Jtptunimus GDL Muhammadah 6632 3 Babii
Jtptunimus GDL Muhammadah 6632 3 Babii
LANDASAN TEORI
A. Tuberkulosis Paru
1. Pengertian Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium tuberculosis), sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Manaf,
Abdul, dkk, 2006). Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang
berbahaya. Setiap penderita tuberkulosis dapat menularkan penyakitnya pada
orang lain yang berada disekelilingnya dan atau yang berhubungan erat
dengan penderita (Amiruddin, Jaorana, dkk:2009). TB atau TBC adalah
penyakit menular disebabkan oleh kuman tuberkulosis (Mycobacterium
Tuberculosis). Umumnya menyerang paru, tetapi bisa juga menyerang bagian
tubuh lainnya seperti kelenjar getah bening, selaput otak, kulit, tulang dan
persendian, usus, ginjal dan organ tubuh lainnya (PPTI, 2010). Penelitian lain
menurut Smeltzer dan Bare (2001) menyatakan bahwa Tuberkulosis adalah
penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru. Tuberculosis
dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, termasuk meninges, ginjal,
tulang, dan nodus limfe. Agens infeksius utama mycobacterium tuberculosis,
adalah batang aerobic tahan asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitif,
terhadap panas dan sinar ultraviolet.
Orang yang terkena tuberkulosis merupakan sumber stres biologis,
karena orang yang terkena tuberkulosis akan berdampak pada psikologisnya
khususnya pada saat di diagnosis BTA (+).
2. Penyebab Tuberkulosis
Penyebab Tuberkulosis adalah Micobacterium tuberculosae, sejenis
kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/Um dan tebal 0,36
bersama pasien TB menular dalam waktu yang lama, seperti tinggal serumah,
dipenjara, rumah sakit, dan ditempat-tempat pengungsian. Berperilaku hidup
tidak sehat, seperti meludah disembarang tempat. rumah dan lingkungan tidak
sehat, seperti tidak ada ventilasi rumah (Amiruddin, Jaorana, 2009).
Menurut Manaf, Abdul, dkk, 2006 cara penularan TB meliputi:
a) Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
b) Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak.
c) Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan
dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan
lembab.
d) Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
e) Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
tahan tubuh yang tinggi, 25% menjadi kasus kronis yang menular (Manaf,
Abdul, dkk, 2006).
Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam
atau malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali
dalam pemeriksaan kesehatan (Azril Bahar, 2001), yakni:
a. Demam
Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat
timbul kembali. Kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-41C.
keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat
ringannya infeksi kuman TB yang masuk.
b. Batuk/Batuk darah
Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada
bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang
keluar. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian
setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum).
Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh
darah yang pecah.
c. Sesak napas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas.
Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
d. Nyeri dada
Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga
menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien
menarik/melepaskan napasnya.
e. Malaise
Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise
sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin
kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat
10
malam. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang
timbul secara tidak teratur.
f. Pemeriksaan labratorium
Diagnosis pasti tuberkulosis ditegakkan terutama dengan dilakukan
pemeriksaan dahak. Seseorang dipastikan TB jika di dalam pemeriksaan
mikroskopis, dahaknya mengandung kuman TB. Kriteria sputum BTA (+)
adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA (+)
pada satu sediaan. Bila hasil pemeriksaan dahak kurang mendukung,
sedangkan gejalanya mengarah ke TB, dokter mungkin akan memerlukan
pemeriksaan tambahan yaitu pemeriksaan dengan sinar Rotgen (Ro). Pada
pemeriksaan dengan sinar Rotgen lokasi lesi tuberkulosis umumnya
didaerah apeks paru (Azril Bahar, 2001).
5. Pengobatan Tuberkulosis
Waktu pengobatan pasien TB paru baru dibagi menjadi 2 tahap yaitu:
tahap intensif/tahap awal (2-4 bulan) obat anti tuberkulosa (OAT) diberikan
setiap hari dengan pengawasan untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
Tahap berikutnya yaitu tahap lanjutan, merupakan tahap setelah tahap intensif
dengan cara minum obat OAT 3 kali seminggu selama 4 bulan.
Lama pengobatan pasien TB yang sebelumnya sudah pernah diobati
sebelumnya, sekitar 8-9 bulan. Pada tahap awal, pasien minum OAT setiap
hari selama 3-4 bulan. Pada tahap lanjutan, pasien minum obat 3 kali
seminggu selama 5 bulan (Amiruddin, Jaorana, 2009).
Pengobatan tuberkulosis paru diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap
awal dan tahap lanjutan. Pada tahap awal pasien mendapatkan obat setiap hari
dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.
Bila pengobatan tahap awal tersebut diberikan secara tepat biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu, sebagaian besar
pasien tuberkulosis BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
11
bulan. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap yang penting untuk membunuh
kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes, 2008)
Pada tahap intensif (awal). Penderita mendapatkan obat setiap hari dan
diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT,
terutama rifamisin. Bila pengobatan menjadi tidak menular dalam kurun
waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita tuberkulosis paru (basil tahan
asam) BTA positif menjadi (basil tahan asam) BTA negatif (konversi) pada
akhir pengobatan intensif. Sedangkan pada tahap lanjutan penderita
mendapatkan jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lama.
Tahap lanjutan ini penting untuk membunuh kuman persister (dormant)
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Tahap sisipan dilakukan apabila pada akhir tahap awal pengobatan
penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif
pengobatan ulang dengan kategori 2 hasil pemeriksaan dahak masih BTA
positif, maka diberikan obat sisipan (HRZE ) setiap hari selama 1 bulan
(Depkes RI, 2002).
Jenis obat yang digunakan dalam pemberantasan tuberkulosis paru
antara lain :
a. Isoniazid (H) dikenal dengan INH, bersifat bakteriasid dapat membunuh
90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan.
b. Rifamisin (R), bersifat bakteriasid dapat membunuh kuman semi dormant
(persisten) yang tidak dapat dibuluh oleh INH.
c. Pirasinamid (Z), bersifat bakteriasid dapat membunuh kuman yang berada
dalam sel suasana asam.
d. Streptomisin (S), bersifat bakteriasid.
e. Etambuthol (E), bersifat bakteriotatik. (Depkes, RI 2006)
12
6. Pencegahan Tuberkulosis
Berperilaku hidup bersih dan sehat dapat mengurangi angka kejadian
TB (PPTI, 2010) yakni:
13
7. Komplikasi Tuberkulosis
Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan komplikasi (Azril Bahar, 2001). Komplikasi dibagi atas
komplikasi dini (pleuritis, efusi pleura, laryngitis, menjalar ke organ lain
seperti usus) dan komplikasi lanjut (kerusakan parenkim berat, karsinoma
paru). Komplikasi psikologis juga dapat di timbulkan dari penyakit
tuberkulosis yakni bahwa setiap orang memiliki reaksi yang berbeda-beda
ketika dihadapkan dengan suatu penyakit, reaksi perilaku dan emosi tersebut
tergantung pada penyakit, sikap orang tersebut dalam menghadapi suatu
penyakit, reaksi orang lain terhadap penyakit yang dideritanya, dan lain-lain.
Penyakit dengan jangka waktu yang singkat dan tidak mengancam kehidupan
hanya sedikit menimbulkan sedikit perubahan perilaku dalam fungsi orang
tersebut dan keluarga, sedangkan penyakit berat seperti tuberkulosis paru
yang dapat mengancam kehidupan dapat menimbulkan perubahan emosi dan
14
perilaku yang lebih luas, seperti ansietas, syok, penolakan, marah, dan
menarik diri (Perry & Potter, 2005).
B. Mekanisme Koping
1. Pengertian Mekanisme Koping
Koping didefinisikan sebagai strategi untuk memanajemen tingkah
laku kepada pemecahan masalah yang paling sederhana dan realistis,
berfungsi untuk membebaskan diri dari masalah yang nyata maupun tidak
nyata, dan koping merupakan semua usaha secara kognitif dan perilaku untuk
mengatasi, mengurangi, dan tahan terhadap tuntutan-tuntutan Lazarus, 1984
dalam Safaria, Triantoro, 2009. Koping adalah proses yang dilalui oleh
individu dalam menyelesaikan situasi stresfull (Rasmun, 2004). Strategi
koping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk
menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau minimalisasikan suatu situasi atau
kejadian yang penuh tekanan.
Strategi koping merupakan suatu proses dimana individu berusaha
untuk menanggani dan menguasai situasi stres yang menekan akibat dari
masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif
maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya (Mutadin,
2002). Proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan situasi stres.
Koping tersebut merupakan respon individu terhadap situasi yang mengancam
dirinya baik fisik maupun psikologik (Rasmun, 2004). Secara alamiah baik
disadari ataupun tidak, individu sesungguhnya telah menggunakan strategi
koping dalam menghadapi stress. Strategi koping adalah cara yang dilakukan
untuk merubah lingkungan atau situasi atau menyelesaikan masalah yang
sedang dirasakan atau dihadapi. Koping diartikan sebagai usaha perubahan
kognitif dan prilaku secara konstan untuk menyelesaikan stress yang dihadapi.
Koping yang efektif menghasilkan adaptasi yang menetap yang
merupakan kebiasaan baru dan perbaikan dari situasi yang lama, sedangkan
15
koping yang tidak efektif berakhir dengan maladaptif yaitu prilaku yang
menyimpang dari keinginan normatif dan dapat merugikan diri sendiri
maupun orang lain dan lingkungan. Setiap individu dalam melakukan koping
tidak sendiri dan tidak hanya menggunakan satu strategi tetapi dapat
melakukannya bervariasi, hal ini tergantung dari kemampuan dan kondisi
individu (Rasmun, 2004).
Menurut Suryani & Widyasih (2008) secara garis besar mekanisme
koping terdiri dari mekanisme koping adaptif dan maladaptif:
a. Mekanisme koping adaptif
Penggunaan koping yang adaptif membantu individu dalam beradaptasi
untuk menghadapi keseimbangan. Adaptasi individu yang baik muncul
reaksi untuk menyelesaikan masalah dengan melibatkan proses kognitif,
efektif dan psikomotor (bicara dengan orang lain untuk mencari jalan
keluar suatu masalah, membuat berbagai tindakan dalam menangani
situasi dan belajar dari pengalaman masa lalu). Kegunaan koping adaptif
membuat individu akan mencapai keadaan yang seimbang antara tingkat
fungsi dalam memelihara dan memperkuat kesehatan fisik dan psikologi.
Kompromi merupakan tindakan adaptif yang dilakukan oleh individu
untuk menyelesaikan masalah, lazimnya kompromi dilakukan dengan cara
bermusyawarah atau negosiasi untuk menyelesaikan masalah yang sedang
dihadapi, secara umum kompromi dapat mengurangi ketegangan dan
masalah dapat diselesaikan. Mekanisme koping adaptif yang lain adalah
berbicara dengan orang lain tentang masalah yang sedang dihadapi,
mencoba mencari informasi lebih banyak tentang masalah yang sedang
dihadapi, berdoa, melakukan latihan fisik untuk mengurangi ketegangan
masalah, membuat berbagai alternatif tindakan untuk mengurangi situasi,
dan merasa yakin bahwa semua akan kembali stabil, mengambil pelajaran
dari peristiwa atau pengalaman masa lalu.
16
ini
individu
mendapat
kepuasan,
maka
individu
akan
pada
individu.
Perilaku
yang
dapat
dilakukan
adalah
17
18
19
20
21
22
e. Mekanisme koping
Tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stres, termasuk upaya
penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan
untuk melindungi diri.
f. Rentang respons koping
Suatu kisaran respons manusia yang adaptif ke maladaptif.
g. Aktivitas tahap penanganan
Kisaran fungsi keperawatan yang berhubungan dengan tujuan pengobatan,
pengkajian
keperawatan,
intervensi
keperawatan,
dan
hasil
yang
diharapkan.
Model adaptasi stres dibuat untuk beberapa tujuan. Pertama model
dapat menolong mengklarifikasi hubungan, membentuk hipotesis dan
memberi perspektif terhadap ide yang abstrak. Kedua, model juga
menyediakan struktur berpikir, observasi dan interpretasi terhadap apa yang
dilihat. Model keperawatan konseptual merupakan gambaran kerangka kerja
antara pasien dengan lingkungan dan status kesehatan serta aktifitas
keperawatan yang dilakukan (Stuart, 2001).
23
Penelitian lain yang dilakukan oleh Hery (2011) dengan judul Tingkat
kecemasan, dukungan sosial, dan mekanisme koping terhadap kelentinga keluarga
pada keluarga dengan TB Paru, menunjukkan bahwa keluarga dengan penderita
penyakit TB paru memiliki sanitasi yang baik dan sangat baik (73%), perilaku
hidup sehat yang baik (57%), tingkat kecemasan penderita relatif rendah-sedang
(65%), mekanisme koping kesehatan yang tinggi (60%), mekanisme koping yang
tinggi (49%), dukungan sosial yang sedang (84%), dan dukungan keluarga yang
tinggi (47%). Berdasarkan analisis korelasi menunjukkan adanya hubungan yang
bersifat negatif antara pendapatan keluarga dengan dukungan keluarga. Adanya
hubungan yang bersifat positif antara mekanisme koping kesehatan keluarga
(CHIP), mekanisme koping keluarga, tingkat kecemasan, dukungan sosial dengan
dukungan keluarga. Berdasarkan analisis regresi linier berganda diperoleh faktor
yang mempengaruhi dukungan keluarga yaitu : besar keluarga ( = -317, p =
0,003), tingkat kecemasan ( = 0,239, p = 027), dan mekanisme koping keluarga
( = 0,511, p = 0,000).
Amelia (2011) melakukan penelitian tentang hubungan tingkat stres
dengan strategi koping keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan
penyakit TB Paru yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
tingkat stres dengan strategi koping keluarga dalam merawat anggota keluarga
dengan penyakit TB Paru dan ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan
dengan strategi koping keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan
penyakit TB Paru.
24
E. Kerangka Teori
Komponen stres adaptasi :
1. Penilaian
terhadap
stresor
2. Sumber koping
3. Rentang
respons
koping
4. Aktivitas
tahap
penanganan
Strategi koping
1. Kesehatan fisik
2. Keyakinan atau
pandangan positif
3. Ketrampilan
memecahkan
masalah
4. Ketrampilan sosial
5. Dukungan sosial
6. Materi
Adaptif
Faktor Predisposisi
Faktor Prepitasi
Stress
Mekanisme koping
Maladaptif
Usia
Jenis kelamin
Tingkat pendidikan
Status perkawinan