Anda di halaman 1dari 3

LAPORAN DISKUSI KOMPAS "Dokter Indonesia: Kenyataan dan Harapan"

Dokter, untuk Apa dan untuk Siapa?


SUMBER : KOMPAS, 22 Mei 2012

Biaya kuliah pada program studi pendidikan dokter di berbagai perguruan tinggi, baik negeri
maupun swasta, lebih mahal dibandingkan program studi lain.
Sumbangan pembinaan pendidikan per semester bisa mencapai belasan hingga puluhan juta
rupiah. Uang pangkal yang dibayarkan saat pertama kali masuk bisa mencapai ratusan juta
rupiah. Mahalnya biaya kuliah pendidikan dokter, baik dokter umum maupun dokter gigi,
sangat terasa sejak reformasi, khususnya sejak perguruan tinggi mendapat status badan
hukum milik negara. Di masa Orde Baru, biaya kuliah fakultas kedokteran khususnya di
universitas negeri relatif terjangkau, termasuk bagi masyarakat kurang mampu.
Besarnya dana yang diperoleh dari pendidikan dokter membuat banyak universitas
mengajukan pendirian fakultas kedokteran. Jumlah fakultas kedokteran pun melonjak drastis
2008-2010. Dalam rentang dua tahun, jumlah fakultas kedokteran naik 38 persen dari 52
menjadi 72 fakultas.
Tak sedikit yang ingin membuka fakultas kedokteran untuk menjadi revenue (pendapatan)
bagi universitasnya. Pendidikan kedokteran dianggap sebagai penghasil uang, kata Ketua
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Menaldi Rasmin dalam diskusi.
Meski baru berdiri, banyak fakultas kedokteran menerima mahasiswa baru sampai 100
mahasiswa per tahun. Padahal, ketentuan maksimum jumlah mahasiswa yang boleh diterima
pada tahun pertama fakultas kedokteran hanya 50 mahasiswa.
Jumlah mahasiswa yang besar tak didukung rasio dosen dan mahasiswa 1 : 10 untuk tahap
preklinik dan 1 : 5 untuk tahap klinik. Alat peraga dan peralatan laboratorium lain juga tak
memadai, demikian pula rumah sakit pendidikan yang dimiliki. Ini membuat KKI
menghentikan pemberian izin pendirian fakultas kedokteran baru meski banyak pihak
menentang. Pertimbangan lain, dengan jumlah lulusan dokter 8.500 orang per tahun dari 52
fakultas yang sudah menghasilkan lulusan, ditargetkan akan ada 100.000 dokter pada tahun
2015. Ini akan membuat rasio dokter dibandingkan penduduk 1 : 2.500, sesuai rasio ideal
Organisasi Kesehatan Dunia.
Mahalnya pendidikan dokter berimplikasi pada banyak hal, mulai dari kualitas mahasiswa
yang masuk, kualitas lulusan yang dihasilkan, hingga dampak pada sistem kesehatan dan
pemenuhan hak rakyat untuk hidup sehat. Dokter menumpuk di kota besar dan enggan
bertugas di daerah, apalagi daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, dan kepulauan. Keinginan
mengembalikan biaya pendidikan dokter yang besar dan niat melanjutkan pendidikan dokter
spesialis yang sangat mahal membuat banyak praktik kedokteran yang menyalahi disiplin dan
etika dokter.

Praktik menyimpang itu antara lain diagnosis serampangan, peresepan dan pemeriksaan
laboratorium yang tak rasional, hingga perselingkuhan dokter dengan perusahaan farmasi.
Mahalnya biaya pendidikan itu coba diatasi DPR dengan mengajukan RUU Pendidikan
Kedokteran yang kini masih dibahas. Dalam draf edisi awal April 2012 disebutkan
mahasiswa kedokteran dapat menerima beasiswa atau bantuan biaya pendidikan dari
pemerintah, pemerintah daerah (pemda), fakultas, ataupun pihak lain. Kata dapat itu dinilai
Ikatan Dokter Indonesia menunjukkan ketidaktegasan negara dalam menjamin pembiayaan
pendidikan dokter.
RUU mengharuskan lulusan dokter dan dokter spesialis, baik dokter umum maupun dokter
gigi, ikut program wajib kerja atau penempatan. Ini berlaku bagi lulusan fakultas kedokteran
yang menerima beasiswa atau lulusan perguruan tinggi yang menerima subsidi negara.
Menggantungkan harapan pada pemda untuk turut membiayai pendidikan dokter, sulit.
Pemda lebih suka membangun rumah sakit baru atau puskesmas karena hasil langsung
terlihat.
Tenaga Strategis
Kerumitan ini bertumpu dari ketidakjelasan pemerintah dalam memandang fungsi dokter.
Pentingnya fungsi dokter menjaga kesehatan seluruh warga negara sama halnya dengan
fungsi tentara yang menjaga pertahanan dan keamanan negara atau polisi yang menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun, pendidikan tentara dan polisi tak menimbulkan
masalah karena semua biaya ditanggung negara. Lulusan akademi militer ataupun akademi
kepolisian pun dapat ditempatkan dan dipindahkan ke seluruh wilayah Tanah Air karena
negara menjadikan tentara dan polisi sebagai tenaga strategis, sedangkan dokter belum.
Pasal 34 Ayat 3 Perubahan Keempat UUD 1945 menyebutkan, negara bertanggung jawab
atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Guru
Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Amal Chalik Sjaaf mengatakan,
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan ini bukan hanya gedung atau tempat tidur pasien,
melainkan juga penyediaan peralatan medik dan tenaga kesehatan. Ini berarti, semua tenaga
kesehatan itu, termasuk dokter, adalah tenaga strategis, katanya.
Artinya, posisi dokter setara tentara dan polisi. Karena itu, biaya pendidikan dokter harus
ditanggung negara. Hanya dengan cara ini, negara dapat memaksa dokter untuk bertugas di
seluruh pelosok Nusantara.
Pemerataan dokter mendesak dilakukan karena setiap warga negara berhak untuk hidup sehat.
Jika tidak segera dilakukan, pelaksanaan sistem jaminan kesehatan semesta pada 2014 yang
memberikan akses layanan kesehatan gratis bagi rakyat miskin dan kurang mampu terancam
gagal akibat tidak ada dokter di daerah-daerah tertentu.
Di negara lain yang lebih kapitalis, seperti Singapura, 80 persen biaya pendidikan dokter
ditanggung negara. Sisanya, mahasiswa dapat meminjam dari bank dengan bunga yang
ditekan negara seminimal mungkin. Tak ada aturan mereka harus bekerja untuk Pemerintah

Singapura. Namun, mereka selalu diingatkan yang membiayai kuliah mereka adalah rakyat.
Jika mahasiswa kedokteran di Indonesia tetap diwajibkan menanggung sebagian besar biaya
pendidikannya, keharusan bertugas di daerah terpencil merupakan hal yang tidak adil.
Apalagi, jika tidak ada kejelasan jenjang karier dan pendidikan lanjutan bagi mereka.
Gerakan Bayar Balik
Di tengah sikap pemerintah yang cenderung menyerahkan pembiayaan pendidikan
mahasiswa kedokteran pada mekanisme pasar, para dokter senior yang sudah sukses dapat
mengambil peran dengan membantu pembiayaan pendidikan calon-calon dokter baru.
Dokter-dokter senior yang dulu pernah menikmati biaya pendidikan murah karena disubsidi
besar-besaran oleh negara dapat membantu dengan melakukan gerakan bayar balik.
Usulan ini disampaikan pendiri sekaligus Ketua Yayasan Indonesia Mengajar yang juga
Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan. Gerakan bayar balik merupakan modifikasi
dari sistem beasiswa yang dikelola melalui sistem asuransi.
Jika bantuan diberikan dalam bentuk beasiswa konvensional seperti saat ini, saat mahasiswa
penerima beasiswa lulus, dana yang ada akan habis. Namun, jika dikelola seperti asuransi,
dana yang ada dapat digunakan secara berkelanjutan sehingga tidak perlu setiap tahun
menggelontorkan dana bagi mahasiswa lain. Apa pun mekanisme pembiayaannya,
pendidikan dokter harus mampu menghasilkan dokter yang berintegritas serta memiliki
kemampuan, disiplin, dan etika yang tinggi. Karena di tangan dokterlah, kesehatan rakyat
Indonesia dipertaruhkan. Hanya dengan masyarakat yang sehat, ekonomi bangsa dapat
tumbuh dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Anda mungkin juga menyukai