Hal tersebut agar tak ada lagi dusta di antara para calon yang selalu
menggunakan ketiadaan pengaturan sebagai selimut untuk menutupi
akuntabilitas dana politik yang mengitarinya.
Membenahi Sengketa Hasil
Selain soal pencalonan dan dana, pengaturan pembatasan bagi
pasangan calon untuk mengajukan sengketa hasil ke MK juga layak
dibenahi dan dipertimbangkan untuk dihapus. Bukan saja karena ini
aturan yang tidak lazim dalam standar internasional untuk mencari
keadilan pemilu (electoral justice). Aturan saat ini yang membatasi
secara ketat selisih suara 0,5-2% sebagai syarat untuk diterima
bersengketa hasil di MK.
Angka ini sangat rentan untuk disimpangi dan jadi muara kecurangan
baru. Selisih yang sangat tipis bisa menjadi pemicu calon untuk
melakukan kecurangan secara masif dengan target menghindari selisih
di MK. Pokoknya yang penting menang. Kalau sudah menang toh tak
ada upaya hukum yang bisa ditempuh lawan. Sebagai pembelajaran
misalnya, dalam pilkada Kabupaten Waropen 2015 lalu, dugaan
pelanggaran manipulasi suara di dua tempat pemungutan suara (TPS)
saja ternyata telah mampu melampaui selisih 2% suara.
Tak perlu skala pelanggaran yang terstruktur, masif, apalagi sistematis.
Revisi UU Pilkada kali ini mestinya mengembalikan semangat hukum
sebagai medium menyelesaikan sengketa dan konflik. Biarkan mereka
beramai- ramai mencari legitimasi hukum ke MK, ketimbang
melakukan tindakan di luar jalur hukum yang tak demokratis dan
sudah pasti tak konstitusional pula. Hal-hal di atas hanyalah beberapa
saja yang bisa diurai secara sederhana untuk diperbaiki
pembuatkebijakanmelaluirevisi UU Pilkada.
Belum lagi bicara problematika data pemilih, metode kampanye,
pencalonan, maupun rekrutmen petugas pelaksana yang berintegritas,
sehingga proses yang berjalan mesti betul-betul menempatkan
lahirnya regulasi pemilu yang demokratis sebagai komitmen bersama
DPR dan Pemerintah.
Alih-alih memicu kontroversi atas hal-hal yang tidak krusial, seperti
menaikkan syarat calon perseorangan, akan lebih baik (utamanya bagi
DPR) fokus pada memudahkan setiap warga negara untuk
berkontestasi di pilkada dengan melahirkan aturan yang demokratis
bagi semua pihak.
Urgensi aturan yang demokratis bisa dipastikan menjamin kompetisi
yang adil bagi semua peserta pemilihan. Namun sekali sebuah aturan
dibuat parsial untuk kepentingan sekelompok orang saja, maka pada
saat yang sama tujuan untuk mewujudkan pilkada yang jujur, adil, dan
demokratis tidak akan pernah tercapai.
Titi Anggraini
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi
(Perludem)
Gunawan Wibisono
Jurnalis
Wa
kil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria.
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria optimis
pembahasan revisi Undang-undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) akan rampung di masa sidang kali ini.
Riza menyebut, sisa waktu ini akan maksimal digunakan untuk
menyelesaikan pembahasan revisi UU tersebut dengan pemerintah.
"Sampai hari ini kami masih optimis untuk bisa selesai. Pokoknya pada
sidang paripurna ini harus ditetapkan," ujar Riza usai melakukan
konsultasi dengan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) di Jalan Medan
Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (14/4/2016).
Riza mengatakan, dalam waktu dekat pemerintah rencananya juga akan
menyampaikan secara resmi draft usulannya. Dari situ akan dibahas
bersama.
"Ini kan kami tinggal menunggu dalam beberapa hari ini penyampaian
resmi dari pemerintah, usulan draft final dari revisi UU ini," lanjut dia.
Di internal komisi II juga saat ini sedang dikumpulkan daftar isian masalah
(DIM) dari masing-masing fraksi. Yang prosesnya dilakukan oleh
kesekretariatan.
"Di internal fraksi-fraksi sudah dibahas, sudah mulai menyampaikan ke
sekretariat untuk ditabulasikan, dikompilasi," tukasnya.
Seperti diketahui, masa sidang kali ini akan berakhir di 29 April 2016.
Setelah itu DPR akan kembali memasuki masa reses untuk kembali pada
17 Mei 2016.
Politik
us Partai Golkar, M Misbakhun.
JAKARTA - Revisi Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang
pemilihan gubernur, bupati dan wali kota (pilkada) perlu menghadirkan
regulasi yang tepercaya. Regulasi yang tepercaya dimaksud yang
memenuhi kepentingan substantif, menjangkau segala aspek yang
dibutuhkan, memiliki makna tafsir tunggal, dan konsisten, akan memberi
sandaran yang kuat dalam menuntun perilaku penyelenggara pemilu.
Anggota Komisi II DPR, M Misbakhun mengatakan, revisi Undang-undang
Pilkada itu diharapkan menghasilkan penyelenggara yang profesional dan
berintegritas. Menurutnya, kunci untuk membangun demokrasi yang
berintegritas, adalah penyelenggara pemilu yang berintegritas dan
profesional.
Dia menambahkan, penyelenggara pemilu dituntut mempunyai kesadaran
penuh untuk tunduk kepada prinsip hukum dan etika secara sekaligus
dalam penyelenggaraan pemilihan. "Konflik-konflik yang bersumber dari
regulasi dapat ditekan sedemikian rupa sehingga atas berbagai persoalan
yang muncul dalam pemilu dapat diselesaikan regulasi yang ada, ujar
Misbakhun di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/4/2016).
Politikus Partai Golkar itu menjelaskan, revisi harus melaksanakan proses
elektoral yang murah. Alasannya, salah satu tujuan pemilihan kepala
daerah secara langsung dan serentak adalah efisiensi anggaran.
Maka itu, kata dia, harus ada komitmen dari semua pihak agar setiap
tahapan dalam pemilihan didesain secara murah. Lanjutnya, revisi
Undang-undang Pilkada harus memunculkan partai politik yang responsif.