Anda di halaman 1dari 33

HALAMAN PENGESAHAN

Nama

: Meida Astriani, Ruth Mellissa Gouw,


Cynthia Kartika

Fakultas

: Kedokteran

Universitas

: Universitas Tarumanagara

Tingkat

: Program Pendidikan Profesi Dokter

Bidang pendidikan

: Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut

Periode Kepaniteraan Klinik

: 22 Februari 2016 26 Maret 2016

Judul Referat

: Sinusitis Odontogenik

Diajukan

: 23 Maret 2016

Pembimbing

: drg. Setyo Hastuti & drg. Nurhayati Windarti

TELAH DIPERIKSA DAN DISAHKAN TANGGAL

Pembimbing,

drg. Setyo Hastuti

drg. Nurhayati Windarti

KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai Sinusitis
Odontogenik guna memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara di
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang.
Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak pihak
yang telah membantu dalam menyelesaikan referat ini, yaitu :
1. drg. Setyo Hastuti selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Gigi
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang.
2. drg. Nurhayati Windarti selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Gigi
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang.
3. Mbak Wahyu dan Mbak Lulus selaku perawat Poli Gigi Umum Rumah Sakit Umum
Daerah Kota Semarang.
4. Semua pihak yang telah membantu meluangkan waktu, tenaga dan pikiran, baik
secara langsung maupun tidak langsung selama proses penyusunan referat ini
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Penulis juga memohon maaf apabila
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan dalam referat ini. Penulis berharap semoga referat ini
dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan kepada Pembaca pada umumnya.
Jakarta, 23 Maret 2016

Penulis

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI. .....3
BAB I PENDAHULUAN

.4
2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


. ...............5
A. Anatomi Sinus Paranasal 5
B. Definisi ......10
C. Etiologi ..12
D. Epidemiologi .....16
E. Patofisiologi ..16
F. Gejala Klinis .....19
G. Diagnosis ..21
H. Diagnosis Banding24
I. Tatalaksana ...26
J. Komplikasi ...............30
K. Prognosis
.. 31
BAB III PENUTUP ...32
DAFTAR PUSTAKA ..33

BAB I
PENDAHULUAN

Sinusitis adalah peradangan pada satu atau lebih mukosa sinus paranasal. 1 Penyakit
sinusitis selalu dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks ostiomeatal (KOM) oleh infeksi,
obstruksi mekanis atau alergi, dan oleh karena penyebaran infeksi gigi.2
Sinus maksilaris, yang secara anatomi berada di pertengahan antara hidung dan rongga
mulut merupakan lokasi yang rentan terinvasi organisme patogen lewat ostium sinus maupun
lewat rongga mulut. Sinusitis dentogen dapat mencapai 10% hingga 12% dari seluruh kasus
sinusitis maksilaris. 1
Secara anatomis apeks gigi-gigi rahang atas (kecuali insisivus) sangat dekat dengan dasar
sinus, terutama sinus maksilaris. Gigi yang berlubang (karies) atau adanya abses/infeksi di
sekitar gigi harus diobati, sebab masalah gigi di rahang atas itu dapat menjalar sampai ke sinus.
Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik. Dasar sinus
maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga rongga sinus maksila
hanya dipisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang
pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan
periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus atau melalui pembuluh darah dan limfe. 1
Curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang mengenai satu sisi
dengan ingus purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobati sinusitisnya, gigi yang
terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan pemberian antibiotik yang mencakup bakteri anaerob.
Seringkali perlu dilakukan irigasi sinus maksila. 2,3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI SINUS PARANASAL


Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena
bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari
yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.
Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulag-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di
dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung. 1,5
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal.
Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang
dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus
sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung.
Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.1

SINUS MAKSILA
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila

bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.1,2,5,8
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os
maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal
maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar
orbita dan dinding inferiornya ialah prossesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila
berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui
infundibulum etmoid.1

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan adalah:


a.

Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1
dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3,

bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi
b.
c.

geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.


Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drenase hanya
tergantung dari gerak silia, lagipula drenase juga harus melalui infundibulum yang

d.

sempit.
Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang
atau alergi pada daerah ini dapat menghalang drenase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitis.1,5

Gambar 1: Anatomi sinus paranasal (potongan koronal)

Gambar 2: Anatomi sinus paranasal (potongan melintang)

Gambar 3: Anatomi sinus paranasal (potongan sagital)


7

Kompleks Osteo-Meatal (KOM)


Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media, ada muara-muara
saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit,
dan dinamakan komples osteo-meatal (KOM) yang terdiri dari infundibulum etmoid yang
terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus fontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoid anterior
dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila. 1,2,5,8

Gambar 4: Kompleks osteomeatal

Sistem mukosiliar
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut
lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju
ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya.

1,2

Fungsi sinus paranasal :


Sampai saat ini belum ada penyesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Tetapi
beberapa teori mengemukakan fungsinya sebagai berikut : 1,2
1. Sebagai pengatur kondisi udara
2. Sebagai penahan suhu
3. Membantu keseimbangan kepala
4. Membantu resonansi suara
5. Peredam perubahan tekanan udara
6. Membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung

Anatomi & Fisiologi Gigi

8 gigi seri gigi anterior : Insisivus - untuk memotong makanan

Canine - untuk merobek makanan

Geraham pertama - dapat menggiling makanan

Molar kedua - lebih besar dari gigi molar pertama, dapat menggiling
makanan

2.2 DEFINISI
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang terkena, dapat
dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid.1,2,3
Yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid, sinusitis
frontal dan sinusuitis sfenoid lebih jarang.
Sinus maksila disebut juga antrum High more, merupakan sinus yang sering terinfeksi,
oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak ostiumnya lebih tinggi dari
dasar, sehingga aliran sekret atau drainase dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia,
(3) dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat
menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus medius , disekitar
hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.1,5
Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, berulang atau kronis. Sinusitis maksilaris akut
berlangsung tidak lebih dari tiga minggu. Sinusitis akut dapat sembuh sempurna jika diterapi
dengan baik, tanpa adanya residu kerusakan jaringan mukosa. Sinusitis berulang terjadi lebih
sering tapi tidak terjadi kerusakan signifikan pada membran mukosa.

Sinusitis kronis

berlangsung selama 3 bulan atau lebih dengan gejala yang terjadi selama lebih dari dua puluh
hari.1,2,

10

Gambar 5: Penyebaran infeksi pada sinusitis dentogen

Hubungan anatomi antara gigi dan antrum Highmore: 5


a. Sinus maksilaris dewasa merupakan suatu rongga berisi udara yang dibatasi oleh bagian
alveolar sinus maksilaris, lantai orbital, dinding lateral hidung dan dinding lateral os
maksila.
b. Pada sesetengah individu, pneumatisasi dan perluasan dapat terjadi sedemikian rupa
sehingga hanya sinus mukoperiosteum (membran Schneidarian) yang tersisa.
c. Bisa juga terjadi ekspansi terus sehingga hanya meninggalkan tulang alveolar antara
sinus dan rongga mulut.
d. Otot levator labial dan orbicularis oculi di dinding lateral dari maksila dapat langsung
menyebabkan penyebaran infeksi. Dinding lateral ini lemah dan mudah ditembus dari
lantai sinus. Akibatnya, infeksi odontogenik umumnya terjadi bersamaan dengan infeksi
jaringan lunak vestibular/fasia.
2.3 ETIOLOGI

11

Penyebab tersering adalah ekstraksi gigi molar, biasanya molar pertama, dimana sepotong
kecil tulang di antara akar gigi molar dan sinus maksilaris ikut terangkat. Nathaniel Highmore
yang mengemukakan tentang membran tulang tipis yang memisahkan gigi geligi dari sinus pada
tahun 1651, Tulang yang membungkus antrum maksilaris dan memisahkannya dengan soket
geligi tebalnya tidak melebihi kertas pembungkus. 5,8
Infeksi gigi lain seperti abses apikal atau penyakit periodontal dapat menimbulkan
kondisi serupa. Gambaran bakteriologik sinusitis dentogen ini didominasi terutama oleh infeksi
bakteri gram negatif. Karena itulah infeksi ini menyebabkan pus yang berbau busuk dan
akibatnya timbul bau busuk dari hidung. Prinsip terapi adalah pemberian antibiotik, irigasi sinus,
dan koreksi gangguan geligi. 6
Etiologi sinusitis dentogen adalah: 5,7
a. Penjalaran infeksi gigi, infeksi periapikal gigi maksila dari kaninus sampai gigi molar
tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering terjadi pada kasus-kasus akar gigi yang hanya
terpisah dari sinus oleh tulang yang tipis, walaupun kadang-kadang ada juga infeksi
mengenai sinus yang dipisahkan oleh tulang yang tebal.
b. Prosedur ekstraksi gigi, misalnya terdorong gigi ataupun akar gigi sewaktu akan
diusahakan mencabutnya, atau terbukanya dasar sinus sewaktu dilakukan pencabutan
gigi.
c. Penjalaran penyakit periodontal yaitu adanya penjalaran infeksi dari membran
periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus.
d. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan sinus maksila.
e. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan tambalan akibat
pengisian saluran akar yang berlebihan.
f. Osteomielitis akut dan kronis pada maksila.
g. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista radikuler dan
folikuler.
h. Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat menyebabkan
obstruksi ostium yang memicu sinusitis.
i. Karies gigi
Hubungan karies gigi dengan terjadinya sinusitis maksilaris odontogen
Penyebab sinusitis maksilaris akut ialah rhinitis akut, infeksi faring seperti
faringitis, adenoiditis, tonsillitis akut, infeksi gigi rahang atas P 1, P2, serta Ml, M2, M3

12

(dentogen), berenang dan menyelam, trauma dapat menyebabkan pendarahan mukosa sinus
paranasal, barotrauma dapat menyebabkan nekrosis mukosa.1
Antrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi premolar,
molar atas dan sering terlihat pada pemeriksaan radiologi oral dan fasial. Hubungan ini dapat
menimbulkan masalah klinis, seperti infeksi yang berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat
naik ke atas dan menimbulkan infeksi sinus.3
Sinusitis maksilaris diawali dengan kuman pada karies masuk ke sinus. Proses inflamasi
ini akan menyebabkan gangguan drainase sinus. Kejadian sinusitis maksilaris ini dipermudah
oleh adanya faktor-faktor predisposisi baik lokal maupun sistemik, maka faktor-faktor tersebut
perlu diteliti berapa besar pengaruhnya pada sinusitis maksilaris.16
Infeksi sendiri merupakan masuknya kuman patogen atau toksin ke dalam tubuh manusia
serta menimbulkan gejala sakit. Infeksi odontogen adalah infeksi yang awalnya bersumber dari
kerusakan jaringan keras gigi atau jaringan penyangga gigi yang disebabkan oleh bakteri yang
merupakan flora normal rongga mulut yang berubah menjadi patogen. Penyebaran infeksi
odontogen ke dalam jaringan lunak dapat berupa abses. Secara harfiah, abses merupakan suatu
lubang berisi kumpulan pus terlokalisir akibat proses supurasi pada suatu jaringan yang
disebabkan oleh bakteri piogenik. Abses yang sering terjadi pada jaringan mulut adalah abses
yang berasal dari regio periapikal. Daerah supurasi terutama tersusun dari suatu area sentral
berupa

polimorfonuklear leukosit yang hancur dikelilingi oleh leukosit hidup dan kadang-

kadang terdapat limfosit. Abses juga merupakan tahap akhir dari suatu infeksi jaringan yang
dimulai dari suatu proses yang disebut inflamasi.16
Infeksi odontogenik dapat berasal dari tiga jalur, yaitu (1) jalur periapikal, sebagai hasil
dari nekrosis pulpa dan invasi bakteri ke jaringan periapikal; (2) jalur periodontal, sebagai hasil
dari inokulasi bakteri pada periodontal poket dan (3) jalur perikoronal, yang terjadi akibat
terperangkapnya makanan di bawah operkulum tetapi hal ini terjadi hanya pada gigi yang tidak
atau belum dapat tumbuh sempuna. Sering terjadi melalui jalur periapikal. Infeksi odontogen
biasanya dimulai dari permukaan gigi yaitu adanya karies gigi yang sudah mendekati ruang
pulpa (Gambar 1), kemudian akan berlanjut menjadi pulpitis dan akhirnya akan terjadi
kematian pulpa gigi (nekrosis pulpa). Infeksi odontogen dapat terjadi secara lokal atau meluas
secara cepat. Adanya gigi yang nekrosis menyebabkan bakteri bisa menembus masuk ruang
pulpa sampai apeks gigi. Foramen apikalis dentis pada pulpa tidak bisa mendrainase pulpa yang
13

terinfeksi. Selanjutnya proses infeksi tersebut menyebar progresif ke ruangan atau jaringan lain
yang dekat dengan struktur gigi yang nekrosis tersebut.16
Infeksi odontogen dapat menyebar secara perkontinuatum, hematogen dan limfogen,
yang disebabkan antara lain oleh periodontitis apikalis yang berasal dari gigi nekrosis, dan
periodontitis marginalis. Infeksi gigi dapat terjadi melalui berbagai jalan: (1) lewat penghantaran
yang patogen yang berasal dari luar mulut; (2) melalui suatu keseimbangan flora yang
endogenus; (3) melalui masuknya bakteri ke dalam pulpa gigi yang vital dan steril secara normal.
Infeksi odontogen menyebar ke jaringan-jaringan lain mengikuti pola patofisiologi yang beragam
dan dipengaruhi oleh jumlah dan virulensi mikroorganisme, resistensi dari host dan struktur
anatomi dari daerah yang terlibat.16
Rute yang paling umum penyebaran peradangan adalah melalui kontinuitas jaringan dan
spasia jaringan dan biasanya terjadi seperti yang dijelaskan di bawah ini. Pertama,

nanah

terbentuk di tulang cancellous dan tersebar ke berbagai arah yang memiliki resistensi
jaringan paling buruk. Penyebaran pus ke arah bukal, lingual, atau palatal tergantung pada posisi
gigi dalam lengkung gigi, ketebalan tulang, dan jarak perjalanan pus

Gambar 6: Faktor penyebab terjadinya sinusitis dentogen


14

Gamb
ar 7: Tampilan abses periodontal dan abses periapikal

2.4 EPIDEMIOLOGI
Di Eropa, sinusitis diperkirakan mengenai 10-30% populasi. Di Amerika, lebih dari 30
juta penduduk per tahun menderita sinusitis. Wald di Amerika menjumpai insiden pada orang
dewasa antara 10-15% dari seluruh kasus sinusitis yang berasal dari infeksi gigi.

Ramalinggam di Madras, India mendapatkan bahwa sinusitis maksila tipe dentogen


sebanyak 10% kasus yang disebabkan oleh abses gigi dan abses apikal. Becker et al. dari Bonn,
Jerman menyatakan 10% infeksi pada sinus maksila disebabkan oleh penyakit pada akar gigi.
Granuloma dental, khususnya pada premolar kedua dan molar pertama sebagai penyebab
sinusitis maksila dentogen. Highler dari Minnesota, Amerika Serikat menyatakan 10% kasus
sinusitis maksila yang terjadi setelah gangguan pada gigi.6
Data dari sub bagian Rinologi THT FKUI RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
menunjukkan angka kejadian sinusitis yang tinggi yaitu 248 pasien (50%) dari 496 pasien rawat
15

jalan. Farhat di Medan mendapatkan insiden sinusitis dentogen di Departemen THT-KL/RSUP


H. Adam Malik sebesar 13.67% dan yang terbanyak disebabkan oleh abses apikal yaitu sebanyak
71.43%. Hasil dari penelitian melaporkan bahwa insiden sinusitis dentogen lebih tinggi pada
wanita dan angka kejadian tertinggi pada usia dekade ketiga dan keempat. 3
2.5 PATOFISIOLOGI
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteomeatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel
respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan
viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk
membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zatzat yang berfungsi
sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.
Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan.5,8,11
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis yaitu
apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan
terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel
mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi

silia ini akan

menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus. 5,8


Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama
berkembangnya sinusitis. Sinusitis dentogen dapat terjadi melalui dua cara, yaitu:
1.

Infeksi gigi yang kronis dapat menimbulkan jaringan granulasi di dalam mukosa sinus
maksilaris, hal ini akan menghambat gerakan silia ke arah ostium dan berarti
menghalangi drainase sinus. Gangguan drainase ini akan mengakibatkan sinus mudah
mengalami infeksi. Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi
karena infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga
jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009). Pulpa
terbuka maka kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga
membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput periodontium
menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus.
16

Abses periodontal ini kemudian dapat

meluas dan mencapai tulang alveolar

menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga
memicu inflamasi. 1,5,8
2.

Kuman dapat menyebar secara langsung, hematogen atau limfogen dari granuloma apikal
atau kantong periodontal gigi ke sinus maksila.1,5,8

Patofisiologi sinusitis adalah sebagai berikut:


Inflamasi mukosa hidung menyebabkan pembengkakan (udem) dan eksudasi, yang
mengakibatkan obstruksi ostium sinus. Obstruksi ini menyebabkan gangguan ventilasi dan
drainase, resorbsi oksigen yang ada di rongga sinus, kemudian terjadi hipoksia (oksigen
menurun, pH menurun, tekanan negatif), selanjutnya diikuti permeabilitas kapiler meningkat,
sekresi kelenjar meningkat kemudian transudasi, peningkatan eksudasi serous, penurunan fungsi
silia, akhirnya terjadi retensi sekresi di sinus ataupun pertumbuhan kuman.11

Gambar 7. Pergerakan silia dalam drainase cairan sinus

17

Gambar 8. Perubahan silia pada sinusitis


Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan
saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka terjadi
gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir
yang di produksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk
tumbuhnya bakteri patogen. Bila sumbatan berlangsung terus, akan terjadi hipoksia dan retensi
lendir sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob.1 Bakteri yang sering ditemukan pada
sinusitis kronik adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella
catarrhalis, Streptococcus B hemoliticus, Staphylococcus aureus, kuman anaerob jarang
ditemukan.1 Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau
pembentukan polip dan kista.1,2,3

18

Gambar 9. Perubahan mukosa pada sinus yang terinfeksi


Reaksi peradangan berjalan menurut tahap-tahap tertentu yang khas. Pelebaran kapiler
darah akan memperlambat aliran darah sehingga akan mengeluarkan fibrin dan eksudat serta
migrasi leukosit menembus dinding pembuluh darah membentuk sel-sel nanah dalam eksudat.
Tetapi bilamana terjadi pada selaput lendir, maka pada saat permulaan vasodilatasi terjadi
peningkatan produksi mukus dari kelenjar mukus sehingga nanah yang terjadi bukan murni
sebagai nanah, tetapi mukopus.4
2.6

GEJALA KLINIS
Gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala sistemik ialah demam

dan rasa lesu. Gejala lokal pada hidung terdapat ingus kental yang kadang-kadang berbau dan
dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan hidung tersumbat, Seringkali terdapat nyeri pipi
khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri di tempat lain karena nyeri alih (referred
pain). Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk
iritatif non-produktif juga seringkali ada Nyeri alih dirasakan di dahi dan di depan telinga.
Penciuman terganggu dan ada perasaan penuh dipipi waktu membungkuk ke depan. Terdapat
perasaan sakit kepala waktu bangun tidur dan dapat menghilang hanya bila peningkatan
sumbatan hidung sewaktu berbaring sudah ditiadakan.1,2,4,5
Gejala obyektif, pada pemeriksaan sinusitis maksila akut akan tampak pembengkakan di
pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan
edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis etmoid anterior tampak lendir atau
nanah di meatus medius. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal
drip).1,4

19

Sinusitis maksilaris dari tipe odontogen

harus dapat dibedakan dengan rinogen

karena terapi dan prognosa keduanya sangat berlainan. Pada sinusitis maksilaris tipe odontogenik
ini hanya terjadi pada satu sisi serta pengeluaran pus yang berbau busuk. Di samping itu, adanya
kelainan apikal atau periodontal mempredisposisi kepada sinusitis tipe dentogen. Gejala sinusitis
dentogen menjadi lebih lambat dari sinusitis tipe rinogen.5

Gambar 10. Pus pada meatus medius pada pasien sinusitis

Gambar 11. Pembengkakan pipi


2.7

DIAGNOSIS

20

Diagnosis sinusitis dentogen adalah berdasarkan pemeriksaan lengkap pada gigi serta
pemeriksaan fisik lainnya. Ini mencakup evaluasi gejala klinis pasien sesuai dengan kriteria
American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery (AAO-HNS), yang mana
diagnosis sinusitis membutuhkan setidaknya 2 faktor mayor atau setidaknya 1 faktor mayor dan
2 faktor minor dari serangkaian gejala dan tanda klinis, riwayat penyakit gigi geligi, serta temuan
radiologi sinus paranasal dan CT Scan. Selain itu, kadang diperlukan konsultasi dengan
departemen kedokteran gigi untuk mendukung dan membuat diagnosis sinusitis dentogen serta
penatalaksanaannya. 1,2

AKUT
Ditegakkan berdasarkan kriteria di bawah ini:
Anamnesis
Riwayat rinore purulen yang berlangsung lebih dari 7 hari, merupakan keluhan yang

paling sering dan paling menonjol pada sinusitis akut. Keluhan ini dapat disertai keluhan lain
seperti sumbatan hidung, nyeri/rasa tekanan pada muka, nyeri kepala, demam, ingus belakang
hidung, batuk, anosmia/hiposmia, nyeri periorbital, nyeri gigi, nyeri telinga dan serangan mengi
(wheezing) yang meningkat pada penderita asma.
Rinoskopi Anterior
Rinoskopi anterior merupakan pemeriksaan rutin untuk melihat tanda patognomonis,
yaitu sekret purulen di meatus medius atau superior; atau pada rinoskopi posterior tampak
adanya sekret purulen di nasofaring (post nasal drip).
Nasoendoskopi
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan untuk menilai kondisi kavum nasi hingga ke
nasofaring. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan dengan jelas keadaan dinding lateral hidung

Foto polos sinus paranasal


21

Pemeriksaan foto polos sinus bukan prosedur rutin, hanya dianjurkan pada kasus tertentu,
misalnya:
a.

Rinosinusitis akut dengan tanda dan gejala berat.

b.

Tidak ada perbaikan setelah terapi medikamentosa optimal

c.

Diduga ada cairan dalam sinus maksila yang memerlukan tindakan irigasi

d.

Evaluasi terapi

e.

Alasan medikolegal.6,7
Tomografi Komputer dan MRI
Pemeriksaan tomografi komputer tidak dianjurkan pada rinosinusitis akut, kecuali ada

kecurigaan komplikasi orbita atau intrakranial.


Pemeriksaan MRI hanya dilakukan pada kecurigaan komplikasi intrakranial.

KRONIK
Ditegakkan berdasarkan kriteria di bawah ini:
Anamnesis
Riwayat gejala sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria

minor dari kumpulan gejala dan tanda menurut International Consensus on Sinus Disease, tahun
1993 dan 2004.5 Kriteria mayor terdiri dari: sumbatan atau kongesti hidung, sekret hidung
purulen, sakit kepala, nyeri atau rasa tertekan pada wajah dan gangguan penghidu. Kriteria
minornya adalah demam dan halitosis.

Penderita

Gejala dan Tanda


22

Dewasa dan Anak

Mayor
Kongesti hidung atau sumbatan

Minor
Demam

Sekret hidung/post nasal purulen

Sakit kepala

Rasa nyeri/tekanan/penuh di wajah

Nafas berbau

Gangguan penghidu (hiposmia, anosmia)

Fatique

Demam

Batuk
Sakit gigi
Hidung berbau
Gejala telinga

Anak-Anak

Batuk

Iritabilitas/Rewel
Dikutip dari: Kennedy DW
Rinoskopi anterior
Terlihat adanya sekret purulen di meatus medius atau meatus superior.
Pemeriksaan nasoendoskopi
Pemeriksaan ini sangat dianjurkan karena dapat menunjukkan kelainan yang tidak dapat
terlihat dengan rinoskopi anterior, misalnya sekret purulen minimal di meatus medius atau
superior, polip kecil, ostium asesorius, edema prosesus unsinatus, konka bulosa, konka
paradoksikal, spina septum dan lain-lain.
Pemeriksaan foto polos sinus
Dapat dilakukan mengingat biayanya murah, cepat dan tidak invasif.
Pemeriksaan CT Scan
Dianjurkan dibuat untuk pasien sinusitis kronik yang tidak ada perbaikan dengan terapi
medikamentosa. Untuk menghemat biaya, cukup potongan koronal tanpa kontras. Dengan
potongan ini sudah dapat diketahui dengan jelas perluasan penyakit di dalam rongga sinus dan
adanya kelainan di KOM (kompleks ostiomeatal). Sebaiknya pemeriksaan CT scan dilakukan
setelah pemberian terapi antibiotik yang adekuat, agar proses inflamasi pada mukosa dieliminasi
sehingga kelainan anatomis dapat terlihat dengan jelas.6,7
23

Pungsi sinus maksila


Tindakan pungsi sinus maksila dapat dianjurkan sebagai alat diagnostik untuk
mengetahui adanya sekret di dalam sinus maksila dan jika diperlukan untuk pemeriksaan kultur
dan resistensi.
Sinoskopi
Dapat dilakukan untuk melihat kondisi antrum sinus maksila. Pemeriksaan ini
menggunakan endoskop, yang dimasukkan melalui pungsi di meatus inferior atau fosa kanina.
Dilihat apakah ada sekret, jaringan polip, atau jamur di dalam rongga sinus maksila, serta
bagaimana keadaaan mukosanya apakah kemungkinan kelainannya masih reversibel atau sudah
ireversibel. 11
2.8 DIAGNOSIS BANDING
Kelainan pada sinus maksilaris lainnya yang berkaitan dengan penyakit odontogenik: 12
a. Kista yang terbentuk dari mukosa sinus termasuk pseudokista, mukokel, dan yang paling
sering yaitu kista retensi.
b. Hanya pseudokista yang berhubungan dengan penyakit periapikal/periodontal yang
disebabkan pengobatan gigi yang bisa mencapai resolusi pseudokista.
c. Tumor-tumor jinak atau lesi seperti tumor dapat menyebabkan penyimpangan, ekspansi,
atau erosi dinding sinus. Ini termasuk ameloblastoma, odontoma, cementoma, fibromas
ossifying, tumor epitelial odontogenik, tumor skuamosa odontogenik, dan tumor
adenomatoid.
d. Tumor ganas termasuk keganasan gingiva, kistik adenoid dan sarkoma.

Gambar 12: Foto rontgen pasien wanita berusia 45 tahun dengan kista periapikal. Kista ini
timbul dari residu epitelial pada ligamen periodontal yang disebabkan oleh inflamasi.

24

Foto rontgen panorama


menunjukkan bagian
opak bulat pada sinus
maksila kiri dengan
pinggir sklerotik (anak
panah).

CT Scan aksial
menunjukkan proses
perluasan dengan
pinggir sklerotik
(panah) pada sinus
maksilaris.

Gambar 12: CT Scan aksial dan koronal yang menunjukkan akar gigi yang
terlantar di bagian alveolar dari sinus maksilaris (panah) yang menyebabkan
penebalan mukosa sinus.

2.9

PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanan sinusitis dentogen: 1,5
a. Atasi masalah gigi
25

b. Penderita dengan sinusitis akut yang disertai demam dan kelemahan sebaiknya
beristirahat ditempat tidur. Diusahakan agar kamar tidur mempunyai suhu dan
kelembaban udara tetap.
c. Konservatif, diberikan obat-obatan: antibiotika, dekongestan, antihistamin, kortikosteroid
dan irigasi sinus.
d. Operatif. Beberapa macam tindakan bedah sinus yaitu antrostomi meatus inferior,
Caldwell-Luc, etmoidektomi intra dan ekstra nasal, trepanasi sinus frontal, dan bedah
sinus endoskopik fungsional.

AKUT
Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang

diberikan lini I yakni golongan penisilin atau kotrimoksazol dan terapi tambahan yakni obat
dekongestan oral dan topikal, mukolitik untuk memperlancar drainase dan analgetik untuk
menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal.
Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.1-3,5
Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen foto polos atau CT Scan dan atau
nasoendoskopi. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi
sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi
komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus. 1,
Terapi pembedahaan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi
komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret tertahan
oleh sumbatan. 2,3

a.

b.

KRONIK
Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tatalaksana yang sesuai dan diberi
terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-14 hari. 1
Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II +
terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik
alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan diteruskan antibiotik mencukupi 1014 hari, jika tidak ada perbaikan, evaluasi kembali dengan pemeriksaan nasoendoskopi,
sinuskopi (jika irigasi 5x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal maka
26

dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada obstruksi
c.
d.

e.

maka evaluasi diagnosis. 1,5


Daerah sinus yang sakit bisa dilakukan diatermi gelombang pendek.
Jika ada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid,
frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
Pembedahan
Radikal:
- Sinus maksila dengan operasi Caldwell-luc.
- Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi
- Sinus frontal dan sfenoid dengan operasi Killian
Pengobatan ini dilakukan bila pengobatan koservatif gagal. Terapi radikal dilakukan

dengan mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drenase dari sinus yang terkena.
Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc. Pembedahan ini dilaksanakan dengan
anestesi umum atau lokal. Jika dengan anestesi lokal, analgesi intranasal dicapai dengan
menempatkan tampon kapas yang dibasahi kokain 4% atau tetrakain 2% dengan efedrin 1%
diatas dan dibawah konka media. Prokain atau lidokain 2% dengan tambahan ephineprin
disuntika di fosa kanina. Suntikan dilanjutkan ke superior untuk saraf intraorbital. Incisi
horizontal dibuat di sulkus ginggivobukal, tepat diatas akar gigi. Incisi dilakukan di superior gigi
taring dan molar kedua. Incisi menembus mukosa dan periosteum. Periosteum diatas fosa kanina
dielevasi sampai kanalis infraorbitalis, tempat saraf orbita diidentifikasi dan secara hati-hati
dilindungi. 1,3,11

27

Gambar 13. Prosedur Caldwell Luc

Pada dinding depan sinus dibuat fenestra, dengan pahat, osteatom atau alat bor. Lubang
diperlebar dengan cunam pemotong tulang kerison, sampai jari kelingking dapat masuk. Isi
antrum dapat dilihat dengan jelas. Dinding nasoantral meatus inferior selanjutnya ditembus
dengan trokar atau hemostat bengkok. Antrostomi intranasal ini dapat diperlebar dengan cunam
kerison dan cunam yang dapat memotong tulang kearah depan. Lubang nasoantral ini sekurangkurangnya 1,5 cm dan yang dipotong adalah mukosa intra nasal, mukosa sinus dan dinding
tulang. Telah diakui secara luas bahwa berbagai jendela nasoantral tidak diperlukan. Setelah
antrum diinspeksi dengan teliti agar tidak ada tampon yang tertinggal, incisi ginggivobukal
ditutup dengan benang plain cat gut 00. biasanya tidak diperlukan pemasangan tampon intranasal
atau intra sinus. Jika terjadi perdarahan yang mengganggu, kateter balon yang dapat ditiup
dimasukan kedalam antrum melalui lubang nasoantral. Kateter dapat diangkat pada akhir hari ke1 atau ke 2. kompres es di pipi selama 24 jam pasca bedah penting untuk mencegah edema,
hematoma dan perasaan tidak nyaman. 1,3

Non Radikal:
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF).
Bedah sinus endoskopi fungsional merupakan perkembangan pesat dalam bedah sinus. Teknik
bedah ini pertama kali diajukan oleh Messerklinger dan dipopulerkan oleh Stamm-berger dan
Kennedy. BSEF adalah operasi pada hidung dan sinus yang menggunakan endoskopi dengan
tujuan menormalkan kembali ventilasi sinus dan transpor mukosilier. Prinsip BSEF ialah
membuka dan membersihkan KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus lancar secara alami.7,11
Indikasi absolut tindakan BSEF adalah rinosinusitis dengan komplikasi, mukosil yang luas,
rinosinusitis jamur alergi atau invasif dan kecurigaan neoplasma. Indikasi relatif tindakan ini
meliputi polip nasi simptomatik dan rinosinusitis kronis atau rekuren simptomatik yang tidak
respon dengan terapi medikamentosa. Sekitar 75-95% kasus rinosinusitis
28

kronis telah dilakukan tindakan BSEF. 1,5,11


Prinsip

tindakan BSEF adalah membuang jaringan yang menghambat

KOM dan

memfasilitasi drainase dengan tetap mempertahankan struktur anatomi normal (gambar 3)

Gambar 14. Prinsip bedah sinus endoskopi fungsional


(BSEF): membuang jaringan yang menghambat KOM. Teknik bedah sinus endoskopi fungsional
meliputi unsinektomi, etmoidektomi, sfenoidektomi dengan etmoidektomi, bedah resesus
frontalis, antrostomi maksila, konkotomi dan septoplasti. 11

Komplikasi pasca tindakan

BSEF dapat dibedakan menjadi komplikasi awal dan lanjut.

Komplikasi awal meliputi hematoma orbita, penurunan penglihatan, diplopia, kebocoran cairan
serebrospinal, meningitis, abses otak, cedera arteri karotis dan epifora. Komplikasi lanjut yang
dapat terjadi adalah rekurensi, mukosil dan miosferulosis akibat salep yang digunakan dan benda
asing. Komplikasi orbita dan intrakranial juga dapat terjadi sebagai komplikasi lanjut. 11
2.10

KOMPLIKASI
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat infeksi

di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan
pada sinusitis rekuren, kronis atau berkomplikasi. 1,2,10

29

Komplikasi Orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering.

Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi dari ethmoidalis akut, namun sinus frontalis
dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita. 1,5,8
Terdapat lima tahapan :
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus
ethmoidalis di dekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina
papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis seringkali merekah pada
kelompok umur ini.
b. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita
namun pus belum terbentuk.
c. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita
menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap ini
disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius.
Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva
merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
e. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena
ke dalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.

Komplikasi Intra Kranial 1,5,8,11


a. Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat yang mana infeksi dari
sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang
berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina
kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
b. Abses dural, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, seringkali
mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya mengeluh
nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intrakranial.
c. Abses subdural, adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau permukaan
otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
d. Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat
terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.
30

Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara bedah pada
ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi.

Komplikasi sinusitis yang lain adalah kelainan paru seperti bronkitis kronis dan
bronkiektasi. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut
sinobronkitis. Selain itu, dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronchial yang sukar
dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan

2.11

Prognosis

Prognosis sinusitis tipe dentogen sangat tergantung kepada tindakan pengobatan yang dilakukan
dan komplikasi penyakitnya. Jika, drainase sinus membaik dengan terapi antibiotik atau terapi
operatif maka pasien mempunyai prognosis yang baik. 5

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Sinusitis dentogen adalah peradangan mukosa hidung dan satu atau lebih mukosa sinus
paranasal yang disebabkan oleh penyebaran infeksi gigi. 10% kasus sinusitis dengan sumber
odontogenik adalah disebabkan oleh rahang atas.1,2 Meskipun sinusitis dentogen adalah kondisi
yang relatif umum, patogenesisnya masih belum jelas serta masih kurangnya konsensus
mengenai gejala klinis, pengobatan, dan pencegahan. Terjadinya sinusitis dentogen dapat terjadi
melalui dua cara, yaitu infeksi gigi yang kronis dapat menimbulkan jaringan granulasi di salam

31

mukosa sinus maksila, penyebaran secara langsung, hematogen atau limfogen dari granuloma
apikal atau kantong periodontal gigi ke sinus maksila.
Diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan rinoskopi anterior dan
rinoskopi posterior, nasoendoskopi, disertai pemeriksaan penunjang berupa transluminasi, foto
rontgen, CT-Scan dan MRI.
Bila sinusitis disebabkan faktor gigi biasanya pasien mengeluhkan hidung berbau.
Penatalaksanaannya adalah mengatasi masalah gigi, konservatif, diberikan obat-obatan;
antibiotika, dekongestan, antihistamin, kortikosteroid dan irigasi sinus serta operatif. Beberapa
macam tindakan bedah sinus yaitu antrostomi meatus inferior, Caldwell-Luc, etmoidektomi intra
dan ekstra nasal, trepanasi sinus frontal dan bedah sinus endoskopik fungsional.

DAFTAR PUSTAKA
1. Soetjipto Damayanti, Endang Mangunkusumo. Sinus Paranasal. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok, Kepala Leher. Edisi VI. Jakarta, Balai Penerbit
FKUI, 2008; 145-53.
2. Boies LR, Adams GL. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi VI. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 1997.
3. Mulyarjo, Soejak S. Sinusitis. Naskah Lengkap Perkembangan Terkini Diagnosis dan
Penatalaksanaan S. Sinusitis. Surabaya, 2006; 1-63
4. Farhat. Peran Infeksi Gigi Rahang Atas pada Kejadian Sinusitis Maksila di RSUP H.
Adam Malik Medan. Dept. Ilmu Kesehatan THT, Bedah Kepala, dan Leher FK
USU/RSUP H. Adam Malik Medan. 2006. p. 386-92
5. Universitas Sumatera Utara. Sinusitis Maksilaris Dentogen. Tersedia dari URL
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31193/4/Chapter%20II.pdf.
Diunduh
tanggal 9 Februari 2013
32

6. Itzhak Brook, MD. Acute Sinusitis. Tersedia dari URL


http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htm Edisi April 2012. Diunduh tanggal 9
Februari 2013
7. Ramalinggam KK. Anatomy and physiology of nose and paranasal sinuses. A Short
Practice of Otolaryngology. All India Publishers; 214-31
8. Abdul Rachman Saragih. Rinosinusitis Dentogen. Diambil dari dentika Dental Journal,
Vol 12, No 1. 2007. Hal : 81 -84. Tersedia dari URL :
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/121078184.pdf. Diunduh tanggal 9 Februari 2013
9. Mehra P, Murad H. Maxillary Sinus Disease of Odontogenic Origin. Otolaryngologic
Clinic of North America. 2004. p. 347-64
10. Henny Kartika. Cara Pemeriksaan Hidung dan Sinus Paranasal. Tersedia dari URL
http://hennykartika.wordpress.com/2007/12/29/cara-pemeriksaan-hidung-dan-sinusparanasal/. Diunduh tanggal 9 Februari 2013
11. Bestary, Jaka Budiman. Rossy, Rosalinda. Bedah Endoskopi Fungsional Revisi Pada
Rinosinusitis Kronis. Diambil dari Jurnal FK Universitas Andalas/RSUP Dr. M Djamil
Padang,
Bagian
THT
Bedah
Kepala
Leher.
Tersedia
dari
URL
http://repository.unand.ac.id/17210/1/Bedah_Sinus_Endoskopi_Fungsional_Revisi_pada
_Rinosinusitis_Kronis.pdf Diunduh tanggal 9 Februari 2013
12. Bashiruddin J, Soetjipto D, Rifki N. Abses orbita sebagai komplikasi sinusitis maksila
dan etmoid akibat infeksi gigi. Kumpulan Naskah Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhati.

33

Anda mungkin juga menyukai