Anda di halaman 1dari 14

SEJARAH ASAS

LEGALITAS

Pemikiran mengenai pentingnya ketentuan hukum


yang jelas atas perbuatan-perbuatan yang dilarang di
mulai sejak Kaisar Yustinianus mengadakan kodifikasi
atas ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku bagi
warga Romawi.
Dari sinilah berkembang pemahaman akan arti penting
kodifikasi bagi hukum bagi masyarakat Eropa sebagai
bentuk kepastian hukum. Sejarah pembentukan asas
legalitas ini sendiri tidak dapat di lepaskan dari posisi
hukum di dalam negara sebelum abad ke XVIII. Hukum
pidana di Eropa pada waktu itu hanya bersumber pada
hukum tidak tertulis yaitu hukum adat.

Hukum adat menghendaki kekuasaan penuah


atas hukum di tangan seorang penguasa saja,
yakni Raja dan kekuasaan negara mennjadi
sangat mutlak.
Pada awal ke XVIII rakyat Perancis yang
menuntut kepastian hukum atas tindakan Raja
yang sewenang-wenang. Menanggapi kondisi
hukum yang semakin memburuk ini, banyak
para tokoh dan ahli hukum menyerukan adanya
perubahan-perubahan yang mendasar atau
perubahan sehingga zaman ini dikenal dengan
de eeuw van de verlichtingatau zaman
Aufklarung.

Seorang ahli hukum, Beccarian mengusulkan:


Undang-undang Pidana itu dibentuk berasarkan
asas-asas yang bersifat lebih rasional yaitu yang
satu pihak dapat membatasi hak-hak penguasa
untuk menjatuhkan hukuman-hukuman,
berdasarkan pemikiran bahwa kebebasan pribadi
para warga negara itu sejauh mungkin harus
dihormati yaitu terutama dallam undang-undang
pidana, suatu ketentuan pidana yang telah ada
terlebih dahulu harus merupakan suatu syarat
mutlak untuk dipakai sebagai dasar bagi hakim
dalam menjatuhkan suatu hukuman, dan dilain
pihak dapat menyelesaikan pertumbuhan hukum
pidana sebagai hukum publik.

Pendapat Becarian ini pada akhirnya tertuang di dalam


Code Panel 1791 (KUHP di Perancis).
Walaupun Code Panel ini tidak bertahan lama, namun ide
ini menjadi pemikiran awal yang snagat penting bagi
terbentuknya rumusan Pasal 1 ayat 1 KUHP (Jean Jacques
Rousseuau) . Rousseuau menegaskan bahawa tiap
manusia di dalam keadaan status naturi (alamiah)
memiliki kebebasan penuh dan hak-hak . Agar pergaulan
yang terbentuk tidak mengalami petentangan atau
konflik maka manusia-manusia itu mengadakan
perjanjian satu sama lain.
Berdasarkan ajaran Rousseau , Djokosutono memberikan
kesimpulan bahwa ajaran ini menjadi sumber dari hukum
pidana sebab hukum pidana harus bersumber pada
undang-undang atau pada umumnya peraturanperaturan yang tertulis.

Pada tahun 1810, Code Panel telah terbentuk dengan mendapat


pengaruh dari tokoh Inggris yaitu Jeremy bentham.
Jeremy menekankan pada prinsip kegunaan atau manfaat dari
hukum itu sendiri bagi masyarakat (utilitarianisme).
Asas-asa yanh ada dalam Code panel yang lama seluruhnya telha
diambil dan dimuat dalam Pasal 4 Code Panel yang baru dengan
mempertimbangkan manfaat perlindungan hukum yang
seimbang antara kepentingan negara dengankepentingan rakyat.
Pasal 4 Code panel merupakan penjabaran dari semangat
pembaharuan yang didengunkan dalam revolusi Perancis oleh
Lafayette melalui Pasal 8 Declaration Des Droit de Ihome et du
Citoyen yang menghendaki kepastian hukum dengan
memberikan sebuah gagasan yang berbunyi tidak seorangpun
dapat di hukum kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut
undang-undang yang telah ada terlebih dahulu daripada
perbuatannya itu sendiri.

Pengaturan hukum pidana di negara Belanda


sudah ada dengan adanya Crimineel Wetboek
voor het Koninkrijk Holland (1809) , namu
ketikan Napoleon menyatukan negeri Belanda
dengan Negeri Perancis maka Crimineel
Wetboek menjadi tidak berlaku dan diganti
dengan Code Panel.
Pada tahun 1813 belanda memperoleh
kemerdekaannya, Code panel masih tetap
diberlakukan untuk sementara waktu hingga 75
tahun hingga menunggu terbitnya kitan
undang-undang hukum pidana yang baru bagi
Negeri Belanda.

Pada tahun 1881, Belanda memiliki sendiri


Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang
bersifat nasional, yang dikenal dengan wetboek
van strafrecht (wvS).
Berdasarkan rumusan-rumusan WvS , pasal 4
Code Panel Perancis tetap dicantumkan di
dalam Pasal 1 ayat 1 Wetboek van
Strafrechtsehingga memberikan bukti
persetujuan adanya kepastian hukum guna
mencegah kesewenang-wenangan penguasa
yang dapat merugikan penduduk.

ASAS LEGALITAS
Pasal 1 ayat (1) KUHP: nullum delictum, nulla

poena sine praevia lege poenali. Artinya tidak


ada perbuatan pidana, tidak ada pidana,
tanpa ketentuan undang-undang terlebih
dahulu.
Fungsi asas legalitas:
a. Instrumental, tidak ada perbuatan pidana
yang tidak dituntut
b. Melindungi, tidak ada pemidanaan kecuali
atas dasar undang-undang.

Tujuh aspek asas legalitas yang dapat dibedakan


yaitu:
a. Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan
ketentuan pidana menurut undang-undang
b. Tidak ada penerapan undang-undang pidana
berdasarkan analogi
c. Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan
d. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas
(syarat lex carta = uu yang dapat dipercaya)
e. Tidak ada kekuatan surut dari undang-undang
pidana
f. Tida ada pidana lain kecuali yang ditentukan
undang-undang
g. Penuntutan pidana hanya menurut cara yang
ditentukan undang-undang.

Asas Non Rektroaktif


Asas non-retroaktif dalam ilmu hukum pidana
secara eksplisit tersirat dalam ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1): Tiada
suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali
atas kekuatan aturan pidana dalam perundangundangan yang telah ada, sebelum perbuatan
dilakukan

Asas non-retroaktif ini juga disebutkan dalam Pasal 28I

Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945:


Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun
Penyimpangan dari asas non-retroaktif dalam KUHP ada
dalam pasal 1 ayat (2) KUHP, yaitu bahwa suatu hukum
yang lebih baru dapat berlaku surut, sepanjang hukum yang
baru itu lebih menguntungkan bagi tersangka daripada
hukum yang lama. Pasal ini berlaku apabila seorang
pelanggar hukum pidana belum diputus perkaranya oleh
hakim dalam putusan terakhir.

Selain pasal 1 ayat (2) KUHP, sifat retroaktif tersebut juga

dianut dalam pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000


tentang Pengadilan HAM (UU Pengadilan HAM):
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi
sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa
dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc
Dasar keberlakuan secara surut UU Pengadilan HAM

terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat


adalah penjelasan pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yang menegaskan bahwa:
Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat
terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam
kejahatan terhadap kemanusiaan.

suatu undang-undang adalah bersifat non-retroaktif, yaitu tidak


boleh berlaku secara surut. Akan tetapi, untuk hal-hal tertentu
dimungkinkan untuk diberlakukan surut, contohnya ketentuanketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP dan pasal 43 ayat (1) UU
Pengadilan HAM.
Pengecualian atas asas retroaktif menurut Prof. Jimly Asshidiqie
hanya dapat diberlakukan pada kejahatan terhadap
kemanusiaan. Dalam Penjelasan Pasal 104 UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, kejahatan terhadap
kemanusiaan disebut dengan pelanggaran hak asasi manusia
yang berat seperti pembunuhan massal (genocide),
pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan
pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan,
penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau
diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic
diserimination).www.hukum online.com

c. Perairan pedalaman adalah semua perairan yang


terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari ke
pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua
bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari
suatu garis penutup sebagaimana dimaksud dalam
pasal & (Pasal 3 ayat 4)
Pasal 7
(1) Di dalam perairan kepulauan, untuk penetapan

batas perairan pedalaman, Pemerintah Indonesia


dapat menarik garis -garis penutup pada mulut
sungai, kuala, teluk, anak laut, dan pelabuhan.

Anda mungkin juga menyukai