Anda di halaman 1dari 33

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Guillain Barre syndrome (GBS) adalah suatu sindroma klinis dari
kelemahan akut ekstremitas tubuh, yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan
bukan oleh penyakit sistemis.
John Lettsom, 1787 , merupakan orang pertama yang mengangkat masalah
neuropati perifer. Ia mendeskripsikan penyakit ini sebagai akibat dari konsumsi
alkohol yang berlebihan. Deskripsi ini tidak dapat memberikan bukti tentang
adanya kelainan patologis maupun anatomis dari penderita.
James Jackson, 1822, kembali mendeskripsikan penyakit ini sebagai
alcoholic neuropathy , namun tanpa kelainan patologis dan anatomis.
Pada tahun 1859, Landry, mempublikasikan artkelnya yang berjudul A
note on acute ascending paralysis . Artikel ini bercerita tentang seorang pasien
yang telah mengalami paralisis akut selama lebih dari 8 hari, sebelum akhirnya
meninggal dunia. Paralisis ini meliputi kelemahan otot otot proksimal, otot
pernapasan, kelemahan dan kehilangan refleks, dan takikardi. Paralisis ini dikenal
dengan sebutan Landrys paralysis.
Osler, 1982, lebih terperinci dengan apa yang disebutnya sebagai Acute
Febrile Polyneuritis.
Pada tahun 1916, Guillain, Barre, dan Strohl mempublikasikan penelitian
mereka yang berjudul On a syndrome of radiculoneuritis with hyperalbuminosis

Guillane Barre Syndrome

of cerebrospinal fluid without a cellular reaction : Remarks on the clinical


characteristics and tracings of the tendons reflexes . Ketiga orang ini
menemukan kelainan patologis yaitu adanya disosiasi albuminositologi di dalam
cairan serebrospinal dan disertai dengan radikuloneuritis. Guillain tetap
berpendapat bahwa apa yang mereka bertiga kemukakan sebenarnya adalah
Landrys paralysis . Tahun 1927, Draganescu dan Claudian memberi nama
penyakit ini sebagai Guillain Barre Syndrome. Sebab mengapa Strohl tidak
diikutsertakan sampai saat ini belum diketahui.

Guillane Barre Syndrome

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan
tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri
dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang
sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris,
otonom, maupun susunan saraf pusat.

2.2 Etiologi
Guillain-Barre

Syndrom

(GBS)

adalah

inflamasi

demielinisasi

polineuropati akut yang di tandai oleh kelemahan motorik, paralisis, dan


hiporefleksia simetris, asendens dan progresif dengan atau tanpa disertai gejala
sensorik atau otonom. Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan
karena hilangnya myelin, material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini
disebut demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh
saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali. GBS menyebabkan
inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa saraf. Oleh karena
itu GBS disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy
(AIDP).

Guillane Barre Syndrome

Gambar 1.1 Demielinisasi saraf pada GBS


Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini
belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh
penyakit autoimun.
Pada sebagian besar kasus, GBS didahului oleh infeksi yang disebabkan
oleh virus, yaitu Epstein-Barr virus, coxsackievirus, influenzavirus, echovirus,
cytomegalovirus, hepatitisvirus, dan HIV. Selain virus, penyakit ini juga didahului
oleh infeksi yang disebabkan oleh bakteri seperti Campylobacter Jejuni pada
enteritis, Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta , Salmonella, Legionella dan ,
Mycobacterium Tuberculosa ; vaksinasi seperti BCG, tetanus, varicella, dan
hepatitis B ; penyakit sistemik seperti kanker, lymphoma, penyakit kolagen dan
sarcoidosis ; kehamilan terutama pada trimester ketiga ; pembedahan dan anestesi
epidural. Infeksi virus ini biasanya terjadi 2 4 minggu sebelum timbul GBS.

Guillane Barre Syndrome

2.3 Patofisiologi
Infeksi baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain
memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen tersebut
mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi proses pematangan
limfosit B dan memproduksi autoantibodi spesifik. Ada beberapa teori mengenai
pembentukan autoantibodi , yang pertama adalah virus dan bakteri mengubah
susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya sebagai benda
asing.
Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan
kemampuan

sistem

imun

untuk

mengenali

dirinya

sendiri

berkurang.

Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin, bahkan kadang kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.
Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin
disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan
myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya respon imun terhadap myelin yang di
invasi oleh antigen tersebut.
Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat
mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya
untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls
sensoris dari seluruh bagian tubuh.

Guillane Barre Syndrome

Gambar 1.2 Patofisiologi Pasien GBS

2.4 Epidemiologi
Guillain Barre syndrome adalah salah satu jenis dari kelumpuhan susunan
saraf tepi. Penyakit-penyakit pada susunan saraf tepi dapat berupa :

Sumsum tulang belakang


Polio
Mielitis transversa
Trauma

Akar saraf tepi


Guillain Barre

Saraf tepi
Neuritis infeksi/ kurang gizi
Trauma
Guillane Barre Syndrome

Sambungan saraf-otot
Miastenia Gravis

Otot
Miositis akut virus
Distrofi dll.
GBS merupakan penyakit yang bertempat di akar saraf tepi. Di Amerika

Serikat, insiden terjadinya GBS berkisar antara 0,4 2,0 per 100.000 penduduk.
GBS merupakan a non sesasonal disesae dimana resiko terjadinya adalah
sama di seluruh dunia pada pada semua iklim. Perkecualiannya adalah di Cina ,
dimana predileksi GBS berhubungan dengan Campylobacter jejuni, cenderung
terjadi pada musim panas.
GBS dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia maupun ras.
Insiden kejadian di seluruh dunia berkisar antara 0,6 1,9 per 100.000 penduduk.
Insiden ini meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. GBS merupakan
penyebab paralisa akut yang tersering di negara barat.
Angka kematian berkisar antara 5 10 %. Penyebab kematian tersering
adalah gagal jantung dan gagal napas. Kesembuhan total terjadi pada + 20 %
penderita GBS. Antara 5 10 % sembuh dengan cacat yang permanen.

Guillane Barre Syndrome

1
0

2.5 Klasifikasi
Guillain Barre syndrome dapat dibagi menjadi 5 tipe, yaitu :
1. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
2. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)
3. Miller Fisher Syndrome
4. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)
5. Acute pandysautonomia

2.6 Gejala Klinis


GBS merupakan penyebab paralisa akut yang dimulai dengan rasa baal,
parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisa ke empat
ekstremitas yang bersifat asendens. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral.
Refelks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali.
Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan
menyebar secara progresif dalam hitungan jam, hari maupun minggu, ke
ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf motoris ini bervariasi
mulai dari kelemahan sampai pada yang menimbulkan quadriplegia flacid.
Keterlibatan saraf pusat , muncul pada 50 % kasus, biasanya berupa facial
diplegia. Kelemahan otot pernapasan dapat timbul secara signifikan dan bahkan
20 % pasien memerlukan bantuan ventilator dalam bernafas. Anak-anak biasanya
menjadi mudah terangsang dan progersivitas kelemahan dimulai dari menolak
untuk berjalan, tidak mampu untuk berjalan, dan akhirnya menjadi tetraplegia.
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan
dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan
Guillane Barre Syndrome

1
1

sensasi getar. Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan
disestesia pada extremitas distal. Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai
kelemahan otot yang terjadi. terutama pada anak anak. Rasa sakit ini biasanya
merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50% anak anak yang dapat
menyebabkan kesalahan dalam mendiagnosis.
Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan
kematian. Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi,
aritmia bahkan cardiac arrest , facial flushing, sfincter yang tidak terkontrol, dan
kelainan dalam berkeringat. Hipertensi terjadi pada 10 30 % pasien sedangkan
aritmia terjadi pada 30 % dari pasien.
Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa
disfagia, kesulitan dalam berbicara, dan yang paling sering ( 50% ) adalah
bilateral facial palsy.
Gejala gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah kesulitan
untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan menelan dan
bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan penglihatan kabur
(blurred visions).

2.7 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang
bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan
menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan
pada otot otot intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan

Guillane Barre Syndrome

1
2

kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak
ditemukan.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Pada pemeriksaan cairan cerebrospinal didapatkan adanya kenaikan kadar
protein ( 1 1,5 g / dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oloeh
Guillain, 1961, disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan
cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga.
Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua.
Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang
kurang dari 10 / mm3 pada kultur LCS tidak ditemukan adanya virus ataupun
bakteri.
Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal,
kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu
kedua dan pada akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan.
Pada

pemeriksaan

EMG

minggu

pertama

dapat

dilihat

adanya

keterlambatan atau bahkan blok dalam penghantaran impuls , gelombang F yang


memanjang dan latensi distal yang memanjang. Bila pemeriksaan dilakukan pada
minggu ke 2, akan terlihat adanya penurunan potensial aksi (CMAP) dari
beberapa otot, dan menurunnya kecepatan konduksi saraf motorik.
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan
kira kira pada hari ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan
gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95%
kasus GBS.
Guillane Barre Syndrome

1
3

Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada
stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy.

Kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological and


Communicative Disorders and Stroke ( NINCDS)
Gejala utama
1. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan
atau tanpa disertai ataxia
2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general

Gejala tambahan
1. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu
2. Biasanya simetris
3. Adanya gejala sensoris yang ringan
4. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral
5. Disfungsi saraf otonom
6. Tidak disertai demam
7. Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4

Pemeriksaan LCS
1. Peningkatan protein
2. Sel MN < 10 /ul

Guillane Barre Syndrome

1
4

Pemeriksaan elektrodiagnostik
Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf

Gejala yang menyingkirkan diagnosis


1. Kelemahan yang sifatnya asimetri
2. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten
3. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul
4. Gejala sensoris yang nyata

Selain kriteria yang meyakinkan akan diagnosis GBS, terdapat juga ciriciri yang membuat diagnosis meragukan yaitu :

Kelemahan yang tetap asimetrik

Tetap adanya gangguan miksi dan defekasi

Adanya gangguan miksi dan defekasi sejak awal

Jumlah sel dalam cairan serebrospinal > 50/mm3

Adanya sel PMN dalam cairan serebrospinal

Adanya batas gangguan sensibilitas yang jelas

Sementara itu, tanda-tanda yang menentang diagnosis GBS adalah :

Adanya anamnesis penggunaan senyawa hexacarbon, misalnya glue


sniffing

Adanya metabolisme porphyrin abnormal seperti acute intermittent


porphyria

Riwayat diphteri yang baru, dengan ataupun tanpa myocarditis

Guillane Barre Syndrome

1
5

Tanda-tanda keracunan timah, ditandai dengan adanya kelemahan ekstremitas


atas dengan wrist drop

Hanya didapat gangguan sensorik saja

Adanya kepastian diagnosis lain seperti poliomielitis, botulime, polineuropati


toksik

2.9 Diagnosis Banding


GBS harus dibedakan dengan beberapa kelainan susunan saraf pusat
seperti myelopathy, dan poliomyelitis. Pada myelopathy ditemukan adanya spinal
cord syndrome dan pada poliomyelitis kelumpuhan yang terjadi biasanya
asimetris, dan disertai demam.
GBS juga harus dibedakan dengan neuropati akut lainnya seperti
porphyria, diphteria, dan neuropati toxic yang disebabkan karena keracunan
thallium, arsen, dan plumbum.
Kelainan neuromuscular junction seperti botulism dan myasthenia gravis
juga harus dibedakan dengan GBS. Pada botulism terdapat keterlibatan otot otot
extraoccular dan terjadi konstipasi. Sedangkan pada myasthenia gravis terjadi
ophtalmoplegia.
Myositis juga memberikan gejala yang mirip dengan GBS, namun
kelumpuhan yang terjadi sifatnya paroxismal. Pemeriksaan CPK menunjukkan
peningkatan sedangkan LCS normal.

Guillane Barre Syndrome

1
6

2.10

Penatalaksanaan
Pada prinsipnya, pasien GBS dilakukan 5 hal di bawah ini, yaitu :

Pemasukan ke ICU : A B C

Plasma exchange therapy

IVIg

Kortikosteroid

Fisioterapi
Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus
dilakukan observasi tanda tanda vital. Ventilator harus disiapkan disamping pasien
sebab paralisa yang terjadi dapat mengenai otot otot pernapasan dalam waktu 24
jam. Ketidakstabilan tekanan darah juga mungkin terjadi. Obat obat anti hipertensi
dan vasoaktive juga harus disiapkan.
Pasien dengan progresivitas yang lambat dapat hanya diobservasi tanpa
diberikan medikamentosa.
Pasien dengan progresivitas cepat dapat diberikan obat obatan berupa
steroid. Namun ada pihak yang mengatakan bahwa pemberian steroid ini tidak
memberikan hasil apapun juga. Steroid tidak dapat memperpendek lamanya
penyakit, mengurangi paralisa yang terjadi maupun mempercepat penyembuhan.
Plasma exchange therapy (PE) telah dibuktikan dapat memperpendek
lamanya paralisa dan mepercepat terjadinya penyembuhan. Waktu yang paling
efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala.
Regimen standard terdiri dari 5 sesi ( 40 50 ml / kg BB) dengan saline dan
albumine sebagai penggantinya. Perdarahan aktif, ketidakstabilan hemodinamik
berat dan septikemia adalah kontraindikasi dari PE.

Guillane Barre Syndrome

1
7

Gambar 1.3 Plasma Exchange Therapy

Intravenous inffusion of human Immunoglobulin ( IVIg ) dapat


menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto
antibodi tersebut. IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian
menetralisir antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak
terbentuk. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul
dengan dosis 0,4 g / kg BB / hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan
dengan IVIg tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya
memberikan PE atau IVIg.

Guillane Barre Syndrome

1
8

Gambar 1.4 Sistem Imunitas

Heparin dosis rendah dapat diberikan untuk mencegah terjadinya


trombosis. Fisioterapi juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kekuatan dan
fleksibilitas otot setelah paralisa.

Problem Fisioterapi
Berdasarkan penjabaran di atas dapatlah disebutkan ada 4 problem dasar
dari sisi pandang fisioterapi, yaitu problem muskuloskeletal, kardiopulmonari,
otonomik dan sensorik. Dalam bab ini akan dibahas secara mendetail masingmasing problem.

Guillane Barre Syndrome

1
9

Muskuloskeletal
Gangguan muskuloskeletal yang menonjol adalah berkurangnya kekuatan
otot. Seperti disebutkan di atas, kelemahan otot disebabkan oleh terhambatnya
atau terhentinya konduksi saraf dari spinal cord ke neuromusculo junction, yang
satuannya disebut motor unit. Satu motor unit adalah beberapa serat otot yang
mendapatkan inervasi oleh satu motor neuron. Saraf yang menginervasi motor
neuron berasal dari akar saraf tulang belakang. Satu akar saraf bisa menginervasi
ribuan motor neuron. Sebaliknya satu otot mungkin disarafi oleh beberapa motor
neuron yang berasal dari beberapa akar saraf tulang belakang. Jadi bila ada satu
akar saraf mengalami gangguan, maka sebagian serabut otot tidak mendapatkan
inervasi; sedangkan serabut otot yang mendapat innervasi dari akar saraf lain
masih mendapatkan konduksi saraf.
Kelumpuhan (plegia) terjadi akibat banyaknya motor unit, atau semua,
dalam satu otot yang tidak terkonduksi, sehingga otot tersebut tidak bisa
dikontraksikan. Sedangkan kelemahan (parese) terjadi akibat hanya sebagian
motor unit dalam satu otot yang masih terkonduksi saraf, sehingga masih mampu
untuk mengkontraksikan otot tersebut. Oleh karena hanya sebagian serabut otot
yang terinervasi yang bekerja untuk menggerakkan satu otot, penderita GBS lebih
cepat lelah.
Selanjutnya bila otot tidak bisa berkontraksi berarti bagian badan tersebut
tidak bergerak. Bila hal ini terjadi dalam kurun waktu lama, yang akan terjadi
bukan hanya kekuatan otot yang terganggu, tetapi juga akan terjadi pemendekan
otot, dan keterbatasan luas gerak sendi (LGS). Jadi akibat berkurangnya konduksi

Guillane Barre Syndrome

2
0

saraf, akan mengurangi jumlah motor unit yang bekerja, bahkan mungkin tidak
ada sama sekali, sehingga kelemahan otot atau lumpuh sama sekali, dan akan
terjadi pemendekan otot, dan pada akhirnya keterbatasan LGS.
Kardiopulmoner
Hal yang sama juga terjadi bila proses kerusakan selaput myelin terjadi
pada tingkat akar saraf thoracal, karena akan terjadi kelemahan otot-otot
pernafasan, yakni otot intercostal. Bahkan bila menyerang tingkat cervical,
diafragma mengalami gangguan juga. Akibatnya bahkan semakin rumit. Oleh
karena otot-otot intercostal, mungkin juga diafragma, berkurang kekuatannya,
maka ekspansi dada berkurang.
Hal ini berakibat berkurangnya kapasitas vital paru, sehingga fungsi
ventilasi juga menurun. Akibat kapasitas vital menurun, kemampuan batuk pun
menurun. Sehingga kemampuan untuk membersihkan saluran pernafasan menjadi
berkurang.
Keadaan ini diperburuk oleh kenyataan bahwa penderita yang mengalami
kelemahan otot paru hanya mampu berbaring. Dalam posisi berbaring, kapasitas
paru semakin berkurang karena pengaruh gravitasi terhadap posisi paru. Akibat
gravitasi juga, otot-otot pernafasan yang sudah lemah tersebut, semakin berat
melakukan ekspansi paru. Berkurangnya daya ekspansi paru berakibat terjadinya
atelektasis, sehingga fungsi ventilasi paru berkurang.
Resiko infeksi paru tinggi bila terjadi gangguan menelan, akibat
terserangnya cranial nerves yang bersangkutan. Karena gangguan menelan
tersebut, makanan bisa masuk ke saluran pernafasan, yang akan menjadi sumber

Guillane Barre Syndrome

2
1

penyebab infeksi paru. Terjadinya infeksi paru akan meningkatkan kebutuhan


ventilasi. Sebaliknya infeksi paru juga menurunkan kemampuan pertukaran gas di
paru. Sehingga perbedaan kebutuhan ventilasi dan kemampuan ventilasi paru akan
sangat besar, yang akan memperburuk kondisi pasien.

Sistem Saraf Otonomik


Selain gangguan kardiopulmonari, bila kerusakan selaput myelin mencapai
tulang belakang tingkat thoracal, maka akan terjadi juga gangguan saraf otonomik
simpatik. Bila gangguan selaput myelin mencapai saraf vagus (salah satu cranial
nerves) akan terjadi gangguan parasimpatik. Oleh karena saraf-saraf tepi
otonomik berakar dari akar saraf yang keluar dari antara tulang belakang thoracal
dan saraf vagus. Gangguan yang biasanya tampak adalah naik turunnya tekanan
darah, keringat yang berlebihan, ataupun postural hipotensi.
Kecuali gangguan tekanan darah yang naik turun secara tiba-tiba, dan
menelan, gangguan-gangguan tersebut tidak akan banyak mempengaruhi program
fisioterapi. Tetapi dalam memberikan pengobatan fisioterapi hendaknya selalu
mengawasi tanda-tanda tersebut, terutama bila hendak memberikan perubahan
posisi yang berarti atau mobilisasi.
Sensasi
Gejala lain yang dirasakan penderita GBS adalah gangguan rasa (sensasi).
Gangguan rasa yang dirasakan adalah kesemutan, tebal, rasa terbakar, ataupun
nyeri (Fredericks et all 1996). Pola penyebarannya tidak teratur dan tidak simetris,
bisa berubah setiap saat. Meskipun gangguan tersebut tidak berbahaya, tetapi
Guillane Barre Syndrome

2
2

gangguan rasa tersebut menimbulkan rasa tidak nyaman. Rasa nyeri kadangkala
juga terjadi akibat sebuah sendi tidak digerakkan dalam waktu tertentu. Jadi
kadangkala nyeri murni disebabkan oleh gangguan sensasi, tetapi kadangkala juga
disebabkan oleh kombinnasi gangguann sensasi dan sendi yang sudah lama tidak
digerakkan.
Selain gangguan rasa yang berakibat tidak nyaman, gangguan sensasi juga
bisa menyebabkan komplikasi. Misalnya gangguan rasa tebal, disertai kelemahan
otot, bisa menyebabkan dekubitus. Oleh karenanya perlu dipikirkan untuk
pencegahannya.

Penatalaksanaan Fisioterapi
Penatalaksanaan fisioterapi pada penderita GBS harus dimulai sejak awal,
yaitu sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang
unik, ada dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan fisioterapi. Yang
pertama adalah fase ketika gejala masih terus berlanjut hingga berhenti sebelum
kondisi pasien terlihat membaik. Pada fase tersebut yang diperlukan adalah
mempertahankan kondisi pasien, meskipun kondisi pasien akan terus menurun.

Guillane Barre Syndrome

2
3

Gambar 1.5 Pelaksanaan Fisioterapi pada GBS

Sedangkan yang kedua adalah pada fase penyembuhan, ketika kondisi


pasien membaik. Pada fase ini pengobatan fisioterapi ditujukan pada penguatan
dan pengoptimalan kondisi pasien. Pada fase pertama penekanan pada semua
problem menjadi sangat penting. Sedangkan pada fase kedua hanya problem
muskuloskeletal dan kardiopulmari yang menjadi penekanan. Secara keseluruhan
penatalaksanaan fisioterapi ditujukan pada pengoptimalan kemampuan fungsional.
Meskipun

ada

komponen

problem

dari

sudut

fisioterapi,

penatalaksanaannya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Oleh karenanya
Guillane Barre Syndrome

2
4

sulit memisahkan satu masalah dengan masalah yang lain. Penulis berusaha
memisahkan penatalaksanaan fisioterapi berdasarkan tiap problem, sesuai dengan
penguraian problem di atas supaya lebih detail. Tetapi pada prakteknya,
pemberian fisioterapi tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain.
Penatalaksanaan Fisioterapi pada Problem Muskuloskeletal
Seperti telah disebutkan di atas, masalah muskuloskeletal adalah penting
baik pada fase pertama maupun kedua oleh karena bukan hanya motorik adalah
masalah utama penderita GBS, tetapi juga skeletal sebagai akibat dari gangguan
motorik. Pada fase pertama yang perlu diberikan adalah mempertahankan
kekuatan otot, panjang otot, luas gerak sendi (LGS), tanpa melupakan bahwa
kondisi pasien masih akan terus memburuk dalam waktu maksimal 2 minggu.
Bila panjang otot dan LGS terus terjaga pada fase pertama, fisioterapi pada
fase kedua ditekankan peningkatan kekuatan otot, dengan tetap memperhitungkan
jumlah motor unit yang kembali bekerja.
Penatalaksanaan pada masalah kekuatan otot
Pada fase pertama, program awal yang bisa diberikan adalah latihan aktif,
bila memungkinkan. Bila penderita tidak mampu menggerakkan sendiri anggota
badannya, sebaiknya bantuan diberikan (=aktif asistif). Bila kemudian kondisi
kelemahan otot sangat menonjol, latihan pasif harus diberikan; artinya fisioterapis
yang menggerakkan angota badan penderita. Oleh karena dalam fase ini, kondisi
penderita akan menurun, maka biasanya bantuan yang diberikan fisioterapis
kepada pasien semakin banyak dari waktu ke waktu.

Guillane Barre Syndrome

2
5

Sebaiknya

seorang

fisioterapis

mempunyai

sistematis

dalam

menggerakkan anggota tubuh pasien, sehingga tidak ada bagian yang terlewati.
Selain itu fisioterapis juga akan bisa sekaligus mengamati perkembangan motorik
pasien bila dilakukan secara sistematis. Dianjurkan menggerakkan anggota tubuh
dari bawah, sehingga akan diakhiri dengan bagian tubuh yang terkuat. Secara
psikis hal ini juga akan sangat membantu motivasi pasien. Selain menggerakkan
bagian tubuh secara sistematis, juga sebaiknya arah gerakan tiap sendi dibuat
secara sistematis, sehingga tidak ada gerakan otot yang tertinggal.
Dalam menggerakkan anggota badan, sebaiknya fisioterapis mengamati
tingkat toleransi pasien terhadap latihan. Jangan sampai pasien dibiarkan terlalu
lelah atau memaksa menggerakkan anggota tubuh, karena akan merusak motor
unit. Berikan kesadaran kepada pasien bahwa pada waktunya ototnya akan
kembali bergerak, asalkan dilakukan gerakan secara rutin. Bagi pasien GBS,
frekuensi latihan seharusnya tidak terlalu tinggi dalam satu sesi, untuk mencegah
kelelahan, mengingat jumlah motor unit yang bekerja hanya terbatas. Intensitas
latihan dalam sehari bisa ditingkatkan dengan melakukan lebih banyak sesi dalam
sehari.
Penatalaksanaan pada fase kedua tidak jauh berbeda dengan fase
sebelumnya. Sasaran utama pada fase ini adalah peningkatan kekuatan otot.
Meskipun demikian latihan yang diberikan masih harus tidak boleh terlalu berat,
karena jumlah motor unit yang aktif terbatas. Program latihan aktif seharusnya
ditingkatkan bila penderita sudah mampu melakukan latihan aktif dan memenuhi
LGS normal tanpa kesulitan. Latihan kemudian meningkat menjadi aktif resistif,
artinya menggunakan beban unntuk meningkatkan kekuatan otot.

Guillane Barre Syndrome

2
6

Jenis latihan bisa bervariasi, bisa menggunakan beban manual, artinya


fisioterapis memberikan beban secara manual, hingga latihan dengan alat, seperti
misalnya quadricep bench. Dalam memberikan program latihan, hendaknya selalu
diingat bahwa tujuan akhir program fisioterapi adalah memaksimalkan
kemampuan fungsional. Jadi dalam meningkatkan kekuatan otot, perlu diingat
otot-otot mana saja yang diperlukan dalam beraktivitas, atau mensiasati bila ada
keterbatasan.
Untuk mengukur perubahan kondisi pasien, bisa digunakan pengukuran
kekuatan otot (MMT- manual muscles testing). Tentu saja pada fase pertama
kekuatan pasien tidak akan mengalami kenaikan, sesuai dengan perjalanan
penyakit. Tetapi pengukuran kekuatan terakhir pasien, saat kekuatan biasanya
berhenti sebelum kemudian membaik, bisa dijadikan titik balik pengukuran pada
tahap berikutnya. Sebaiknya pengukuran dilakukan secara berkala, misalnya tiap
minggu, atau tiap 3 hari. Dengan demikian fisioterapis maupun penderita bisa
melihat perkembangan yang terjadi, yang mungkin juga akan menjadi motivasi
keduanya.
Penatalaksanaan pada Luas Gerak Sendi (LGS)
Bersamaan dengan digerakkannya otot anggota tubuh penderita, bisa
dikatakan semua sendi sudah digerakkan. Hanya perlu diingat bahwa pada fase
pertama, otot penderita GBS biasanya tidak mampu menggerakkan LGS secara
penuh.

Oleh

karenanya

fisioterapis

perlu

membantu

penderita

untuk

menggerakkan sendi sesuai dengan luas gerak sendi yang normal, minimal yang
fungsional.

Guillane Barre Syndrome

2
7

Sama seperti memberikan latihan untuk otot, menggerakkan sendi


sebaiknya juga dilakukan secara sistematis supaya tidak ada yang tertinggal.
Sesudah gerakan aktif setiap sendi oleh penderita, sebaiknya ditambahkan 2
sampai 3 kali gerakan sendi oleh fisioterapis dalam LGS maksimal untuk
mempertahankan LGS. Berbeda dengan program untuk kekuatan otot, untuk
mempertahankan sendi sama pada fase pertama dan kedua.
Ukuran yang dipergunakan untuk mengukur luas gerak sendi adalah
pengukuran sudut setiap sendi. Alat yang digunakan adalah goniometer.
Pengukurannya dilakukan dengan satuan derajat. Dalam satu institusi biasanya
disepakati sistem apa yang digunakan, posisi penderita dan posisi goniometer
pada setiap sudut pengukuran. Seharusnya tidak akan ada perubahan LGS dari
waktu ke waktu, agar pada akhirnya penderita masih mempunyai kemampuan
fungsional yang maksimal.
Penatalaksanaan pada Panjang Otot
Pada saat melakukan latihan untuk mempertahankan LGS, sebagian besar
otot juga terpelihara panjangnya. Kecuali beberapa otot yang panjangnya
melewati dua sendi. Untuk otot-otot tersebut, perlu gerakan khusus untuk
mempertahankan panjangnya. Otot-otot seperti quadricep, iliotibial band, sartorius
adalah contoh otot yang melewati dua sendi. Otot-otot tersebut penting dalam
kegiatan sehari-hari, misalnya duduk, bersila atau bersimpuh. Sehingga bila
panjang ototnya tidak terpelihara, maka akan berpengaruh pada aktivitas penderita
bila sembuh nanti.
Agak sulit membuat pengukuran panjang otot, oleh karena panjang otot
tiap individu akan berbeda tergantung pada aktivitas dan keturunan. Karenanya
Guillane Barre Syndrome

2
8

untuk mengetahui panjang otot yang normal, secara nalar, berarti fisioterapis
harus tahu penderita sebelum menderita GBS. Kenyataannya hal itu tidak
mungkin terjadi. Sehingga salah satu cara untuk mengetahui panjang otot adalah
menanyakan aktivitas penderita, apakah penderita biasa bersila, duduk sambil
menumpangkan kaki atau bersimpuh.
Dengan demikian bisa diukur apakah panjang otot yang bersangkutan
cukup untuk kembali melakukan kembali aktivitasnya. Cara lain yang bisa
digunakan adalah membandingkan otot sebelah kiri dan kanan, karena biasanya
keduanya mempunyai panjang otot yang sama. Pencatatannya baru dilakukan bila
ada keterbatasan panjang otot.
Penatalaksanaan pada Problem Kardiopulmonari
Masalah kardiopulmonari lebih menonjol pada fase pertama. Pada kasus
GBS yang berat, terjadi kelemahan otot-otot intercostal disebabkan karena
berkurangnya jumlah motor unit yang terkonduksi. Akibatnya tidak dapat
melakukan inspirasi secara penuh, sehingga kapasitas vital menjadi berkurang.
Seperti yang telah disebutkan di atas, menurunnya kemampuan batuk, akan
menurunkan kemampuan untuk membersihkan saluran pernafasan. Sehingga
saluran pernafasan semakin menyempit, dan ekspansi paru menjadi berkurang
juga. Sehingga pada akhirnya kembali terjadi penurunan kapasitas vital.

Penatalaksanaan pada Kemampuan Ekspansi Dada

Guillane Barre Syndrome

2
9

Berbeda dengan masalah muskuloskeletal yang lain, latihan pasif tidak


bisa dilakukan dengan mudah. Latihan pasif hanya bisa dilakukan dengan bantuan
ventilator atau manual hyperinflation. Dengan terpenuhinya volume sesuai dengan
kapasitas vital, maka pertukaran gas dalam alveoli menjadi meningkat dan mampu
memenuhi kebutuhan ventilasi. Selain itu juga memelihara kelenturan jaringanjaringan lunak disekitarnya, sehingga LGS persendian disekitar tulang rusuk
terpelihara.
Dengan demikian bila kekuatan otot interkostal sudah kembali membaik,
rongga dada sudah siap kembali mengembang.Bila otot intercostal dan diafragma
sudah menigkat, maka latihan penguatan harus segera diberikan. Oleh karena
tekanan positif yang diberikan lewat ventilator dan manual hyperinflation bisa
memberikan efek samping, seperti barotrauma. Maka latihan aktif harus segera
diberikan. Pemberian latihan masih harus memperhatikan aturan rendah frekuensi
dalam satu sesi dan banyak sesi dalam sehari. Ini berarti harus diberikan
kesempatan istirahat cukup bagi penderita diantara sesi latihan, untuk
menghindari kelelahan.
Penatalaksaaan pada Pembersihan Saluran Pernafasan
Dalam keadaan normal, setiap hari dihasilkan sekitar 100 ml sekresi
saluran pernafasan dalam sehari. Pembersihan dilakukan sebagai bagian dari
sistem pertahanan, yakni didorong oleh cilia yang kemudian tertelan. Bila sekresi
yang dihasilkan lebih dari normal, atau ada kegagalan kerja cilia, maka diperlukan
mekanisme batuk untuk mengeluarkannya dari saluran pernfasan. Agar bisa
meletupkan batuk yang kuat, seseorang harus bisa menghirup cukup volume
udara.
Guillane Barre Syndrome

3
0

Sehingga seorang penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan yang


menonjol tidak mampu melakukan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi.
Bila sekresi dibiarkan menumpuk, maka diameter saluran pernafasan akan
menyempit. Ini berarti volume udara yang bisa masuk ke paru berkurang,
sehingga kemampuan ventilasi menjadi berkurang.
Pada fase awal, pada penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan
yang menonjol, pembersihan saluran pernafasan bisa dilakukan dengan bantuan
ventilator atau manual hyperinflation. Dengan teknik tertentu, maka panjang
ekspirasi bisa diperpendek, sehingga kecepatan udara yang keluar pada waktu
ekspirasi bisa meningkat. Dengan demikian sekresi saluran pernafasan bisa
dikeluarkan. Selain menggunakan bantuan ventilator dan manual hyperinflation,
bisa dilakukan postural drainage untuk membantu memindahkan sekresi dari
saluran pernafasan yang distal ke yang lebih proksimal. Untuk membersihkan
sekresi dari saluran pernafasan, penderita harus mampu batuk, atau bila tidak
harus dilakukan suction.
Selama melakukan postural drainage, haruslah diwaspadai tanda-tanda
gangguan otonomik, seperti kecepatan nafas permenit, nadi permenit, atau saturasi
penderita agar selalu dalam batas normal. Jelaslah bahwa melatih batuk sejak dini
sangatlah diperlukan untuk meningkatkan kemampuan pembersihan saluran
pernafasan. Hal ini biasanya bisa terlaksana pada fase ke-dua, ketika otot-otot
pernafasan mulai menguat. Atau pada fase pertama bila kelemahan otot-otot
pernafasan masih mampu menghasilkan batuk, sehingga latihan batuk berguna
untuk mempertahankan kekuatan otot.
Penatalaksanaan pada Gangguan Menelan
Guillane Barre Syndrome

3
1

Jika terjadi juga gangguan menelan, maka resiko infeksi dada semakin
tinggi. Oleh karena kemungkinan masuknya benda asing ke saluran pernafasan
menjadi lebih besar. Benda tersebut kemudian akan menjadi sumber infeksi dada.
Dalam hal ini ada dua masalah dalam sistem respiratori, yakni benda itu sediri,
dan sekresi yang berlebihan akibat adanya benda asing yang masuk ke saluran
pernafasan. Bila kemampuan pasien untuk batuk kuat, maka pasien mampu
mengeluarkan benda asing dari saluran pernafasan dan membersihkan sekresi.
Sayangnya, biasanya gangguan menelan disertai kelemahan otot pernafasan,
sehingga penderita tidak mampu batuk.
Namun penderita dengan gangguan menelan biasanya menerima makanan
melalui slang yang langsung masuk ke lambung, sehingga tidak perlu
dikawatirkan akan masuk ke saluran pernafasan. Pada fase pertama tidak banyak
fisioterapi yang bisa dilakukan. Tetapi pada fase ke dua program fisioterapi yang
bisa diberikan adalah segera memberikan latihan batuk, bila otot-otot pernafasan
sudah bertambah kuat. Sehingga pada saatnya penderita belajar menelan, resiko
masuknya benda asing ke saluran pernafasan sudah teratasi.
Penatalaksanaan pada Problem Saraf Otonomik
Seperti disebutkan diatas, gangguan saraf otonomik akan timbul, bila
kehancuran selaput myelin mencapai tingkat thoracal atau lebih tinggi, yakni
cranial nerves. Pada umumnya gangguann saraf otonnomik tersebut adalah hal
yang perlu dicermati dalam melakukan tindakann fisioterapi. Gangguan-gangguan
tersebut antara lain labilnya tekanan darah, keluarnya keringat tidak sesuai
keadaan, atau postural hipotensi. Gangguan-gangguan tersebut akan mejadi
Guillane Barre Syndrome

3
2

masalah, biasanya pada waktu mobilisasi. Pada waktu mobilisasi, misalnya dari
berbaring ke duduk, tubuh memerlukan berbagai adaptasi, oleh karena terjadi
perbedaan pengaruh terhadap tubuh.
Tanpa gangguan saraf otonomik pun, seseorang yanng berbaring lama
memerlukan waktu untuk beradaptasi terhadap tekanan darah. Adaptasi tersebut
teratasi oleh karena pusat pengaturan tekanan darah mendapatkan input, kemudian
tekanann darah meningkat atas pengaruh saraf otonnom. Bila terjadi gangguan
saraf otonnomik, maka adaptasi tersebut akan terganggu.
Maka, dalam memberikan tindakan fisioterapi harus selalu dicermati
tekanan darah dari waktu ke waktu. Oleh karena yang diukur adalah tekanan
darah, maka yang dijadikan aturan adalah tekanan darah. Bila memungkinkan
digunakan spirometer elektronik yang terus bisa dimonitor setiap saat. Disamping
tekanan darah, bisa dicermati kemampuan komunikasi penderita, atau warna muka
sebagai indikator tekanan darah.
Penatalaksanaan pada Problem Sensasi
Problem sensasi pada penderita GBS yang muncul adalah rasa terbakar,
kesemutan, rasa tebal atau nyeri. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk
mengurangi ketidaknyamanan akibat rasa tebal, rasa terbakar, atau kesemuta.
Secara teori rasa nyeri bisa dikurangi dengan pemberian TNS. Rasa nyeri bisa
disebabkan murni oleh karena gangguan sensasi.
Tetapi nyeri pada punggung mungkin juga disebabkan oleh kurangnya
gerakan pada sendi-sendi tulang belakang. Bila sesudah peregangan sendi-sendi
tulang belakang beserta otot-otot disekitarnya, rasa nyeri berkurang, maka rasa

Guillane Barre Syndrome

3
3

nyeri tersebut disebabkan oleh kurangnya gerakan. Tetapi bila rasa nyeri tersebut
tidak hilang, maka gangguan tersebut disebabkan oleh gangguan sensasi.
Seringkali rasa nyeri yang timbul karena kombinasi keduanya.
Jadi bila sesudah peregangan rasa nyeri berkurang, tetapi tidak hilang
sama sekali. Bila rasa nyeri disebabkan oleh kuranngnya gerakan sendi, tindakan
yang bisa dilakukan adalah peregangan lebih lanjut, atau lebih spesifik bisa
dilakukan manipulasi atau mobilisasi pada tulang belakang tertentu. Selain
ketidaknyamanan, rasa tebal juga bisa menimbulkan komplikasi, yaitu dekubitus.
Rasa tebal menyebabkan penderita tidak dapat merasakan tekanan kasur
pada penonjolan-penonjolan tulang, sehingga memungkinkan terjadi lecet dan
akhirnya dekubitus. Oleh karenanya perubahan posisi harus selalu dilakukan
sebagai usaha pencegahan. Idealnya perubahan posisi dilakukan setiap 2 jam, dan
setiap penonjolan tulang harus selalu mendapat perhatian.

2.11

Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau

cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi,


trombosis vena dalam, paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan
kontraktur pada sendi.

2.12

Prognosis

Guillane Barre Syndrome

3
4

Sebanyak 95 % pasien dengan GBS dapat bertahan hidup dengan 75 %


diantaranya sembuh total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan
postural tremor masih mungkin terjadi pada sebagian pasien.
Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian , pada 5 % pasien, yang
disebabkan oleh gagal napas dan aritmia.
Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama
kali timbul.
Sebanyak 3 % pasien dengan GBS dapat mengalami relaps yang lebih
ringan beberapa tahun setelah onset pertama. PE dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya relapsing inflammatory polyneuropathy.

BAB 3
Guillane Barre Syndrome

3
5

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Guillain Barre Syndrome merupakan penyakit serius dengan angka
kesakitan dan kematian yang cukup tinggi.
Walaupun tersedia adanya ICU, ventilator, dan terapi imunomodulator
spesifik, sekitar 5 % dari pasien GBS dapat mengalami kematian dan 12 % tidak
dapat berjalan tanpa bantuan selama 48 minggu setelah gejala pertama muncul
20 % pasien akan tetap hidup dengan memiliki gejala sisa.
Selama ini para peneliti tetap mencari alternatif yang paling baik dan
paling efektif dari PE dan IVIg, dan para dokter harus dapat mengenali gejala
GBS sehingga dapat menegakkan diagnosis sedini mungkin
Penegakan diagnosis lebih dini akan memberikan prognosis yang lebih baik.
Selain itu, pelaksanaan rehab medik dari penyakit ini juga bisa mendukung
prognosis yang lebih baik dan juga meningkatkan kualitas hidup dari penderita
penyakit ini.

Guillane Barre Syndrome

3
6

Anda mungkin juga menyukai