Anda di halaman 1dari 6

CBM merupakan gas alam yang didominasi gas metana yang terdapat di dalam

batubara. CBM termasuk salah satu sumber energi yang ramah lingkungan.
Eksploitasi CBM tidak akan merubah kualitas matrik batubara dan
menguntungkan para penambang batubara, karena gas emisinya telah
dimanfaatkan sehingga lapisan betubara tersebut menjadi aman untuk
ditambang.
Di sisi lain, tingkat keberhasilan eksplorasi CBM lebih besar dibandingkan
eksplorasi minyak dan gas bumi konvensional karena lapisan batu bara selain
bertindak sebagai source rock, juga sekaligus sebagai reservoir. Sifat kedalaman
pengeboran CBM relatif lebih dangkal, tidak migrasi dan terserap pada pori-pori
mikro. Sementara gas konvensional, biasanya memerlukan pengeboran yang
relatif dalam, migrasi serta mengambang.
CBM mempunyai multi guna antara lain dapat dijual langsung sebagai gas alam,
bisa dijadikan energi listrik dan sebagai bahan baku industri. Oleh karena itu,
dengan banyaknya kelebihan tersebut membuat CBM seakan menjadi gadis
cantik yang menjadi buruan jejaka-jejaka perkasa bernama operator migas
yang jumlahnya cukup menjamur di Indonesia.
Dan yang lebih membanggakan lagi, Indonesia merupakan negara dengan
cadangan CBM terbesar ketiga di dunia. Cadangan CBM di Indonesia hampir
mencapai 450 TCS (Trilliun Cubic Feet) yang tersebar dalam 11 basin. Di
Kalimantan, potensi terbesar terletak di kawasan Barito yakni sekitar 101,6 TCS,
disusul oleh Kutai sekitar 80,4 TCS. Selain itu, juga tersebar di Kabupaten Berau
dengan kandungan sekitar 8,4 TCS, Pasir/Asem (3 TCS) dan Tarakan (17,5 TCS).
Sementara itu di Sumatera, pusatnya berada di Sumatera Selatan (183 TCS),
disusul Sumatera Tengah (52,5 TCS), dan Bengkulu 3,6 TCS. Sisanya terletak di
Jatibarang, Jawa Barat (0,8 TCS) dan Sulawesi (2 TCS).
Dengan cadangan yang besar tersebut, sangatlah layak jika CBM memiliki
potensi besar sebagai energi alternatif pengganti migas di Indonesia. Namun
demikian, potensi yang sedemikian besar itu tidak kunjung dimanfaatkan secara
optimal karena berbagai hal. Padahal, di negara-negara maju seperti AS, Kanada,
dan Australia, CBM mengambil porsi yang signifikan sebagai energi yang
digunakan untuk pembangkit listrik dan sebagainya.

Harapan Pemerintah
Oleh karena itu, pemerintah saat ini berupaya mengembangkan potensi CBM di
daerah-daerah penghasil batubara untuk menambah supplai gas sebagai salah
satu alternatif energi yang dapat dimanfaatkan oleh PLN. Penyaluran CBM ke
pembangkit listrik mendukung program bright and green yang dicanangkan BP
MIGAS yang salah satu kegiatannya adalah mengupayakan ketersediaan listrik
bagi masyarakat di sekitar wilayah operasi hulu migas.
Tahun ini, Pemerintah menargetkan untuk dapat dihasilkan 9,25 MMSCFD dari
tujuh wilayah kerja CBM. Gas tersebut ekivalen dengan 23,01 megawatt (MW).

Namun demikian, pemerintah juga menyadari bahwa CBM adalah barang baru
yang tidak mudah diterapkan begitu saja di Indonesia. Berbagai kesulitan teknis
seperti pengolahaan air dewatering, maupun persoalan administratif berupa
regulasi yang belum jelas, menjadi penghambat utama pengembangan CDM di
Indonesia.
Sebagai bukti, sejak dikeluarkan lisensi pengelolaan CBM tahun 2008 lalu hinga
kini, setidaknya terdapat lebih dari 30 kontrak CBM yang telah diberikan oleh
pemerintah. Namun dalam kenyataannya, tidak semua kontraktor kontrak
kerjasama mengelolanya di lapangan. Mungkin baru sekitar 4-5 perusahaan saja
yang benar-benar melakukan kegiatan di lapangan.
Untuk itulah, kita berharap pemerintah bisa cepat merespon dan mengatasi
berbagai kendala di lapangan. Pemerintah seharusnya melakukan pengawasan
atas pelaksanaan kontrak-kontrak tersebut agar tidak menjadi lahan tidur dan
memastikan bahwa pengelolaan lapangan CBM bisa terkelola secara baik oleh
investor tersebut. Meskipun begitu pemerintah dianggap telah melakukan
terobosan dengan memberikan ijin pengusahaan CBM ini demi tujuan jangka
panjang pemanfaatan CBM di negeri ini.

PENGERTIAN CBM
CBM adalah gas metana (gas alam) yang dihasilkan selama proses
pembatubaraan dan terperangkap dalam batubara. CBM dikenal juga sebagai
sweet gas, karena sedikitnya kandungan sulfur (dalam bentuk hidrogen sulfida).
Gas metana ini terperangkap dalam batubara itu sendiri dan juga air yang ada
didalam ruang pori-porinya. Porositas matriks umumnya mengacu pada ukuran
cleat (retakan sepanjang batubara), dan bukan porositas batubara tersebut.
Porositas ini umumnya sangat rendah jika dibandingkan cekungan tradisional
(kurang dari 3%). Sumur-sumur CBM pada fase awal akan memproduksi air untuk
beberapa bulan dan kemudian sejalan dengan penurunan produksi air, produksi
gas metana akan meningkat karena suatu proses dewatering dapat menurunkan
tekanan pada batubara dan akan melepas gas metana tersebut.

Indonesia merupakan salah satu Negara yang berpotensi untuk pengembangan


CBM. Perkiraan cadangan CBM Indonesia sekitar 453.3 TCF tersebar di 11
cekungan (Advanced Resources International.inc). Saat ini ada beberapa
perusahaan yang sedang melakukan studi secara komprehensip untuk
menghitung dan menganalisa potensi CBM di Sumatera Utara, Sumatera Tengah,
Ombilin, Barito, Tarakan Utara, Kutai, dan Berau.
Gas metana terbentuk di dalam batubara melalui dua proses yaitu thermogenic
gas dan biogenic gas sekunder. Dalam hal ini CBM yang paling dicari untuk
eksplorasi adalah yang terbentuk secara thermogenic.
Thermogenic gas terbentuk secara alami melalui proses pembatubaraan
(coalification process) yang merubah humic organic material menjadi batubara.
Gas tersebut termasuk metana, CO2, dan bisa juga etana dan propane.
Sedangkan biogenic gas sekunder terbentuk pada masa geologi saat ini melalui
mikroorganisme anaerobic yang terbawa dalam system air bawah tanah yang
aktif setelah proses pembatubaraan selesai. Baik thermogenic maupun biogenic
metana secara fisik diadsorpsi sebagai lapisan monomolecular pada lapisan

permukaan dari pori-pori di dalam matrix batubara. Metana tertahan di dalam


oleh tekanan hidrostatik air dalam batubara. Rekahan alami di dalam batubara
selain berisi air juga memiliki permeabilitas atau kemampuan untuk mengalirnya
fluida. Dalam sumur CBM, air biasanya terproduksi di awal yang menghasilkan
penurunan tekanan reservoir. Proses ini dinamakan dewatering phase dalam
suatu sumur CBM. Sejalan dengan penurunan tekanan, gas metana secara difusi
keluar dari matrix batubara melalui rekahan batubara yang saling terhubung.
Batubara ini merupakan reservoir yang sangat unik karena terdapat source rock,
reservoir dan juga trap didalamnya.
CBM merupakan sumber bahan bakar yang bersih dan lebih ramah terhadap
lingkungan daripada minyak bumi, batubara, dan bahkan bahan gas
konvensional lainnya. CBM mempunyai potensi yang tinggi secara ekonomi. Akan
tetapi CBM di bawah kedalaman 5000 ft kurang mempunyai potensi ekonomi.
Proyek CBM harus mempertimbangkan seperti ketebalan lapisan batubara,
kandungan gas, permeabilitas, hydrodynamic, kualitsa gas, kualitas air dan opsi
pembuangan air, kedalaman dan teknik penyelesaian (completion). Dengan
perancangan yang baik dan evaluasi proyek dengan memprtimbangkan hal-hal
tersebut, maka tingkat keberhasilan proyek CBM akan sangat tinggi dan
menguntungkan.
Beberapa karakteristik batubara yang cocok untuk CBM adalah sebagai berikut:

Kandungan gas yang tinggi: 15 m3 30 m3 per ton


Permeabilitas yang bagus: 30 mD 50 mD
Dangkal: Coal seams < 1.000 m (3.300 ft). Tekanan pada kedalaman yang
lebih dalam, pada umumnya terlalu tinggi untuk mengalirkan gas bahkan
ketika coal seamsnya sudah selesai dewatering. Hal ini terjadi karena
tekanan tinggi menyebabkan berkurangnya permeabilitas batubara
Jenis batubara: Umumnya proyek CBM memproduksi gas dari Bituminous
coals, akan tetapi bisa juga gas yang dihasilkan dari Anthractie.

TEKNOLOGI
DAN
MEMPRODUKSI CBM

BAGAIMANA

CARA

UNTUK

Teknologi CBM telah mengalami banyak perkembangan dalam 2 dekade terakhir,


akan tetapi apapun yang telah didapatkan dan dipelajari pada masa eksplorasi,
karakteristik dan management reservoir dalam konteks sumber cadangan tetap
harus menjadi pertimbangan utama. Lapangan CBM memiliki karakter yang
berbeda-beda dan begitu pula pengelolaannya. Teknik pemboran konvensional
untuk gas alam umumnya bisa diaplikasikan untuk hampir semua CBM. Sebelum
pada tahap komersial, CBM dapat diproduksikan dimana pengetesan sumur
dapat dilakukan pada 4 atau 5 sumur pertama. Pemboran CBM umumnya
hampir sama dengan pemboran untuk minyak dan gas. Bahkan dalam beberapa
daerah , peralatan pemboran yang dipakai hampir sama dengan pemboran

untuk sumur air. Selain itu, dibeberapa tempat pemboran berarah (directional
drilling) dan pemboran horizontal diterapkan untuk mengoktimalkan produksi
dan juga tergantung daerah atau lapangan CBM-nya. Pemboran horizontal
sekarang ini sedang dirintis untuk pemboran CBM. Pemboran horizontal ini
dilakukan dengan cara mengebor beberapa ratus kaki secara vertical kemudian
dibelokkan secara horizontal sampai kurang lebih 4000 ft.

Hydraulic fracturing atau lebih dikenal sebagai Fracturing adalah suatu teknik
untuk meningkatkan luas area permukaan dari batubara. Sistem fluida dan
additive yang bisa digunakan pada sumur-sumur konvensional tidak cocok
digunakan untuk sumur-sumur CBM. Hal ini dikarenakan lapisan batubara
mempunyai katakteritik yang unik dan oleh karenanya dibutuhkan material yang
spesial. Secara umum banyak cara untuk mengembangkan CBM. Teknologi
produksi termasuk pengeboran konvensional, pemboran sebelum penambangan
dan pemboran horizontal seperti yang dijelaskan sebelumnya. Beberapa
keberhasilan dalam mengembangkan CBM telah dicapai ketika suatu pemboran
dikoordinasikan dengan pertambangan batubara. Di mana sumur-sumur dibor
sampai lapisan batubara (coal bed) atau sedikit di atasnya dimana mungkin gas
akan terproduksi pada saat pemboran berlangsung. Batubara kemudian
ditambang dan kemungkianan lapisan atasnya akan runtuh yang membuat
lubang besar dinamakan gob yang mungkin akan berhubungan dengan lapisan

batubara di atas lapisan utamanya. Gas yang terakumulasi di gob kemudian


dipompa melalui sumur-sumur yang ada.

POTENSI CBM DI INDONESIA


Di Indonesia telah ditemukan banyak potensi untuk lapangan CBM ini. Dari studi
awal diperoleh sekitar 213 TCF CBM gas in place dimana Indonesia memiliki
potensi CBM ke-7 di dunia. Studi paling mutakhir sekitar 453.3 TCF potensial CBM
yang tersebar di 11 basin coal di Indonesia. Meskipun Indonesia memiliki potensi
CBM yang sangat besar, akan tetapi lingkungan atau daerah yang harus
dikembangkan hampir semuanya merupakan daerah yang memiliki karakter
yang sangat menantang. Terdapat 11 potensi CBM di Indonesia yang telah
diidentifikasi, yaitu di Ombilin, Sumatra Selatan, Bengkulu, Jatibarang, Barito,
Kutai, Tarakan, Berau, Pasir, Asam-asam, dan Sulawesi Tenggara, dengan
cadangan terbesar di Sumatra Selatan sebesar 183 tcf. Saat ini, sebagai bagian
dari upaya eksplorasi, sejak bulan April 2005 telah dilakukan pengeboran satu
sumur di Pandopo Rambutan, Prabumulih, Sumatra Selatan oleh Badan Litbang
ESDM dan Lemigas. Diharapkan produksi CBM ini dapat dijadikan alternatif untuk
pembangkit tenaga listrik, terutama di daerah Sumatra Selatan.

Anda mungkin juga menyukai