Anda di halaman 1dari 18

1.

Pengertian BPH
Hiperplasia lobus lateral dan subservikal kelenjar prostat yang
mengakibatkan pembesaran organ tersebut. BPH merupakan Benign
Prostatic Hyperplasia. (Dr. Lyndon Saputra dalam buku Medikal Bedah
Renal dan Urologi, 2012)
Benigna prostatic hyperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang sering
terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormone prostat
(Yuliana, 2011).
Benigna Prostat Hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat,
disebabkan oleh karena hiperplasia. Beberapa atau semua komponen
prostat, meliputi antara lain : (Basuki B. Pornomo: 2000)
a)
Jaringan kelenjar.
b)
Jaringan fibro muskular yang menyebabkan penyumbatan
uretra parsprostatika.
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh
penuaan (Price & Wilson, 2005).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesanan prostat yang jinak
bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atauhiperplasia fibromuskular.
Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun
secarahistologi yang dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David C,
2004).
BPH (Hiperplasia prostat benigna) adalah suatu keadaan di mana
kelenjar prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam
kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutup orifisium
uretra. BPH merupakan kondisi patologis yang paling umum pada pria.
(Smeltzer dan Bare, 2002).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat
nonkanker (Corwin, 2000).
Hyperplasia prostat atau BPH (Benign Prostate Hiperplasia) adalah
progersif dari kelenjar prostat, brsifat jinak disebabkan oleh hyperplasia

1 | Page

beberapa atau semua komponen prostat yang menytebabkan penyumbatan


uretra pars prostatika.
2. Etiologi
Penyebab yang pasti terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui
secara pasti, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia
prostate rat kaitannyadengan peningkatan kadar dihidrotestoran (DHT)
dan proses penuaan (Purnomo, 2005).
Selain faktor tersebut ada beberapa hopotesis yang diduga sebagai
penyebab timbulnya hyperplasia prostat, yaitu sebagai berikut.
a. Dihydrotestoran, peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptorandrogen
menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami
hyperplasia.
b. Ketidakseimbangan

hormone

estrogen-testosteron.

Pada

proses

penuaan pria terjadi peningkatan hormone estrogen dan penurunan


testosterone yang mengakibatkan hyperplasia stroma.
c. Interaksi stroma-epitel. Pengkatan epidermal growth factor dan
fibroblast growth factor dan penurunan transforming growth factor
beta menyebabkan hyperplasia stroma dan epitel.
d. Berkurangnya sel yang mati. Estrogen yang meningkat menyebabkan
peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
e. Teori sel stem. Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel
transit.
3. Patofisiologi
Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40
tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi
perubahan patologi anatomi yang ada pada pria usia 50 tahunan.
Perubahan hormonal menyebabkan hiperplasia jaringan penyangga
stromal dan elemen glandular pada prostat. Teori-teori tentang terjadinya
BPH :

a. Teori Dehidrosteron (DHT)

2 | Page

Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi dehidrosteron


(DHT) dalam sel prostat menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT ke
dalam inti sel yang menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga
menyebabkan terjadinya sintesa protein.
b. Teori hormon
Pada orang tua bagian tengah kelenjar prostat mengalami hiperplasia
yamg disebabkan oleh sekresi androgen yang berkurang, estrogen
bertambah relatif atau aabsolut. Estrogen berperan pada kemunculan
dan perkembangan hiperplasi prostat.
c. Faktor interaksi stroma dan epitel
Hal ini banyak dipengaruhi oleh Growth factor. Basic fibroblast
growth factor (-FGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan
dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran
prostat jinak. Proses reduksi ini difasilitasi oleh enzim 5-a-reduktase.
-FGF dapat dicetuskan oleh mikrotrauma karena miksi, ejakulasi dan
infeksi.
d. Teori kebangkitan kembali (reawakening) atau reinduksi dari
kemampuan mesenkim sinus urogenital untuk berploriferasi dan
membentuk jaringan prostat.
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga
perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada
tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi urin pada leher
buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan
merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan
detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka
detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak
mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin yang
selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih
atas. Adapun patofisiologi dari masing-masing gejala yaitu :

3 | Page

a. Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan resistensi uretra


adalah gambaran awal dan menetap dari BPH. Retensi akut
disebabkan oleh edema yang terjadi pada prostat yang membesar.
b. Hesitancy (kalau mau miksi harus menunggu lama), terjadi karena
detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan
resistensi uretra.
c. Intermittency (kencing terputus-putus), terjadi karena detrusor tidak
dapat mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal
dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah
residu urin yang banyak dalam buli-buli.
d. Nocturia miksi pada malam hari) dan frekuensi terjadi karena
pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval
antar miksi lebih pendek.
e. Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena
hambatan normal dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra
berkurang selama tidur.
f. Urgensi (perasaan ingin miksi sangat mendesak) dan disuria (nyeri
pada saat miksi) jarang terjadi. Jika ada disebabkan oleh ketidak
stabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter,
g. Inkontinensia

bukan

gejala

yang

khas,

walaupun

dengan

berkembangnya penyakit urin keluar sedikit-sedikit secara berkala


karena setelah buli-buli mencapai complience maksimum, tekanan
dalam buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan spingter.
h. Hematuri biasanya disebabkan oleh oleh pecahnya pembuluh darah
submukosa pada prostat yang membesar.
i. Lobus yang mengalami hipertropi dapat menyumbat kolum vesikal
atau uretra prostatik, sehingga menyebabkan pengosongan urin
4 | Page

inkomplit atau retensi urin. Akibatnya terjadi dilatasi ureter


(hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap, serta gagal
ginjal.
j. Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat stasis urin, di mana sebagian
urin tetap berada dalam saluran kemih dan berfungsi sebagai media
untuk organisme infektif.
k. Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan dalam
buli-buli, Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan
hematuri. Batu tersebut dapat pula menimbulkan sistiitis dan bila
terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.
l. Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama kelamaan
dapat menyebabkan hernia dan hemoroid.

5 | Page

4. Web of Caution (WOC)

6 | Page

5. Tanda dan Gejala


Dalam buku Medikal Bedah Renal dan Urologi, 2012 :
7 | Page

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Berkurangnya kekuatan pancaran dan jumlah urine.


Nokturia, hematuria.
Gejala hesitansi dan urgensi pada urine.
Pancaran urine yang terputus-putus.
Retensi urine.
Buang air kecil yang menetes, inkotinensia.
Distensi kandung kemih.
International Prostate Symptom Score mengevaluasi keluhan serta
gejala BPH dan responnya terhadap terapi.

6. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering
dengan semakin beratnya BPH, dapatterjadi obstruksi saluran kemih,
karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan
infeksisaluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal
ginjal. (Corwin, 2000).
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harusmengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan herniadan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu
endapan yang menambah keluhan iritasidan hematuria. Selain itu, stasis
urin

dalam

vesika

urinaria

menjadikan

media

pertumbuhan

mikroorganisme,yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks


menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya
sel leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat
hematuri harus diperhitungkan adanya etiologi lain seperti keganasan
pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH
sendiri dapat menyebabkan hematuri. Elektrolit, kadar ureum dan

8 | Page

kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan


status metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai
dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan.
Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA
4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific antigen density (PSAD) yaitu
PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15,
sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10
ng/ml
b. Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif
maka semua defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan
pernafasan biasanya menyertai penderita BPH karena usianya yang
sudah tinggi maka fungsi jantung dan pernafasan harus dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis
leukosit, CT, BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin
serum.
c. Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena,
USG, dan sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume
BPH, derajat disfungsi buli, dan volume residu urin. Dari foto polos
dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal
atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda
metastase dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan
ginjal. Dari Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari
fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, gambaran ureter berbelokbelok di vesika urinaria, residu urin. Dari USG dapat diperkirakan
besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin dan
batu ginjal. BNO/IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari
ginjal apakah terlihat bayangan radioopak daerah traktus urinarius.

9 | Page

IVP untuk melihat /mengetahui fungsi ginjal apakah ada hidronefrosis.


Dengan IVP buli-buli dapat dilihat sebelum, sementara dan sesudah
isinya dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk melihat adanya
tumor, divertikel. Selagi kencing (viding cystografi) adalah untuk
melihat adanya refluks urin. Sesudah kencing adalah untuk menilai
residual urin.
8. Penatalaksanaan
Rencana pengobatan tergantung pada penyebab, keparahan obstruksi,
dan kondisi pasien. Jika pasien masuk RS dengan kondisi darurat karena
ia tidak dapat berkemih maka kateterisasi segera dilakukan. Pada kasus
yang berat mungkin digunakan kateter logam dengan tonjolan kurva
prostatik. Kadang suatu insisi dibuat ke dalam kandung kemih (sitostomi
supra pubik) untuk drainase yang adekuat. Jenis pengobatan pada BPH
antara lain:
a. Observasi (watchfull waiting)
Biasa dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang
diberikan adalah mengurangi minum setelah makan malam untuk
mengurangi

nokturia,

menghindari

obat-obat

dekongestan,

mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar


tidak terlalu sering miksi. Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan,
sisa kencing, dan pemeriksaan colok dubur.
b. Terapi medikamentosa
Penghambat adrenergik (prazosin, tetrazosin) : menghambat reseptor
pada otot polos di leher vesika, prostat sehingga terjadi relaksasi. Hal
ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga
gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang. Penghambat
enzim 5--reduktase, menghambat pembentukan DHT sehingga
prostat yang membesar akan mengecil.
c. Terapi bedah

10 | P a g e

Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut


untuk terapi bedah yaitu :
1) Retensi urin berulang
2) Hematuri
3) Tanda penurunan fungsi ginjal
4) Infeksi saluran kemih berulang
5) Tanda obstruksi berat seperti hidrokel
6) Ada batu saluran kemih.
a) Prostatektomi
Pendekatan transuretral merupakan pendekatan tertutup.
Instrumen bedah dan optikal dimasukan secara langsung
melalui uretra ke dalam prostat yang kemudian dapat dilihat
secara langsung. Kelenjar diangkat dalam irisan kecil dengan
loop pemotong listrik. Prostatektomi transuretral jarang
menimbulakan disfungsi erektil tetapi dapat menyebabkan
ejakulasi retrogard karena pengangkatan jaringan prostat pada
kolum kandung kemih dapat menyebabkan cairan seminal
mengalir ke arah belakang ke dalam kandung kemih dan bukan
melalui uretra.
i. Prostatektomi Supra pubis adalah salah satu metode
mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu suatu
insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar
prostat diangkat dari atas.
ii. Prostatektomi Perineal adalah

mengangkat

kelenjar

melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini lebih praktis


dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi
terbuka. Lebih jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau
cedera rectal dapat mungkin terjadi dari cara ini. Kerugian
lain adalah kemungkinan kerusakan pada rectum dan
spingter eksternal serta bidang operatif terbatas.
iii. Prostatektomi retropubik adalah insisi abdomen lebih
rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis
dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
Keuntungannya adalah periode pemulihan lebih singkat
11 | P a g e

serta kerusakan spingter kandung kemih lebih sedikit.


Pembedahan

seperti

prostatektomi

dilakukan

untuk

membuang jaringan prostat yang mengalami hiperplasi.


Komplikasi yang mungkin terjadi pasca prostatektomi
mencakup

perdarahan,

infeksi,

retensi

oleh

karena

pembentukan bekuan, obstruksi kateter dan disfungsi


seksual. Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan
impotensi, meskipun pada prostatektomi perineal dapat
menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf pudendal.
Pada kebanyakan kasus aktivitas seksual dapat dilakukan
kembali dalam 6 sampai 8 minggu karena saat itu fossa
prostatik telah sembuh. Setelah ejakulasi maka cairan
seminal

mengalir

ke

dalam

kandung

kemih

dan

diekskresikan bersama uin. Perubahan anatomis pada uretra


posterior menyebabkan ejakulasi retrogard.

b) Insisi Prostat Transuretral ( TUIP )


Yaitu suatu prosedur menangani

BPH

dengan

cara

memasukkan instrumen melalui uretra. Satu atau dua buah


insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi
tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretral.
Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil
( 30 gram/kurang ) dan efektif dalam mengobati banyak kasus
BPH. Cara ini dapat dilakukan di klinik rawat jalan dan
mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding cara
lainnya.
c) TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat) TURP adalah suatu
operasi

pengangkatan

jaringan

prostat

lewat

uretra

menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan


endoskop dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra
12 | P a g e

yang dilengkapi dengan alat pemotong dan counter yang


disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan
pembiusan umum maupun spinal dan merupakan tindakan
invasive yang masih dianggap aman dan tingkat morbiditas
minimal.
TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak
mempunyai efek merugikan terhadap potensi kesembuhan.
Operasi

ini

dilakukan

pada

prostat

yang

mengalami

pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi.


Cairan irigasi digunakan secara terus-menerus dengan cairan
isotonis

selama

prosedur.

Setelah

dilakukan

reseksi,

penyembuhan terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi uretra


pars prostatika (Anonim, FK UI, 2005).
Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga
saluran no. 24 yang dilengkapi balon 30 ml, untuk
memperlancar pembuangan gumpalan darah dari kandung
kemih. Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan setelah
24 jam bila tidak keluar bekuan darah lagi. Kemudian kateter
dibilas tiap 4 jam sampai cairan jernih. Kateter dingkat setelah
3-5 hari setelah operasi dan pasien harus sudah dapat berkemih
dengan lancar.
TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP
ialah gejala-gejala dari sedang sampai berat, volume prostat
kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat untuk menjalani
operasi. Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan,
infeksi, hiponatremia atau retensio oleh karena bekuan darah.
Sedangkan komplikasi jangka panjang adalah striktura uretra,
ejakulasi retrograd (50-90%), impotensi (4-40%). Karena
pembedahan tidak mengobati penyebab BPH, maka biasanya
penyakit ini akan timbul kembali 8-10 tahun kemudian.
A. Konsep Tindakan TUR-P
13 | P a g e

1. Pengertian TUR-P
Trans Uteral Resectio

(TUR)

yaitu

suatu

tindakan

untuk

menghilangkan obstruksi prostat dengan menggunakan cystoscope dengan


suatu lengkung diathermi. Jaringan kelenjar prostat diiris selapis demi
selapis dan dikeluarkan melalui selubung resektoskop. Perdarahan dirawat
dengan memakai diathermi, biasanya dilakukan dalam waktu 30 sampai
120 menit, tergantung besarnya prostat. Selama operasi dipakai irigan
aquades atau cairan isotonic tanpa elektrolit. Prosedur ini dilakukan
dengan anastesi regional (Blok Subarakhnoidal/SAB/Peridual).
Setelah dipasang kateter nomer Ch 24 untuk beberapa hari. Sering
dipakai kateter bercabang tiga atau satu saluran untuk spoel yang
mencegah terjadinya pembuntuan oleh pembekuan darah. Balon
dikembangkan dengan mengisi cairan garam fisiologis atau aquades
sebanyak 30-50 ml yang digunakan sebagai tamponade daerah prostat
dengan cara traksi 6-24 jam. Traksi apat dikerjakan dengan merekatkan ke
paha klien atau dengan memberi beban 0,5kg pada kateter tersebut melalui
katrol. Traksi tidak boleh lebih dari 24 jam karena dapat menimbulkan
penekanan pada uretra bagian penoskrotal sehingga mengakibatkan
stenosis buli-buli karena iskemi. Setelah traksi dilonggarkan fiksasi
dipindahkan pada paha bagian proximal atau abdomen bawah. Antibiotika
prokfilaksis dilanjutkan beberapa jam atau 24-48 jam pasca bedah. Setelah
urine yang keluar jernih kateter dapat dilepas.
Kateter biasanya dilepas pada hari ke 3-5. Untuk pelepasan kateter,
diberikan antibiotika 1 jam sebelumnya untuk mencegah urosepsis.
Biasanya klien tidak boleh pulang setelah miksi biasa, satu atau dua hari
setelah kateter dilepas (Doddy, M.S, 2000).
2. Kontraindikasi Tindakan Pembedahan
a. Decompensasi kordis.
b. Infark jantung baru.
c. Diabetes militus.
d. Malnutrisi berat.
e. Dalam keadaan koma.
f. Tekanan darah sistol 200-260 mmHg.
14 | P a g e

3. Alternatif Lain Tindakan Pembedahan Yang Lain


a. TUIP (Trans Incision of The Prostate)
b. Kriyoterapi
c. Hipertermia
d. Termoterapi
e. TUNA (Transurethral Needle Ablation of the Prostate)
f. Terapi ultrasonic
g. TULIP (Transurethral Laser Induced Prostatectomy)
h. Water-induced thermotherapy (WIT)
4. Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan pada Pasien Post TUR Prostat
a. Drainase urine meliputi kelancaran, warna jumlah, cloting.
b. Kebutuhan cairan minum adekuat +/- 3 liter/hari.
c. Program Bladder Training yaitu latihan kontraksi otot-otot perineal
selama 10 menit, dilakukan 4 kali sehari.
d. Menentukan jadwal pengosongan kandung kemih : bokong pasien
diletakkan di atas stekan/pispot atau pasien diminta ke toilet selama 30
menit 2 jam berkemih.
e. Diskusikan pemakaian kateter intermitten.
f. Monitor tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, tumor, rubor, fungsiolaesa).
g. Rawat kateter secara steril setiap hari. Pertahankan posisi kateter,
jangan sampai tertekuk.
h. Jelaskan perubahan pola eliminasi dan pola seksual.
i. Fungsi normal kandung kemih akan kembali dalam waktu 2-3 minggu,
namun dapat juga sampai 8 bulan yang perlu diikuti dengan latihan
perinel/kagel exercises.
5. Kompilkasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada klien dengan Benign Prostat
Hiperplasia adalah (Samsuhidrajat, 2005)
a. Retensi kronik dapat menyebabkan

refluk

vesiko-ureter,

hidroureter, hidrinefrosis, gagal ginjal.


b. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjaid infeksi pada waktu
miksi.
c. Herni/hemoroid.
d. Karena selalu terjadi

sisa

urine

sehingga

menyebabkan

terbentuknya batu.
e. Hematuria
f. Sistitis dan pielonefritis.

15 | P a g e

Komplikasi pasca operasi :


a.
b.
c.
d.
e.

Impotensi (kerusakan nefron pudendes)


Hemoragic paska bedah.
Fistula.
Striktur pasca bedah.
Inkotinensia urine.

6. Dampak Masalah
Setiap perubahan yang terjadi selalu menimbulkan dampak. Begitu
juga dengan individu yang telah dilakukan tindakan TURP akan
mengalami perubahan baik yang mempengaruhi individu, keluarga
maupun masyarakat.
a. Dampak masalah pre-operasi TURP adalah
1) Pola eliminasi
Tanda dan gejala yang berhubungan dengan BPH akibat
pembesaran prostat yang berdampak pada penyumbatan parsial
atau sepenuhnya pada saluran kemih bagian bawah. Keluhan
klien antara lain adalah nokturia, frekuensi, hesistancy, disuria,
inkotinensiadan rasa tidak lampias sehabis miksi. Dapat pula
muncul hernia inguinalis dan hemoroid.
2) Pola persepsi dan konsep diri
Kebanyakan klien yang akan menjalani operasi akan muncul
kecemasan. Ketidakpastian tentang procedure pembedahan,
nyeri setelah operasi, insisi dan imobilisasi dapat menimbulkan
rasa cemas. Klien juga cemas akan ada perubahan pada dirinya
setelah operasi.
3) Pola tidur dan istirahat
Tanda dan gejala BPH antara lain nokturia dan frekuensi. Bila
keluhan muncul pada klien maka tidur klien akan terganggu.
Hal ini terjadi karena pengosongan kandung kemih yang tidak
lengkap pada setiap miksi sehingga interfalantara miksi lebih
pendek. Akibatnya klien sering terbangun pada malam hari
untuk miksi dan waktu tidur akan berkurang.
b. Dampak masalah post-operasi TURP adalah
1) Pola eliminasi
16 | P a g e

Klien post operasi TURP dapat mengalami perubahan


eliminasi. Hal ini terjadi bila terdapat bekuan darah yang
menyumbat kateter, edema dan procedure pembedahan.
Perdarahan dapat terjadi pada klien post operasi TURP
karena fiksasi dari traksi yang kurang tepat. Infeksi karena
pemasangan kateter yang kurang tepat atau perawatan
kateter kurang atau tidak aseptic dapat juga terjadi.
2) Pola tidur dan istirahat
Pada klien post TURP dapat mengalami gangguan tidur
karena klien merasakan nyeri pada luka operasi atau
spasme dari kandung kemih karena gangguan ini maka lam
waktu tidur klien akan berkurang.
Klien post TURP aktivitasnya akan berkurang dari aktivitas
biasa. Klien cenderung mengurangi aktivitas karena nyeri
yang dirasakan akibat dari TURPnya. Klien akan banyak
memilih di tempat tidur daripada beraktivitas pada hari
pertama dan hari kedua post TURP sedangkan kebutuhan
klien dibantu.
3) Pola reproduksi dan seksual
Klien post TURP dapat mengalami disfungsi seksual. Hal
ini

disebabkan

karena

situasi

krisis

(inkotinensia,

kebocoran urine setelah pengangkatan kateter). Dengan


terjadinya disfungsi seksual maka dapat terjadi ancaman
terhadap konsep diri karena perubahan status kesehatan.
4) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Perubahan penatalaksanaan dan pemeliharaan kesehatan di
rumah dapat menimbulkan masalah dalam perawatan diri
selanjutnya. Sehingga klien perlu informasi tentang
perawatan selanjutnya khususnya saat dirumah supaya
tidak terjadi perdarahan atau tanda-tanda infeksi.

DAFTAR PUSTAKA
17 | P a g e

Andra Saferi Wijaya, Yessie Mariza Putri. 2013. Medical Book KMB Keperawatan
Medikal Bedah (Keperawatan Dewasa) Swann Morton England B.S. Teori
dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika
Eka Prabowo, Andi Eka Pranata 2014. Medical Book Buku Ajar Asuhan
Keperawatan Sistem Perkemihan Pendekatan NANDA, NIC dan NOC.
Yogyakarta : Nuha Medika
Muttaqin Arif, Kumala Sari. 2011 asuhan keperawatan gangguan sistem perkemihan.
Jakarta: Salemba Medika

18 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai