Anda di halaman 1dari 1

Aku terbaring di atas pembaringan ini sejak bertahun-tahun yang lalu.

Sejak ayah
pulang dengan membawa seribu masalah yang membuat keluarga di rumah
semakin terhimpit. Ibu yang sudah dalam keadaan tertekan, semakin tertekan,
adikku sudah tidak sekolah. Kami sekeluarga tak punya apa-apa lagi, semuanya
menjadi minus. Kepulangan ayah sangat membawa petaka. Entah dari mana dia
selama ini. Tapi yang pasti dia sudah tidak kami harapkan untuk pulang. Setelah
kepulangannya, Ayah tak pernah berhenti meminta uang dari ibu yang sehari-hari
mencuci dan menyetrika baju orang lain.
Suatu malam akhir bulan Juli sepuluh tahun lalu. Aku mabuk, saat melihat ayah
memukuli ibu seperti orang kesetanan, rintihan dan teriakan ibu sudah tak
terdengar lagi. Tangan-tangan ayah tak henti menghantam kepala, muka, dada,
rahim, punggung sedangkan kakinya semakin gila menghantam perut ibu saat ibu
tersungkur ke lantai tanah dalam rumah kami. Aku memang mabuk, tapi aku tak
rela orang yang melahirkanku dipukuli oleh orang yang dicintainya hidup dan mati.
Kuambil botol kecap yang ada di meja, lalu kuhantamkan ke arah kepala ayah, tapi
tiba-tiba, kakiku tersangkut sesuatu, aku jatuh dan ayah berhasil menghindar,
sedangkan botol itu nyasar ke kepala ibu yang sedang merintih tak berdaya di atas
tanah. Botol itu pecah.
Adikku terbangun dari tidurnya, ayah sudah menghilang entah kemana. Tak ada
yang bisa kukatakan sama sekali saat orang-orang kampung datang dan
membawaku pergi entah kemana. Aku tak bisa memikirkan apa-apa saat itu selain
ibu yang terbaring dengan kepala penuh darah dan kecap, di sekitarnya penuh
beling botol kecap. Aku tidak pernah tahu ibu masih bernafas atau tidak. Aku juga
tidak pernah melihat adikku lagi.
Sudah bertahun-tahun aku terbaring di sini tanpa ada orang yang kukenal. Yang
kuhapal cuma orang yang datang dan pergi mengantarkanku makanan kedalam
ruangan ini. Tuhanpun sudah tidak bisa kusembah lagi. Aku sekarang tidak berdaya.
Tuhan hanya bisa kusebut-sebut. Tak pernah bisa ku menyembahnya. Badanku suci
atau najispun aku tidak tahu, dan aku tidak peduli lagi. Sesekali terbayang wajah
ayah terkutuk itu tapi kemudian berganti dengan wajah ibu yang terakhir kali
kulihat. Penuh darah, kecap dan beling botol kecap. Dan yang kuingat tentang
adikku adalah airmatanya saat melihat ibu yang terhantam botol kecap, mukanya
marah, tatapan matanya membuatku takut. Tapi tak ada yang bisa kuperbuat.
Sudah bertahun-tahun aku tidak melihat cahaya matahari masuk menembus
kamarku. Tak ada yang mengelap keringatku. Aku tidak tahu kenapa orang-orang
meninggalkanku dalam keadaan seperti ini. Kakiku di belenggu oleh sebuah besi
berkarat yang menyatu dengan tempat tidur ini. Aku dibiarkan dalam keadaan yang
tidak manusiawi. Oleh manusia.

Rizki Pradana
2004-2005

Anda mungkin juga menyukai