Anda di halaman 1dari 9

A.

Jurnal Anemia Gizi


1. Judul jurnal :
Iron Deficiancy Anemia; reexamining the nature and magnitude of the public health problem.
Is there a causal relationship between iron deficiancy or iron deficiancy anemia and weight at birth,
length of gestation and perinatal mortality ?
2. Penulis :
Kathleen M. Rasmussen
Divisi Nutrisi Ilmu, Cornell University, Ithaca, NY 14853.

3. Komentar :
Dalam jurnal tersebut penulis menjelaskan bahwa anemia atau anemia defisiansi besi
berhubungan dengan kejadian berat badan lahir rendah, kelahiran prematur dan kematian
perinatal.
Hal ini didukung dari hasil penelitian penulis sebagai berikut :
1. BBLR tertinggi pada nilai hemoglobin ibu dari 86-95 g / L
2. Prematru terjadi pada nilai hemoglobin ibu dari 96-105 g/L dan 105-115 g/L untuk wanita
afrika-amerika
3. Kematian perinatal terjadi pada nilai hemoglobin ibu 95-105 g/L untuk asia dan 85-95 g/L untuk
wanita afrika-amerika
Namun tidak menutup kemungkinan terjadinya BBLR, prematur dan kematian perinatal hanya
disebabkan defisiansi zat besi. Karena faktor resiko anemia bukan hanya defisiansi zat besi,
melainkan juga karena faktor infeksi cacing tambang, malaria, schistosomiasis, infeksi baru atau
saat ini, peradangan kronis, anemia herediter dan defisiensi defisiensi gizi lainnya, terutama asam
folat atau vitamin B-12, dimana penyebab-penyebab anemia ini juga berpengaruh pada hasil
kelahiran.
Sehingga dalam menangani anemia pada ibu hamil tidak selamanya harus diberikan suplemen
fe, karena survei menunjukkan pemberian suplemen fe atau suplemen fe asam folat tidak
menurunkan angka BBLR, prematur dan kematian perinatal. Karena sebagaimana yang dijelaskan
tadi, penyebab anemia bukan hanya defisansi besi, jadi mesti dikenali dulu penyebab anemia pada
ibu kemudian diberikan penanganan yang sesuai.

Terkait jurnal dengan kasus Anemia di Indonesia


Berdasarkan Riskesdas 2013, terdapat 37,1% ibu hamil anemia, yaitu ibu hamil dengan
kadar Hb kurang dari 11,0 gram/dl, dengan proporsi yang hampir sama antara di kawasan
perkotaan (36,4%) dan perdesaan (37,8%) (riskesdas 2013). Rata-rata didiagnosis defisiansi besi,
sehingga penanganannya hanya memberikan suplemen besi atau asam folat sehingga angka
terjadinya BBLR dan prematur tetap tinggi.
Pada tahun 2013 angka BBLR di Indonesia memang sedikit menurun, yaitu mencapai 10,2
persen (dibandingkan di tahun 2011 sekitar 11,1%) , dengan prevalensi tertinggi ditempati oleh
Propinsi Nusa Tenggara Timur (19,2 persen) dan terendah di Propinsi Sumatra Barat (6 persen)
(the asian parent 2014).
Penyebab bayi lahir dengan berat badan rendah dipicu oleh kelahiran prematur. Selain itu
ada juga beberapa faktor lain seperti usia ibu yang terlalu muda atau terlalu tua (kurang dari 20
tahun atau lebih dari 35 tahun), jarak kehamilan terlalu dekat dan penyakit yang diderita ibu hamil
(anemia), paritas (riwayat kehamilan), kelainan kromosom dan faktor sosial ekonomi.
B. Jurnal KVA
1. Judul jurnal :
The Vitamin A and mortality paradigma : past, present and future
2. Penulis :
Richard D. semba
Scandinavian Journal of Nutrition / Naringsforskning Vol45: 46-50, 2001

3. Komentar :
Pada jurnal tersebut penulis menjelaskan betapa pentingnya vitamin A dalam kehidupan.
Baik pada masa lampau, sekarang maupun yang akan datang. Hal ini disebabkan karena
kekurangan vitamin A atau KVA berkontribusi pada morbiditas dan mortalitas dari beberapa
penyakit menular yang tidak pernah lepas dari zaman kehidupan.

Pengamatan empiris dan uji coba dari awal abad kedua puluh menyebabkan paradigma
bahwa peningkatan status vitamin A dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas di antara wanita
dan anak-anak.
Organisasi internasional di tahun 1930-an dan 1940-an menekankan status vitamin A yang
memadai untuk mencegah morbiditas dan mortalitas.
Dengan perbaikan gizi dan kebersihan di Eropa dan Amerika Serikat, kekurangan vitamin
A sebagian besar hilang, dan perhatian kemudian beralih terhadap negara-negara berkembang.
Lebih dari seratus uji klinis telah membahas dampak dari vitamin A pada morbiditas dan
mortalitas penyakit menular dan menunjukkan bahwa vitamin A yang memadai statusnya penting
dalam penyembuhan campak dan penyakit diare.
Penulis menjelaskan bahwa pengenalan kekurangan vitamin A merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang penting dan utama di setidaknya enam puluh negara-negara
berkembang di seluruh dunia, dan diperkirakan 253 juta anak-anak prasekolah dipengaruhi oleh
kekurangan vitamin A .
Selain itu Wanita hamil dan wanita usia subur juga merupakan kelompok risiko tinggi
terkena kekurangan vitamin A di negara-negara berkembang. Vitamin A memainkan peran penting
dalam fungsi kekebalan tubuh, pertumbuhan, reproduksi, dan visi.
Uji klinis dalam lima belas tahun terakhir menunjukkan bahwa meningkatkan vitamin A
status anak prasekolah melalui suplementasi atau fortifikasi dapat mengurangi morbiditas dan
mortalitas, khususnya dari penyakit diare. Suplementasi vitamin A juga mengurangi morbiditas dan
mortalitas pada anak-anak yang terkena campak.
Pada masa lampau, di awal abad kesembilan belas, dokter di Rumah Sakit Brompton di
London menemukan bahwa vitamin A dalam bentuk minyak ikan dapat mengurangi morbiditas dan
mortalitas pada pasien dengan tuberkulosis.
Studi sekarang menunjukkan vitamin A daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi
campak, penyakit diare dan xeroftalmia.
Kedepannya diharapkan vitamin A dapat berperan dalam penyakit malaria, TBC dan HIV
(sementara dalam penelitian).

Terkait jurnal dengan kasus KVA di Indonesia


Pada tahun 1960-an, banyak kasus KVA terjadi di Indonesia seperti Xeroftalmia, infeksi
Ascaris, penyakit diare, TBC, campak, pemberian makanan buatan, prematuritas.
Penyebab utama kebutaan pada bayi dan anak-anak di Indonesia adalah kekurangan
vitamin A, dan tindak lanjut dari anak-anak kecil yang telah menjadi buta menunjukkan bahwa
sekitar 30% kemudian meninggal.
Di Indonesia, kecukupan gizi anak usia hingga tiga tahun seharusnya sebesar 350-400 RE
per hari. Namun, dalam beberapa survey dikatakan bahwa 50% anak berusia 1-2 tahun tidak
mengonsumsi vitamin A dalam jumlah yang memadai karena faktor kemiskinan dan malnutrisi.
Selama krisis ekonomi melanda Indonesia sejak tahun 1997, daya beli masyarakat
menurun sehingga terjadi kecenderungan meningkatnya KVA pada ibu hamil dan balita.
C. Jurnal Obesitas
1. Judul jurnal :
Can low-fat nutrition labels lead to Obesity?
2. Penulis :
Brian Wanshink dan Pierre Chandon
Jurnal of American Marketing Association vol.XL.III 2006

3. Komentar :
Dalam jurnal tersebut, penulis menjelaskan bahwa mereka menemukan bukti yang
mendukung kuat atas hipotesis yang menyatakan bahwa klaim gizi rendah lemak pada makanan
meningkatkan konsumsi, khususnya pada orang-orang yang memiliki overweight.
Dari Survey yang dilakukan penujlis, Peserta digambarkan mengkonsumsi 28% lebih (54
kalori) makanan bernutrisi yang berlabel rendah lemak daripada biasanya. Makanan bernutrisi
yang berlabel rendah lemak lebih menarik perhatian orang-orang yang memiliki kelebihan berat
badan dibandingkan orang-orang yang memiliki berat badan normal.
Bagi orang yang memiliki kelebihan berat badan tidak menyadari bahwa makanan
bernutrisi yang berlabel rendah lemak

dari yang mereka konsumsi secara tidak langsung

mengabaikan kebutuhan jumlah kalori harian mereka, sehingga hal tersebut dianggap berbahaya.

Gary Taube dan Dr.peter Attia dari Nutriton Science Initiative berpendapat, bahwa gula dan
zat aditif yang ditambahkan untuk menghilangkan lemak yang ada, ternyata menyimpan
menyimpan sebuah dorongan resistensi insulin, suatu penyebab seseorang menjadi obesitas.
Makanan yang berlabel rendah lemak sesungguhnya memiliki kandungan kalori yang
tinggi dan dapat dianggap sebagai pemicu terjadinya obesitas. akan tetapi berdasarkan hasil
penelitian banyak orang yang menyalah artikan khususnya bagi orang yang kelebihan berat badan
bahwa dengan mengkonsumsi makanan bernutrisi yang berlebel rendah lemak akan menurunkan
berat badan.
Jadi, jika ada makanan yang berlabelkan rendah lemak anda temukan sebaiknya dihindari
karena sebenarnya makanan tersebut tidak menyehatkan melainkan menyesatkan.
Terkait jurnal dengan kasus Obesitas di Indonesia
Berdasarkan data dari WHO tahun 2008, prevalensi obesitas pada usia dewasa di
Indonesia sebesar 9,4% dengan pembagian pada pria mencapai 2,5% dan pada wanita 6,9%.
Survey sebelumnya tahun 2000, persentase penduduk Indonesia yang obesitas hanya 4,7% ( 9,8
juta jiwa )2. Ternyata hanya dalam 8 tahun prevalensi obesitass di Indonesia telah meningkat dua
kali lipatnya. Sehingga kita perlu mewaspadai peningkatan yang lebih pesat dikarenakan gaya
hidup sekarang yang semakin sedentary ( santai dan bermalas-malasan ) sebagai akibat dari
kemudahan teknologi (dinkes.jogja 2013).
Di Indonesia masih banyak pelaku diet yang memilih camilan berlabel rendah lemak
karena mereka berpikir itu menyehatkan padahal menyesatkan (liputan6.com.2013).
Padahal sesutau yang diberi label rendah lemak, ini tidak berbicara tentang rendah
lemak alami seperti sayuran dan buah, namun sedang berbicara tentang makanan yang diproses
rendah lemak seperti kerupuk, sarapan sereal dan produk susu.

Sebagian besar produk ini mengandung gula atau komposisi lain untuk membuat rasa
panganan tersebut menjadi enak. Jadi, saat mengkonsumsi panganan rendah lemak, Anda pada
dasarnya masih mengkonsumsi makanan yang berkalori tinggi.
D. Jurnal KEP
1. Judul :

Free Radicals and Antioxidant Status in Protein Energy Malnutrition


(Hindawi Publishing Corporation International Journal of Pediatrics Volume 2014).
2. Penulis :
M. Khare, C. Mohanty, BK Das, A. Jyoti, B. Mukhopadhyay dan SP Mishra.
(Departemen Anatomi Institute of Medical Sciences, Universitas Hindu Banaras, Varanasi, Uttar Pradesh, India
Department of Pediatrics, Institute Medis Ilmu, Universitas Hindu Banaras, Varanasi, Uttar Pradesh, India Department
Biokimia, Institute of Medical Sciences, Universitas Hindu Banaras, Varanasi,)

2. Komentar :
Pembahasan pada jurnal tersebut yaitu tentang penelitian yang terkait dengan masalah
malnutrisi. Masalah ini dianggap sebagai salah satu tantangan utama kesehatan masyarakat di
negara berkembang. Pengaruh yang dapat ditimbulkan sangat buruk pada anak-anak dan
masyarakat di masa depan.
Malnutrisi yang diteliti adalah tentang KEP yang berhubungan dengan radikal bebas dan
status antioksidan. Plasma albumin, eritrosit glutathione dan molekul antioksidan endogen lainnya
seperti bilirubin dan asam urat akan mempengaruhi ROS (Reactive Oxygen Species ).
Defisiensi diet protein tidak hanya mengganggu sintesis plasma albumin dan enzim
antioksidan tetapi juga mengurangi konsentrasi jaringan antioksidan, sehingga menghasilkan
status antioksidan yang serius. Penanda keseriusan tersebut dianggap sebagai stres oksidatif
yang dapat ditinjau dari status MDA, produk sampingan dari peroksidasi lipid dan PC dan produk
sampingan dari oksidasi protein.
Kapasitas pertahanan terhadap ROS dapat diukur kadar GSH, glutathione peroxidase
(GPx), Cu, Zn- SOD, Cp, dan asam askorbat. Patogenesis wasting ekstrim otot (kekurusan) dan
anemia sering ditemukan pada anak-anak yang mengalami KEP dan disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas beracun dan potensi antioksidan.

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian pada jurnal tersebut dapat disimpulkan bahwa
stres oksidatif dianggap sebagai hasil dari KEP yang bertanggung jawab dalam kelebihan produksi
spesies oksigen reaktif (ROSs). ROSs ini akan menyebabkan oksidasi membran dan
meningkatkan produk sampingan peroksidasi lipid seperti MDA dan oksidasi protein produk
sampingan seperti PC. Penurunan tingkat antioksidan menunjukkan pertahanan meningkat
terhadap kerusakan oksidan. Perubahan oksidan dan tingkat antioksidan dinyatakan sebagai salah
satu faktor yang bertanggung jawab dalam terjadinya KEP.
Terkait Jurnal dengan kasus KEP di Indonesia
Indonesia merupakan negara berkembang dengan jumlah penduduk yang banyak dan
semakin meningkat setiap tahunnya. Hal ini disebabkan karena adanya ledakan penduduk yang
tidak terkendali. Banyaknya jumlah penduduk di Indonesia menyebabkan semakin banyak pula
masalah yang timbul.
Salah satu masalah yang ditimbulkan seperti masalah gizi kesehatan masyarakatnya.
Indonesia saat ini fokus terhadap 4 masalah yang sedang dihadapi yaitu Kekurangan zat besi,
Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI), Kekurangan vitamin A dan Kekurangan Energi
Protein (KEP).
Dari 4 masalah tersebut 3 diantaranya bisa dikendalikan oleh pemerintah Indonesia
namun permasalahan yang belum bisa ditangani yaitu KEP (Kekurangan Energi Protein). Hal ini
dikarenakan perekonomian Indonesia masih belum stabil terutama penduduk miskin yang memiliki
jumlah yang tinggi sehingga kemampuan penduduk miskin untuk konsumsi protein setiap harinya
belum tercukupi.
Menurut Tempo, angka pravalensi balita kekurangan energi protein paling tinggi di Jawa
Timur. Angka prevalensi di Jawa Timur total sebesar 18,4 persen. Sedangkan berdasar data survei

kader Posyandu diseluruh Kabupaten Jember menyebutkan pada tahun 2010 mencapai 20
persen.
Tahun 2010, hingga bulan Oktober sudah tercatat 46 anak penderita gizi buruk yang
dirawat di RSUD dr Soebandi Jember, belum termasuk yang dirawat di rumah sakit lainnya.
Selama 10 bulan terakhir, sedikitnya 46 anak yang mengalami gizi buruk dirawat di rumah sakit
milik pemerintah Kabupaten Jember tersebut.
Mereka berusia satu bulan hingga lima tahun. Dari 46 orang tersebut, tiga di antaranya
meninggal dunia. Adapun yang meninggal dunia mengalami gizi buruk dengan penyakit penyerta
tumor ganas pada rongga perut yang telah menjalar ke liver dan paru-paru. Masalah KEP ini perlu
penangan serius untuk memperbaiki status gizi penduduk Indonesia terutama penduduk dengan
kemampuan ekonomi bawah.
Adapun program yang selama ini diterapkan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah
a.
1)
2)
3)
4)
5)

Kekurangan Energi Protein yaitu sebagai berikut:


Jangka pendek
Upaya pelacakan kasus melalui penimbangan bulanan di Posyandu
Rujukan kasus KEP dengan komplikasi penyakit di RSU
Pemberian ASI Eksklusif untuk bayi usia 0-6 bulan
Pemberian kapsul Vit A
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pemulihan bagi balita gizi buruk dengan lama pemberian 3

6)
7)
b.
1)
2)
3)
c.
1)
2)

bulan
Memberikan makanan Pendamping ASI (MP-ASI) bagi balita keluarga miskin usia 6-12 bulan
Promosi makanan sehat dan bergizi
Jangka menengah
Revitalisasi Posyandu
Revitalisasi Puskesmas
Revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi
Jangka panjang
Pemberdayaan masyarakat menuju Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi).
Integrasi kegiatan lintas sektoral dengan program penanggulangan kemiskinan dan ketahanan
pangan.
Pemerintah sudah membuat program untuk menanggulangi masalah KEP, namun sampai
saat ini penanganan yang diberikan hanya mampu mengurangi sedikit kasus gizi buruk pada
balita.

Hal ini membuktikan bahwa penanganan dan program yang diberikan oleh pemerintah
belum mampu menekan jumlah kasus gizi buruk yang ada. Ketidakberhasilan penanganan dan
program tersebut mungkin dikarenakan kurang tepatnya perbaikan terhadap factor-faktor yang
dianggap mempengaruhi gizi buruk pada balita. Jika faktor-faktor yang mempengaruhi kasus gizi
buruk pada balita diketahui dan diatasi dengan cepat dan tepat, maka otomatis kasus gizi buruk
akan berkurang.

Anda mungkin juga menyukai