beberapa faktor historik berikut ini: O157 merupakan serotype STEC yang
pertama kali ditemukan, merupakan serotype yang paling mudah untuk
diidentifikasi di laboratorium mikrobiologi, dan awalnya dianggap sebagai
serotype yang paling lazim ditemukan dan paling virulen dibandingkan dengan
serotipe-serotipe lainnya. Namun, beberapa penelitian dari berbagai belahan dunia
telah membuktikan bahwa serotype non-O157 juga sama-sama lazim ditemukan
seperti O157. Di Amerika Serikat, beberapa studi epidemiologi menunjukkan
bahwa E.coli O26, O103, dan O111 merupakan serotype non-O157 yang paling
banyak ditemukan. Beberapa penelitian sebelumnya juga telah menunjukkan
bahwa strain STEC non-O157 dapat menyebabkan penyakit yang sama beratnya
seperti strain STEC O157, dengan diare berdarah dan HUS, terutama jika strain
tersebut memproduksi Stx2. Terakhir, suatu wabah O104:H4 baru-baru ini terjadi
di Eropa, dimana wabah ini disebabkan oleh suatu strain E.coli enteroaggregatif
tipikal yang telah terjangkiti bakteriofag yang mengkodekan Stx. Hal ini
menunjukkan bahwa faktor-faktor virulensi STEC dikodekan dalam suatu elemen
yang bersifat mobile dan dapat menyebar ke berbagai jenis pathogen E.coli
diaregenik lainnya dan dengan demikian akan menjadi suatu ancaman bagi
kesehatan masyarakat.
Pada tahun 2007, FoodNet melakukan survey terhadap seluruh
laboratorium klinis jaringannya untuk mengetahui praktik-praktik pemeriksaan
diagnostik yang diterapkan di laboratorium-laboratorium tersebut untuk
mengidentifikasi STEC. Heofer dkk. melaporkan hasil sebagai berikut: hanya
11% laboratorium yang melakukan pemeriksaan immunoassay enzim (EIA) Stx
baik secara tunggal maupun dikombinasikan dengan kultur. Hal ini bahkan telah
termasuk dalam 5% perbaikan jika dibandingkan dengan tahun 2003. Hasil yang
sama diperoleh oleh Stigi dkk: pada tahun 2011, sekitar 65% laboratorium
mikrobiologi di Negara Bagian Washington membatasi identifikasi STEC pada
serotype O157. Laboratorium-laboratorium yang menguji strain non-O157
menggunakan EIA. Deteksi molekuler masih belum rutin digunakan dalam
praktik klinis sehari-hari, terutama karena belum ada pemeriksaan komersial yang
telah disetujui penggunaannya oleh FDA untuk mendiagnosis infeksi STEC pada
manusia.
pada suhu 35oC selama 15 hingga 24 jam. Kaldu tersebut kemudian diuji untuk
mengetahui ada atau tidaknya toksin Shiga dengan menggunakan pemeriksaan
EHEC Premier dan dengan menggunakan pemeriksaan PCR real-time untuk
mendeteksi gen stx1 dan stx2. Seluruh sampel yang positif dikirimkan ke
Laboratorium Kesehatan Masyarakat Provinsi Alberta (Edmonton, Alberta,
Kanada) untuk dikonfirmasi. Catatan klinis seluruh pasien yang positif kemudian
ditinjau ulang.
perangkat
EHEC
stx1
GACGCAGTCTGTGGCAAGAG
TGCCGAAAACGTAAAGCTTCA
VIC-ATGTTACGGTTTGTTACTGTGA
CAACGGACAGCAGTTATACCACTC
TTAACGCCAGATATGATGAAACCA
FAM-AATGCAAATCAGTCGTCACT
TGTGGGCAGGGCATACC
AGCAATGATCCTCCCAAAGC
NED-CCCACTGTCTTCTATC
stx2
pARAB
a
Konsentrasi
akhir
(nM)
300
900
300
300
500
300
50
300
100
Ukuran
amplicon
(bp)
69
76
58
Asala
ATCC
25285
Clinical
isolate
ATCC
33291
ATCC
10231
Clinical
isolate
Clinical
isolate
Clinical
isolate
ATCC
9689
ATCC
19412
ATCC
cloacae
Enterococcus
faecalis
Escherichia coli
Escherichia coli
Escherichia coli
O157
(107 CFU/ml)
Escherichia coli
O157
(106 CFU/ml)
Escherichia coli
O157
(105 CFU/ml)
Escherichia coli
O157
(103 CFU/ml)
Escherichia coli
O157
(102 CFU/ml)
Escherichia coli
O157
(10 CFU/ml)
Fusobacterium
nucleatum
Hafnia alvei
Klebsiella oxytoca
Klebsiella
pneumoniae
Lactobacillus
acidophilus
Listeria
monocytogenes
Morganella
morganii
Peptostreptococcu
s anaerobius
Proteus mirabilis
Pseudomonas
aeruginosa
Salmonella
enterica
13047
ATCC
29212
ATCC
25922
ATCC
35218
Clinical
isolate
ATCC
25506
Clinical
isolate
ATCC
700324
ATCC
700603
ATCC
4356
Clinical
isolate
Clinical
isolate
ATCC
27337
ATCC
35659
ATCC
27853
ATCC
14028
ST1&2b
Salmonella
enterica serovar
Typhi
Shigella flexneri
Shigella sonnei
Staphylococcus
aureus
Yersinia
enterocolitica
Clinical
isolate
ATCC
12022
ATCC
29930
ATCC
29213
ATCC
9610
Isolasi STEC. Seluruh sampel yang positif disubkultur dari kaldu MacConkey ke
dalam piringan agar MacConkey, dan maksimal sebanyak 100 koloni diuji untuk
mengetahui ada atau tidaknya stx1 dan/atau stx2 dengan menggunakan
pemeriksaan PCR real-time. Seluruh isolat STEC yang teridentifikasi dikirimkan
ke Laboratorium Mikrobiologi Nasional (Winnipeg, Kanada) untuk menentukan
tipe antigen O dan H.
HASIL
Kualitas Pemeriksaan PCR, EIA EHEC Premier, dan Kultur SMAC.
(i) Spesifisitas Analitik. Tidak ada reaktivitas-silang atau hasil positif-palsu yang
ditemukan pada ketiga jenis pemeriksaan (Tabel 2). PCR dan EHEC
ImmunoCard Stat! masing-masing dapat mendeteksi gen dan toksin stx1 dan
stx2 dengan tepat dan sesuai.
(ii) Sensitivitas Analitik. Kadar deteksi untuk pemeriksaan EHEC ImmunoCard
Stat! adalah sebesar 107 CFU/ml STEC O157, dan untuk EIA EHEC Premier
adalah sebesar 106 CFU/ml. PCR dapat digunakan untuk mendeteksi masing(iii)
Stx1
Spesime
Pasien
Jumlah Positif
Stx2
Stx1 dan Stx2
Spesime
Pasien
Spesime
Pasien
n
PCR
EIA Premier
ImmunoCard
SMAC
12
3
3
0
n
8
2
2
0
2
0
0
0
Total
Spesime
Pasien
n
1
0
0
0
7
3
1
5
n
3
2
1
3
21
6
4
5
12
4
3
3
mengalami
koinfeksi
dengan
Campylobacter
jejuni
dan
E.coli
O49:H10/H. Pasien kedua memiliki 2 serotipe STEC yang berbeda pada sampel
fesesnya (E.coli O111:H dan O73:H29), dan pasien yang ketiga terinfeksi oleh 3
strain yang berbeda (O157:H7, O86:H, dan O3:H9). Menariknya, saudari
kembar dari pasien yang ketiga terinfeksi oleh strain yang berbeda (O153),
walaupun faktanya mereka memiliki faktor risiko yang sama.
DISKUSI
Biasanya, hanya STEC O157 yang diidentifikasi secara rutin di laboratorium
diagnostik klinis. Sebagian besar pakar setuju bahwa praktik tersebut
menyebabkan
perkiraan
jumlah
kasus
STEC
menjadi
kurang
tepat
diperolehnya 15 sampel negatif-palsu dari 8 pasien yang berbeda. Spesimenspesimen yang negatif palsu tersebut berkaitan dengan inoculum yang lebih seikit;
EIA tidak dapat mendeteksi sampel dengan ambang batas silang (crossing
threshold atau CT) PCR real-time sebanyak lebih dari 20 (data tidak ditampilkan).
Selain itu, mengingat bahwa terdapat lebih sedikit dari 100 bakteri yang dapat
menyebabkan penyakit gastrointestinal dan jumlah bakteri menurun dengan cepat
selama periode penyakit, maka sensitivitas PCR yang lebih baik tersebut
memberikan keuntungan yang harus diperhitungkan saat menerapkan suatu
pemeriksaan untuk deteksi STEC. Ditambah lagi, berdasarkan tinjauan
retrospektif kami terhadap rekam medis pasien, manifestasi-manifestasi klinis
yang berat juga ditemukan bahkan pada pasien yang jumlah bakteri pada fesesnya
sedikit. Hal ini semakin menekankan keuntungan dari suatu pemeriksaan yang
sensitif.
Selama periode penelitian, EIA gagal mendeteksi dua isolat O157 yang
berhasil dideteksi oleh pemeriksaan kultur SMAC dan PCR. Salah satu dari kedua
pasien ini mengalami perjalanan klinis penyakit yang berat, sehingga harus
dirawat di rumah sakit. Keterbatasan pemeriksaan EHEC Premier ini semakin
memperkuat rekomendasi untuk melakukan kultur dalam media SMAC secara
simultan dengan suatu pemeriksaan kedua untuk mendeteksi toksin Shiga atau gen
yang mengkodekannya.
Identifikasi dan pelaporan jenis toksin kepada klinisi dianggap merupakan
informasi klinis yang sangat berguna, karena Stx2 dikenal lebih virulen
dibandingkan dengan Stx1. Pemeriksaan EIA EHEC Premier memiliki
kekurangan yaitu membutuhkan pemeriksaan kedua untuk membedakan jenis
toksin yang terdapat pada sampel. Pemeriksaan ImmunoCard Stat! mengeluarkan
biaya yang mahal, membutuhkan waktu pemeriksaan tambahan yang lebih lama,
sehingga dapat menunda pengeluaran laporan akhir. Mengingat semakin
bertambahnya pengetahuan kami mengenai patogenisitas STEC, pemeriksaan
yang dapat membedakan subtipe Stx dan mengidentifikasi faktor-faktor virulensi
STEC perlu dikembangkan dan diterapkan dalam praktik klinis sehari-hari.
antaranya, Hedican dkk yang melakukan suatu surveilens sentinel terhadap infeksi
STEC di Minnesota dan menemukan 22 pasien yang mengalami ko-infeksi di
antara 302 pasien yang STEC-positif. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh
penularan pathogen enterik secara fecal-oral dan adanya kontaminasi massif saat
prinsip-prinsip dasar higienitas tidak lagi diterapkan.
Dampak klinis yang diharapkan dari pemeriksaan kami sulit untuk
ditentukan, mengingat kecilnya jumlah sampel penelitian kami. Proyek ini
merupakan suatu studi validasi pemeriksaan diagnostik; sehingga, para klinisi
tidak terlalu memperhatikan hasil pemeriksaan EIA dan PCR selama periode
penelitian. Namun, tinjauan terhadap rekam medis para pasien menunjukkan
bahwa seluruh pasien mengalami gejala (simptomatik), kecuali satu orang pasien.
Derajat keparahan gejala (rawatan di rumah sakit dan diare berdarah) tampaknya
berkaitan dengan strain yang memproduksi-Stx2, terutama dengan strain STEC
O157. Observasi ini sesuai dengan literatur medis namun terbiaskan pada
penelitian kami ini oleh suatu fakta bahwa terdapat tiga dari empat pasien yang
memiliki strain yang memproduksi-Stx2 terinfeksi oleh STEC O157. Semenjak
awal pengenalan PCR untuk diterapkan sebagai pemeriksaan rutin untuk
mendeteksi STEC, saat ini kami secara prospektif sedang mengumpulkan data
tentang kasus-kasus yang berhasil teridentifikasi untuk menentukan manifestasi
dan luaran klinisnya dengan lebih baik.
Masih sedikit yang diketahui tentang keberadaaan pathogen STEC pada
saluran gastrointestinal atau tentang prevalensi karier yang asimptomatik. Dengan
semakin canggihnya teknik deteksi molekuler, para klinisi kemungkinan besar
akan semakin sering menemukan hasil laboratorium yang tidak sesuai dengan
manifestasi klinis pasien. Perlu juga ditekankan tentang pentingnya melakukan
pemeriksaan hanya jika kemungkinan sebelum pemeriksaan cukup tinggi dan
pada situasi dimana hal ini telah divalidasi, seperti deteksi diare yang didapatkan
di komunitas.
Sejauh yang kami ketahui, penelitian kami ini merupakan studi prospektif
pertama yang membandingkan secara langsung pemeriksaan PCR real-time inhouse dengan pemeriksaan EIA komersial dalam setting laboratium klinis
KESIMPULAN
Penelitian ini memperlihatkan keunggulan dari pemeriksaan molekuler untuk
mendeteksi STEC. Penelitian ini juga menunjukkan tingginya prevalensi strain
non-O157, sehingga mendukung implementasi skrining rutin E.coli yang
memproduksi toksin Shiga. Hasil penelitian kami ini sesuai dengan rekomendasi
terkini CDC. Dapat dilihat bahwa kami bisa saja salah mengidentifikasi prevalensi
infeksi STEC jika hanya melakukan pemeriksaan kultur O157. Di rumah sakit
kami, kami telah memutuskan untuk melakukan pemeriksaan PCR secara rutin
untuk setiap sampel feses yang dikirimkan kepada kami untuk deteksi pathogen
bakteri enterik. Mengingat sensitivitasnya yang cukup tinggi, untuk pusat
pelayanan kesehatan yang memiliki sumber daya serta fasilitas yang cukup, kami
menyarankan agar deteksi molekuler sebaiknya lebih dipilih sebagai pemeriksaan
penunjang dibandingkan dengan pemeriksaan immunoassay enzim. Penelitian
lebih lanjut diperlukan untuk menentukan spesifisitas PCR, durasi peluruhan
STEC setelah infeksi, dan prevalensi karier yang asimptomatik dengan lebih baik,
agar dapat membantu para klinisi dan juga sebagai panduan bagi rekomendasi
otoritas kesehatan masyarakat.