Anda di halaman 1dari 16

Tetanus yang disebabkan Infeksi pada Tungkai Bawah Sebelah Kanan

Agusdianto Bello Chrisdarmanta A.Putra


102012222
Falkutas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara no 6 Jakarta Barat 11510
Email : agusdianto.putra@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak
Angka kematian tetanus masih cukup tinggi baik di negara maju maupun di negara
berkembang. Terutama kejadian kasus tetanus di negara berkembang masih cukup banyak.
Terapi tetanus dengan menggunakan inovasi klinis dan farmasi, masih merupakan tugas yang
sangat sulit. Penggunaan kortikosteroid pada tetanus pernah dilaporkan. Pada penelitian
pendahuluan penggunaan tambahan metilprednisolon dosis rendah (5 mg/kgBB) bermanfaat
dalam menurunkan angka kematian. Salah satu sebab kematian tetanus adalah gagal nafas
akibat laringospasme yang disebabkan kejang yang berat dan berulang. Peran
metilprednisolon pada tetanus sebagai salah satu steroid sintetik pada dosis rendah akan
mempengaruhi sinapsis melalui reseptor GABA, menurunkan dominasi neurotransmiter
eksitatori. Tetanus neonatorum adalah penyakit akut yang menunjukkan gejalanya dengan
hilangnya kemampuan untuk menghisap , diikuti oleh kekakuan umum dan kejang otot yang
menyakitkan sebagai penyakit berkembang . Penyakit ini disebabkan oleh toksin tetanus yang
diproduksi oleh Clostridium tetani. Tempat umum untuk masuknya spora tetanus adalah tali
pusar yang belum sembuh . Sebagian besar ( 90 % ) kasus tetanus neonatal mengalami gejala
selama 3-14 hari pertama kehidupan dengan mayoritas presentasi pada 6-8 hari. Kematian
cenderung sangat tinggi : dalam ketiadaan perawatan medis , kasus kematian mendekati 100
% , dengan perawatan di rumah sakit 10-60 % kasus NT mati , tergantung pada ketersediaan
perawatan intensif facilities.
Kata kunci : Tetanus, Kortikosteroid, Clostridium tetani, Tetanus Neonatorum
Abstract
Tetanus mortality rate was relatively high both in developed and developing countries.
Especially incident cases of tetanus in developing countries is still quite a lot. Tetanus
therapy using clinical and pharmaceutical innovation, is still a very difficult task. Use of
corticosteroids in tetanus have been reported. In a preliminary study using low-dose
methylprednisolone (5 mg / kg body weight) is decreasing mortality rate. One cause of death
due to tetanus is respiratory failure by laringospasme caused severe and recurrent seizures.
Role of methylprednisolone in tetanus as one of the synthetic steroids in low doses would
affect synapses through GABA receptors, reducing the dominance of neurotransmitters
eksitatori. Neonatal tetanus is an acute disease presenting initially with loss of ability to
suck, followed by generalized rigidity and painful muscle spasms as the disease progresses.
1

The disease is caused by tetanus toxin produced by Clostridium tetani. The commonest port
of entry for the tetanus spores is the unhealed umbilical cord. Most (90%) cases of neonatal
tetanus develop symptoms during the first 314 days of life with the majority presenting at 6
8 days. Mortality tends to be very high: in the absence of medical treatment, case fatality
approaches 100%; with hospital care 1060% of NT cases die, depending on the availability
of intensive care facilities.
Key words : Tetanus, Corticosteroids, Clostridium tetani, Neonatal Tetanus (NT)
A. Pendahululuan
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan
neuromuskuler akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot disebabkan oleh eksotoksin
spesifik dari kuman anaerob Clostridium tetani. Hippocrates (dokter dari Yunani) sudah
menggambarkan gejala penyakit tetanus pada manusia. Tahun Penderita biasanya mengejang
dengan rahang tertutup rapat (disebut lockjaw), punggung melengkung dan sulit bernafas.
Tetanus dapat terjadi sebagai komplikasi luka, baik luka besar maupun kecil, luka
nyata maupun luka tersembunyi. Jenis luka yang mengundang tetanus adalah luka-luka
seperti Vulnus laceratum (luka robek), Vulnus punctum (luka tusuk), combustion (luka bakar),
fraktur terbuka, otitis media, luka terkontaminasi, luka tali pusat. Dan pada akhirnya pada
tahun 1925, Ramon memperkenalkan tetanus toksoid untuk imunisasi aktif.
B. Pembahasan
Anamnesis
Anamnesis adalah langkah pertama yang harus dilakukan oleh dokter apabila
berhadapan dengan pasien. Anamnesis bertujuan untuk mengambil data berkenaan dengan
pasien melalui wawancara bersama pasien maupun keluarga pasien. Anamnesis perlu
dilakukan dengan cara-cara khas yang berkaitan dengan penyakit yang bermula dari
permasalahan pasien. Anamnesis yang baik akan membantu dokter memperoleh maklumat
seperti berikut :

Penyakit atau kondisi yang mungkin menjadi puncak keluhan pasien


(kemungkinan diagnosis)

Penyakit atau kondisi lain yang menjadi kemungkinan lain penyebab


munculnya keluhan pasien (diagnosis banding)

Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit tersebut


(faktor predisposisi dan faktor risiko)

Kemungkinan penyebab penyakit (etiologi)

Faktor-faktor yang dapat memperbaiki dan yang memperburuk keluhan pasien


(faktor prognostik, termasuk upaya pengobatan)

Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medis yang diperlukan untuk


menentukan diagnosisnya.1

Bagi pasien yang pertama kali datang ke dokter, pertanyaan yang perlu diajukan adalah
data pribadi pasien seperti:
1. Nama lengkap pasien
2. Jenis kelamin
3. Umur pasien
4. Tempat dan tanggal lahir pasien
5. Status perkawinan
6. Agama
7. Suku bangsa
8. Alamat
9. Pendidikan
10. Pekerjaan
11. Riwayat keluarga yang meliputi kakek dan nenek sebelah ayah, kakek dan nenek
sebelah ibu, ayah, ibu, saudara kandung dan anak-anak
Keluhan utama
Anamnesis keluhan utama merupakan bagian paling penting dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Anamnesis ini biasanya memberikan informasi terpenting untuk mencapai
diagnosis banding, dan wawancara vital mengenai gambaran keluhan yang menurut pasien
paling penting. Anamnesis ini sebaiknya mencakup sebagian besar waktu konsultasi.
Anamnesis yang didapat harus dicatat dan disajikan dengan kata-kata pasien sendiri, dan
tidak boleh disamarkan dengan istilah medis yang bisa menguburkan sifat asli keluhan dan
nuansa yang penting.1
Jika tidak bisa didapat anamnesis yang jelas dari pasien, maka anamnesis harus
ditanyakan pada kerabat, teman, atau saksi lain. Pencarian bukti yang memperkuat hal-hal
tertentu dari anamnesis, seperti konsumsi alkohol atau rincian saat pasien kolaps, mungkin
tepat untuk dilakukan.1
Keluhan utama didapat dengan membiarkan pasien berbicara tanpa dipotong. Ini bisa
dimulai dengan menanyakan pertanyaan terbuka seperti : Apa yang membuat Anda datang
menemui saya hari ini?,Apa masalah Anda?, Ceritakan apa kesulitan Anda. Pasien harus

selalu dibiarkan berbicara selama selama mungkin tanpa dipotong. Kata sambung pendek
seperti Teruskan, Ceritakan lebih lanjut, bisa membantu mendapatkan lebih banyak
informasi dari pasien yang pendiam.
Riwayat penyakit sekarang
Setelah ini, harus dilanjutkan pertanyaan terbuka yang mengungkap rincian lebih
lanjut mengenai aspek tertentu dari anamnesis. Menanyakan karakter keluhan utama,
Batuknya berdahak atau batuk kering? jika berdahak, Apa warna dahaknya?, Ada
darahnya?Misalnya: Katakan lebih jelas mengenai rasa nyeri itu, Katakan pada saya
lebih terperinci mengenai sesak nafas yang Anda rasakan, atauAnda mengatakan Anda
panas dan nyeri saat menelan?. Selanjutnya pertanyaan yang lebih terarah bisa diajukan
untuk mendapatkan informasi mengenai kronologi dan rincian lain ari keluhan; misalnya,
Kapan tepatnya pertama kali Anda merasakan sesak ?, mana yang lebih dulu, batuk atau
rasa sesak?.1
Pertanyaan yang terarah bisa diajukan untuk menetapkan gambaran dari keluhan yang
penting secara diagnostik: misalnya, Batuk seperti apa yang ada rasakan?,Batuk kering
atau batuk berdahak?,Seberapa sering Anda batuk dalam sehari?,Apakah batuknya selalu
diikuti sesak nafas?. Jika suatu gejala atau keluhan baru muncul saat wawancara, gejala atau
keluhan tersebut harus pula dianalisis secara terperinci.1
Dalam beberapa keadaan, seperti saat resusitasi pada pasien yang sakit berat,
pertanyaan yang sangat terfokus atau singkat lebih tepat. Ingat bahwa masalah pasien yang
sedang dicoba pahami dan catat untuk menegakkan diagnosis. Jangan memaksa atau
menginterprtasikan sendiri apa yang pasien katakan agar sesuai dengan suatu diagnosis atau
gejala tertentu.1
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit dahulu (RPD) adalah bagian penting dari anamnesis. Penting untuk
mencatat secara rinci semua masalah medis yang pernah timbul sebelumnya dan teapi yang
pernah diberikan. Mencatat informasi ini secara kronologis juga bisa bermanfaat.Penyakit
apa yang pernah Anda alami?,Pernakah Anda dirawat dirumah sakit?,Operasi apa yang
pernah Anda alami?,Kapan terakhir kali Anda merasa sehat sepenuhnya?. Tanyakan
adakah masalah dengan operasi atau anastesi, dan jika ada, apa masalah. Mungkin
menemukan adanya kecendrungan pendarahan atau toleransi terhadap obat anastesi tertentu.1
Riwayat pribadi
Pasien ditanyakan kebiasaan makanan, Apakah Anda sering makan diluar atau
makan dirumah?. Kebiasaan merokok, Apakah Anda pernah atau masih merokok?. Jika
iya, rokok jenis apa, berapa banyak, dan selama berapa lama? Apakah rokok tembakau, pipa,

atau cerutu?. Alkohol, Apakah Anda mengkonsumsi alkohol?. Jika iya, jenis apa? Berapa
banyak dan sering? Apakah/pernahkan ada masalah ketergantungan alkohol?. Pengguna
narkoba, jenis obat terlarang apa yang pernah atau sedang dikonsumsi?. Jangan lupa tanyakan
obat suntikan apa yg pernah digunakan. Riwayat vaksin pada pasien.1
Riwayat sosial
Penting untuk memahami latar belakang pasien, pengaruh penyakit yang mereka
derita terhadap hidup dan keluarga mereka. Pekerjaan tertentu berisiko menimbulkan
penyakit tertentu jadi penting untuk mendapatkan riwayat pekerjaan yang lengkap.1
Bagian anamnesis ini dirancang untuk menemukan gejala yang belum diungkapkan
oleh pasien dalam anamnesis keluhan utama. Tentu saja ada banyak sekali pertanyaan yang
bisa diajukan. Dalam suatu situasi klinis tertentu, pertanyaan ini harus difokuskan tergantung
dari sifat keluhan utama. Ditemukannya kelainan pada pemeriksaan fisik atau setelah
pemeriksaan penunjang bisa menimbulkan pertannyaan yang lebih terarah.1
Riwayat Keluarga
Penting untuk mencari penyakit yang pernah diderita oleh kerabat pasien karena
terdapat konstribusi genetik yang kuat pada berbagai penyakit.Berapa banyak kerabat yang
Anda miliki?,Apakah orang tua Anda masih hidup? Jika tidak, pada usia berapakah mereka
meninggal dunia? Apa sebab kematiannya? Apakah mereka mengalami suatu penyakit yang
berat?,Apakah anda memiliki saudara kandung, anak, cucu? dan sebagainya.1
Pemeriksaan
Untuk memperkuat diagnosis tentang suatu penyakit kita harus melakukan
pemeriksaan kepada pasien. Pemeriksaan paling utama yang harus dilakukan adalah
pemeriksaan fisik dan apabila ingin memperkuat diagnosis tersebut dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang, misalnya pemeriksaan lab.1
a.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik merupakan suatu keterampilan pemeriksaan dasar yang harus


dimiliki oleh seorang dokter dalam mendukung diagnosanya terhadap suatu penyakit.
Seorang dokter yang baik, dapat mendiagnosis secara tepat hanya dengan melakukan
pemeriksaan fisik tanpa pemeriksaan lab, khususnya untuk penyakit-penyakit yang memang
tidak membutuhkan pemeriksaan lab. Pastikan pasien merasa nyaman, ada privasi, dan
memahami apa yang akan Anda lakukan. Mundur Dan Lihat pasien.1
Pada pasien yang diduga tetanus, biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh 3840C. Keadaan ini diakibatkan oleh proses inflamasi dan toksin dari bakteri exotoxin
clostridium tetani yang sudah mengganggu pusat pengatur suhu tubuh (hipotalamus anterior).
Penurunan denyut nadi berhubungan dengan penurunan fungsi jaringan otak tersebut. Namun
5

apabila disertai dengan peningkatan frekuensi pernapasan, sering berhubungan dengan


peningkatan laju metabolisme umum, pada keadaan ini tekanan darahnya normal.2
Pada pemeriksaan fisik, terdapat beberapa teknik untuk membantu menegakkan
diagnose tetanus pada pasien, diantaranya breathing, blood, brain, bladder, bowel, dan bone.
Breathing
Melakukan inspeksi, apakah pasien batuk, terdapat sputum, sesak napas, pengggunaan
otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapat pada pasien
tetanus yang disertai dengan ketidakefektifan bersihan jalan napas. Kemudian melakukan
palpasi toraks, maka didapatkan taktil premitus yang seimbang kanan dan kiri. Langkah
terakhir pada breathing yaitu melakukan auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada
klien dengan peningkatan produksi secret dan kemampuan batuk yang menurun.2
Blood
Mengkaji pada sistem kardiovaskular didapatkan syok hipovelemik yang sering tejadi
pada pasien tetanus. Tekanan darah pada pasien tetanus biasanya normal, peningkatan denyut
jantung , adanya anemis karena kehancuran eritrosit.2
Brain
Terbagi atas beberapa
tahapan, yaitu pengkajian tingkat kesadaran pasien,
pengkajian fungsi serebral, pengkajian saraf cranial, pengkajian sistem motorik, pengkajian
reflex, pengkajian sistem sensorik.2
Pengkajian tingkat kesadaran pada pasien tetanus biasanya adalah compos mentis.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran pasien tetanus akan mengalami penurunan pada
tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Jika pasien sudah mengalami koma, maka
penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadraan pasien dan elevasi untuk
pemantauan pemberian penanganan.2
Pengkajian fungsi serebral, dilakukan telaah sistem mental meliputi observasi
penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik pasien.
Pada pasien tetanus tahap lanjut, biasanya status mental pasien mengalami perubahan.
Pengkajian saraf cranial, meliputi pemeriksaan saraf cranial I-XII. Saraf I, biasanya
pada pasien tetanus tidak ada kelainan pada fungsi penciuman. Saraf II, tes ketajaman
penglihatan pada kondisi normal. Saraf III;IV;VI, dengan alasan yang tidak diketahui, pasien
tetanus biasanya mengeluhkan mengalami fotofobia atau sensitive yang berlebihan terhadap
cahaya. Respon kejang umum akibat stimulus rangsang cahaya perlu diperhatikan perawat
guna memberikam intervensi untuk menurunkan stimulasi cahaya tersebut. Saraf V, biasanya
pada pasien tetanus reflex meseter meningkat, mulut condong ke depan seperti mulut ikan(ini
adalah gejala khas pada tetanus). Saraf VII, persepsi pengecapan dalam batas normal, dan
wajah simetris. Saraf VIII, tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi. Saraf IX
dan X, kemampuan menelan kurang baik, dan mengalami kesulitan membuka mulut(trismus).
Saraf XI, didapatkan kaku duduk, ketegangan otot rahang dan leher(biasanya mendadak).

Saraf XII, lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi, serta indra
pengecap normal.2
Pengkajian sistem motorik, dilihat pada pasien tetanus mengalami penurunan
kekuatan otot, control keseimbangan yang menurun, dan koordinasi pada tetanus tahap lanjut
mengalami perubahan.
Pengkajian reflex, yakni pemeriksaan reflek profunda dengan melakukan pengetukan
pada tendon, ligamentum atau periosteumderajat reflex pada sistem normal. Pada gerakan
involunter, tidak ditemukan adanya tremor, tetapi pada keadaan tertentu, pasien biasanya
mengalami kejang umu, terutama pada anak dengan tetanus disertai peningkatan suhu tubuh
yang tinggi. Kejang berhubungan sekunder akibat area fokal kortika yang peka.
Pengkajian sistem sensorik, biasanya didapatkan perasaan raba normal, perasaan nyeri
normal , perasaan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal dipermukaan tubuh, perasaan
propiosefsi normal, dan perasaan diskriminatif normal.2
Bladder
Penurunan volume urin output berhubungan dengan penurunan perfusi umum dan
penurunan curah jantung ke ginjal. Adanya retensi urin kejang umum. Pada pasien yang
sering kejang, sebaiknya urin dikeluarkan dengan menggunakan kateter.2
Bowel
Mual hingga muntah disebabkan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan
nutrisi pada klien tetanus menurun karena kelainan anoreksia, dan adanya kejang, kaku
dinding perut, merupakan tanda khas pada tetanus. Adanya spsme otot juga menyebabkan
kesulitan BAB.2
Bone
Adanya kejang umum sehingga mengganggu mobilitas klien dan menurunkan
aktivitas sehari-hari. Perlu dikaji apabila pasien mengalami patah tulang terbuka yang
memungkinkan port de entre kuman clostridium tetani, sehingga memerlukan perawatan
luka yang lebih optimal. Adanya kejang memberikan resiko pada fraktur vertebra apabila
terjadi pada bayi, ketegangan, dan spasme otot pada abdomen.2
b.
Pemeriksaan Penunjang
Untuk mendukung diagnosis klinis pada pasien tetanus, dapat dilakukan beberapa
pemeriksaan laboratorium yang dapat menegakkan diagnosis penyakit, meliputi :
Hitung darah lengkap
Nilai hitung darah lengkap dengan diferensial dan hitung trombosit (orang dewasa)
Hitung sel darah merah : 4,0-5,5 juta/ml darah
Hitung sel darah putih : 5000-10.000/ml darah
Hitung trombosit: 14,0-17,5 gram/100 ml untuk pria; 12,0-16,0
gram/100ml untuk wanita
Hitung hemoglobin: 14,0-17,5 gram/100ml untuk pria; 12,0-16,0 gram /
100 ml untuk wanita
7

Neutrofil: 50%-62%
Eosinofil: 0%-3%
Basofil: 0%-1%
Limfosit: 25%-40%
Monosit: 3%-7%.3

Hasil pemeriksaan lab tetanus:


1. Ditemukannya leukositosis ringan pada tes darah pasien.
2. Terdapat peningkatan TIK (Tekanan Intra Kranial).
3. Pada pemeriksaan bakteriologis di daerah yang terdapat luka, ditemukan adanya
bakteri Clostridium tetani.2
Diagnosis
Setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium,
didapatkan hasil sebagai berikut:
1.
Pasien berusia 22 tahun dengan keluah utama demam, mulut terasa
kaku, dan nyeri pada tungkai bawah sebelah kanan.
2.
Pasien 2 minggu yang lalu mengalami kecelakaan lalu lintas, dan
mengalami luka robek pada tungkai bawah kanan dan mendapat 27 jahitan oleh
seorang petugas kesehatan didesanya.
Dari data diatas, kita dapat membagi diagnosis yang telah ada menjadi dua, yaitu
working diagnosis dan differential diagnosis.
Working diagnosis
Working diagnosis merupakan diagnosis utama tentang penyakit yang diderita pasien
setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan terhadap pasein. Berdasarkan pngertian
tersebut didapatkan working diagnosis untuk kasus ini yaitu TETANUS.
Mengapa Tetanus diambil sebagai diagnosis utama ? Pertanyaan tersebut dapat
dijawab dengan melihat gejala-gejala klinis dari Tetanus.
Diagnosis tetanus mutlak didasarkan gejala klinis karena pemeriksaan kuman
Cl.tetani belum tentu berhasil. Anamenisis tentang adanya kelainan yang dapat menjadi
tempat masuknya kuman tetanus, adanya trismus, risus sardonikus (berkeringat), kaku kuduk,
perut keras seperti papan atau kejang tanpa gangguan kesadaran, cukup menegagkan
diagnosis tetanus karena gejala klinis tetanus sangatlah spesifik.4

Differntial diagnosis

Differential diagnosis merupakan suatu diagnosis pembanding dengan gejala yang


serupa terhadap penyakit utama, yang didapatkan ketika melakukan anamnesis. Oleh karena
itu perlu adanya pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk menegakkan diagnosis utama.1
Etiologi
Infeksi tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani. Clostridium tetani bakteri berspora
bersifat anaerob murni, berbentuk batang panjang tipis (2-5 m x 3-8 m), gram positif
(ungu).5 Dalam bentuk spora, kuman ini tersebar luas di tanah, debu jalanan, kotoran hewan
(kuda, ayam, babi, anjing) juga tinja manusia, tahan terhadap antiseptik, pemanasan 100C,
dan bahkan pada oktaf 120C selama 15-20 menit. Spora Cl.tetani dapat bertahan sampai
bertahun-tahun bila tidak terkena sinar matahari. Ujung sel menyerupai tongkat pemukul
genderang atau raket squash.6
Epidemiologi
Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun,
individu dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang kemudian gagal
mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat
dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh
dunia terutama di negara beriklim tropis dan negara-negara sedang berkembang, sering
terjadi di Brazil, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan negara lain di benua Asia. Penyakit ini
umum terjadi di daerah pertanian, di daerah pedesaan, pada daerah dengan iklim hangat,
selama musim panas dan pada penduduk pria.4
Walaupun WHO menetapkan target mengeradikasi tetanus pada tahun 1995, tetanus
tetap bersifat endemik pada negara-negara sedang berkembang dan WHP memperkirakan
kurang lebih 1.000.000 kematian akibat tetanus di seluruh dunia pada tahun 1992. Penyakit
ini jarang dijumpai di negara-negara maju. Di Afrika Selatan, kira-kira terdapat 300 kasus per
tahun, kira-kira 12-15 kasus dilaporkan terjadi setiap tahun di Inggris.4
Di Amerika Serikat sebagian besar kasus tetanus terjadi akibat trauma akut, seperti
luka tusuk, laserasi atau abrasi. Tetanus dapat merupakan komplikasi penyakit kronis, seperti
ulkus, abses, dan gangren. Tetanus dapat pula berkaitan dengan luka bakar, infeksi telinga
tengah, pembedahan, aborsi dan persalinan. Pada beberapa pasien tidak dapat diidentifikasi
adanya port dentere (pintu masuk).4
Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada populasi di usia tua. Survey serologis
skala luas antara antibodi tetanus yang difteri yang dilakukan antara tahun 1988-1994
menunjukkan bahwa skala keseluruhan, 72% penduduk Amerika Serikat berusia diatas 6
tahun sebesar 91%, presenttase ini menurun dengan bertambahnya usia, haya 30% individu
berusia di atas 70tahun yang mempunyai tingkat antibodi yang adekuat.4

Gejala Klinis

Masa inkubasi 3 hari sampai 4 minggu setelah kuman masuk luka. Yang paling sering
terjadi adalah tetanus umum. Pada saat racun Clostridium tetani masuk luka maka akan
merusak sistem saraf dan segera memunculkan gejala serta tanda-tanda tetanus, misalnya
kejang dan kekakuan otot rahang (lockjaw), postur badan kaku dan tidak dapat ditekuk
karena kekakuan otot leher dan punggung (opostotonus), dinding perut mengeras seperti
papan, gangguan menelan, dan muka seperti menyeringai atau tertawa (risus sardonicus).5
Pasien tetanus mudah sekali mengalami kejang, terutama apabila mendapatkan
rangsangan seperti suara berbisik, terkejut, sinar, dsb. Sehingga pasien perlu diisolasi dalam
ruang tersendiri.7
Namun tetanus dapat timbul sebagai 2 macam tetanus, yaitu :
1. Tetanus lokal
Terutama pada orang yang telah mendapat imunisasi. Gejalanya berupa kaku
persisten (terutama) pada kelompok otot di dekat luka yang terkontaminasi basil
tetanus.dejong Terjadi kelemahan otot akibat peran toksin pada tempat hubungan
neuromuskuler. Gejala bersifat ringan dan dapat bertahan sampai berbulan-bulan.4
2. Tetanus lokal tipe sefalik
Bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang terjadi setelah trauma kepala atau
4
telinga. Dalam hal ini terjadi fenomena motorik sesuai dengan serabut saraf kepala
yang terkena (NIII, IV, V, VI, VII, IX, X dan XII). Penting di perhatikan bahwa
adanya kaku otot di sekitar luka mungkin merupakan gejala tetanus.6
3. Generalized tetanus (Tctanus Generalisata atau umum)
Tetanus ini merupakan bentuk yang paling umum ditandai dengan
meningkatnya tonus otot dan spasme. Masa inkubasinya bervariasi tergantung lokasi
luka dan lebih singkat pada tetanus berat. Terdapat trias klinis berupa rigiditas
(kekakuan), spasme (ketegangan) otot, dan apabila berat disfungsi otonomik. Kaku
kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka mulut, sering merupakan
gejala awal tetanus. Spasme otot maseter menyebabkan trismus atau rahang terkunci.
Spasme secara progresif akan meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi
wajah yang khas risus sardonicus dan meluas ke otot-otot menelan yang
menyebabkan disfagia (kesulitan menelan). Rigiditas tubuh menyebabkan opistotonus

10

dan gangguan respirasi dengan menurunnya kelenturan dinding dada. Pasien dapat
demam, walaupun banyak yang tidak. Sementara kesadaran tidak berpengaruh.
Kontraksi otot dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan,
stimulus visual, auditori, atau emosional. Spasme faringeal sering diikuti dengan
spasme laringeal dan berkaitan dengan terjadinya aspirasi dan obstruksi jalan nafas
akut yang mengancam nyawa.8
Patogenesis
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka. Semua jenis luka
dapat terinfeksi oleh kuman tetanus seperti luka laserasi, luka tusuk, luka tembak, luka bakar,
luka gigit oleh manusia atau binatang, luka suntikan dan sebagainya. Pada 60 % dari pasien
tetanus, port dentre terdapat didaerah kaki terutama pada luka tusuk. Infeksi tetanus dapat
juga terjadi melalui uterus sesudah persalinan atau abortus provokatus. Pada bayi baru
lahir Clostridium tetani dapat melalui umbilikus setelah tali pusat dipotong tanpa
memperhatikan kaidah asepsis antisepsis. Otitis media atau gigi berlubang dapat dianggap
sebagai port dentre, bila pada pasien tetanus tersebut tidak dijumpai luka yang diperkirakan
sebagai tempat masuknya kuman tetanus.4
Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif anaerob,
Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora ke
dalam tubuh yang mengalami cedera/luka (masa inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4
penyakit
penting
yang manifestasi klinis
utamanya
adalah
hasil
dari
pengaruh kekuatan eksotoksin (tetanus, gas ganggren, difteri, botulisme). Tempat masuknya
kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan
jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang
dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari
kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan dan pemotongan
tali pusat yang tidak steril.8
Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel vegetatif bila
dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Selanjutnya,
toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah dan
sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat
sistem saraf termasuk otak. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps
ganglion spinal dan neuromuscular junction serta saraf autonom. Toksin dari tempat luka
menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara
intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang.
Akhirnya menyebar ke SSP. Gejala klinis yang ditimbulakan dari eksotoksin terhadap
susunan saraf tepi dan pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan
dari neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol/ eksitasi terus
menerus dan spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter.
Neuron yang melepaskan gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter
11

inhibitor utama, sangat sensitif terhadap tetanospasmin, menyebabkan kegagalan


penghambatan refleks respon motorik terhadap rangsangan sensoris. Kekakuan mulai pada
tempat masuknya kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum
tulang belakang terjadi kekakuan yang berat, pada extremitas, otot-otot bergari pada dada,
perut dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks serebri, menderita akan
mulai mengalami kejang umum yang spontan. Racun atau neurotoksin ini pertama kali
menyerang saraf tepi terpendek yang berasal dari system saraf kranial, dengan gejala awal
distorsi wajah dan punggung serta kekakuan dari otot leher.9
Tetanospasmin pada system saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi
gangguan pernapasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih,
dan neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperflexi,
hyperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf ototnom, yang dulu jarang karena
penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi
dan pernapasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali
dan dikelola dengan teliti.10 Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja
pada beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara sebagai berikut.8

Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan


acethyl-choline dari terminal nerve di otot.

Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari refleks
synaptik di spinal cord.

Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
ganglioside.
Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS)
dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia, aritmia jantung,
peninggian cathecholamine dalam urine. Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang
normal, yang menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masetter
sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap
toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang
kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot
yang khas.9 Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin sebagai berikut.
1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa ke ordo
anterior susunan syaraf pusat
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri kemudian
masuk ke dalam susunan syaraf pusat.
Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk bergerak)
pada voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering disebut lockjaw karena
biasanya pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah. Kematian biasanya disebabkan
oleh kegagalan pernafasan dan rasio kematian sangatlah tinggi.9
Pencegahan

12

Pencegahan tetanus dilakukan melalui upaya sterilitas alat, misalnya saat pembersihan
dan perawatan luka dan segera mengobati luka infeksi. Tetapi, uapaya pencegahan yang
paling ekfektif adalah melalui imunisasi pasif dan aktif. Pada penyakit tetanus berat, resiko
terjadinya kematian sangat tinggi. Obat antibiotik dan imunisasi pasif atau anti tetanus belum
tentu memperbaiki keadaan penyakit. Cara yang paling efektif adalah mencegah sebelum
terkena tetanus melalui vaksinasi.5
Imunisasi Pasif
Imunisasi pasif diindikasikan pada seseorang yang mengalami luka kotor, diperoleh
dengan memberikan serum yang sudah mengandung antioksin heterolog (ATS) atau antioksin
homolog (imunoglobulin antitetanus).5
Imunisasi Aktif
Imunisasi aktif didapat dengan menyuntikan toksoid tetanus dengan tujuan
merangsang tubuh membentuk antibodi. Manfaat imunisasi aktif ini sudah banyak
dibuktikan.6
Tidak ada/tidak pasti

Ya*

Tidak

Ya*

Ya*

1x DT atau DPT

Ya*

Tidak

Ya*

Ya*

2x DT atau DPT

Ya*

Tidak

Ya*

Ya*

3x DT atau DPT

Tidak+

Tidak

Tidak++

Tidak

*= seri imunisasi yang harus dilengkapi


+= kecuali booster terakhir sudah 10 tahun yang lalu atau lebih
++= kecuali booster terakhir sudah 5 tahun yang lalu atau lebih
Cara pemberian melalui intramuskuler (ATS 1500 U
Imunoglobulin 250 U)
DT= vaksinasi difteri tetanus
DPT= vaksinasi difteri pertusis tetanus

atau

Tabel 1: Vaksinasi6
Vaksin tetanus tidak boleh diberikan pada orang dengan riwayat reaksi alergi berat
(anafilaksis) pada pemberian sebelumnya, pada orang yang alergi terhadap komponen
vaksin.5
Efek Samping
Efek samping pemebrian vaksinasi tetanus bisasnya bersifat ringan, berupa rasa nyeri,
warna kemerahan dan bengkak di tempat penyuntikan, dan demam. Penggunaan kain lembab
dingin di tempat yang sakit dapat mengurangi rasa sakit. Parasetamol dapat diberikan untuk
mengurangi rasa sakit dan demam, serta minum air yang banyak.5

13

Penatalaksanaan
Medika Mentosa

Terapi pendukung mungkin termasuk dukungan ventilasi dan agen farmakologis yang
mengobati kejang otot refleks, kekakuan, dan kejang berhubung dengan tetanus.

Benzodiazepines telah muncul sebagai andalan terapi simtomatik untuk tetanus.


Untuk mencegah kejang yang berlangsung lebih lama dari 5-10 detik, mengelola diazepam
intravena, biasanya 10-40 mg setiap 1-8 jam. Vecuronium (infus kontinu) atau
pankuronium (dengan injeksi intermiten) adalah alternatif yang memadai.11

Penisilin G, yang telah digunakan secara luas selama bertahun-tahun, namun bukan
obat pilihan. Metronidazol (misalnya, 0,5 q6h g) merupakan aktivitas antimikroba yang
sebanding atau lebih baik, dan penisilin merupakan antagonis GABA, seperti toksin
tetanus.11

Dokter juga menggunakan sedatif hipnotik, narkotika, obat anestetik inhalasi, agen
yang memblokir neuromuskuler, dan relaksan otot (misalnya, baclofen intratekal).
Dosis perwakilan dari infus kontinu adalah 1750 mcg per hari.11
Mengatasi kaku otot dan kejang, gangguan pernapasan, pengendalian keseimbangan
cairan dan elektrolit, serta perbaikan nutrisi adalah tindakan yang harus dilakukan. Untuk
mengatasi kaku otot diberikan obat yang bersifat melemaskan otot dan untuk sedasi
digunakan fenobarbital, klorpromazin, atau diazepam.11
Diazepam bekerja di semua sinaps GABA tapi kerjanya dalam mengurangi spastisitas
sebagian yang dimediasi di medula spinalis. Diazepam dapat digunakan untuk melemaskan
otot yang berasal dari mana saja termasuk trauma otot lokal. Dosis diazepam dimulai dengan
4 mg/hari yang dapat ditingkatkan secara bertahap hingga maksimum 60 mg/hari. Pada
tetanus berat kadang diperlukan paralisis total otot (kurarisasi) dengan mengambil alih
pernapasan memakai respirator. Pasien dengan kaku laring biasanya memerlukan trakeostomi
untuk mengatasi gangguan pernapasan.6
Menghilangkan kuman penyebab dapat dilakukan dengan merawat luka yang
dicurigai sebagai sumber infeksi dengan cara mencuci luka dengan larutan antiseptik, eksisi
luka, bahkan histerektomi bila uterus diperkirakan sebagai sumber kuman tetanus dan
pemakaian antimikroba. Bila tidak ditemukan sumber infeksi yang jelas, antimikroba
merupakan satu-satunya usaha untuk menghilangkan kuman penyebab. Dasar pemikirannya
ialah perkiraan bahwa kuman penyebab terus memproduksi eksotoksin yang hanya dapat
dihentikan dengan membasmi kuman tersebut. Antibiotik yang banyak dianjurkan dan efektif
untuk membunuh Clostridium tetani adalah penisilin. Metronidazol nyata lebih efektif
dibandingkan dengan penisilin dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas karena
metronidazol tidak menunjukkan aktivitas antagonis terhadap GABA seperti yang
ditunjukkan oleh penisilin. Pemberian eritromisin, tetrasiklin dan klindamisin pada usia lebih
dari 9 tahun merupakan alternatif untuk penderita alergi penisilin.6

14

Non Medika Mentosa


Pada perawatan harus dilakukan observasi ketat, terutama jalan napas, perubahan
posisi, dan perawatan kulit untuk mencegah dekubitus. Fisioterapi paru dan anggota gerak
serta perawatan mata juga merupakan bagian dari perawatan baku. Pemberian nutrisi yang
adekuat dapat dilakukan dengan nutrisi parenternal dan enternal selama keadaan usus baik,
nutrisi enternal merupakan pilihan, tetapi bila perlu dilakukan pemberian makan lewat pipa
lambung atau gastrostomi.6
Dalam merawat pasien tetanus sebaiknya diusahakan ruangan yang tenang yang
dilindungi dari rangsangan penglihatan, pendengaran, dan perabaan. Selain itu, dilakukan staf
perawatan yang berpengalaman dan mempunyai dedikasi tinggi serta bertanggung jawab.
Ruangan yang gelap tidak diperlukan karena perubahan dari gelap ke terang tiba-tiba dapat
memicu timbulnya kejang.6
Komplikasi Tetanus
Komplikasi pada penyakit tetanus berupa kejang-kejang dan paralisis tetanus. Kaku
bertahan berat memberi kecenderungan penderita terhadap berbagai komplikasi. Aspirasi
sekresi dan pneumonia dapat mulai sebelum pemeriksaan medic pertama diterima.
Mempertahankan terbukanya jalan napas sering mengharuskan intubasi endotrakea dan
ventilasi mekanik dengan resiko yang menyertainya, termasuk pneumothoraks dan emfisema
mediastinum. Kejang-kejang dapat menyebabkan luka robek mulut dan lidah, pada hematoma
intramuscular atau rhabdomiolisis dengan mioglobinuria dan gagal ginjal, atau pada tulang
panjang atau fraktur spinalis. Trombosis venosa, emboli pulmonal, ulserasi lambung dengan
atau tanpa pendarahan, illeus paratikus, dan ulserasi dekubiktus merupakan bahaya yang
paling rentan. Penggunaan relaksan otot terus menerus dapat mengakibatkan apnea
iatrogenic, meliputi aritmatia jantung termasuk asistol, tekanan darah yang tidak stabil, dan
pengaturan suhu yang tidak stabil. Hal tersebut menggambarkan pengaturan sistem saraf
otonom terganggu sehingga dapat diperburuk dengan komplikasinya. 12
Prognosis
Penerapan metode untuk monitoring dan oksigenasi suportif telah secara nyata
memperbaiki prognosis tetanus. Angka fatalitas kasus dan penyebab kematian bervariasi
secara dramatis tergantung pada fasilitas yang tersedia. Terdapat 3 macam tipe prognosis.
Prognosis ad vitam ,yakni pengaruh penyakit pada proses kehidupan, apakah cenderung dapat
kembali sehat atau menuju kematian. Prognosis ad fungsionam, yakni menunjuk pada
pengaruh penyakit terhadap fungsi organ terhadap pengaruh aktifitas penderitanya. Prognosis
ad sanationam, yakni menunjuk pada penyakit yang dapat sembuh sempurna seperti sediakala
.4,12
Penyembuhan penyakit tetanus terjadi melalui regenerasi sinapsis dalam medulla
spinalis dan dengan demikian pengembalian relaksasi otot, namun karena periode aktif
tetanus tidak dipengaruhi produksi antibodi penetral toksin, maka tetap diwajibkan pemberian
imunisasi aktif dengan tetanus toksoid.4,12

15

Faktor yang mempengaruhi hasil akhir yang paling penting adalah kualitas perawatan
yang mendukung. Prognosis yang terbaik adalah dengan dihubungkan pada masa inkubasi
yang lama, tanpa demam, dan dengan penyakit yang terlokalisasi. Prognosis pendukungnya
adalah antara jejas dengan dimulainya trismus seminggu atau kurang antara trismus dengan
spasme tetanus menyeluruh. 4,12
C. Kesimpulan
Pasien dengan keluhan kekakuan pada otot wajah-leher , demam, anggota gerak,
bentuk perut seperti papan, dan ditemukan luka bernanah, serta diperkuat oleh hasil
pemeriksaan penunjang menunjukkan bahwa pasien tersebut terinfeksi bakteri Clostridium
tetani.
Daftar Pustaka
1. Gleadle J. At a Glance: anamnesis dan pemeriksaan. edisi bahasa indonesia, ahli
bahasa: anisa rahmalia. Jakarta: Erlangga Medical Series; 2005.h.13-7.
2. Mutaqqin A. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan.
Jakarta: Salemba Medika; 2009.p.119-21.
3. Cowin EJ. Buku saku patofisiologi. 3th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2009.
4. Ismanoe G. Tatanus. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwil, Simadibrata M, Setiati
S (eds). Buku ajar penyakit dalam. jilid III. Edisi V. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2009.p.2911-13.
5. Suharjo JB, Lusi RA, Verawati. Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi. Jakarta:
Kanisius, 2013. p.69-72.
6. Sjamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi III. Jakarta: EGC; 2013.p.45-50.
7. Robbins, cotran. Buku saku dasar patologis penyakit. 7 th ed. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2009.
8. Chairul I. Pencegahan dan Pengelolaan Tetanus dalam Bidang Brdah. Bandung:
UNPAD; 2005.p.75-9.
9. Hendarwanto. Ilmu Penyakit Dalam. jilid I. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2003.p.4951.
10. Mardjono, Mahar. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2004.p.322-3.
11. Muliawan SY. Bakteri Anaberob yang Berkaitan dengan Masalah Klinik. Jakatra:
EGC;2007.p.44-6.
12. Nelson WE. Ilmu Kesehatan Anak dalam edisi 15. Jakarta: EGC; 2012.p.1005-7.

16

Anda mungkin juga menyukai