PENDAHULUAN
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan
tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri
dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang
sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris,
otonom, maupun susunan saraf pusat.
2.2 Etiologi
Guillain-Barre
Syndrom
(GBS)
adalah
inflamasi
demielinisasi
2.3 Patofisiologi
Infeksi baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain
memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen tersebut
mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi proses pematangan
limfosit B dan memproduksi autoantibodi spesifik. Ada beberapa teori mengenai
pembentukan autoantibodi , yang pertama adalah virus dan bakteri mengubah
susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya sebagai benda
asing.
Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan
kemampuan
sistem
imun
untuk
mengenali
dirinya
sendiri
berkurang.
Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin, bahkan kadang kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.
Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin
disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan
myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya respon imun terhadap myelin yang di
invasi oleh antigen tersebut.
Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat
mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya
untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls
sensoris dari seluruh bagian tubuh.
2.4 Epidemiologi
Guillain Barre syndrome adalah salah satu jenis dari kelumpuhan susunan
saraf tepi. Penyakit-penyakit pada susunan saraf tepi dapat berupa :
Saraf tepi
Neuritis infeksi/ kurang gizi
Trauma
Guillane Barre Syndrome
Sambungan saraf-otot
Miastenia Gravis
Otot
Miositis akut virus
Distrofi dll.
GBS merupakan penyakit yang bertempat di akar saraf tepi. Di Amerika
Serikat, insiden terjadinya GBS berkisar antara 0,4 2,0 per 100.000 penduduk.
GBS merupakan a non sesasonal disesae dimana resiko terjadinya adalah
sama di seluruh dunia pada pada semua iklim. Perkecualiannya adalah di Cina ,
dimana predileksi GBS berhubungan dengan Campylobacter jejuni, cenderung
terjadi pada musim panas.
GBS dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia maupun ras.
Insiden kejadian di seluruh dunia berkisar antara 0,6 1,9 per 100.000 penduduk.
Insiden ini meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. GBS merupakan
penyebab paralisa akut yang tersering di negara barat.
Angka kematian berkisar antara 5 10 %. Penyebab kematian tersering
adalah gagal jantung dan gagal napas. Kesembuhan total terjadi pada + 20 %
penderita GBS. Antara 5 10 % sembuh dengan cacat yang permanen.
1
0
2.5 Klasifikasi
Guillain Barre syndrome dapat dibagi menjadi 5 tipe, yaitu :
1. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
2. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)
3. Miller Fisher Syndrome
4. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)
5. Acute pandysautonomia
1
1
sensasi getar. Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan
disestesia pada extremitas distal. Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai
kelemahan otot yang terjadi. terutama pada anak anak. Rasa sakit ini biasanya
merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50% anak anak yang dapat
menyebabkan kesalahan dalam mendiagnosis.
Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan
kematian. Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi,
aritmia bahkan cardiac arrest , facial flushing, sfincter yang tidak terkontrol, dan
kelainan dalam berkeringat. Hipertensi terjadi pada 10 30 % pasien sedangkan
aritmia terjadi pada 30 % dari pasien.
Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa
disfagia, kesulitan dalam berbicara, dan yang paling sering ( 50% ) adalah
bilateral facial palsy.
Gejala gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah kesulitan
untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan menelan dan
bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan penglihatan kabur
(blurred visions).
1
2
kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak
ditemukan.
pemeriksaan
EMG
minggu
pertama
dapat
dilihat
adanya
1
3
Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada
stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy.
Gejala tambahan
1. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu
2. Biasanya simetris
3. Adanya gejala sensoris yang ringan
4. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral
5. Disfungsi saraf otonom
6. Tidak disertai demam
7. Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4
Pemeriksaan LCS
1. Peningkatan protein
2. Sel MN < 10 /ul
1
4
Pemeriksaan elektrodiagnostik
Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf
Selain kriteria yang meyakinkan akan diagnosis GBS, terdapat juga ciriciri yang membuat diagnosis meragukan yaitu :
1
5
1
6
2.10
Penatalaksanaan
Pada prinsipnya, pasien GBS dilakukan 5 hal di bawah ini, yaitu :
Pemasukan ke ICU : A B C
IVIg
Kortikosteroid
Fisioterapi
Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus
dilakukan observasi tanda tanda vital. Ventilator harus disiapkan disamping pasien
sebab paralisa yang terjadi dapat mengenai otot otot pernapasan dalam waktu 24
jam. Ketidakstabilan tekanan darah juga mungkin terjadi. Obat obat anti hipertensi
dan vasoaktive juga harus disiapkan.
Pasien dengan progresivitas yang lambat dapat hanya diobservasi tanpa
diberikan medikamentosa.
Pasien dengan progresivitas cepat dapat diberikan obat obatan berupa
steroid. Namun ada pihak yang mengatakan bahwa pemberian steroid ini tidak
memberikan hasil apapun juga. Steroid tidak dapat memperpendek lamanya
penyakit, mengurangi paralisa yang terjadi maupun mempercepat penyembuhan.
Plasma exchange therapy (PE) telah dibuktikan dapat memperpendek
lamanya paralisa dan mepercepat terjadinya penyembuhan. Waktu yang paling
efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala.
Regimen standard terdiri dari 5 sesi ( 40 50 ml / kg BB) dengan saline dan
albumine sebagai penggantinya. Perdarahan aktif, ketidakstabilan hemodinamik
berat dan septikemia adalah kontraindikasi dari PE.
1
7
1
8
Problem Fisioterapi
Berdasarkan penjabaran di atas dapatlah disebutkan ada 4 problem dasar
dari sisi pandang fisioterapi, yaitu problem muskuloskeletal, kardiopulmonari,
otonomik dan sensorik. Dalam bab ini akan dibahas secara mendetail masingmasing problem.
1
9
Muskuloskeletal
Gangguan muskuloskeletal yang menonjol adalah berkurangnya kekuatan
otot. Seperti disebutkan di atas, kelemahan otot disebabkan oleh terhambatnya
atau terhentinya konduksi saraf dari spinal cord ke neuromusculo junction, yang
satuannya disebut motor unit. Satu motor unit adalah beberapa serat otot yang
mendapatkan inervasi oleh satu motor neuron. Saraf yang menginervasi motor
neuron berasal dari akar saraf tulang belakang. Satu akar saraf bisa menginervasi
ribuan motor neuron. Sebaliknya satu otot mungkin disarafi oleh beberapa motor
neuron yang berasal dari beberapa akar saraf tulang belakang. Jadi bila ada satu
akar saraf mengalami gangguan, maka sebagian serabut otot tidak mendapatkan
inervasi; sedangkan serabut otot yang mendapat innervasi dari akar saraf lain
masih mendapatkan konduksi saraf.
Kelumpuhan (plegia) terjadi akibat banyaknya motor unit, atau semua,
dalam satu otot yang tidak terkonduksi, sehingga otot tersebut tidak bisa
dikontraksikan. Sedangkan kelemahan (parese) terjadi akibat hanya sebagian
motor unit dalam satu otot yang masih terkonduksi saraf, sehingga masih mampu
untuk mengkontraksikan otot tersebut. Oleh karena hanya sebagian serabut otot
yang terinervasi yang bekerja untuk menggerakkan satu otot, penderita GBS lebih
cepat lelah.
Selanjutnya bila otot tidak bisa berkontraksi berarti bagian badan tersebut
tidak bergerak. Bila hal ini terjadi dalam kurun waktu lama, yang akan terjadi
bukan hanya kekuatan otot yang terganggu, tetapi juga akan terjadi pemendekan
otot, dan keterbatasan luas gerak sendi (LGS). Jadi akibat berkurangnya konduksi
2
0
saraf, akan mengurangi jumlah motor unit yang bekerja, bahkan mungkin tidak
ada sama sekali, sehingga kelemahan otot atau lumpuh sama sekali, dan akan
terjadi pemendekan otot, dan pada akhirnya keterbatasan LGS.
Kardiopulmoner
Hal yang sama juga terjadi bila proses kerusakan selaput myelin terjadi
pada tingkat akar saraf thoracal, karena akan terjadi kelemahan otot-otot
pernafasan, yakni otot intercostal. Bahkan bila menyerang tingkat cervical,
diafragma mengalami gangguan juga. Akibatnya bahkan semakin rumit. Oleh
karena otot-otot intercostal, mungkin juga diafragma, berkurang kekuatannya,
maka ekspansi dada berkurang.
Hal ini berakibat berkurangnya kapasitas vital paru, sehingga fungsi
ventilasi juga menurun. Akibat kapasitas vital menurun, kemampuan batuk pun
menurun. Sehingga kemampuan untuk membersihkan saluran pernafasan menjadi
berkurang.
Keadaan ini diperburuk oleh kenyataan bahwa penderita yang mengalami
kelemahan otot paru hanya mampu berbaring. Dalam posisi berbaring, kapasitas
paru semakin berkurang karena pengaruh gravitasi terhadap posisi paru. Akibat
gravitasi juga, otot-otot pernafasan yang sudah lemah tersebut, semakin berat
melakukan ekspansi paru. Berkurangnya daya ekspansi paru berakibat terjadinya
atelektasis, sehingga fungsi ventilasi paru berkurang.
Resiko infeksi paru tinggi bila terjadi gangguan menelan, akibat
terserangnya cranial nerves yang bersangkutan. Karena gangguan menelan
tersebut, makanan bisa masuk ke saluran pernafasan, yang akan menjadi sumber
2
1
2
2
gangguan rasa tersebut menimbulkan rasa tidak nyaman. Rasa nyeri kadangkala
juga terjadi akibat sebuah sendi tidak digerakkan dalam waktu tertentu. Jadi
kadangkala nyeri murni disebabkan oleh gangguan sensasi, tetapi kadangkala juga
disebabkan oleh kombinnasi gangguann sensasi dan sendi yang sudah lama tidak
digerakkan.
Selain gangguan rasa yang berakibat tidak nyaman, gangguan sensasi juga
bisa menyebabkan komplikasi. Misalnya gangguan rasa tebal, disertai kelemahan
otot, bisa menyebabkan dekubitus. Oleh karenanya perlu dipikirkan untuk
pencegahannya.
Penatalaksanaan Fisioterapi
Penatalaksanaan fisioterapi pada penderita GBS harus dimulai sejak awal,
yaitu sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang
unik, ada dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan fisioterapi. Yang
pertama adalah fase ketika gejala masih terus berlanjut hingga berhenti sebelum
kondisi pasien terlihat membaik. Pada fase tersebut yang diperlukan adalah
mempertahankan kondisi pasien, meskipun kondisi pasien akan terus menurun.
2
3
ada
komponen
problem
dari
sudut
fisioterapi,
penatalaksanaannya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Oleh karenanya
Guillane Barre Syndrome
2
4
sulit memisahkan satu masalah dengan masalah yang lain. Penulis berusaha
memisahkan penatalaksanaan fisioterapi berdasarkan tiap problem, sesuai dengan
penguraian problem di atas supaya lebih detail. Tetapi pada prakteknya,
pemberian fisioterapi tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain.
Penatalaksanaan Fisioterapi pada Problem Muskuloskeletal
Seperti telah disebutkan di atas, masalah muskuloskeletal adalah penting
baik pada fase pertama maupun kedua oleh karena bukan hanya motorik adalah
masalah utama penderita GBS, tetapi juga skeletal sebagai akibat dari gangguan
motorik. Pada fase pertama yang perlu diberikan adalah mempertahankan
kekuatan otot, panjang otot, luas gerak sendi (LGS), tanpa melupakan bahwa
kondisi pasien masih akan terus memburuk dalam waktu maksimal 2 minggu.
Bila panjang otot dan LGS terus terjaga pada fase pertama, fisioterapi pada
fase kedua ditekankan peningkatan kekuatan otot, dengan tetap memperhitungkan
jumlah motor unit yang kembali bekerja.
Penatalaksanaan pada masalah kekuatan otot
Pada fase pertama, program awal yang bisa diberikan adalah latihan aktif,
bila memungkinkan. Bila penderita tidak mampu menggerakkan sendiri anggota
badannya, sebaiknya bantuan diberikan (=aktif asistif). Bila kemudian kondisi
kelemahan otot sangat menonjol, latihan pasif harus diberikan; artinya fisioterapis
yang menggerakkan angota badan penderita. Oleh karena dalam fase ini, kondisi
penderita akan menurun, maka biasanya bantuan yang diberikan fisioterapis
kepada pasien semakin banyak dari waktu ke waktu.
2
5
Sebaiknya
seorang
fisioterapis
mempunyai
sistematis
dalam
menggerakkan anggota tubuh pasien, sehingga tidak ada bagian yang terlewati.
Selain itu fisioterapis juga akan bisa sekaligus mengamati perkembangan motorik
pasien bila dilakukan secara sistematis. Dianjurkan menggerakkan anggota tubuh
dari bawah, sehingga akan diakhiri dengan bagian tubuh yang terkuat. Secara
psikis hal ini juga akan sangat membantu motivasi pasien. Selain menggerakkan
bagian tubuh secara sistematis, juga sebaiknya arah gerakan tiap sendi dibuat
secara sistematis, sehingga tidak ada gerakan otot yang tertinggal.
Dalam menggerakkan anggota badan, sebaiknya fisioterapis mengamati
tingkat toleransi pasien terhadap latihan. Jangan sampai pasien dibiarkan terlalu
lelah atau memaksa menggerakkan anggota tubuh, karena akan merusak motor
unit. Berikan kesadaran kepada pasien bahwa pada waktunya ototnya akan
kembali bergerak, asalkan dilakukan gerakan secara rutin. Bagi pasien GBS,
frekuensi latihan seharusnya tidak terlalu tinggi dalam satu sesi, untuk mencegah
kelelahan, mengingat jumlah motor unit yang bekerja hanya terbatas. Intensitas
latihan dalam sehari bisa ditingkatkan dengan melakukan lebih banyak sesi dalam
sehari.
Penatalaksanaan pada fase kedua tidak jauh berbeda dengan fase
sebelumnya. Sasaran utama pada fase ini adalah peningkatan kekuatan otot.
Meskipun demikian latihan yang diberikan masih harus tidak boleh terlalu berat,
karena jumlah motor unit yang aktif terbatas. Program latihan aktif seharusnya
ditingkatkan bila penderita sudah mampu melakukan latihan aktif dan memenuhi
LGS normal tanpa kesulitan. Latihan kemudian meningkat menjadi aktif resistif,
artinya menggunakan beban unntuk meningkatkan kekuatan otot.
2
6
Oleh
karenanya
fisioterapis
perlu
membantu
penderita
untuk
menggerakkan sendi sesuai dengan luas gerak sendi yang normal, minimal yang
fungsional.
2
7
2
8
untuk mengetahui panjang otot yang normal, secara nalar, berarti fisioterapis
harus tahu penderita sebelum menderita GBS. Kenyataannya hal itu tidak
mungkin terjadi. Sehingga salah satu cara untuk mengetahui panjang otot adalah
menanyakan aktivitas penderita, apakah penderita biasa bersila, duduk sambil
menumpangkan kaki atau bersimpuh.
Dengan demikian bisa diukur apakah panjang otot yang bersangkutan
cukup untuk kembali melakukan kembali aktivitasnya. Cara lain yang bisa
digunakan adalah membandingkan otot sebelah kiri dan kanan, karena biasanya
keduanya mempunyai panjang otot yang sama. Pencatatannya baru dilakukan bila
ada keterbatasan panjang otot.
Penatalaksanaan pada Problem Kardiopulmonari
Masalah kardiopulmonari lebih menonjol pada fase pertama. Pada kasus
GBS yang berat, terjadi kelemahan otot-otot intercostal disebabkan karena
berkurangnya jumlah motor unit yang terkonduksi. Akibatnya tidak dapat
melakukan inspirasi secara penuh, sehingga kapasitas vital menjadi berkurang.
Seperti yang telah disebutkan di atas, menurunnya kemampuan batuk, akan
menurunkan kemampuan untuk membersihkan saluran pernafasan. Sehingga
saluran pernafasan semakin menyempit, dan ekspansi paru menjadi berkurang
juga. Sehingga pada akhirnya kembali terjadi penurunan kapasitas vital.
2
9
3
0
3
1
Jika terjadi juga gangguan menelan, maka resiko infeksi dada semakin
tinggi. Oleh karena kemungkinan masuknya benda asing ke saluran pernafasan
menjadi lebih besar. Benda tersebut kemudian akan menjadi sumber infeksi dada.
Dalam hal ini ada dua masalah dalam sistem respiratori, yakni benda itu sediri,
dan sekresi yang berlebihan akibat adanya benda asing yang masuk ke saluran
pernafasan. Bila kemampuan pasien untuk batuk kuat, maka pasien mampu
mengeluarkan benda asing dari saluran pernafasan dan membersihkan sekresi.
Sayangnya, biasanya gangguan menelan disertai kelemahan otot pernafasan,
sehingga penderita tidak mampu batuk.
Namun penderita dengan gangguan menelan biasanya menerima makanan
melalui slang yang langsung masuk ke lambung, sehingga tidak perlu
dikawatirkan akan masuk ke saluran pernafasan. Pada fase pertama tidak banyak
fisioterapi yang bisa dilakukan. Tetapi pada fase ke dua program fisioterapi yang
bisa diberikan adalah segera memberikan latihan batuk, bila otot-otot pernafasan
sudah bertambah kuat. Sehingga pada saatnya penderita belajar menelan, resiko
masuknya benda asing ke saluran pernafasan sudah teratasi.
Penatalaksanaan pada Problem Saraf Otonomik
Seperti disebutkan diatas, gangguan saraf otonomik akan timbul, bila
kehancuran selaput myelin mencapai tingkat thoracal atau lebih tinggi, yakni
cranial nerves. Pada umumnya gangguann saraf otonnomik tersebut adalah hal
yang perlu dicermati dalam melakukan tindakann fisioterapi. Gangguan-gangguan
tersebut antara lain labilnya tekanan darah, keluarnya keringat tidak sesuai
keadaan, atau postural hipotensi. Gangguan-gangguan tersebut akan mejadi
Guillane Barre Syndrome
3
2
masalah, biasanya pada waktu mobilisasi. Pada waktu mobilisasi, misalnya dari
berbaring ke duduk, tubuh memerlukan berbagai adaptasi, oleh karena terjadi
perbedaan pengaruh terhadap tubuh.
Tanpa gangguan saraf otonomik pun, seseorang yanng berbaring lama
memerlukan waktu untuk beradaptasi terhadap tekanan darah. Adaptasi tersebut
teratasi oleh karena pusat pengaturan tekanan darah mendapatkan input, kemudian
tekanann darah meningkat atas pengaruh saraf otonnom. Bila terjadi gangguan
saraf otonnomik, maka adaptasi tersebut akan terganggu.
Maka, dalam memberikan tindakan fisioterapi harus selalu dicermati
tekanan darah dari waktu ke waktu. Oleh karena yang diukur adalah tekanan
darah, maka yang dijadikan aturan adalah tekanan darah. Bila memungkinkan
digunakan spirometer elektronik yang terus bisa dimonitor setiap saat. Disamping
tekanan darah, bisa dicermati kemampuan komunikasi penderita, atau warna muka
sebagai indikator tekanan darah.
Penatalaksanaan pada Problem Sensasi
Problem sensasi pada penderita GBS yang muncul adalah rasa terbakar,
kesemutan, rasa tebal atau nyeri. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk
mengurangi ketidaknyamanan akibat rasa tebal, rasa terbakar, atau kesemuta.
Secara teori rasa nyeri bisa dikurangi dengan pemberian TNS. Rasa nyeri bisa
disebabkan murni oleh karena gangguan sensasi.
Tetapi nyeri pada punggung mungkin juga disebabkan oleh kurangnya
gerakan pada sendi-sendi tulang belakang. Bila sesudah peregangan sendi-sendi
tulang belakang beserta otot-otot disekitarnya, rasa nyeri berkurang, maka rasa
3
3
nyeri tersebut disebabkan oleh kurangnya gerakan. Tetapi bila rasa nyeri tersebut
tidak hilang, maka gangguan tersebut disebabkan oleh gangguan sensasi.
Seringkali rasa nyeri yang timbul karena kombinasi keduanya.
Jadi bila sesudah peregangan rasa nyeri berkurang, tetapi tidak hilang
sama sekali. Bila rasa nyeri disebabkan oleh kuranngnya gerakan sendi, tindakan
yang bisa dilakukan adalah peregangan lebih lanjut, atau lebih spesifik bisa
dilakukan manipulasi atau mobilisasi pada tulang belakang tertentu. Selain
ketidaknyamanan, rasa tebal juga bisa menimbulkan komplikasi, yaitu dekubitus.
Rasa tebal menyebabkan penderita tidak dapat merasakan tekanan kasur
pada penonjolan-penonjolan tulang, sehingga memungkinkan terjadi lecet dan
akhirnya dekubitus. Oleh karenanya perubahan posisi harus selalu dilakukan
sebagai usaha pencegahan. Idealnya perubahan posisi dilakukan setiap 2 jam, dan
setiap penonjolan tulang harus selalu mendapat perhatian.
2.11
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau
2.12
Prognosis
3
4
BAB 3
Guillane Barre Syndrome
3
5
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Guillain Barre Syndrome merupakan penyakit serius dengan angka
kesakitan dan kematian yang cukup tinggi.
Walaupun tersedia adanya ICU, ventilator, dan terapi imunomodulator
spesifik, sekitar 5 % dari pasien GBS dapat mengalami kematian dan 12 % tidak
dapat berjalan tanpa bantuan selama 48 minggu setelah gejala pertama muncul
20 % pasien akan tetap hidup dengan memiliki gejala sisa.
Selama ini para peneliti tetap mencari alternatif yang paling baik dan
paling efektif dari PE dan IVIg, dan para dokter harus dapat mengenali gejala
GBS sehingga dapat menegakkan diagnosis sedini mungkin
Penegakan diagnosis lebih dini akan memberikan prognosis yang lebih baik.
Selain itu, pelaksanaan rehab medik dari penyakit ini juga bisa mendukung
prognosis yang lebih baik dan juga meningkatkan kualitas hidup dari penderita
penyakit ini.
3
6