Anda di halaman 1dari 13

Akhir Maret 2016, pemerintah secara resmi telah menyerahkan

rancangan undang-undang (RUU) tentang perubahan kedua atas


Undang- Undang No.1/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Wali Kota, kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Perubahan ini mendesak untuk dilakukan sebagai respons atas evaluasi
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak
gelombang pertama pada 9 Desember 2015 lalu. Undang-Undang (UU)
Pilkada telah mengatur sebuah skenario besar secara bertahap
penyelenggaraan pilkada serentak. Mulai Desember 2015, Februari
2017, Juni 2018, 2020, 2022, 2023, hingga selanjutnya pilkada
serentak secara nasional seluruh Indonesia pada 2027.
Tiga Alasan Revisi
UU Pilkada secara proses dan substansi harus diakui bukanlah produk
yang lahir dari kondisi ideal. Ia adalah buah pertarungan politik antara
pilkada langsung dan pilkada melalui DPRD. Kemudian akhirnya
dimenangkan pemilihan secara langsung, yang selanjutnya
terformulasi dalam sebuah peraturan pemerintah pengganti undangundang (perppu). Perppu yang disiapkan tergesagesa di akhir masa
jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Setelah perppu ditetapkan menjadi UU No.1/2015 pada Januari 2015
(usianya baru seumur jagung), langsung diubah dengan perubahan
pertama melalui UU No.8/2015. Perubahan yang juga berjalan cepat,
hanya dibahas selama 14 hari, meski secara substansial hampir
separuh dari fondasi UU Pilkada diubah melalui perubahan pertama ini.
Kerangka hukum itulah yang menjadi landasan pilkada serentak
terbesar dalam sejarah politik lokal Indonesia.
Ada beberapa alasan krusial mengapa UU Pilkada mendesak untuk
kembali diubah. Pertama, sebagai sebuah produk hukum UU Pilkada,
memang masih mengandung beberapa kelemahan sebagai
konsekuensi logis dari proses pembentukan yang tidak matang dan
terburu-buru.
Kedua, pembuat UU harus mengakomodasi berbagai Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) hasil pengujian undangundang oleh
berbagai pihak, yang mengubah beberapa klausul penting dalam UU
Pilkada. Penyesuaian dengan Putusan MK ini mutlak demi kepastian
hukum penyelenggaraan pilkada di masa datang.

Ketiga, hasil evaluasi pilkada serentak 2015 menghasilkan


rekomendasi untuk melakukan penguatan pengaturan untuk
meningkatkan kualitas penyelenggaraan pilkada. Mengatur yang belum
ada, memperketat yang sudah ada, atau bahkan menghapus yang bisa
mengurangi dan mengganggu kualitas pilkada.
Beberapa kelemahan yang harus ditutupi melalui revisi UU Pilkada ini
antara lain berkaitan dengan berlarut-larutnya penyelesaian sengketa
pencalonan dan terlalu banyaknya pihak yang terlibat dalam proses
penyelesaiannya. Aturan yang ada saat ini menyaratkan keberatan
atas keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyangkut penetapan
peserta pilkada diproses ke panitia pengawas pemilu (panwaslu) atau
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) provinsi setempat untuk
mendapatkan penyelesaian.
Kalau masih tidak puas bisa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara (PTUN). Dan kalau masih juga tak puas, bisa
menempuh upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Sayangnya
sengketa tak berhenti di sana. Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP) dalam kasus Pilkada Kalimantan Tengah misalnya, malah
ikut-ikutan membatalkan kepesertaan calon.
Sesuatu yang jauh dari ranah etik yang jadi kewenangannya.
Akibatnya, Kalimantan Tengah gagal ikut pilkada serentak 2015.
Revisi UU Pilkada harus mampu menyelesaikan karutmarut sengketa
pencalonan ini dengan membuatnya lebih sederhana, mudah, dan
cepat.
Dalam rekomendasi Perhimpunan untuk Pemilu dan Demokrasi
(Perludem), kalaulah ingin melibatkan pengawas pilkada maka
penyelesaiannya semestinya oleh Bawaslu provinsi yang permanen,
dengansatukalisaja upaya hukum berupa kasasi ke MA jika tak puas
dengan keputusan Bawaslu provinsi dimaksud.
Mengatasi Politik Uang
Selain itu, kelemahan mendasar UU Pilkada yang tidak mengatur
sanksi yang berdampak efek jera atas praktik politik uang, tak cukup
hanya disikapi dengan menghukum si pemberi dan penerima saja
(sebagaimana pengaturan yang ada dalam draf revisi UU Pilkada dari
pemerintah saat ini).
Pengaturan atas politik uang harus bisa mencakup praktik-praktik di
luar jual-beli suara yang sederhana (vote buying). Definisi politik uang
harus menjangkau praktik jual-beli perahu pencalonan/mahar politik
(candidacy buying) dan praktik menyuap penyelenggara/hakim
pemutus sengketa dengan tujuan memanipulasi proses/ hasil pilkada
(bribing electoral officials).

Sanksi pidana badan (kurungan/ penjara) ataupun denda diyakini tak


akan pernah memberi dampak jera pada para pelaku. Peserta/calon
hanya akan jera kalau hukum secara tegas mengeliminasi mereka dari
proses kompetisi melalui sanksi administrasi pembatalan sebagai calon
dan larangan untuk menjadi/mengusung calon di pemilu/pilkada
berikutnya.
Agar sanksi administratif ini bisa efektif ditegakkan, penjatuhannya
tidak perlu menunggu adanya putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap (inkracht) sebagaimana selama ini dipraktikkan. Sanksi
administrasi bisa diputuskan oleh Bawaslu RI berdasarkan temuan
langsung atau atas rekomendasi Bawaslu provinsi. Rekomendasi
dikeluarkan berdasar alat bukti yang kuat, terang benderang, dan
nyata-nyata tidak dapat dibantah bahwa telah terjadi praktik politik
uang yang dilakukan oleh calon, partai pengusung, dan/ atau tim
kampanye yang terhubung dengan pasangan calon.
KPU wajib melaksanakan keputusan Bawaslu yang sifatnya final dan
mengikat tersebut. Mekanisme ini juga sebagai penguatan pada
Bawaslu dan untuk menguji kesungguhan lembaga ini sebagai badan
pemutus yang sejak lama diminta dan dituntut agar menjadi
kewenangannya. Kemampuan pengusutan dan pengkajian perkara oleh
Bawaslu mestinya juga didukung oleh fungsi dari lembaga lain yang
mampu menelusuri aliran uang dan transaksi ilegal pilkada.
Tentu agar tidak ada lagi cerita dan kemarahan soal jual-beli suara dan
mahar politik tapi nirpenegakan hukum yang memberi efek jera. P r o b
l e m uangdandana m e m a n g menjadi pekerjaan rumah berikutnya
yang harus dijawab revisi UU Pilkada. Kegelisahan soal
ketidakmampuan UU Pilkada menjangkau dana-dana calon yang
beredar sebelum masa pilkada dan penetapan pasangan calon, harus
direspons dengan pengaturan yang bisa menjamin akuntabilitas setiap
sen uang yang beredar di pilkada (walking around money).
Mestinya dilakukan perluasanatasterminologi danakampanye. Bukan
lagi sebatas dana yang membiayai aktivitas kampanye pasangan calon
(yang sudah ditetapkan oleh KPU), namun meliputi semua dana yang
dikeluarkan pada saat prapencalonan, saat menjadi calon, maupun
saat dan pascapemungutan suara (misalnya dana saksi juga dana
sengketa hasil di MK).
Sebab nyata-nyata, uang sudah beredar sebelum seseorang ditetapkan
menjadi calon dan berkampanye, baik bagi calon perseorangan
maupun calon dari jalur partai politik. Hal ini juga untuk menjawab
fenomena munculnya para relawan calon (perseorangan dan partai)
yang aktif mengumpulkan, mengelola, dan membelanjakan uang untuk
kepentingan pilkada.

Hal tersebut agar tak ada lagi dusta di antara para calon yang selalu
menggunakan ketiadaan pengaturan sebagai selimut untuk menutupi
akuntabilitas dana politik yang mengitarinya.
Membenahi Sengketa Hasil
Selain soal pencalonan dan dana, pengaturan pembatasan bagi
pasangan calon untuk mengajukan sengketa hasil ke MK juga layak
dibenahi dan dipertimbangkan untuk dihapus. Bukan saja karena ini
aturan yang tidak lazim dalam standar internasional untuk mencari
keadilan pemilu (electoral justice). Aturan saat ini yang membatasi
secara ketat selisih suara 0,5-2% sebagai syarat untuk diterima
bersengketa hasil di MK.
Angka ini sangat rentan untuk disimpangi dan jadi muara kecurangan
baru. Selisih yang sangat tipis bisa menjadi pemicu calon untuk
melakukan kecurangan secara masif dengan target menghindari selisih
di MK. Pokoknya yang penting menang. Kalau sudah menang toh tak
ada upaya hukum yang bisa ditempuh lawan. Sebagai pembelajaran
misalnya, dalam pilkada Kabupaten Waropen 2015 lalu, dugaan
pelanggaran manipulasi suara di dua tempat pemungutan suara (TPS)
saja ternyata telah mampu melampaui selisih 2% suara.
Tak perlu skala pelanggaran yang terstruktur, masif, apalagi sistematis.
Revisi UU Pilkada kali ini mestinya mengembalikan semangat hukum
sebagai medium menyelesaikan sengketa dan konflik. Biarkan mereka
beramai- ramai mencari legitimasi hukum ke MK, ketimbang
melakukan tindakan di luar jalur hukum yang tak demokratis dan
sudah pasti tak konstitusional pula. Hal-hal di atas hanyalah beberapa
saja yang bisa diurai secara sederhana untuk diperbaiki
pembuatkebijakanmelaluirevisi UU Pilkada.
Belum lagi bicara problematika data pemilih, metode kampanye,
pencalonan, maupun rekrutmen petugas pelaksana yang berintegritas,
sehingga proses yang berjalan mesti betul-betul menempatkan
lahirnya regulasi pemilu yang demokratis sebagai komitmen bersama
DPR dan Pemerintah.
Alih-alih memicu kontroversi atas hal-hal yang tidak krusial, seperti
menaikkan syarat calon perseorangan, akan lebih baik (utamanya bagi
DPR) fokus pada memudahkan setiap warga negara untuk
berkontestasi di pilkada dengan melahirkan aturan yang demokratis
bagi semua pihak.
Urgensi aturan yang demokratis bisa dipastikan menjamin kompetisi
yang adil bagi semua peserta pemilihan. Namun sekali sebuah aturan
dibuat parsial untuk kepentingan sekelompok orang saja, maka pada
saat yang sama tujuan untuk mewujudkan pilkada yang jujur, adil, dan
demokratis tidak akan pernah tercapai.

Titi Anggraini
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi
(Perludem)

Gunawan Wibisono
Jurnalis

JAKARTA - Draf revisi Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun


2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) terus
dikebut oleh pemerintah. Pasalnya, UU tersebut akan
diaplikasikan dalam Pilkada Serentak 2017.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo
mengatakan, draf revisi UU Pilkada dalam waktu dekat
akan segera dikirim ke DPR. Namun, sampai saat ini
memang masih dalam tahap proses penyempurnaan.
"Mudah-mudahan akhir Februari sudah selesai, segera kami
kirim. Perlu waktu setidaknya sebulan untuk dibahas," kata
Tjahjo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa
(23/2/2016).

Mantan anggota Komisi I DPR itu menyampaikan alasan


pemerintah perlu mengebut revisi UU tersebut. Pasalnya,
rancangan UU akan diterapkan pada pelaksanaan Pilkada
Serentak gelombang kedua pada 15 Februari 2017 dengan
jumlah peserta 107 daerah.
"Kan proses berlangsungnya Pilkada Serentak 2017 akan
dimulai pada Februari mendatang," katanya.
Tjahjo mengungkapkan, ada beberapa poin yang akan
direvisi, seperti mengenai jumlah dukungan partai dan
ketentuan calon tunggal, serta pendanaan kampanye.
"Lebih kurang 12 hingga 15 poin (akan direvisi),
menyangkut tahapan-tahapan, menyangkut anggota DPR,
DPD, DPRD serta PNS apakah harus mundur atau tidak ada
yang pro kontra," pungkasnya.

Merdeka.com - Revisi Undang-undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan


Wali Kota atau Pilkada saat ini sedang dibahas antara DPR dengan
pemerintah. Anggota Komisi II DPR, M Misbakhun menyatakan, revisi
terbatas UU Pilkada wajib dilaksanakan dengan arahan menghasilkan
kepemimpinan politik lokal yang kuat dan efektif, mewujudkan demokratisasi
dan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Atas dasar itulah, Misbakhun menekankan tujuh catatan penting revisi UU
Pilkada. Pertama, menghadirkan regulasi yang kredibel dalam arti memenuhi
kepentingan substantif. Selanjutnya menjangkau segala aspek yang
dibutuhkan, memiliki makna tafsir tunggal, dan konsisten memberikan
sandaran yang kuat dalam menuntun perilaku penyelenggara pemilu.

"Konflik-konflik yang bersumber dari regulasi juga dapat ditekan sedemikian


rupa sehingga atas berbagai persoalan yang muncul dalam pemilu dapat
diselesaikan oleh regulasi yang ada," ujar Misbakhun, Senin (18/4).
Kedua, Revisi UU Pilkada diharapkan juga menghasilkan penyelenggara yang
profesional dan berintegritas. Menurut Politikus Golkar itu, kunci untuk
membangun demokrasi yang berintegritas, adalah penyelenggara pemilihan
yang berintegritas dan profesional. Penyelenggara dituntut memiliki
kesadaran yang penuh untuk tunduk kepada prinsip hukum dan etika secara
sekaligus dalam penyelenggaraan pemilihan.
Ketiga, melaksanakan proses elektoral yang murah. Hal ini penting karena
salah satu tujuan pemilihan kepala daerah secara langsung dan serentak
adalah efisiensi anggaran. Karena itu, harus ada komitmen dari semua pihak
agar setiap tahapan dalam pemilihan didesain secara murah.
Keempat, memunculkan partai politik yang responsif. Menurutnya, partai
politik sebagai peserta pemilihan dalam pemilihan kepala daerah secara
langsung mau tidak mau harus senantiasa menyesuaikan diri dengan
dinamika aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
"Hanya partai politik yang mampu berperilaku adaptif lah yang akan mampu
terus berperan dalam kehidupan politik," ucapnya.
Kelima, melahirkan kandidat yang mumpuni dan aspiratif. Dalam hal ini,
dalam merekrut calon kepala/wakil kepala daerah, parpol harus benar-benar
mempertimbangkan kandidat yang memiliki integritas, kapasitas, dan
kapabilitas.
"Fakta bahwa saat ini masyarakat makin cerdas, masyarakat hanya akan
memilih figur kandidat yang sesuai aspirasi mereka, yaitu yang memiliki
integritas, kapasitas, dan kapabilitas. Memberi kesempatan yang setara dan
seluas-luasnya kepada calon kepala daerah yang berasal dari Aparatur Sipil
Negara, TNI/Polri, Pegawai BUMN, anggota DPR, DPD dan DPRD," jelasnya.
Keenam, revisi UU ini diharapkan dapat mewujudkan perilaku politik yang
beradab. Bahwa, semua pihak mulai dari penyelenggara, peserta, kandidat,
pendukung, dan pemilih sedapat mungkin menghindari dan meminimalisir.
Ketujuh, revisi UU harus mengarahkan partisipasi yang rasional. Subatansi
revisi harus bisa menyiapkan pemilih menjadi cerdas dalam membuat
keputusan memilih, berdasarkan preferensi yang rasional, dengan akal sehat
bukan karena sentimen primordial, imbalan uang atau materi apapun.
"Pemilih cerdas akan mendorong hanya yang berkualitas yang maju di
pencalonan. Saya berharap perubahan kedua Undang-Undang ini mampu
menjadi jembatan bagi penyelenggaraan local governance yang demokratis
dan efektif mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerah," tandasnya.

DPR Optimis Revisi UU


Pilkada Rampung Akhir
April
Dian Ramdhani

Kamis, 14 April 2016 16:30 WIB

Wa
kil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria.
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria optimis
pembahasan revisi Undang-undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) akan rampung di masa sidang kali ini.
Riza menyebut, sisa waktu ini akan maksimal digunakan untuk
menyelesaikan pembahasan revisi UU tersebut dengan pemerintah.
"Sampai hari ini kami masih optimis untuk bisa selesai. Pokoknya pada
sidang paripurna ini harus ditetapkan," ujar Riza usai melakukan
konsultasi dengan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) di Jalan Medan
Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (14/4/2016).
Riza mengatakan, dalam waktu dekat pemerintah rencananya juga akan
menyampaikan secara resmi draft usulannya. Dari situ akan dibahas
bersama.
"Ini kan kami tinggal menunggu dalam beberapa hari ini penyampaian
resmi dari pemerintah, usulan draft final dari revisi UU ini," lanjut dia.
Di internal komisi II juga saat ini sedang dikumpulkan daftar isian masalah
(DIM) dari masing-masing fraksi. Yang prosesnya dilakukan oleh
kesekretariatan.
"Di internal fraksi-fraksi sudah dibahas, sudah mulai menyampaikan ke
sekretariat untuk ditabulasikan, dikompilasi," tukasnya.
Seperti diketahui, masa sidang kali ini akan berakhir di 29 April 2016.

Setelah itu DPR akan kembali memasuki masa reses untuk kembali pada
17 Mei 2016.

Catatan Penting dalam


Revisi UU Pilkada
Rico Afrido Simanjuntak

Senin, 18 April 2016 16:53 WIB

Politik
us Partai Golkar, M Misbakhun.
JAKARTA - Revisi Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang
pemilihan gubernur, bupati dan wali kota (pilkada) perlu menghadirkan
regulasi yang tepercaya. Regulasi yang tepercaya dimaksud yang
memenuhi kepentingan substantif, menjangkau segala aspek yang
dibutuhkan, memiliki makna tafsir tunggal, dan konsisten, akan memberi
sandaran yang kuat dalam menuntun perilaku penyelenggara pemilu.
Anggota Komisi II DPR, M Misbakhun mengatakan, revisi Undang-undang
Pilkada itu diharapkan menghasilkan penyelenggara yang profesional dan
berintegritas. Menurutnya, kunci untuk membangun demokrasi yang
berintegritas, adalah penyelenggara pemilu yang berintegritas dan
profesional.
Dia menambahkan, penyelenggara pemilu dituntut mempunyai kesadaran
penuh untuk tunduk kepada prinsip hukum dan etika secara sekaligus
dalam penyelenggaraan pemilihan. "Konflik-konflik yang bersumber dari
regulasi dapat ditekan sedemikian rupa sehingga atas berbagai persoalan
yang muncul dalam pemilu dapat diselesaikan regulasi yang ada, ujar
Misbakhun di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/4/2016).
Politikus Partai Golkar itu menjelaskan, revisi harus melaksanakan proses
elektoral yang murah. Alasannya, salah satu tujuan pemilihan kepala
daerah secara langsung dan serentak adalah efisiensi anggaran.
Maka itu, kata dia, harus ada komitmen dari semua pihak agar setiap
tahapan dalam pemilihan didesain secara murah. Lanjutnya, revisi
Undang-undang Pilkada harus memunculkan partai politik yang responsif.

Dia menuturkan, sebagai peserta pemilihan dalam pemilihan kepala


daerah secara langsung mau tidak mau harus senantiasa menyesuaikan
diri dengan dinamika aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Hanya partai
politik yang mampu berperilaku adaptiflah yang akan mampu terus
berperan dalam kehidupan politik, jelasnya.
Faktor penting lainnya dalam revisi Undang-undang Pilkada yaitu, harus
melahirkan kandidat yang mumpuni dan aspiratif. Dia menuturkan, dalam
merekrut calon kepala/wakil kepala daerah, parpol harus benar-benar
mempertimbangkan kandidat yang memiliki integritas, kapasitas, dan
kapabilitas, bukan semata-mata karena kemampuan finansialnya
sebagaimana kecenderungan selama ini terjadi.
"Memberi kesempatan yang setara dan seluas-luasnya kepada calon
kepala daerah yang berasal dari Aparatur Sipil Negara, TNI/POLRI,
Pegawai BUMN, Anggota DPR, DPD dan DPRD, tandasnya.

Ini Alasan Kemendagri Revisi UU


Pilkada
Kamis, 18 Pebruari 2016 11:00:49 | Berita Kemendagri | (295 view)

JAKARTA Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) berencana merevisi Undang-undang No. 8


Tahun 2015 tentang Pilkada. Apa alasannya? Ternyata ada beberapa hal yang memang menjadi
persoalan sehingga harus diatur kembali seperti apa ketentuannya.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan, ada sejumlah poin yang menjadi
fokus Kementerian Dalam Negeri terhadap UU tersebut Misal, Misalnya terkait persyaratan
ambang batas partai politik (parpol) dapat mengusung pasangan kepala daerah.
"Agar calon kepala daerah tidak borong semua parpol, jadi tak ada lawan. Misalnya begitu," kata
Tjahjo, Kamis (18/2).
Dia menambahkan, pembahasan revisi UU Pilkada dengan DPR direncanakan pada awal Maret
2016. Poin lainnya adalah terkait anggaran Pilkada. Menurut dia, hal ini perlu diatur, apakah perlu
menggunakan APBN, APBD atau bisa dibagi dua (50:50) dengan anggaran itu.
Selanjutnya terkait sengketa pencalonan. "Sekarang Bawaslu punya hak, KPU punya hak, MA
punya hak. Ini harus diputuskan salah satu," ucapnya.
Tjahjo menambahkan, banyak hal yang harus siapkan. Tujuannya agar sistem presidensial ini
lebih efektif dan efisien. Membangun tata kelola pemerintahan antara pusat dan daerah, serta
memperkuat proses administrasi dan otonomi daerah.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Otda)
Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) Anselmus Tan menyatakan, draf revisi akan segera
diserahkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pemerintah berencana melakukan harmonisasi draf Rancangan Undang-Undang (RUU) pada
Kamis (18/2). "Ini akan finalisasi di tingkat pemerintah. Dalam waktu dekat dikirim ke Presiden.
Rapat kabinet baru terbit amanat Presiden," katanya.

Anda mungkin juga menyukai