatnya, ketika ditanya
mengenai indikator penilaian kinerja jawabannya juga berbeda. Pejabat birokrasi
seringkali menempatkan hasil yang dicapai dalam satu kurun waktu tertentu sebagai
ukuran, sementara masyarakat lebih cendrung mengedepankan kualitas pelayanan.
Kesulitan ketiga, orientasi pemerintah daerah adalah public sevice, walaupun
beberapa di antara perangkat yang dimiliki mengembangkan fungsi memperoleh
pemasukan sebagai pendapatan atau profit. Seperti dinas yang memungut retribusi
dan pajak daerah dan sebagainya. Oleh karena mengemban fungsi memperoleh
pemasukan dalam konteks pendapatan asli daerah dan sekaligus mengembangkan
fungsi pelayanan publik, indikator penilaian kinerja juga harus mencakup sisi penting
dari keduanya.
Kesulitan keempat, penilaian kinerja pemerintah daerah belum dianggap sebagai
kebutuhan yang mendesak oleh aparaturnya sendiri. Birokrasi menjadi tidak terbiasa
untuk mengukur kinerjanya. Mereka cenderung bekerja secara rutinitas tanpa
target yang hendak dicapai.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

42

Beberapa pendekatan dalam menentukan indikator penilaian kinerja (Bambang


Yudoyono;2001) :
1. Visi, misi dan tujuan organisasi sebagai dasar acuan.
Kinerja pemerintah daerah sebagai organisasi pemerintah daerah yang mengemban
fungsi utama pemerintahan yaitu pelayanan publik seharusnya merefleksikan visi,
misi dan tujuan organisasi. Penegasan ini perlu dilakukan karena pemerintah daerah
memiliki visi, misi dan tujuan yang berbeda dengan perusahaan swasta, meskipun
keduanya sama-sama terlibat dalam pelayanan publik. Pemerintah daerah didirikan
untuk memberikan pelayanan, pengaturan dan perlindungan serta pemberdayaan
masyarakat dengan penekanan pada sisi tidak mencari keuntungan finansial.
2. Pendekatan public management and policy
Pendekatan manajerial mempersoalkan sampai seberapa jauh fungsi-fungsi
manajerial pada pemerintah daerah telah dijalankan seefisien dan seefektif
mungkin. Apakah ada peningkatan dalam pemakaian manajerial skills, pemakian sistem
dan prosedur kerja yang lebih baik, peningkatan motivasi serta kepuasan kerja di
antara pegawai. Apakah peningkatan ini telah memberikan sumbangan terhadap
tercapainya tujuan-tujuan secara efektif dan efisien. Sasaran pendekatan ini adalah
semua pejabat pemerintah daerah yang bertugas mengimplementasikan kebijakan
publik.
Pendekatan policy melihat sampai seberapa jauh strategi kebijakan yang ditetapkan
pemerintah daerah telah secara efektif memecahkan masalah publik. Apakah sudah
ada peningkatan dalam kemampuan memecahkan masalah-masalah publik dan sampai
seberapa jauh sumbangan peningkatan tersebut terhadap pemecahan masalah publik.
Sasaran pendekatan ini adalah para aparatur pemerintah daerah yang termasuk
dalam gugus tugas mengidentifikasi masalah publik, merumuskan strategi kebijakan,
persiapan implementasi dan merancang monitoring dan evaluasi kebijakan.
3. Pendekatan moral/etika
Pendekatan moral atau etika melihat seberapa jauh pemerintah daerah menaruh
perhatian pada aspek moralitas. Apakah pemerintah daerah memperlakukan
pegawainya dan masyarakat umum atau golongan tertentu secara adil? Atau apakah
pemerintah daerah memperhatikan internal dan eksternal ethicks? Apakah
pemerintah daerah cukup responsif atau tanggap terhadap perubahan yang datang
dari masyarakat? Sasaran pendekatan ini adalah semua aparatur pemerintah daerah
dari level paling tinggi sampai yang paling bawah, termasuk di dalamnya para policy
makers.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

43

4. Pendekatan Community Economic Development (CED)


Pendekatan ini digunakan dalam menilai kinerja di bidang pembangunan, yaitu
mengenai tujuan yang hendak dicapai dalam pembangunan. Dari aspek ekonomi,
dapat dinilai sampai sejauhmana
pemerintah daerah
telah meningkatkan
pertumbuhan kesempatan
kerja, income dan kegiatan bisnis. Dari aspek
development dapat dinilai sampai seberapa jauh pemerintah daerah talah melakukan
perubahan struktural yang diarahkan pada stabilitas dan sustainabilitas, seperti
meningkatkan diversifikasi bidang-bidang yang diinvestasikan dan lain sebagainya.
Sedangkan dari aspek community, dapat dievaluasi sampai seberapa jauh pemerintah
daerah telah meningkatkan berbagaining power individu yang lemah dan menanamkan
norma dan pratek saling membantu, khususnya membantu mereka yang memerlukan
bantuan dalam masyarakat. Apa yang dikemukan dalam pendekatan ini
menggambarkan bahwa tingkat efektivitas tidak hanya dari sisi kebijakan yang
diambil tetapi juga implementasi atau manajemennya.
Di samping itu, kriteria efektivitas ini dapat dikaitkan dengan peranan yang harus
dimainkan pemerintah daerah sebagai catalystic, empowering, competitive, mission
driven, result-oriented, customer driven, enterprising, anticipatory, dezentralized
dan market oriented. Peranan tersebut menyangkut peranan tidak hanya dalam
bidang manajemen, tetapi juga dalam bidang policy.
Kinerja Pelayanan Publik : Studi Kasus
Penilaian kinerja birokrasi pemerintahan tidak cukup hanya dengan menggunakan
indikator-indikator yang melekat pada birokrasi, tetapi juga harus dilihat dari
indikator-indikator yang melekat pada pengguna jasa. Penilaian kinerja dari sisi
pengguna menjadi sangat penting karena birokrasi publik seringkali memiliki
kewenangan monopolis sehingga para pengguna jasa sering tidak memiliki alternatif
lain.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

44

a. Kecepatan waktu pelayanan

Tabel 7
Kepuasan Masyarakat Terhadap Kecepatan Waktu Pelayanan

Tingkat Kepuasaan

Dokumen
Kependudukan
N
%
1
5.88

Sangat
Tidak
Memuaskan
Tidak Memuaskan
3
17.64
Memuaskan
9
52.94
Sangat
4
23.52
Memuaskan
Jumlah
17
100
Sumber : Olahan Data Primer,2005

Jenis Pelayanan
Izin Usaha

Rumah Sakit
Umum
N
%
2
10

N
-

%
-

12
1
2

80
6.66
13.33

13
5
-

65
25

15

100

20

100

Tabel di atas menunjukan bahwa responden cendrung menyatakan puas atas


kecepatan waktu pelayanan yang diberikan dalam pelayanan dokumen kependudukan.
Sedangkan pada pelayanan izin usaha dan pelayanan kesehatan di rumah sakit umum,
responden cendrung menyatakan tidak puas.
Pada pelayanan dokumen kependudukan, responden pada umumnya mengatakan
membutuhkan waktu 1-3 hari untuk memperoleh dokumen kependudukan tergantung
pada kelengkapan administrasi pemohon dan tidak terganggunya fasilitas pelayanan.
Sedangkan pada pelayanan surat izin usaha, waktu yang diperlukan sekitar satu
minggu ke atas. Waktu ini oleh responden dinilai terlalu lambat. Selanjutnya pada
pelayanan RSU, menyangkut kecepatan waktu ini, responden pada umumnya lebih
mengeluhkan lambatnya penanganan keluhan-keluhan pasien atau pengunjung.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

45

b. Prosedur Pelayanan

Tabel 8
Kepuasan Masyarakat Terhadap Prosedur Pelayanan

Tingkat Kepuasaan

Dokumen
Kependudukan
N
%

Sangat
Tidak
Memuaskan
Tidak Memuaskan
5
29.41
Memuaskan
9
52.94
Sangat
3
17.64
Memuaskan
Jumlah
17
100
Sumber : Olahan Data Primer,2005

Jenis Pelayanan
Izin Usaha

Rumah Sakit
Umum
N
%

11
3
1

73.33
20
6.66

1
17

5.55
94.44

15

100

18

100

Tabel di atas menunjukan, menyangkut prosedur pelayanan, pelayanan izin usaha


dinilai tidak memuaskan. Hal ini karena banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi
seperti surat pajak, surat izin tempat usaha dan lain sebainya dinilai cukup
memberatkan pemohon. Selanjutnya responden cendrung memberikan penilaian
memuaskan atas pelayanan dokumen kependudukan dan pelayanan rumah sakit. Pada
pelayanan dokumen kependudukan, responden menilai bahwa persyaratan yang
dibutuhkan tidak terlalu berat tetapi cukup memperoleh surat keterangan dari
kelurahan dan sistem pengurusannya juga hanya pada Kantor Dinas Kependudukan.
Selanjutnya responden juga memberikan penilaian yang memuaskan kepada pelayanan
RSU yang dinilai tidak terlalu birokratis karena pada dasarnya setiap orang yang
sakit dapat langsung memperoleh pelayanan kesehatan.
C. Biaya Pengurusan Pelayanan

Tabel 9
Kepuasan Masyarakat Terhadap Biaya Pelayanan

Tingkat Kepuasaan
Dokumen
Kependudukan
N
%
1
5.88

Sangat
Tidak
Memuaskan
Tidak Memuaskan
4
23.52
Memuaskan
11
64.70
Sangat Memuaskan
1
5.88
Jumlah
17
100
Sumber : Olahan Data Primer,2005

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

Jenis Pelayanan
Izin Usaha

Rumah Sakit Umum

4
11

26.66
73.33

15

100

2
15
1
18

11,11
83.33
5.55
100

46

Tabel di atas menunjukan bahwa menyangkut biaya pelayanan, responden pada


umumnya memberikan penilaian puas dimana besaran biaya yang dikeluarkan dianggap
masih terjangkau. Pada pelayanan dokumen kependudukan, responden pada umumnya
mengatakan mengeluarkan biaya di bawah Rp. 10.000. Sedangkan pada pelayanan izin
usaha, responden pada umumnya menyatakan mengeluarkan biaya sekitar Rp.100.000
Rp. 500.000. Sedangkan pada pelayanan kesehatan, biaya yang dikeluarkan pada
umumnya di bawah Rp.100.000. Para responden pada umumnya merasa terbantu
dengan adanya kartu Jaringan Pengaman Sosial (JPS) kesehatan dan Askes sehingga
biaya yang dikeluarkan biasanya lebih murah dari biaya yang sebernya.
d. Sikap Petugas

Tabel 10
Kepuasan Masyarakat Terhadap Sikap Petugas Dalam Pemberian Pelayanan

Tingkat Kepuasaan
Dokumen
Kependudukan
N
%
1
5.88

Sangat
Tidak
Memuaskan
Tidak Memuaskan
7
41.17
Memuaskan
9
52.94
Sangat
Memuaskan
Jumlah
17
100
Sumber : Olahan Data Primer,2005

Jenis Pelayanan
Izin Usaha

Rumah Sakit Umum

N
2

%
13.33

7
6

46.66
40

12
5
1

66.66
27.77
5.55

15

100

18

100

Tabel di atas menunjukan bahwa pada umumnya responden menyatakan tidak puas
terhadap sikap aparat dalam memberikan pelayanan. Pada palayanan kesehatan di
RSU, responden pada umumnya mengeluhkan sikap para petugas kesehatan yang
cenderung tidak ramah, serta tidak tanggap terhadap keluhan pasien. Penilaian
serupa juga sama pada pelayanan izin usaha. Para petugas dinilai lambat dalam
mengurus permohonan yang diajukan oleh masyarakat dalam mengurus surat izin
usahanya.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

47

e. Fasilitas Pelayanan
Tabel 11
Kepuasan Masyarakat Terhadap Fasilitas Pelayanan
Tingkat Kepuasaan
Dokumen
Kependudukan
N
%
Sangat
Tidak
Memuaskan
Tidak Memuaskan
13
76.47
Memuaskan
4
23.52
Sangat Memuaskan
Jumlah
17
100
Sumber : Olahan Data Primer,2005

Jenis Pelayanan
Izin Usaha
N
2

%
13.33

Rumah Sakit
Umum
N
%
1
5.55

7
5
1
15

46.66
33.33
6.66
100

10
5
2
18

55.55
27.77
11.11
100

Tabel di atas menunjukan bahwa responden pada umumnya memberikan penilaian


tidak memuaskan terhadap fasilitas yang disediakan oleh pemerintah dalam
memberikan pelayanan publik. Pada pelayanan dokumen kependudukan dan suarat izin
usaha, responden pada umumnya mengeluhkan minimnya faslitas pendukung seperti
ruangan pelayanan yang memadai, loket-loket pelayanan yang belum tertata dengan
baik, minimnya fasilitas komputer dengan sistem komputerisasi yang memadai.
Sedangkan pada pelayanan kesehatan di RSU, responden pada umumnya mengeluhkan
kondisi fasilitas di kelas ekonomi yang belum memadai seperti ruangan serta
kebersihan kompleks rumah sakit.

1.3 Pola Insentif


Dalam memacu kinerja staf, salah satu faktor yang yang cukup menentukan adalah
penerapan sistem insentif. Gibson (dalam Dwiyanto, 2002) menjelaskan bahwa
sasaran penerapan insentif adalah :
1. Menarik orang yang berkualifikasi untuk bergabung dalam organisasi
2. Mempertahankan karyawan untuk tetap bekerja
3. Memotivasi karyawan mencapai prestasi tinggi.
Pemberian insentif kepada karyawan harus diberikan secara terbuka, merata yang
dikaitkan dengan prestasi. Ada dua jenis insentif yaitu insentif intristik yakni
pemberian tanggung jawab dan tantangan lebih besar dari pimpinan. Selanjutnya ada
insentif ekstrinsik seperti gaji, promosi, tunjangan atau penghargaan pribadi yang

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

48

berbentuk pengakuan dari pimpinan, pujian, atau pengakuan eksistensi dari


lingkungan kerja.
Pola insentif pada birokrasi pemerintahan Kabupaten Ngada, nampak masih diberikan
secara umum dan belum diukur dengan besaran prestasi karyawan. Hal ini dapat
dilihat pada tabel 11. Sebagian besar responden yang memberikan penilain negatif
tehadap pola pemberian insentif yang tidak berdasarkan prestasi kerja.
Tabel 12
Tanggapan Karyawan Terhadap insentif Yang Diberikan
Kepada Karyawan Yang Berprestasi
Klasifikasi
Frekuensi
Persentase
Sangat Tidak Memuaskan
9
9.57
Tidak Memuaskan
43
45.74
Memuaskan
40
42.55
Sangat Memuaskan
2
2.12
Jumlah
94
100
Sumber : Olahan Data Primer,2005

Namun pada tabel 12 nampak bahwa walaupun pola pemberian insentif masih belum
berdasarkan prestasi, namun insentif yang diberikan dalam bentuk gaji yang
diberikan secara teratur dianggap sudah memuaskan bagi karyawan. Hal ini
menunjukan bahwa selain karena rendahnya iklim persaingan dalam menunjukan
prestasi yang belum baik sehingga karyawan belum terlalu peduli terhadap prestasi,
juga disebabkan oleh kecendrungan sikap karyawan yang sudah merasa puas dengan
tunjangan gaji yang walaupun dinilai kecil tetapi diberikan secara pasti.
Tabel 13
Tanggapan Karyawan Terhadap insentif Yang Diberikan
Klasifikasi
Frekuensi
Persentase
Sangat Tidak Memuaskan
5
5.31
Tidak Memuaskan
36
38.29
Memuaskan
50
53.19
Sangat Memuaskan
3
3.19
Jumlah
94
100
Sumber : Olahan Data Primer, 2005

Di sisi lain, ternyata para karyawan justru menunjukan sikap negatif tehadap jenis
insentif yang diberikan kepada lembaga atau dinas/instansi tempat ia bekerja. Pada
tabel 13 nampak sebagian besar responden menyatakan ketidakpuasan terhadap
insentif yang diberikan kepada lembaga. Diakui, selama ini memang belum ada suatu

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

49

standar insentif yang diberikan kepada lembaga yang berhasil. Insentif berkaitan
dengan alokasi anggaran khusus, perhatian khusus terhadap staf dalam lembaga
tersebut juga belum ada. Hal ini menimbulkan rendahnya etos kerja tim dan semua
karyawan hanya berorientasi pada kepentingan pribadi karyawan.
Tabel 14
Tanggapan Karyawan Terhadap Jenis insentif Yang
Diberikan Kepada Lembaga
Klasifikasi
Frekuensi
Persentase
Sangat Tidak Memuaskan
3
3.19
Tidak Memuaskan
66
70.21
Memuaskan
20
21.27
Sangat Memuaskan
5
5.31
Jumlah
94
100
Sumber : Olahan Data Primer,2005

Belum adanya suatu sistem pemberian insentif yang memadai baik kepada personal
maupun lembaga ini membawa implikasi terhadap rendahnya motivasi aparat
birokrasi untuk meningkatkan prestasi kerja. Mereka akan selalu beranggapan
bahwa tidak ada gunanya bekerja atau berprestasi lebih baik karena tidak ada
sesuatu yang mereka peroleh sebagai imbalan dari usaha itu.

2. Sistem Pertanggungjawaban (Akuntabilitas)


Akuntabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukan
seberapa besar tingkat
kesuaian
penyelenggaran fungsi pemerintahan
dengan ukuran atau standar
eksternal atau stakeholder. Akuntabilitas mempunyai arti penting untuk menjamin
terpenuhinya keinginan masyarakat akan kinerja birokrasi publik.

2.1 Mekanisme Pertanggungjawaban Organisasi


Keinginan rakyat yang paling utama terhadap birokrasi pada dasarnya adalah agar
birokrasi sadar bahwa hanya RAKYAT yang merupakan TUAN yang harus dilayani,
bukan para politisi, bukan para birokrat, bukan kerabat dan teman, bukan
businessmen, dan bukan juga pemerintah yang lebih tinggi (Haning 2005). Hal ini
artinya rakyat bukan hanya memberi saran atau berharap, tetapi mereka
menginginkan birokrasi menyadari bahwa mereka mempunyai hak untuk memastikan
harapan mereka dipenuhi.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

50

Mengapa berharap saja tidak cukup? Ada beberapa hal yang perlu disadari.
Pertama, adalah naf kalau hanya berharap bahwa para birokrat selalu berpikir
tentang rakyat (government for the people). Dari tinjaun teoritis, Public Choice
Theory dengan jelas-jelas menunjukkan bahwa semua individu memiliki kepentingan;
vested interest. Sebagai manusia, baik politisi maupun birokrat memiliki
kecendrungan mengutamakan kepentingan diri, di atas kepentingan orang banyak dan
negara. Melalui pengemasan yang cantik dalam proyek-proyek besar atas nama
rakyat; pengentasan kemiskinan, beras miskin, bahkan sumbangan-sumbangan
terhadap masyarakat yang menderita akibat bencana alam, makluk-makluk biologis
ini memuaskan nafsu mereka. Semakin banyak terungkapnya kasus KKN akhir-akhir
ini memperlihatkan bahwa para pejabat publik tidak sungguh-sungguh peduli dengan
penderitaan rakyat.
Hal kedua adalah bahwa para birokrat yang stereotyped, red-tape, complicated,
slacked, merciless adalah juga mereka yang kuat, punya kuasa sekaligus experts.
Merekalah juga yang ikut menetukan formulasi kebijakan, melaksanakan dan
mengevaluasi. Para politisi yang mungkin suka meminta-minta adalah mereka yang
juga punya kuasa untuk mengatakan tidak atau ya kepada suatu kebijakan. Mereka
jugalah yang mengatakan bahwa di pundak kami terletak amanat rakyat. Para
businessmen yang memiliki resources, juga adalah mereka yang memiliki informasi
pasar dan akses input serta modal yang kuat. Mereka inilah yang memberi kontribusi
pajak yang besar. Sedangkan pemerintah lebih tinggi yang menentukan kebanyakan
framework kebijakan, keuangan, organisasi dan lain-lainya adalah juga yang memberi
penilaian terhadap laporan pertanggungjawaban KDH dan bahkan ikut menentukan
penunjukkan para pejabat eselon II. Demikian juga partai politik (Haning 2005).
Serangkain reformasi yang dilakukan terhadap pemerintah daerah ternyata belum
mampu menyentuh permasalahan inti. Mengembalikan government of the people, by
the people and for the people (Lincoln 1863). Lalu apa yang mesti dilakukan agar
birokrasi tetap sadar bahwa apapun perubahan yang telah terjadi, hanya rakyat yang
merupakan TUAN-nya?
Di sinilah sebenarnya peran akuntabilitas, walapun sangatlah kompleks dan sulit
untuk dimengerti (Mulgan 1997; Sinclair 1995). Akuntabilitas di sektor publik
melibatkan multi-hubungan, banyak tuan, banyak peranan dan tugas dengan tingkat
resiko, ketidakpastian yang bermacam-macam dan berbeda-beda dan bahkan
harapan-harapan yang saling bertentangan. Sehingga Barberis (1998:1) berpendapat
bahwa accountability is an old and tricky subject. Namun empat unsur yang
terkandung dalam pengertian akuntabilitas adalah: pemberian/penyedian informasi,
pemberian alasan/justifikasi, review dan revisi, dan pengenaan reward and
punishment (Caiden 1988:25).

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

51

Keempat unsur akuntabilitas ini ingin memastikan atau mengingatkan kepada semua
aktor bahwa: kekuasaan itu DARI, OLEH dan UNTUK rakyat. Apa artinya ini? Bahwa
rakyat tidak hanya berharap, tetapi dapat berbuat sesuatu. Sehingga menjadi
sangat penting untuk merancang instrument-instrument akuntabilitas antara lain:
adanya suatu prosedur pengaduan, publikasi informasi tentang kinerja unit-unit
pemerintah daerah (sebagai contoh di media, surat khabar, tempat umum, kantor
pemerintah), publikasi standar kinerja unit-unit pemerintah, survey kepuasan
pelanggan, penggunaan kelompok konsumen sebagai referensi, rencana pembangunan
partisipatif, tanggapan terhadap permohonan informasi, kode etik untuk PNS,
penilaian kinerja PNS, transparansi proses-proses dan dokumen, charter
warga/konsumen, undang-undang kebebasan informasi, undang-undang anti korupsi,
ombudsman, whistleblowing (Haning 2003).
External auditing adalah instrumen yang semestinya bisa juga dipakai oleh DPRD dan
rakyat. Dalam prakteknya di Indonesia, yang dimaksudkan dengan external auditing
adalah BPK, yang tidak memiliki hubungan akuntabilitas dengan DPRD. Sehingga
integritas dan independensinya sangatlah diragukan. DPRD juga tidak memiliki Komisi
Audit Parlement (KAP) yang ikut terlibat dalam manajemen internal maupun external
auditors (Haning 2005).
Tantangan yang paling utama dalam menerapkan intrumen akuntabilitas di atas
adalah bagaimana memastikan bahwa instrument-intrumen ini memperhatikan
peranan dan tanggungjawab birokrasi secara jelas; tujuan dan harapan akan kinerja
yang jelas; harapan kinerja yang seimbang dengan kemampuan, diikuti oleh legislasi
yang up-to-date, tidak terjadi pertentangan antara instrument-instrument yang ada.
Hal yang sering ditakutkan adalah bahwa keanekaragaman instrument dan TUAN
sering juga berarti keanekaragaman standar dan harapan sehingga memuaskan
harapan suatu instrumen atau TUAN tidak berarti memuaskan, bahkan
mengorbankan yang lain.
Sebagai framework untuk akuntabilitas, pemerintah daerah perlu menetapkan suatu
standar akuntabilitas daerah yang memungkinkan pemerintah dan rakyat bersamasama memahami hubungan akuntabilitas keduanya. Melalui beragam instrumen
akuntabilitas seperti yang diuaraikan di atas, rakyat dan pemerintah akan bisa
melihat keseluruhan kewajiban akuntabilitas suatu daerah sebagai suatu matriks
hubungan. Beberapa instrumen perlu ditetapkan oleh pemerintah pusat dan sebagian
dikembangkan oleh pemerintah daerah yang merefleksikan kebutuhan dan harapan
yang spesifik. Beberapa instrumen diarahkan kepada publik, DPRD atau pemerintah
pusat. Standar akuntabilitas ini akan merupakan suatu dokumen publik yang
memberi informasi kepada unit-unit pemerintah dan masyarakat akan keseluruhan
proses dan hubungan akuntabilitas di daerah dan bagaimana mereka harus
diimplementasikan.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

52

Pertanggunjawaban dalam birokrasi pemerintahan Kabupaten Ngada cendrung masih


bersifat responsibilitas atau pertanggungjawaban internal yang dilakukan secara
berjenjang sampai ke bupati yang selanjutnya secara kelembagaan bupati
bertanggung jawab ke DPRD sebagai pertanggungjawaban politik yang dianggap juga
sebagai pertanggungjawaban kepada publik.
Pemberian pelayanan kepada publik yang dilakukan oleh pemerintah cendrung masih
berpatokan pada peraturan daripada kepentingan pengguna jasa. Hal ini paling tidak
dilihat dari pengakuan aparat yang masih sangat berpatokan terhadap ketentuan
seperti peraturan daerah, keputusan bupati dan lain sebagainya dan tindakan yang
dilakukan di luar ketentuan hanya atas izin pimpinan.
Kondisi ini menunjukan bahwa belum ada mekanisme akuntabilitas birokrasi terhadap
publik dan cendrung masih menerapkan standar akuntabilitas yang bersifat internal
baik dalam hal prosedural maupun masalah pembagian wewenang atau tugas dan
tidak memiliki konsekuensi langsung dengan publik. Kepentingan publik atau ukuranukuran eksternal seperti kebutuhan pelayan yang cepat, murah, ramah dan
sebagainya tidak pernah dipakai sebagai acuan bagi birokrasi pemerintah dalam
menjalankan tugasnya.
Lemahnya tingkat akuntabilitas pemerintah kepada publik pada dasarnya disebabkan
oleh penerapan standar pelayanan yang bersifat sepihak dan hanya berdasarkan
penilaian atas petunjuk teknis sehingga pengukuran kinerja birokrasi menjadi
sangat kaku yang berakibat melemahkan komitmen aparat birokrasi untuk akuntabel
terhadap publik yang dilayaninya.
Rendahnya akuntabilitas birokrasi terhadap publik pada dasarnya disebabkan oleh
lamanya proses indoktrinisasi kultur birokrasi yang selalu mengarahkan aparat
birokrasi untuk selalu melihat ke atas. Aparat birokrasi telah terlatih dan terbiasa
untuk lebih mementingkan kepentingan pimpinan daripada kepentingan masyarakat
pengguna jasa. Birokrasi pemerintah tidak pernah merasa perlu bertanggung jawab
kepada publik, melainkan bertanggung jawab kepada pimpinan atau atasan. Pada
model birokrasi sentralistis yang dikembangkan pada masa orde baru telah
mewariskan karakter birokrasi yang menganut prinsip loyalitas kepada atasan
daripada loyal kepada publik. Birokrasi Indonesia tidak pernah diajarkan untuk
mempunyai pemikiran bahwa kedaulatan berada di tangan publik dan itu berarti
keberadaan birokrasi sebenarnya ditentukan oleh publik.
Untuk menjamin birokrasi dapat berkinerja dengan baik maka sangat penting untuk
menggeser sebagian pertanggungawaban kepada publik. Publik harus dilibatkan
untuk menentukan standar kinerja yang perlu dicapai oleh birokrasi.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

53

Membuat mekanisme pertanggungjawaban kepada publik penting agar dapat menekan


organisasi birokrasi untuk dapat memperbaiki hasil kerja mereka, tidak hanya
sekadar bekerja dalam kerangka aturan yang kaku. Hal ini tentunya secara tidak
otomatis membuat organisasi pemerintah tidak bertanggung jawab kepada atasannya
tetapi hanya digeser tidak hanya menjadi satu-satunya.

2.2 Subtansi Pertanggungjawaban


Lakip Kabupaten Ngada tahun 2003 disusun dengan mengukur capaian kinerja
empat program pokok pembangunan daerah yang dituangkan dalam rencana strategis
Pemda Kabupaten Ngada tahun 2002-2006, dimana empat program pokok tersebut
dijabarkan dalam program dan kegiatan. Kegiatan-kegiatan inilah yang menjadi
rencana kinerja pada tahun 2003. Selanjutnya pada akhir tahun 2003, target
kinerja akan dibandingkan dengan realisasinya sehingga dapat diketahui capaian
kinerja dan permasalahannya.
Dalam mengukur kinerja empat program pokok pembangunan daerah ini, indikator
yang dipakai adalah indikator absolut. Jadi capaian kinerja bukan lagi hasil operasii
pembobotan bertingkat yang berawal kegiatan, meningkat ke program, akhirnya
sasaran. Dalam mengukur keberhasilan suatu kegiatan, indikator kinerja yang
digunakan yaitu kinerja input, output dan outcome.
Indikator kinerja input terdiri dari besarnya dana yang digunakan, sedangkan output
berupa hasil yang diperoleh begitu kegiatan selesai dikerjakan dan outcome berupa
pemanfaatan dari output yang dapat diukur dalam jangka pendek.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel pengukuran kinerja pada bidang
perhubungan sebagai contoh.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

54

Tabel 15
Laporan Akuntanilitas Kinerja (Lakip) Dinas Perhubungan Tahun 2003
Program

Uraian

Indikator
Kinerja

1.
Peningkatan
kualitas SDM

1. Bimbingan teknis
bagi
pengusaha
dan
pengemudi
angkutan

Input
Dana

2. Pembangunan
dan
pengembangan
Sarana
dan
Prasarana
Perhubungan

2.
Pembangunan
pelataran parkir di
Kecamatan boawae

Out put
Terlatihnya
pengusaha dan
pengemudi
angkutan
Out come
Meningkatnya
kualitas SDM
In put
Dana

Out put
Terbangunnya
pelataran parkir
Outcome
Terciptanya lalu
lintas
yang
tertib

Kegiatan
Satuan
Target

Realisasi

Rp

26.175.000

26.175.000

100

75
orang

75 orang

75 orang

100

82

75

91

Rp

199.230.000

53.455.8000

30

M2

1.500 M2

1.500M2

100

90

60

60

Sumber : Lakip Kab. Ngada Tahun 2003

3. Struktur Kekuasaan (Birokrasi)


3.1 Ukuran Birokrasi
Dasar yang harus diperhatikan oleh eksekutif maupun legislatif daerah dalam
menata organisasi perangkat daerah adalah kewenangan yang dimiliki dengan
memperhatikan kebutuhan masyarakat, kemampuan daerah dan ketersediaan sumber
daya aparatur serta memperhatikan pola kerjasama antardaerah atau pihak ketiga.
Mengingat organisasi pemerintah menjalankan kewenangan-kewenangan formal
untuk kepentingan publik, maka faktor utama dalam penentuan besaran organisasi
adalah jumlah dan jenis kewenangan. Kewenangan tersebut yang dirinci dalam

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

55

berbagai fungsi dan berdasarkan fungsi tersebut yang kemudian dijabarkan dalam
suatu besaran organisasi, termasuk perkiraan kebutuhan anggaran.
Ketersedian sumber daya baik itu personil maupun anggaran adalah satu faktor
penting yang harus diperhatikan dalam penyusunan besaran organisasi. Apabila
kemampuan sumberdaya masih terbatas, maka pemerintah perlu selektif dalam
penataan organisasinya. Penataan organisasi perangkat daerah juga hendaknya
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat di daerah dan kemampuan keuangan
daerah. Kebutuhan masyarakat di suatu daerah dapat dilihat dari dua segi, yaitu :
Kebutuhan pokok (basic needs) seperti pendidikan, kesehatan, air, listrik dan
sebagainya;
Pengembangan sektor unggulan (core competency) yaitu apa yang menjadi kekuatan
daerah seperti pertanian, pariwisata dan sebagainya yang berpotensi untuk
dikembangkan. Core competency ini pada hakekatnya berkaitan erat dengan
penyusunan visi dan misi daerah, karena itu penataan organisasi perangkat
daerah juga hendaknya diarahkan untuk mendukung pencapaian visi dan misi
daerah.
Struktrur birokrasi pemerintahan Kabupaten Ngada dibentuk berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 yang ditetapkan pada enam Peraturan
Daerah (Perda) yaitu Perda Nomor 2 tahun 2001 tentang Pembentukan Organisasi
dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Kabupaten Ngada; Perda Nomor 3 tahun 2001
tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat DPRD; Perda Nomor 4
tahun 2001 tentang Pembentukan Dinas-Dinas; Perda Nomor 5 tahun 2001 tentang
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah; Perda Nomor 6
tahun 2001 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Kecamatan;
Perda Nomor 7 tahun 2001 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintahan Kelurahan. Uraian struktur birokrasi pemerintahan Kabupaten Ngada
sebagai berikut :
1.

Dinas (17 dinas ) terdiri atas :


Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Dinas Perkebunan
Dinas Peternakan
Dinas Perikanan dan Kelautan
Dinas Kesehatan
Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah
Dinas Perhubungan
Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga
Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Dinas Koperasi dan UKM
Dinas Pendapatan Daerah

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

56

Dinas Kehutanan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Dinas Sosial
Dinas Informasi dan Komunikasi

2. Bagian sekretariat daerah


2.1. Asisten Tata Praja
Bagian Tata Pemerintahan
Bagian Pemerintahan Desa
Bagian Hukum
2.2. Asisten Ekonomi dan Pembangunan
Bagian Perekonomian
Bagian Bina Penyusunan dan Pengendalian Program
Bagian Bina Sosial
2.3. Asisten Administrasi
Bagian Kepegawaian
Bagian Keuangan
Bagian Organisasi
Bagian Hubungan Masyarakat
Bagian Umum dan Perlengkapan
3. Lembaga teknis daerah yang terdiri badan :
Badan Pengawas
Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat
4. Lembaga teknis daerah yang berbentuk kantor :
Kantor Pengolahan Data Elektronik
Kantor Perpustakaan Umum Daerah
Kantor Polisi Pamong Praja
Pengimolementasian PP Nomor 84 Tahun 2000 yang tercermin pada besaran struktur
birokrasi pemerintahan telah menimbulkan beberapa persoalan. Hal yang paling
nampak adalah munculnya kecendrungan pemerintah daerah untuk membentuk
organisasi pemerintahan hanya sekedar menampung pejabat atau tujuan lain yang
berakibat pada over head cost yang tinggi dalam membiayai birokrasi pemerintahan
daerah. Hal ini dapat dilihat pada perbandingan alokasi dana dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah untuk birokrasi dan bagi publik.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

57

Menyangkut keadaan aparat pemerintahan Kabupaten Ngada menurut golongan dapat


dilihat pada tabel berikut.
Tabel 16
Keadaan Aparat Pemerintah Kabupaten Ngada Menurut Golongan
Keadaan Tahun 2001
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33

Unit Kerja
Setda
BPMD
Badan Pengawas
Bappeda
Bapelda
Kesbang
Mawil Hansip
Dinas Perindag
Dinas Infokom
Dinas tenaga kerja
Dispenda
Dinas sosial
Dinas Kop dan UKM
Dinas kebudayaan dan pariwisata
Dinas Kehutanan
Dinas peternakan
Dinas pertanian
Dinas perikanan
Dinas perkebunan
Dinas perhubungan
Dinas Kimpraswil
Dispenduk
Dinas kesehatan
Dispemundora
RSUD
Sek. DPRD
BIPP
Kecamatan
SKB Aimere
Guru SLTA dan pegawai
Guru SLTP dan pegawai
Guru SDN/I dan pegawai
Yasukda
Total

Jumlah
Pegawai
317
23
33
31
17
18
8
23
40
10
53
23
30
22
55
35
36
33
56
24
87
14
297
298
72
19
51
275
14
107
355
1175
665
4336

1V
5
0
1
1
1
1
1
1
1
0
0
1
0
1
0
2
1
0
0
0
0
1
1
6
0
1
0
0
14
13
6
111
64
219

Golongan
III
129
23
27
22
12
13
4
18
25
10
19
11
22
11
12
11
19
20
26
12
29
8
112
206
27
7
4
121
9
79
278
648
456
2424

II
161
0
3
8
4
2
3
4
14
0
31
11
8
10
40
21
15
13
30
12
48
5
183
84
42
7
47
146
5
14
64
366
145
1572

I
22
0
2
1
0
2
0
0
0
0
3
0
0
0
3
1
1
0
0
0
10
0
1
2
34
4
0
8
0
1
7
50
9
121

Sumber : Disadur dari Rani Skripsi, 2002

Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Ngada Tahun anggaran 2001 yang
ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 19 Tahun 2001 diuraikan bahwa
jumlah penerimaan sebesar Rp.158.749.323.000 yang terdiri atas Pendapatan Asli

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

58

Daerah (PAD) sebesar Rp.3.343.996.000,00, dana perimbangan sebesar


Rp.146.708.747.200.00. Pengeluaran mencakup belanja rutin sebesar Rp.
99.556.799.000 (62.7 %) dengan anggaran terbesar pada belanja pegawai sebesar
Rp.80.046.242.000,00. Anggaran pembangunan sebesar Rp.59.192.524.000,00
(37,2%) yang terbagi dalam 12 sektor pembangunan.
Dari uraian ukuran jumlah pegawai pada lingkup pemerintah Kabupaten Ngada dan
alokasi anggaran pada Anggaran Pendapat dan Belanja Daerah Kabupaten Ngada
tahun 2001 maka nampak adanya ketidakadilan pengalokasian anggaran bagi birokrasi
dan masyarakat. Struktur birokrasi dengan jumlah pegawai yang hanya berjumlah
4336 menyedot sekitar 62.7 persen anggaran dan masyarakat yang berjumlah
234.02 hanya menerima anggaran dalam bentuk alokasi dana pembangunan sebesar
37.2 persen.
Selanjutnya jika dicermati pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Ngada
tahun 2004 yang ditetapkan dengan Perda Nomor 4 Tahun 2004 yang menggunakan
sistem anggaran kinerja, pola pengalokasian anggaran untuk pembangunan dan rutin
juga belum mengalami perubahan yang signifikan. Ringkasan APBD Ngada Tahun
2004 dapat dilihat pada tabel berikut.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

59

Tabel 17
Ringkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten Ngada Tahun Anggaran 2004
NO

Uraian

Anggaran
Sebelum
Perubahan
(Rp)
195.768.199.000,00
9.523.585.000,00

PENDAPATAN
Pendapatan
Asli
Daerah
Dana Perimbangan
177.153.509.000,00
Lain-lain
Pendapatan 9.091.105.000,00
Yang Sah
2
BELANJA
204.179.896.000,00
2.1
Belanja Aparatur
67.520.131.000,00
2.1.1. Belanja
Administrasi 53.623.113.000,00
Umum
2.1.
Belanja Operasi dan 10.555.911.000,00
Pemeliharaan
2.3.
Belanja Modal
3.341.107.000,00
3
BELANJA PUBLIK
136.659.765.000,00
3.1.
Belanja
Administrasi 57.732.548.000,00
Umum
3.2.
Belanja Operasi dan 28.338.826.000,00
Pemeliharaan
3.3.
Belanja Modal
30.819.762.000,00
3.4.
Belanja Bagi Hasil dan 17.011.388.000,00
Bantuan Keuangan
3.5.
Belanja Tak Tersangka 2.757.241.000,00
Sumber : Perubahan ABPD Kabupaten Ngada,2004

Anggaran
Setelah
Perubahan
(Rp)
200.814.168.000,00
11.434.137.000,00

Berlebih/Berkurang
(Rp)

5.045.969.000,00
1.0910.552.000,00

180.288.926.000,00
9.091.105.000,00

3.135.417.000,00

257.237.233.000,00
74.250.515.626,00
55.798.213.300,00

53.057.337.000,00
6.730.384.626,00
2.175.100.300,00

12.509.748.076,00

1.953.837.076,00

5.942.554.250,00
182.986.717.374,00
59.387.588.500,00

2.601.447.250,00
46.326.952.374,00
1.655.040.500,00

38.522.707.364,00

10.183.881.364,00

56.419.687.260,00
27.251.484.500,00

25.599.925.260,00
10.240.096.500,00

1.405.249.750,00

1.351.991.250,00

Kondisi ini menggambarkan bahwa struktur birokrasi yang dikembangkan cendrung


bersifat gemuk sehingga mengakibatkan inefisiensi anggaran dan dirancang atau
dibangun tidak berdasarkan kemampuan anggaran daerah.
Selain itu pembentukan struktur organisasi juga kurang memperhatikan kebutuhan
riil daerah. Jika dicermati dari jenis lapangan pekerjaan penduduk Kabupaten Ngada
sebagaimana dijelaskan dalam tabel 3, dimana lapangan pekerjaan penduduk pada
umumnya pada bidang pertanian pangan (77.30 %), perkebunan (7.18%), jasa (6.30%),
industri (2.78%), perdagangan (2.32%), perikanan (1.04%), menunjukan bahwa
sebenarnya struktur birokrasi yang dirancang terutama menyangkut dinas teknis
hanya cukup dibangun hanya sekitar lima sampai enam dinas saja.
Penataan struktur birokrasi Kabupaten Ngada ke depan tentu harus disesuaikan
dengan perangkat peraturan baru yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003
Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Dalam peraturan pemerintahan ini,

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

60

pembentukan organisasi berbentuk dinas daerah adalah bidang kewenangan.


Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 menetapkan 19 bidang kewenangan.
Bidang kewenangan tersebut diwadahi dengan komposisi sebagai berikut :
a. Satu kewenangan diwadahi satu unit organisasi berbentuk dinas;
b. Lebih dari satu bidang kewenangan diwadahi satu unit organisasi berbentuk
dinas;
c. Satu bidang kewenangan diwadahi oleh lebih dari satu unit organisasi berbentuk
dinas.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Pengakajian Sekolah Tinggi
pemerintahan Dalam Negeri (2004) menyangkut struktur organisasi birokrasi
pemerintahan Kabapaten Ngada memberikan gambaran sebagai berikut :

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

61

Tabel 18
Bidang Kewenangan, Skor dan rekomendasi Pembentukan Unit Organisasi
No
1

Bidang Kewenangan
Pertanian

Skor
664

2
3
4
5

Kelauatan dan perikanan


Pertambangan dan energi
Kehutanan
Perindustrian dan
perdagangan
Koperasi dan usaha kecil
menengah
Penanaman modal

847
952
862
772

Rekomendasi
Dapat dibentuk organisasi perangkat
daerah yang berdiri sendiri,
berbentuk kantor
Dapat dibentuk dinas atau badan
Dapat dibentuk dinas atau badan
Dapat dibentuk dinas atau badan
Dapat dibentuk dinas atau badan

832

Dapat dibentuk dinas atau badan

472

Belum dapat dibentuk organisasi


perangkat daerah yang berdiri
sendiri
Dapat dibentuk dinas atau badan

6
7

Tenaga kerja dan


884
transmigrasi
9
Kesehatan
619
Dapat dibentuk kantor
10
Pendidikan
583
Dapat berbentuk kantor
11
Kesejaterahan sosial
580
Dapat berbentuk kantor
12
Pekerjaan umum
796
Dapat dibentuk dinas atau
13
Perhubungan
820
Dapat dibentuk dinas atau
14
Pengendalian dampak
802
Dapat dibentuk dinas atau
lingkungan
15
Informasi dan komunikasi
502
Dapat berbentuk kantor
16
Kebudayaan dan pariwisata 772
Dapat dibentuk dinas atau
17
Kesbang dan Linmas
712
Dapat berbentuk kantor
18
Pemberdayaan masyarakat 922
Dapat dibentuk dinas atau
19
Pendapatan daerah
622
Dapat berbentuk kantor
Sumber : Hasil penelitian Lembaga Kajian STPDN,2004

badan
badan
badan

badan
badan

Berdasarkan tabel di atas, nampak dalam birokrasi Kabupaten Ngada hanya


terdapat sebelas bidang kewenangan yang layak dibentuk sebuah unit organisasi
setingkat dinas. Selanjutnya ada enam bidang kewenangan yang dapat diwadahi
dalam unit organisasi yang berbentuk kantor.
Berdasarkan uraian ini maka pilihan kebijakan yang sebaiknya diambil oleh Pemda
Ngada ke depan adalah melakukan penataan organisasi perangkat daerah yang harus
lebih sesuai dengan potensi dan masalah daerah. Pilihan kebijakan ini diambil
berdasarkan pertimbangan sebagai berikut :

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

62

1. Bidang kewenangan pertanian harus tertampung dalam satu organisasi


berbentuk dinas sebab 77.30 persen penduduk bekerja pada sektor
pertanian tanaman pangan;
2. Bidang kewenangan pendidikan dan kesehatan harus tertampung dalam suatu
organisasi berbentu dinas, sebab pendidikan dan kesehatan merupakan
kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi prioritas;
3. Bidang kewenangan pendapatan daerah
merupakan bidang kewenangan
strategis yang mengelola pendapatan dan belanja daerah yang dapat diwadahi
dalam bentuk dinas;
4. Ke depan harus disiapkan suatu disain kebijakan penanggulangan dampak
penataan organisasi, terutama kebijakan untuk menata ulang alokasi dan
distribusi pegawai sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan organisasi.
Konsekuensi dari penataan kelembagaan Pemda Ngada dengan adanya pembentukan
unit kerja baru, penggabungan unit-unit yang ada, penghapusan unit-unit yang sudah
ada maupun perubahan fungsi unit-unit kerja yang sudah ada adalah menyangkut
penataan personil pada tiap-tiap perangkat daerah dan langkah berikutnya yang
harus dilakukan adalah penataan pegawai.
Tabel 19
Jumlah Jabatan Menurut Tingkat Eselonoring Di Kabupaten Ngada
No
1

2
3
4
5
6
7
8
9
10

Unit Kerja

Eselon
III

II

IV

Lama

Baru

Lama

Baru

Lama

Baru

Sekretariat daerah
a. Assisten Tata Praja
b. Asisten Ekbang

3
1
1

2
1

11
3
3

7
3

37
10
9

14
8

c. Assisten Administrasi
Sekretariat DPRD
Dinas
Dinas Pertanian Tanaman
Pangan
Dinas Perkebunan

1
1
17
1

1
1
12
1

5
3
74
5

4
3
60
5

18
7
245
16

8
7
120
10

16

Dinas Perikanan dan


Kelautan
Dinas Kesehatan
Dinas Pemukiman dan
Prasarana Wilayah
Dinas Perhubungan
Dinas Pendidikan, Pemuda
dan Olahraga
Dinas Perindustrian dan

15

10

1
1

1
1

5
4

5
5

17
15

10
10

1
1

1
1

4
4

5
5

15
20

10
10

12

10

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

Keterangan

Fungsinya dilaksanakan oleh


dinas Lemtekda yang terkait
dengan bidang ekonomi dan
pembangunan

Menjadi Dinas Pertanian


Digabung dengan Dinas
Pertanian

Menjadi Dinas Pekerjaan Umum

63

11
12
13

14
15
16
17
18
19

1
2
3

4
5
6

1
2
3
4

Perdagangan
Dinas Pendaftaran
Penduduk
Dinas Tenaga Kerja
Dinas Koperasi dan UKM

4
5
4

4
4
4

5
5
5

12

10

15
14

10

14
13
11

10
10
10

1
1

Dinas Pendapatan Daerah


Dinas Kehutanan
Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata
Dinas Sosial

1
1
1

1
1
1

12

Dinas Informasi dan


Komunikasi
Dinas Pertambangan dan
Energi
Badan
Badan Pengawas

13

6
1

5
1

33
7

25
5

101
19

51
10

Badan Pemberdayaan
Masyarakat Desa
Badan Koordinasi
Penanaman Modal Daerah

15

10

Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan
Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah
Badan Kesatuan Bangsa
dan Perlindungan
Masyarakat
Badan Kepegawaian
Daerah
Kantor
Kantor Pengolahan Data
Elektronik
Kantor Perpustakaan
Umum Daerah
Kantor Polisi Pamong
Praja
Kantor Catatan Sipil

11

10

22

10

19

Digabung dengan Dinas


Perindustrian dan Perdagangan,
Koperasi dan UKM

10

15

Menjadi Kantor Kependudukan


dan Catatan Sipil

Digabung dengan Dinas


Pemberdayaan Masyarakat
Fungsinya melekat pada masingmasing unit kerja
Skor memenuhi syarat menjadi
dinas
Menjadi Badan Pengawas
Daerah
Menjadi Dinas Pemberdayaan
Masyarakat
Digabung dengan Dinas
Perindustrian dan Perdagangan,
Koperasi dan UKM
Menjadi Dinas Lingkungan
Hidup

Menjadi Kantor Kesbang Linmas

Sumber : Hasil penelitian Lembaga Kajian STPDN,2004

Dalam menyingkapi persoalan ini, harus ada beberapa langkah penataan pegawai
negeri sipil yang dapat dilakukan :
1. Perlu dilakukan analisis jabatan dan analisis beban kerja pada setiap satuan
organisasi untuk menyusun peta jabatan, kompetensi jabatan, dan jumlah

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

64

pegawai untuk mengisi jabatan tersebut sesuai dengan beban kerja


organisasi.
2. Hasil analisis jabatan dipergunakan sebagai bahan tindak lanjut perencanaan
pegawai untuk mengatasi kesenjangan antara persediaan pegawai (pegawai
yang ada) dengan kebutuhan pegawai antara lain :
a. Penetapan pengangkatan PNS yang telah mempunyai atau memenuhi
kompetensi ke dalam jabatan dalam unit kerja yang bersangkutan;
b. Pemindahan atau penyaluran PNS ke unit atau instansi yang
membutuhkan sesuai dengan kompetensi;
c. Perencanaan pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan kompetensi
PNS agar sesuai dengan tuntutan jabatan;
d. Perencanaan pendidikan dan pelatihan untuk alih jabatan bagi PNS
yang dialihkan ke jenis jabatan yang berbeda;
e. Pengalihan PNS dari jabatan struktural atau non struktural ke jabatan
fungsional tertentu pada masing-masing unit kerja serta
memperhatikan ketersediaan anggaran untuk pembayaran tunjangan
jabatan;
f. Bagi PNS yang dikategorikan kelebihan karena tidak tertampung
dalam organisasi yang bersangkutan, atau unit instansi lain karena
kompetensinya tidak diperlukan, penyelesaianya dilakukan berdasarkan
PP Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian PNS, khususnya
karena adanya penyederhanaan organisasi.
3. Untuk mengurangi jumlah PNS yang diberhentikan dan dalam rangka
pengkaderan untuk memperoleh tenaga atau personil yang lebih potensial,
maka perpanjangan Batas Usia Pensiunan (BUP) bagi pejabat eselon satu dan
dua lebih dari 56 tahun hanya dapat dilakukan apabila keahliannya masih
sangat diperlukan dan belum ada kader pengganti. Perpanjangan batas usia
pensiunan lebih dari 56 tahun dilakukan dengan sangat selektif.
3.2 Pola Pengawasan dan Pengendalian
Pola pengawasan internal yang dilakukan dalam birokrasi pada dasarnya terdiri dari
pengawasan fungsional yang dilakukan oleh Banwas dan pengawasan melekat yang
dilakukan oleh kepala instansi kepada bawahan.
Pengawasan yang dilakukan oleh Banwas pada dasarnya untuk membantu bupati
untuk melakukan pengawasan terhadap penyimpangan pembangunan yang terjadi.
Pengawasan yang dilakukan oleh Banwas dilakukan untuk menilai kinerja dari setiap
unit pemerintah yang hasil akhirnya akan dilaporkan kepada bupati. Keputusan akhir
menyangkut sanksi mengenai hasil pemeriksaan berada di bupati.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

65

Mekanisme transparansi yang menjamin akses publik kepada hasil pemeriksaan belum
ada. Pertanggungjawaban atas hasil pemeriksaan kepada publik belum dilakukan
secara baik dengan alasan etika pemerintahan dimana Banwas hanya bertugas
melaporkan berbagai hasil pemeriksaaan kepada bupati dan tidak dibuka secara
transparan kepada publik tetapi hanya dilaporkan secara politik kepada DPRD
menyangkut pencapaian hasil kinerja instansi pemerintah. Jadi DPRD hanya
mengetahui kondisi umum pencapaian kinerja bukan ditail menyangkut personal dan
tindak penyimpangannnya.
Selain itu tidak jelas standar yang dipakai bagi pemilahan kasus yang akan
dilanjutkan ke proses hukum atau sekadar menjadi bahan evaluasi oleh bupati.
Aspek-aspek yang diawasi Banwas :
- tugas dan fungsi organisasi
- pengelolaan keuangan
- pengelolaan barang
Standar yang dipakai dalam pengawasan atau pemeriksaan yaitu hanya mengacu
kepada peraturan atau ketentuan dan kebijakan yang dibuat baik itu aturan
keuangan, teknis proyek dan sebagainya. Jadi sifat pemeriksaannya cendrung hanya
mengecek atau memeriksa hasil dengan ketentuan yang berlaku.
Menyangkut frekuensi pengawasan terhadap obyek pengawasan atau pemeriksaan
pada umumnya tidak pasti. Hal ini berkaitan dengan keterbatasan waktu dan tenaga
yang berhubungan dengan jumlah obyek pemeriksaan yang cukup banyak yaitu
sekitar 200 obyek pemeriksaan. Permasalahan pengawasan masih juga diperhadapkan
pada kemampuan personil sebagai auditor yang profesional.
Konsekuensi hasil pemeriksaan pada umumnya hanya sebagai bahan evaluasi bersama
instansi atau badan yang menjadi obyek pemeriksaan dalam melihat permasalahan
yang terjadi.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

66

B. DETERMINAN BUDAYA PATRIMONIAL


Dalam pendekatan ekologi, birokrasi dapat dilihat sebagai suatu organisma yang akan
selalu berhubungan dengan lingkungannya baik itu pengaruh lingkungan sosial budaya,
ekonomi dan politik.
Perkembangan birokrasi Indonesia membuktikan bahwa sistem politik dan
administrasi terutama pada masa pemerintahan orde baru adalah sistem yang
mendasarkan diri pada budaya politik terutama budaya politik Jawa. Selanjutnya
dengan pendekatan yang sentralistik, model pemerintahan Jawa ini telah diarahkan
untuk diseragamkan menjadi pola pemerintahan nasional dalam segala aspek
kebijakan. Kondisi ini paling tidak nampak dalam variasi pola prilaku baik itu dalam
pembentukan pola pembuatan kebijakan yang cendrung bersifat sentralistis,
orientasi para birokrat pada status dan pola hubungan birokrasi dengan rakyat yang
berkarakter penguasa-rakyat jelata.
Birokrasi seharusnya ditempatkan sebagai penjaga aturan main yang disepakati. Oleh
karena itu birokrasi seharusnya bersifat netral, profesional dan mengabdi kepada
rakyat. Namun dalam realitasnya, birokrasi cendrung kurang mampu membedakan
antara kepentingan privat dan kepentingan publik. Kepentingan privat seringkali
justru lebih dominan daripada kepentingan publik dan masalah ini diperparah dengan
kondisi rakyat yang terus termarginalkan dan tidak memiliki kemampuan untuk
menyuarakan aspirasinya kepada birokrasi.
Budaya birokrasi Indonesia merupakan manifestasi sistem kepercayaan nilai-nilai
yang dihayati, sikap dan perilaku yang terefleksi ke dalam orientasi birokrasi
terhadap masyarakat dan lingkungannya. Budaya birokrasi di Indonesia merupakan
penggabungan nilai-nilai tradisional dan modern yang tercermin dalam perilaku yang
dualistis. Birokrasi Indonesia dalam realitasnya lebih menggambarkan karakteristik
birokrasi weberian dengan karakteristik birokrasi yang berakar pada budaya lokal
yang berpeluang pada munculnya sikap dan perilaku patrimonial.
Nilai-nilai tradisional yang menjadi ciri khas budaya feodal justru menjadi lebih
tampak menonjol dalam sistem birokrasi di Indonesia dibandingkan dengan nilai-nilai
birokrasi modern.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

67

1. Budaya Organisasi
Osborn dan Plastrik (2001) mendefenisikan budaya organisasi sebagai seperangkat
perilaku, perasaan dan kerangka psikologis yang terinternalisasi sangat mendalam
dan dimiliki bersama oleh anggota organisasi. Budaya organisasi dapat nampak dalam
sesuatu yang berwujud yang berupa kebiasaan dan rutinitas, ritual, tata cara
termasuk, mungkin, mitos-mitos yang berkembang di antara mereka. Namun budaya
birokrasi juga dapat tidak berwujud yaitu berupa keyakinan orang, asumsi, gagasan,
harapan dan impian. Setiap aspek dalam organisasi baik itu struktur, uraian
pekerjaan, kebijakan dan sebagainya berkontribusi terhadap budaya organisasi.
Budaya organisasi secara sadar maupun tidak menjadi panduan bagi seluruh anggota
organisasi dalam berpikir dan berprilaku.
Pada tingkat struktur birokrasi, prilaku dan simbolsimbol sebagai wujud budaya
organisasi birokrasi yang dipergunakan oleh elit birokrasi lebih diarahkan untuk
mencari dan mempertahankan karakteristik yang menjadi status dan simbol
kelompok elit dalam birokrasi.
Mengamati budaya birokrasi publik maka akan nampak dalam prilaku yang sangat
kaku, tidak responsif, tidak inovatif dan sebagainya. Oleh Osborn dan Plastrik hal
inilah yang disebut budaya birokratis. Budaya ini dapat muncul paling tidak
disebabkan oleh beberapa hal :
1. Organisasi pemerintah adalah ciptaan sektor politik. Tak dapat dihindari,
organisasi pemerintah terus-menerus menjadi sasaran tuntutan publik yang
disalurkan melalui pejabat terpilih. Organisasi pemerintah menjadi bola sepak
dalam konteks politik, ditendang dari satu kaki ke kaki yang lain. Sebagai respon
terhadap lingkungan semacam ini, organisasi mulai belajar membela dirinya
dengan menutup diri dan respon terhadap lingkungan di luarnya.
2. Badan pemerintah hampir semuanya diorganisir dalam bentuk hirarki berlapislapis. Aturan kepangkatan menentukan wewenang, kompensasi dan peluang karir.
Aturan ini memisahkan antara kelompok orang yang memberi perintah dan
kelompok yang menjalankan perintah dan siapa yang patuh. Sebagai respon
terhadap konsentrasi kekuasaan ini, pegawai pemerintah cendrung menjadi kaku
kerangkengan dan jika ingin mengubah sesuatu, mereka meminta ijin terlebih
dahulu dan kebanyakan yang tidak mau mencoba.
3. Pemerintah diorganisir secara birokratis. Kegiatan pemikiran dipisahkan dari
pelaksanaan. Fungsi pelaksanaan diuraikan dalam fungsi-fungsi dan kemudian
dibagi ke dalam unit-unit. Dan unit ini dipisahkan dalam pekerjaan yang dipilah
dalam tugas-tugas spesifik. Tugas ini dilakukan oleh spesialis yang mengusai
bidang-bidang tertentu. Model ini telah sangat lama dan rutin diterima serta
dianggap sebagai kebijakan yang sudah baku dan tidak dapat diubah. Kondisi ini

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

68

memaksa para birokrat bergerak secara statis dan efeknya menjadi jelas orang
terikat dalam mesin birokratis monoton menjadi tidak imajinatif dan tidak
responsif.
4. Organisasi pemerintah biasanya memiliki monopoli atau hampir monopoli.
Birokrasi publik hanya mendapat tekanan yang kecil dari masyarakat karena
mereka tidak memiliki konsekuensi apapun atas kinerjanya. Orang-orang dalam
pemerintahan lebih mengkuatirkan anggaran dan kepangkatan serta status
birokratis daripada memikirkan cara-cara memperbaiki kinerjanya.

1.1 Pola-Pola Prilaku


Tabel 20
Pola Prilaku Bawahan Terhadap Atasan atau Sebaliknya
Klasifikasi
Frekuensi
Persentase
Sangat Kaku
1
1.06
Kaku
71
75.53
Fleksibel
16
17.02
Sangat Fleksibel
6
6.38
Jumlah
94
100
Sumber : Olahan Data Primer,2005

Tabel di atas memperlihatkan bahwa pola perilaku bawahan terhadap atasan


cendrung masih kaku. Hal ini nampak pada perilaku bawahan yang sangat hormat
terhadap atasan yang sering ditunjukan dengan sikap hormat yang kaku, tutur kata
yang lebih halus. Hal ini juga dapat dilihat pada pola kritik yang dibangun. Tabel
memperlihatkan bahwa sebagian besar responden menganggap kritik yang dibangun
masih bersifat tertutup tidak dilakukan secara terbuka. Hal ini dikarenakan belum
adanya komunikasi antara atasan dengan bawahan yang lebih fleksibel yang
memungkinkan bawahan lebih berani memberi kritik terhadap atasan. Selain itu,
belum membudayanya kritik atau menganggap kritik sebagai hal yang biasa juga
turut mendorong bawahan agak sulit memberikan kritik kepada atasan.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

69

Tabel 21
Pola Kritik yang Dibangun
Klasifikasi
Frekuensi
Sangat Tertutup
3
Tertutup
66
Terbuka
21
Sangat Terbuka
4
Jumlah
94

Persentase
3.19
70.21
22.34
42.55
100

Sumber : Olahan Data Primer,2005

1.2 Nilai-Nilai yang Dianut


Birokrasi di Kabupaten Ngada pada dasarnya juga menampilkan nilai-nilai
patromonial. Ada kecendrungan bahwa menjadi birokrat dan jabatan dalam birokrasi
mempunyai hubungan dengan peningkatan status seseorang dalam masyarakat. Citra
yang terbentuk adalah seseorang yang menjadi birokrat dan memiliki jabatan adalah
orang yang mempunyai kekuasaan, kemapanan dari segi ekonomi sehingga akan selalu
dihormati.
Tabel 18 memperlihatkan bahwa pada umumnya orang menjadi PNS didorong untuk
memperoleh pekerjaan yang tetap dan memperoleh jaminan di hari tua. Selain hanya
sedikit responden yang menyatakan menjadi PNS karena didorong oleh keinginan
untuk mengembangkan kualitas diri.
Tabel 22
Dorongan Menjadi Birokrat (PNS)
Klasifikasi
Frekuensi
Memperoleh pekerjaan yang tetap
42
Memperoleh jaminan hari tua
30
Tekanan kerja yang rendah
3
Mengabdi kepada masyarakat
6
Menerapkan idealisme dan
1
profesionalitas
Lain-lain
12
Jumlah
94

Persentase
44.68
31.91
3.19
6.38
1.06
10
100

Sumber : Olahan Data Primer,2005

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

70

Menyangkut harapan setelah bekerja, orientasi para PNS pada umumnya hanya
kepada memperoleh gaji dan tunjangan secara teratur serta memperoleh kenaikan
pangkat secara teratur pula. Sedangkan orientasi kepada peningkatan kapasitas dan
kualitas pribadi masih belum nampak. Kondisi ini menunjukan bahwa, birokrasi belum
sepenuhnya mampu menjadi organisasi yang dapat digunakan sebagai media
pengembangan prestasi tetapi lebih sebagai media pengembangan karir PNS belaka.
Tabel 23
Harapan-Harapan dalam Bekerja
Klasifikasi
Frekuensi
Memperoleh kenaikan pangkat secara
10
teratur
Memperoleh gaji dan tunjangan
35
secara teratur
Pelayanan kepada masyarakat
7
meningkat
Memperoleh pengalaman kerja
1
Mengembangkan kemampuan
5
Lain-lain
Jumlah
58

Persentase
17.24
60.34
12.06
1.72
8.62
100

Sumber : Olahan Data Primer,2005

1.3

Pola Patron-Client

Masyarakat Kabupaten Ngada dalam sistem budayanya menganut pola kebudayaan


sistem keluarga besar (woe) dan keluarga kecil (sipopali). Dalam sistem sosialnya
masyarakat terbagi atas strata-strata sosial yaitu golongan bangsawan (gae meze),
golongan menengah (gae kisa) dan golongan bawah (hoo). Sistem sosial budaya ini
menurunkan nilai-nilai budaya yang menekankan pola pikir kekeluargaan, solidaritas,
musyawarah. Nilai-nilai tersebut pada tingkatan tertentu kadang-kadang menjadi
nilai yang negatif berupa tingkat ketergantungan pada pemimpin, feodalistis dan
primodialisme yang sempit.
Dalam tataran etnisitas, wilayah Kabupaten Ngada terbagi atas tiga etnik besar
yaitu (1) Etnik Bajawa yang meliputi Bajawa, Golewa, Aimere dan Soa. Kelompok etnik
ini pada umumnya menganut pola kebudayaan matrilineal; (2) etnik Nagekeo meliputi
wilayah Boawae, Aesesa, Mbai; (3) Etnik Riung yang meliputi wilayah Riung dan
sekitarnya. Kedua etnik ini pada umumnya menganut pola kebudayaan patrilineal. Pola
sosial kebudayaan dan pembagian wilayah berdasarkan etnik ini kemudian melalui
proses sosiologis dan bahkan politik membawa pola perilaku tertentu dalam

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

71

membangun relasi antar-masyarakat dan antar-etnik yang cendrung juga bernuansa


patron client.
Pola patron client pada dasarnya dapat dilihat sebagai suatu sistem atau pola
hubungan bapakanak dalam konteks melindungi dan dilindungi untuk kepentingan
tertentu yang ingin dicapai dari hubungan tersebut. Pola ini dapat dipandang secara
hirarkis dimana pihak pejabat birokrasi atau pimpinan ditempatkan lebih dominan
daripada aparat bawahan karena seorang pimpinan harus memberikan perlindungan
terhadap bawahannya dan wajib mengabdi kepada atasanya tersebut.
Konsep patron client birokrasi yang diciptakan memposisikan diri aparat-bawahan
sebagai anak yang berada pada struktur bawah. Seorang anak akan selalu
tersubordinasi dan harus menghormati kepada pimpinan. Hal tersebut berarti
bahwa seorang aparat bawahan harus selalu berkewajiban untuk mengikuti kemauan
atasan.
Corak patron client yang nampak pada birokrasi Kabupaten Ngada paling tidak
berhubungan dengan upaya untuk mengakses kekuasaan dalam birokrasi yang
berhubungan timbal balik dan berkaitan dengan perlindungan atau penguatan
kepentingan baik yang bersifat politik maupun ekonomis. Jabatan birokrasi
sepertinya menjadi hasil diperoleh dari pola patron-client yang dibangun. Jabatan
birokrasi menjadi sesuatu yang dicari oleh bawahan (client) karena mempunyai
implikasi penting dengan peningkatan status sosial, kemampuan ekonomi seseorang
sehingga hasil ini pun selanjutnya akan digunakan oleh client untuk membangun
dukungan baik dalam birokrasi maupun dalam membangun jaringan politik yang
mungkin bisa digunakan oleh patron.

1.4

Pengaruh Politik dalam Promosi


Tabel 24
Persepsi Tentang Pengaruh Hubungan Politik Dalam Promosi
Klasifikasi
Frekuensi
Persentase
Sangat tidak nampak
4
4.25
Tidak nampak
39
41.48
Nampak
39
41.48
Sangat nampak
12
12.76
Jumlah
94
100
Sumber : Olahan Data Primer,2005

Hal ini menunjukan bahwa faktor politik dianggap masih berpengaruh dalam pola
promosi. Pola suksesi misalnya dianggap sangat berpengaruh terhadap pola mutasi

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

72

yang akan dilaksanakan pasca suksesi. Walaupun sudah ada beberapa persyaratan
yang ditentukan dalam mengisi suatu tingkatan jabatan tertentu, misalnya
pendidikan penjenjangan dan syarat kepangkatan dan sebagainya, faktor kedekatan
politik dianggap sangat berperan untuk menentukan posisi seorang pejabat.

1.5

Hubungan Etnik dalam Promosi


Tabel 25
Persepsi Tentang Pengaruh Hubungan Etnik Dalam Promosi
Klasifikasi
Frekuensi
Persentase
Sangat tidak nampak
5
5.31
Tidak nampak
39
41.48
Nampak
39
41.48
Sangat nampak
11
11.70
Jumlah
94
100
Sumber : Olahan Data Primer,2005

Faktor etnik juga dianggap mempunyai pengaruh dalam proses promosi jabatan
walaupun dianggap kurang siginifikan. Sebanyak 41.48 persen dan 11.70 persen
responden menyatakan ada pengaruh etnik dalam proses promosi pada birokrasi
pemerintahan Kabupaten Ngada. Perhatian terhadap faktor etnik ini paling tidak
pada pemahaman tentang perlunya perimbangan pejabat untuk menduduki jabatanjabatan pada struktur yang ada berdasarkan ketiga etnik yang ada di Ngada yaitu
etnik Bajawa, Nagekeo dan Riung.

2. Polarisasi dalam Birokrasi


Gejala terbentuknya klik dalam birokrasi pada dasarnya adalah suatu realitas yang
tidak terbantahkan sebagai implikasi dari munculnya pola patrimonial dalam
birokrasi. Riggs (1996) menegaskan bahwa dalam organisasi formal birokrasi akan
selalu ada klik-klik yang berlandaskan diri secara ekslusif yang dimaksudkan untuk
mencapai tujuan tertentu atau berbagai tujuan fungsional.
Klik-klik tersebut tidak hanya menggalangkan diri di dalam masyarakat yang terkena
pelaksanaan adminstratif saja, tetapi juga di dalam kantong-kantong birokrasi. Hal
ini berarti kelompok-kelompok yang membentuk diri di dalam birokrasi akan
didominasi oleh anggota-anggota yang berasal dari komunal atau sub komunal
tertentu.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

73

2.1 Klik Politik


Tabel 26
Persepsi tentang Klik Berdasarkan Politik dalam Birokrasi
Klasifikasi
Frekuensi
Persentase
Sangat tidak nampak
5
5.31
Tidak nampak
38
40.42
Nampak
41
43.61
Sangat nampak
10
10.63
Jumlah
94
100
Sumber : Olahan Data Primer,2005

Tabel di atas menunjukan bahwa dalam birokrasi pemerintahan Kabupaten Ngada


telah muncul klik-klik berdasarkan faktor politik. Walaupun klik ini tidak nampak
secara terbuka ke publik, namun nuansa-nuansa klik berdasarkan politik ini paling
tidak akan nampak pada saat proses suksesi yang berlanjut pada pola suksesi.

2.2 Klik Etnik


Klik berdasarkan etnik dalam birokrasi pemerintahan Kabupaten Ngada nampaknya
kurang nampak. Walaupun ada tiga etnik yang mengusai birokrasi pemerintahan yaitu
etnik Bajawa, Nagekeo dan Riung, namun personil atau pejabat yang ada tidak
berafiliasi secara kuat berdasarkan etnik. Kurang nampaknya klik dalam birokrasi
berdasarkan hubungan etnik ini pada dasarnya disebabkan oleh lebih fleksibelnya
pola relasi antarpejabat yang lebih mengarah pada relasi politik. Faktor etnik
cendrung dianggap sebagai faktor yang mendukung dalam membangun pola relasi
politik yang ada.
Tabel 27
Persepsi tentang Klik Berdasarkan Etnik dalam Birokrasi
Klasifikasi
Frekuensi
Persentase
Sangat tidak nampak
3
3.19
Tidak nampak
45
47.87
Nampak
40
42.55
Sangat nampak
6
6.38
Jumlah
94
100
Sumber : Olahan Data Primer,2005

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

74

Masih kuatnya determinan patrimonial pada birokrasi sebagaimana yang terungkap


pada penelitian ini menunjukan bahwa performans birokrasi yang masih sangat
dipengaruhi oleh faktor ekologis walaupun sudah ada aturan legal formal yang
mengaturnya.
Merujuk pada karya F.W. Riggs (1996) berjudul Admininistrasi Negara-Negara
Berkembang terkait teori masyarakat prismatis, maka dapat dikatakan bahwa
birokrasi yang berkembang di Indenesia termasuk birokrasi pemerintahan
Kabupaten Ngada adalah model birokasi yang lahir dari rahim prismatis yaitu
masyarakat yang ditandai dengan saling terbenturnya nilai-nilai tradisional dengan
nilai-nilai modern. Secara struktural ia menampakan ciri-ciri sebagaimana model
birokrasi modern, namun secara kultural birokrasi di Indonesia masih membawa
semangat feodalisme dalam setiap aspek kegiatannya.
Ketidakjelasan prilaku birokrasi ini dapat dikaitkan dengan tingkat perkembangan
yang berbeda dalam bidang sosial dan ekonomi yang berkaitan dengan perkembangan
budaya masyarakat. Abdullah mengutip V.O. Key Jr. (dalam Pandie; Kuahaty, 2000)
menjelaskan bahwa birokrasi sebagai lembaga yang dominan dalam kehidupan
masyarakat modern pada hakekatnya merupakan pembawa nilai-nilai budaya suatu
bangsa. Salah satu fungsi terbesar dalam birokrasi adalah konsevator nilai-nilai
budaya. Tujuan, prosedur, seremoni, cara pandang dan kebiasan birokrasi merupakan
nilai-nilai budaya tradisional yang diformalisasikan.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa tipe birokrasi model weber nampaknya belum
berkembang sebagaimana mestinya. Nilai-nilai tradisional masih tetap inherent
mewarnai sosok birokrasi modern. Upaya pengembangan birokrasi menuju model
birokrasi yang legal rasional ternyata hanyalah menyangkut bentuk luarnya saja dan
belum pada tata nilainya. Sehingga yang terlihat birokrasi pemerintahan Kabupaten
Ngada masih lebih menampilkan dominasi patrimonial dimana jabatan dan prilaku
dalam keseluruhan hirarki lebih didasarkan pada pola hubungan pribadi dan
kekeluargaan, bapak-anak atau patron-client relationship.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

75

KESIMPULAN
Potret karakter birokrasi Kabupaten Ngada pada dasarnya memperlihatkan
pengaruh aspek struktural dan kultural birokrasi yang secara bersamaan membangun
karakter yang patologis.
Pada tataran struktural, bangunan struktur birokrasi yang dirancang cendrung masih
bersifat kaku formalistis. Penelitian ini menunjukan bahwa dalam birokrasi belum
ada suatu sistem konsekuensi yang bersifat reward and punisment secara
tersistimatis yang dapat memacu kinerja seseorang. Pola kompetisi sebagai bagian
penjaringan tenaga yang profesional dan berkualitas belum berjalan dengan baik.
Dalam birokrasi kompetisi cenderung tidak ada. Hal ini karena dinamika organisasi
cendrung hanya berdasarkan aturan formal yang ada. Pola kompetisi dalam pengisian
jabatan eselon misalnya hampir tidak nampak karena hal ini lebih berkaitan dengan
aspek kepangkatan dan senioritas. Hal ini menyebabkan kinerja staf menjadi kurang
terpacu dalam berlomba-lomba menunjukan prestasi dan kemampuan.
Rendahnya kompetisi ini juga diperparah dengan ketiadaan standar pengukuran
kinerja staf dan lembaga birokrasi pada umumnya. Pengukuran kinerja staf masih
sebatas evaluasi pimpinan kepada bawahan tanpa ada suatu ukuran-ukuran yang jelas.
Hal ini menyebabkan, aktivitas staf terdorong hanya menjadi suatu rutinitas
administrasi tanpa ada upaya pengembangan kualitas staf secara baik. Implikasinya
adalah agak sulit membedakan secara baik mana staf yang berkualitas dan mana yang
tidak.
Sedangkan menyangkut sistem insentif, terlihat bahwa insentif yang diberikan
kepada staf masih terbatas pada pemberian tunjangan dan gaji. Walaupun demikian,
kondisi ini dianggap sudah cukup memuaskan bagi staf dalam bekerja.
Aspek lain dari faktor struktural yang dikaji dalam penelitian ini adalah menyangkut
sistem pertanggungjawaban. Hasil penelitian menunjukan bahwa pertanggungjawaban
yang dilakukan oleh birokrasi pemerintahan Kabupaten Ngada masih sebatas
pertanggungjawaban internal (responsibilitas). Hal ini dilakukan secara berjenjang
dari bawahan kepada atasan sampai kepada bupati. Pertangungjawaban birokrasi
terhadap publik melalui pertanggungjawaban bupati kepada DPRD. Hal ini berarti
pertanggungjawaban kepada publik luas tidak ada dan akses masyarakat untuk
menilai pertanggungjawaban tersebut juga tidak diberi ruang yang memadai.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

76

Subtansi pertanggungjawaban masih lebih difokuskan pada pelaporan penggunaan


anggaran sampai pada akhir tahun anggaan. Indikator yang dipakai adalah kinerja
input terdiri dari besarnya dana yang digunakan, sedangkan output berupa hasil yang
diperoleh begitu kegiatan selesai dikerjakan dan outcome berupa pemanfaatan dari
output yang dapat diukur dalam jangka pendek. Mekanisme ini menyebabkan tidak
terukurnya kinerja birokrasi secara baik, selain itu mekamisme ini menimbulkan
semacam prilaku birokrasi untuk sekadar menghabiskan anggaran agar dinilai
berhasil.
Menyangkut struktur birokrasi, nampak bahwa pembentukan struktur birokrasi
cendrung bukan berdasarkan kebutuhan yang berkaitan dengan kewenangan, potensi
daerah, strategi kebijakan daerah tetapi lebih sebagai respon Pemda terhadap
kehadiran peraturan perundangan.
Pola kekuasaan organisasi juga cendrung masih bersifat sentralistis. Dimana
kewenangan-kewenangan daerah yang bersifat fungsional nampak masih mandeg atau
tersentralistik di tingkat kabupaten. Hal ini menyebabkan pelayanan kepada
masyarakat menjadi lamban dan kurang mampu merespon kebutuhan masyarakat
secara cepat.
Pada tataran kultural, birokrasi pemerintahan Kabupaten Ngada masih menampakan
nilai-nilai patrimonial. Budaya organisasi birokrasi masih mencerminkan perilaku
birokrasi tradisional ketimbang nilai-nilai birokrasi modern. Hal ini dapat dilihat
pada masih kakunya hubungan komunikasi antara bawahan dengan atasan serta masih
tertutupnya pola kritik yang terbangun.
Dalam proses promosi, pendekatan-pendekatan subyektif juga cendrung masih tetap
mewarnai dinamika birokrasi. Faktor hubungan etnik dan politik dianggap sebagai
faktor yang cukup berperan dalam pola promosi yang berlangsung.
Nilai patrimonial ini juga nampak pada munculnya polarisasi dalam birokrasi
berdasarkan hubungan etnik dan politik. Klik-klik dalam birokrasi terutama berkaitan
dengan faktor politik yang akan cukup nampak pada saat suksesi .

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

77

Referensi
Antlov, Hans. (2002). Negara Dalam Desa : Patronase Kepemimpinan Lokal.
Jogjakarta: LAPERA Pustaka Utama.
Biro Pusat Statistik Nusa Tenggara Timur. (2004). NTT Dalam Angka. Kupang : BPS
NTT.
Dwiyanto, Agus, dkk. (2002). Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Pusat studi
Kependudukan dan Kebijakan. Jogjakarta : Universitas Gadjah Mada.
Giddens, Anthony. (2004). Sociology. Oxford : Blackwell Publishing.
Haning, Jermi. (2005). Seperti Apakah Akuntabilitas Publik Kepala Daerah
(Tanggapan Terhadap SARAN KEPADA CALON KEPALA DAERAH). Kupang: Harian
Timor Express, 8 Februari 2005.
Haning, Jermi. (2004). Kompetisi: Salah Satu Kunci Reformasi Pemerintah Daerah.
Kupang: Harian Kursor, 7 Oktober 2004.
Haning, Jermi (2003). Accountability for Performance in Local Government in
Indonesia: Sustainability Balanced Scorecard Approach for Better Practices of
Corporate Governance. Unpublished Research Project at Flinders Institute of Public
Policy and Management, Flinders University, Adelaide.
Osborne, David dan Gaebler, Ted. (1996). Mewirausahakan Birokrasi:
Mengtransformasi Semangat Wira Usaha Ke Dalam Sektor Publik. Jakarta : PT.
Pustaka Binaman Pressindo.
Osborne, David dan Plastrik, Peter. (2000). Memangkas Birokrasi Lima Strategi
Menuju Pemerintahan Wirausaha. Jakarta : Penerbit PPM.
Rap, Edwin. (1997). Preparing Exploratory Research : A Guideline for the Design of
a Research Proposal for MAKS Students. Wegeningen : MSc Program on
Management of Agricultural Knowledge Systems (MAKS), Wageningen University.
Rollinson, Derek. (2002). Organizational Behavior and Analysis : An Integrated
Approach. London: Prentice Hall.
Udak, Blasius (et all). (2003). Karakteristik Pemerintahan Lokal di Nusa Tenggara
Timur: Studi di Kabupaten Kupang, TTS, TTU dan Belu. Kupang : Yayasan Peduli
Sesama The Ford Foundation.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

78

Undang Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan


Daerah.
Verschuren, Piet & Doorewaard, Hans. (1999). Desining a Research Project. Utrecht:
LEMMA.
Wuyts, Marc & Mackintosh, Maureen, & Hweitt, Tom. (1992). Development Policy
and Public Action. United Kingdom : Oxford university Press.
Yudoyono, Bambang. (2001). Otonomi Daerah: Desentralisasi dan Pengembangan
SDM Aparatur Pemda dan Anggoata DPRD. Jakarta : Pustaka Sinar harapan.

PROFIL YAYASAN PEDULI SESAMA


(SANLIMA)

PROFILE OF THE YAYASAN PEDULI


SESAMA
(SANLIMA)

Sejarah

History

Yayasan Peduli Sesama biasa disebut


SANLIMA adalah satu lembaga non
pemerintah berlokasi di Kupang, Timor Barat
Indonesia. SANLIMA didirikan pada tanggal 7
Mei 1998 sebagai respon terhadap kondisi
sulit yang dialami masyarakat urban di Kupang
akibat krisis ekonoi di Indonesia sejak 1997.
Karena itu, lembaga ini hanya memfokuskan
perhatian pada pengembangan ekonomi
masyarakat di wilayah terbatas. Namun
demikian, disebabkan oleh dampak krisis
tersebut terhadap kehidupan politik dan sosial
masyarakat, SANLIMA kemudian memperluas
wilayah aktivitasnya pada isu-isu advokatif dan
transformatif seperti civic education,
advokasi kebijakan publik, good governance
dan reformasi anti korupsi. Hingga saat ini
SANLIMA telah bekerja di hampir seluruh

The Yayasan Peduli Sesama called the


SANLIMA Foundation is a local Non
Governmental Organization (NGO), located
in Kupang, West Timor, Indonesia. The
SANLIMA Foundation was established on 7th
of May 1998 by NGO and campus activists as
well as local journalist in Kupang, East Nusa
Tenggara, Indonesia. At first, the
establishment of this organization was as a
response to the vulnerable condition
suffered by the urban community in the
Kupang Municipality due to the economic
crisis in Indonesia since 1997. Hence, this
organization only focused on communitys
economy development in limited area.
However, caused by the impact of the crisis
toward political and social life of the
community, the SANLIMA Foundation then

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

79

kabupaten di Propinsi NTT.

expanded its area of activity to


advocative/transformative issues such as
civic education, public policy advocacy, good
governance and anti-corruption reform. Up
to now, the SANLIMA Foundation has been
working in almost all regencies in the
Province of Nusa Tenggara Timur.

Fokus Kegiatan
Saat ini fokus kegiatan SANLIMA adalah:
Penguatan masyarakat sipil dan
pemerintahan lokal yang demokratis lewat
civic education dan penyadaran kritis bagi
masyarakat serta penguatan kapasitas
lokal bagi pelaksana pemerintahan lokal
dan monitoring serta advokasi kebijakan
publik lokal.
Pengembangan ekonomi masyarakat lewat
pendampingan organisasi berbasis
masyarakat serta pengembangan usaha
kecil-menengah.
Perlindungan dan pengembangan lingkungan
hidup lewat revitalisasi
kearifan/pengetahauan lokal dan
pengalaman-pengalaman baik dalam kaitan
dengan lingkungan hidup serta konservasi
wilayah pedesaan kritis.
Kesetaraan gender lewat kampanye sosial
terkait isu-isu gender, promosi hak-hak
politik, sosial dan ekonomi perempuan
serta monitoring dan advokasi kebijkan
publik yang bias gender.

Focus of Activities:

Strategi:
Berpihak pada masyarakat: menekankan
fokus kegiatan dan hasilnya untuk
kepentingan masyarakat.
Partisipasi: melakukan civic education
dengan mengkombinasikan partisipasi
masyarakat dan intervensi intelektual.
Fasilitasi: membuka dan mengembankan
dialog antar-pihak serta memperkuat
masyarakat dampingan.

Strategy:
Community-Based: to emphasize the focus
of activities and their results for
communitys interests.
Participation: to do civic education by
combining participation from the target
groups and intellectual interventions.
Facilitation: to open up and to expand
dialog of the stakeholders as well as to
strengthen the target groups.

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

Currently, SANLIMAs focus of activities is:


Civil society empowerment and democratic
local governance trough civic education
and awareness creation for the community
as well as local capacity strengthening for
local government apparatus and local
public policy monitoring and advocacy.
Community based economy development
trough development and assistance of
Community Based Organizations (CBO) and
small-medium business development.
Environment protection and development
through revitalization of local indigenous
knowledge and good practices in the
environmental field as well as conservation
of rural critical areas.
Gender equity through social campaign on
gender issues, promotion womens political,
social and economic rights, as well as
monitoring and advocacy on gender-biased
local public policies.

80

Diseminasi: menyebarluaskan wacana yang


dibangun bagi publik lewat civic education.
Advokasi: melakukan kampanye sosial,
monitoring, analisis atas kebijakan publik.
Asistensi: melakukan transfer
pengetahuan serta pengembangan
kepakaran lewat pelatihan-pelatihan untuk
meningkatkan kapasitas pelaksana
pemerintahan lokal serta organisasi
berbasis masyarakat.
Program:
Saat ini SANLIMA sedang melaksanakan
proyek/program seperti:
Penguatan Kapasitas Lokal untuk
Mendukung Pemerintahan yang Baik di
NTT
Penguatan Otonomi Desa
Pengembangan Relasi Antar-Etnis lewat
Pengembangan Ekonomi Masyarakat
Penguatan Posisi Perempuan dan Anak
lewat Pengembangan Peran Aparat
Pemerintahan Desa
Perlindungan dan Pengembangan
Lingkungan Hidup serta Konservasi Lahan
Kritis Pedesaan.
Pengalaman:
SANLIMA memiliki pengalaman melaksanakan
proyek/program bekerjasama dengan lembaga
nasional/internasional seperti:
Penguatan Kapasitas Lokal untuk
Mendukung Pemerintahan yang Baik di
NTT bekerjasama dengan The Ford
Foundation (Mei 2002-June 2006)
Restrukturisasi Kelembagaan Lokal dan
Sinkronisasi Sistem Adat bekerjasama
dengan Partnership-UNDP (JanuariDesember 2002)
Penilaian Desentralisasi di Indonesia
bekerjasama dengan the Asia Foundation
(June 2002-June 2004)
Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

Dissemination: to spread out the


developed-discursion to the public through
civic education.
Advocacy: to do the social campaign,
monitoring, analysis on public policies.
Assistance: to do the knowledge transfer
as well as skills development through
trainings for increasing the capacity of
local government apparatus as well as
community based organizations.

Programs
Currently, SANLIMA is conducting several
programs/projects such as:
Local Capacity Strengthening to Support
Good Governance in Nusa Tenggara Timur
Village autonomy empowering
Improving Multi-Ethnic Relation trough
Community Economy Development
Empowering Women and Children Position
trough Improving the Roles of Village
Apparatus
Environmental Protection and Rural
Critical Area Conservation

Experiences
The SANLIMA Foundation has experiences
conducting projects/programs in cooperation
with national and international organizations
as follows:
Local Capacity Strengthening to Support
Good Governance in Nusa Tenggara Timur
in cooperation with the Ford Foundation
(May 2002-June 2006)
Restructurization of Local Institutions &
Synchronization of Customary System in
cooperation with Partnership-UNDP
(January-December 2002)
Indonesian Rapid Decentralization
Appraisal (IRDA) in cooperation with the
Asia Foundation (June 2002-June 2004)

81

bekerjasama dengan YAPPIKA Indonesia


(Februari 2004-Januari 20060
Penguatan DPRD Kabupaten/Kota
bekerjasama dengan USAID (2001-2002)
Pendampingan Pemerintah Desa dan BPD
untuk Penguatan Posisi Perempuan dan
Anak bekerjasama dengan Plan
Internasional (2004-2005)
Perlindungan dan Pengembangan
Sumerdaya Alam Pedesaan bekerjasama
dengan the Cottonwood Foundation
(2003-2005)

Sanlima telah memfasilitasi pertemuan aktivis


LSM se Nusa Tenggara dan Timor Leste,
pembentukan Forum Daerah Usaha Kecil
Menengah (FORDA UKM), pembentukan
Jaringan Perempuan Usaha Kecil (JARPUK)
Ina Foa Kupang, pembentukan asosiasi
pemerintahan desa di Kabupaten Timor
Tengah Utara dan Kabupaten Kupang, serta
index kesehatan masyarakat sipil di regio
Nusa Tenggara.

Sanlima also facilitated establishment of the


Nusa Tenggara and Timor Leste NGO activists
meetings, establishment of the Local Forum
for
Small
and
Medium
Businesses,
establishment
of
Women
with
Small
Businesses
Forum
called
Ina
Foa,
establishment of association of village
government in the districts of Timor Tengah
Utara and Kupang, as well as assessment of
Civil Society Index in the Nusa Tenggara
Region.

Hingga saat ini Sanlima menjadi anggota


beberapa forum/asosiasi/jaringan antara lain:
Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha
Kecil (ASPUK) NTT
Forum Daerah Usaha Kecil Menengah
(FORDA UKM) Kota Kupang
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) NTT
Koalisi Kebijakan Partisipatif
Forum Pembaruan Pembangunan Desa
(FPPD) Indonesia

Buku-Buku dan Lain-Lain Penerbitan:


Mengembalikan Kedaulatan Rakyat (2001)
Karakteristik Sistem Pemerintahan Lokal
di Nusa Tenggara Timur (2003)
Modul Penguatan Parlemen Desa (2003)

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

Democratic Local Government in


cooperation with YAPPIKA Indonesia
(February 2004-January 2006)
The District Parliament Empowering in
cooperation with USAID (2001-2002)
Assistance for the Village Government and
Village Council for Empowering the
Position of Women and Children in
cooperation with Plan International (20042005)
Protection and Development of Rural
Natural Resources in cooperation with the
Cottonwood Foundation (2003-2005)

Up to now, Sanlima becomes the member of


numerous forums/coalitions such as :
Association of Organizations Assisting
Women with Small Business in the NTT
Province (ASPPUK)
Forum for Small and Medium Business in
the Kupang Municipality (FORDA UKM)
Indonesian
Environment
Coalition
(WALHI)
Coalition for Participatory Public Policy
Forum for Village Government Reform
(FPPD)
Books and other publications:
Mengembalikan Kedaulatan Rakyat (2001)
Karakteristik Sistem Pemerintahan Lokal
di Nusa Tenggara Timur (2003)
Module Penguatan Parlemen Desa (2003)

82

Alamat:
Yayasan Peduli Sesama (SANLIMA)
Jl. Tugu Adipura No. 1 Penfui, KupangNTT, Indonesia 85361.
Telpon (62) 380-882071
Email: sanlima@kupang.wasantara.net.id
Patris_usfomeny@yahoo.com

KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA

Address:
Yayasan Peduli Sesama (SANLIMA)
Jl. Tugu Adipura No. 1 Penfui, Kupang-NTT,
Indonesia - 85361
Phone (62) 380-882071
Email: sanlima@kupang.wasantara.net.id
patris_usfomeny@yahoo.com

83

Anda mungkin juga menyukai