TBC 2014 Kemenkes RI
TBC 2014 Kemenkes RI
vi
viii
xii
2.
a.
Terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah penyakit. Tahapan tersebut meliputi tahap paparan,
infeksi,menderita sakit dan meninggal dunia yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Perjalanan alamiah TB
a. Paparan
Peluang
peningkatan
paparan
terkait dengan:
Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup dalam lesi
tersebut
( dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali.
?
Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum
penyembuhan lesi
BAB I
PENDAHULU
AN
c. Sakit TB
Faktor risiko untuk
menjadi sakit TB
adalah tergantung
dari :
?
?
?
?
BAB I
PENDAHULUAN
Dengan semakin berkembangnya tantangan yang dihadapi program dibanyak negara. Pada
tahun 2005 strategi DOTS di atas oleh
Global stop TB partnership
strategi DOTS
tersebut
diperluas menjadi Strategi Stop TB, yaitu:
1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS
2. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya
3. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan
4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
5. Memberdayakan pasien dan masyarakat
6. Melaksanakan dan mengembangkan penelitian
Pada tahun 2013 muncul usulan dari beberapa negara anggota WHO yang mengusulkan
adanya strategi baru untuk mengendalikan TB yang mampu menahan laju infeksi baru,
mencegah kematian akibat TB, mengurangi dampak ekonomi akibat TB dan mampu
meletakkan landasan ke arah eliminasi TB.
Eliminasi TB akan tercapai bila angka insidensi TB berhasil diturunkan mencapai 1 kasus TB
per 1 juta penduduk, sedangkan kondisi yang memungkinkan pencapaian eliminasi TB (pra
eliminasi) adalah bila angka insidensi mampu dikurangi menjadi 10 per 100.000
penduduk. Dengan angka insidensi global tahun 2012 mencapai 122 per 100.000 penduduk
danpenurunan angka insidensi sebesar 1-2% setahun maka TB akanmemasuki kondisi pra
eliminasi pada tahun 2160. Untuk itu perlu ditetapkan strategi baru yang lebih komprehensif
bagi pengendalian TB secara global.
Pada sidang WHA ke 67 tahun 2014 ditetapkan resolusi mengenai strategi pengendalian TB
global pasca 2015 yang bertujuan untuk menghentikan epidemi global TB pada tahun 2035
yang ditandai dengan:
1. Penurunan angka kematian akibat TB sebesar 95% dari angka tahun 2015.
2.
BAB I
PENDAHULU
AN
3.
OAT
Pemenuhan kebutuhan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) merupakan tanggung jawab
pemerintah pusat. Kendala yang masih harus dihadapi adalah masih belum optimalnya
sistem manajemen mulai dari perencanaan, pengadaan, distribusi sampai kepada
dispensing obat kepada pasiendan pencatatan pelaporan. Kemampuan SDM dan sistem
manajemen OAT ditingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota harus ditingkatkan secara
terus menerus agar tidak terjadi kekurangan cadangan obat.
4.
Pembiayaan
Dalam era desentralisasi, pembiayaan program kesehatan termasuk pengendalian TB
sangat bergantung pada alokasi dari pemerintah pusat dan daerah. Alokasi APBD untuk
pengendalian TB secara umum rendah dikarenakan masih tingginya ketergantungan
terhadap pendanaan dari donor internasional dan banyaknya masalah kesehatan
masyarakat lainnya yang juga perlu didanai. Rendahnya komitmen politis untuk
pengendalian TB merupakan ancaman bagi kesinambungan program pengendalian TB.
Program pengendalian TB nasional semakin perlu penguatan kapasitas untuk melakukan
advokasi dalam meningkatkan pembiayaan dari pusat maupun daerah baik untuk
pembiayaan program maupun biaya operasional lainnya sesuai kebutuhan daerah. Saat
ini struktur pembiayaan yang tersedia lebih banyak terpusat kepada aspek kuratif
sedangkan pembiayaan untuk aspek promotif, preventif dan rehabilitatif masih sangat
kecil. Tantangan baru seberti TB resisten obat, epidemi ganda TB-HIV dan TB-DM juga
memerlukan dukungan pendanaan yang lebih besar.
5.
BAB II
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI
INDONESIA
1.
Beberapa masalah kesehatan akan memberi dampak negatif terhadap capaian program
TB di Indonesia seperti: meningkatnya laju epidemi HIV, besarnya populasi merokok,
angka prevalensi diabetes yang tinggi, permasalahan gizi buruk/ malnutrisi. Selain itu
beban TB yang tinggi juga menjadi penghambat tercapainya target kesehatan seperti
penurunan angka kematian ibu/ wanita hamildan anak.
BAB
II
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI
INDONESIA
10.
1.
E.
F.
Private Mix
) dan menjamin kepatuhan terhadap Standar Internasional
Penatalaksanaan
TB (International Standards for TB Care).
4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.
5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen program
pengendalian TB.
6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB
7. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis.
Strategi Nasional Program Pengendalian TB Nasional tahun 2015-2019 merupakan
pengembangan strategi nasional sebelumnya dengan beberapa pengembangan strategi
baru untuk menghadapi target dan tantangan yang lebih besar.
G.Kegiatan
1. Tatalaksana TBParipurna
a.
Promosi Tuberkulosis
b.
Pencegahan Tuberkulosis
c.
Penemuan pasien Tuberkulosis
d.
Pengobatan pasien Tuberkulosis
e.
Rehabilitasi pasien Tuberkulosis
2. Manajemen Program TB
a.
Perencanaan program pengendalian Tuberkulosis
b.
Monitoring dan evaluasi program pengendalian Tuberkulosis
c.
Pengelolaanlogistik program pengendalian Tuberkulosis
d.
Pengembangan ketenagaan program pengendalian Tuberkulosis
e.
Promosi program pengendalian Tuberkulosis.
3. Pengendalian TB Komprehensif
a.
Penguatan layanan Laboratorium Tuberkulosis;
b.
Public-Private MixTuberkulosis;
c.
Kelompok rentan: pasien Diabetes Melitus (DM), ibu hamil, gizi buruk;
d.
Kolaborasi TB-HIV;
e.
TB Anak;
f.
Pemberdayaan Masyarakat dan Pasien TB;
g.
Pendekatan praktis kesehatan paru (Practicle Aproach to Lung Health =PAL);
h.
Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat (MTPTRO)
i.
Penelitian tuberkulosis.
H.Organisasi Pelaksana
1. Aspek Manajemen Program TB
a.
Tingkat Pusat
Upaya pengendalian TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian
Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan forum kemitraan lintas sektor dibawah
koordinasi Menko Kesra. Menteri Kesehatan R.I. sebagai penanggung jawab teknis
upaya pengendalian TB.
BAB
II
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI
INDONESIA
11
b. Tingkat Propinsi
Di tingkat propinsi dibentuk Gerdunas-TB Propinsi yang terdiri dari Tim Pengarah dan
Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan daerah.
Dalam pelaksanaan program TB di tingkat propinsi dilaksanakan Dinas Kesehatan
Propinsi.
c. Tingkat Kabupaten/Kota
Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Gerdunas-TB kabupaten / kota yang terdiri dari Tim
Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan
kebutuhan kabupaten / kota.
Dalam pelaksanaan program TB di
DinasKesehatan Kabupaten/Kota.\
2.
tingkat
FKRTL dalam hal ini adalah fasilitas kesehatan RTL yang mampu memberikan
layanan TB secara menyeluruh mulai dari promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan
paliatif untuk kasus-kasus TB dengan penyulit dan kasus TB yang tidak bisa
ditegakkan diagnosisnya di FKTP.
Fasilitas kesehatan yang termasuk dalam FKRTL adalah RS Tipe C, B dan A, RS
Rujukan Khusus Tingkat Regional dan Nasional, Balai Besar Kesehatan Paru
Masyarakat (BBKPM)dan klinikutama.
12
BAB II
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI
INDONESIA
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari
satu bulan.
?
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain
TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat
prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke
fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang terduga pasien
TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
2.
Pemeriksaan dahak
b. PemeriksaanBiakan
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi
Mycobacterium tuberkulosis (M.tb)
dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal:
Pasien TB ekstra paru.
Pasien TB anak.
Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif.
Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya.
Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang
direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan untuk
memanfaatkan tes cepat tersebut.
3.
14
BAB III
1.
2.
18
BAB III
Tuberkulosis ekstraparu
:
Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe,
abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang.
Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan berdasarkan
penemuan Mycobacterium tuberculosis.
Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan
sebagai pasien TB ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.
b.
1.
TB
sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan ( dari
28 dosis).
2.
3.
c.
BAB
III
TATALAKSANA PASIEN
TUBERKULOSIS
19
Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi
dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat
dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas
dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada
pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.
Paduan OAT Kategori Anak
disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap
(OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket
untuk satu pasien.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan
untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa
pengobatan.
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT mempunyai beberapa
keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:
a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas
obat dan mengurangi efek samping.
b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
6.
24
BAB III
Tahap Intensif
Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56 hari
3 kali seminggu selama 16
RHZE (150/75/400/275)
minggu
2 tablet 4KDT
2 tablet 2KDT
3 tablet 4KDT
3 tablet 2KDT
4 tablet 4KDT
4 tablet 2KDT
5 tablet 4KDT
5 tablet 2KDT
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
Tablet
Tablet
kali
Rifampisin
Pirazinamid
@ 450 mgr
Jumlah
hari/
Kaplet
Etambutol
@ 500 mgr
@ 250 mgr
menelan
obat
Intensif
Lanjutan
b.
2 Bulan
1
1
3
3
56
4 Bulan
2
1
48
Kategori -2:2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya
(pengobatan ulang):
Pasien kambuh
Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya
Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)
30-37 kg
2 tab 4KDT
2 tab 4KDT
2 tab 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj.
+ 2 tab
38-54 kg
3 tab 4KDT
3 tab 4KDT
3 tab 2KDT
+ 750 mg Streptomisin inj.
+ 3 tab
55-70 kg
4 tab 4KDT
4 tab 2KDT
4 tab 4KDT
+ 4 tab
+ 1000 mg Streptomisin inj.
Etambutol
71 kg
5 tab 2KDT
5 tab 4KDT
5 tab 4KDT
+
5
tab
+ 1000mg Streptomisin inj.
( > do maks )
Etambutol
Tabel 8. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3
Pengobatan
Tahap
Awal
(dosis
harian)
Tahap
Lanjutan
(dosis 3x
semggu)
BAB
III
Tahap
Pengobatan
Lama
Isoniasid
@ 300mgr
Tablet
Kaplet
Rifampisin
@ 450 mgr
Tablet
Pirazinamid
@ 500 mgr
Tablet @
250 mgr
400 mgr
obat
2 bulan
1 bulan
1
1
1
1
3
3
3
3
0,75 gr
-
56
28
5 bulan
60
TATALAKSANA PASIEN
TUBERKULOSIS
25
Catatan:
7.
2.
26
BAB III
Lakukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah pemberian OAT tahap lanjutan
satu bulan. Apabila hasil pemeriksaan dahak ulang tetap positif, lakukan
pemeriksaan uji kepekaan obat.
Apabila tidak memungkinkan pemeriksaan uji kepekaan obat, lanjutkan
pengobatan dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke 5
(menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ).
Pada pasien dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan paduan
OAT kategori 2):
Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila tidak teratur,
diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur.
Pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR
Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB
MDR
Apabila tidak bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS
Pusat Rujukan TB MDR, segera diberikan dosis OAT tahap lanjutan (tanpa
pemberian OAT sisipan) dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke
5 (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ).
3.
Baik pada pengobatan pasien baru atau pengobatan ulang apabila hasil
BAB
III
TATALAKSANA PASIEN
TUBERKULOSIS
27
T
A
T
A
L
A
K
S
A
N
A
28
P
A
S
I
E
N
BAB III
T
U
B
E
R
K
U
L
O
S
I
S
BAB III
TA2
T
A 9
L
A
K
S
A
N
A
PA
SI
E
N
T
U
B
E
R
K
U
L
O
SI
S
c.
Tidak
dievaluasi
30
BAB III
1.
Persyaratan PMO
a. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
b. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
c. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
d. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien
2.
3.
pengobatan.
b. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
c. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan.
d. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai
gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit
PelayananKesehatan.
Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil
obat dari unit pelayanan kesehatan.
4.
e.
1.
BAB
III
TATALAKSANA PASIEN
TUBERKULOSIS
31
sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi
yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. Pemberian Piridoksin
50 mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang mendapatkan pengobatan TB,
sedangkan pemberian vitamin K 10mg/hari juga dianjurkan apabila Rifampisin
digunakan pada trimester 3 kehamilan menjelang partus. ( )
2.
3.
4.
a.
b.
c.
32
Hepatitis Kronis
Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis, pemeriksaan
fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan. Apabila hasil
pemeriksaan fungsi hati >3 x normal sebelum memulai pengobatan, paduan
OAT berikut ini dapat dipertimbangkan:
2 obat yang hepatotoksik
?
2 HRSE / 6 HR
?
9 HRE
1 obat yang hepatotoksik
?
2 HES / 10 HE
Tanpa obat yang hepatotoksik
?
18-24 SE ditambah salah satu golongan fluorokuinolon (ciprofloxasin
tidak direkomendasikan karena potensimya sangat lemah).
BAB III
Semakin berat atau tidak stabil penyakit hati yang diderita pasien TB,
harus menggunakan semakin sedikit OAT yang hepatotoksik
.
?
Konsultasi dengan seorang dokter spesialis sangat dianjurkan,
?
Pemantauan klinis dan LFT harus selalu dilakukan dengan seksama,
?
Pada panduan OAT dengan penggunaan etambutol lebih dari 2 bulan
diperlukan evaluasi gangguan penglihatan.
5.
2
3
4
KK (60 90 ml/menit)
KK (30 60 ml/menit)
KK (15 30 ml/menit)
Stadium 1-3
300 mg/hari <50 kg: 450
mg/hari
Rifampisin
50 kg: 600 mg/hari <50
kg: 1,5 g/hari
Pirasinamid
Stadium 4-5
Diberikan 3x/minggu
Dosis 300 mg/setiap pemberian
<50 kg: 450 mg/hari
50 kg: 600 mg/hari 2530
mg/kgBB/hari,
Diberikan 3x/minggu 1525
mg/kgBB/hari,
Diberikan 3x/minggu
50 kg: 2 g/hari
Etambutol
BAB
III
15 mg/kgBB/hari
TATALAKSANA PASIEN
TUBERKULOSIS
33
6.
7.
8.
34
Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (misalnya reseksi paru),
adalah:
a.
Untuk TB paru:
Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif.
Pasien TB MDR dengan kelainan paru yang terlokalisir.
b.
Untuk TB ekstra paru:
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien
TB tulang yang disertai kelainan neurologik.
BAB III
8.
)
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa mengalami efek
samping OAT yang berarti. Namun, beberapa pasien dapat saja mengalami efek
samping yang merugikan atau berat.
Guna mengetahui terjadinya efek samping OAT, sangat penting untuk memantau kondisi
klinis pasien selama masa pengobatan sehingga efek samping berat dapat segera
diketahui dan ditatalaksana secara tepat. Pemeriksaan laboratorium secara rutin tidak
diperlukan.
Petugas kesehatan dapat memantau terjadinya efek samping dengan cara mengajarkan
kepada pasien unuk mengenal keluhan dan gejala umum efek samping serta
menganjurkan mereka segera melaporkan kondisinya kepada petugas kesehatan. Selain
daripada hal tersebut, petugas kesehatan harus selalu melakukan pemeriksaan dan aktif
menanyakan keluhan pasien pada saat mereka datang ke fasyankes untuk mengambil
obat.
Efek samping yang terjadi pada pasien dan tindak lanjut yang diberikan harus dicatat
pada kartu pengobatannya.
Secara umum, seorang pasien yang mengalami efek samping ringan sebaiknya tetap
melanjutkan pengobatannya dan diberikan petunjuk cara mengatasinya atau pengobatan
tambahan untuk menghilangkan keluhannya.
Apabia pasien mengalami efek samping berat, pengobatan harus dihentikan sementara
dan pasien dirujuk kepada dokter atau fasyankes rujukan guna penatalaksanaan lebih
lanjut. Pasien yang mengalami efek samping berat sebaiknya dirawat di rumah sakit.
H.
R, Z
dengan
Penatalaksanaan
OAT ditelan malam sebelum tidur. Apabila
keluhan tetap ada, OAT ditelan dengan
sedikit makanan Apabila keluhan semakin
hebat disertai muntah, waspada efek
samping berat dan segera rujuk ke dokter.
Beri Aspirin, Parasetamol atau obat anti
radang non steroid
Nyeri Sendi
Kesemutan s/d rasa ter-
BAB
III
Z
Beri vitamin B6 (piridoxin) 50 75 mg per
tau tangan
h
a
r
i
R dosis
menggigil, lemas, sakit intermiten
kepala, nyeri tulang)
TATALAKSANA PASIEN
TUBERKULOSIS
35
Penyebab
H.
R, Z, S
S
diketemukan serumen)
Gangguan keseimbangan
S
Ikterus tanpa penyebab lain
H.
Penatalaksanaan
Ikuti petunjuk
penatalaksanaan dibawah*
S dihentikan
R, Z
Edihentikan.
Rdihentikan.
Bingung,mual muntah
Semua jenis
(dicurigai terjadi gangguan fungsi
OAT
hati apabia disertai ikterus)
Gangguan penglihatan
E
Purpura,renjatan (syok), gagal
R
ginjal akut
Penurunan produksi urine S
S dihentikan.
(
)
Apabila pasien mengeluh gatal tanpa
rash
dan tidak ada penyebab lain, dianjurkan
untuk
memberikan pengobatan simtomatis dengan antihistamin serta
pelembab kulit.
Pengobatan TB tetap dapat dilanjutkan dengan pengawasan ketat. Apabila kemudian
terjadi rash, semua OAT harus dihentikan dan segera rujuk kepada dokter atau fasyankes
rujukan. Mengingat perlunya melanjutkan pengobatan TB hingga selesai, di fasyankes
rujukan dapat dilakukan upaya mengetahui OAT mana yang menyebabkan terjadinya
reaksi dikulit dengan cara Drug Challengin :
Setelah reaksi dapat diatasi, OAT diberikan kembali secara bertahap satu persatu
dimulai dengan OAT yang kecil kemungkinannya dapat menimbulkan reaksi ( H atau R
) pada dosis rendah misal 50 mg Isoniazid.
Dosis OAT tersebut ditingkatkan secara bertahap dalam waktu 3 hari. Apabila tidak
timbul reaksi, prosedur ini dilakukan kembali dengan menambahkan 1 macam OAT lagi.
Jika muncul reaksi setelah pemberian OAT tertentu, menunjukkan bahwa OAT yang
diberikan tersebut adalah penyebab terjadinya reaksi pada kulit tersebut.
Apabila telah diketahui OAT penyebab reaksi dikulit tersebut, pengobatan dapat
dilanjutkan tanpa OAT penyebab tersebut.
**Penatalaksanaan pasien dengan
drugs induced hepatitis
)
Dalam uraian ini hanya akan disampaikan tatalaksana pasien yang mengalami keluhan
gangguan fungsi hati karena pemberian obat (
drugs induced hepatitis ). Penatalaksanaan
pasien dengan gangguan fungsi hati karena penyakit penyerta pada hati, diuraikan dalam
uraian Pengobatan pasien dalam keadaan khusus.
OAT lini pertama yang dapat memberikan gangguan fungsi hati adalah : H, R dan Z.
Sebagai tambahan, Rifampisin dapat menimbulkan ikterus tanpa ada bukti gangguan
36
fungsi hati. Penting untuk memastikan kemungkinan adanya faktor penyebab lain
sebelum menyatakan gangguan fungsi hati yang terjadi disebabkan oleh karena paduan
OAT.
BAB III
1.
BAB
III
TATALAKSANA PASIEN
TUBERKULOSIS
37
sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas,
karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.
BAB
IV
TATALAKSANA TB PADA
ANAK (16)
39
1.
40
BAB IV
dapat menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah diperlukan ketelitian
dalam menilaigejala klinis pada pasien maupun hasilfoto toraks.
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak
adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji tuberkulin/
mantoux
test.
Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU. Namun uji
tuberkulin belum tersedia di semua fasilitas pelayanan kesehatan.
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks. Namun
gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain.
Dengan demikian pemeriksaan
foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk
mendiagnosis TB,kecuali gambaran TB milier.
BAB
IV
TATALAKSANA TB PADA
ANAK (16)
41
Anak 0 14 th
Sistem Skoring
Skor> 6
Skor = 6
Didapat dari
parameter uji
tuberkulin (+)
atau kontak
Skor< 6
Infeksi laten
TB
Didapat dari
parameter uji
tuberkulin (+) Pertimbangan
Bukan
dengan gejala
klinis lain
dan kontak;
dokter(**)t
klinis lain
TB ANAK
Evaluasi 2 bulan terapi
Perbaikan
Lanjutkan
terapi
Umur 5
T
i
Evaluasi, rujuk
bila perlu
Umur< 5 th
PP INH
PP INH
Keterangan :
(*)
(**)
Pertimbangan dokter untuk mendapatkan terapi TB anak pada skor < 6 bila
Observasi
ditemukan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif disertai dengan 2 gejala klinis
lainnya pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin
BAB
IV
TATALAKSANA TB PADA
ANAK (16)
43
j.
Paduan OAT Kategori Anak dan peruntukannya secara lebih lengkap sesuai dengan
tabel berikut ini:
Tabel 17:OAT Kategori AnakdanPeruntukannya
Jenis TB
TB Ringan
OAT Tahap
Awal
Lama
Pengobatan
-
2HRZ
4HR
Efusi Pleura TB
TB BTA positif
TB paru dengan tandatanda kerusakan luas: 4 mgg dosis penuh,
TB milier
TB+destroyed
lung
Meningitis TB
Peritonitis TB
Perikardistis TB
Skeletal TB
2HRZE
7-10HR
kemudian tappering
off.
4 mgg dosis penuh,
kemudian tappering
off.
2
mgg dosis penuh,
kemudian tappering
2HRZ+E atau
S
tappering
bulan
-
9-12
bulan
12 bulan
10HR
2 mgg dosis penuh,
kemudian tappering
off.
-
46
BAB IV
2.
OAT Kategori Anak kemasan Kombinasi dosis tetap (KDT) OAT (FDC=Fixed Dose
Combination)
Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat,
paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu
pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif,
yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase
lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat
dilihat pada tabel berikut.
bulan
4
b
u
l
a
n
RHZ (75/50/150)
2 bulan
(RH (75/50)
5-7
(kg)
8-11
3.
1 tablet
4 bulan
RHZ (75/50/150)
2 tablet
2 bulan5-7
1 tablet
(RH
(75/50)
1 tablet
3 tablet
4 tablet
1 tablet
5
2 tablet
12-16
1 tablet
(kg)
3 tablet
17-22
4 tablet
5-7
1 tablet
23-30
5
8-11
2 tablet
Keterangan: BB >30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa.
12-16
3 tablet
3
23-30
5
tablet
4
17-22
4 tablet
tablet
tablet
Keterangan: BB >30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa.
Keterangan:
R=Rifampisin; H=Isoniasid; Z=Pirazinamid
23-30
55
tablet
5 tablet
Bayi di bawah
kg diberikan
pemberian
OAT secara
terpisah, tidak
dalam
bentuk kombinasi
Keterangan:
BB >30
kg
6 tablet
atau menggunakan
KDT
dewasa.
dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan
Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan, menyesuaikan
Keterangan:
R=Rifampisin; H=Isoniasid; Z=Pirazinamid
berat badan saat itu
dosis
dianak
bawah
5 kg pemberian
OAT
secara
terpisah,
dalam
kombinasi
Bayi
Untuk
dosis
KDT
Berattidak
Badan
idealbentuk
(sesuai
umur).
tetap,
danobesitas,
sebaiknya
dirujuk
kemenggunakan
RS
rujukan
Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran
digerus)
Apabila
ada kenaikan
BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan, menyesuaikan
OAT KDT
beratharus
badandiberikan
saat itu secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh
Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable ), atau
Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai umur).
dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran
Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan
OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh digerus)
Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh
Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable ), atau
digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer
dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan
Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh
Pengobatan ulang TB pada anak
digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer
Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan keluhan
gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar-benar menderita TB. Evaluasi
dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan
sistem skoring harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil
pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus
Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan
untuk dilakukanuji tuberkulin ulang.
BAB
IV
TATALAKSANA TB PADA
ANAK (16)
47
Umur
HIV
Hasil pemeriksaan
Balita
(+)/(-)
Balita
Infeksi laten TB
(+)/(-)
(+)
> 5 th
> 5 th
> 5 th
> 5 th
(+)
Seh
Infeks
Sehat
INH profilaks
(-)
Infeksi
laten TB
(-)
Sehat
Observasi
Keterangan
Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis
10 mg/kgBB (7-15 mg/kg)
setiap hari selama 6 bulan.
Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan
pemantauan terhadap adanya gejala TB. Jika terdapat gejala
TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus
segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB,
pengobatan harus segera ditukar keregimen terapi TB anak
dimulai dari awal
Jika PP-INH selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6
bulan pemberian), maka pemberian INHdapat dihentikan.
Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG,
perlu diberikan BCG setelah PP-INH selesaidiberikan.
A.
DefenisiTB Resistan
Obat.
r
a
t
d
s
s
d
O
i
s
k
a
T
TB Resistan Obat adalah B
R
keadaan di m
s
dibunuh dengan obat antis
a
TB (OAT). Terdapat 5R
f
kategori
resistansim
p
terhadap O
s
1. Monoresistance:
n
resistan terhadap sa
(
2. Polyresistance:
B
resistan terhadap le
R
dan rifampisin (R), R
misalnya resistan (RE), .
isoniazid
etambutol R
dan strepto (RES).
t
3. Multi Drug
t
Resistance(MDR): resis d
tanpa OAT lini pertama r
p
yang lain, misa
4. Extensively Drug (
o
Resistance(XDR):
TB
MDR
disertai t
1.
50
Tujuan.
BAB IV
Tujuan program
MTPTRO adalah m
MDR dan memutus
rantai penularan
mengobati sampai
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
s
h
s
p
a
g
gi
B
tu
u
g
ra
p
si
tu
ya
uk
ai
n
or
ri
al,
B
b
B
53
D.
a.
Catatan:
Untuk pasien yang mempunyai risiko TB MDR rendah (diluar 9 kriteria terduga TB
Resistanobat), jika pemeriksaan GeneXpert memberikan hasil Rifampisin Resistan, ulangi
pemeriksaan GeneXpert 1 (satu) kali lagi dengan spesi mendahak yang baru. Jika terdapat
perbedaan hasil pemeriksaan, maka hasil pemeriksaan yang terakhir yang dijadikan acuan
untuktindaklanjutberikutnya.
56
BAB V
f.
Tes
pendengaran
(pemeriksanaan
audiometri)
g. Pemeriksaan
EKG
h. Tes HIV (bila
status HIV belum
diketahui)
Pemantauan
yang
dilakukan
selama
p
pemantauan
laboratorium
seperti pada
meng
dema
pada
Konv
Defin
adala
30 ha
2.
Evaluasi Utama
P
e
Sa
e
ti
Km Lfx Eto Cs Z
(E) / LfxEtoCs Z(E)
Ev
alu
asi
Pe
nu
nja
ng
Eva
lua
si
klin
is
(ter
ma
suk
BB)
Uji
kep
eka
an
obat
Foto
tora
k
s
1
-
m
i
n
g
g
2.
3.
Ele
ktr
olit
(N
a,
Kal
iu
m,
Cl)
EKG
Thyroid
stimulatin
g hormon
(TSH)
Enzim
hepar
(SGOT,
SGPT)
Tes
kehamila
n
ar
d
a
r
g
u
l
a
e
n
p
A
di
m
et
ri
K
b. Paduan standar ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB RR/MDR
F.
T
e
st
H
IV
Eval
uasi Akhir
Pengobatan
TB MDR.
tanpa bukti
2
terdapat
.
kegagalan, dan
b. Hasil biakanP
telah negatif minima e
minimal30 hari n
selama fase lanjuta g
obatan Lengkap
Pasien yang telah menyelesaikan pe
3.
Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB MDR
Selama menjalani pengobatan, pasien harus
dipantau secara ketat untuk menilai respons
pengobatan dan mengidentifikasi efek samping sejak
dini. Gejala TB (batuk, berdahak, demam dan BB
menurun) pada umumnya membaik dalam beberapa
bulan pertama pengobatan. Konversi dahak dan
biakan merupakan indikator respons pengobatan.
Definisi konversi biakan adalah pemeriksaan
biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan
30 hari menunjukkan hasil negatif.
58
BAB
V
tetapi tidak
memenuhi definisi
sembuh
3.
Meninggal
Pasien meninggal
karena sebab apap
2. Kelompok kerja atau forum komunikasi dibentuk pada tingkat Nasional, Provinsi dan
3. Diperlukan keterlibatan lebih banyak komunitas dan LSM dalam program TB dan
HIV/AIDS guna meningkatkan jangkauan dan cakupan penemuan kasus TB-HIV secara
signifikan.
kolaborasi TB-HIV yangoptimal dalam menetapkan peran dan tanggung jawab masingmasing program meliputi pelaksanaan, perluasan layanan, serta monitoring dan evaluasi
aktivitas kolaborasi TB-HIV disetiap tingkatan
5. Surveilans TB-HIV di Indonesia saat ini dilakukan dengan menggunakan data rutin yang
dikumpulkan dari layanan yang sudah melaksanakan kegiatan kolaborasi TB-HIV baik
dari layanan TB dan HIV dengan menggunakan SITT untuk program TB dan SIHA untuk
program HIV. Survei periodik dan survei sentinel dapat dilakukan bila diperlukan.
7. Semua pasien koinfeksi TB-HIV sesegera mungkin dilakukan inisiasi ART tanpamenilai
jumlah CD4, setelah pengobatan TB dapat ditoleransi.
BAB
VI
KEGIATAN KOLABORASI
TB/HIV (15)
63
ekstraparu sesuai dengan organ yang terkena misalnya TB pleura, TB perikard, TB milier,
TB susunan saraf pusat dan TB abdomen.
Diagnosis TB pada ODHA
Penegakkan diagnosis TB paru pada ODHA tidak terlalu berbeda dengan orang dengan HIV
negatif. Penegakan diagnosis TB pada umumnya didasarkan pada pemeriksaan
mikroskopis dahak namun pada ODHA dengan TB seringkali diperoleh hasil dahak BTA
negatif. Di samping itu, pada ODHA sering dijumpai TB ekstraparu di mana diagnosisnya
sulit ditegakkan karena harus didasarkan pada hasil pemeriksaan klinis, bakteriologi dan
atau histologi yang didapat dari tempat lesi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada
alur diagnosis TB pada ODHA, antara lain:
Pemeriksaan mikroskopis dahak pada ODHA sering memberikan hasil negatif, sehingga
penegakkan diagnosis TB dengan menggunakan tes cepat dengan Xpert MTB/Rif perlu
dilakukan. Pemeriksaan tes cepat dengan Xpert MTB/Rif juga dapat mengetahui adanya
resistensi terhadap rifampisin, sehingga penatalaksanaan TB pada ODHA tersebut bisa
lebih tepat. Jika fasilitas memungkinkan, pemeriksaan tes cepat dilakukan dalam waktu
yang bersamaan(paralel)dengan pemeriksaan mikroskopis.
Jika sarana pemeriksaan biakan dahak tersedia maka ODHA yang BTA negatif, sangat
dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat membantu
untuk konfirmasi diagnosis TB.
Penggunaan antibiotik dengan maksud sebagai alat bantu diagnosis seperti alur
diagnosis TB pada orang dewasa dapat menyebabkan diagnosis dan pengobatan TB
terlambat sehingga dapat meningkatkan risiko kematian ODHA. Oleh karena itu,
pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasilagi.
Namun antibiotik perlu diberikan pada ODHA dengan IO yang mungkin disebabkan oleh
infeksi bakteri lain bersama atau tanpa M.tuberculosis. Jadi,maksud pemberian antibiotik
tersebut bukanlah sebagai alat bantu diagnosis TB tetapi sebagai pengobatan infeksi
bakteri lain. Jangan menggunakan antibiotik golongan fluorokuinolonkarena memberikan
respons terhadap M.tuberculosis dan dapat memicu terjadinya resistensi terhadap obat
tersebut.
BAB
VI
KEGIATAN KOLABORASI
TB/HIV (15)
65
E.
F.
G.
H.
I.
BAB VII
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS
Penularan utama TB adalah melalui cara dimana kuman TB ( Mycobacterium tuberculosis
)
tersebar melalui diudara melalui percik renik dahak saat pasien TB paru atau TB laring batuk,
berbicara, menyanyi maupun bersin. Percik renik tersebut berukuran antara 1-5 mikron
sehingga aliran udara memungkinkan percik renik tetap melayang diudara untuk waktu yang
cukup lama dan menyebar keseluruh ruangan. Kuman TB pada umumnya hanya ditularkan
melalui udara, bukan melalui kontak permukaan.
Infeksi terjadi apabila seseorang yang rentan menghirup percik renik yang mengandung kuman
TB melalui mulut atauhidung, saluran pernafasan atas, bronchus hingga mencapai alveoli.
Mencegah penularan tuberkulosis pada semua orang yang terlibat dalam pemberian pelayanan
pada pasien TB harus menjadi perhatian
utama. Penatalaksanaan Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi (PPI) TB bagi petugas kesehatan sangatlah penting peranannya untuk
mencegah tersebarnya kuman TB ini.
A.
1.
72
Pengendalian Manajerial.
Pihak manajerial adalah pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Kepala Dinas
Kesehatan Propinsi dan Kabupaten /Kota dan/atau atasan dari institusi terkait.
Komitmen, kepemimipinan dan dukungan manajemen yang efektif berupa penguatan dari
upaya manajerial bagi program PPI TB yang meliputi:
a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB
b. Membuat SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan dan
surveilans
c. Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif
BAB VII
Petugas surveilans batuk segera mengarahkan pasien yang batuk ke tempat khusus
dengan area ventilasi yang baik, yang terpisah dari pasien lain,serta diberikan masker.
Untuk alasan kesehatan masyarakat, pasien yang batuk harus didahulukan dalam
antrian (prioritas).
3.
Pengendalian Lingkungan.
Adalah upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi dengan menggunakan
teknologi untuk mencegah penyebaran dan mengurangi/ menurunkan kadar percik renik
di udara. Upaya pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik kearah
tertentu (
directional airflow
) dan atau ditambah dengan radiasi ultraviolet sebagai
germisida.
Sistem ventilasi ada 2 jenis, yaitu:
a. Ventilasi Alamiah
b. Ventilasi Mekanik
c. Ventilasi campuran
Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan setempat.
Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi suatu fasyankes berdasarkan kondisi lokal yaitu
struktur bangunan, iklim-cuaca, peraturan bangunan, budaya, dana dan kualitas udara
luar ruangan serta perlu dilakukan monitoring dan pemeliharaan secara periodik.
4.
74
BAB VII
Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika berada bersama
pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB tidak perlu menggunakan
respirator tetapi cukup menggunakan masker bedah untuk melindungi lingkungan
sekitarnya dari droplet.
Gambar 6: Jenis respirator untuk petugas kesehatan
BAB
VII
75
BAB VIII
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses universal terhadap
layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan upaya yang sistematis melibatkan secara
aktif seluruh penyedia layanan kesehatan oleh karena itu perlu pelibatan semua fasilitas
layanan kesehatan.
Public Private Mix
(bauran layanan pemerintah-swasta), adalah pelibatan semua fasilitas
layanan kesehatan dalam upaya ekspansi layanan pasien TB dan kesinambungan program
pengendalian TB dengan pendekatan secara komperhensif.
PPM( Public Private Mix)meliputi:
Hubungan kerjasama pemerintah-swasta, seperti: kerjasama program pengendalian TB
dengan faskes milik swasta, kerjasama dengan sektor industri/perusahaan/tempat kerja,
kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Hubungan kerjasama pemerintah-pemerintah, seperti: kerjasama program pengendalian TB
dengan institusi pemerintah Lintas Program/Lintas Sektor, kerjasama dengan faskes milik
pemerintahtermasuk faskes yang ada di BUMN, TNI, POLRI dan lapas/rutan.
Hubungan kerjasama swasta-swasta, seperti: kerjasama antara organisasi profesi dengan
LSM, kerjasama RS swasta dengan DPM, kerjasama DPM dengan laboratorium swasta dan
apotik swasta.
Sehubungan dengan berlakunya Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) yang dimulai
Januari tahun 2014, maka pemberian layanan TB tanpa penyulit dilakukan di FKTP,
sedangkan untuk TB dengan penyulit atau yang memerlukan pemeriksaan diagnosis lanjutan
dilakukan diFKRTL.
A.
Tujuan
Tujuan PPM adalah menjamin ketersediaan akses layanan TB yang merata, bermutu dan
berkesinambungan bagi masyarakat terdampak TB untuk menjamin kesembuhan.
76
BAB VIII
2.
Strategi PPM
Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses universal
terhadap layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan upaya yang sistematis
melibatkan secara aktif seluruh penyedia layanan kesehatan, sehingga diharapkan
peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan DOTS yang lebih luas dengan penekanan
pada pendekatan penguatan sistem yang dicerminkan dalam 6 pilar Public Private Mix
(PPM), yaitu :
a.
Pilar 1 :PelayananDOTS Dasar di Puskesmas,
b.
Pilar 2 : Pelayanan DOTS di RS publik/swasta,
c.
Pilar 3 : Pelayanan DOTS oleh DP mandiri dan spesialis,
d.
Pilar 4 : Diagnosis TB yang berkualitas,
e.
Pilar 5 : OAT dan penggunaan secara rasional,
f.
Pilar 6 : Penguatan sistim komunitas.
C.Penerapan PPM
Penerapan PPM dilaksanakan di setiaptingkat, yaitu:
1. Tingkat Nasional
2. Tingkat Provinsi
3. Tingkat Kabupaten/Kota
1. Tingkat Nasional
2. Tingkat Provinsi
Di tingkat provinsi dibentuk tim PPM yang terdiri dari dinas kesehatan, perhimpunan
profesi, serta pemangku kepentingan lain, yaitu: LSM, organisasi keagamaan, tempat
kerja, lapas/rutan. Pembentukan Tim PPM tingkat provinsi dimaksudkan agar dapat
melakukan pembinaan aspek program/kesehatan masyarakat maupun aspek profesi di
tingkat kabupaten/kota.
3. Tingkat kabupaten/kota
a.
BAB
VIII
77
1.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengkoordinir penerapan pilar ke 3 melalui pendekatanpendekatan sebagai berikut:
78
BAB VIII
1.
d.
e.
f.
BAB
VIII
79
BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
Diagnosis TB melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak merupakan metode baku emas
( gold standard). Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu lebih lama (paling cepat sekitar
6 minggu) dan memerlukan fasilitas sumber daya laboratorium yang memenuhi standar .
Pemeriksaan 3 contoh uji (SPS) dahak secara mikroskopis nilainya identik dengan
pemeriksaan dahak secara kultur atau biakan. Pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan
pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, bersifat spesifik, sensitif dan hanya dapat
dilaksanakan di semua unit laboratorium. Untuk mendukung kinerja penanggulangan TB,
diperlukan manajemen yang baik agar terjamin mutu laboratorium tersebut.
Manajemen laboratorium TB meliputi beberapa aspek yaitu; organisasi pelayanan laboratorium
TB, sumber daya laboratorium, kegiatan laboratorium, pemantapan mutu laboratorium TB,
keamanan dan kebersihan laboratorium, dan monitoring (pemantauan) dan evaluasi.
A.
82
BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM
TUBERKULOSIS
b.
c.
d.
BAB
IX
MANAJEMEN LABORATORIUM
TUBERKULOSIS
83
c.
Laboratorium biakan
Laboratorium biakan adalah laboratorium yang melaksanakan pemeriksaan biakan
M.
tuberculosis sesuai standar dan memenuhi indikator kinerja laboratorium biakan TB.
Pencatatan pelaporan wajib dilaksanakan oleh laboratorium biakan TB dan indikator
kinerja laboratorium ini dilaporkan kepada Laboratorium Rujukan Regional dan LRN.
Laboratorium ini memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:
1.
Melaksanakan pelayanan pemeriksaan biakan dan identifikasi parsial NTM
2.
Mengirimkan isolat biakan ke Laboratorium Rujukan Regional
3.
Mengikuti pemantapan mutu oleh LRN
4.
Berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi terkait dengan tugasnya
sebagai Laboratorium rujukan biakan provinsi
d.
e.
1.
Peran
2.
Tugas Pokok
a. Pemetaan distribusi, jumlah dan kinerja laboratorium biakan dan uji kepekaan
TB
BAB
IX
MANAJEMEN LABORATORIUM
TUBERKULOSIS
85
Jenderal Bina Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas pokok
sebagai berikut:
1.
Peran
2.
3.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Tugas Pokok
Melaksanakan penelitian operasional TB
Melaksanakan pemeriksaan molekuler, serologi dan MOTT.
Melaksanakan evaluasi/validasi teknologi baru.
Melaksanakan pelatihan dan evaluasi pasca pelatihan teknologi baru
Melaksanakan PME untuk teknologi baru
Bekerjasama dalam jejaring laboratorium TB internasional.
Tanggungjawab
Memastikan semua kegiatan laboratorium rujukan TB nasional sebagai penelitian
operasional TB, pemeriksaan molekuler, serologi dan MOTT berjalan sesuai peran
dan tugas pokok.
a.
BAB
IX
MANAJEMEN LABORATORIUM
TUBERKULOSIS
87
1.
2.
Kegiatan PME
Kegiatan PME laboratorium TB dilakukan melalui:
a.
PME Mikroskopis
3.
90
BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM
TUBERKULOSIS
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK
PROGRAM PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis (P2TB) merupakan komponen yang
penting dalam program pengendalian TB agar kegiatan program dapat dilaksanakan,
baik di Pusat dan Dinas Kesehatan maupun di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
(Fasyankes).
Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan logistik P2TB dengan baik sehingga
ketersediaan dan kualitasnya terjamin.
A.Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis.
1. Pengertian Logistik P2TB.
Logistik P2TB adalah seluruh rangkaian proses pengelolaan logistik P2TB mulai
dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian dan penggunaan
bahan dan alat kesehatan untuk menunjang kegiatan P2TB, mulai dari proses
penegakan diagnosis sampai dengan pasien menyelesaikan pengobatannya.
Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah semua jenis OAT yang digunakan
untuk mengobati pasien TB dan TB resistan obat.
Logistik Non OAT adalah semua jenis bahan dan alat kesehatan selain OAT yang
digunakan untuk mendukung tatalaksana pasien TB dan TB resistan obat.
1.
91
kemasan, yaitu:
kemasan Kombinasi Dosis Tetap (KDT)/Fix Dose
Combination (FDC) dan kemasan Kombipak.
Paket OAT KDT/FDC adalah paket OAT yang dalam setiap tablet OAT-nya
telah ada seluruh/beberapa jenis OAT yang digunakan untuk paduan
pengobatan TB. Dimana P2TB pada paket OAT KDT-nya menggunakan
4KDT/4FDC dan 2KDT/2FDC.
Paket Kombipak adalah paket OAT dimana tablet OAT-nya masih lepasan
dari setiap jenis OAT yang digunakan untuk paduan pengobatan TB.
Baik paket OAT KDT/FDC maupun paket OAT Kombipak, tablet OAT-nya
dikemas dalam bentuk blister.
Paduan paket OAT yang saat ini disediakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis adalah:
: 2(HRZE)/4(HR)3
Paket KDT OAT Kategori 1
:
2(HRZE)S/
Paket KDT OAT Kategori 2
(HRZE)/5(HR)3E3
Paket KDT OAT Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR)
Paket Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R3
Paket Kombipak Kategori Anak : 2HRZ/4HR
2.
Dosis
Bentuk
92
Kanamycin (Km)
Capreomycin (Cm)
Levofloxacin (Lfx)
Moxifloxacin (Mfx)
Ethionamide (Eto)
Cycloserin (Cs)
Para Amino Salicylic (PAS)
Pirasinamid (Z)
1000 mg
1000 mg
250 mg
400 mg
400 mg
250 mg
2g
500 mg
vial
vial
tablet
tablet
tablet
kapsul
sachet
tablet
Etambutol (E)
400 mg
tablet
BAB X
b.
2.
93
I
distribusi
n
permintaan
Dinkes Kab/kota
permintaan
I
n
distribusi
Fasyankes
Klinik Swasta
Keterangan:
Alur distribusi OAT
Alur permintaan dan pelaporan OAT
Keterangan:
Untuk Dokter Praktek Mandiri (DPM) dan klinik akan memperoleh logistik
melalui Puskesmas yang membina wilayah dimana DPS/Klinik tersebut berada.
Jejaring pengelolaan logistik TB Resisten Obat di fasyankes, baik OAT
maupun Non OAT Resistan Obat adalah seperti gambar dibawah ini:
94
BAB X
97
I
n
I
n
Instalasi Farmasi
Faskes Sub Rujukan
Keterangan:
Alur Distribusi OAT
Alur Permintaan dan Pelaporan OAT
F
Faskes Satelit
Keterangan:
Fasyankes Rujukan TB MDR memperoleh logistik TB Resistan Obat, baik obat
maupun non obat dari Dinas Kesehatan Provinsi. Sedangkan untuk fasyankes
satelit memperoleh logistik dari fasyankes rujukannya.
B.Pengelolaan Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis.
Pengelolan logistik P2TB merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan
untuk menjamin agar logistik P2TB tersedia di setiap layanan pada saat dibutuhkan
dengan jumlah yang cukup dan kualitas yang baik. Kegiatan pengelolaan logistik
P2TB dilakukan mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan,
pendistribusian, sampai dengan penggunaan, serta adanya sistim manajemen
pendukung. Hal ini dapat dilihat pada siklus pengelolaan logistik dibawah ini.
BAB
X
95
f.
a.
Perencanaan OAT
Perencanaan kebutuhan OAT menggunakan dua pendekatan yaitu metode
konsumsi dan
metode
morbiditas. Metode konsumsi adalah proses
penyusunan
kebutuhan berdasarkan pemakaian
tahun sebelumnya,
sedangkan metode morbiditas adalah proses penyusunan kebutuhan
berdasarkan perkiraan jumlah pasien yang akan diobati (insidensi) sesuai
dengan target yang direncanakan.
Perencanaan OAT P2TB yang digunakan merupakan gabungan dari kedua
pendekatan metode konsumsi dan morbiditas. Perencanaan kebutuhan setiap
jenis/kategori OAT didasarkan target penemuan kasus, dengan
memperhitungkan proporsi tipe penemuan pasien tahun lalu, jumlah stok yang
ada dan masa tunggu (
lead time).
b.
1.
2.
BAB
X
97
2.
a. Pengadaan OAT
98
b.
BAB
X
99
4.
100 BAB X
BAB
X
10 3
BAB XI
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Pencapaian target global TB menjadi lebih menantang sehubungan dengan isu-isu seperti
HIV/AIDS,TB-MDR,
TB-Infection Control
(TB-IC) danlain-lain. Demikian juga isu desentralisasi
di bidangkesehatantelah meningkatkankompleksitastantangan untukpengembangansumber
daya manusia (SDM). Turnover
staf yang tinggi dan distribusi staf yang tidak merata di
provinsi/kabupaten/kota mengakibatkan permintaan lebih tinggi terhadap ketersediaan tenaga
yang terampil.
Pengembangan sumber daya manusia (SDM) dalam Program Pengendalian Tuberkulosis
(P2TB) bertujuan untuk menyediakan tenaga pelaksana program yang memiliki keterampilan,
pengetahuan dan sikap (dengan kata lain kompeten) yang diperlukan dalam pelaksanaan
program TB, dengan jumlah yang memadai pada tempat yang sesuai dan pada waktu yang
tepat sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan program TB nasional. Untuk menjamin
ketersediaan tenaga yang kompeten ini, kontribusi terhadap sistem pengelolaan SDM TB yang
terintegrasi sangat diperlukan misalnya perencanaan SDM TB yang memadai, pola rekrutmen
yang baik, distribusiyang merata dan retensi SDM TB yang terlatih.
Di dalam bab ini istilah pengembangan SDM merujuk kepada pengertian yang lebih luas, tidak
hanya yang berkaitan dengan pelatihan tetapi keseluruhan manajemen pelatihan dan kegiatan
lain yang diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang pengembangan SDM yaitu
tersedianya tenaga yang kompeten dan profesional dalam Pengendalian TB.
Bab ini akan membahas 3 hal kegiatan pokok yang sangat penting dalam pengembangan SDM
untuk mendukung tercapainya tujuan program yaitu perencanaan ketenagaan Program TB,
peran SDM TB dalam Pengendalian TB, pelatihan dan evaluasi paska pelatihan TB.
A.
104
BAB XI
2.
b.
c.
BAB
XI
10 5
Masyarakat
Laboratorium
Staf
Lab TB nasional
Intermediate
analis
BTA,
uji
TB Laboratory)
Analis
Petugas lab
C.PelatihanProgram Pengendalian TB
Pelatihan merupakan salah satu upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan
petugas dalam rangka meningkatkan kompetensi dan kinerja petugas. Kegiatan pelatihan ini
dapat dilakukan secara konvensional dengan klasikal dan pelatihan jarak jauh
(LJJ)/distance learning.
Pelatihan Program TB di Indonesia dilaksanakan secara berjenjang yaitu dimulai sejak
pembentukan
Master Trainer/Pelatih Utama TB, kegiatan
Training of Trainers
(TOT)
sampai
pelatihan untuk petugas kesehatan dan manajer yang terlibat dalam Pengendalian TB.
Namun, pengalaman menunjukkan bahwa peningkatan pelaksanaan pelatihan diikuti juga
dengan meningkatnya perhatian terhadap peningkatan kualitaspelatihan.
108
BAB XI
3.
2AFEKTIF
Studi kasus
Wawancara dengan pihak ketiga
Kuestioner
3PSIKOMOTOR
Observasi
Cek dokumen
BAB
XI
11 3
BAB XII
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI
KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih merupakan permasalahan kesehatan di masyarakat,
bukan hanya karena TB adalah penyakit menular, namun ada hubungan TB dengan penyakit
tidak menular lainnya seperti pada Diabetes Mellitus, penyakit akibat rokok, alkhohol,
pengguna narkoba dan malnutrisi. TB sebagian besar menyerang pada usia produktif dan
masyarakat dengan sosial ekonomi yang kurang menguntungkan. TB menjadi penyebab
tersering untuk kesakitan dan kematian pada Orang dengan HIV AIDS. TB sering dihubungkan
dengan kemiskinan, lingkungan yang kumuh, padat dan terbatasnya akses untuk perilaku
hidup bersih dan sehat. Wanita hamil dan anak anak juga sangat rentan terkena TB.
Sebanyak 1/3 kasus TB masih belum terakses atau dilaporkan. Bahkan sebagian besar kasus
TB terlambat ditemukan sehingga saat diagnosa ditegakkan mereka sudah dalam tahap lanjut
bahkan kuman telah resistan obat sehingga suit untuk diobati. Keterlambatan pengobatan ini
bermakna karena menunjukkan lebih banyak lagi penduduk yang sudah terpapar TB.
Kesadaran masyarakat untuk mencari pengobatan secara dini sangatlah penting, oleh sebab
itu diperlukan peran serta masyarakat.dan strategi kunci untuk dapat menemukan sepertiga
kasus TB yang hilang dan tidak terlaporkan serta untuk menjangkau kasus TB pada kelompok
rentan adalah dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam program pengendalian TB.
A.
114
BAB
XII
3.
TE S
RLIY
BA A
TA R
N A
MA K
15
E.
2.
F.
Mengurangi stigma.
116
BAB
XII
2.
3.
4.
selama ini terlibat dalam Program kesehatan bukan TB, misalnya organisasi
kemasyarakatan dalam kesehatan Anak, HIV/AIDS, dll.
Memperluas (Expand).
a.
Melibatkan dan Mengembangkan cakupan program organisasi kemasyarakatan
yang sudah terlibat dalam program pengendalian TB untuk menjangkau populasi
khusus misalnya, pekerja pabrik, sekolah, asrama, Lapas/Rutan, dan pekerja seksual.
b.
Meningkatkan dan memperkuat pelibatan pasien dan mantan pasien TB
dalam program pengendalian TB berbasis komunitas untuk membantu penemuan
terduga TB dan TB resistan obat serta pendampingan dalam pengobatannya.
Mempertegas (Emphasize).
Mempertegas fungsi dari Organisasi kemasyarakatan untuk penemuan terduga TB dan
TB resistan obat dan pendampingan dalam pengobatannya. Pemetaan peran, potensi
dan fungsi dari masyarakat dan organisasi kemasyarakatan adalah penting agar kegiatan
yang dilakukan tidak tumpang tindih dan kontribusi dari masing-masing organisasi
kemasyarakatan dapat diidentifikasi.
Menghitung (Enumerate).
Menghitung kontribusi organisasi kemasyarakatan dalam program pengendalian TB
berbasis komunitas dengan melakukan monitoring dan evaluasi melalui sistem
pencatatan dan pelaporan standar berdasarkan indikator-indikator yang telah ditetapkan.
terhadap program
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
ET A
ER R
LIBA
AT K
AN A
MA T
SY
17
A.
Surveilans Tuberkulosis
Surveilans TB adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari pengumpulan data penyakit
secara sistematik, lalu dilakukan analisis, dan interpretasi data. Hasil analisis
didiseminasikan untuk kepentingan tindakan kesehatan
masyarakat dalam upaya
menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB serta untuk peningkatan derajat
kesehatan masyarakat.
Ada 2 macam metode surveilans TB, yaitu: Surveilans Rutin (berdasarkan data pelaporan),
danSurveilansNon Rutin (berupa survei:periodik dansentinel).
1. Surveilans Rutin.
Surveilans rutin dilaksanakan dengan menggunakan data layanan rutin yang dilakukan
pada pasien TB. Sistem surveilans ini merupakan sistem terbaik (mudah dan murah)
untuk memperoleh informasi tentang prevalensi TB, meskipun kemungkinan terjadinya
bias cukup besar. Misalnya dalam layanan kolaborasi TB-HIV, jika jumlah pasien yang
menolak untuk di tes HIV cukup besar maka surveilans berdasar data rutin ini
interpretasinya kurang akurat. Surveilans berdasarkan data rutin ini tidak memerlukan
biaya khusus tapi mutlak memerlukan suatu pencatatan dan pelaporan yang berjalan
baik. Hasil surveilans berdasarkan data rutin ini perlu dikalibrasi dengan hasil dari
surveilans periodik atau surveilans sentinel.
BAB
XIII
11 9
B.
Monitoring danEvaluasi(Monev)Program TB
Monev program TB merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai keberhasilan
pelaksanaan program TB. Monitoring
dilakukan secara berkala sebagai deteksi awal
masalah dalam pelaksanaan kegiatan program sehingga dapat segera dilakukan tindakan
perbaikan. Evaluasi
dilakukan untuk menilai sejauh mana pencapaian tujuan, indikator, dan
target yang telah ditetapkan. Evaluasi dilakukan dalam rentang waktu lebih lama, biasanya
setiap 6 bulan s/d 1 tahun.
Pelaksanaan Monev merupakan tanggung jawab masing-masing tingkat pelaksana
program, mulai dari Fasilitas kesehatan, Kabupaten/Kota, Provinsi hingga Pusat. Seluruh
kegiatan program harus dimonitor dan dievaluasi dari aspek masukan (
input), proses,
maupun keluaran ( output) dengan cara menelaah laporan, pengamatan langsung dan
wawancara ke petugas kesehatan maupun masyarakat sasaran.
Komponen utama untuk melakukan monev adalah: pencatatan pelaporan, analisis indikator
dan hasil dari supervisi.
1.
PencatatandanPelaporanProgram TB
Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi dan kegiatan survailans, diperlukan suatu
sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan benar,
dengan maksud mendapatkan data yang valid untuk diolah, dianalisis, diinterpretasi,
disajikan dan disebarluaskan untuk dimanfaatkan sebagai dasar perbaikan program.
Data yang dikumpulkan harusmemenuhi standar yang meliputi:
120
BAB XIII
a.
b.
c.
b.
BAB
XIII
12 1
5.
Formulir Pemeriksaan Sediaan untuk Uji silang dan Analisis Hasil Uji silang
Kabupaten (TB.12)
6.
Laporan OAT (TB.13)
7.
Data Situasi Ketenagaan Program TB
8.
Data Situasi Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB.
9.
Formulir pelacakan kasus TB yang datang dari luar negeri. (**)
c. Pelaporan di Provinsi
Dinas Kesehatan Provinsi menggunakan formulir pelaporan sebagai berikut:
1.
Rekapitulasi Penemuan dan Pengobatan Pasien TB per kabupaten/kota.
2.
Rekapitulasi Hasil Pengobatan per kabupaten/kota.
3.
Rekapitulasi Hasil Pengobatan gabungan TB dan TB Resistan Obat di
tingkat Provinsi.
4.
Rekapitulasi Hasil Konversi Dahak per kabupaten/kota.
5.
Rekapitulasi Analisis HasilUji silang propinsi per kabupaten/kota.
6.
Rekapitulasi Laporan OAT per kabupaten/ kota.
7.
Rekapitulasi Data Situasi Ketenagaan Program TB.
8.
Rekapitulasi Data Situasi Public-PrivateMix (PPM) dalam Pelayanan TB.
2.
Indikator Program TB
Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur kemajuan
program ( marker of progress
). Dalam menilai kemajuan atau keberhasilan program
pengendalian TB digunakan beberapa indikator.
Indikator utama program pengendalian TB secara Nasional ada 2,yaitu:
? Angka Notifikasi KasusTB (Case Notification Rate = CNR) dan
? AngkaKeberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate =TSR).
Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator Nasional tersebut
diatas, yaitu:
a. Indikator Penemuan TB
1.
Proporsi pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara terduga TB
2.
Proporsi pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua TB
paru diobati.
3.
Proporsi pasien TB terkonfirmasi bakteriologis yang diobati diantara pasien TB
terkonfirmasi bakteriologis
.
4.
Proporsipasien TB anak diantara seluruh pasien TB
5.
Angka penemuan kasusTB(
Case Detection Rate=CDR)
6.
Proposi pasien TB yang dites HIV
7.
Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasiltesnya Positif
8.
Proporsi pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus
TB RR/ MDR yang ada.
9.
b.
c.
Indikator Pengobatan TB
Angka konversi (
Conversion Rate)
Angka kesembuhan ( Cure Rate)
Angka putus berobat
Angka keberhasilan pengobatan TB anak
Proporsi anak yang menyelesaikan PP INH diantara seluruh anak yang
mendapatkan PP INH
6.
Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK
7.
Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ART
8.
Angka keberhasilan pengobatan TB MDR atau Treatment Success Rate
9)
Indikator Penunjang TB
1.
Proporsi laboratorium yang mengikuti pemantapan mutu eksternal (PME) uji
silang untuk pemeriksaan mikroskopis
2.
Proporsi laboratorium dengan kinerja pembacaan mikroskopis baik diantara
peserta PME uji silang
3.
Proporsilaboratoriumyang mengikuti kegiatan PMEempatkali setahun.
4.
Jumlah kabupaten/kota melaporkanterjadinya kekosongan OAT lini
1.
2.
3.
4.
5.
BAB
XIII
12 3
x
1
0
0
%
Bakteriologis
x 100% x 100%
Angka ini minimal
70%. Bila angka ini jauh lebih rendah, berarti diagnosis kurang
Jumlah seluruh pasien TB Paru
memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular.
Angka ini minimal
70%. Bila angka ini jauh lebih rendah, berarti diagnosis kurang
memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular.
Angka ini minimal
70%. Bila angka ini jauh lebih rendah, berarti diagnosis kurang
3.
Proporsipasien TB Anak diantara seluruh pasien TB
memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular.
3.
Proporsipasien TB Anak diantara seluruh pasien TB
Adalah
prosentase
pasien
anak
(0-14
tahun)
yangyang
diobati
diantara
seluruhseluruh
Adalah
prosentase
pasienTBTB
anak
(0-14
tahun)
diobati
diantara
pasien TB
yang diobati.
3.
Proporsipasien TB Anak diantara seluruh pasien TB
pasien TB yang diobati.
Adalah prosentase pasien TB anak (0-14 tahun) yang diobati diantara seluruh
Rumus:
pasien TB yang diobati.
Jumlah pasien TB Anak (0 - 14 th)
Rumus:
yang diobati
-14 thn) yg diobati
Jumlah seluruh pasien TB yang diobati
x 100% x 100%
Jumlah pasien TB Anak (0 -14 thn) yg diobati
Rumus:
J
x 100%
Jumlah pasien TB Anak (0 -14 thn) yg diobati x 100%
Angka ini dianalisis dengan memperhatikan berbagai aspek. Angka indikator ini
Jumlah seluruh pasien TB yg diobati
Angka ini dianalisis dengan memperhatikan berbagai aspek. Angka indikator ini
diharapkan berkisar 8 12% pada wilayah dimana seluruh kasus TB Anak
diharapkan berkisar 8 12% pada wilayah dimana seluruh kasus TB Anak
ternotifikasi. Pada kondisi dimana pencatatan dan pelaporan berjalan dengan baik,
Angka ini dianalisis dengan memperhatikan berbagai aspek. Angka indikator ini
ternotifikasi. Pada kondisi dimana pencatatan dan pelaporan berjalan dengan baik,
angka ini menggambarkan
over
atau
under diagnosis, serta rendahnya angka
diharapkan berkisar 8 12% pada wilayah dimana seluruh kasus TB Anak
angka ini menggambarkan
over
atau
under diagnosis, serta rendahnya angka
penularan TB pada anak. Bila angka indikator ini kurang atau melebihi kisaran yang
ternotifikasi.
dimana
pencatatan
dan
pelaporan
berjalan
dengan
penularan
TBPada
padakondisi
anak.diperiksa
Bila
angka
indikator
ini kurang
melebihi
kisaranbaik,
yang
diharapkan,
maka
perlu
prosedur
diagnosis
TBatau
Anak
di fasyankes.
angka
ini
menggambarkan
over
atau
under
diagnosis,
serta
rendahnya
angka
diharapkan,
makaanak.
perluBila
diperiksa
prosedurinidiagnosis
TBmelebihi
Anak dikisaran
fasyankes.
penularan TB pada
angka indikator
kurang atau
yang
4.
AngkaPenemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)
diharapkan, maka perlu diperiksa prosedur diagnosis TB Anak di fasyankes.
4.
AngkaPenemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)
Adalah prosentase
jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang ditemukan
dibanding jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang diperkirakan ada dalam
Adalah prosentase jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang ditemukan
4.
AngkaPenemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)
dibanding jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang diperkirakan ada dalam
Adalah prosentase jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang ditemukan
dibanding jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang diperkirakan ada dalam
Proporsi yang tinggi dari pasien TB yang mengetahui status HIVnya menyajikan
estimasi yang cukup kuat tentang angka sesungguhnya prevalensi HIV diantara
pasien TB untuk kepentingan surveilans. Hal ini juga menjadi dasar untuk bentuk
usaha yang lebih detail dalam upaya pencegahan.
7.
t
e
8.
8.
8.
Proposi yang relatif tinggi dari proporsi rata-rata nasional dapat saja menunjukkan
Jumlah pasien TB yang terdaftar yang melakukan tes HIV
prevalensi HIV diantara pasien TB yang sebenarnya lebih tinggi ada di daerah
(sebelum dan selama pengobatan TB)
Proposi
tertentu. yang relatif tinggi dari proporsi rata-rata nasional dapat saja menunjukkan
prevalensi HIV diantara pasien TB yang sebenarnya lebih tinggi ada di daerah
Proposi
tertentu. yang relatif tinggi dari proporsi rata-rata nasional dapat saja menunjukkan
Angka Konversi (Conversion Rate)
prevalensi
HIV diantara
pasien TB yang
sebenarnya
lebih tinggi
ada di daerah
Angka konversi
adalah prosentase
pasien
baru TB Paru
Terkonfirmasi
tertentu.
Angka Konversi (Conversion Rate)
Bakteriologis yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani
Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi masa
pengobatan tahap awal.
Angka Konversi (Conversion Rate)
Bakteriologis yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani
Program
pengendalian
TB di Indonesia
masih
menggunakan
indikator ini karena
Angka
konversi
adalah
pasien
baru
TB Paru Terkonfirmasi
masa
pengobatan
tahap
awal. prosentase
berguna
untuk
mengetahui
secara
cepat
hasil
pengobatan
dan
untuk
mengetahui
Bakteriologis
yang
mengalami
perubahan
menjadi
BTA
negatif
setelah
menjalani
Program
pengendalian
TB di Indonesia
masih
menggunakan
indikator ini karena
apakah pengawasan
langsung
menelan obat
dilakukan
dengan benar.
masa pengobatan tahap awal.
berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui
Program
pengendalian
TB di Indonesia
masih
menggunakan
indikator ini karena
apakah pengawasan
langsung
menelan obat
dilakukan
dengan benar.
Rumus:
berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui
Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yg
apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar.
Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yg
Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfrmasi Baketeriologis
Rumus:
x 100%
hasil
pemeriksaan BTA akhir tahap awal negatif
diobati
yang diobati
bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat
yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan tahap awal (2 bulan/ 3
dihitung dari laporan TB.11.Angka
minimal
yang harus dicapai adalah 80%.
bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat
dihitung dari laporan TB.11.Angka
minimal
yang harus dicapai adalah 80%.
9.
an
h
si
J
u
yang
sembu
h
x 100% x
1
0
0
%
ni
yang sembuh
Jumlah pasien baru TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis
Bakteriolo
yang diob
ang
x
diobati
1
0
0
%
na
ui
yang diobati
Difasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara
mereview seluruh kartu pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis yang mulai
Difasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara
berobat dalam 9-12 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya
yang
mereview
pasien baru TB dalam
Paru Terkonfirmasi
Biologis yang
sembuh
setelahseluruh
selesai kartu
pengobatan.berobat
9-12 bulan sebelumnya,
kemudian dihitung berapa diantaranya yang
sembuh
selesai
pengobatan.
Di tingkatsetelah
kabupaten,
propinsi
dan pusat, angka ini dapat dihitung dari laporan
Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dapat dihitung dari laporan
TB.08. Angka minimalyang harus dicapai adalah 85%. Angka kesembuhan
digunakan untuk
untuk mengetahui
mengetahui hasil
hasil pengobatan.
pengobatan.
digunakan
ra
Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya tetap
g
Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya tetap
diperhatikan, yaitu berapa pasien dengan hasil pengobatan lengkap,
p
ya
3
at
perlu
gk
d
a
u
b
e
r
k
u
l
o
s
i
s
.
Tuberkulosis.
BAB
XIII
12 9
10.
Rumus:
pasien TB x
Paru
Terkonfrma
1
si Biologis
0
0
%
x
1
0
0
%
diobati
diobati
11.
AngkaKeberhasilan Pengobatan TB Anak
11.
AngkaKeberhasilan Pengobatan TB Anak
Adalah persentase TB Anak yang dinyatakan sembuh dan Pengobatan Lengkap
11. Adalah
AngkaKeberhasilan
Pengobatan
TB Anak
persentase
TBpasien
Anak
yang
dinyatakan
sembuh dan Pengobatan Lengkap
(PL)
diantara
seluruh
TB
yang
Adalah
persentase
TBpasien
Anak yang
dinyatakan
sembuh dan Pengobatan Lengkap
(PL)
diantara
seluruh
TB Anak
Anak
yang diobati.
diobati.
(PL) diantara seluruh pasien TB Anak yang diobati.
Rumus:
Jumlah pasien TB Anak yang sembuh dan
Rumus:
Jumlah pasien TB Anak yg sembuh dan Pengobatan Rumus:
Pengobatan Lengkap
Lengkap
Jumlah pasien TB Anak yg sembuh dan Pengobatan
x 100%
Lengkap
Jumlah pasien TBAnak yg diobati
Jumlah pasien TBAnak yg diobati
Angka ini menggambarkan kualitas tatalaksana TB Anak dalam program
Angka ini menggambarkan kualitas tatalaksana TB Anak dalam program
Nasional. Angka indikator ini diharapkan sebesar 85%. Apabila kurang dari
Angka ini menggambarkan kualitas tatalaksana TB Anak dalam program
Nasional. Angka indikator ini diharapkan sebesar 85%. Apabila kurang dari
angka
yangAngka
diharapkan
maka
dilakukan
evaluasi85%.
pemantauan
Nasional.
indikator
iniperlu
diharapkan
sebesar
Apabila pengobatan
kurang dari
angka
yang
diharapkan
maka
kasus
Anak
di
angka
yang
diharapkan
maka perlu
perlu dilakukan
dilakukan evaluasi
evaluasi pemantauan
pemantauan pengobatan
pengobatan
kasus TB
TB
Anak
di suatu
suatu wilayah.
wilayah.
kasus TB Anak di suatu wilayah.
12.
Proporsi Anak yang Menyelesaikan PP INH Diantara Seluruh Anak yang
12.
Proporsi
Anak yang Menyelesaikan PP INH Diantara Seluruh Anak yang
Mendapatkan
PP INH
INH
12.
Proporsi
Anak yang Menyelesaikan PP INH Diantara Seluruh Anak yang
Mendapatkan
PP
Adalah persentase Anak yang menyelesaikan PP INH selama 6 bulan diantara
Mendapatkan
PP INH
Adalah
persentase
Anak yang menyelesaikan
PP INH selama 6 bulan diantara
seluruh
anak
PP
Adalah
Anak yang menyelesaikan
PP INH selama 6 bulan diantara
seluruh persentase
anak yang
yang mendapatkan
mendapatkan
PP INH.
INH.
seluruh anak yang mendapatkan PP INH.
x 100%
x
x
100%
Rumus:
selama 6 bulan
J
u
m
la
h
a
n
a
k
y
a
n
g
m
e
n
y
el
e
s
ai
k
a
n
selama 6 bulan
x 100%
Angka ini menggambarkan proporsi anak yang terlindungi dari kejadian sakit TB
dari anak yang terpapar dan terinfeksi TB termasuk anak dengan HIV Positif.
diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi kepatuhan PP INH.
Angka indikator ini diharapkan sebesar 100%. Apabila kurang dari angka yang
dari anak yang terpapar dan terinfeksi TB termasuk anak dengan HIV Positif.
Angka indikator ini diharapkan sebesar 100%. Apabila kurang dari angka yang
diharapkan
maka
dilakukan
evaluasi
kepatuhan
PP
INH.
Angka indikator
diharapkan
sebesar
100%.
Apabila
diharapkan
makainiperlu
perlu
dilakukan
evaluasi
kepatuhan
PPkurang
INH. dari angka yang
13. Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK
diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi kepatuhan PP INH.
Adalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima PPK.
13. Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK
13. Indikator
Proporsiinipasien
TB dengan komitmen
HIV positifdan
yang
menerimapelaksanaan
PPK
menggambarkan
kemampuan
program
Adalah persentase
pasien TB dengan status
HIV
positif yang menerima PPK.
13. Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK
Adalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima PPK.
TB-HIV dalam pemberian PPK kepada pasien TB yang terinfeksi HIV.
Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan pelaksanaan program
Adalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima PPK.
Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan pelaksanaan program
TB-HIV
pemberian
kepada
TB
HIV.
Indikatordalam
ini menggambarkan
dan kemampuan
pelaksanaan
TB-HIV
dalam
pemberian PPK
PPKkomitmen
kepada pasien
pasien
TB yang
yang terinfeksi
terinfeksi
HIV. program
Rumus:
TB-HIV dalam pemberian PPK kepada pasien TB yang terinfeksi HIV.
Jumlah
Rumus: pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK
Rumus: selama pengobatan TB
x 100%
Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK
Rumus:
Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK
Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang
selama pengobatan TB
menerima PPK selama pengobatan TB
x 100% x 100%
0
%
14.
Proporsi
pasien
dengan
positif yang mendapat
ART Jumlah
pasien
TBTB
dengan
HIVHIV
positif
Adalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima ART.
anju
tkan x
1
0
0
%
Jumlah pasien
TB(baru
dengan
HIV positif
yang menerima
pengobatan
ARV
memulai
atau melanjutkan
pasien TB1
0
0
dengan %
x
HIV
1
0
0
%
positif
pengobatan ARV)
pengobatan ARV (baru memulai atau melanjutkan
engobatx
an ARV)
1
0
0
%
pengobatan ARV)
Jumlah pasien TB dengan HIV positif
15.
Proporsi
Laboratorium
Mengikuti PME (Pemantapan Mutu Eksternal)
Jumlah
pasien TB
dengan HIVyang
positif
Uji Silang untuk Pemeriksaan Mikroskopis
15. Proporsi Laboratorium yang Mengikuti PME (Pemantapan Mutu Eksternal)
15. Proporsi Laboratorium yang Mengikuti PME (Pemantapan Mutu Eksternal)
Adalah persentase laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang diantara seluruh
Uji
Silang
untuk
Pemeriksaan
Mikroskopis
15.
Proporsi
yang
Mengikuti
(PemantapanAdalah
Mutu Eksternal)
Uji Silang
untukLaboratorium
Pemeriksaan
Mikroskopis
laboratorium
mikroskopis
TBPME
yang
diPME
seluruh
persentase
laboratorium yang
mengikuti
Ujiada
Silang
diantarawilayah.
seluruh
Uji Silang untuk Pemeriksaan Mikroskopis
Adalah persentase
laboratorium
yangdari
mengikuti
PME Rumah
Uji Silang
diantara
Laboratorium
mikroskopis
TByang
terdiri
PRM,
PPM,
Sakit,
BP4/seluruh
BKPM/
laboratorium
mikroskopis
TB
ada
di
seluruh
wilayah.
Adalah
persentase
laboratorium
yang
mengikuti
PME
Uji
Silang
diantara
seluruh
laboratorium
mikroskopis
TB
yang
ada
di
seluruh
wilayah.
BBKPM,
BLK,
BBLK,
dan
Laboratorium
Klinik
Swasta.
Laboratorium
mikroskopis
TB yang
terdiriada
daridiPRM,
PPM,
Rumah Sakit, BP4/ BKPM/ laboratorium mikroskopis
TB
seluruh
wilayah.
Laboratorium mikroskopis TB terdiri dari PRM, PPM, Rumah Sakit, BP4/ BKPM/
BBKPM,
BLK,
BBLK,
Laboratorium
TB terdiri dariKlinik
PRM,Swasta.
PPM, Rumah Sakit, BP4/ BKPM/
BBKPM,
BLK,mikroskopis
BBLK, dan
dan Laboratorium
Laboratorium
Klinik
Swasta.
Jumlah
lab
mikroskopis
yang mengikuti
Rumus:
BBKPM, BLK, BBLK, dan Laboratorium Klinik Swasta.
a
n
g
m
e
n
g
i
k
u
t
i
P
M
E
U
j
i
S
i
l
a
Rumus:
Jumlah seluruh lab mikroskopis TB
Rumus:
Jumlah
seluruh lab mikroskopis TB
Jumlah
Rumus: lab mikroskopis yang mengikuti PME Uji Silang
Jumlah lab mikroskopis yang mengikuti PME Uji Silang
Jumlah seluruh lab mikroskopis TB
Jumlah lab mikroskopis yang mengikuti PME Uji Silang
Angka minimal
yang harus dicapai adalah 90%.
Jumlah seluruh lab mikroskopis TB
Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%.
Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%.
Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%.
BAB
XIII
x 100%
x 100%
x
x
13 1
17.
P
M
mengikuti x
PME Uji
SIlang
1
0
0
%
18.
BAB
XIII
13 3
Rumus:
J
u
1
0
0
%
tahun
dalam 1
tahun
x
1
0
0
%
dalam 1 tahun
Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi bersumber pada TB.06 MDR.
Sedang jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR dihitung setiap tahun berdasarkan
perkiraan kasus TB RR/MDR diantara kasus TB Baru maupun kasus TB
Pengobatan ulang.
Angka minimal yang harus dicapai adalah 80% setiap tahunnya. Indikator ini
dihitung tahunan sebagai alat ukur upaya penemuan kasus TB RR/MDR.
19.
x 100%
x 100%
Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dan yang dilakukan uji kepekaan
OAT lini kedua bersumber pada TB.06 MDR.
Angka minimal yang harus dicapai adalah 100% setiap tahunnya. Indikator ini
dihitung tahunan sebagai alat ukur kepatuhan terhadap alur diagnosis yang
telah ditetapkan dan upaya untuk menemukan pasien TB XDR/Pra XDR.
20.
Rumus:
Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati
x 100%
Jumlah pasien TB RR/MDR yang ditemukan dan yang diobati bersumber pada
TB.06 MDR dan TB.01 MDR.
Angka minimal yang harus dicapai adalah 100%.
Indikator ini dihitung setiap triwulan sebagai alat ukur keberhasilan upaya
memastikan semua pasien TB RR/MDR yang ditemukan diobati sehingga rantai
penularan bisa diputus. Pencapaian target ini sangat tergantung pada efektifitas
kegiatan KIE yang dilakukan di fasyankes maupun masyarakat.
R.
n
21.
B
Treatment Success
Rate
Adalah Keberhasilan Pengobatan TB RR/MDR adalah angka yang menunjukkan
persentase pasien TB RR/MDR yang menyelesaikan pengobatan (baik yang
sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien TB RR/MDR yang diobati.
Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan
dan angka pengobatan lengkap.
Rumus:
si
an
us
3.
3.
an
ur
B
x 100%
x 100%
BAB
XIII
13 5
Supervisi harus dilaksanakan di semua tingkat dan disemua unit pelaksana, karena
dimanapun petugas bekerja akan tetap memerlukan bantuan untuk mengatasi masalah
dan kesulitan yang mereka temukan. Suatu umpan balik tentang kinerja harus selalu
diberikan untuk memberikan dorongan semangat kerja.
Pelaksanaan supervisi harus direncanakan secara seksama. Sebelum
supervisi
dilakukan, supervisor haruslah
mengkaji laporan atau temuan-temuan supervisi
sebelumnya, misalnya tentang: temuan yang belum selesai ditindak lanjuti, catatan
tentang tindakan perbaikan yang telah maupun yang perlu ditindaklanjuti.
Tahapan kegiatan supervisi meliputi: perencanaan, Persiapan,Pelaksanaan,Pemecahan
Masalah, dan penyusunanLaporanserta memberikan umpan balik secara tertulis.
a. Perencanaan Supervisi
Sebelum melaksanakan supervisi efektif perlu dilakukan perencanaan dengan baik,
sehingga supervisi dapat mencapai tujuannya. Hal-hal yang penting diperhatikan
didalam perencanaan supervisi adalah:
1.
Supervisi harus dilaksanakan secara rutin dan teratur pada semua tingkat.
Supervisi ke faskes (misalnya: Puskesmas, RS, BBKPM/BKPM, termasuk
laboratorium) harus dilaksanakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali.
Supervisi ke kabupaten/kota dilaksanakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan
sekali, dan
Supervisi ke provinsi dilaksanakan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali.
2.
b. Persiapan supervisi
Persiapan perlu dilakukan agar pelaksanaan supervisi mencapai tujuannya secara
efektif dan efisien. Persiapan supervisi meliputi:
1.
Penyusunan jadual kegiatan.
2.
Pengumpulan informasi pendukung.
3.
Pemberitahuan atau perjanjian kefaskes/dinkes/instansi yang akan dikunjungi.
4.
Penyiapan atau pengembangan daftar tilik supervisi.
5.
Menyusun kerangka laporan.
c. Pelaksanaan supervisi.
Dalam pelaksanaan supervisi hal-hal yangperlu diperhatikan, terutama:
1.
Kepribadian supervisor:
Mempunyai kepribadian yang menyenangkan dan bersahabat.
2.
d.
3.
4.
BAB
XIII
13 7
3.
BAB
XIII
13 9
c.
BAB XIV
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
A.
14
1.
b.
Dana alokasi khusus (DAK) bidang kesehatan adalah dana perimbangan yang
ditujukan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Kesehatan di Daerah. Dana ini diserahkan
kepada daerah melalui pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menyediakan sarana
dan prasarana pelayanan kesehatan seperti alat dan bahan penunjang di laboratorium
dalam rangka diagnosis TB dan perbaikan infrastruktur di kabupaten/kota termasuk
gudang obat,
c.
Bantuan operasional kesehatan (BOK) diserahkan kepada fasilitas pelayanan
kesehatan untuk membiayai operasional petugas, dan dapat digunakan sebagai
transport petugas fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka pelacakan kasus yang
mangkir TB, pencarian kontak TB
3. Dana Hibah
Kementerian Kesehatan dalam hal ini Sub Direktorat TB merupakan salah satu program
yang mendapat kepercayaan menerima dana hibah dari luar negeri. Saat ini berbagai
keberhasilan telah banyak dicapai oleh program TB, namun sebagian besar pembiayaan
masih tergantung kepada donor (PHLN).
Hibah dari
Global Fund
merupakan bagian terpenting dari keseluruhan dana
untuk
program TB, permasalahan yang terkait dengan pendanaan donor (restriksi/suspend)
akan berdampak secara langsung terhadap kinerja program. Kondisi saat ini hampir 61%
dana operasional pengendalian TBterutama di provinsi dan kabupaten/kota dibiayai oleh
Global Fund, walaupun sudah ada kebijakan proporsi pemerintah (APBN) dari 23% pada
14
d.
Pembagian peran dan wewenang dalam program pengendalian TB tidak hanya yang
bersifat vertikal namun juga horisontal dimana keterlibatan dari lintas program, lintas sektor
dan unit pelaksana teknis dari Direktorat Jenderal PP&PL seperti Kantor Kesehatan
Pelabuhan (KKP) dan B/BTKL sesuai dengan tugas, pokok dan fungsi masing-masing.
14
Bila anak sakit berat, maka pengobatan TB dapat diberikan. Dalam keadan meragukan dan
tidak emergensi, melakukanuji coba pengobatan
(treatment trial) tidak dibenarkan.
Tuberkulosis pada anak terinfeksi HIV (selain TB milier, meningitis TB dan TB tulang) harus
diberikan 4 macam obat (RHZE) selama 2 bulan pertama dilanjutkan RH selama 4-7 bulan.
Bila menunjukkan perbaikan klinis dilanjutkan dengan INH saja selama 6 bulan untuk mencegah
kekambuhan
Pada meningitis TB, TB milier, dan TB tulang diberikan RHZE selama 2 bulan pertama dilanjutkan
RH sampai 12 bulan.
PETUNJUK PRAKTIS
Dosis OAT yaitu INH 10 mg/KgBB/hari (maksimal 300 mg), Rifampisin 15 mg/KgBB/hari (maksimal
600 mg), PZA 35 mg/KgBB/hari (maksimal 2000 mg), Etambutol 20 mg/KgBB/hari (maksimal 1250
mg)
Pada meningitis TB, TB milier dengan distress pernapasan, efusi pleura dan efusi perikardial
diberikan tambahan kortikosteroid berupa prednison 1 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 6
minggu,selanjutnya di- tapering-off
selama 6 minggu.
Pemberian ART pada anak dengan ko-infeksi TB-HIV
Pada anak yang baru terinfeksi HIV, pemberian ARV dimulai setelah pasien mendapat
pengobatan TB selama 2-8 minggu (lebih disukai adalah 8 minggu) untuk mengurangi
terjadinya SPI (Sindrom Pulih Imun) dan efek samping obat yang saling tumpang tindih. Hal
yang paling penting diperhatikan pada anak HIV dengan TB adalah potensi interaksi obat
terutama golongan NNRTI dengan Rifampisin.
Sindrom pulih imun adalah kumpulan tanda dan gejala akibat menurunnya kemampuan
respon imun tubuh anak terhadap antigen atau organisme yang dikaitkan dengen pemberian
ARV. SPI biasa timbul dalam 2 -12 minggu inisiasi ARV, dengan gejala dan tanda seperti infeksi
subklinis yang tidak tampak seperti TB, TB yang aktif kembali, dan juga munculnya abses pada
tempat vaksinasi BCG atau limfadenitis BCG
Pilihan ART pada anak dengan ko-infeksi TB HIV mengacu pada pedoman tatalaksana HIV
pada anak.
PENCEGAHAN TB PADA ANAK TERINFEKSI HIV
Pencegahan TB pada anak terinfeksi HIV dilakukan dengan pelacakan kontak, pengendalian
infeksi, dan pemberian profilaksis INH. Bayi dan anak usia berapapun yang baru terdiagnosis
HIV tetapi tidak sakit TB, meskipun tidak ada kontak harus mendapat profilaksis INH 10
mg/kgBB/hari maksimun 300 mg selama 6 bulan.
Petunjuk pelaksanaan BCG:
Anak HIV negatif di wilayah dengan prevalensi TB-HIV tinggi diberikan BCG.
Bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan status HIV tidak diketahui diberikanBCG.
Bayi terinfeksi HIV dengan atau tanpa gejala TIDAK diberikan BCG.
Nomor
Identitas
Kependudukan
(NIK)