Anda di halaman 1dari 17

PERBANDINGAN TIGA METODE YANG BERBEDA UNTUK DETEKSI

ESCHERICHIA COLI YANG MEMPRODUKSI-TOXIN SHIGA PADA


PUSAT PELAYANAN KESEHATAN ANAK TERSIER
Emilie Vallires, Maude Saint-Jean dan Fabien Rallu

Eschericia coli yang memproduksi-toksin Shiga (STEC) telah dikenal sebagai


agen penyebab gastroenteritis epidemik yang ditularkan melalui makanan.
Agen infeksius dalam jumlah yang sedikit saja, yaitu sekitar 10
mikroorganisme, telah cukup untuk menyebabkan penyakit yang dapat
menyebabkan sindrom hemolitik-uremik. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk membandingkan kualitas dari suatu pemeriksaan PCR dengan sistem
waktu-nyata (real-time) kepunyaan sendiri (in-house), suatu pemeriksaan
immunoassay enzim (EIA) komersial (Premier EHEC; Meridian Bioscience),
dan pemeriksaan kultur pada media agar MacConkey sorbitol untuk
mendeteksi STEC pada rumah sakit khusus anak yang merupakan pusat
pelayanan kesehatan (PPK) tersier. Dari 632 sampel feses yang diuji,
ditemukan 21 sampel yang positif mengandung STEC. Seluruhnya terdeteksi
dengan menggunakan PCR, 6 di antaranya terdeteksi dengan EIA, dan
hanya 5 isolat STEC O157 yang terdeteksi dengan kultur. Di antara 15
spesimen yang terdeteksi sebagai negatif palsu oleh EIA, ditemukan
beberapa jenis isolat STEC sebagai berikut: 9 Stx1, 2 Stx2, dan 4 Stx1 dan
Stx2. Kelompok yang terakhir meliputi 2 isolat STEC O157 yang hampir
saja luput dari pendeteksian jika hanya mengandalkan pemeriksaan EIA.
Sepanjang pengetahuan kami, studi ini merupakan penelitian prospektif
pertama yang dilakukan di suatu rumah sakit khusus anak yang
menunjukkan keunggulan pemeriksaan PCR dibandingkan dengan EIA
untuk mendeteksi STEC. Kami menyimpulkan bahwa PCR merupakan
pemeriksaan yang spesifik dan lebih sensitif daripada EIA. Pemeriksaan
PCR harus dipertimbangkan untuk digunakan sebagai pemeriksaan rutin
pada praktik klinis sehari-hari pada pusat-pusat kesehatan yang memiliki
fasilitas deteksi molekuler. Batas deteksi yang lebih rendah, yang sama

dengan dosis infeksius, merupakan keuntungan yang nyata untuk


penatalaksanaan pasien dan surveilens kesehatan masyarakat.

schericia coli yang memproduksi-toksin Shiga (STEC) telah dikenal


luas sebagai penyebab berbagai penyakit infeksi epidemik dan sporadik,
seperti gastroenteritis yang ditularkan melalui makanan, diare berdarah,

dan kolitis hemoragik. Infeksi ini dapat menyebabkan terjadinya sindrom


hemolitik-uremik (HUS) pada 5 hingga 15% kasus. Kondisi yang mengancam
jiwa ini, yang lebih sering terjadi pada anak-anak, terdiri atas anemia hemolitik
mikroangiopati, trombositopenia, dan gagal ginjal akut. Sampai saat ini, HUS
masih menjadi penyabab utama gagal ginjal akut pada pasien anak-anak.
Strain E.coli yang memproduksi-toksin Shiga dideteksi berdasarkan
ekspresi setidaknya salah satu jenis toksin Shiga, Stx1 dan Stx2, yang dikodekan
pada bakteriofag. Stx1 secara genetik dan strukturnya sama dengan toksin Shiga
yang diproduksi oleh Shigella dysenteriae strain serotype 1. Namun, sekuens
asam amino Stx2 hanya memiliki kemiripan sebesar 56% dengan sekuens asam
amino Stx1. Beberapa varian telah dideskripsikan untuk masing-masing jenis
toksin. Kedua toksin ini dibedakan satu sama lainnya oleh aktivitas biologis dan
patogenisitasnya. Isolat yang memproduksi Stx2, baik secara tunggal maupun
yang berkombinasi dengan Stx1, berkaitan dengan penyakit yang lebih berat dan
insidensi HUS yang lebih tinggi dibandingkan dengan isolat yang hanya
memproduksi Stx1. Secara spesifik, Stx2 dikenal sebagai salah satu varian yang
paling virulen. Selain itu, juga telah ditemukan beberapa faktor lain yang
mempengaruhi virulensinya, terutama gen intimin (eae) yang terletak pada suatu
pulau patogenisitas lokus enterocyte effacement (LEE) dan gen enterohemolisin
(ehxA).
Lebih dari 200 serotipe E.coli yang berbeda dapat memproduksi toksin
Shiga, dan di antaranya, terdapat setidaknya 150 serotipe yang bersifat pathogen
bagi manusia. Dalam literatur, strain STEC biasanya dikategorikan ke dalam
strain O157 dan non-O157. Kategorisasi ini dibuat terutama berdasarkan pada

beberapa faktor historik berikut ini: O157 merupakan serotype STEC yang
pertama kali ditemukan, merupakan serotype yang paling mudah untuk
diidentifikasi di laboratorium mikrobiologi, dan awalnya dianggap sebagai
serotype yang paling lazim ditemukan dan paling virulen dibandingkan dengan
serotipe-serotipe lainnya. Namun, beberapa penelitian dari berbagai belahan dunia
telah membuktikan bahwa serotype non-O157 juga sama-sama lazim ditemukan
seperti O157. Di Amerika Serikat, beberapa studi epidemiologi menunjukkan
bahwa E.coli O26, O103, dan O111 merupakan serotype non-O157 yang paling
banyak ditemukan. Beberapa penelitian sebelumnya juga telah menunjukkan
bahwa strain STEC non-O157 dapat menyebabkan penyakit yang sama beratnya
seperti strain STEC O157, dengan diare berdarah dan HUS, terutama jika strain
tersebut memproduksi Stx2. Terakhir, suatu wabah O104:H4 baru-baru ini terjadi
di Eropa, dimana wabah ini disebabkan oleh suatu strain E.coli enteroaggregatif
tipikal yang telah terjangkiti bakteriofag yang mengkodekan Stx. Hal ini
menunjukkan bahwa faktor-faktor virulensi STEC dikodekan dalam suatu elemen
yang bersifat mobile dan dapat menyebar ke berbagai jenis pathogen E.coli
diaregenik lainnya dan dengan demikian akan menjadi suatu ancaman bagi
kesehatan masyarakat.
Pada tahun 2007, FoodNet melakukan survey terhadap seluruh
laboratorium klinis jaringannya untuk mengetahui praktik-praktik pemeriksaan
diagnostik yang diterapkan di laboratorium-laboratorium tersebut untuk
mengidentifikasi STEC. Heofer dkk. melaporkan hasil sebagai berikut: hanya
11% laboratorium yang melakukan pemeriksaan immunoassay enzim (EIA) Stx
baik secara tunggal maupun dikombinasikan dengan kultur. Hal ini bahkan telah
termasuk dalam 5% perbaikan jika dibandingkan dengan tahun 2003. Hasil yang
sama diperoleh oleh Stigi dkk: pada tahun 2011, sekitar 65% laboratorium
mikrobiologi di Negara Bagian Washington membatasi identifikasi STEC pada
serotype O157. Laboratorium-laboratorium yang menguji strain non-O157
menggunakan EIA. Deteksi molekuler masih belum rutin digunakan dalam
praktik klinis sehari-hari, terutama karena belum ada pemeriksaan komersial yang
telah disetujui penggunaannya oleh FDA untuk mendiagnosis infeksi STEC pada
manusia.

Pada tahun 2009, CDC mempublikasikan panduan yang menetapkan


bahwa laboratorium klinis harus secara simultan melakukan pemeriksaan yang
dapat mendeteksi toksin Shiga secara langsung ataupun mendeteksi gen yang
mengkode toksin tersebut dan melakukan kultur selektif untuk STEC O157.
Dengan dilakukannya kedua teknik tersebut akan memungkinkan laboratorium
untuk mendeteksi baik isolat O157 maupun non-O157 dengan cepat. Metode ini
juga menjamin dilakukannya investigasi yang sesuai untuk kejadian wabah oleh
otoritas kesehatan masyarakat. Di Kanada, hukum negaranya mewajibkan
laboratorium untuk melaporkan seluruh kasus infeksi STEC dan bukan hanya
kasus-kasus yang disebabkan oleh isolat STEC O157 saja. Peraturan tersebut
menyebabkan laboratorium-laboratorium klinis harus mengimplementasikan
metode pemeriksaan yang memungkinkan surveilans ini dilakukan.
Dalam penelitian ini, kami mengevaluasi kualitas pemeriksaan PCR inhouse real-time dan kualitas pemerikssan EIA toksin EHEC Premier (Meridian
Bioscience Inc) pada laboratorium mikrobiologi klinis di pusat pelayanan
kesehatan tersier khusus anak. Kami juga membandingkan antara kualitas
pemeriksaan-pemeriksaan tersebut dengan kualitas pemeriksaan kultur dalam
media agar MacConkey sorbitol (SMAC), yang telah dilakukan rutin di rumah
sakit kami sebagai bagian dari pemeriksaan penunjang untuk mendeteksi
pathogen bakteri enterik.

BAHAN DAN METODE


Deskripsi Penelitian. Penelitian ini berlokasi di CHU Sainte-Justine (Montreal,
Kanada), suatu pusat pelayanan kesehatan ibu dan anak milik universitas dengan
484 tempat tidur dan rata-rata kunjungan IGD sebanyak 65.000 kunjungan setiap
tahunnya. Dari tanggal 1 Juni hingga 30 September 2009, sebanyak 632 sampel
feses yang didapatkan dari pasien anak-anak (berusia <18 tahun) dikirimkan ke
laboratorium mikrobiologi untuk mendeteksi pathogen enterik bakterial. Sampel
ditanam di dalam media SMAC untuk mendeteksi STEC O157. Selain itu, untuk
masing-masing sampel tersebut, sebanyak 200 l feses yang cair atau feses
sebesar-kacang diinokulasikan ke dalam 5 ml kaldu MacKonkey dan diinkubasi

pada suhu 35oC selama 15 hingga 24 jam. Kaldu tersebut kemudian diuji untuk
mengetahui ada atau tidaknya toksin Shiga dengan menggunakan pemeriksaan
EHEC Premier dan dengan menggunakan pemeriksaan PCR real-time untuk
mendeteksi gen stx1 dan stx2. Seluruh sampel yang positif dikirimkan ke
Laboratorium Kesehatan Masyarakat Provinsi Alberta (Edmonton, Alberta,
Kanada) untuk dikonfirmasi. Catatan klinis seluruh pasien yang positif kemudian
ditinjau ulang.

Kultur Konvensional. Seluruh sampel feses ditanam ke dalam agar darah


Columbia, agar enterik Hektoen, agar MacConkey, agar Skirrow, SMAC, dan agar
selektif Yersinia untuk mendeteksi Aeromonas sp., Campylobacter sp., STEC
O157, Plesiomonas sp., Salmonella sp., Shigella sp., dan Yersinia sp.,
sebagaimana yang direkomendasikan secara rutin. Untuk deteksi STEC O157,
feses yang ditanam di media SMAC diinkubasi pada suhu 35 oC selama 16 hingga
24 jam dan kemudian diperiksa untuk mengetahui ada atau tidaknya koloni yang
memfermentasikan non-sorbitol. Tiga koloni tidak bewarna diuji untuk
mengetahui ada atau tidaknya antigen lipopolisakarida O157 dengan aglutinasi
partikel latex (Remel, Lenexa, KS). Koloni yang positif sebagai O157 kemudian
diidentifikasi ulang dengan pengujian biokimia konvensional, menggunakan strip
API 20E (bioMerieux, St-Laurent, Kanada).

Pemeriksaan Immunoassay Enzim


Pemeriksaan EHEC Premier merupakan suatu EIA microwell untuk mendeteksi
toksin Shiga 1 dan 2 tanpa membedakan kedua toksin tersebut. Untuk seluruh
sampel, sebanyak 50 l kaldu MacConkey yang telah diinkubasikan diuji dengan
menggunakan pemeriksaan ini, sesuai dengan panduan penggunaan alat dari
pabrik. Setelah mendeteksi toksin dengan menggunakan

perangkat

EHEC

Premier, jenis toksin ditentukan dengan menggunakan suatu rapid test


immunokromatografik, pemeriksaan EHEC ImmunoCard Stat! (Meridian
Bioscience Inc.), sesuai dengan panduan penggunaan alat dari pabrik. Spesifisitas

dan sensitivitas analitik kedua pemeriksaan masing-masingnya dievaluasi dengan


suatu panel organisme yang biasa diisolasi dari feses dan larutan lainnya yang
mengandung STEC O157 (lihat Tabel 2).

Pemeriksaan PCR Real-Time


Untuk masing-masing sampel feses, DNA bakterial diekstraksi dengan
menggunakan perangkat mini darah DNA QIAamp (Qiagen, Mississauga,
Kanada), sesuai dengan panduan penggunaan alat dari pabrik. Singkatnya,
sebanyak 200 l kaldu MacConkey yang diinkubasi digunakan untuk ekstraksi,
dan DNA dielusikan dalam 100 l larutan penyangga. Probe primer dan MGB
(minor grove binder) untuk PCR real-time stx1 dan stx2 dipilih untuk bagianbagian yang spesifik pada masing-masing gen (Tabel 1) dengan menggunakan
perangkat lunak Primer Express (Applied Biosystems, Foster City, CA). Untuk
mendeteksi inhibisi PCR, primer dan suatu probe juga didesain dalam suatu
plasmid (pARAB) yang mengandung bagian gen klorofil sintetase Arabidopsis
thaliana. Spesifisitas dari seluruh primer dan probe dikonfirmasi dengan
menggunakan analisis BLAST. Pemeriksaan PCR real-time dilakukan dengan
menggunakan instrument AB7500 (Applied Biosystems) sebagai suatu reaksi
tripleks untuk mendeteksi stx1 (pewarnaan VIC), stx2 (pewarnaan 6karboksifluorescein [FAM]), dan plasmid pARAB (pewarnaan NED), dengan
menggunakan kondisi amplifikasi sebagai berikut: 95oC selama 15 menit, 35
siklus dalam suhu 95oC selama 15 detik, dan 60oC selama 40 detik. Reaksinya
dilakukan dalam volume akhir sebanyak 25 l, dengan menggunakan perangkat
NoROX PCR Multiplex QuantiTect (Qiagen), dengan ROX (Invitrogen, Carlsbad,
CA) yang ditambahkan pada 50nM, saat primer dan probe berada dalam
konsentrasi yang paling optimal (Tabel 1), 130 kopi plasmid pARAB, dan 5 l
DNA yang telah diekstraksikan. Pada masing-masing proses tersebut, sampel diuji
tiga kali. Sampel kontrol-positif (DNA genomik STEC O157 yang positif untuk
stx1 dan stx2) dan sampel kontrol non-template (PCR-grade water) juga diuji.
Studi reaktivitas silang dan sensitivitas dilakukan dengan panel organisme yang
sama dan konsentrasi STEC O157 yang sama seperti yang digunakan untuk

pemeriksaan immunoassay (Tabel 2). Seluruh sampel yang positif dikirimkan ke


Laboratorium Kesehatan Masyarakat Provinsi Alberta untuk mengkonfirmasi
ulang dengan pemeriksan PCR real-time yang menggunakan primer dan probe
yang berbeda.
Tabel 1. Oligonukleotida yang digunakan pada pemeriksaan PCR real-time
Target

Sekuens primer atau probe (5 3)

stx1

GACGCAGTCTGTGGCAAGAG
TGCCGAAAACGTAAAGCTTCA
VIC-ATGTTACGGTTTGTTACTGTGA
CAACGGACAGCAGTTATACCACTC
TTAACGCCAGATATGATGAAACCA
FAM-AATGCAAATCAGTCGTCACT
TGTGGGCAGGGCATACC
AGCAATGATCCTCCCAAAGC
NED-CCCACTGTCTTCTATC

stx2

pARAB
a

Konsentrasi
akhir
(nM)
300
900
300
300
500
300
50
300
100

Ukuran
amplicon
(bp)
69

76

58

Plasmid yang mengandung bagian gen klorofil sintetase Aracidopsis thaliana

Tabel 2. Organisme yang diuji untuk menentukan sensitivitas dan spesifisitas


analitik
Spesies
Bacteroides
fragilis
Campylobacter
coli
Campylobacter
jejuni
Candida albicans
Citrobacter
amalonaticus
Citrobacter
braakii
Citrobacter
freundii
Clostridium
difficile
Corynebacterium
renale
Enterobacter

Asala
ATCC
25285
Clinical
isolate
ATCC
33291
ATCC
10231
Clinical
isolate
Clinical
isolate
Clinical
isolate
ATCC
9689
ATCC
19412
ATCC

Hasil Berdasarkan Pemeriksaan


PCR Real Time
ImmunoCard
Premier
stx1
stx2
Stat!
-

cloacae
Enterococcus
faecalis
Escherichia coli
Escherichia coli
Escherichia coli
O157
(107 CFU/ml)
Escherichia coli
O157
(106 CFU/ml)
Escherichia coli
O157
(105 CFU/ml)
Escherichia coli
O157
(103 CFU/ml)
Escherichia coli
O157
(102 CFU/ml)
Escherichia coli
O157
(10 CFU/ml)
Fusobacterium
nucleatum
Hafnia alvei
Klebsiella oxytoca
Klebsiella
pneumoniae
Lactobacillus
acidophilus
Listeria
monocytogenes
Morganella
morganii
Peptostreptococcu
s anaerobius
Proteus mirabilis
Pseudomonas
aeruginosa
Salmonella
enterica

13047
ATCC
29212
ATCC
25922
ATCC
35218
Clinical
isolate

ATCC
25506
Clinical
isolate
ATCC
700324
ATCC
700603
ATCC
4356
Clinical
isolate
Clinical
isolate
ATCC
27337
ATCC
35659
ATCC
27853
ATCC
14028

ST1&2b

Salmonella
enterica serovar
Typhi
Shigella flexneri
Shigella sonnei
Staphylococcus
aureus
Yersinia
enterocolitica

Clinical
isolate
ATCC
12022
ATCC
29930
ATCC
29213
ATCC
9610

ATCC, American Type Culture Collection.

ST1&2, positif untuk toksin Shiga 1 dan 2.

Isolasi STEC. Seluruh sampel yang positif disubkultur dari kaldu MacConkey ke
dalam piringan agar MacConkey, dan maksimal sebanyak 100 koloni diuji untuk
mengetahui ada atau tidaknya stx1 dan/atau stx2 dengan menggunakan
pemeriksaan PCR real-time. Seluruh isolat STEC yang teridentifikasi dikirimkan
ke Laboratorium Mikrobiologi Nasional (Winnipeg, Kanada) untuk menentukan
tipe antigen O dan H.

HASIL
Kualitas Pemeriksaan PCR, EIA EHEC Premier, dan Kultur SMAC.
(i) Spesifisitas Analitik. Tidak ada reaktivitas-silang atau hasil positif-palsu yang
ditemukan pada ketiga jenis pemeriksaan (Tabel 2). PCR dan EHEC
ImmunoCard Stat! masing-masing dapat mendeteksi gen dan toksin stx1 dan
stx2 dengan tepat dan sesuai.
(ii) Sensitivitas Analitik. Kadar deteksi untuk pemeriksaan EHEC ImmunoCard
Stat! adalah sebesar 107 CFU/ml STEC O157, dan untuk EIA EHEC Premier
adalah sebesar 106 CFU/ml. PCR dapat digunakan untuk mendeteksi masing(iii)

masing target pada larutan sebanyak 102 CFU/ml (Tabel 2).


Kualitas Spesimen Klinis. Selama periode penelitian, sebanyak 632 sampel
feses dari 430 orang pasien anak-anak yang berbeda diteliti. Dari seluruh
sampel tersebut, terdapat 21 sampel feses, yang mewakili 12 orang pasien,
yang teridentifikasi positif untuk STEC setidaknya oleh satu jenis

pemeriksaan: PCR berhasil mendeteksi seluruh sampel tersebut, dan 6 di


antaranya dideteksi oleh EIA EHEC Premier. Kultur SMAC berhasil
mengidentifikasi 5 isolat STEC O157; 2 di antaranya luput pada pemeriksaan
EIA. Tabel 3 menunjukkan hasil dari beberapa pemeriksaan yang berbeda,
berdasarkan pada jenis toksin yang terdapat pada sampel. Seluruh sampel
yang positif dengan pemeriksaan PCR dikonfirmasi ulang oleh Laboratorium
Kesehatan Masyarakat Provinsi Alberta dengan menggunakan pemeriksaan
PCR real-time yang kedua. Dari seluruh pasien yang positif, 7 di antaranya
mengirimkan lebih dari satu sampel feses. Tidak terdapat hasil yang saling
bertentangan pada pemeriksaan PCR. Hasil yang berbeda dengan pemeriksaan
EIA ditemukan pada tiga orang pasien.
Tabel 3. Hasil pemeriksaan berdasarkan pada jenis toksin
Pemeriksaa
n

Stx1
Spesime
Pasien

Jumlah Positif
Stx2
Stx1 dan Stx2
Spesime
Pasien
Spesime
Pasien

n
PCR
EIA Premier
ImmunoCard
SMAC

12
3
3
0

n
8
2
2
0

2
0
0
0

Total
Spesime
Pasien

n
1
0
0
0

7
3
1
5

n
3
2
1
3

21
6
4
5

12
4
3
3

Serotyping. Dari seluruh spesimen yang positif, 16 strain yang memproduksi


toksin diisolasikan dengan men-subkulturkannya pada kaldu MacConkey. Suatu
strain patogenik diisolasi dari masing-masing sampel yang EIA-positif.
Laboratorium Mikrobiologi Nasional menetapkan bahwa 5 di antaranya
merupakan STEC O157 dan 11 lainnya merupakan strain non-O157. Dari ketujuh
isolat E.coli yang hanya memproduksi Stx1, terdapat dua isolat O26:H11, dua
isolat O49 (H10/H), satu isolat O8:H9, satu isolat O73H29, dan satu isolat
O111:H. Kedua strain yang memproduksi Stx2 adalah isolat O153 (H9/H).
Terakhir, dari ketujuh isolat Stx1-positif dan Stx2-positif, terdapat lima isolat
O157:H7 (teridentifikasi oleh kultur SMAC), satu isolat O3:H9, dan satu isolat
O86:H.
Patogen bakteri enterik lainnya. Dari 632 sampel feses yang diuji, 75 (11.9%)
di antaranya positif pada pemeriksaan kultur untuk pathogen bakteri enterik selain

STEC (Tabel 4). Salmonella sp merupakan pathogen yang paling banyak


ditemukan, diikuti oleh Campylobacter sp.
Tabel 4. Hasil kultur feses untuk pathogen enterik yang biasa ditemukan (n = 632
untuk 430 orang pasien)
Patogen
Salmonella sp.
Campylobacter sp.
STEC O157 dan non-O157
STEC O157
Aeromonas sp.
Shigella sp.
Yersinia sp.

Jumlah isolat (%)


40 (6.3)
21 (3.3)
21 (3.3)
5 (0.8)
8 (1.3)
4 (0.6)
2 (0.3)

Jumlah pasien (%)


22 (5.1)
13 (3.0)
12 (2.8)
3 (0.7)
7 (1.6)
2 (0.5)
1 (0.2)

Pasien. Untuk mengetahui spesifisitas klinis dari pemeriksaan-pemeriksaan yang


dilakukan, kami meninjau rekam medis kedua belas pasien yang positif secara
retrospektif. Seluruh pasien menunjukkan gejala (simptomatik), kecuali satu orang
pasien. Dua orang pasien membutuhkan perawatan di rumah sakit; mereka
terinfeksi strain STEC O157 yang memproduksi baik Stx1 maupun Stx2. Pasien
yang pertama terdeteksi oleh seluruh pemeriksaan. Pasien yang kedua
mengirimkan tiga spesimen; seluruhnya positif dengan pemeriksaan PCR namun
negatif dengan pemeriksaan EIA. Pengkulturan pada media SMAC berhasil
mengidentifikasi STEC O157 pada satu sampel. Tidak satupun pasien yang
mengalami komplikasi HUS. Namun, terdapat delapan orang pasien yang
mengalami diare berdarah (4 orang teridentifikasi dengan EIA dan 3 orang
teridentifikasi dengan kultur SMAC). Salah satu pasien, dengan infeksi yang
hanya terdeteksi dengan PCR, menjalani kolonoskopi diagnostik.
Tiga orang pasien terinfeksi oleh lebih dari satu pathogen enterik. Satu
orang

mengalami

koinfeksi

dengan

Campylobacter

jejuni

dan

E.coli

O49:H10/H. Pasien kedua memiliki 2 serotipe STEC yang berbeda pada sampel
fesesnya (E.coli O111:H dan O73:H29), dan pasien yang ketiga terinfeksi oleh 3
strain yang berbeda (O157:H7, O86:H, dan O3:H9). Menariknya, saudari
kembar dari pasien yang ketiga terinfeksi oleh strain yang berbeda (O153),
walaupun faktanya mereka memiliki faktor risiko yang sama.

DISKUSI
Biasanya, hanya STEC O157 yang diidentifikasi secara rutin di laboratorium
diagnostik klinis. Sebagian besar pakar setuju bahwa praktik tersebut
menyebabkan

perkiraan

jumlah

kasus

STEC

menjadi

kurang

tepat

(underestimasi), sehingga prevalensinya yang sebenarnya masih belum diketahui


hingga saat ini.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan dan memvalidasi
kualitas pemeriksaan PCR real-time, pemeriksaan immunoassay enzim, dan
pemeriksaan kultur dalam media SMAC untuk mendeteksi STEC pada populasi
anak-anak. Di laboratorium kami, EIA hanya berhasil mengidentifikasi sebanyak
29% dari keseluruhan sampel yang positif, atau 33% dari keseluruhan pasien yang
terinfeksi.
PCR memperlihatkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan EIA. Hal
ini kemungkinan besar disebabkan karena sensitivitas analitiknya yang lebih
tinggi. Tentu saja, tingkat deteksi PCR kami 10 4 kali lebih rendah dibandingkan
dengan EIA EHEC Premier. Suatu sensitivitas analitik yang sama sebanyak 106
CFU/ml untuk EHEC Premier sebelumnya dilaporkan oleh Willford dkk dalam
suatu penelitian yang mengevaluasi tiga perangkat EIA yang dijual secara
komersial untuk mendeteksi STEC. Perbedaan unit 4 log 10 antara uji amplifikasi
asam nukleat (NAAT) dan EIA juga sesuai dengan hasil yang telah diperoleh
sebelumnya oleh Chui dkk. Namun, pada penelitian yang terakhir disebutkan ini,
kualitas pemeriksaan EIA saat digunakan untuk mendeteksi toksin Shiga pada
sampel feses sama dengan kualitas PCR: hanya luput pada 2 dari 21 spesimen
yang positif. Perbedaan ini mungkin dapat dijelaskan oleh suatu bias referensi.
Laboratorium Kehesatan Masyarakat Provinsi Alberta merupakan suatu pusat
rujukan yang kemungkinan besar menerima spesimen dari para pasien dengan
kandungan bakteri yang tinggi, hingga mencapai jumlah yang dapat dideteksi oleh
EIA. Dalam penelitian kami, sensitivitas EIA yang lebih rendah menyebabkan

diperolehnya 15 sampel negatif-palsu dari 8 pasien yang berbeda. Spesimenspesimen yang negatif palsu tersebut berkaitan dengan inoculum yang lebih seikit;
EIA tidak dapat mendeteksi sampel dengan ambang batas silang (crossing
threshold atau CT) PCR real-time sebanyak lebih dari 20 (data tidak ditampilkan).
Selain itu, mengingat bahwa terdapat lebih sedikit dari 100 bakteri yang dapat
menyebabkan penyakit gastrointestinal dan jumlah bakteri menurun dengan cepat
selama periode penyakit, maka sensitivitas PCR yang lebih baik tersebut
memberikan keuntungan yang harus diperhitungkan saat menerapkan suatu
pemeriksaan untuk deteksi STEC. Ditambah lagi, berdasarkan tinjauan
retrospektif kami terhadap rekam medis pasien, manifestasi-manifestasi klinis
yang berat juga ditemukan bahkan pada pasien yang jumlah bakteri pada fesesnya
sedikit. Hal ini semakin menekankan keuntungan dari suatu pemeriksaan yang
sensitif.
Selama periode penelitian, EIA gagal mendeteksi dua isolat O157 yang
berhasil dideteksi oleh pemeriksaan kultur SMAC dan PCR. Salah satu dari kedua
pasien ini mengalami perjalanan klinis penyakit yang berat, sehingga harus
dirawat di rumah sakit. Keterbatasan pemeriksaan EHEC Premier ini semakin
memperkuat rekomendasi untuk melakukan kultur dalam media SMAC secara
simultan dengan suatu pemeriksaan kedua untuk mendeteksi toksin Shiga atau gen
yang mengkodekannya.
Identifikasi dan pelaporan jenis toksin kepada klinisi dianggap merupakan
informasi klinis yang sangat berguna, karena Stx2 dikenal lebih virulen
dibandingkan dengan Stx1. Pemeriksaan EIA EHEC Premier memiliki
kekurangan yaitu membutuhkan pemeriksaan kedua untuk membedakan jenis
toksin yang terdapat pada sampel. Pemeriksaan ImmunoCard Stat! mengeluarkan
biaya yang mahal, membutuhkan waktu pemeriksaan tambahan yang lebih lama,
sehingga dapat menunda pengeluaran laporan akhir. Mengingat semakin
bertambahnya pengetahuan kami mengenai patogenisitas STEC, pemeriksaan
yang dapat membedakan subtipe Stx dan mengidentifikasi faktor-faktor virulensi
STEC perlu dikembangkan dan diterapkan dalam praktik klinis sehari-hari.

Penatalaksanaan pasien akan dapat dimodifikasi jika informasi ini dilaporkan


kepada klinisi dan otoritas kesehatan masyarakat.
Isolasi strain STEC perlu dilakukan untuk tujuan epidemiologi; kultur
murni diperlukan untuk menentukan serotype. Dalam penelitian kami, 16 strain
STEC diisolasikan dari 8 orang pasien. Kesulitan dalam menemukan strain STEC
ini sebelumnya telah dilaporkan oleh beberapa peneliti lainnya. Hal ini mungkin
disebabkan oleh efek beku-dan-cair yang membunuh atau menghambat
pertumbuhan pathogen. Terdapat juga kemungkinan bahwa ukuran inoculum
pathogen pada beberapa sampel masih terlalu sedikit untuk pertumbuhan pada
piringan agar. Selain itu, pemeriksaan PCR terhadap koloni multiple pada masingmasing sampel yang ditanam dalam agar MacConkey cukup memakan waktu dan
memiliki beberapa keterbatasan: yaitu STEC dapat hilang dengan mudah, bahkan
walaupun terdapat banyak koloni yang diuji untuk masing-masing sampel. Karena
seluruh sampel kami yang positif dikonfirmasikan ulang oleh Laboratorium
Kesehatan Masyarakat Provinsi Alberta, maka sangat kecil kemungkinan bahwa
sampel-sampel tersebut positif-palsu.
Dari 16 strain STEC yang diisolasi, 11 di antaranya merupakan isolat
STEC non-O157. Walaupun kami tidak dapat mengidentifikasi jenis isolat STEC
dari masing-masing sampel feses, hasil ini menunjukkan bahwa sebagian besar
infeksi STEC pada populasi kami disebabkan oleh serotype non-O157. Tidak
satupun serotype non-O157 yang mendominasi dalam periode penelitian kami ini.
Hal ini menunjukkan bahwa infeksi yang terjadi lebih bersifat sporadik, dan
bukanlah suatu wabah. Namun, kesimpulan ini disanggah oleh suatu fakta bahwa
kami bukanlah pusat rujukan. Dengan pengecualian O111 dan O26, serotype nonO157 lainnya yang kami temukan tampaknya tidak teridentifikasi secara rutin di
Amerika Utara. Hal ini mungkin dapat mencerminkan perubahan dan minimnya
pengetahuan tentang epidemiologi infeksi STEC non-O157.
Koinfeksi dengan pathogen bakteri enterik lainnya terdeteksi pada tiga
orang pasien, salah satunya dengan infeksi Campylobacter jejuni yang simultan
dan dua lainnya dengan serotype multipel E.coli yang memproduksi toksin Shiga.
Temuan ini sebelumnya telah dideskripsikan juga pada berbagai penelitian. Di

antaranya, Hedican dkk yang melakukan suatu surveilens sentinel terhadap infeksi
STEC di Minnesota dan menemukan 22 pasien yang mengalami ko-infeksi di
antara 302 pasien yang STEC-positif. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh
penularan pathogen enterik secara fecal-oral dan adanya kontaminasi massif saat
prinsip-prinsip dasar higienitas tidak lagi diterapkan.
Dampak klinis yang diharapkan dari pemeriksaan kami sulit untuk
ditentukan, mengingat kecilnya jumlah sampel penelitian kami. Proyek ini
merupakan suatu studi validasi pemeriksaan diagnostik; sehingga, para klinisi
tidak terlalu memperhatikan hasil pemeriksaan EIA dan PCR selama periode
penelitian. Namun, tinjauan terhadap rekam medis para pasien menunjukkan
bahwa seluruh pasien mengalami gejala (simptomatik), kecuali satu orang pasien.
Derajat keparahan gejala (rawatan di rumah sakit dan diare berdarah) tampaknya
berkaitan dengan strain yang memproduksi-Stx2, terutama dengan strain STEC
O157. Observasi ini sesuai dengan literatur medis namun terbiaskan pada
penelitian kami ini oleh suatu fakta bahwa terdapat tiga dari empat pasien yang
memiliki strain yang memproduksi-Stx2 terinfeksi oleh STEC O157. Semenjak
awal pengenalan PCR untuk diterapkan sebagai pemeriksaan rutin untuk
mendeteksi STEC, saat ini kami secara prospektif sedang mengumpulkan data
tentang kasus-kasus yang berhasil teridentifikasi untuk menentukan manifestasi
dan luaran klinisnya dengan lebih baik.
Masih sedikit yang diketahui tentang keberadaaan pathogen STEC pada
saluran gastrointestinal atau tentang prevalensi karier yang asimptomatik. Dengan
semakin canggihnya teknik deteksi molekuler, para klinisi kemungkinan besar
akan semakin sering menemukan hasil laboratorium yang tidak sesuai dengan
manifestasi klinis pasien. Perlu juga ditekankan tentang pentingnya melakukan
pemeriksaan hanya jika kemungkinan sebelum pemeriksaan cukup tinggi dan
pada situasi dimana hal ini telah divalidasi, seperti deteksi diare yang didapatkan
di komunitas.
Sejauh yang kami ketahui, penelitian kami ini merupakan studi prospektif
pertama yang membandingkan secara langsung pemeriksaan PCR real-time inhouse dengan pemeriksaan EIA komersial dalam setting laboratium klinis

pediatrik. Dengan dilakukannya pemeriksaan PCR selain pemeriksaan kultur


dapat meningkatkan angka deteksi STEC kami sebesar 320%, sedangkan
pemeriksaan EIA hanya meningkatkannya sebesar 60%. Dalam suatu artikel yang
diterbitkan dalam the Journal of Clinical Microbiology, penulis menolak
dilakukannya skrining universal untuk toksin Shiga atas dasar argument
efektivitas-biaya dan prevalensinya yang rendah. Mereka menyatakan bahwa
setiap laboratorium seharusnya mengetahui studi prevalensi pada masing-masing
populasinya dan hanya mempertimbangkan skrining universal untuk toksin Shiga
jika prevalensi STEC ditemukan sama banyak seperti pathogen enterik lainnya.
Dalam penelitian kami, prevalensi STEC ditemukan sebesar 3,3%, angka ini
menunjukkan bahwa STEC merupakan pathogen bakteri nomor tiga terbanyak
pada populasi pediatric kami, sama halnya dengan Campylobacter sp. Singkatnya,
data epidemiologis dan data tentang kualitas PCR yang telah diperoleh dalam
penelitian ini membenarkan bahwa penerapan pemeriksaan molekuler dapat
mendeteksi seluruh serotype STEC di laboratorium klinis kami dan dapat semakin
meningkatkan jumlah laboratorium mikrobiologi lainnya yang melakukan
pemeriksaan ini untuk mendeteksi STEC.

KESIMPULAN
Penelitian ini memperlihatkan keunggulan dari pemeriksaan molekuler untuk
mendeteksi STEC. Penelitian ini juga menunjukkan tingginya prevalensi strain
non-O157, sehingga mendukung implementasi skrining rutin E.coli yang
memproduksi toksin Shiga. Hasil penelitian kami ini sesuai dengan rekomendasi
terkini CDC. Dapat dilihat bahwa kami bisa saja salah mengidentifikasi prevalensi
infeksi STEC jika hanya melakukan pemeriksaan kultur O157. Di rumah sakit
kami, kami telah memutuskan untuk melakukan pemeriksaan PCR secara rutin
untuk setiap sampel feses yang dikirimkan kepada kami untuk deteksi pathogen
bakteri enterik. Mengingat sensitivitasnya yang cukup tinggi, untuk pusat
pelayanan kesehatan yang memiliki sumber daya serta fasilitas yang cukup, kami
menyarankan agar deteksi molekuler sebaiknya lebih dipilih sebagai pemeriksaan
penunjang dibandingkan dengan pemeriksaan immunoassay enzim. Penelitian
lebih lanjut diperlukan untuk menentukan spesifisitas PCR, durasi peluruhan

STEC setelah infeksi, dan prevalensi karier yang asimptomatik dengan lebih baik,
agar dapat membantu para klinisi dan juga sebagai panduan bagi rekomendasi
otoritas kesehatan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai