Anda di halaman 1dari 16

Review Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Partisipatif:

Revisi Apakah Yang Dapat Dilakukan?


Jermi Haning
1. PENDAHULUAN
Proses perencanaan dan penganggaran (RENGGANG) selain harus memperhatikan berbagai prosedur normatif juga
harus efektif dan efisien. Efektif berarti RENGGANG sesuai dengan prioritas program yang ditetapkan, sedangkan
efisien berarti proses RENGGANG berjalan secara konsisten dengan tidak terjadi duplikasi kegiatan yang dapat
menghamburkan waktu dan biaya.
Regim perencanaan di daerah adalah perencanaan jangka menengah yang ditandai dengan integrasi horizontal dan
vertikal dari berbagai kepentingan melalui forum stakeholder di tingkat kabupaten (kelompok perempuan, pemuda,
kelompok bisnis dan LSM), dan perencanaan tahunan yang lebih fokus pada integrasi vertikal. RENGGANG
tahunan yang didasarkan pada perencanaan di tingkat desa (Musbangdes) yang menghasilkan rencana pembangunan
tingkat desa (RPTD).
Pada perencanaan tingkat kecamatan (musrenbangcam/UDKP) perwakilan desa dan cabang dinas kecamatan
dipertemukan untuk mencocokan program mereka. Hasilnya tiap-tiap kecamatan menghasilkan rencana
pembangunan tingkat kecamatan (RPTK) untuk diajukan ke tingkat kabupaten. RPTK kemudian diseleksi dan
dikonsolidasi dalam forum Pra-Rakorbang dan Forum Rakorbang. Hasil Rakorbang kemudian dituangkan dalam
Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada).
Repetada kemudian, diharapkan menjadi pertimbangan dalam proses penyusunan anggaran daerah. Effek dari proses
perencanaan ini selanjutnya sangat tergantung pada komitmen dari perencana anggararan. Metodologi perencanaan
tahunan ini ditandai dengan representasi geografis, kesalingterkaitan kebutuhan tingkat lokal (bottom-up) dengan
perencanaan sektoral (topdown) di tingkat kecamatan, dan dualisme antara perencanaan pembangunan dan
perencanaan anggaran.
Beberapa kenyataan umum yang berkaitan dengan RENGGANG partisipatif adalah:
o Usulan dari kecamatan yang terakomodasi dalam APBD masih rendah (diperkirakan dibawah 23%)
o Proyek yang berasal dari usulan desa masih teka-teki (apakah dapat terlaksana/tidak)
o Penduduk menjadi kecewa dan kehilangan motivasi untuk ikut kegiatan yang tidak jelas manfaatnya.
Persoalan di atas muncul karena hal-hal sebagai berikut:
o Tidak ada plafon anggaran di desa (usulan yang berasal dari desa sampai 300% lebih dari kemampuan dana)
o Pejabat berwenang dari dinas tidak hadir di tingkat UDKP untuk diskusi dengan perwakilan desa. Oleh karena itu
usulan yang disampaikan ke Rakorbang tidak memenuhi kebutuhan dari dinas/sektor
o Banyak anggota DPRD tidak ikut perencanaan partisipatif di daerah pemilihannya
o Prosedur dari Musbangdes sampai ke APBD terlalu panjang
o Sistem dualistik antara perencanaan tahunan dengan perencanaan anggaran, prosesnya lama dan tidak tercipta
hubungan yang langsung antara perencanaan desa dengan penganggaran kabupaten.
Beberapa masalah proses RENGGANG dari sisi efektifitas dan efisiensi yaitu:
o Ketidakjelasan posisi dokumen perencanaan jangka menengah terhadap perencanaan tahunan, yang sebagian
besar disebabkan oleh substansi dari perencanaan jangka menengah yang kurang tajam dan terukur,
o Status usulan dari perencanaan tahunan tingkat desa dan kecamatan ke perencanaan sektoral tidak transparan
disebabkan adanya perbedaan format yang dipakai dalam proses pada masing-masing tingkat tersebut,
o Hubungan antara RENGGANG yang bersifat tidak langsung,
o Komitmen dari pemerintah daerah dan DPRD dalam menjalankan proses RENGGANG yang telah disepakati
bersama masih rendah di banyak daerah.
Keempat hal diatas menyebabkan terjadinya inefektifitas dan inefisiensi dalam proses RENGGANG. Selain
menyajikan temuan masalah, laporan ini menyajikan rekomendasi untuk memecahkan masalah tersebut di atas.

Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.

2.

PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DAERAH

2.1. Praktek Kerangka Normatif tentang Perencanaan dan Penganggaran


Pelaksanakan perencanaan tahunan berdasarkan SE 080/1160/SJ, 7/6/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan
Rakorbang Prop/Kab/Kota 2002 serta Surat Edaran MDN No 050/987/SJ, tanggal 5 Mei 2003 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Forum Koordinasi Pembangunan Partisipatif. SEB ini dikeluarkan untuk membantu pemerintah
daerah dalam menyelenggarakan Forum Koordinasi yang memenuhi asas demokratis, partisipatif, kemitraan,
transparansi dan akuntabilitas.
Salah satu perubahan mendasar yang dilakukan beberapa daerah adalah dilibatkannya stakeholder yang lebih luas
(LSM dan PT) dalam forum Rakorbang yang diubah namanya menjadi Forkod. Daerah lain memperkenalkan plafon
anggaran yang ditetapkan dengan SE Bupati, bukan ditetapkan oleh DPRD bersama pemerintah. Sayangnya plafon
anggaran tidak merujuk pada prioritas pembangunan dan kinerja dinas/sektor melainkan pada jumlah
belanja dinas tahun yang lalu. Selain memberi kepastian alokasi anggaran, plafon juga mempercepat waktu
penyusunan RASK dan mengurangi beban kerja Panitia Anggaran Eksekutif.
Namun dDalam beberapa kasus, pemahaman tentang fungsi dan tujuan dari setiap dokumen perencanaan
masih kabur. Indikasinya, Renstra Kabupaten dipandang sebagai kumpulan Renstra Sektor/Dinas, padahal Renstra
Dinas melingkupi program yang didanai APBD dan APBD I serta APBN, sedangkan Renstra Kabupaten
cakupannya hanya program yang didanai APBD II dan tolok ukur pertanggungjawaban Kepala Daerah. Sedangkan
cakupan Propeda lebih luas karena juga meliputi pembiayaan program dari APBD I dan APBN. Kadang ada daerah
yang menyatukan Renstra dengan Repetada dengan alasan kesamaan substansi. Menggabungkan dua dokumen
tersebut membuat substansi dan manfaatnya Renstra dan Propeda menjadi kabur.
Di beberapa daerah terdapat inkonsistensi dalam melaksanakan kalender siklus anggaran berdasarkan Kepmen No.
29/2002. Beberapa bagian penting dari pelaksanaan Kepmendagri tersebut belum dilaksanakan. Antara lain, Pemda
sering terlambat menetapkan Arah dan Kebijakan Umum (AKU) APBD. Padahal salah fungsi AKU adalah
menjadi dasar untuk melihat prioritas untuk disusun penganggarannya dalam RASK.
Kalender siklus anggaran yang dijadwalkan Kepmendagri 29/2002 juga belum diikuti secara konsisten. Misalnya,
penilaian atas usul anggaran unit kerja terhadap kewajaran beban kerja dan biaya kegiatan (Rencana Anggaran Satuan
Kerja/RASK) yang dilakukan Tim Anggaran Eksekutif, seharusnya dilakukan pada bulan September-Oktober, sering
terlambat karena baru dilaksanakan pada bulan Februari tahun berikutnya.
Seringkali Strategi dan Prioritas disamakan dengan hasil Rakorbang. Pemahaman ini sebenarnya tidak
menjawab substansi karena strategi dan prioritas lebih bersifat program dan skenario, sedangkan hasil
Rakorbang adalah kegiatan. Beberapa hal pokok yang dapat dikemukakan mengenai implementasi legal framework
untuk RENGGANG di daerah adalah:
Masing masing kabupaten masih lemah dalam memahami regulasi dan perubahan regulasi bidang RENGGANG
o Pemerintah daerah belum menangkap filosofi, arah, tujuan dan manfaat yang hendak dicapai oleh setiap regulasi
(Kepmendagri 29/2002 dan UU N0 17 Tahun 2003) yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan konteksnya bagi
efisiensi dan efektifitas RENGGANG daerah.
o Pemerintah yang lebih tinggi membuat regulasi bidang RENGGANG kurang memperhatikan kesulitan daerah
dalam upaya memahami dan mengimplementasikannya, termasuk kesulitan dalam menangkap filosofi, arah,
tujuan dan manfaat yang hendak dicapai
o Inkonsistensi dalam melaksanakan siklus kalender anggaran mempunyai implikasi yang sangat luas terhadap tertib
administrasi anggaran, efisiensi dan pertanggungjawaban anggaran serta membuka peluang cukup besar untuk
manipulasi.
Secara normatif beberapa daerah telah juga memperkenalkan anggaran kinerja yang diharapkan dapat meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas anggaran. Namun ada kecenderungan bahwa kemauan politik untuk meningkat
transparansi anggaran masih rendah. Di kebanyakan daerah, belanja aparatur relatif tinggi dibandingkan dengan
belanja publik Ada banyak pemain dalam proses penyusunan anggaran yang mempunyai kepentingan yang
berbeda-beda. Disiplin anggaran belum begitu dikenal, artinya belanja harus sesuai dengan kebutuhan sektor.

Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.

2.2. Gambaran Umum Keuangan Daerah


Belanja yang diproses secara partisipatif (baik teritorial maupun sektoral) adalah Belanja Pelayanan Publik (Belanja
Pembangunan). Sedangkan Belanja Aparatur (Belanja Rutin), Belanja Bagi Hasil, dan Belanja Tidak Tersangka
merupakan otoritas penuh dari pemerintah daerah yang pelaksanaannya dialokasikan oleh Bagian Keuangan Sekda.
Kebanyakan anggaran di daerah masih didominasi oleh Belanja Aparatur yang rata-rata sebesar 60% dari total
anggaran. Anggaran Belanja Pelayanan Publik rata-rata sebesar 30% dari total anggaran. Sedangkan Belanja Bagi
Hasil dan Belanja Tidak Tersangka yang mulai muncul pada TA 2004 berdasarkan Kepmendagri No. 29/2002
meskipun memiliki nilai yang cukup besar secara nominal, tetapi dari segi komposisi anggaran tidak besar yaitu hanya
sekitar 4%. Beberapa daerah bahkan tidak mengalokasikan Belanja Bagi Hasil dan Belanja Tidak Tersangka.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, tampak ada kecenderungan peningkatan rasio jumlah belanja pelayanan publik
terhadap belanja aparatur. Namun peningkatan ini lebih disebabkan oleh perubahan posting alokasi anggaran
ketimbang oleh penambahan volume belanja. Untuk gaji guru dan dokter misalnya, dimasukan dalam belanja
rutin/aparatur, tapi kadang juga dimasukan dalam belanja pelayanan publik.
Belanja dinas selain berasal dari APBD Kabupaten (APBD II) juga berasal dari sumber lain yaitu dari Propinsi
(APBD I), Dana Dekonsentrasi, dan Dana Alokasi Khusus (DAK) atau APBN. Baik dari segi sumber maupun dari
segi jumlah, dalam perspektif dinas daerah, belanja dari sumber-sumber non-APBD II/DAU ini sulit diramalkan.
Jenis program dan besarnya dana sangat dipengaruhi oleh lobi-lobi oleh pejabat daerah. Kondisi ini menyebabkan:
1) kesulitan dalam manajemen keuangan, dan 2) mendorong pejabat daerah lebih memprioritaskan pertemuan di
tingkat provinsi dan nasional ketimbang pertemuan di tingkat komunitas.
Kenyataan ini mempengaruhi perilaku daerah dalam mengalokasikan anggaran, antara lain:
1. Ketidakpastian kegiatan dan jumlah anggaran menyebabkan dinas akan mengalokasikan dana dari sumber nonAPBD II untuk kegiatan yang dianggap tidak mendesak.
2. Pejabat daerah harus aktif melobi pejabat yang memiliki otoritas terhadap sumber dana non-APBD jika ingin
mendapatkan dana dari sumber-sumber tersebut.
3. Penerimaan dana non-APBD tampaknya trade-off dengan kegiatan yang didanai oleh APBD II. Ini berarti jika ada
kepastian dinas mendapatkan dana dari sumber-sumber non-APBD maka ia akan mengalokasikan dana APBD II
yang kecil untuk dinas tersebut.
2.3. Proses Perencanaan dan Penganggaran
Dalam perencanaan salah satu hal yang penting adalah sejauhmana usulan dari desa tertampung dalam Repetada
dan APBD, dan sejauhmana ada konsistensi antara Rakorbang, Repetada dan APBD. Ternyata di kebanyakan
daerah terdapat banyak sekali format dokumen perencanaan partisipatif. Selain itu, ada banyak informasi yang hilang
pada transfer data dari satu fomulir ke formulir yang lainnya (misalnya: sering sekali informasi tentang lokasi hilang).
Hal ini menyebabkan prosentase usulan yang diakomodir dalam APBD tidak dapat dihitung secara tepat.
Informasi tentang jalur usulan dari bawah ditampung dari tahap ke tahap, yaitu dari Musbangdes ke UDKP ke
Rakorbang ke Repetada (kalau ada) ke APBD. Oleh karena formulir tidak konsisten dan dikerjakan secara manual,
telah menyebabkan transparansi jalur usulan dan konsistensi menjadi hilang.
Proses RENGGANG di daerah dimulai dengan Musbangdus yang dilakukan secara informal sebagai bagian dari
hubungan ketetanggaan. Output dari Musbangdus adalah inventarisasi masalah dan tindakan-tindakan yang
diperlukan untuk memecahkan masalah di tingkat dusun.
Hasil Musbangdus selanjutnya dibahas dalam Forum Musbangdes untuk identifikasi masalah dan pemecahan
masalah yang dirumuskan di tingkat dusun. Selain melakukan identifikasi masalah baik di tingkat dusun dan desa,
Musbangdes juga membahas potensi yang dimiliki oleh desa yang berasal dari data monografi dan potensi desa
maupun berasal dari hasil diskusi peserta musyawarah.
Forum Musbangdes secara formal dipimpin oleh Kepala Desa atau oleh Ketua LPMD. Forum Musbangdes juga
biasa dihadiri oleh camat atau oleh perwakilan dari Tim Posko UDKP yang biasanya hadir untuk memberikan arahan
mengenai masalah dan program-program yang bisa diusulkan baik di tingkat desa maupun di tingkat kecamatan.
Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.

Namun kadang Tim Posko UDKP tidak dapat hadir terutama bila ada Musbangdes yang berjalan bersamaan.
Dalam beberapa hal juga mengisyaratkan bahwa Musbangdes merupakan bagian dari proses formal tata
pemerintahan. Musbangdes berlangsung 1 sampai 1 hari. Proses ini bisa lebih lama (sampai 2 hari) terutama jika
beberapa dusun tidak melakukan Musbangdus, kecenderungan ini semakin tinggi, apabila usulan di tingkat
Musbangdus masih dianggap kurang matang.
Proses yang paling penting dan paling lama dalam Musbangdes adalah melakukan pengelompokkan masalah dan
pengkajian tindakan pemecahan masalah dengan melakukan identifikasi masalah, penyebab masalah, potensi desa,
dan tindakan yang layak-, melakukan pemeringkatan masalah, rekapitulasi masalah dan tindakan pemecahan masalah,
dan pembobotan masalah dan tindakan pemecahan masalah. Proses ini akan berlarut-larut manakala peserta diajak
bersama-sama mengisi format isian oleh fasilitator. Perdebatan terjadi bukan hanya berkaitan dengan substansi,
melainkan juga pada kolom atau baris mana satu statement dituliskan.
Hasil Musbangdes adalah dokumen RPTD yang dibagi dalam tiga bidang yaitu: bidang fisik dan prasarana, bidang
ekonomi, dan bidang sosial budaya. Masing-masing kelompok berisi 5 10 usulan program yang akan dibahas dalam
Forum UDKP. Posko UDKP yang beranggotakan petugas kecamatan dan petugas cabang dinas yang ada di
kecamatan bersangkutan- selanjutnya akan memproses RPTD.
Selain mengelompokkan RPTD dalam berbagai format, Tim Posko UDKP juga menyebarkan formulir usulan
program yang diajukan oleh cabang dinas untuk dibahas di tingkat kecamatan. Proses untuk pengisian formulir dan
diskusi pra- UDKP berlangsung cukup lama yaitu 1 2 minggu. Keseluruhan proses ini seringkali disebut sebagai
proses Pra-UDKP.
Forum UDKP yang berjalan selama 2 hari ini merupakan proses yang sangat penting dalam perencanaan partisipatif.
Dalam forum ini dipertemukan kepentingan komunitas (yang dihadiri oleh 3 orang utusan desa untuk
memperjuangkan RPTD), kepentingan wilayah kecamatan (yang diwakili oleh pejabat kecamatan), dan kepentingan
sektor/dinas (yang dihadiri oleh petugas cabang dinas atau dinas kabupaten). Forum ini juga menghadirkan Pejabat
Bappeda, BPMD, dan anggota DPRD yang mewakili daerah pemilihan kecamatan yang bersangkutan.
Forum UDKP dimulai dengan penjelasan mengenai program-program pembangunan baik di tingkat daerah maupun
tingkat komunitas yang disampaikan oleh pejabat dari Bappeda, BPMD dan Kecamatan. Selanjutnya forum akan
membahas dan merengking program yang telah terisis dalam formulir yang ada. Pembahasan dibagi dalam tiga
kelompok sebagaimana dengan pengelompokkan usulan RPTD. Pelaku utama diskusi adalah: perwakilan dari desa (1
orang/kelompok), petugas kecamatan, dan petugas dari dinas. Dalam pembahasan program, diskusi kelompok fokus
pada perengkingan program. Bila dianggap perlu, kelompok juga dapat mengajukan program baru. Ini terjadi
biasanya karena dinas tidak menyampaikan usulan tertulis dalam kegiatan Pra-UDKP sehingga usulan langsung
diajukan dalam forum tersebut.
Hasil dari forum UDKP terutama adalah dokumen RPTK. Dokumen ini berisi 5 10 usulan untuk tiap-tiap bidang
yang dianggap prioritas untuk diajukan sebagai program pembangunan di tingkat kecamatan. Dokumen RPTK
selanjutnya diajukan kepada Panitia Rakorbang. Panitia Rakorbang beranggotakan pejabat-pejabat pemerintah di
tingkat Kabupaten (Bappeda, Bagian Bina Program Setda, Bagian Keuangan Setda dan BPMD). Panitia Rakorbang
diketuai oleh Sekretaris Bappeda. Oleh karena itu, kegiatan operasional berlangsung di Kantor Bappeda dan menjadi
tugas pokok Bappeda. Yang menarik adalah meskipun anggota kepanitaan sangat besar, tetapi dalam praktek hanya staf Bappeda
dibawah koordinasi Sekretaris Bappeda- yang terlibat secara intens dalam kepanitiaan. Dalam banyak hal bahkan Kepala Dinas
lembaga lain yang sebenarnya anggota panitia- banyak tidak tahumenahu mengenai operasional dari Panitia ini.
Kegiatan pertama Panitia Rakorbang adalah melakukan inventarisasi RPTK. Panitia Rakorbang juga melakukan
inventarisasi usulan dinas/instansi di tingkat kabupaten. Selanjutnya Panitia memfasilitasi pertemuan antara pihak
kecamatan dengan pihak dinas/instansi. Pertemuan dan pembahasan dilakukan per-bidang usulan (sesuai dengan
bidang usulan dalam RPTK dan pembidangan di Bappeda). Sebagai hasil dari kegiatan pemaduserasian ini adalah:
usulan yang disepakati, usulan yang hampir disepakati, dan usulan yang tidak disepakati oleh kecamatan dan dinas.
Usulan yang disepakati yaitu usulan ada dalam dokumen usulan RPTK dengan usulan dinas/instansi yang akan
dibahas dan dibobot dalam pertemuan Rakorbang.
Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.

Penentuan prioritas kegiatan yang akan didanai dalam TA yang akan datang merupakan kegiatan utama dalam Forum
Rakorbang ini. Secara teknis kegiatan ini dilakukan dengan melakukan pembobotan dan perengkingan. Kegiatan yang
berlangsung selama 2 hari ini (pada bulan Juni) dihadiri oleh 3 orang pejabat kecamatan (Camat, Sekcam, dan Kasi
PMD) dan pejabat dari dinas daerah (Kepala Dinas atau Kabag Perencanaan Dinas). Kesepakatan hasil pembobotan
dituangkan dalam Usulan Rencana Program Pembangunan Tahunan Daerah yang disetujui dalam Forum Rakorbang.
Usulan Rencana Program Pembangunan Tahunan Daerah yang disetujui dalam Forum Rakorbang merupakan bahan
dasar bagi penyusunan Repetada/Renstra. Selain hasil Rakorbang, Repetada juga mengakomodasi usulan dari Bupati dan
Propeda/Renstra Daerah. Bahkan beberapa dinas dapat melobi penyusunan Repetada untuk memasukkan program yang tidak
dibahas dalam Forum Rakorbang. Alasan utama yang biasanya dikemukakan oleh dinas adalah bahwa program yang
diajukan sangat spesifik dan tidak mungkin dibahas atau disetujui dalam Forum Rakorbang. Program-program
penelitian, demplot/dempon untuk pertanian dan perikanan, atau operasional pelayanan publik misalnya adalah
program-program yang biasa dimasukkan dalam Repetada tanpa diproses dalam Forum Rakorbang. Karena
Repetada/Renstra merupakan dokumen program daerah yang dituangkan dalam bentuk peraturan daerah maka dalam pembahasan
dengan DPRD, anggota DPRD juga dapat mengemukakan beberapa program tambahan.
Repetada sebagai hasil akhir proses perencanaan merupakan dokumen yang harus dijadikan rujukan utama dalam
penganggaran daerah. Berdasarkan dokumen Repetada dinas menyusun Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK).
Yang menarik dari proses ini adalah, meskipun Repetada telah mencantumkan nilai nominal program, dinas seringkali melakukan
survey lapangan dengan alasan ia harus menghitung secara langsung besar biaya yang diajukan sesuai dengan keadaan lapangan. Selain
itu, dinas juga masih mungkin mengajukan program baru yang tidak adal dalam Repetada- dengan alasan program tersebut sudah
ada dalam rencana strategi dinas.
Kegiatan survey ini terutama dilakukan manakala dinas berkonsultasi dengan Panitia Anggaran Eksekutif yang
operasionalnya berada di Bagian Bina Program. Dengan alasan keterbatasan dana Panggar Eksekutif seringkali meminta
dinas mengurangi jumlah anggaran atau bahkan jumlah kegiatan dinas. Dalam beberapa kasus Panggar Eksekutif bahkan
melakukan survey untuk menetapkan anggaran kegiatan. Survey yang dilakukan berkali-kali baik oleh Dinas maupun Panggar
Eksekutif seringkali menyebabkan proses pembuatan RASK menjadi lama.
RASK yang telah diterima setelah berkali-kali konsultasi yang disebut sebagai kegiatan klinis- selanjutnya
dikompilasi dan dijadikan Draft RAPBD oleh Panggar Eksekutif. Panggar Eksekutif juga bertindak sebagai wakil
pemerintah ketika pembahasan Draft RAPBD dengan Panggar DPRD. Proses ini juga berjalan cukup rumit karena
seringkali DPRD melakukan survey dan dengar pendapat langsung dengan dinas.
Draft RAPBD yang telah disetujui oleh Panggar DPRD selanjutnya menjadi RAPBD. RAPBD diajukan oleh Bupati
ke DPRD untuk dibahas dan disyahkan menjadi Dokumen APBD. Berdasarkan APBD kemudian dinas menyusun
Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK) sebagai dasar bagi belanja. Proses Musbangdus sampai APBD secara
normatif berlansung selama 9 - 10 bulan yaitu dari bulan Maret sampai bulan November/Desember.
Di Sumba Timur penanggung jawab kegiatan terdesentralisasi pada tingkat desa dan kecamatan. Ini merupakan
konsekwensi dari pengalokasian dana ke desa dan kecamatan. Kabupaten mengalokasikan plafon dana bagi desa
dan kecamatan (Desa sebesar 15 juta dan kecamatan sebesar 45 juta). Dana tersebut digunakan untuk program
pembangunan desa dan kecamatan maupun untuk mendanai proses-proses kepemerintahan di tingkat desa dan
kecamatan. Musbangdes dan UDKP termasuk dalam kegiatan yang didanai oleh plafon dana desa dan kecamatan
tersebut. Sebagai konsekwensi dari kebijakan ini adalah desa dan kecamatan merasa lebih memiliki kegiatan dan
program-program yang diusulkan.
Sesuai dengan SE Mendagri No. 50/2003, mulai TA 2003 Kabupaten Sumba Timur merubah forum Rakorbang
(termasuk Pra-Rakorbang) menjadi Forum Koordinasi Perencanaan Pembangunan (Forkod). Perubahan penting
dari Rakorbang ke Forkod adalah diterimanya anggota non-pemerintah (LSM, Perguruan Tinggi, dan
Lembaga Donor) dalam keanggotaan dan kepanitian Forum Musyawarah. Meskipun dalam praktek Forum
ini hampir sama dengan Kepanitiaan Rakorbang terutama karena kurang aktifnya anggota non-pemerintah sebagai
akibat tidak adanya alokasi anggaran untuk melakukan kegiatan tetapi dari segi transparansi dan kontrol terhadap
program menjadi lebih tinggi.

Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.

Hal lain yang membedakan proses RENGGANG di Sumba Timur dengan daerah lain adalah tidak dibuatnya
dokumen Repetada. Tiadanya Repetada, maka dari segi efektifitas dan efisiensi justru memudahkan dinas. Dinas
dapat langsung menyusun RASK dengan berdasarkan pada hasil musyawarah Forkod, kebutuhan berdasarkan hasil
dinas sendiri, usulan dinas yang tidak terakomodasi dalam Musyawarah Forkod yang dianggap penting, usulan dinas
yang tertuang dalam dokumen Renstra Dinas, dan usulan Bupati. Lewat proses ini proses RENGGANG di tingkat
dinas tampak terkait secara langsung. Proses pembahasan RASK dilakukan oleh Panggar Eksekutif yang
operasionalnya dijalankan oleh Bagian Keuangan. Dengan demikian proses pengalokasian anggaran, baik belanja
aparatur maupun belanja pelayanan publik- dibawah koordinasi Bagian Keuangan (satu bagian).
Dalam membahas RASK Tim Panggar Eksekutif juga memiliki pedoman yang jelas yaitu: prioritas pembangunan
daerah (pendidikan, infrastruktur, peningkatan pendapatan, dan kesehatan), tugas pokok dan fungsi dinas, serta
satuan harga per-item biaya. Dalam proses pembahasan RASK Panggar Eksekutif juga tidak melakukan survey
sebagaimana dilakukan oleh daerah lain.
Yang menarik di Alor adalah Bupati mengeluarkan plafon anggaran sektoral sebagai pedoman bagi dinas.
Dengan plafon yang ditetapkan Bupati maka proses pembahasan di Panggar Eksekutif lebih mudah, dinas tidak
menghabiskan banyak resources mengajukan usulan yang lebih besar dari plafon. Sayangnya plafon anggaran hanya
berdasarkan pada anggaran tahun lalu, bukan berdasarkan pada prioritas pembangunan.
2.4. Output Pada Semua Proses Perencanaan dan Penganggaran
Salah satu cara untuk menilai efektifitas dan efisiensi suatu proses adalah dengan menilai output dari poses yang
telah ditempuh. Untuk itu, studi berusaha menelusuri output RENGGANG di tiap proses, terutama untuk melihat
sejauhmana efektifitas perencanaan yang dibuat secara partisipatif. Output yang diamati meliputi:
o Hasil Musbangdes (RPTD) yang masuk hasil UDKP (RPTK)
o RPTK yang masuk di Hasil Rakorbang
o Hasil Rakorbang yang masuk Repetada
o Repetada yang masuk APBD
o Perbandingan program dinas yang berasal dari Rakorbang dan usulan dinas untuk dana yang dibiayai APBD
Seharusnya, dokumen perencanaan tahunan diturunkan dari dokumen perencanaan jangka menengah. Namun semua
dokumen perencanaan jangka menengah di masing-masing daerah masih bersifat umum sekali. Artinya, tidak ada
arah yang cukup jelas untuk perencanaan tahunan. Apalagi di beberapa daerah ada banjir dokumen, sampai
pemerintahnya sendiri bingung bagaimana cara menerjemahkan dokumen ini pada perencanaan tahunan. Program
yang dicantumkan dalam dokumen jangka menengah tidak menjelaskan prioritas pembangunan ke depan dan juga
tidak mengarahkan secara jelas ke outcome yang ingin dicapai pada waktu tertentu.
Seringkali perencanaan tahunan, Bappeda memulai dari nol untuk menentukan kegiatan. Biasanya, masukan utama
adalah usulan dari bawah (Musbangdes dan UDKP). Tetapi usulan kegiatan itu juga sama sekali tidak mempunyai
hubungan dengan prioritas pembangunan daerah yang ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).
Untuk mengatasi hal ini, studi ini akan mengemukakan rekomendasi khusus bagaimana banjir dokumen ini bisa
dihindari kedepan pada bab terkakhir. Kecenderungan lain yang menyebabkan terjadinya banjir dokumen adalah
daerah masih biasa mengikuti semua peraturan dari atas tanpa memperhatikan kebutuhannya sendiri.
Rata-rata RPTD yang terakomodasi dalam RPTK adalah 60%. Namun pada saat yang bersamaan usulan desa
cenderung meningkat tiap tahun. Peningkatan ini bisa disebabkan oleh dua hal yaitu: 1) meningkatnya ekspektasi
masyarakat terhadap program yang dilakukan secara partisipatif, atau 2) ketidakpastian diterimanya usulan yang
dibahas pada tingkat desa justru membuat masyarakat memperbanyak usulannya. Dua hal tersebut di atas diakibatkan
oleh kurangnya informasi mengenai plafon anggaran dan prioritas kegiatan yang dapat didanai oleh APBD. Hal ini
juga menyebabkan masyarakat tidak memiliki saringan yang memadai untuk mengurangi jumlah usulannya.
Forum Rakorbang di kabupaten tampaknya dapat mengakomodasi hasil UDKP. Namun dalam beberapa hal, Forum
Rakorbang justru memperbanyak usulan dengan usulan yang disampaikan dinas. Penyusutan jumlah usulan kegiatan
justru terjadi sangat drastis dalam Repetada. Usulan Rakorbang yang terakomodasi dalam Repetada rata-rata sebesar
30%. Yang menarik adalah sebagai akibat terputusnya proses perencanaan dengan proses penganggaran masih terjadi pengurangan
kegiatan yang diusulkan dalam Repetada meskipun Repetada dengan kegiatan yang disahkan untuk didanai APBD (ini menarik
Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.

karena dua dokumen tersebut sama-sama disahkan oleh Peraturan Daerah).


Kecenderungan pengurangan jumlah kegiatan juga tercermin dalam pengurangan anggaran yang disetujui dalam
setiap kegiatan. Yang sedikit berbeda adalah jumlah pengurangan anggaran yang diajukan dalam Repetada yang tidak
begitu berbeda dengan yang disetujui APBD. Dalam menghadapi keterbatasan anggaran, nampaknya Panggar
Eksekutif dan dinas-dinas di beberapa daerah lebih memilih mengurangi jumlah kegiatan ketimbang mengurangi
dana untuk setiap kegiatan.
Beberapa daerah mengalami keterlambatan dalam penyusunan AKU- maka hasil Rakorbang langsung menjadi bahan
penyusunan RASK Dinas/Badan. Salah satu dampak positif dari proses tersebut adalah hubungan perencanaan ke
penganggaran menjadi lebih pendek. Rata-rata hasil kegiatan Rakorbang yang terakomodasi dalam APBD adalah
23%.
2.5. Analisis Masalah
Berdasarkan analisis terhadap proses dan hasil perencanaan maka dapat disimpulkan bahwa efektifitas perencanaan
partisipatif masih rendah. Ini tercermin dari sedikitnya hasil perencanaan partisipatif yang akhirnya terakomodasi
dalam APBD. APBD merupakan sinyal apakah suatu rencana kegiatan dapat diimplementasikan atau tidak.
RENGGANG daerah pada dasarnya merupakan serangkaian kegiatan yang dapat dianalisis dengan menggunakan
metode input proses output. Output pada suatu proses merupakan salah satu input bagi proses yang lain. Dengan
pendekatan tersebut studi ini berusaha mengumpulkan data masalah yang bersifat kualitatif untuk menilai efektifitas
mengapa perencanaan partisipatif.
2.5.1. Musyawarah Pembangunan Desa
Masalah dalam input:
o Beberapa dusun tidak melaksanakan pertemuan Musbangdus, oleh karena itu di tingkat Musbangdes harus
membahas usulan yang betul-betul baru (khususnya di daerah terpencil)
o Jadwal Musbangdes seringkali bersamaan dengan periode tanam, sehingga penduduk tidak dapat menghadirinya
o Kadang-kadang penduduk dipaksa oleh kepala desa untuk menghadiri pertemuan. Ini berpengaruh terhadap
kualitas usulan di tingkat desa
o Peserta tidak mampu mengidentifikasi perkembangan dan perubahan eksternal serta solusi untuk formulasi
kebutuhan dan masalah dasar mereka (tanpa informasi dari tingkat lebih atas)
o Tidak dilakukan evaluasi kegiatan pembangunan tahun lalu yang dilaksanakan di tingkat desa
o Partisipan tidak mempunyai informasi yang memadai mengenai proses perencanaan di tingkat kabupaten
o Kepala Seksi PMD/Camat tidak selalu hadir dalam Musbangdes Tidak ada informasi rencana spatial dan
rencana sektoral di desa
o Tidak ada informasi sebab-sebab hasil rencana tahun sebelumnya tidak diakomodir dalam APBD
o Informasi yang diperoleh hanyalah pernyataan bahwa desa harus membuat perencanaan yang akan diadu di
tingkat kecamatan dan kabupaten.
Masalah dalam proses:
o Jumlah format yang harus diisi menurut metode P3MD terlalu banyak (sampai 6 jenis) sehingga peserta lebih
sibuk dengan formulasi kalimat dalam format ketimbang mendiskusikan substansi isu
o Fasilitator tidak memiliki informasi mengenai prioritas pembangunan di tingkat kabupaten
o Fasilitator tidak mampu membedakan program yang relevan untuk diajukan ke tingkat kabupaten.
o Banyak usulan merupakan persoalan yang dapat diselesaikan oleh desa secara internal
o Peserta tidak mampu mendiskusikan isu pembangunan yang relevan karena tingkat pendidikan mereka yang
sangat rendah (khususnya untuk RPJMD) dan pengalaman yang masih kurang
o Sebagian peserta tidak bisa berbahasa Indonesia, padahal musyawarah dilakukan dengan menggunakan Bahasa
Indonesia
o Pembicaraan hanya didominasi oleh segelintir orang yang aktif (Pengurus LKMD & Aparat Desa),
perempuan dan orang miskin tidak diberikan kesempatkan khusus untuk ikut aktif dalam diskusi
o Banyak waktu terbuang untuk acara seremonial (sambutan kepala desa, ketua LKMD, dan kecamatan).

Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.

Masalah dalam output:


o Informasi yang tersedia dalam dokumen RPTD tidak dapat diterjemahkan menjadi program dan kegiatan sektor
(karena usulan bersifat sangat mikro, dan informasi yang dikumpul perlu diverifkasi ulang oleh sektor) ada
ruang besar untuk misinterpretasi
o Peserta sudah memasukan perkiraan biaya kegiatan dan sumbernya, padahal mereka tidak mempunyai informasi
teknis untuk memperkirakan besaran biaya proyek atau sumber alokasi biaya
o Khususnya bagi desa yang terpencil, pertemuan tidak didukung oleh aparat kecamatan, sehingga usulan desa
sulit ditransfer dalam RPTK
o Jumlah usulan yang terkumpul dalam Musbangdes terlalu banyak dibanding dengan proporsi budget (sering
melebihi budget proposional sepuluh kali lipat)
o Tindak lanjut dari usulan yang ditolak tidak jelas
o Pengembangan prioritas tampaknya tidak sama untuk setiap tahapan proses
2.5.2. Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP)
Masalah dalam input:
Dinas/Cabang Dinas banyak yang tidak mengembalikan formulir usulan ke tingkat kecamatan
o Informasi perencanaan dari atas banyak yang belum diketahui
o Informasi mengenai program yang telah dilaksanakan tidak diketahui Dinas & instansi tidak hadir dalam forum
UDKP (kehadiran hanya 30%)
o Petugas dinas yang hadir dalam forum UDKP bukan petugas yang senior (yang punya akses langsung pada
kebijakan sektor di tingkat kabupaten)
o Anggota dewan sedikit yang hadir.
o Metode/Instrumen untuk memetakan data tidak lengkap. Akibatnya pengisian data banyak tergantung pada
orang (pengisian kolom cukup sulit)
o Tidak ada informasi UDKP tahun lalu yang diakomodir Tidak ada informasi mengenai APBD tahun lalu.
Masalah dalam proses:
o UDKP adalah rutinitas. Tidak ada penjelasan manfaat UDKP
o Dokumentasi terhadap usulan yang tidak diakomodir tahun sebelumnya (di Rakorbang dan UDKP) tidak
tercatat dengan baik sehingga menyulitkan evaluasi program
o Pendekatan struktural dominan untuk menentukan keterwakilan dalam proses. Unsur-unsur fungsional
(kelompok tani, nelayan) tidak terakomodir. Begitu juga LSM yang bergerak di tingkat kecamatan kurang
dilibatkan
o Tidak ada proses verifikasi mutu usulan. Konversi hanya mengubah redaksi dari usulan. Dengan kata lain
konversi hanya merubah kategori/bahasa dan bukan subtansi.
Masalah dalam output:
o Hasil UDKP dituangkan dalam format-format standar yang tidak berubah selama 4 (empat) tahun terakhir. Ada
keluhan bahwa format ini tidak nyambung dengan format di tingkat berikutnya (Rakorbang dan perencanaan
sektoral)
o Satuan harga dibuat secara sembarangan (prememory/pm). Standar biaya satuan tidak ada di kecamatan
o Bahan utama yang dibahas di UDKP adalah dari Musbangdes. UDKP tidak lebih dari Musbangdes versi lain,
karena materinya dari desa juga. Jadi UDKP adalah Musbangdes versi kecamatan.
o UDKP lebih banyak sebagai kegiatan merekap ulang usulan Musbangdes.
2.5.3. Rapat Koordinasi Pembangunan
Masalah dalam input:
o Waktu konsultasi dengan dinas/instansi tidak cukup
o Pembagian kegiatan kedalam beberapa bidang cukup menyulitkan koordinasi dengan dinas/instansi (ada usul
yang harus dibahas lintas bidang)
o Kesulitan dalam menterjemahkan usulan dari desa ke kegiatan sektoral
o RPTK tunda tidak dibahas lagi
o Diskusi yang terjadi dalam forum Rakorbang lebih banyak formalitas
Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.

Kriteria skoring tidak jelas.

Masalah dalam proses:


o Format hasil UDKP yang cukup operasional (jenis proyek/kegiatan; lokasi, sifat, volume, sasaran/manfaat,
perkiranaan biaya, sumber biaya) berubah menjadi abstrak dalam Rakorbang (AKU APBD, Program dalam
Renstra, Strategi Prioritas, Satuan Kerja Pelaksana)
o Sulit memperlihatkan konsistensi hasil UDKP dengan hasil Pra-Rakorbang dan Rakorbang dari jenis informasi
yang ditampilkan oleh masing format tersebut
o Transfer informasi dari RPTK ke Pra-Rakorbang menjadi kabur dan waktu untuk mengintegrasikan dokumen
lama. Perlu waktu lama untuk menyelesaikan berbagai kerumitan yang diakibatkan oleh dokumen yang berbeda
o Pembagian diskusi kelompok mencerminkan struktur Bappeda (Ekonomi, Sosbud dan Fisik Prasarana). Dalam
pembahasan kelompok, partisipan lebih banyak melihat usulan sektor dan RPTK dan kurang melihat
konsistensi usulan dengan dokumen perencanaan jangka menengah
o Informasi tentang jenis kegiatan dari RPTK dan sektor yang ditunda atau dikembalikakan kepada instansi
pengusul tidak ada. Hal ini membuat Rakorbang diproses tanpa data yang akurat.
Masalah dalam output:
o Hasil Rakorbang adalah gabungan dan seleksi daftar kegiatan usulan UDKP dan sektor. Ada kesan yang kuat
bahwa dari tahun ke tahun Rakorbang secara maksimal dilaksanakan untuk melakukan pemaduserasian daftar
urutan (prioritas) usulan dari kecamatan dan sektor.
o Belum tampak pergeseran orientasi hasil ke arah yang lain, misalnya hasil Rakorbang seharusnya mencerminkan
kebutuhan pembangunan dalam upaya penanggulangan kemiskinan secara lebih terarah, penetapan dana alokasi
desa dan peningkatan pelayanan publik secara signifikan.
2.5.4. Tingkat Dinas dan Panitia Anggaran Eksekutif
Masalah dalam input:
o Angka yang dimuat dalam Repetada terutama yang berasal dari UDKP- masih tentative sehingga dinas harus
turun ke lapangan.
o RASK yang dibahas tidak memuat data secara lengkap dan mencurigakan sehingga Panggar Eksekutif harus
turun lapangan.
o Satuan biaya yang seharusnya dijadikan rujukan bersama tidak jelas Persepsi dinas/sektor mengenai alokasi
komponen biaya dalam RASK berbeda..
Masalah dalam proses:
o Meskipun sudah mulai melaksanakan Kepmen 29/2002, tetapi belum konsisten terutama dalam soal waktu.
Sekuens penyusunan dokumen RENGGANG belum konsisten.
o Referensi Tim panggar adalah AKU, hasil Rakorbang, standard anggaran biaya dan dokumen lainnya. Peran
Panggar Eksekutif dominan dalam memutuskan alokasi dana dan kegiatan dalam RASK. Terkadang
dinas/sektor sulit memahami landasan pengambilan keputusan secara teknis rasional.
o Kerja Panggar kurang efektif. Sektor datang membawa RASK yang langsung diperiksa. Idealnya, semua RASK
dikumpulkan baru dibuat jadwal pembahasan.
o Kontrol masyarakat dan DPRD dalam proses pembahasan di panggar eksekutif tidak ada.
Masalah dalam output:
o Hanya 40% dari nilai RASK yang lolos Panggar, 60% ditolak. Siapa yang bertanggungjawab untuk
mendokumentasikan 60% yang ditolak tidak jelas. Meskipun diasumsikan akan masuk anggaran biaya tambahan
(ABT), atau dianggarkan pada tahun berikutnya atau lewat APBD I/APBN.
Apabila dikategorisasikan berbagai masalah dalam input proses- output di berbagai tingkat RENGGANG maka
masalah yang dihadapi dalam proses RENGGANG partisipatif adalah sebagai berikut:
o

Masalah yang berkaitan dengan informasi. Tidak adanya informasi yang memadai mengenai prioritas dan
perkiraan alokasi anggaran untuk pembangunan pada tahun perencanaan menyebabkan meningkatnya usulan
kegiatan yang diajukan pada tingkat perencanaan partisipatif (Musbangdes UDKP Rakorbang).

Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.

o
o
o
o
o

o
o
o

Komitmen pejabat Pejabat berwenang banyak yang tidak hadir dalam proses-proses penting RENGGANG.
Ini menyebabkan informasi penting tidak sampai ke masyarakat. Selain itu banyak keputusan yang diambil
dalam forum musyawarah tidak sampai ke pejabat yang berwenang.
Metode Konversi. Kurang mendalamnya diskusi dan verifikasi antara masyarakat (yang mengajukan usulan) dan
orang-orang yang memiliki kompetensi dalam bidang yang bersangkutan.
Format yang digunakan Tidak ada format dan sistem informasi yang baik mengenai proses konversi usulan
dari wilayah ke sektor yang telah menyebabkan sulitnya menelusuri sejauhmana usulan wilayah terakomodasi
dalam usulan sektor. Hal ini juga menyebabkan akuntabilitas perencanaan partisipatif menjadi rendah.
Proses RENGGANG belum terdokumentasi dengan baik, ini terbukti dari kurangnya data produk
RENGGANG. Dalam beberapa hal data juga dapat diinterpretasikan secara berbeda bahkan oleh para pelaku
sendiri.
Alur proses RENGGANG. Masih terjadi dualisme antara proses perencanaan yang melibatkan masyarakatdengan proses penganggaran yang sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintah (dinas dan panggar
eksekutif)-. Ini menyebabkan usulan yang disepakati dalam proses perencanaan banyak yang tereduksi di proses
penganggaran.
Alur/proses perencanaan ke penganggaran terutama perencanaan partisipatif- sangat panjang. Dalam hal
proses perencanaan seperti terpisah dengan proses penganggaran, karena pada proses penganggaran masih ada
kegiatan yang harus diverifikasi.
Waktu Sekuens penyusunan dokumen RENGGANG belum konsisten.
Representasi dan control masyarakat. Pendekatan struktural dominan untuk menentukan keterwakilan. Unsurunsur fungsional (kelompok tani, nelayan) tidak terakmodir. Begitu juga LSM yang bergerak di tingkat
kecamatan dan kabupaten kurang dilibatkan. Kontrol masyarakat dalam proses pembahasan di panggar
eksekutif tidak ada sama sekali.
Kapasitas Fasilitator dan partisipan tidak mampu membedakan program yang relevan untuk diajukan ke
tingkat kabupaten. Banyak usulan merupakan persoalan yang dapat diselesaikan secara internal (swadaya).

3. REKOMENDASI
Untuk meningkatkan efisiensi dan efektiftias proses RENGGANG daerah, selain memperbaiki proses
perencananaan dan penganggaran juga perlu memperbaiki hal-hal yang mendukung proses itu sendiri. Hal ini
disebabkan factor pendukung tersebut mempunyai pengaruh yang besar atas inefisiensi dan inefektifitas proses
RENGGANG. Beberapa masalah yang berkaitan dengan faktor pendukung proses RENGGANG adalah:
3.1. Masalah Umum Pemerintahan
3.1.1. Masalah Kelembagaan
Ada beberapa institusi yang terlibat dalam proses RENGGANG, yaitu: Bappeda, Bagian Penyusunan Program, dan
Bagian Keuangan. Interaksi antara tiga lembaga ini sangat krusial terhadap effisiensi, effektifitas, transparansi dan
akuntabilitas proses RENGGANG. Terpisahnya Bagian Penyusunan Program dan Bagian Keuangan adalah
akibat dari sistem penganggaran lama, yang membagi dokumen anggaran ke dalam dua kategori yaitu
anggaran rutin dan anggaran pembangunan yang memiliki mekanisme penyusunan yang berbeda.
Dengan adanya KepMen 29/2002 maka hanya ada satu dokumen anggaran. Dokumen dan mekanismenya
menunjukkan bahwa KepMen 29/2002 menganut sistem unified budget. Sebagai konsekwensinya, maka dua
bagian tersebut juga sebaiknya dijadikan satu. Kalau tidak, maka akan tetap terjadi dualisme (overlapping) dalam
RENGGANG.
Rekomendasi: Harus ada restrukturisasi organisasi perangkat daerah untuk mengatasi dualisme/ overlapping, tugas dan
tanggung jawab dibidang RENGGANG dengan menyatukan Bagian Penyusunan Program dan Bagian Keuangan
dan sebaiknya juga Bappeda.
3.1.2. Transparansi Anggaran
Analisis terhadap keuangan daerah menunjukkan bahwa selain dana APBD II, ada dana dari pemerintah Propinsi
dan Nasional (APBD I, Dana Dekonsentrasi dsb.) yang cukup besar. Dana tersebut tidak didokumentasi atau
Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.

10

dikelola oleh satu lembaga, tetapi langsung turun ke masing-masing sektor. Kriteria untuk mendapat dana tersebut
tidak jelas dan hubungan antara dana itu dengan perencanaan daerah kurang transparan. Jadi, akuntabilitas dan
transparansi tentang dana non-APBD belum ada sama sekali.
Rekomendasi: Harus ada sistem yang mengatur pengelolaan dana non-APBD II secara transparan, dan hubungan
dengan perencanaan daerah harus menjadi langsung supaya dana yang begitu besar dapat dierencanakan sesuai
dengan sistem dan siklus RENGGANG daerah. Sebaiknya jalur dan jumlah dana non-APBD II ditetapkan dalam
produk hukum, misalnya PERDA.
3.1.3. Dana Alokasi Desa
Jumlah usulan dari desa yang diakomodir dalam APBD masih sangat kecil. Untuk itu fungsi Musrenbang (istilah yang
baru untuk Musbangdes sesuai dengan SE bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Bappenas dan Menteri Negara Dalam Negeri No. 2354/M.PPN/03/204.050/744/SJ tentang Pedoman Pelaksanaan
Forum Musrenbang dan Perencanaan Partisipatif Daerah) harus diperluas.
Dalam Musrenbang, harus ditetapkan kegiatan yang bisa dilaksanakan secara swadaya. Dengan meningkatkan dana
alokasi desa secara signifikan, maka masyarakat desa diharapkan mampu melaksanakan banyak kegiatan secara
swadaya. Peningkatan dana alokasi desa diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan effektifitas. Ini disebabkan desa
dapat melaksanakan kegiatan pembangunan infrakstruktur kecil dengan anggaran lebih rendah karena pengelolaan
keuangan langsung di desa. Dengan demikian maka proses perencanaan di tingkat kabupaten hanya membahas
kegiatan yang benar-benar memerlukan keterlibatan keahlian dinas/instansi teknis dan dana yang besar.
Rekomendasi: Dana alokasi desa perlu ditingkatkan secara signifikan dengan prasyarat yang cukup jelas serta insentif
dan sanksi yang jelas. Artinya, dalam penetapan jumlah dana alokasi desa selain memperhatikan data pokok misalnya
jumlah penduduk atau luas wilayah- harus juga diperhatikan aspek kinerja.
3.1.4. Monitoring dan Evaluasi Partisipatif
Masyarakat perlu dilibatkan dalam proses monitoring dan evaluasi. Walaupun sudah ada evaluasi kinerja di tingkat
dinas/kabupaten dalam bentuk dokumen LAKIP, sampai sekarang belum ada mekanisme yang menjelaskan tentang
umpan balik dari masyarakat tentang kualitas proyek, nilai, dan kepuasan masyarakat desa terhadap kegiatan yang
telah dilaksanakan di desa. Sampai saat ini, pada awal tahun tidak pernah ada informasi mengenai kegiatan yang akan
dilaksanakan di salah satu daerah. Hal ini membuat masyarakat tidak mengetahui rencana pembangunan di desanya
dan tidak menimbulkan rasa memiliki terhadap program dan proyek yang berjalan. Masyarakat juga tidak bisa
melakukan fungsi kontrol terhadap kegiatan pembangunan.
Rekomendasi: Perlu ada daftar proyek/kegiatan yang dibagi pada awal tahun kepada setiap desa. Daftar itu nanti
menjadi dasar untuk menilai hasil proyek/program pada kegiatan Musrenbang tahun berikutnya. Setiap sektor
mendapat hasil penilaian itu dan melaksanakan evaluasi sektoral. Input dari masyarakat desa harus masuk dokumen
LAKIP. Partisipasi ini perlu dijamin dalam produk hukum daerah yang menjelaskan alur evaluasi masyarakat desa,
supaya monitoring dan evaluasi partisipatif juga bermanfaat.
3.1.5. Kualitas Data
Salah satu kesimpulan dari analisis terhadap dokumen RENGGANG adalah bahwa kualitas data mulai dari tingkat
desa sampai tingkat kabupaten masih rendah. Walaupun jumlah data sudah banyak, metode pengumpulan data dan
pengelolaannya, misalnya update data, belum ada. Kondisi ini telah menghilangkan akuntabilitas kegiatan dan ukuran
kinerja pemerintah.
Untuk menilai kinerja pemerintah, harus ada data yang berkualitas. Perkembangan pembangunan tidak dapat diukur
kalau data pokok pada awal kegiatan tidak ditetapkan. Sampai sekarang, indikator yang tertuang dalam beberapa
dokumen RENGGANG tidak dapat diukur dengan jelas. Kalaupun sudah ada indikator, outcome dari salah satu
program/kegiatan seringkali tidak jelas. Artinya, belum ada database yang cukup berkualitas sebagai dasar
pengukuran kinerja dan tujuan yang ingin dicapai.
Sedangkan menurut KepMen 29/2002, setiap kegiatan yang dianggarkan harus dapat diukur sampai tingkat
impact/dampak. Kelemahan tersebut mempersulit pelaksanaan anggaran kinerja secara murni.
Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.

11

Rekomendasi: Pemerintah daerah harus mengembangkan sistem pengumpulan dan pengelolaan data yang menjadi
dasar untuk mengukur kinerja pemerintahannya dengan sungguh-sungguh. Untuk itu perlu ada komitmen dan
kesepakatan antara pihak eksekutif dan legislatif.
3.2. Perencanaan dan Penganggaran Jangka Menengah Daerah
Beberapa hal pokok yang perlu dilakukan agar RENGGANG daerah efektif dan efisien adalah:
o Renstra Daerah dan MTEF (Midterm Expenditure Framework/Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah) harus
menjadi satu dokumen dengan masa berlaku 3 tahun (agar kepada kepala daerah dapat memperbaikinya)
o Dokumen perencanaan jangka menengah daerah yang lain - selain Renstra dan MTEF- hilang (misalnya: Poldas
dan Propeda)
o Produk hukum perencanaan jangka menengah harus disusun secara partisipatif, dengan melibatkan stakeholder
yang mewakili kepentingan masyarakat desa dan sektoral
o Perencanaan pembangunan dari bawah di tingkat UDKP harus diterjemahkan ke kategori sektoral. Masukan ini
merupakan dasar untuk membahas kepentingan masyarakat untuk tiga tahun ke depan. Di tingkat sektoral ada
kelompok fungsional yang mewakili kepentingan masyarakat misalnya organisasi petani/nelayan tingkat
kabupaten- atau kelompok yang memiliki kompetensi dalam bidangnya untuk skala kabupaten (LSM atau PT).
o Ada tim khusus (Tim Tehnis) dibawah Sekda yang memfasilitasi seluruh proses penyusunan dokumen
perencanaan jangka menengah, yang terdiri dari staf Bappeda, staf Dispenda, staf Bagian Keuangan dan staf
Kantor Statistik Tim ahli (PT dsb.) perlu dilibatkan dari awal dalam proses penyusunan Renstra/MTEF
o Perlu ada musyawarah yang memberikan wahana bagi masing-masing stakeholder untuk mempresentasikan
kepentingannya sebelum draf awal
o Dengan menentukan MTEF, sudah ada plafon sektoral tentatif yang dapat dijadikan pedoman untuk
perencanaan pembangunan dari bawah
o Ada konsolidasi berulang-ulang dengan stakeholder di tingkat kabupaten pada waktu menyusun draft yang
dikoordinasi oleh tim tehnis
o Draf akhir Renstra Daerah/MTEF diumumkan di media local
o Ada komponen monitoring dan evaluasi partisipatif dari bawah dan dari sektor tentang pencapaian program
jangka menengah sebelumnya
o Kontribusi terhadap penanggulangan kemiskinan harus kelihatan di setiap sektor
o Kalender anggaran untuk semua pihak terkait harus lebih jelas dan harus ada kepastian bahwa siklus anggaran
dapat diikuti sesuai dengan peraturan
o Renstra/MTEF dapat dijabarkan ke dalam Renstra dinas dengan mudah. Hal ini dapat meningkatkan
konsistensi prioritas pembangunan
RPJM merupakan dasar bagi RENGGANG tahunan. Karena itu dokumen RPJM daerah harus dapat
dioperasionalkan dalam RENGGANG tahunan. RPJM Daerah dapat berupa Rencana Strategis (berdasarkan PP
108/2000) maupun MTEF (berdasarkan UU No. 17/2003). Untuk menghilangkan dualisme dokumen perencanaan,
maka Renstra sebaiknya disertai oleh MTEF, atau bisa juga dibuat dalam satu dokumen.
Renstra yang disertai dengan MTEF bertujuan untuk:
o Meningkatkan disiplin anggaran. MTEF dapat menunjukkan kaitan antara perencanaan dengan kemampuan
daerah untuk membiayai pembangunan daerah (penganggaran) selama 3 tahun, dengan melihat struktur
penerimaan dan kecenderungan yang terjadi selama 3 tahun ke depan baik yang bersifat statis atau dinamis.
o Alokasi inter dan intrasektor lebih mudah. Tugas yang berbeda dari sektor dapat terintegrasi melalui MTEF
dengan melihat dukungan akumulatif dari berbagai bidang terhadap peningkatan pengurangan kemiskinan dan
pembangunan wilayah secara keseluruhan.
o Meramalkan anggaran dinas/badan/unit/sektor. Berdasarkan kemampuan keuangan daerah (pendapatan asli
daerah dan dana perimbangan) setiap dinas/badan/ unit/sektor dapat merencanakan anggaran untuk kurun
waktu tiga tahun dan secara konsisten menjalankannya. MTEF selain menampilkan anggaran indikatif juga tolok
ukur kinerja untuk kurun waktu tahunan dan tiga tahunan.
o Belanja publik lebih efisien. Dalam kurun waktu tiga tahun belanja publik akan lebih terfokus karena anggaran
indikatif telah ditetapkan. Konsistensi anggaran dapat terjamin karena dalam kurun waktu tiga tahun diharapkan
tidak terjadi perubahan yang drastis baik mengenai alokasi, fokus dan strategi pencapaiannya. MTEF juga secara
langsung dapat dikaitkan dengan Strategi Pengurangan Kemiskinan Daerah (SPKD) yang mengakomodasikan
prioritas pengurangan kemiskinan yang tertuang dalam Strategi Pengurangan Kemiskinan Nasional (SPKN).
Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.

12

o
o

Akuntabilitas anggaran meningkat melalui proses pembuatan kebijakan yang lebih absah. Penyusunan Renstra
disertai MTEF memerlukan suatu proses yang lebih berbobot dilihat dari sisi masukan - konversi output.
Tahapan-tahapan RENGGANG partisipatif dapat lebih meningkatkan kredibilitas pengambilan keputusan di
bidang anggaran daerah.

Renstra dan MTEF dapat dibuat dengan merujuk pada:


o Dokumen Perencanaan Jangka Menengah Nasional
o Strategi Pengurangan Kemiskinan Daerah (SPKD) dan Strategi Pengurangan Kemiskinan Nasional (SPKN)
o Rencana Strategis Departemen di Tingkat Nasional
o Visi, Misi, dan Program Bupati terpilih
o Hasil monitoring dan evaluasi terhadap program pembangunan selama 5 tahun sebelumnya
o Hasil analisis mengenai proyeksi pendapatan daerah lima tahun ke depan (diturunkan dalam proyeksi tahunan)
o Masukan dari stakeholder dan kelompok fungsional di kabupaten, maupun input dari perencanaan dari bawah
o Potensi dan masalah yang dihadapi oleh daerah dalam kurun waktu tersebut
Untuk mengintegrasikan berbagai masukan tersebut, perlu dilakukan musyawarah RENGGANG jangka menengah.
Agar proses musyawarah berjalan efektif, perlu dikembangkan metode perencanaan jangka menengah partisipatif.
Unsur yang terlibat dalam proses musyawarah ini adalah: perwakilan kelompok dari desa dan kecamatan, perwakilan
kelompok fungsional (misalnya: kelompok petani dan nelayan), unsur dinas/badan/kantor pemerintah, dan DPRD.
Proses ini juga bisa disebutkan Participatory Budgeting, karena kebijakan yang disusun secara partisipatif bukan hanya
perencanaan, tetapi juga kebijakan anggaran untuk jangka menengah.
Dalam proses penyusunan Perencanaan Pembangunan jangka Menengah Daerah/MTEF yang partsipatif, maka
orientasi harus difokuskan pada penanggulangan kemiskinan dan kelestarian lingkungan (mengarusutamakan pada
pengurangan kemiskinan). Hal ini disebabkan karena dua hal yaitu: 1) pemerintah nasional telah menetapkan
pengurangan kemiskinan sebagai prioritas pembangunan nasional (sebagaimana tercermin dalam SPKN), dan 2)
kondisi nyata di daerah sendiri menunjukkan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan harus segera
didorong. Hal lain yang harus diperhatikan adalah dokumen perencanaan ruang. Dokumen ini seharusnya
mengarahkan pembangunan sektoral. Untuk itu dokumen tata ruang harus segera dilihat atau direvisi untuk
disesuaikan dengan prioritas pembangunan daerah.
Produk dari musyarawah perencanaan pembangunan jangka menengah adalah dokumen Renstra disertai MTEF yang
akan dijadikan rujukan utama dalam perencanaan tahunan daerah dan rencana lima tahun yang akan diajukan pada
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat. Renstra Daerah/MTEF selain memuat visi, misi, prioritas program, dan
rolling plan tahunan, juga harus memuat perkiraan alokasi anggaran untuk tahun perencanaan baik per-wilayah
maupun per-sektor. Agar dokumen ini menjadi rujukan maka pemerintah daerah sebaiknya tidak membuat dokumen
perencanaan menengah lainnya seperti Poldas dan Propeda.
3.3. Perencanaan dan Penganggaran Tahunan Daerah
Beberapa hal pokok yang harus dilakukan agar RENGGANG tahunan partisipatif tahunan berjalan sesuai dengan
prinsip-prinsip efektifitas dan efisiensi adalah:
o

o
o
o

Kebijakan umum (draft AKU) sudah ada dalam bentuk Renstra/MTEF yang menjelaskan prioritas
pembangunan per tahun penganggaran. Ini juga berarti hanya ada satu dokumen perencanaan tahunan, yaitu:
AKU. Dengan adanya draft AKU maka perencanaan di tingkat desa dan kecamatan menjadi lebih terfokus. Ini
juga sesuai dengan SE bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan
Menteri Negara Dalam Negeri No. 2354/M.PPN/03/204.050/744/SJ tentang Pedoman Pelaksanaan Forum
Musrenbang dan Perencanaan Partisipatif Daerah. Supaya AKU dapat menjadi dokumen perencanaan tahunan
yang mengganti Repetada, AKU perlu cukup detail sampai indikasi program dan target pencapaian. Selain itu,
juga harus ada indikator penilaian kegiatan yang langsung terkait dengan LPJ Bupati
Ada satu tim permanen yang memfasilitasi seluruh proses RENGGANG dibawah Sekda
Musrenbang juga mempunyai fungsi sebagai ruang monitoring dan evaluasi secara partisipatif bagi kegiatan yang
dilaksanakan di desa pada tahun sebelumnya dan kegiatan yang pernah direncanakan tapi tidak pernah
direalisasikan dan dinilai oleh masyarakat
Musrenbang membahas tentang kegiatan yang bisa dilaksanakan secara swadaya berdasarkan dana alokasi desa

Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.

13

o
o
o
o

yang harus ditingkatkan secara signifikan dan usulan yang diajukan ke pemerintah daerah.
Fungsi UDKP agak berbeda, yaitu usulan dari desa akan diterjemahkan ke kategori sektoral dengan
memperbaiki usulan dari segi substansi dan bahasa. UDKP menjadi forum yang lebih intensif melakukan
pertemuan, mislanya lebih dari sekali setahun yang terjadi sekarang. Dalam pertemuan UDKP juga perlu
dibahas wakil desa/kecamatan dalam pertemuan sektoral di tingkat kabupaten. Setelah Musrenbang Kabupaten
telah dilaksanakan, forum UDKP bertemu lagi untuk mengevaluasi kegiatan tersebut. Setelah APBD disahkan,
forum UDKP mengevaluasi kegiatan yang mana pada akhirnya diakomodir dalam APBD (kegiatan sektoral
diterjemahkan kembali ke kegiatan dari desa).
Prioritas dicross-check lagi apakah sesuai dengan yang di tingkat lebih atas
Forum Rakorbang diganti ke forum sektoral. Langsung kelompok fungsional bersama dengan sektor dan wakil
dari kecamatan membahas bersama tentang kegiatan yang mau dianggarkan. Forum sektoral ini lebih
memungkinkan terjadinya diskusi yang intensif antara kepentingan masyarakat desa dengan kepentingan sektor
Stakeholder yang dipilih sebagai wakil dari masyarakat dalam salah satu forum sektoral terlibat dalam diskusi
RASK di tingkat Panggar Eksekutif
AKU yang disusun oleh tim permanen diumumkan di media lokal. Renstra/MTEF merupakan rujukan utama
untuk menyusun RENGGANG tahunan. Renstra/MTEF juga dijadikan rujukan bagi dinas untuk menyusun
Renstra Dinas dan Rencana Tahunan Dinas.

Dalam RENGGANG tahunan, Renstra/MTEF yang memuat plafon anggaran per-wilayah dan per-dinas/sektor
dapat dianggap sebagai Draft AKU untuk RENGGANG tahun bersangkutan. AKU merupakan formulasi kebijakan
anggaran (budget policy formulation). Sesuai dengan Kepmen 29/2002 maka AKU ditetapkan oleh Pemerintah dan
DPRD dalam bentuk nota kesepakatan bersama
dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat dan dokumen perencanaan lainnya.
Draft AKU (Renstra/MTEF tahun bersangkutan) harus disampaikan dalam forum Musrenbang, UDKP, dan forumforum sektoral. Informasi mengenai draft AKU berguna untuk:
1. Mendapatkan umpan-balik/masukan untuk pembahasan dan penetapan AKU
2. Mengorientasikan masyarakat agar mengajukan usulan program sesuai dengan prioritas pembangunan daerah
3. Dengan mengetahui plafon anggaran maka harapan yang berlebihan terhadap program pemerintah dapat dikurangi
(sebagai filter usulan).
Agar ada rasa kepemilikan terhadap RPTD dan RPTK serta untuk mengurangi usulan yang sebenarnya dapat
didanai/dikelola sendiri maka perlu difikirkan alokasi anggaran yang dikelola oleh pemerintah di tingkat desa dan di
tingkat kecamatan. Dengan alokasi anggaran ini maka usulan yang diajukan dalam forum Musrenbang dan forum
UDKP adalah betul-betul usulan yang skala program, pendanaan, dan pelaksanaannya menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah.
Hasil UDKP selanjutnya dikategorisasikan berdasarkan dinas-dinas/sektor-sektor pemerintah yang sebelumnya
dinas telah merancang Renstra dan rencana tahunan dinas. Hasil perencanaan di tingkat spasial (komunitas) dan
perencanaan dinas/sektoral selanjutnya diintegrasikan dalam forum-forum sektoral (misalnya Forum Perencanaan
Pembangunan Perikanan dan Kelautan). Forum tersebut selain dihadiri oleh delegasi perwakilan spasial dan
perwakilan dinas/sektor juga dihadiri oleh stakeholder lain, misalnya: organisasi nelayan, pengusaha perikanan,
profesional di bidang pengelolaan sumber daya pesisir, Perguruan Tinggi, atau LSM yang memiliki kompetensi di
bidang/sektor tersebut.
Dengan demikian, selain mengintegrasikan usulan spasial dengan usulan sektoral, forum ini juga mendapatkan
masukan lain (terutama dari stakeholder yang kompeten) sehingga kualitas perencanaan meningkat. Agar hasil
perencanaan transparan dan akuntabel maka harus ada sistem data yang dapat melacak proses konversi dari wilayah
ke sektor atau sebaliknya. Selain itu, karena forum sektoral dihadiri oleh pihak yang berkompeten maka forum dapat
merumuskan tolok ukur output dan outcome yang ingin dicapai sebagai landasan bagi usulan program.
Forum sektoral juga dapat merekomendasikan dari mana program dapat didanai (APBD II, APBD I, DAK, atau
Dana Dekonsentrasi). Hasil pembahasan forum-forum sektoral yang memuat tolok ukur output/outcome dan program
yang diusulkan berdasarkan output/outcome yang ingin dicapai- selanjutnya menjadi dasar bagi penyusunan AKU
APBD. Dengan masukan yang lengkap output/outcome, program, dan kegiatan di tingkat desa dan sektoral- maka
Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.

14

pemerintah dan DPRD diharapkan tidak akan terlalu lama membahas AKU.
Setelah AKU ditetapkan, dengan berdasarkan pada estimasi ketersediaan dana pada tahun anggaran bersangkutan,
disusun strategi, prioritas, dan plafon anggaran. Dalam proses ini komunikasi dengan sektor dan delegasi masyarakat
dan stakeholder lain perlu terus dilakukan. Komunikasi dan kesepatakan baru dengan stakeholder perlu dibuat
manakala terjadi perubahan program/kegiatan karena keterbatasan dana. AKU, Strategi dan Prioritas, dan Plafon
merupakan dasar bagi penyusunan RASK. Agar proses perencanaan partisipatif langsung terhubung dengan
penganggaran maka perwakilan warga dari forum sektoral harus dilibatkan dalam pembahasan atau setidak-tidaknya
dikomunikasikan, terutama jika ada perubahan kegiatan antara rencana yang telah disepakati dalam forum sektoral
dengan rencana yang terdapat dalam RASK.
Kompilasi RASK merupakan dasar bagi RAPBD yang akan dibahas dengan dewan. Untuk menjamin transparansi
pengambilan keputusan (terutama perilaku dan keputusan fraksi-fraksi di DPRD) pemerintah sebaiknya
mengumumkan secara terbuka proses pembahasan RAPBD di DPRD. Pemerintah/DPRD juga dapat mengundang
delegasi masyarakat dan forum sektoral untuk menghadiri pembahasan RAPBD. Kehadiran masyarakat, disamping
dapat menjamin transparansi dan akuntabilitas dewan, juga secara psikologis dapat mendorong dewan untuk
mengeluarkan kebijakan yang lebih populer. Meskipun dalam pembahasan APBD masyarakat tidak memiliki hak
bicara dan hak suara, tetapi masyarakat dapat memutuskan untuk memilih kembali atau menghukum anggota
dewan/fraksi yang tidak memihak kepadanya.
Setelah APBD ditetapkan, agar pelaksanaan kegiatan sesuai dengan tujuan program dan besaran anggaran maka
daerah perlu menyusun rencana implementasi dan SOP (Standard Operating Procedure) yang harus diketahui oleh
masyarakat. Informasi yang perlu diketahui masyarakat terutama adalah:
1. Pengumuman program yang akan didanai oleh APBD II kepada forum sektoral, dan forum desa. Program yang
diumukan meliputi program spatial dan sektoral
2. Pengumuman program yang akan dilakukan oleh pihak ketiga (swasta, LSM, atau masyarakat) secara terbuka
3. Pengumuman mekanisme tender bagi program yang akan dilaksanakan melalui tender
4. Pengumuman mengenai mekanisme pengaduan keluhan terhadap program-program yang dilaksanakan
Salah satu komponen penting dari rekomendasi perencanaan tahunan daerah yang nampaknya banyak diabaikan oleh
pemerintah daerah adalah perlu adanya umpan balik terhadap perencanaan dan pelaksanaan program tahunan.
Umpan balik disamping menilai pelaksanaan program juga harus menilai kualitas dan manfaat program dari sisi
masyarakat. Untuk itu pemerintah perlu melakukan survey kepuasan masyarakat terhadap program-program
yang dilaksanakan Selanjutnya hasil monitoring dan evaluasi yang menyerap aspirasi masyarakat dapat dijadikan
input bagi proses penyusunan AKU, Proses Musrenbang, UDKP, forum-forum sektoral, dan Renstra/MTEF.
Dengan menjalankan rekomendasi untuk perencanaan lima tahunan dan tahunan diharapkan RENGGANG menjadi
lebih efektif dan efisien. Tetapi rekomendasi yang diajukan tidak mudah untuk dilaksanakan. Rekomendasi hanya
akan dapat terlaksana apabila daerah dapat memenuhi kondisi perlu (necessary condition) sebagai berikut:
o Semua pihak yang terlibat dalam proses RENGGANG terutama aparatur daerah, bupati, dan DPRD memiliki
kemauan politik yang kuat untuk menjadikan proses penganggaran lebih effektif dan efisien.
o Fungsi RENGGANG terintegrasi dalam suatu wadah yaitu Badan RENGGANG Daerah dengan tugas yang
lebih bersifat permanen. Atau jika tetap terpisah maka fungsi perencanaan dan pengaanggaran terkoordinasi
dengan baik. Tugas Panggar sifatnya ad hoc karena hanya bekerja setahun sekali ketika menilai RASK dari
badan/kantor/dinas/sektor. Formula yang demikian sejalan dengan usulan pengembangan formula Renstra yang
disertai MTEF demi tercapainya akuntabilitas anggaran melalui proses pengambilan kebijakan yang lebih absah.
o Masyarakat diberi ruang yang lebih luas untuk berpartisipasi dalam proses penganggaran -selama ini masyarakat
hanya terlibat dalam proses perencanaan-. Untuk menjamin independensi masyarakat dalam proses
RENGGANG, maka sebaiknya anggota masyarakat sendiri yang memilih wakilnya untuk perencanaan di tingkat
yang lebih tinggi (delegasi forum UDKP, delegasi forum sektoral, pembahasan RASK). Bukan ditetapkan
berdasarkan posisi secara struktural.
o Semua pihak sepakat bahwa dalam kerangka membangun pemerintahan yang baik, maka transparansi dan
konsistensi dalam RENGGANG merupakan kebutuhan yang mendasar.

Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.

15

Daftar Pustaka
Astia Rendi dan Arif Roeman. 2005. Mengembangkan Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif di Daerah: Pengalaman dan
Perspektif GTZ PROMIS-NTT, Denpasar.
Kamelus, D., Suhirman, dan J. Ludwig. (2004). Efektifitas dan Efesiensi Proses Perencanaan Dan Penganggaran Daerah.
Laporan Studi. PROMIS-NT. Denpasar.
Munir, B. 2002. Perencanaan Pembangunan Daerah Dalam Perspektif Otonomi Daerah. Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Propinsi NTB dan GTZ. Mataram.
Pemerintah Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara
Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional
Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan Daerah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan dalam pelaksanaan Dekosentrasi dan Tugas Pembantuan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8, Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah,
2003
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 84, Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.
Jakarta 2000.
Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan
Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan
APBD
Rasul, Sjahruddin. 2003. Pengintegrasian Sistem Akuntabilitas dan Anggaran Kinerja dalam Perspektif UU no. 17/ 2003
tentang Keuangan Negara-Problem dan Solusi System Penganggaran di Indonesia. Perum Percetakan Negara Republik
Indonesia. Jakarta
Riyadi, D.S. Bratakusumah. 2003. Perencanaan Pembangunan Daerah: Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi
Daerah. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.

16

Anda mungkin juga menyukai