Anda di halaman 1dari 11

Pengertian Dari Pulveres

PULVERES

PULVERES I. DEFINISI Pulveres atau Serbuk bagi adalah serbuk yang dibuat dalam bobot
yang lebih kurang sama, dibungkus menggunakan bahan pengemas yang cocok untuk sekali
minum. Untuk serbuk bagi yang mengandung bahan yang mudah meleleh atau atsiri harus
dibungkus dengan kertas perkamen atau kertas yang mengandung lilin kemudian dilapisi lagi
dengan kertas logam. Penyimpanan dalam wadah tertutup baik. Serbuk diracik dengan cara
mencampur bahan obat satu per satu, sedikit demi sedikit dan dimulai dari bahan obat yang
jumlahnya sedikit. Jika jumlah obat kurang dari 50 mg atau jumlah tidak dapat ditimbang,
harus dilakukan pengenceran menggunakan zat tambahan yang cocok.
II. CARA PENYIAPAN
1. Membersihkan alat dan meja, menyetarakan timbangan,
2. Baca resep dengan baik, periksa kelengkapan resep.
3. Analisa resep dengan seksama apakah ada hal-hal yang harus dilaporkan pada dokter
mengenai bahan, kelengkapan ataupun sediaan. Apakah ada hal-hal khusus mengenai bahan
obat, sediaan atau cara peracikan bahan yang dituangkan dalam KETERANGAN .
4. Menghitung pemakaian dibandingkan dengan Dosis Maksimal atau Dosis Lazim lalu
disimpulkan jika perlu diberitahukan dokter.
5. Menghitung jumlah bahan yang dibutuhkan disesuaikan dengan bahan-bahan yang
tersedia.
6. Menuliskan cara pembuatan resep sesuai dengan spesifikasi sediaan dan bahan.
7. Membuat etiket dengan signa yang benar dan ceklist kebenaran etiket.
8. Menuliskan khasiat masing-masing bahan obat.
9. Menyiapkan pelayanan informasi obat ( PIO ).

III. CARA PERACIKAN


1. Cara Pengambilan dan Pelipatan Kertas Perkamen:
a. Ambilah kertas perkamen yang bersih.
b. Hitunglah jumlah kertas perkamen sesuai dengan jumlah serbuk yang akan
dibungkus/dibuat.
c. Lipatlah bagian atas dari kertas perkamen ± 1 cm.
d. Lipatlah bagian lain dari kertas perkamen hingga ujung bagian kertas perkamen tersebut
tepat berada dibagian lain dalam lipatan pertama.
e. Buatlah bungkusan dengan cara melipat - lipat sehingga ujung kertas perkamen yang satu
dapat masuk pada bagian ujung kertas lainnya.
f. Samakan besarnya bungkusan agar kelihatan rapih.
g. Usahakan besarnya bungkusan tidak memberikan kesan terlalu kecil atau terlalu besar.

2. Cara Membagi dan Membungkus Pulveres


a. Setelah serbuk menjadi halus, keluarkanlah serbuk tersebut dengan cara mengambil dengan
menggunakan mika dari mortir, hingga seluruh serbuk keluar, dan mortir tampak bersih,
tampunglah dengan kertas perkamen.
b. Bagilah serbuk keatas perkamen yang sudah tersusun rapi
c. Mulailah dari kertas perkamen yang berada pada posisi barisan atas dan paling kiri,
dilanjutkan kearah kanan, menyusul pada baris berikutnya dimulai dari bagian kiri.
d. Perhatikan dengan cermat agar pembagian serbuk sama banyak.
e. Mulailah membungkus serbuk dari posisi paling bawah dan paling kanan.
f. Setelah semua serbuk terbungkus, susunlah bungkusan dengan rapi, sama tinggi dan
menghadap arah yang sama.
g. Untuk pulveres berjumlah maksimal dua belas bungkus dapat dibagi sama rata menurut
pandangan mata langsung.
h. Lebih dari dua puluh dikerjakan dengan dibagi dahulu dengan jalan penimbangan lalu
dibagi sama rata.
i. Untuk bahan-bahan yang pemakaiannya lebih dari 80% dari dosis maksimalnya maka harus
ditimbang satu persatu dengan cara ditimbang hasil serbuknya, tentukan berat rata-rata
dikurangi 5-10 mg lalu timbang satu persatu, jika pada penimbangan sisa bagi sama rata.

3. Cara Menggunakan Mortir dan Stamper dalam Peracikan Pulveres


a. Mulut dari mortir senantiasa mengarah ke kiri.
b. Maksudnya agar ketika stamper dibersihkan stamper senantiasa tetap pada mulut mortir.
c. Bersihkan permukaan stamper dengan cara memutarnya, sementara mika tetap berada di
kepala stamper.
d. Mortir diletakkan diatas meja praktik dialasi dengan lap pada waktu menggerus bahan
obat.
e. Bila akan meletakkan stamper, letakkan selalu disebelah kanan dan dialasi dengan kertas,
kepala stamper harus mengarah kepada kita.
f. Stamper dipegang seperti memegang pulpen.
g. Putarlah stamper berlawanan dengan arah jarum jam.
h. Gerakan tangan sebatas pergelangan, sambil setelah stamfer dibersihkan dengan
menggunakan mika.
i. Bersihkan permukaan stamper dengan cara memutarnya, sementara mika tetap berada
dikepala stamper.
j. Ulangi beberapa kali sampai serbuk halus.

4. Cara Mencampur Bahan – Bahan Obat Dalam Serbuk.


a. Lapisilah mortir dengan sedikit bahan tambahan terlebih dahulu.
b. Dimulai dari bahan yang jumlahnya sedikit.
c. Bahan-bahan obat yang berwarna diaduk diantara dua lapisan zat netral
d. Bahan obat yang kasar dihaluskan terlebih dahulu
e. Bahan obat yang berbobot/bermasa ringan dimasukkan terakhir, begitu juga dengan bahan
obat yang mudah menguap.

5. Cara Menata Serbuk dalam Kemasan


a. Kemasan pot yang ada, maka serbuk ditata dalam posisi lipatan kertas menghadap kearah
yang sama, dibuat rapi panjangnya kurang lebih sama dan tidak besar pada salah satu sisi
kertas serbuk, etiket dan label yang tertempel diletakkan di dalam pot.
b. Jika tersedia plastik klip, maka penataan sedemikian sehingga teratur satu posisi dan
dirapikan menyesuaikan plastik klip, etiket dan label berada diluar plastik disesuaikan dengan
cetakan klip.
6. Gambar Cara Peracikan Pulveres

6. CONTOH RESEP PULVERES

a. Resep Pulveres dengan TRITURATIO


dr. Anugerah Sehat SIP No: 14/ KANDEP / IJIN / XII / 1988 Jl. Maluku I / 100 Semarang
Telp: 024-6712345 Semarang, R/ Coffein Ergotamin Pulv no X S t dd I Pro: Karina Ny.
KETERANGAN
1. Dilihat dulu resep tersebut, berarti harus buka resep standard terlebih dahulu yaitu dari
Formularium Nasional ( Fornas ).
2. Coffeini Ergotamini Pulveres
- Ergotamin Tartras 1 mg - Coffein 100 mg 3. Karena ergotamin jumlahnya terlalu kecil dan
tidak dapat ditimbang (karena penimbangan terkecil adalah 50 mg), maka dilakukan
pengenceran = trituratio.
4. Trituratio Ergotamin Tartras: yaitu bahan obat dikalikan hingga bobot terkecil yang bisa
ditimbang yaitu 50 mg. misalnya Trituratio Ergotamin tartras (1 = 5) berarti penimbangan
akhirnya adalah 10 mg x 5 = 50 mg Pembuatannya adalah 50 mg Ergotamin Tartras ditambah
laktosa ad 250mg ( dari 50 mg x 5 ) dan ditimbang = 50 mg sisanya dibungkus dan diberi
tanda “ sisa trituratio Ergotamin Tartras dalam laktosa ( 1 = 5 ) ” dibungkus dalam kertas
yang sudah diberi identitas terlebih dahulu, jika tidak maka kertas akan berlubang dan
serbuknya tumpah keluar.
5. Boleh juga pengenceran 1 = 10 , langkahnya sama yaitu timbang Ergotamin Tartras 50 mg
ditambahkan laktosa ad 500 mg. dan ditimbang = 100 mg.
6. Kerasionalan sediaan pulveres untuk pasien dewasa ditanyakan, tetapi jika dilihat dari
dosis lazimnya dan khasiatnya maka resep ini memang untuk Nyonya, tetapi tetap perlu
ditanyakan kerasionalan bentuk sediaannya ditanyakan apakah memang dikehendaki
pulveres.
7. Untuk serbuk bagi ada ketentuan massa serbuknya yaitu untuk anak-anak 250 mg, dan
dewasa antara 500 mg - 1 g jadi perhitungan massa atau bobot serbuk adalah:

PERHITUNGAN DOSIS

Untuk melihat dosis coffein dan ergotamin tartras dilihat di FI ed III, Perhitungan dosisnya
yaitu dengan membandingkan DM, DL dengan pemakaian, yaitu:
DM Ergotamin Tartras DL Ergotamin Tartras Pemakaian 1x= 2 mg 1x= 1 mg 1x = 1 mg
sesuai DL < DM Sh= 6 mg 1hr=2 mg-4 mg 1hr = 3 x 1 mg = 3 mg sesuai DL < DM DM
Coffein DL Coffein Pemakaian 1x= 0,5 g 1x=100 mg-200 mg 1x = 100 mg sesuai Dl < DM
Sh= 1,5 g 1hr=300 mg-600 mg 1hr= 3 x 100 mg = 300 mg sesuai Dl < DM JUMLAH
BAHAN

Jadi bila perhitungan pemakain tidak melebihi DM, maka mulai dihitung jumlah obat yang
ditimbang yaitu bahan obat dikalikan 10.
- Ergotamin Tartras 1 mg } x 10 = 10 mg - Coffein 100 mg } x 10 = 1000 mg = 1g
Perhitungan massa/bobot serbuk untuk dewasa: 500 mg x 10 = 5000 mg Jumlah Ergotamin
Tartras trituratio = 100 mg Jumlah Coffein : 100 mg x 10 = 1000 mg Jumlah laktosa yang
ditambahkan = 3900 mg CARA PEMBUATAN

1. Setarakan timbangan gram dan milligram, dengan memberikan kertas perkamen diatas
pinggan timbangan. Cara melihat keseimbangan dengan milihat jarum penunjuk datar air.
Bila belum setimbang maka diatur baut ulir pada lengan neracanya.
2. Buat Trituratio, timbang Ergotamin Tartras 50 mg.
3. Timbang laktosa sesuai pengenceran yang dikehendaki ad 250 mg atau ad 500 mg.
4. Laktosa digerus terlebih dahulu, supaya pori-pori mortir sudah tertutup laktosa.
Jika Ergotamin Tartras digerus dahulu maka obat tersebut akan berkurang jumlahnya karena
masuk ke pori-pori mortir.
5. Obat dalam jumlah kecil/sedikit dan berkhasiat keras, dicampur dgn serbuk yang
jumlahnnya lebih banyak maka untuk mengetahui homogenitas antara serbuk sedikit dapat
merata diserbuk banyak maka ditambahkan pewarna carminum.
6. Jika dibuka hasil triturationya warna merah muda tidak merata berarti cara mencampur
serbuk kurang homogen. Carminum hanya sebagai indikator homogenitas maka tidak perlu
jumlahnya terlalu banyak. Untuk membuat serbuk tercampur dengan sempurna / homogen
maka kita tidak dapat melupakan prinsip menggerus obat dalam mortir yaitu selalu searah
dan cara memegang stamper harus benar dibedakan antara pegang mortir untuk tujuan
menggerus dan atau hanya mencampur.
7. Setelah serbuk homogen maka ditimbang hasil triturationya sesuai dengan perhitungan
trituratio, dan sisanya dibungkus lalu diberi tanda.
8. Setelah selesai trituratio mortir dibersihkan dengan kapas alcohol untuk menghilangkan
sisa-sisa obat berkhasiat keras yang ada di pori-pori mortir.
9. Timbang coffein 1 g, digerus sampai halus.
10. Timbang laktosa sisa massa, gerus sampai halus.
11. Campur secara lege artis dengan serbuk-serbuk yang telah halus mulai dari jumlah yang
paling sedikit. Aduk sampai rata. Angkat serbuk dari mortir dengan mika letakkan dikertas.
12. Ambil 10 buah kertas perkamen dirapikan, dilipat ± 1 cm dari ujung atas kertas secara
horizontal, dari lipatan tersebut dibuat acauan untuk menata kertas, dari 10 kertas dibagi
menjadi 2 yaitu lima-lima.
13. Serbuk dibagi dengan kertas cara bagi perhatikan harus benar, cara mengurangi atau
menambah harus benar, setelah secara penglihatan ± sama, maka kertas dilipat.
14. Cara melipat kertas harus diperhatikan, harus sama sisi-sisi lipatannya tidak ada satu sisi
yang dibuat lebih kecil supaya mudah untuk dmasukkan kebagian/sisi yang lain.
15. Setelah dibungkus semua, serbuk dirapikan ditekan supaya menjadi tidak
menggelembung ditata dengan satu sisi yang sama, ditata dimasukkan ke pot.
16. Diberi etiket putih, dengan signa

Apotek NUSAPUTERA
Jl. Medoho III/2 Telp (024) 6747557 Semarang Apoteker: Dra. Karsini, S., Apt SIK: 505 /
SIA / 96 No. Smg, Karina Tiga kali sehari satu bungkus Paraf AA TIDAK BOLEH
DIULANG TANPA RESEP DOKTER KHASIAT

Coffein : Stimulan SSP


Ergotamin Tartras : Antimigrain
Diposkan oleh Sri Suwarni, S.Si., Apt. di 00.39
Label: PULVERES
Welcome to my blog, hope you enjoy reading.
puyer adalah sediaan obat yang berbentuk bubuk. Biasanya dibuat dari obat sediaan tablet yang
kemudian digerus. Pada prakteknya, sediaan puyer sering berupa racikan beberapa obat yang
dicampur menjadi satu. Kadang diberikan begitu saja dalam bentuk bubuk, atau kemudian dikemas
dalam bentuk kapsul. Kenapa banyak dokter meresepkan puyer? Alasan yang pertama adalah,
(sebagian besar) dokter memang diajari cara membuat puyer! Ketika saya masih berstatus
mahasiswa kedokteran, saya mendapatkan mata kuliah Farmakologi 1, Farmakologi 2, dan
Farmakologi 3. Di mata kuliah tersebut kami belajar mulai dari asal usul obat, bahan aktifnya,
farmakodinamik dan farmakokinetiknya, cara kerjanya, efek sampingnya, termasuk juga reaksinya
dengan obat/makanan/zat lainnya. Di mata kuliah Farmakologi 3 (atau disebut juga Farmasi), kami
antara lain diajarkan cara menulis racikan puyer. Poin paling penting pada saat itu adalah kami harus
tahu mana obat yang boleh dibuat puyer mana yang tidak boleh, dan interaksi obat satu sama lain
(dengan kata lain, obat A boleh dicampur dengan obat apa saja, tidak boleh dicampur dengan obat
apa saja.). Bahkan di kepaniteraan klinik (ko-as), saya mendapatkan kesempatan untuk belajar
membuat puyer secara praktek, mulai dari menulis resepnya, menggerus dan mencampur obatnya,
sampai belajar membagi dan memasukkan puyer tersebut ke dalam bungkusnya. Saya tidak tahu
kurikulum kedokteran sekarang, namun dulu (saya lulus dokter tahun 2002) membuat puyer masuk
dalam kurikulum, dan semua dokter mempelajarinya. Jadi jelaslah, alasan pertama kenapa banyak
dokter membuat resep puyer karena mereka memang diajari cara membuat puyer, dan legal (sejauh
ini belum ada larangan dari otoritas kesehatan tentang penggunaan puyer di Indonesia). Alasan
kedua, untuk mempermudah pemberian obat. Kadang seorang pasien membutuhkan beberapa
obat. Karena minum obat lebih dari 1 itu menambah stress, maka beberapa obat tersebut dicampur
menjadi satu. Alasan ketiga, dst tidak akan ditulis di sini, untuk mempersempit pembahasan.
Sebenarnya, dalam pembuatan puyer ada protokolnya, mulai dari penulisan resep sampai
pembuatannya. Kalau protokol/kaidah-kaidah ini dipenuhi, puyer itu aman. Sebagai contoh, tidak
semua obat boleh digerus menjadi puyer. Obat yang didesain untuk larut perlahan di lambung akan
hilang kemampuannya untuk larut secara perlahan jika digerus, karena itu, tidak boleh diracik
menjadi puyer. Karena dalam proses pembuatan puyer ada tahap membagi dan memasukkan ke
dalam bungkusnya, maka obat yang diracik ke dalam bentuk puyer tersebut tidak boleh dari
golongan yang batas keamanannya sempit. Artinya, dosis tidak harus persis sama, selisih beberapa
mg tidak menyebabkan perubahan yang bermakna. Obat yang batas keamanannya sempit seperti
golongan digitalis tidak boleh dibuat puyer (karena selisih nol koma sekian mg saja efeknya bisa
berbeda/berbahaya). Selain itu, tidak sembarang obat boleh dicampur menjadi satu (jangankan
dicampur dalam bentuk puyer, beberapa obat tertentu meskipun tetap dalam bentuk aslinya belum
tentu boleh diminum secara bersamaan). Proses pembuatannya pun ada protokolnya, untuk
menghindari kontaminasi, salah ukur, dst. Karena itu, amankah puyer? Jika protokolnya dipenuhi,
kenapa tidak aman? Jadi saya agak bingung jika ada yang bermain paham “pokoknya no puyer,
karena tidak aman”. Lha kalau semua kaidah dipenuhi, apanya yang
tidak aman? Paling kemudian dilanjutkan, “Apa dokter bisa menjamin kaidah-kaidahnya
dipenuhi?”*smile*. Kalau sudah begitu jaka sembung bawa golok. Poin saya, kalau kaidah/protokol
pembuatan puyer dipatuhi, kenapa puyer dibilang tidak aman? Tidak amannya dimana? Protokol
Lalu kenapa puyer dipermasalahkan? Alasan yang paling mendasar adalah karena protokol/kaidah
pembuatan puyer sering tidak dipenuhi. Pertama, dari mulai penulisan resep. Ketika beberapa obat
dicampur menjadi satu, pertanyaannya, betulkah pasien tersebut membutuhkan beberapa obat
tersebut? Bahkan pertanyaan pertama seharusnya, betulkah pasien membutuhkan obat?
Kenyataannya, pasien belum tentu butuh obat. Kemudian, sering resep berisi daftar dari sekian
banyak obat, yang tidak jelas indikasinya. Bahkan yang lebih parah, obat-obat yang seharusnya tidak
boleh dibuat menjadi puyer ditulis dalam resep tersebut diracik menjadi puyer (human error?).
Namun janganlah langsung menghakimi dokter yang memberikan resep puyer ini sebagai dokter
yang “ingin mencelakai pasiennya” atau dokter yang “dagang obat”, dsb. Masalahnya, sudah
menjadi kebiasaan bahwa ketika periksa ke dokter pulangnya harus membawa resep. Lalu yang
namanya obat haruslah manjur, satu obat, sekali diminum, penyakit langsung
hilang…wuzz..wuzz..wuzz…! Dokter juga sering larut dalam kebiasaan ini. Semua pasien yang datang
diberi resep, dan karena takut pasien tidak segera sembuh (lalu mencap dirinya sebagai dokter
bodoh), maka diberilah pasien obat super lengkap. Belum beban dokter (karena begitu banyaknya
pasien) sering menyebabkan beliau-beliau kurang dapat memahami pasiennya secara menyeluruh.
Akibatnya sering puyer menjadi sarana pengobatan yang tidak rasional. Seorang kerabat saya yang
terganggu karena batuk akibat obat hipertensi yang diminumnya, ketika konsultasi ke dokter
spesialis paru diberi resep yang isinya sederet penuh obat antibatuk dari golongan A-Z, dicampur
menjadi 1 kapsul besar. Begitu diminum, tentu saja batuknya langsung mereda, tapi begitu obatnya
berhenti bekerja, batuknya kambuh. Padahal, begitu obat hipertensinya diganti obat lain yang tidak
menyebabkan batuk, batuknya langsung hilang. Ini hanyalah contoh, betapa puyer (di kasus ini
dalam bentuk kapsul) sering menjadi sarana pengobatan yang tidak rasional. Dalam kasus yang saya
contohkan ini, semua obat yang tertulis di resepnya adalah obat generik, puyer (kapsul)-nya
harganya sangat murah, jadi beliau tidak “dagang obat”. Tapi beliau menjadi tidak rasional
pengobatannya hanya karena tidak ingin pasiennya lari….(plus kurang sabar dalam menganamnesis).
Kemudian, bagaimana dengan pembuatannya? Betulkah protokol pembuatan puyer benarbenar
dijalankan dengan sebaik-baiknya di lapangan? Yang ini biarlah rekan dari farmasi yang
menjawabnya. Lalu bagaimana sikap kita, sebagai pemberi jasa kesehatan, dalam menyikapi
kontroversi ini? Yang paling penting adalah berkaca pada diri sendiri, bagaimana cara pengobatan
kita.
Rasional atau irasional? Sesuai kaidah ilmu yang kita pelajari ketika kuliah dulu, atau ikut arus? Puyer
sendiri hanyalah bentuk sediaan obat. Tujuan awalnya adalah mempermudah pemberian obat,
bukan sarana mencampur 10 lebih obat untuk mendapatkan ramuan super lengkap dan super
manjur. Dari rekan farmasi juga perlu berkaca, sudahkah protokol pembuatan puyer dijalankan
dengan baik? Misalnya, sudahkah wadah untuk membuat puyer dibersihkan dari bekas bahan yang
digunakan membuat puyer sebelumnya? Bahkan, bagaimana peran apotoker di apotik? Jika ada
resep yang tidak memenuhi kaidah yang benar, apa yang dilakukan? Konfirmasi ke dokter pemberi
resepkah? Atau….? Yang tidak kalah penting peran otoritas kesehatan. Mau dilarang atau tetap
diperbolehkan membuat puyer? Menurut saya pribadi, puyer hanyalah bentuk sediaan obat. Yang
penting adalah rasionalitas pengobatannya dan proses pembuatannya. Selama protokol dipenuhi
dan masih legal (masih diijinkan oleh pemegang otoritas), kenapa tidak boleh? Penjelasan Dokter
Lalu bagaimana sikap kita sebagai pasien dalam menyikapinya? Poin paling penting adalah
perubahan cara pandang kita dalam memandang hubungan dokter-pasien. Yang pertama, yang
namanya ke dokter itu tidak harus pulang bawa resep. Yang kedua, jangan menuntut dokter
memberikan obat yang super manjur karena penyakit apapun sebenarnya butuh waktu untuk
sembuh. Saya pernah bertemu dengan seorang mantri kesehatan yang pasiennya ratusan setiap
harinya (mantri kok boleh praktek seperti dokter ya? tanya kenapa). Dia dianggap pandai sekali oleh
pasiennya, karena obatnya dinilai sangat manjur. Anda tahu apa obatnya? SEMUA pasien yang
datang padanya selalu diberi antibiotik dosis tinggi+penghilang rasa sakit dosis tinggi+
kortikosteroid, diracik jadi 1 kapsul! Benar-benar super ngawur tapi sayangnya disukai pasien… Yang
ketiga, hak kita sebagai pasien untuk meminta penjelasan dari dokter tentang penyakit yang kita
derita. Jika dokter akan memberikan suatu tindakan termasuk obat, kita berhak bertanya
indikasinya, bahkan cara kerja dan efek sampingnya. Bahkan seharusnya, seorang dokter
menjelaskan terlebih dahulu informasi-informasi penting tentang tindakan atau obat yang akan
diberikannya dan meminta persetujuan pasien terlebih dahulu sebelum memutuskan tindakan atau
menulis resep. Lagipula, sudah bukan jamannya dokter duduk diam membisu jika ditanya pasiennya.
Kalau kita bertemu dengan dokter seperti ini, ya jangan kembali ke dia. Selama kita tetap mau
datang ke dokter seperti itu ya selama itu pula beliau-beliau akan selalu duduk diam membisu setiap
kita tanya. *smile* Lalu, puyernya sendiri bagaimana? Haruskah dihapus dari muka bumi nusantara
ini? Puyer hanya macam sediaan obat. Yang penting rasionalitas pengobatannya. Jika protokol
pembuatan puyer memang selalu dilanggar, ya kenapa tidak dilarang saja? Kalau kasus pelanggaran
protokol sudah sulit diatasi (dengan kata lain, daripada repot-repot memantau dan atau
menertibkan pembuatan puyer) paling mudah ya dilarang sekalian saja (tentu saja setelah melalui
pengkajian yang mendalam dari pihak-pihak yang terkait). Tapi sekali lagi, jika semua kaidah
dipenuhi, puyer itu aman. Karena itu, jika protokol pembuatan puyer selalu dipatuhi, ya kenapa
dilarang? Tapi sebenarnya selanjutnya ya terserah Anda sebagai pasien, sebagai pengguna jasa.
Masih mau diberi puyerkah, Anda? Selama masih mau dan
atau minta diberi puyer (dan selama tidak dilarang oleh otoritas kesehatan) ya selama itu pula puyer
akan selalu ada… (Ditulis oleh Afie untuk NetSains.Com., pendapat pribadi) Dalam beberapa tahun
belakangan ini kontroversi tentang pemberian obat sediaan bubuk yang sering disebut puyer selalu
menghangat, apalagi RCTI dalam beberapa minggu belangakan ini meliput secara serial. Kelebihan
dan kekurangan dalam pemberian obat bentuk sediaan puyer ternyata menjadi bahan komoditas
kontroversi di antara klinisi yang berakibat kebingungan dalam masyarakat penggunanya. Apalagi
belakangan ini hal itu dimanfaatkan oleh media masa untuk membuka kontroversi ini dalam
masyarakat. Selain membuat bingung masyarakat kontroversi ini juga rawan dapat ditunggangi oleh
beberapa pihak demi kepentingan kelompoknya. Seperti diketahui bahwa bisnis farmasi ternyata
cukup terpukul dengan adanya bentuk sedian obat puyer ini. Dalam beberapa survey didapatkan
penggunaan puyer jauh melampaui penggunaan sediaan sirup. Bahkan terdapat supervisor sebuah
perusahaan farmasi hengkang dari pekerjaaanya gara-gara omzet obat sirupnya hancur dikalahkan
penggunaan obat puyer. Dalam pengobatan modern barat, pada awalnya puyer merupakan salah
satu bentuk sediaan yang luas digunakan di seluruh dunia, terutama untuk penggunaan obat
racikan/campuran. Puyer (powder) atau pulvis adalah salah satu bentuk sediaan obat yang biasanya
didapat dengan menghaluskan atau menghancurkan sediaan obat tablet atau kaplet yang biasanya
terdiri atas sedikitnya dua macam obat. Namun, dengan kemajuan teknologi sediaan obat yang
diberikan berkembang dalam bentuk sediaan capsul, sirup atau injeksi. Terdapat berbagai
kekurangan dan kelebihan dari berbagai bentuk sediaan obat tersebut. Bentuk sediaan obat puyer
lebih sering digunakan oleh dokter anak karena selain lebih mudah memberikan takaran dosis, lebih
praktis, lebih murah atau kadang tidak ada sedian obat sirup pada jenis obat tertentu.. Sedangkan
sediaan capsul atau sirup jadi lebih mahal, kadang tidak praktis karena kesulitan mengatur dosis
tetapi rasanya lebih enak. Di samping itu masih banyak terdapat beberapa kelebihan dan kekurang
masing-masing sediaan obat tersebut. Tapi faktanya, ilmu meracik puyer adalah pelajaran wajib bagi
pendidikan mahasiswa kedokteran di tingkat awal. Bahkan banyak didapatkan kepustakaan dan
buku pegangan untuk ilmu meracik puyer yang ditulis oleh ahli farmasi dan kedokteran. Dalam hal
ini ilmu meracik puyer adalah hal legal dan menjadi tindakan medis yang wajar dilakukan dalam
dunia kedokteran. Sampai saat ini belum ada penelitian yang membuktikan bahwa penggunaan
puyer berdampak buruk. Tampaknya kontroversi yang timbul dalam penggunaan puyer ternyata bila
disimak dengan cermat tidak pada substansinya. Ternyata, kontroversi yang ditakutkan tersebut
ternyata tidak hanya dialami oleh pengguna puyer tetapi juga pada pengguna obat sediaan lainnya.
Opini yang ditakutkan tersebut bukan karena masalah puyernya sendiri tetapi kelemahan knowledge
(pengetahuan) dokter atau skil (ketrampilan) apoteker dalam
penyajiannya, bukan dari kelemahan sediaan puyer itu sendiri. Terdapat beberapa hal yang kami
rangkum dalam kontroversi tersebut yang disampaikan oleh para klinisi dalam suatu seminar dan
opini di media tentang masalah kelemahan puyer yang ternyata tidak pada substansi masalah utama
bahaya obat puyer itu sendiri. 1. Menurunnya kestabilan obat karena obat-obatan yang dicampur
tersebut punya kemungkinan berinteraksi satu sama lain. Sebenarnya bila dicermati interaksi obat
tidak hanya pada pemberian puyer pemberian sedian capsul atau sirup mempunyai resiko interaksi
obat satu dengan yang lain. Dokter dibekali limu farmasi tentang masalah interaksi dan kestabilan
obat. Kalaupun ada interaksi obat mungkin, dokter sudah memperhitungkan hal tertsebut tidak
terlalu berbahaya. Bila dokter tidak memahami farmakoterapi dari suatu jenis obat, sebaiknya
dokter tidak menuliskan resep obat baik puyer maupun sirup. 2. Pemberian puyer beresiko terjadi
pemberian polifarmasi. Sebenarnya penggunaan polifarmasi bisa juga terjadi pada penggunaan obat
kapsul dan sirup. Seorang dokter ada juga yang meresepkan berbagai macam botol sirup dalam satu
kali pemberian. Bahkan seorang ibu sempat mengeluh ketakutan karena anaknya dalam sekali
berobat diberikan sekaligus 6 botol sirup. Padahal dalam satu botol sirup itu juga kadang terdiri dari
dua atau lebih kandungan obat. Pengalaman lain beberapa penderita yang berobat di luar negeri
khususnya Singapura, penderita memang tidak mendapatkan puyer tetapi membawa segepok obat
sirup dan kapsul kalo dijumlah lebih dari 7 macam. Masalah pemberian polifarmasi ini juga
tergantung knowledge dan pengalaman dokter 3. Sulitnya mendeteksi obat mana yang
menimbulkan efek samping – karena berbagai obat digerus jadi satu dan terjadi reaksi efek samping
terhadap pasien, akan sulit untuk melacak obat mana yang menimbulkan reaksi. Hal ini juga tidak
akan terjadi, karena dalam penulisan obat puyer pasien dapat meminta kopi resep dari apoteker
atau apotik tempat pembelian obat. Di Puskesmas memang menjadi masalah karena seringkali tidak
disertai kopi resep, tetapi bila pasien meminta hal itu pasti akan diberikan oleh dokter yang
memberikan di psukesmas. Adalah sesuatu yang tidak etis bila dokter tidak mau memberikan kopi
resepnya 4. Pembuatan puyer dengan cara digerus atau diblender, sehingga akan ada sisa obat yg
menempel di alatnya. Hal itu wajar terjadi, dalam ilmu meracik obat itu sudah diperhitungkan
dengan menambah sekian prosen untuk kemungkinan hal tersebut. Kalaupun ada kekurangan dan
kelebihannya sebenarnya hanya dalam jumlah kecil yang tidak terlalu bermakna, kecuali pada obat
tertentu. Dalam pemakaian obat sirupun pasti wajar bila kelebihan atau kekurangan seperti terjadi
sisa sedikit sewaktu memberikan obat dalam sendok sirupnya atau kelebihan sedikit dalam menuang
obat dalam sendok. Bahkan seorang peneliti pernah melaporkan bahwa sekitar 20% obat paten
ternyata sewaktu diteliti lebih cermat sering membulatkan jumlah dosis seperti yang tercantum
dalam kemasannya atau tidak sesuai dengan kandungan yang ada, Seperti pesudoefedrin yang
seharusnya dikapsul 17 mg dibulatkan menjadi 20 mg. 5. Proses pembuatan obat itu harus steril.
Memang dalam penyajian dan penyediaan obat harus higenis dan bersih, dan itu sudah merupakan
prosedur tetap yang harus dilakukan
oleh semua apoteker. Meskipun dalam penyediaan obat oral tidak harus super steril seperti
penyediaan obat suntik. Obat oral mungkin relatif sama seperti penyajian makanan lain yang masuk
ke mulut, beda dengan obat injeksi yang harus melalui pembuluh darah yangb harus sangat steril. 6.
Bisa jadi obatnya sudah rusak sebelum mencapai sasaran karena proses penggerusan. Masalah
tersebut sebenarnya masalah knowledge (pengetahuan) dan ketrampilan dokter Hal itu juga tidak
akan terjadi karena dokter sudah diberikan ilmu farmasi bahwa terdapat beberapa obat yang tidak
boleh digerus. Kalaupun ada yang tidak boleh digerus tapi digerus, mungkin tidak membahayakan
tetapi hanya membuat kasiat obat tidak optimal. 7. Dosis yang berlebihan karena dokter tidak
mungkin hafal setiap merek obat. Jadi akan ada kemungkinan dokter meresepkan 2 merek obat yang
berbeda, namun kandungan aktifnya sama. Hal seperti ini juga sebenarnya masalah knowledge
(pengetahuan) dan ketrampilan dokter. Setiap dokter tidak boleh menuliskan resep obat bila tidak
hafal dosis dan merek obatnya. Kekawatiran inipun juga terjadi pada penulisan resep sediaan sirup.
8. Kesalahan dalam peracikan obat – bisa jadi tulisan dokter bisa jadi nggak kebaca sama apoteker,
sehingga bisa membuat salah peracikan. Hal inipun juga terjadi pada sediaan sirup. Penulisan dokter
tidak jelas memang sering terjadi, dalam hal ini apoteker harus menamnyakan lagi kepada dokter
Bila dilihat berbagai opini yang diungkapkan oleh beberapa pihak tadi menjadikan kontroversi
melebar kemana-mana tidak pada subtansinya bahwa obat puyer sebenarnya tidak berbahaya dan
bukan sesuatu yang harus dikawatirkan. Kekawatiran tersebut sebenarnya juga terjadi pada
pemberian sediaan yang lain seperti sediaan sirup dan kapsul. Substansi kontroversi yang lain
sebenarnya masalah skill dan knowledge dokter dalam penulisan resep dan skill apoteker dalam
penyajiannya. Sebenarnya masalah ini bukan konsumsi publik, tetapi seharusnya menjadi topik
bahasan dikalangan intern dokter. Sebaiknya media sebagai penyebar informasi dan dokter sebagai
narasumber dalam mengemukakan kontroversi ilmiah harus berdasarkan bukti dan fakta ilmiah
ataupun paling tidak hasil rekomendasi dari institusi yang kredibel seperti WHO (World Health
Organization), CDC (Centers for Disease Control), AAP American Academy of Pediatrics, IDI (Ikatan
Dokter Indonesia) atau IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia). Bila masalah itu masih belum ada
rekomendasi resmi dari instansi berwenang yang kredibel sebaiknya dokter sebagai narasumber
jangan terlalu gegabah menyampaikan atau terpancing untuk menyebarluaskan opininya sendiri
atau kontroversi ke masyarakat. Sebaiknya dilakukan workshop atau diskusi ilmiah dikalangan
berbagai disiplin ilmu untuk menyatukan pendapat. Bila perilaku itu diteruskan hal tersebut secara
tidak disadari akan dapat ditunggangi oleh pihak yang tertentu untuk mengeruk keuntungan. Dokter
juga mirip politisi, harus cermat dalam mengeluarkan informasi ke masyarakat. Sekali kontroversi itu
keluar ke media masa akan menjadi milik opini publik yang dapat membingungkan masyarakat.
Kemajuan informasi tehnologi, bak pisau bermata dua. Satu sisi menguntungkan, sisi lain bila salah
mencerna informasi tersebut akan membuat persepsi masyarakatt diputarbalikkan. Bila klinisi
berdebat pada kontroversi yang tidak substansial
sebaiknya media harus cermat dalam memilih atau menyajikan berita. Karena bila masyarakat salah
dalam mencerna kontroversi itu maka banyak hal negatif yang bisa terjadi. Hal ini akan menurunkan
kredibilitas dan kepercayaan media dan nara sumbernya, bahwa informasi yang tidak berdasarkan
evidence base medicine atau kejadian ilmiah berbasis bukti menjadikan sekedar kontroversi yang
tidak berujung. Berbeda dengan tradisi dalam bidang ilmu kedokteran dahulu. Dalam ilmiah
kedokteran modern, pendapat seorang pakar atau professor sekalipun sekarang tidak boleh
dijadikan acuan atau pedoman utama bila tidak disertai fakta evidence base medicine. Hal yang lebih
buruk lagi bila hal ini terjadi maka persepsi yang salah ini akan menggiring opini masyarakat untuk
menyudutkan dokter sebagai pemberi advis pengobatan. Tanpa disadari pada persepsi yang salah itu
akan merusak citra dokter di Indoenesia di mata masyarakat. Dalam kontroversi tersebut sebaiknya
pihak yang berwenang dalam hal ini IDI, IDAI dan Departemen Kesehatan harus mengeluarkan
rekomendasi resmi tentang masalah keamanan puyer sebagai salah satu bentuk sediaan obat.
Meskipun secara informal lewat wawancara sebuah stasiun televisi ketua umum IDAI dr Badriul
Hegar SpAK, telah menyatakan bahwa puyer adalah bentuk sediaan obat yang tidak berbahaya dan
aman, karena sampai saat ini belum ada penelitian yang menunjukkan keburukannya. Bila
diibaratkan kontroversi itu seperti dokter sebagai penyedia puyer dan penjual sate menjual
satenya.Bila kualitas satenya tidak bagus yang dikambinghitamkan jangan satenya tapi penjual
satenya harus diperbaiki cara penyajiannya secara baik dan benar. Padahal bila dikemas dengan baik
dan benar maka sate tersebut sangat bergizi dan masih menjadi pilihan masyarakat. Meskipun
sebenarnya dokter tidak bisa disamakan dengan tukang sate.

Anda mungkin juga menyukai