Anda di halaman 1dari 7

A.

Latar Belakang
Banyak sekali iklan-iklan maupun sugesti produk-produk yang dihadapkan pada masyrakat.
Semua itu bertujuan untuk membujuk para konsumen untuk membeli produk yang mereka iklankan.
Mulai dari produk yang memang dibutuhkan oleh masyarakat hingga produk yang terkesan tidak
terlalu dibutuhkan ataupun sekedar untuk memenuhi gaya hidup seseorang.
Bisnis-bisnis pengusaha waralaba, pusat perbelanjaan, serta kafeteria yang menjamur saat ini
telah menjadi sebuah komoditas masyarakat terutama bagi remaja. Kehadirannya yang ditata dengan
rapi dan ekslusif mampu membangkitkan gairah mayarakat untuk menjadi lebih konsumtif bahkan
sampai menimbulkan budaya konsumer atau juga lebih dikenal dengan budaya konsumtif. Budaya
konsumtif ini menurut Yasraf A. Piliang (dalam sumartono, 2002) tidak hanya memunculkan sifat
fungsional dalam pemenuhan kebutuhan manusia, namun juga bersifat materi sekaligus simbolik,
yaitu mengkonsumsi produk yang lebih mengarah kepada pembentukan identitas pengguna atau
pemakai produk tersebut. Individu yang konsumtif bisa dikatakan tidak lagi dapat mempertimbangkan
fungsi maupun daya guna barang ketika membeli, melainkan hanya melihat nilai prstise yang melekat
pada barang tersebut. Sesuai dengan yang dikemukakan Albary (1994) yang mendefinisikan kata
konsumtif (consumtive) sebagai boros atau perilaku yang boros yaitu, mengonsumsi barang maupun
jasa secara berlebihan tanpa menghiraukan fungsinya. Dalam artian lebih luas adalah perilaku
mengonsumsi yang mendahulukan keinginan daripada kebutuhan tanpa menghiraukan prioritas atau
juga diartikan sebagai gaya hidup mewah maupun hedonis.
Kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang potensial bagi produsen, ini dikarenakan
pola konsumsi seseorang dibentuk ketika seseorang masih berada dalam usia remaja(Tambunan,
2001). Selain itu juga, remajalah yang paling mudah terbujuk oleh iklan, remaja masih suka ikutikutan, tidak realistis pola pikirnya, serta cenderung bersifat boros dalam penggunaan uang yang dapat
disimpulkan bahwa remaja rentan untuk berperilaku konsumtif. Sifat-sifat remaja inilah yang
dimanfaatkan oleh sebagian produsen untuk memasuki pasar remaja. Remaja cenderung memiliki
keinginan untuk tampil menarik bagi orang disekitarnya, karena ini remaja tidak segan-segan untuk

membeli barang yang menarik dan trendi. Akibatnya, remaja tidak memperhatikan kebutuhan ketika
membeli suatu barang. Remaja cenderung membeli barang yang mereka inginkan bukan barang yang
sebetulnya mereka butuhkan secara berlebihan dan tidak wajar. Sikap ini jugalah yang disebut dengan
perilaku konsumtif.
Lubis (dalam Lina dan Rosyid ,1997) mengatakan bahwa perilaku konsumtif adalah suatu
perilaku membeli yang tidak lagi didasarkan pada pertimbangan yang rasional melainkan karena
adanya keinginan yang mencapai taraf irrasional. Anggasari (dalam sumartono, 2002) mengatakan
perilaku konsumtif merupakan tindakan dalam membeli barang-barang yang kurang atau tidak
diperhitungkan sehingga sifatnya menjadi berlebihan. Sedangkan (dalam konsumerisme, 2008)
Anggasari mengatakan perilaku konsumtif terjadi ketika seseorang membeli tidak berdasarkan
kebutuhan namun demi kesengan semata. Dari pernyataan diatas disimpulkan perilaku konsumtif
merupakan kecendrungan manusia untuk mengkonsumsi sesuatu tanpa pertimbangan rasional, fungsi
barang, dan lebih mementingkan faktor keinginan daripada faktor kebutuhan.
Masih menurut Lubis (dalam Lina dan Rosyid, 1997) perilaku konsumtif terjadi baik pada
remaja putra maupun putri. Akan tetapi, remaja putrilah yang lebih cenderung untuk berperilaku
konsumtif dibandingkan remaja putra. Berdasarkan pendekatan psikologi konsumen, Zebua dan
Nurdjayadi mengatakan remaja putri merupakan kelompok konsumen yang memiliki karakteristik
khas seperti mudah terbujuk iklan, dan rayuan penjual, tidak hemat, kurang realistik, mudah tertarik
pada mode, romantis dan impulsif. Karakteristik yang khas ini memudahkan remaja putri dijerat
produsen dalam perilaku membeli yang tidak efisien. Dalam perilakunya sehari-hari dapat diamati
remaja putri khususnya pelajar SMA yang berperilaku konsumtif. Ini dapat dilihat dari banyaknya
remaja putri yang membeli produk-produk fashion dan aksesoris yang mereka percayai dapat
menambah kecantikan diri mereka. Jamak terjadi remaja putri membeli produk fashion yang sama
dengan teman-temannya bahkan saling membanding-bandingkan barang kepemilikan mereka untuk
melihat barang siapa yang kualitas dan harganya yang lebih baik serta lebih trendy.

Konsep diri sebagai remaja dan tingkat konformitas terhadap kelompok teman sebaya
merupakan karaktrtisitik psikologi tertentu yang dimiliki oleh remaja dan terkait dengan perilaku
konsumtif pada remaja (Zebua dan Nurjayadi, 2001). Menurut santrock konformitas muncul ketika
individu meniru sikap atau tingkah laku seseorang dikarenakan tekanan yang nyata ataupun riil
maupun yang dibayangkan oleh remaja itu sendiri. Menurut Sears, Freedman, dan peplau konformitas
merupakan pengaruh sosial kelompok yang dimana individu mengubah sikap dan tingkah laku.
Sedangkan menurut Kiesler dan Kiesler (dalam Rakhmat, 2000) konformitas merupakan perubahan
perilaku atau kepercayaan menuju norma kelompok sebagai akibat tekanan kelompok yang nyata atau
dibayangkan. Hurlock mengatakan konformitas cenderung lebih tinggi pada fase remaja awal dan
akan menurun pada fase remaja akhir seiring dengan perkembangan kognisi dan emosi remaja yang
semakin matang. Pada fase remaja akhir, remaja akan mampu menentukan perilaku atau nlai yang
sesuai dengan diri remaja itu sendiri. Ciri dari menurunnya konformitas dapat dilihat dari adanya
keinginan untuk berbeda dengan teman atau kelompok sebayanya.
Dibandingkan remaja putra, remaja putri lebih banyak melakukan konformitas. Penelitian
Rice (dalam Zebua dan Nurjayadi, 2001) menemukan bahwa remaja putri lebih konform terhadap
kelompoknya deibandingkan dengan remaja putra. Rice mengungkapkan ini dikarenakan besarnya
keinginan untuk menjaga harmonisasi, mencapai persetujuan dan penerimaan sosial. Toder dan
Marcia mempunyai alasan lain, remaja putri lebih konform dibanding remaja putra dikarenakan
remaja putri masih labil dan perempuan yang masih labil dan bingung dengan identitasnya akan lebih
mudah konform dibandingkan dengan perempuan yang sudah matang dan stabil.
Tekanan dalam kelompok baik itu secara nyata maupun tidak yang terjadi dalam sebuah
kelompok menyebabkan para remaja rela menghabiskan uang untuk membeli barang-barang ataupun
jasa yang tidak dibutuhkan secara berlebihan. Surya, 1999 mengatakan tujuan yang ingin didapat oleh
remaja dengan bersikap konformis seperti diakui eksistensinya sebagai anggota kelompok, menjaga
hubungan dengan kelompok, mempunyai ketergantungan dengan kelompok, dan untuk menghindari
sanksi dari kelompoknya. Seperti sebuah kejadian nyata yang dikutip dari Batam Pos (2009) seorang
remaja harus mendekam dipenjara karena membunuh orang lain demi mempunyai sebuah telepon

genggam (handphone) yang sama seperti teman-temanya dapat dijadikan bukti konformitas pada usia
remaja.
Konformitas dalam remaja putri juga dilakukan untuk diterima oleh kelompoknya serta untuk
mendapatkan pengakuan sebagai bagian dari kelompk tersebut. Hal ini menyebabkan remaja putri
cenderung menghabiskan lebih banyak uangnya yang sebagian besar didapatkan dari orang tua untuk
menunjang penampilannya dengan membeli barang-barang baru serta bermerk sama dengan anggota
kelomponya. Remaja putri seringkali berlomba untuk menjadi pusat trend (trend centre) dalam
kelompoknya, yaitu individu yang menentukan trend yang mesti diikuti oleh anggota kelompok yang
lain. Pusat trend inilah yang menyebabkan remaja putri lebih banyak mengkonsumsi pakaian ataupun
busana serta aksesoris dengan merk terkenal. Remaja putri juga menyadari bahwa busana dan aksesori
dengan merk terkenal dapat meningkatkan citra atau image tentang dirinya. Upaya meningkatkan citra
atau image ini terakumulasi dalam suatu konsep yang berisikan gambaran tentang bagaimana setiap
remaja mempersepsikan dirinya (Zebua dan Nurjayadi ,2001). Didalamnya termasuk bagaimana
remaja menampilkan dirinya secara fisik. Upaya ini menyebabkan remaja putri sensitif terhadap
gambaran fisik mereka, tubuh yang pendek, gemuk, pesek, warna kulit, dan sebagainya dapat
membuat remaja merasa rendah diri sehingga remaja mencari cara untuk meningkatkan harga dirinya.
Harga diri adalah suatu kedaan pikiran. Memiliki haga diri berarti memiliki kepercayaan,
perasaan kelayakan dan positif terhadp dirinya. Harga diri merupakan bagian dari konsep diri yang
mempunyai arti sebagai suatu hasil penilaian individu terhadap dirinya yang diungkapkan dalam
sikap-sikap yang dapat bersikap positif maupun negatif (Baron dan Bryne, 2004). Harga diri yang
positif akan mebangkitkan kepercayaan diri, penghargaan diri, rasa yakin akan kemampuan diri, rasa
berguna serta yakin akan kehadiran dirinya diperlukan oleh dunia. Berbeda dengan individu yang
memiliki harga diri rendah akan cenderung merasa dirinya tidak mampu dan tidak berharga oleh dunia
(Tambunan, 2001). Remaja dengan harga diri rendah akan berusaha mencari pengakuan dan perhatian
dari orang lain terutama teman sebayanya. Salah satu cara yang dapat mereka lakukan adalah
menggunakan barang-barang yang terkesan mewah dan bermerk dengan harapan dapat meningkatkan
citra dirinya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ratna Yunita (2014) pada siswa kelas XI SMA
Muhammadiyah 1 Yoyakarta, ia mendapatkan bahwa terdapat hubungan negatif antara harga diri
dengan perilaku konsumtif, yaitu semakin tinggi harga diri yang dimiliki siswa maka semakin rendah
perilaku konsumtifnya dan sebaliknya semakin rendah harga diri yang dimiliki siswa maka semakin
tinggi pula perilaku konsumtifnya. Seorang siswa yang memiliki harga diri tinggi merasa nyaman
dengan dirinya sehingga tidak memperhitungkan gengsi dan prestige sebagaik bentuk untuk
menaikkan harga dirinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sears, Freedman, dan paplau (1991) yang
mengatakan harga diri berpengaruh pada perilaku membeli. Remaja dengan harga diri yang rendah
akan cenderung lebih mudah dipengaruhi daripada yang harga dirinya tinggi. Jika tingkat harga diri
pada remaja putri rendah, maka remaja putri tersebut akan mengikuti tekanan dan kemauan sekitarnya
untuk meningkatkan harga dirinya termasuk berperilaku konsumtif. Sebaliknya, jika tingkat harga diri
remaja putri cukup tinggi, maka ia akan dapat melakukan dan mengambil keputusan untuk dirinya
sendiri tanpa dipengaruhi oleh lingkunga sekitarnya. Hawkins (Hidayati, 2001) menyatakan bahwa
konsumen yang tidak yakin pada dirinya sendiri mempunyai harga diri yang rendah akan membeli
setiap produk yang dianggap mempunyai arti simbolik yang bisa menaikkan harga dirinya. Remaja
yang mempunyai kecendrungan untuk berperilkau konsumtif tersebut bisa merupakan indikasi bahwa
mereka kurang percaya terhadap dirinya sendiri dan rendah diri.
Uraian-uraian yang sudah diungkapkan diatas dapat mengungkapkan bahwa terdapat suatu
keterkaitan yang signifikan antara konformitas dan harga diri dengan perilaku konsumtif pada remaja
putri. Perilaku konsumtif pada remaja putri tidak lepas dari pengaruh kelompok sosialnya. Selain itu
juga, perilaku konsumtif yang dilakukan remaja putri dalam rangka untuk menunjang penampilan diri
yang terkait dengan harga dirinya. Dikarenakan itu penulis sangat tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul Hubugan antara Konformitas dan Harga Diri dengan Perilaku Konsumtif pada remaja
Putri Di Kota Pekanbaru

B. rumusan masalah
Didasarkan latar belakang masalah diatas, didapatkan rumusan masalah penelitian sebagai
berikut :
1. Apakah terdapat hubungan antara konformitas dengan perilaku konsumtif pada remaja
putri ?
2. Apakah terdapat hubungan antara harga diri dengan perlaku konsumtif pada remaja putri
?
3. Apakah terdapat hubungan antara konformitas dan harga diri dengan perilaku konsumtif
pada remaja putri?
C. Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian yang dilaksanakan peneliti
adalah :
1. Sebuah Jurnal penelitian yang dilakukan oleh Alia Muhlis Damayanti yang berjudul
Hubungan Antara Konformitas dengan Perilaku Konsumtif Pada Mahasiswi Indekost
Mewah dikecamatan Kartasura. Dalam penelitian ini, peneliti (Ali Muhlis Damayanti)
juga meneliti mengenai perilaku konsumtif dan konformitas, tetapi penelitian tidak
menyertai Harga diri sebagai variabel penelitian dan melakukan penelitian di kota
berbeda serta subjek penelitian di khususkan pada mahasiswa juga berbeda dengan
penulis.
2. Jurnal penelitian yang diteliti oleh Nur Fitriyani, Prasetyo Budi Widodo, Nailul Fauziah
yang berjudul Hubungan Antara Konformitas dengan Perilaku Konsumtif Pada
Mahasiswa Di Genuk Indah Semarang. Penelitian ini juga mempunyai variabel yang
sama dengan yang akan diteliti penulis, namun penelitian ini juga tidak menyertai Harga
diri dalam variabel penelitiannya. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan dikota yang
berbeda serta menjadikan mahasiswi secara khusus berbeda dengan penulis yang
menggunakan remaja putri secara umum sebagai subjek penelitian.
3. Hubungan Perilaku Konsumtif Dengan Konformitas Pada Remaja karya Hotpascaman
dan Irmawati merupakan skripsi terdahulu (2010) yang juga mempunyai dua variabel
yang sama dengan penulis (Konformitas dan Perilaku Konsumtif). Namun, Skripsi ini
juga tidak menyertakan Harga diri sebagai variabel penelitian. Menggunakan remaja

sebagai subjek pada penelitiannya berbeda dengan penulis yang mengkhususkan pada
remaja putri sebagai subjek penelitian.
D. Tujuan
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Mengetahui hubungan antara konformitas dengan perilaku konsumtif pada remaja
putri.
b. Mengetahui hubungan antara harga diri dengan perilaku konsumtif pada remaja
putri.
c. Mengetahui hubungan antara konformitas dan harga diri dengan perilaku
konsumtif pada remaja putri.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat
a. Secara teoritis
Penelitian ini dilakukan untuk dapat memberi sumbangan bagi para ilmuan
psikologi sehingga dapat memperkaya ilmu pengetahuan khususnya psikologi
sosial serta psikologi industri dan organisasi terutama pada bidang psikologi
konsumen mengenai hubungan antara konformitas dan harga diri dengan perilaku
konsumtif.
b. Secara praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi, masukan, dan
pemikiran mengenai hubungan konformitas dan harga diri dengan perilaku
konsumtif pada remaja putri di pekanbaru.

Anda mungkin juga menyukai