Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.
2.
Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.
Namun kadang Tim Posko UDKP tidak dapat hadir terutama bila ada Musbangdes yang berjalan bersamaan.
Dalam beberapa hal juga mengisyaratkan bahwa Musbangdes merupakan bagian dari proses formal tata
pemerintahan. Musbangdes berlangsung 1 sampai 1 hari. Proses ini bisa lebih lama (sampai 2 hari) terutama jika
beberapa dusun tidak melakukan Musbangdus, kecenderungan ini semakin tinggi, apabila usulan di tingkat
Musbangdus masih dianggap kurang matang.
Proses yang paling penting dan paling lama dalam Musbangdes adalah melakukan pengelompokkan masalah dan
pengkajian tindakan pemecahan masalah dengan melakukan identifikasi masalah, penyebab masalah, potensi desa,
dan tindakan yang layak-, melakukan pemeringkatan masalah, rekapitulasi masalah dan tindakan pemecahan masalah,
dan pembobotan masalah dan tindakan pemecahan masalah. Proses ini akan berlarut-larut manakala peserta diajak
bersama-sama mengisi format isian oleh fasilitator. Perdebatan terjadi bukan hanya berkaitan dengan substansi,
melainkan juga pada kolom atau baris mana satu statement dituliskan.
Hasil Musbangdes adalah dokumen RPTD yang dibagi dalam tiga bidang yaitu: bidang fisik dan prasarana, bidang
ekonomi, dan bidang sosial budaya. Masing-masing kelompok berisi 5 10 usulan program yang akan dibahas dalam
Forum UDKP. Posko UDKP yang beranggotakan petugas kecamatan dan petugas cabang dinas yang ada di
kecamatan bersangkutan- selanjutnya akan memproses RPTD.
Selain mengelompokkan RPTD dalam berbagai format, Tim Posko UDKP juga menyebarkan formulir usulan
program yang diajukan oleh cabang dinas untuk dibahas di tingkat kecamatan. Proses untuk pengisian formulir dan
diskusi pra- UDKP berlangsung cukup lama yaitu 1 2 minggu. Keseluruhan proses ini seringkali disebut sebagai
proses Pra-UDKP.
Forum UDKP yang berjalan selama 2 hari ini merupakan proses yang sangat penting dalam perencanaan partisipatif.
Dalam forum ini dipertemukan kepentingan komunitas (yang dihadiri oleh 3 orang utusan desa untuk
memperjuangkan RPTD), kepentingan wilayah kecamatan (yang diwakili oleh pejabat kecamatan), dan kepentingan
sektor/dinas (yang dihadiri oleh petugas cabang dinas atau dinas kabupaten). Forum ini juga menghadirkan Pejabat
Bappeda, BPMD, dan anggota DPRD yang mewakili daerah pemilihan kecamatan yang bersangkutan.
Forum UDKP dimulai dengan penjelasan mengenai program-program pembangunan baik di tingkat daerah maupun
tingkat komunitas yang disampaikan oleh pejabat dari Bappeda, BPMD dan Kecamatan. Selanjutnya forum akan
membahas dan merengking program yang telah terisis dalam formulir yang ada. Pembahasan dibagi dalam tiga
kelompok sebagaimana dengan pengelompokkan usulan RPTD. Pelaku utama diskusi adalah: perwakilan dari desa (1
orang/kelompok), petugas kecamatan, dan petugas dari dinas. Dalam pembahasan program, diskusi kelompok fokus
pada perengkingan program. Bila dianggap perlu, kelompok juga dapat mengajukan program baru. Ini terjadi
biasanya karena dinas tidak menyampaikan usulan tertulis dalam kegiatan Pra-UDKP sehingga usulan langsung
diajukan dalam forum tersebut.
Hasil dari forum UDKP terutama adalah dokumen RPTK. Dokumen ini berisi 5 10 usulan untuk tiap-tiap bidang
yang dianggap prioritas untuk diajukan sebagai program pembangunan di tingkat kecamatan. Dokumen RPTK
selanjutnya diajukan kepada Panitia Rakorbang. Panitia Rakorbang beranggotakan pejabat-pejabat pemerintah di
tingkat Kabupaten (Bappeda, Bagian Bina Program Setda, Bagian Keuangan Setda dan BPMD). Panitia Rakorbang
diketuai oleh Sekretaris Bappeda. Oleh karena itu, kegiatan operasional berlangsung di Kantor Bappeda dan menjadi
tugas pokok Bappeda. Yang menarik adalah meskipun anggota kepanitaan sangat besar, tetapi dalam praktek hanya staf Bappeda
dibawah koordinasi Sekretaris Bappeda- yang terlibat secara intens dalam kepanitiaan. Dalam banyak hal bahkan Kepala Dinas
lembaga lain yang sebenarnya anggota panitia- banyak tidak tahumenahu mengenai operasional dari Panitia ini.
Kegiatan pertama Panitia Rakorbang adalah melakukan inventarisasi RPTK. Panitia Rakorbang juga melakukan
inventarisasi usulan dinas/instansi di tingkat kabupaten. Selanjutnya Panitia memfasilitasi pertemuan antara pihak
kecamatan dengan pihak dinas/instansi. Pertemuan dan pembahasan dilakukan per-bidang usulan (sesuai dengan
bidang usulan dalam RPTK dan pembidangan di Bappeda). Sebagai hasil dari kegiatan pemaduserasian ini adalah:
usulan yang disepakati, usulan yang hampir disepakati, dan usulan yang tidak disepakati oleh kecamatan dan dinas.
Usulan yang disepakati yaitu usulan ada dalam dokumen usulan RPTK dengan usulan dinas/instansi yang akan
dibahas dan dibobot dalam pertemuan Rakorbang.
Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.
Penentuan prioritas kegiatan yang akan didanai dalam TA yang akan datang merupakan kegiatan utama dalam Forum
Rakorbang ini. Secara teknis kegiatan ini dilakukan dengan melakukan pembobotan dan perengkingan. Kegiatan yang
berlangsung selama 2 hari ini (pada bulan Juni) dihadiri oleh 3 orang pejabat kecamatan (Camat, Sekcam, dan Kasi
PMD) dan pejabat dari dinas daerah (Kepala Dinas atau Kabag Perencanaan Dinas). Kesepakatan hasil pembobotan
dituangkan dalam Usulan Rencana Program Pembangunan Tahunan Daerah yang disetujui dalam Forum Rakorbang.
Usulan Rencana Program Pembangunan Tahunan Daerah yang disetujui dalam Forum Rakorbang merupakan bahan
dasar bagi penyusunan Repetada/Renstra. Selain hasil Rakorbang, Repetada juga mengakomodasi usulan dari Bupati dan
Propeda/Renstra Daerah. Bahkan beberapa dinas dapat melobi penyusunan Repetada untuk memasukkan program yang tidak
dibahas dalam Forum Rakorbang. Alasan utama yang biasanya dikemukakan oleh dinas adalah bahwa program yang
diajukan sangat spesifik dan tidak mungkin dibahas atau disetujui dalam Forum Rakorbang. Program-program
penelitian, demplot/dempon untuk pertanian dan perikanan, atau operasional pelayanan publik misalnya adalah
program-program yang biasa dimasukkan dalam Repetada tanpa diproses dalam Forum Rakorbang. Karena
Repetada/Renstra merupakan dokumen program daerah yang dituangkan dalam bentuk peraturan daerah maka dalam pembahasan
dengan DPRD, anggota DPRD juga dapat mengemukakan beberapa program tambahan.
Repetada sebagai hasil akhir proses perencanaan merupakan dokumen yang harus dijadikan rujukan utama dalam
penganggaran daerah. Berdasarkan dokumen Repetada dinas menyusun Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK).
Yang menarik dari proses ini adalah, meskipun Repetada telah mencantumkan nilai nominal program, dinas seringkali melakukan
survey lapangan dengan alasan ia harus menghitung secara langsung besar biaya yang diajukan sesuai dengan keadaan lapangan. Selain
itu, dinas juga masih mungkin mengajukan program baru yang tidak adal dalam Repetada- dengan alasan program tersebut sudah
ada dalam rencana strategi dinas.
Kegiatan survey ini terutama dilakukan manakala dinas berkonsultasi dengan Panitia Anggaran Eksekutif yang
operasionalnya berada di Bagian Bina Program. Dengan alasan keterbatasan dana Panggar Eksekutif seringkali meminta
dinas mengurangi jumlah anggaran atau bahkan jumlah kegiatan dinas. Dalam beberapa kasus Panggar Eksekutif bahkan
melakukan survey untuk menetapkan anggaran kegiatan. Survey yang dilakukan berkali-kali baik oleh Dinas maupun Panggar
Eksekutif seringkali menyebabkan proses pembuatan RASK menjadi lama.
RASK yang telah diterima setelah berkali-kali konsultasi yang disebut sebagai kegiatan klinis- selanjutnya
dikompilasi dan dijadikan Draft RAPBD oleh Panggar Eksekutif. Panggar Eksekutif juga bertindak sebagai wakil
pemerintah ketika pembahasan Draft RAPBD dengan Panggar DPRD. Proses ini juga berjalan cukup rumit karena
seringkali DPRD melakukan survey dan dengar pendapat langsung dengan dinas.
Draft RAPBD yang telah disetujui oleh Panggar DPRD selanjutnya menjadi RAPBD. RAPBD diajukan oleh Bupati
ke DPRD untuk dibahas dan disyahkan menjadi Dokumen APBD. Berdasarkan APBD kemudian dinas menyusun
Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK) sebagai dasar bagi belanja. Proses Musbangdus sampai APBD secara
normatif berlansung selama 9 - 10 bulan yaitu dari bulan Maret sampai bulan November/Desember.
Di Sumba Timur penanggung jawab kegiatan terdesentralisasi pada tingkat desa dan kecamatan. Ini merupakan
konsekwensi dari pengalokasian dana ke desa dan kecamatan. Kabupaten mengalokasikan plafon dana bagi desa
dan kecamatan (Desa sebesar 15 juta dan kecamatan sebesar 45 juta). Dana tersebut digunakan untuk program
pembangunan desa dan kecamatan maupun untuk mendanai proses-proses kepemerintahan di tingkat desa dan
kecamatan. Musbangdes dan UDKP termasuk dalam kegiatan yang didanai oleh plafon dana desa dan kecamatan
tersebut. Sebagai konsekwensi dari kebijakan ini adalah desa dan kecamatan merasa lebih memiliki kegiatan dan
program-program yang diusulkan.
Sesuai dengan SE Mendagri No. 50/2003, mulai TA 2003 Kabupaten Sumba Timur merubah forum Rakorbang
(termasuk Pra-Rakorbang) menjadi Forum Koordinasi Perencanaan Pembangunan (Forkod). Perubahan penting
dari Rakorbang ke Forkod adalah diterimanya anggota non-pemerintah (LSM, Perguruan Tinggi, dan
Lembaga Donor) dalam keanggotaan dan kepanitian Forum Musyawarah. Meskipun dalam praktek Forum
ini hampir sama dengan Kepanitiaan Rakorbang terutama karena kurang aktifnya anggota non-pemerintah sebagai
akibat tidak adanya alokasi anggaran untuk melakukan kegiatan tetapi dari segi transparansi dan kontrol terhadap
program menjadi lebih tinggi.
Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.
Hal lain yang membedakan proses RENGGANG di Sumba Timur dengan daerah lain adalah tidak dibuatnya
dokumen Repetada. Tiadanya Repetada, maka dari segi efektifitas dan efisiensi justru memudahkan dinas. Dinas
dapat langsung menyusun RASK dengan berdasarkan pada hasil musyawarah Forkod, kebutuhan berdasarkan hasil
dinas sendiri, usulan dinas yang tidak terakomodasi dalam Musyawarah Forkod yang dianggap penting, usulan dinas
yang tertuang dalam dokumen Renstra Dinas, dan usulan Bupati. Lewat proses ini proses RENGGANG di tingkat
dinas tampak terkait secara langsung. Proses pembahasan RASK dilakukan oleh Panggar Eksekutif yang
operasionalnya dijalankan oleh Bagian Keuangan. Dengan demikian proses pengalokasian anggaran, baik belanja
aparatur maupun belanja pelayanan publik- dibawah koordinasi Bagian Keuangan (satu bagian).
Dalam membahas RASK Tim Panggar Eksekutif juga memiliki pedoman yang jelas yaitu: prioritas pembangunan
daerah (pendidikan, infrastruktur, peningkatan pendapatan, dan kesehatan), tugas pokok dan fungsi dinas, serta
satuan harga per-item biaya. Dalam proses pembahasan RASK Panggar Eksekutif juga tidak melakukan survey
sebagaimana dilakukan oleh daerah lain.
Yang menarik di Alor adalah Bupati mengeluarkan plafon anggaran sektoral sebagai pedoman bagi dinas.
Dengan plafon yang ditetapkan Bupati maka proses pembahasan di Panggar Eksekutif lebih mudah, dinas tidak
menghabiskan banyak resources mengajukan usulan yang lebih besar dari plafon. Sayangnya plafon anggaran hanya
berdasarkan pada anggaran tahun lalu, bukan berdasarkan pada prioritas pembangunan.
2.4. Output Pada Semua Proses Perencanaan dan Penganggaran
Salah satu cara untuk menilai efektifitas dan efisiensi suatu proses adalah dengan menilai output dari poses yang
telah ditempuh. Untuk itu, studi berusaha menelusuri output RENGGANG di tiap proses, terutama untuk melihat
sejauhmana efektifitas perencanaan yang dibuat secara partisipatif. Output yang diamati meliputi:
o Hasil Musbangdes (RPTD) yang masuk hasil UDKP (RPTK)
o RPTK yang masuk di Hasil Rakorbang
o Hasil Rakorbang yang masuk Repetada
o Repetada yang masuk APBD
o Perbandingan program dinas yang berasal dari Rakorbang dan usulan dinas untuk dana yang dibiayai APBD
Seharusnya, dokumen perencanaan tahunan diturunkan dari dokumen perencanaan jangka menengah. Namun semua
dokumen perencanaan jangka menengah di masing-masing daerah masih bersifat umum sekali. Artinya, tidak ada
arah yang cukup jelas untuk perencanaan tahunan. Apalagi di beberapa daerah ada banjir dokumen, sampai
pemerintahnya sendiri bingung bagaimana cara menerjemahkan dokumen ini pada perencanaan tahunan. Program
yang dicantumkan dalam dokumen jangka menengah tidak menjelaskan prioritas pembangunan ke depan dan juga
tidak mengarahkan secara jelas ke outcome yang ingin dicapai pada waktu tertentu.
Seringkali perencanaan tahunan, Bappeda memulai dari nol untuk menentukan kegiatan. Biasanya, masukan utama
adalah usulan dari bawah (Musbangdes dan UDKP). Tetapi usulan kegiatan itu juga sama sekali tidak mempunyai
hubungan dengan prioritas pembangunan daerah yang ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).
Untuk mengatasi hal ini, studi ini akan mengemukakan rekomendasi khusus bagaimana banjir dokumen ini bisa
dihindari kedepan pada bab terkakhir. Kecenderungan lain yang menyebabkan terjadinya banjir dokumen adalah
daerah masih biasa mengikuti semua peraturan dari atas tanpa memperhatikan kebutuhannya sendiri.
Rata-rata RPTD yang terakomodasi dalam RPTK adalah 60%. Namun pada saat yang bersamaan usulan desa
cenderung meningkat tiap tahun. Peningkatan ini bisa disebabkan oleh dua hal yaitu: 1) meningkatnya ekspektasi
masyarakat terhadap program yang dilakukan secara partisipatif, atau 2) ketidakpastian diterimanya usulan yang
dibahas pada tingkat desa justru membuat masyarakat memperbanyak usulannya. Dua hal tersebut di atas diakibatkan
oleh kurangnya informasi mengenai plafon anggaran dan prioritas kegiatan yang dapat didanai oleh APBD. Hal ini
juga menyebabkan masyarakat tidak memiliki saringan yang memadai untuk mengurangi jumlah usulannya.
Forum Rakorbang di kabupaten tampaknya dapat mengakomodasi hasil UDKP. Namun dalam beberapa hal, Forum
Rakorbang justru memperbanyak usulan dengan usulan yang disampaikan dinas. Penyusutan jumlah usulan kegiatan
justru terjadi sangat drastis dalam Repetada. Usulan Rakorbang yang terakomodasi dalam Repetada rata-rata sebesar
30%. Yang menarik adalah sebagai akibat terputusnya proses perencanaan dengan proses penganggaran masih terjadi pengurangan
kegiatan yang diusulkan dalam Repetada meskipun Repetada dengan kegiatan yang disahkan untuk didanai APBD (ini menarik
Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.
Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.
Masalah yang berkaitan dengan informasi. Tidak adanya informasi yang memadai mengenai prioritas dan
perkiraan alokasi anggaran untuk pembangunan pada tahun perencanaan menyebabkan meningkatnya usulan
kegiatan yang diajukan pada tingkat perencanaan partisipatif (Musbangdes UDKP Rakorbang).
Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.
o
o
o
o
o
o
o
o
Komitmen pejabat Pejabat berwenang banyak yang tidak hadir dalam proses-proses penting RENGGANG.
Ini menyebabkan informasi penting tidak sampai ke masyarakat. Selain itu banyak keputusan yang diambil
dalam forum musyawarah tidak sampai ke pejabat yang berwenang.
Metode Konversi. Kurang mendalamnya diskusi dan verifikasi antara masyarakat (yang mengajukan usulan) dan
orang-orang yang memiliki kompetensi dalam bidang yang bersangkutan.
Format yang digunakan Tidak ada format dan sistem informasi yang baik mengenai proses konversi usulan
dari wilayah ke sektor yang telah menyebabkan sulitnya menelusuri sejauhmana usulan wilayah terakomodasi
dalam usulan sektor. Hal ini juga menyebabkan akuntabilitas perencanaan partisipatif menjadi rendah.
Proses RENGGANG belum terdokumentasi dengan baik, ini terbukti dari kurangnya data produk
RENGGANG. Dalam beberapa hal data juga dapat diinterpretasikan secara berbeda bahkan oleh para pelaku
sendiri.
Alur proses RENGGANG. Masih terjadi dualisme antara proses perencanaan yang melibatkan masyarakatdengan proses penganggaran yang sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintah (dinas dan panggar
eksekutif)-. Ini menyebabkan usulan yang disepakati dalam proses perencanaan banyak yang tereduksi di proses
penganggaran.
Alur/proses perencanaan ke penganggaran terutama perencanaan partisipatif- sangat panjang. Dalam hal
proses perencanaan seperti terpisah dengan proses penganggaran, karena pada proses penganggaran masih ada
kegiatan yang harus diverifikasi.
Waktu Sekuens penyusunan dokumen RENGGANG belum konsisten.
Representasi dan control masyarakat. Pendekatan struktural dominan untuk menentukan keterwakilan. Unsurunsur fungsional (kelompok tani, nelayan) tidak terakmodir. Begitu juga LSM yang bergerak di tingkat
kecamatan dan kabupaten kurang dilibatkan. Kontrol masyarakat dalam proses pembahasan di panggar
eksekutif tidak ada sama sekali.
Kapasitas Fasilitator dan partisipan tidak mampu membedakan program yang relevan untuk diajukan ke
tingkat kabupaten. Banyak usulan merupakan persoalan yang dapat diselesaikan secara internal (swadaya).
3. REKOMENDASI
Untuk meningkatkan efisiensi dan efektiftias proses RENGGANG daerah, selain memperbaiki proses
perencananaan dan penganggaran juga perlu memperbaiki hal-hal yang mendukung proses itu sendiri. Hal ini
disebabkan factor pendukung tersebut mempunyai pengaruh yang besar atas inefisiensi dan inefektifitas proses
RENGGANG. Beberapa masalah yang berkaitan dengan faktor pendukung proses RENGGANG adalah:
3.1. Masalah Umum Pemerintahan
3.1.1. Masalah Kelembagaan
Ada beberapa institusi yang terlibat dalam proses RENGGANG, yaitu: Bappeda, Bagian Penyusunan Program, dan
Bagian Keuangan. Interaksi antara tiga lembaga ini sangat krusial terhadap effisiensi, effektifitas, transparansi dan
akuntabilitas proses RENGGANG. Terpisahnya Bagian Penyusunan Program dan Bagian Keuangan adalah
akibat dari sistem penganggaran lama, yang membagi dokumen anggaran ke dalam dua kategori yaitu
anggaran rutin dan anggaran pembangunan yang memiliki mekanisme penyusunan yang berbeda.
Dengan adanya KepMen 29/2002 maka hanya ada satu dokumen anggaran. Dokumen dan mekanismenya
menunjukkan bahwa KepMen 29/2002 menganut sistem unified budget. Sebagai konsekwensinya, maka dua
bagian tersebut juga sebaiknya dijadikan satu. Kalau tidak, maka akan tetap terjadi dualisme (overlapping) dalam
RENGGANG.
Rekomendasi: Harus ada restrukturisasi organisasi perangkat daerah untuk mengatasi dualisme/ overlapping, tugas dan
tanggung jawab dibidang RENGGANG dengan menyatukan Bagian Penyusunan Program dan Bagian Keuangan
dan sebaiknya juga Bappeda.
3.1.2. Transparansi Anggaran
Analisis terhadap keuangan daerah menunjukkan bahwa selain dana APBD II, ada dana dari pemerintah Propinsi
dan Nasional (APBD I, Dana Dekonsentrasi dsb.) yang cukup besar. Dana tersebut tidak didokumentasi atau
Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.
10
dikelola oleh satu lembaga, tetapi langsung turun ke masing-masing sektor. Kriteria untuk mendapat dana tersebut
tidak jelas dan hubungan antara dana itu dengan perencanaan daerah kurang transparan. Jadi, akuntabilitas dan
transparansi tentang dana non-APBD belum ada sama sekali.
Rekomendasi: Harus ada sistem yang mengatur pengelolaan dana non-APBD II secara transparan, dan hubungan
dengan perencanaan daerah harus menjadi langsung supaya dana yang begitu besar dapat dierencanakan sesuai
dengan sistem dan siklus RENGGANG daerah. Sebaiknya jalur dan jumlah dana non-APBD II ditetapkan dalam
produk hukum, misalnya PERDA.
3.1.3. Dana Alokasi Desa
Jumlah usulan dari desa yang diakomodir dalam APBD masih sangat kecil. Untuk itu fungsi Musrenbang (istilah yang
baru untuk Musbangdes sesuai dengan SE bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Bappenas dan Menteri Negara Dalam Negeri No. 2354/M.PPN/03/204.050/744/SJ tentang Pedoman Pelaksanaan
Forum Musrenbang dan Perencanaan Partisipatif Daerah) harus diperluas.
Dalam Musrenbang, harus ditetapkan kegiatan yang bisa dilaksanakan secara swadaya. Dengan meningkatkan dana
alokasi desa secara signifikan, maka masyarakat desa diharapkan mampu melaksanakan banyak kegiatan secara
swadaya. Peningkatan dana alokasi desa diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan effektifitas. Ini disebabkan desa
dapat melaksanakan kegiatan pembangunan infrakstruktur kecil dengan anggaran lebih rendah karena pengelolaan
keuangan langsung di desa. Dengan demikian maka proses perencanaan di tingkat kabupaten hanya membahas
kegiatan yang benar-benar memerlukan keterlibatan keahlian dinas/instansi teknis dan dana yang besar.
Rekomendasi: Dana alokasi desa perlu ditingkatkan secara signifikan dengan prasyarat yang cukup jelas serta insentif
dan sanksi yang jelas. Artinya, dalam penetapan jumlah dana alokasi desa selain memperhatikan data pokok misalnya
jumlah penduduk atau luas wilayah- harus juga diperhatikan aspek kinerja.
3.1.4. Monitoring dan Evaluasi Partisipatif
Masyarakat perlu dilibatkan dalam proses monitoring dan evaluasi. Walaupun sudah ada evaluasi kinerja di tingkat
dinas/kabupaten dalam bentuk dokumen LAKIP, sampai sekarang belum ada mekanisme yang menjelaskan tentang
umpan balik dari masyarakat tentang kualitas proyek, nilai, dan kepuasan masyarakat desa terhadap kegiatan yang
telah dilaksanakan di desa. Sampai saat ini, pada awal tahun tidak pernah ada informasi mengenai kegiatan yang akan
dilaksanakan di salah satu daerah. Hal ini membuat masyarakat tidak mengetahui rencana pembangunan di desanya
dan tidak menimbulkan rasa memiliki terhadap program dan proyek yang berjalan. Masyarakat juga tidak bisa
melakukan fungsi kontrol terhadap kegiatan pembangunan.
Rekomendasi: Perlu ada daftar proyek/kegiatan yang dibagi pada awal tahun kepada setiap desa. Daftar itu nanti
menjadi dasar untuk menilai hasil proyek/program pada kegiatan Musrenbang tahun berikutnya. Setiap sektor
mendapat hasil penilaian itu dan melaksanakan evaluasi sektoral. Input dari masyarakat desa harus masuk dokumen
LAKIP. Partisipasi ini perlu dijamin dalam produk hukum daerah yang menjelaskan alur evaluasi masyarakat desa,
supaya monitoring dan evaluasi partisipatif juga bermanfaat.
3.1.5. Kualitas Data
Salah satu kesimpulan dari analisis terhadap dokumen RENGGANG adalah bahwa kualitas data mulai dari tingkat
desa sampai tingkat kabupaten masih rendah. Walaupun jumlah data sudah banyak, metode pengumpulan data dan
pengelolaannya, misalnya update data, belum ada. Kondisi ini telah menghilangkan akuntabilitas kegiatan dan ukuran
kinerja pemerintah.
Untuk menilai kinerja pemerintah, harus ada data yang berkualitas. Perkembangan pembangunan tidak dapat diukur
kalau data pokok pada awal kegiatan tidak ditetapkan. Sampai sekarang, indikator yang tertuang dalam beberapa
dokumen RENGGANG tidak dapat diukur dengan jelas. Kalaupun sudah ada indikator, outcome dari salah satu
program/kegiatan seringkali tidak jelas. Artinya, belum ada database yang cukup berkualitas sebagai dasar
pengukuran kinerja dan tujuan yang ingin dicapai.
Sedangkan menurut KepMen 29/2002, setiap kegiatan yang dianggarkan harus dapat diukur sampai tingkat
impact/dampak. Kelemahan tersebut mempersulit pelaksanaan anggaran kinerja secara murni.
Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.
11
Rekomendasi: Pemerintah daerah harus mengembangkan sistem pengumpulan dan pengelolaan data yang menjadi
dasar untuk mengukur kinerja pemerintahannya dengan sungguh-sungguh. Untuk itu perlu ada komitmen dan
kesepakatan antara pihak eksekutif dan legislatif.
3.2. Perencanaan dan Penganggaran Jangka Menengah Daerah
Beberapa hal pokok yang perlu dilakukan agar RENGGANG daerah efektif dan efisien adalah:
o Renstra Daerah dan MTEF (Midterm Expenditure Framework/Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah) harus
menjadi satu dokumen dengan masa berlaku 3 tahun (agar kepada kepala daerah dapat memperbaikinya)
o Dokumen perencanaan jangka menengah daerah yang lain - selain Renstra dan MTEF- hilang (misalnya: Poldas
dan Propeda)
o Produk hukum perencanaan jangka menengah harus disusun secara partisipatif, dengan melibatkan stakeholder
yang mewakili kepentingan masyarakat desa dan sektoral
o Perencanaan pembangunan dari bawah di tingkat UDKP harus diterjemahkan ke kategori sektoral. Masukan ini
merupakan dasar untuk membahas kepentingan masyarakat untuk tiga tahun ke depan. Di tingkat sektoral ada
kelompok fungsional yang mewakili kepentingan masyarakat misalnya organisasi petani/nelayan tingkat
kabupaten- atau kelompok yang memiliki kompetensi dalam bidangnya untuk skala kabupaten (LSM atau PT).
o Ada tim khusus (Tim Tehnis) dibawah Sekda yang memfasilitasi seluruh proses penyusunan dokumen
perencanaan jangka menengah, yang terdiri dari staf Bappeda, staf Dispenda, staf Bagian Keuangan dan staf
Kantor Statistik Tim ahli (PT dsb.) perlu dilibatkan dari awal dalam proses penyusunan Renstra/MTEF
o Perlu ada musyawarah yang memberikan wahana bagi masing-masing stakeholder untuk mempresentasikan
kepentingannya sebelum draf awal
o Dengan menentukan MTEF, sudah ada plafon sektoral tentatif yang dapat dijadikan pedoman untuk
perencanaan pembangunan dari bawah
o Ada konsolidasi berulang-ulang dengan stakeholder di tingkat kabupaten pada waktu menyusun draft yang
dikoordinasi oleh tim tehnis
o Draf akhir Renstra Daerah/MTEF diumumkan di media local
o Ada komponen monitoring dan evaluasi partisipatif dari bawah dan dari sektor tentang pencapaian program
jangka menengah sebelumnya
o Kontribusi terhadap penanggulangan kemiskinan harus kelihatan di setiap sektor
o Kalender anggaran untuk semua pihak terkait harus lebih jelas dan harus ada kepastian bahwa siklus anggaran
dapat diikuti sesuai dengan peraturan
o Renstra/MTEF dapat dijabarkan ke dalam Renstra dinas dengan mudah. Hal ini dapat meningkatkan
konsistensi prioritas pembangunan
RPJM merupakan dasar bagi RENGGANG tahunan. Karena itu dokumen RPJM daerah harus dapat
dioperasionalkan dalam RENGGANG tahunan. RPJM Daerah dapat berupa Rencana Strategis (berdasarkan PP
108/2000) maupun MTEF (berdasarkan UU No. 17/2003). Untuk menghilangkan dualisme dokumen perencanaan,
maka Renstra sebaiknya disertai oleh MTEF, atau bisa juga dibuat dalam satu dokumen.
Renstra yang disertai dengan MTEF bertujuan untuk:
o Meningkatkan disiplin anggaran. MTEF dapat menunjukkan kaitan antara perencanaan dengan kemampuan
daerah untuk membiayai pembangunan daerah (penganggaran) selama 3 tahun, dengan melihat struktur
penerimaan dan kecenderungan yang terjadi selama 3 tahun ke depan baik yang bersifat statis atau dinamis.
o Alokasi inter dan intrasektor lebih mudah. Tugas yang berbeda dari sektor dapat terintegrasi melalui MTEF
dengan melihat dukungan akumulatif dari berbagai bidang terhadap peningkatan pengurangan kemiskinan dan
pembangunan wilayah secara keseluruhan.
o Meramalkan anggaran dinas/badan/unit/sektor. Berdasarkan kemampuan keuangan daerah (pendapatan asli
daerah dan dana perimbangan) setiap dinas/badan/ unit/sektor dapat merencanakan anggaran untuk kurun
waktu tiga tahun dan secara konsisten menjalankannya. MTEF selain menampilkan anggaran indikatif juga tolok
ukur kinerja untuk kurun waktu tahunan dan tiga tahunan.
o Belanja publik lebih efisien. Dalam kurun waktu tiga tahun belanja publik akan lebih terfokus karena anggaran
indikatif telah ditetapkan. Konsistensi anggaran dapat terjamin karena dalam kurun waktu tiga tahun diharapkan
tidak terjadi perubahan yang drastis baik mengenai alokasi, fokus dan strategi pencapaiannya. MTEF juga secara
langsung dapat dikaitkan dengan Strategi Pengurangan Kemiskinan Daerah (SPKD) yang mengakomodasikan
prioritas pengurangan kemiskinan yang tertuang dalam Strategi Pengurangan Kemiskinan Nasional (SPKN).
Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.
12
o
o
Akuntabilitas anggaran meningkat melalui proses pembuatan kebijakan yang lebih absah. Penyusunan Renstra
disertai MTEF memerlukan suatu proses yang lebih berbobot dilihat dari sisi masukan - konversi output.
Tahapan-tahapan RENGGANG partisipatif dapat lebih meningkatkan kredibilitas pengambilan keputusan di
bidang anggaran daerah.
o
o
o
Kebijakan umum (draft AKU) sudah ada dalam bentuk Renstra/MTEF yang menjelaskan prioritas
pembangunan per tahun penganggaran. Ini juga berarti hanya ada satu dokumen perencanaan tahunan, yaitu:
AKU. Dengan adanya draft AKU maka perencanaan di tingkat desa dan kecamatan menjadi lebih terfokus. Ini
juga sesuai dengan SE bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan
Menteri Negara Dalam Negeri No. 2354/M.PPN/03/204.050/744/SJ tentang Pedoman Pelaksanaan Forum
Musrenbang dan Perencanaan Partisipatif Daerah. Supaya AKU dapat menjadi dokumen perencanaan tahunan
yang mengganti Repetada, AKU perlu cukup detail sampai indikasi program dan target pencapaian. Selain itu,
juga harus ada indikator penilaian kegiatan yang langsung terkait dengan LPJ Bupati
Ada satu tim permanen yang memfasilitasi seluruh proses RENGGANG dibawah Sekda
Musrenbang juga mempunyai fungsi sebagai ruang monitoring dan evaluasi secara partisipatif bagi kegiatan yang
dilaksanakan di desa pada tahun sebelumnya dan kegiatan yang pernah direncanakan tapi tidak pernah
direalisasikan dan dinilai oleh masyarakat
Musrenbang membahas tentang kegiatan yang bisa dilaksanakan secara swadaya berdasarkan dana alokasi desa
Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.
13
o
o
o
o
yang harus ditingkatkan secara signifikan dan usulan yang diajukan ke pemerintah daerah.
Fungsi UDKP agak berbeda, yaitu usulan dari desa akan diterjemahkan ke kategori sektoral dengan
memperbaiki usulan dari segi substansi dan bahasa. UDKP menjadi forum yang lebih intensif melakukan
pertemuan, mislanya lebih dari sekali setahun yang terjadi sekarang. Dalam pertemuan UDKP juga perlu
dibahas wakil desa/kecamatan dalam pertemuan sektoral di tingkat kabupaten. Setelah Musrenbang Kabupaten
telah dilaksanakan, forum UDKP bertemu lagi untuk mengevaluasi kegiatan tersebut. Setelah APBD disahkan,
forum UDKP mengevaluasi kegiatan yang mana pada akhirnya diakomodir dalam APBD (kegiatan sektoral
diterjemahkan kembali ke kegiatan dari desa).
Prioritas dicross-check lagi apakah sesuai dengan yang di tingkat lebih atas
Forum Rakorbang diganti ke forum sektoral. Langsung kelompok fungsional bersama dengan sektor dan wakil
dari kecamatan membahas bersama tentang kegiatan yang mau dianggarkan. Forum sektoral ini lebih
memungkinkan terjadinya diskusi yang intensif antara kepentingan masyarakat desa dengan kepentingan sektor
Stakeholder yang dipilih sebagai wakil dari masyarakat dalam salah satu forum sektoral terlibat dalam diskusi
RASK di tingkat Panggar Eksekutif
AKU yang disusun oleh tim permanen diumumkan di media lokal. Renstra/MTEF merupakan rujukan utama
untuk menyusun RENGGANG tahunan. Renstra/MTEF juga dijadikan rujukan bagi dinas untuk menyusun
Renstra Dinas dan Rencana Tahunan Dinas.
Dalam RENGGANG tahunan, Renstra/MTEF yang memuat plafon anggaran per-wilayah dan per-dinas/sektor
dapat dianggap sebagai Draft AKU untuk RENGGANG tahun bersangkutan. AKU merupakan formulasi kebijakan
anggaran (budget policy formulation). Sesuai dengan Kepmen 29/2002 maka AKU ditetapkan oleh Pemerintah dan
DPRD dalam bentuk nota kesepakatan bersama
dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat dan dokumen perencanaan lainnya.
Draft AKU (Renstra/MTEF tahun bersangkutan) harus disampaikan dalam forum Musrenbang, UDKP, dan forumforum sektoral. Informasi mengenai draft AKU berguna untuk:
1. Mendapatkan umpan-balik/masukan untuk pembahasan dan penetapan AKU
2. Mengorientasikan masyarakat agar mengajukan usulan program sesuai dengan prioritas pembangunan daerah
3. Dengan mengetahui plafon anggaran maka harapan yang berlebihan terhadap program pemerintah dapat dikurangi
(sebagai filter usulan).
Agar ada rasa kepemilikan terhadap RPTD dan RPTK serta untuk mengurangi usulan yang sebenarnya dapat
didanai/dikelola sendiri maka perlu difikirkan alokasi anggaran yang dikelola oleh pemerintah di tingkat desa dan di
tingkat kecamatan. Dengan alokasi anggaran ini maka usulan yang diajukan dalam forum Musrenbang dan forum
UDKP adalah betul-betul usulan yang skala program, pendanaan, dan pelaksanaannya menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah.
Hasil UDKP selanjutnya dikategorisasikan berdasarkan dinas-dinas/sektor-sektor pemerintah yang sebelumnya
dinas telah merancang Renstra dan rencana tahunan dinas. Hasil perencanaan di tingkat spasial (komunitas) dan
perencanaan dinas/sektoral selanjutnya diintegrasikan dalam forum-forum sektoral (misalnya Forum Perencanaan
Pembangunan Perikanan dan Kelautan). Forum tersebut selain dihadiri oleh delegasi perwakilan spasial dan
perwakilan dinas/sektor juga dihadiri oleh stakeholder lain, misalnya: organisasi nelayan, pengusaha perikanan,
profesional di bidang pengelolaan sumber daya pesisir, Perguruan Tinggi, atau LSM yang memiliki kompetensi di
bidang/sektor tersebut.
Dengan demikian, selain mengintegrasikan usulan spasial dengan usulan sektoral, forum ini juga mendapatkan
masukan lain (terutama dari stakeholder yang kompeten) sehingga kualitas perencanaan meningkat. Agar hasil
perencanaan transparan dan akuntabel maka harus ada sistem data yang dapat melacak proses konversi dari wilayah
ke sektor atau sebaliknya. Selain itu, karena forum sektoral dihadiri oleh pihak yang berkompeten maka forum dapat
merumuskan tolok ukur output dan outcome yang ingin dicapai sebagai landasan bagi usulan program.
Forum sektoral juga dapat merekomendasikan dari mana program dapat didanai (APBD II, APBD I, DAK, atau
Dana Dekonsentrasi). Hasil pembahasan forum-forum sektoral yang memuat tolok ukur output/outcome dan program
yang diusulkan berdasarkan output/outcome yang ingin dicapai- selanjutnya menjadi dasar bagi penyusunan AKU
APBD. Dengan masukan yang lengkap output/outcome, program, dan kegiatan di tingkat desa dan sektoral- maka
Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.
14
pemerintah dan DPRD diharapkan tidak akan terlalu lama membahas AKU.
Setelah AKU ditetapkan, dengan berdasarkan pada estimasi ketersediaan dana pada tahun anggaran bersangkutan,
disusun strategi, prioritas, dan plafon anggaran. Dalam proses ini komunikasi dengan sektor dan delegasi masyarakat
dan stakeholder lain perlu terus dilakukan. Komunikasi dan kesepatakan baru dengan stakeholder perlu dibuat
manakala terjadi perubahan program/kegiatan karena keterbatasan dana. AKU, Strategi dan Prioritas, dan Plafon
merupakan dasar bagi penyusunan RASK. Agar proses perencanaan partisipatif langsung terhubung dengan
penganggaran maka perwakilan warga dari forum sektoral harus dilibatkan dalam pembahasan atau setidak-tidaknya
dikomunikasikan, terutama jika ada perubahan kegiatan antara rencana yang telah disepakati dalam forum sektoral
dengan rencana yang terdapat dalam RASK.
Kompilasi RASK merupakan dasar bagi RAPBD yang akan dibahas dengan dewan. Untuk menjamin transparansi
pengambilan keputusan (terutama perilaku dan keputusan fraksi-fraksi di DPRD) pemerintah sebaiknya
mengumumkan secara terbuka proses pembahasan RAPBD di DPRD. Pemerintah/DPRD juga dapat mengundang
delegasi masyarakat dan forum sektoral untuk menghadiri pembahasan RAPBD. Kehadiran masyarakat, disamping
dapat menjamin transparansi dan akuntabilitas dewan, juga secara psikologis dapat mendorong dewan untuk
mengeluarkan kebijakan yang lebih populer. Meskipun dalam pembahasan APBD masyarakat tidak memiliki hak
bicara dan hak suara, tetapi masyarakat dapat memutuskan untuk memilih kembali atau menghukum anggota
dewan/fraksi yang tidak memihak kepadanya.
Setelah APBD ditetapkan, agar pelaksanaan kegiatan sesuai dengan tujuan program dan besaran anggaran maka
daerah perlu menyusun rencana implementasi dan SOP (Standard Operating Procedure) yang harus diketahui oleh
masyarakat. Informasi yang perlu diketahui masyarakat terutama adalah:
1. Pengumuman program yang akan didanai oleh APBD II kepada forum sektoral, dan forum desa. Program yang
diumukan meliputi program spatial dan sektoral
2. Pengumuman program yang akan dilakukan oleh pihak ketiga (swasta, LSM, atau masyarakat) secara terbuka
3. Pengumuman mekanisme tender bagi program yang akan dilaksanakan melalui tender
4. Pengumuman mengenai mekanisme pengaduan keluhan terhadap program-program yang dilaksanakan
Salah satu komponen penting dari rekomendasi perencanaan tahunan daerah yang nampaknya banyak diabaikan oleh
pemerintah daerah adalah perlu adanya umpan balik terhadap perencanaan dan pelaksanaan program tahunan.
Umpan balik disamping menilai pelaksanaan program juga harus menilai kualitas dan manfaat program dari sisi
masyarakat. Untuk itu pemerintah perlu melakukan survey kepuasan masyarakat terhadap program-program
yang dilaksanakan Selanjutnya hasil monitoring dan evaluasi yang menyerap aspirasi masyarakat dapat dijadikan
input bagi proses penyusunan AKU, Proses Musrenbang, UDKP, forum-forum sektoral, dan Renstra/MTEF.
Dengan menjalankan rekomendasi untuk perencanaan lima tahunan dan tahunan diharapkan RENGGANG menjadi
lebih efektif dan efisien. Tetapi rekomendasi yang diajukan tidak mudah untuk dilaksanakan. Rekomendasi hanya
akan dapat terlaksana apabila daerah dapat memenuhi kondisi perlu (necessary condition) sebagai berikut:
o Semua pihak yang terlibat dalam proses RENGGANG terutama aparatur daerah, bupati, dan DPRD memiliki
kemauan politik yang kuat untuk menjadikan proses penganggaran lebih effektif dan efisien.
o Fungsi RENGGANG terintegrasi dalam suatu wadah yaitu Badan RENGGANG Daerah dengan tugas yang
lebih bersifat permanen. Atau jika tetap terpisah maka fungsi perencanaan dan pengaanggaran terkoordinasi
dengan baik. Tugas Panggar sifatnya ad hoc karena hanya bekerja setahun sekali ketika menilai RASK dari
badan/kantor/dinas/sektor. Formula yang demikian sejalan dengan usulan pengembangan formula Renstra yang
disertai MTEF demi tercapainya akuntabilitas anggaran melalui proses pengambilan kebijakan yang lebih absah.
o Masyarakat diberi ruang yang lebih luas untuk berpartisipasi dalam proses penganggaran -selama ini masyarakat
hanya terlibat dalam proses perencanaan-. Untuk menjamin independensi masyarakat dalam proses
RENGGANG, maka sebaiknya anggota masyarakat sendiri yang memilih wakilnya untuk perencanaan di tingkat
yang lebih tinggi (delegasi forum UDKP, delegasi forum sektoral, pembahasan RASK). Bukan ditetapkan
berdasarkan posisi secara struktural.
o Semua pihak sepakat bahwa dalam kerangka membangun pemerintahan yang baik, maka transparansi dan
konsistensi dalam RENGGANG merupakan kebutuhan yang mendasar.
Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.
15
Daftar Pustaka
Astia Rendi dan Arif Roeman. 2005. Mengembangkan Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif di Daerah: Pengalaman dan
Perspektif GTZ PROMIS-NTT, Denpasar.
Kamelus, D., Suhirman, dan J. Ludwig. (2004). Efektifitas dan Efesiensi Proses Perencanaan Dan Penganggaran Daerah.
Laporan Studi. PROMIS-NT. Denpasar.
Munir, B. 2002. Perencanaan Pembangunan Daerah Dalam Perspektif Otonomi Daerah. Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Propinsi NTB dan GTZ. Mataram.
Pemerintah Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara
Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional
Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan Daerah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan dalam pelaksanaan Dekosentrasi dan Tugas Pembantuan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8, Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah,
2003
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 84, Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.
Jakarta 2000.
Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan
Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan
APBD
Rasul, Sjahruddin. 2003. Pengintegrasian Sistem Akuntabilitas dan Anggaran Kinerja dalam Perspektif UU no. 17/ 2003
tentang Keuangan Negara-Problem dan Solusi System Penganggaran di Indonesia. Perum Percetakan Negara Republik
Indonesia. Jakarta
Riyadi, D.S. Bratakusumah. 2003. Perencanaan Pembangunan Daerah: Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi
Daerah. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Paper ini dipresentasikan pada Lokakarya Penyusunan Desain dan Pelaksanaan PPA (Participatory Poverty Assessment) di Kota Kupang oleh PIAR
NTT, September 2005.
16