Anda di halaman 1dari 3

Dosen Tak (Boleh) Hanya Mengajar

Elisabeth Rukmini ; Pengajar Unika Atma Jaya Jakarta


KOMPAS, 02 April 2014

TERTIDUR di ruang kuliah bagi mahasiswa sudah hal lumrah. Dua hari yang lalu saya
melihat mahasiswa saya tertidur nyenyak telentang di lantai seperti sangat kelelahan dan tak
menyadari bahwa kuliah sudah dimulai. Saya terus saja kuliah dengan prinsip mahasiswa
adalah pembelajar yang telah dewasa sehingga jika pilihannya adalah tidur di ruang kuliah,
silakan dengan merdeka memilih hal itu.
Meski demikian, saya merasa tertampar sebagai dosen, rupanya kuliah saya sudah tidak
bermakna lagi sehingga ada pilihan lain yang lebih bermakna: bisa tidur, bisa juga melakukan
aktivitas lain. Sang mahasiswa dibangunkan oleh teman di dekatnya ketika dalam sela-sela
perkuliahan saya mengeluarkan soal untuk kuis interaktif.
Nilai nominal
Belakangan saya lebih merasa bersalah lagi sebab tidak membangunkan mahasiswa saya
sebelum memulai perkuliahan. Sang mahasiswa ini saya ajak berbincang selesai kelas. Saya
selidiki mengapa ia tidur. Menurut dia, kelelahan adalah penyebab utamanya. Ia katakan telah
tidur sebelum saya tiba di kelas. Mengapa ketika ada kuis interaktif mahasiswa lain
membangunkan dia?
Makin tertempelaklah saya, sebab ini berarti para mahasiswa hanya mendambakan nilai kuis.
Sekali lagi, kuliah saya tidak dibutuhkan. Ada yang lebih bermakna: nilai nominal.
Cerita orang yang lebih tua dan meskipun berpengalaman ternyata tak lagi superior dalam
proses pembelajaran. Salah satu bukti nyata dan kuat mengapa dosen tak lagi boleh hanya
mengajar di depan kelas. Maka kesadaran untuk paradigma unsuperiority terutama berkaitan
dengan sumber pembelajaran jelas amat penting.
Kemarin, saya ceritakan pengalaman di atas kepada beberapa mahasiswa di fakultas lain
tempat saya berkarya. Para mahasiswa ini malah menambah lagi rasa bersalah saya dengan
timbunan cerita yang bermuara dan berhilir pada masalah yang sama: dosen tak boleh hanya
mengajar di depan kelas.
Begini ceritanya; ada beberapa dosen yang sering marah saat memberi kuliah gara-gara para
mahasiswanya mengobrol. Di antara dosen-dosen ini, salah satunya mengusir mahasiswa dari
ruang kelasnya. Para mahasiswa pencerita ini bahkan punya nama khusus di kalangan mereka
untuk dosen pengusir mahasiswa.
Bukan merasa bersalah, para mahasiswa yang terusir justru merasa lega sebab berhasil secara
sah keluar dari kelas sang dosen. Mengapa demikian? Jawab mereka karena materi kuliah
yang diberikan oleh sang dosen tidak ada yang baru, dan infonya dapat diakses dengan
mudah di tempat lain. Mengapa harus memboroskan waktu mendengar sang dosen yang

superfisial?
Akses materi kuliah
Para mahasiswa ini bahkan menunjukkan kepada saya dari mana bahan-bahan yang
lebih update dan lebih bermakna dapat mereka peroleh ketimbang dari sang dosen. Lebih
unik lagi dengan kecepatan bandwidth internet, mereka sebarkan bahan itu melalui group
mereka, tentu saja minus akunnya dosen.
Tidakkah kita menutup mata jika hanya menganggap mahasiswa belajar dengan cara
dosennya belajar? Pada zaman yang percepatan dan kecepatan kemajuan teknologinya
berbeda? Pada masa yang perkembangan sosial budaya juga berbeda? Unik sungguh profesi
dosen (dan guru). Tuntutan mengajar yang 10-20 tahun lalu tepat sasaran kini sudah amat
kuno. Baheula.
Perlu dan harus berubah. Mahasiswa membutuhkan teman sejawat, yang menilai dengan
kritis apa sumber-sumber belajar mereka, yang menyarankan berbagai sumber belajar yang
lebih absah, variatif, bermakna.
Pilihan superiority tidak ada lagi. Dosen (dan guru) tak ada pilihan lain, harus berani
merelakan sembilan puluh persen waktu kuliahnya untuk mendengar, berargumentasi
mendorong lahirnya pertanyaan; singkat kata: membuat pusat pembelajaran adalah sang
pembelajar (student-centered learning).
Salah paham
Ada kesalahpahaman para dosen (dan guru) ketika pusat pembelajaran adalah siswa, bukan
berarti dosen mengalihkan tugasnya kepada mahasiswa. Betapa sulitnya membagikan ide
berbasis bukti bahwa student-centered learning (SCL) telah menggeser peran dosen sebagai
pengajar tunggal di depan kelas, sebagai sumber, menjadi peran yang setara, menyediakan
diri mengelola (facilitating) proses pembelajaran.
Betapa sulitnya meyakinkan para dosen bahwa tugas dosen dalam SCL bermula dari desain
pembelajaran dan berakhir hingga evaluasi proses. Jalan panjang dan berliku ini jelaslah
berbeda dengan proses dosen mengajar secara pasif di depan kelas (traditional teaching)
dengan persiapan pribadi secukupnya (mayoritas persiapan bahan materi kajian).
SCL menuntut persiapan matang tak hanya pada materi kajian saja, tetapi termasuk di
dalamnya kemungkinan respons-respons mahasiswa yang bisa saja tidak terduga.
Kedua, implementasi SCL jelaslah berbeda dan amat beragam, sementara
implementasi traditional teaching cukup semacam saja. Peristiwa tak terduga hampir tidak
ada pada implementasi traditional teaching.
Evaluasi proses
Asesmen penguasaan materi kajian juga berbeda, perlu desain lagi. Pertanyaan esai yang

hanya satu baris diawali dengan kata: sebutkan, jelaskan, apa, mengapa dan bagaimana sudah
tidak memadai lagi pada penilaian metode SCL. Produk penilaian sangat besar pada proses
formatif lebih perlu masukan dari dosen.
Terakhir, evaluasi proses jelas sangat berbeda karena lini persiapan, implementasi, dan
asesmen yang beragam dan amat berbeda. Siapkah dosen (dan guru) kita? Jelaslah dosen
yang hanya mengajar (traditional teaching) tak perlu heran mengapa mahasiswa memilih
dikeluarkan dari kelasnya.
Setelah bicara mengenai dosen (dan guru) yang tidak hanya mengajar (traditional teaching),
pertanyaan krusial berikutnya siapkah lembaga pendidikan menilai kinerja dosen (dan guru)
kita yang tidak hanya mengajar?

Anda mungkin juga menyukai