Anda di halaman 1dari 24

Sunan Giri

Sunan Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang
berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Sunan Giri membangun Giri Kedaton sebagai
pusat penyebaran agama Islam di Jawa, yang pengaruhnya bahkan sampai ke Madura,
Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan,
yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko
Samudro. Ia lahir di Blambangan tahun 1442, dan dimakamkan di desa Giri, Kebomas,
Gresik.

Silsilah

Pemakaman Sunan Giri

Tangga dan candi bentar masuk ke pemakaman Sunan Giri pada tahun 1932
Beberapa babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian
babad berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari
Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari
Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.

Pendapat lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah
SAW, yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir,
Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad an-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir,
Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam,
Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah
(al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini
(Maulana Akbar), Ibrahim Zainuddin Al-Akbar As-Samarqandy (Ibrahim Asmoro), Maulana
Ishaq, dan Ainul Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat
pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Sa'adah BaAlawi Hadramaut.
Dalam Hikayat Banjar, Pangeran Giri (alias Sunan Giri) merupakan cucu Putri Pasai
(Jeumpa?) dan Dipati Hangrok (alias Brawijaya VI). Perkawinan Putri Pasai dengan Dipati
Hangrok melahirkan seorang putera. Putera ini yang tidak disebutkan namanya menikah
dengan puteri Raja Bali, kemudian melahirkan Pangeran Giri. Putri Pasai adalah puteri Sultan
Pasai yang diambil isteri oleh Raja Majapahit yang bernama Dipati Hangrok (alias Brawijaya
VI). Mangkubumi Majapahit masa itu adalaha Patih Maudara.

Kisah
Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari
Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu penguasa wilayah
Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah
membawa kutukan berupa wabah penyakit di wilayah tersebut. Maka ia dipaksa ayahandanya
(Prabu Menak Sembuyu) untuk membuang anak yang baru dilahirkannya itu. Lalu, Dewi
Sekardadu dengan rela menghanyutkan anaknya itu ke laut/selat bali sekarang ini.
Versi lain menyatakan bahwa pernikahan Maulana Ishaq-Dewi Sekardadu tidak mendapat
respon baik dari dua patih yang sejatinya ingin menyunting dewi sekardadu (putri tunggal
Menak sembuyu sehingga kalau jadi suaminya, merekalah pewaris tahta kerajaan. Ketika
Sunan Giri lahir, untuk mewujudkan ambisinya, kedua patih membuang bayi sunan giri ke
laut yang dimasukkan ke dalam peti.[butuh rujukan]
Kemudian, bayi tersebut ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) - yakni sabar dan
sobir - dan dibawa ke Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan
pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut
Joko Samudro.
Ketika sudah cukup dewasa, Joko Samudro dibawa ibunya ke Ampeldenta (kini di Surabaya)
untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan
Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan
Ampel mengirimnya beserta Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran
Islam di Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudro.
Di sinilah, Joko Samudro yang ternyata bernama Raden Paku mengetahui asal-muasal dan
alasan mengapa dia dulu dibuang.

Dakwah dan kesenian


Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden
'Ainul Yaqin kembali ke Jawa. Ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah

perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak
itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.
Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam
di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan
Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri
Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya
ditumbangkan oleh Sultan Agung.
Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap berhubungkan dengan
Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, dan Cublak
Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.

Sunan Kalijaga

Lukisan Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga atau Sunan Kalijogo adalah seorang tokoh Wali Songo yang sangat lekat
dengan Muslim di Pulau Jawa, karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke
dalam tradisi Jawa. Makamnya berada di Kadilangu, Demak.

Riwayat
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia
mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan
Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran
Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang
pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan
kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.

Kelahiran
Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Dia adalah
putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Nama lain

Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden
Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa
Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di sungai
(kali), atau jaga kali.

Silsilah
Mengenai asal usulnya, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa ia juga masih
keturunan Arab. Tapi, banyak pula yang menyatakan ia orang Jawa asli. Van Den Berg
menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab yang silsilahnya sampai kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Sementara itu menurut Babad Tuban menyatakan
bahwa Aria Teja alias 'Abdul Rahman berhasil mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara,
dan mengawini putrinya. Dari perkawinan ini ia memiliki putra bernama Aria Wilatikta.
Menurut catatan Tome Pires, penguasa Tuban pada tahun 1500 M adalah cucu dari peguasa
Islam pertama di Tuban. Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said adalah putra Aria Wilatikta.
Sejarawan lain seperti De Graaf membenarkan bahwa Aria Teja I ('Abdul Rahman) memiliki
silsilah dengan Ibnu Abbas, paman Muhammad. Sunan Kalijaga mempunyai tiga anak salah
satunya adalah Umar Said atau Sunan Muria.

Pernikahan
Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana
Ishak, dan mempunyai 3 putra: R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi
Sofiah.

Berda'wah
Menurut cerita, Sebelum menjadi Walisongo, Raden Said adalah seorang perampok yang
selalu mengambil hasil bumi di gudang penyimpanan Hasil Bumi. Dan hasil rampokan itu
akan ia bagikan kepada orang-orang yang miskin. Suatu hari, Saat Raden Said berada di
hutan, ia melihat seseorang kakek tua yang bertongkat. Orang itu adalah Sunan Bonang.
Karena tongkat itu dilihat seperti tongkat emas, ia merampas tongkat itu. Katanya, hasil
rampokan itu akan ia bagikan kepada orang yang miskin. Tetapi, Sang Sunan Bonang tidak
membenarkan cara itu. Ia menasihati Raden Said bahwa Allah tidak akan menerima amal
yang buruk. Lalu, Sunan Bonang menunjukan pohon aren emas dan mengatakan bila Raden
Said ingin mendapatkan harta tanpa berusaha, maka ambillah buah aren emas yang
ditunjukkan oleh Sunan Bonang. Karena itu, Raden Said ingin menjadi murid Sunan Bonang.
Raden Said lalu menyusul Sunan Bonang ke Sungai. Raden Said berkata bahwa ingin
menjadi muridnya. Sunan Bonang lalu menyuruh Raden Said untuk bersemedi sambil
menjaga tongkatnya yang ditancapkan ke tepi sungai. Raden Said tidak boleh beranjak dari
tempat tersebut sebelum Sunan Bonang datang. Raden Said lalu melaksanakan perintah
tersebut. Karena itu,ia menjadi tertidur dalam waktu lama. Karena lamanya ia tertidur, tanpa
disadari akar dan rerumputan telah menutupi dirinya. Tiga tahun kemudian, Sunan Bonang
datang dan membangunkan Raden Said. Karena ia telah menjaga tongkatnya yang
ditanjapkan ke sungai, maka Raden Said diganti namanya menjadi Kalijaga. Kalijaga lalu
diberi pakaian baru dan diberi pelajaran agama oleh Sunan Bonang. Kalijaga lalu
melanjutkan dakwahnya dan dikenal sebagai Sunan Kalijaga.

Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan
Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik
(pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk
berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika
diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil
memengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya
kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam
mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk
sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan
Gundul-gundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud,
serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu ("Petruk Jadi Raja").
Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula
dikonsep oleh Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam
melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen,
Banyumas, serta Pajang.

Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah salah satu penyebar agama Islam di Indonesia yang tergabung dalam
walisongo, yang lahir pada 9 September 1400M/ 808 Hijriah. Nama lengkapnya adalah nama
Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan. Beliau adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung.
Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. Bapaknya
yaitu Sunan Ngudung adalah putra Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali
Murtazha (Raja Pandita/Raden Santri) yang berhijrah fi sabilillah hingga ke Jawa dan
sampailah di Kekhilafahan Islam Demak dan diangkat menjadi Panglima Perang.

Jati diri Sunan Kudus


Nama Ja'far Shadiq diambil dari nama datuknya yang bernama Ja'far ash-Shadiq bin
Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib yang beristerikan Fatimah azZahra binti Muhammad.
Sunan Kudus sejatinya bukanlah asli penduduk Kudus, ia berasal dan lahir di Al-Quds negara
Palestina. Kemudian bersama kakek, ayah dan kerabatnya berhijrah ke Tanah Jawa.

Nasab Sunan Kudus


Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil
atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan
Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan
Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin AlHusain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil
Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali Qasam bin Alwi bin Muhammad bin

Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin
Jafar Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah
Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.[1]

Sunan Kudus dalam Babad Tanah Jawi


Babad Tanah Jawi (selanjutnya disebut BTJ) adalah terjemahan dari Punika Serat Babad
Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegiing Taoen 1647 yang disusun oleh W. L.
Olthof di Leiden, Belanda, pada tahun 1941. Seperti pada pengertian babad pada umumnya,
di sini terdapat cerita-cerita tentang pendirian sebuah negara (kerajaan) dan peristiwaperistiwa yang terjadi di seputar kerajaan tersebut.
Orang di tanah Jawa taat serta menganut agama Islam. Mereka bermusyawarah akan
mendirikan masjid di Demak. Para wali saling berbagi tugas, semua sudah siap sedia. Hanya
Sunan Kali Jaga yang masih ketinggalan, bagian garapannya belum berbentuk, sebab sedang
tirakat di Pamantingan. Sekembalinya ke Demak, masjid sudah akan didirikan. Sunan Kali
Jaga segera mengumpulkan sisa-sisa kayu bekas sudah menjadi tiang.Pagi harinya tanggal 1
bulan Dulkangidah masjid didirikan dengan sengkalan tahun 1428. Kiblat di masjid searah
dengan kabah di Mekkah. Penghulunya Sunan Kudus. Setelah beberapa Jumat berdirinya
masjid tadi, ketika para wali sedang berdzikir bersama di masjid itu, Sunan Kudus duduk
khusuk bertafakur di bawah beduk, tiba-tiba ada bungkusan jatuh dari atas-buku kulit
kambing, di dalamnya ada sajadah serta selendang Kanjeng Rasul. [2]
Pada waktu itu banyak orang Jawa yang belajar agama Islam, kedigdayaan, dan kekuatan
badan. Ada dua orang guru yang terkenal, yaitu Sunan Kali Jaga dan Sunan Kudus. Sunan
Kudus itu muridnya tiga orang, yaitu Arya Penansang di Jipang, Sunan Prawata, dan Sultan
Pajang. Yang paling disayang adalah Arya Penansang.
Waktu itu Sunan Kudus sedang duduk-duduk di rumahnya dengan Pangeran Arya Penansang,
Sunan Kudus berkata kepada Arya Penansang, Orang membunuh sesama guru itu,
hukumnya apa? Perlahan jawab Arya Penangsang, Hukumnya harus dibunuh, tetapi saya
belum tahu siapa yang berbuat demikian itu. Sunan Kudus berkata,Kakakmu di Prawata.
Arya Penansang setelah mendengar perintah Sunan Kudus, bersedia membunuh Sunan
Prawata. Ia lalu mengutus abdi pengawalnya bernama Rangkud dan diperintah untuk
membunuh Sunan Prawata. Rangkud lalu berangkat. Sesampai di Prawata ketemu dengan
Sunan Prawata yang sedang sakit dan bersandar pada istrinya. Setelah melihat Rangkud
Sunan Prawata bertanya, Kamu itu orang siapa? Rangkud menjawab, Saya adalah utusan
Arya Penansang, memerintahkan untuk membunuhmu. Sunan Prawata berkata, Ya,
terserah, tetapi saya sendiri sajalah yang engkau bunuh, jangan mengikutkan orang lain.
Rangud lalu menusuk sekuat-kuatnya. Dada Sunan Prawata tembus sampai ke punggungnya
serta menembus dada istrinya. Sunan Prawata setelah melihat istrinya terluka, segera
mencabut kerisnya yang bernama Kyai Betok, lalu dilemparkan ke Rangkud. Si Rangkud
tergores oleh kembang kacang (hiasan pada pangkal keris), ia jatuh di tanah lalu tewas. Sunan
Prawata dan isterinya juga meninggal dunia. Meninggalnya ber-sinengkalan tahun 1453. Arya
Penangsang begitu tega membunuh Sunan Prawata sebab ayahnya juga dibunuh oleh Sunan
Prawata, saat pulang dari sholat Jum'at. Ia dicegat di tengah jalan oleh utusan Sunan Prawata
bernama Sura Yata. Ki Sura Yata tadi juga sudah dibunuh oleh teman ayahnya Arya Jipang.

Sunan Prawata tadi mempunyai saudara perempuan namanya Ratu Kali Nyamat. Dia begitu
tidak terima atas kematian saudara laki-lakinya itu. Lalu berangkat ke Kudus bersama
suaminya berniat minta keadilan kepada Sunan Kudus. Lalu jawab Sunan Kudus, Kakakmu
itu sudah hutang pati pada Arya Penangsang. Sekarang tinggal membayar hutang itu saja.
Ratu Kali Nyamat mendengar jawaban Sunan Kudus itu sangat sakit hatinya. Lalu kembali
pulang. Di tengah jalan dibegal utusannya Arya Penansang. Laki-lakinya dibunuh. Ratu Kali
Nyamat sangat terpukul hatinya. Sebab baru saja kehilangan saudaranya, lalu kehilangan
suaminya. Ia jadi sangat menderita. Lalu bertapa telanjang di Bukit Dana Raja. Sebagai ganti
kain untuk menutup auratnya adalah rambutnya yang diurai. Ratu Kalinyamat berprasetia
tidak mau memakai kain selama hidup jika Arya Penansang belum meninggal. Ia bernadar
barangsiapa dapat membunuh Arya Jipang, dia akan mengabdi kepadanya dan akan
menyerahkan seluruh kekayaannya.
Pada suatu ketika Sunan Kudus sedang berbincang-bincang dengan Arya Penangsang, Sunan
Kudus berkata, Kakakmu Sunan Prawata dan Kali Nyamat sekarang sudah mati, tapi belum
lega rasanya kalau belum menguasai tanah Jawa semua. Jika masih ada adikmu Sultan Pajang
saya kira tidak mungkin bisa jadi raja, sebab dia adalah penghalang. Arya Penansang
berkata, Jika diperkenankan atas izin Sunan Kudus, Pajang akan saya gempur dengan
perang, adik saya di Pajang akan saya bunuh supaya tidak ada penghalang. Sunan Kudus
menjawab, Maksudmu itu saya kurang setuju sebab akan merusak negara serta banyak
korban. Adapun maksud saya, kakakmu di Pajang bisa mati, secara diam-diam saja, jangan
diketahui banyak orang. Arya Penangsang menjawab sangat setuju. Lalu mengutus abdi
pengawal untuk menculik dan membunuh Sultan Pajang. Utusan segera berangkat. Datang di
Pajang tengah malam, lalu masuk ke dalam istana. Sultan Pajang sedang tidur berselimut kain
kampuh, jarik/kain sarung. Para istrinya tidur di bawah. Utusan menerjang dan menusuk
dengan sekuat tenaga. Sultan Pajang tidak mempan (kebal), masih enak tidur saja. Kain yang
digunakan untuk berselimut itu pun tidak tertembus. Para isrti terkejut, bangun, menangis,
dan menjerit. Sultan Pajang terkejut juga dan bangun. Kain selimut terlempar menerpa para
utusan itu, mereka terjatuh terkapar di tanah, tidak ada yang dapat pergi.

Dakwah Sunan Kudus


Beliau adalah Sunan Kudus yang bernama asli Syekh Jafar Shodiq. Beliau pula yang
menjadi salah satu dari anggota Wali Sanga sebagai penyebar Islam di Tanah Jawa. Sosok
Sunan Kudus begitu sentral dalam kehidupan masyarakat Kudus dan sekitarnya. Kesentralan
itu terwujud dikarenakan Sunan Kudus telah memberikan pondasi pengajaran keagamaan dan
kebudayaan yang toleran.
Tak heran, jika hingga sekarang makam beliau yang berdekatan dengan Menara Kudus selalu
ramai diziarahi oleh masyarakat dari berbagai penjuru negeri. Selain itu, hal tersebut sebagai
bukti bahwa ajaran toleransi Sunan Kudus tak lekang oleh zaman dan justru semakin relevan
ditengah arus radikalisme dan fundamentalisme beragama yang semakin marak dewasa ini.
Dalam perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak berguru kepada Sunan Kalijaga. Cara
berdakwahnya pun sejalan dengan pendekatan dakwah Sunan Kalijaga yang menekankan
kearifan lokal dengan mengapresiasi terhadap budaya setempat.
Beberapa nilai toleransi yang diperlihatkan oleh Sunan Kudus terhadap pengikutnya yakni
dengan melarang menyembelih sapi kepada para pengikutnya. Bukan saja melarang untuk

menyembelih, sapi yang notabene halal bagi kaum muslim juga ditempatkan di halaman
masjid kala itu.
Langkah Sunan Kudus tersebut tentu mengundang rasa simpatik masyarakat yang waktu itu
menganggap sapi sebagai hewan suci. Mereka kemudian berduyun-duyun mendatangi Sunan
Kudus untuk bertanya banyak hal lain dari ajaran yang dibawa oleh beliau.
Lama-kelamaan, bermula dari situ, masyarakat semakin banyak yang mendatangi masjid
sekaligus mendengarkan petuah-petuah Sunan Kudus. Islam tumbuh dengan cepat. Mungkin
akan menjadi lain ceritanya jika Sunan Kudus melawan arus mayoritas dengan menyembelih
sapi.
Selain berdakwah lewat sapi, bentuk toleransi sekaligus akulturasi Sunan Kudus juga bisa
dilihat pada pancuran atau padasan yang berjumlah delapan yang sekarang difungsikan
sebagai tempat berwudlu. Tiap-tiap pancurannya dihiasi dengan relief arca sebagai ornamen
penambah estetika. Jumlah delapan pada pancuran mengadopsi dari ajaran Budha yakni Asta
Sanghika Marga atau Delapan Jalan Utama yang menjadi pegangan masyarakat saat itu
dalam kehidupannya. Pola akulturasi budaya lokal Hindu-Budha dengan Islam juga bisa
dilihat dari peninggalan Sunan Kudus berupa menara. Menara Kudus bukanlah menara yang
berarsitektur bangunan Timur Tengah, melainkan lebih mirip dengan bangunan Candi Jago
atau serupa juga dengan bangunan Pura di Bali.
Menara tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai tempat adzan dan tempat untuk
memukul bedug setiap kali datangnya bulan Ramadhan. Kini, menara yang konon merupakan
menara masjid tertua di wilayah Jawa tersebut dijadikan sebagai landmark Kabupaten Kudus.
Strategi (akulturasi) dakwah Sunan Kudus adalah suatu hal yang melampaui zamannya.
Melampaui zaman karena dakwah dengan mengusung nilai-nilai akulturasi saat itu belumlah
ramai dipraktikkan oleh penyebar Islam di Indonesia pada umumnya.
Kini, toleransi beragama berada di titik nadir. Ironisnya, toleransi beragama tak cuma
menjadi barang mahal tetapi sudah terlalu langka. Dengan jalan menghidupkan kembali
esensi serta spirit dakwah Sunan Kudus, kiranya masyarakat muslim bisa mengembalikan
lagi wajah Islam yang ramah dan toleran setelah sebelumnya dihinggapi oleh stigma
negatif.Ajaran Toleransi Ala Sunan Kudus.[5]

Karya Sunan Kudus


Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di desa Kerjasan, Kota Kudus,
yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang.
Sekarang Masjid Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus Jawa Tengah. Peninggalan
lain dari Sunan Kudus adalah permintaannya kepada masyarakat untuk tidak memotong
hewan kurban sapi dalam perayaan Idul Adha untuk menghormati masyarakat penganut
agama Hindu dengan mengganti kurban sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk
memotong kurban kerbau ini masih banyak ditaati oleh masyarakat Kudus hingga saat ini.

Wafatnya Sunan Kudus


Pada tahun 1550, Sunan Kudus meninggal dunia saat menjadi Imam sholat Subuh di Masjid
Menara Kudus, dalam posisi sujud. kemudian dimakamkan di lingkungan Masjid Menara
Kudus.

Keturunan Sunan Kudus


Di antara keturunan Sunan Kudus yang menjadi Ulama' dan Tokoh di Indonesia adalah:
Syekh Kholil Bangkalan Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini, Syekh Bahruddin Azmatkhan
Ba'alawi Al-Husaini, dan Syekh Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini.

Sunan Gresik
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang
Walisongo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia
dimakamkan di desa Gapurosukolilo, kota Gresik, Jawa Timur.

Asal keturunan
Tidak terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik
Ibrahim, meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa asli. Sebutan
Syekh Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan menisbatkan asal
keturunannya dari wilayah Arab Maghrib di Afrika Utara.
Babad Tanah Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim asSamarqandy, yang mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim Asmarakandi.
Ia memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada
paruh awal abad 14.[1]
Dalam keterangannya pada buku The History of Java mengenai asal mula dan perkembangan
kota Gresik, Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis lokal, "Mulana
Ibrahim, seorang Pandita terkenal berasal dari Arabia, keturunan dari Jenal Abidin, dan
sepupu raja Chermen (sebuah negara Sabrang), telah menetap bersama para Mahomedans[2]
lainnya di Desa Leran di Jang'gala".
Namun, kemungkinan pendapat yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P. Moquette
atas baris kelima tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan, Gresik; yang
mengindikasikan bahwa ia berasal dari Kashan, suatu tempat di Iran sekarang.[4]
Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya
dianggap merupakan keturunan Rasulullah SAW, melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali
Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib,
Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah,
Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul
Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar
al-Husaini (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim,[5][6][7][8] yang berarti ia adalah
keturunan orang Hadrami yang berhijrah.

Penyebaran agama
Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang pertama-tama menyebarkan
agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali senior di antara para Walisongo lainnya.[9]
Beberapa versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah
yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan
Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam
di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.

Makam Maulana Malik Ibrahim, desa Gapurosukolilo, Gresik, Jawa Timur


Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi
bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia
tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan
hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat
keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam. [10]
Sebagaimana yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan
Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang
sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar.[11] Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi
dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan para bangsawan dapat pula turut serta dalam
kegiatan perdagangan tersebut sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal.[12]
Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan
kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam
tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota
Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat
tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut Groeneveldt pada
saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah banyak orang asing termasuk
dari Asia Barat.
Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan
menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren
yang merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat ini
makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama
Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai
berkunjung untuk berziarah. Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12
Rabi'ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasti makamnya. Pada acara haul biasa

dilakukan khataman Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan


dihidangkan makanan khas bubur harisah.

Legenda rakyat
Menurut legenda rakyat, dikatakan bahwa Syeh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
berasal dari Persia. Syeh Maulana Malik Ibrahim dan Syeh Maulana Ishaq disebutkan sebagai
anak dari Syeh Maulana Ahmad Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro. Syeh Maulana
Ishaq disebutkan menjadi ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Raden Paku
atau Sunan Giri. Syeh Jumadil Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau
Jawa. Setelah itu mereka berpisah; Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Syeh Maulana
Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan; dan adiknya Syeh Maulana Ishak mengislamkan
Samudera Pasai.
Syeh Maulana Malik Ibrahim disebutkan bermukim di Champa (dalam legenda disebut
sebagai negeri Chermain atau Cermin) selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri raja yang
memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau
Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia hijrah ke pulau Jawa
dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya mengikuti jejaknya
menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Syeh Maulana Malik Ibrahim dalam cerita rakyat kadang-kadang juga disebut dengan nama
Kakek Bantal. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat
bawah, dan berhasil dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu
tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.
Selain itu, ia juga sering mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib, diceritakan
bahwa ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Champa. Besar
kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

Filsafat
Mengenai filsafat ketuhanannya, disebutkan bahwa Maulana Malik Ibrahim pernah
menyatakan mengenai apa yang dinamakan Allah. Ia berkata: "Yang dinamakan Allah ialah
sesungguhnya yang diperlukan ada-Nya."

Wafat
Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, Syeh
Maulana Malik Ibrahim wafat tahun 1419. Makamnya kini terdapat di desa Gapura, Gresik,
Jawa Timur.

Sunan Gunung Jati

Lukisan Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah[1], lahir sekitar 1450 M, namun ada juga yang
mengatakan bahwa ia lahir pada sekitar 1448 M. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari
kelompok ulama besar di Jawa bernama walisongo. Sunan Gunung Jati merupakan satusatunya Walisongo yang menyebarkan Islam di Jawa Barat.

Orang tua
Ayah
Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar tahun 1450. Ayahnya adalah
Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang Mubaligh dan Musafir besar
dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di
tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra
Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut,
Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucunya Imam Husain.
Ibu
Ibu Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang (Syarifah Muda'im) yaitu putri dari Sri
Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Nyai Subang Larang, dan merupakan adik dari Kian
Santang dan Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah
Kuwu Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal
Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi bin Ahmad. Ia dimakamkan bersebelahan dengan
putranya yaitu Sunan Gunung Jati di Komplek Astana Gunung Sembung ( Cirebon )

Pertemuan orang tuanya


Pertemuan Rara Santang dengan Syarif Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar masih
diperselisihkan. Sebagian riwayat (lebih tepatnya mitos) menyebutkan bertemu pertama kali
di Mesir, tapi analisis yang lebih kuat atas dasar perkembangan Islam di pesisir ketika itu,
pertemuan mereka di tempat-tempat pengajian seperti yang di Majelis Syekh Quro,
Karawang (tempat belajar Nyai Subang Larang ibu dari Rara Santang) atau di Majelis Syekh
Datuk Kahfi, Cirebon (tempat belajar Kian Santang dan Pangeran Walangsungsang, kakanda
dari Rara Santang).

Syarif Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar, sangat mungkin terlibat aktif membantu
pengajian di majelis-majelis itu mengingat ayah dan kakeknua datang ke Nusantara sengaja
untuk menyokong perkembangan agama Islam yang telah dirintis oleh para pendahulu.
Pernikahan Rara Santang putri dari Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang dengan
Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden
Syarif Hidayatullah.

Riwayat hidup
Proses belajar

Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh
Maulana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Datuk Kahfi
ia meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan,
kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai
bagian dari ibadah haji untuk umat Islam.
Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuwana membangun kota Cirebon dan
tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayatullah
mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim
yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.
Pernikahan

Memasuki usia dewasa sekitar di antara tahun 1470-1480, ia menikahi adik dari Bupati
Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini, ia mendapatkan seorang
putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Maulana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.
Kesultanan Demak

Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan
Demak tahun 1487 yang mana ia memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan
Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini, ia berusia
sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi
Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh
Maulana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunannya juga tapi
dari pihak ibu yang lahir di Campa.
Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka
Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak,
terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi
sebagai Sultan Cirebon.
Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tuakan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan
Demak sebagai pelopornya.

Gangguan proses Islamisasi


Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa
paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai
mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit
(di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai
expansi di Asia Tenggara.
Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama
kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan
Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Ia ikut membimbing Ulama
berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu
kekebalan tubuhnya.
Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh
Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut.
Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa
mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di
Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.
Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam
pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi
utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat
menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 pada tahun 1511.
Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal pada tahun 1521 memaksa Syarif
Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat
Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus
yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk
memancing Portugis bertempur di P. Jawa.
Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke
Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah
dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.
Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan
berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di P.
Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam.
Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan
Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di
Malaka 1521.
Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di
rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.
Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke
darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga

keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak
wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.
Perundingan Yang Sangat Menentukan

Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayatullah adalah dalam riwayat jatuhnya
Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 hanya setahun sebelum ia wafat
dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan
terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.
Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan
dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di
keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka
harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan
tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.
Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar
para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan
Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan
memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus
menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal
istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.
Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta
Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap
memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di
dalam wilayah Istana Pakuan.
Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa
penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa
reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan
yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah
dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan
dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam
ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.
Bagi para sejarawan, ia adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti
berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya
1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang
dikenal dengan nama Sultan Haji.
Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggilnya dengan nama lengkap Syekh
Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.

Sunan Ampel

Sunan Ampel pada masa kecilnya bernama Raden Rahmat, dan diperkirakan lahir pada
tahun 1401 di Champa. Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini. Encyclopedia Van
Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di
Kamboja. Pendapat lain, Raffles menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini
bernama Jeumpa. Menurut beberapa riwayat, orang tua Sunan Ampel adalah Makhdum
Ibrahim (menantu Sultan Champa dan ipar Dwarawati). Dalam catatan Kronik Cina dari
Klenteng Sam Po Kong, Sunan Ampel dikenal sebagai Bong Swi Hoo, cucu dari Haji Bong
Tak Keng - seorang Tionghoa (suku Hui beragama Islam mazhab Hanafi) yang ditugaskan
sebagai Pimpinan Komunitas Cina di Champa oleh Sam Po Bo. Sedangkan Yang Mulia Ma
Hong Fu - menantu Haji Bong Tak Keng ditempatkan sebagai duta besar Tiongkok di pusat
kerajaan Majapahit, sedangkan Haji Gan En Cu juga telah ditugaskan sebagai kapten Cina di
Tuban. Haji Gan En Cu kemudian menempatkan menantunya Bong Swi Hoo sebagai kapten
Cina di Jiaotung (Bangil).[1][2]
Sementara itu seorang putri dari Kyai Bantong (versi Babad Tanah Jawi) alias Syaikh
Bantong (alias Tan Go Hwat menurut Purwaka Caruban Nagari) menikah dengan Prabu
Brawijaya V (alias Bhre Kertabhumi) kemudian melahirkan Raden Fatah. Namun tidak
diketahui apakah ada hubungan antara Ma Hong Fu dengan Kyai Bantong.
Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Ampel disebut Sayyid Rahmad merupakan keponakan
dari Putri Champa permaisuri Prabu Brawijaya yang merupakan seorang muslimah.
Raden Rahmat dan Raden Santri adalah anak Makhdum Ibrahim (putra Haji Bong Tak Keng),
keturunan suku Hui dari Yunnan yang merupakan percampuran bangsa Han/Tionghoa dengan
bangsa Arab dan Asia Tengah (Samarkand/Asmarakandi). Raden Rahmat, Raden Santri dan
Raden Burereh/Abu Hurairah (cucu raja Champa) pergi ke Majapahit mengunjungi bibi
mereka bernama Dwarawati puteri raja Champa yang menjadi permaisuri raja Brawijaya.
Raja Champa saat itu merupakan seorang muallaf. Raden Rahmat, Raden Santri dan Raden
Burereh akhirnya tidak kembali ke negerinya karena Kerajaan Champa dihancurkan oleh
Kerajaan Veit Nam.
Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (= Hikayat Banjar resensi I), nama asli Sunan
Ampel adalah Raja Bungsu, anak Sultan Pasai. Beliau datang ke Majapahit
menyusul/menengok kakaknya yang diambil istri oleh Raja Mapajahit. Raja Majapahit saat
itu bernama Dipati Hangrok dengan mangkubuminya Patih Maudara (kelak Brawijaya VII) .
Dipati Hangrok (alias Girindrawardhana alias Brawijaya VI) telah memerintahkan
menterinya Gagak Baning melamar Putri Pasai dengan membawa sepuluh buah perahu ke
Pasai. Sebagai kerajaan Islam, mulanya Sultan Pasai keberatan jika Putrinya dijadikan istri
Raja Majapahit, tetapi karena takut binasa kerajaannya akhirnya Putri tersebut diberikan juga.
Putri Pasai dengan Raja Majapahit memperoleh anak laki-laki. Karena rasa sayangnya Putri
Pasai melarang Raja Bungsu pulang ke Pasai. Sebagai ipar Raja Majapahit, Raja Bungsu
kemudian meminta tanah untuk menetap di wilayah pesisir yang dinamakan Ampelgading.
Anak laki-laki dari Putri Pasai dengan raja Majapahit tersebut kemudian dinikahkan dengan
puteri raja Bali. Putra dari Putri Pasai tersebut wafat ketika istrinya Putri dari raja Bali
mengandung tiga bulan. Karena dianggap akan membawa celaka bagi negeri tersebut, maka
ketika lahir bayi ini (cucu Putri Pasai dan Brawijaya VI) dihanyutkan ke laut, tetapi kemudian
dapat dipungut dan dipelihara oleh Nyai Suta-Pinatih, kelak disebut Pangeran Giri. Kelak
ketika terjadi huru-hara di ibukota Majapahit, Putri Pasai pergi ke tempat adiknya Raja
Bungsu di Ampelgading. Penduduk desa-desa sekitar memohon untuk dapat masuk Islam
kepada Raja Bungsu, tetapi Raja Bungsu sendiri merasa perlu meminta izin terlebih dahulu

kepada Raja Majapahit tentang proses islamisasi tersebut. Akhirnya Raja Majapahit berkenan
memperbolehkan penduduk untuk beralih kepada agama Islam. Petinggi daerah Jipang
menurut aturan dari Raja Majapahit secara rutin menyerahkan hasil bumi kepada Raja
Bungsu. Petinggi Jipang dan keluarga masuk Islam. Raja Bungsu beristrikan puteri dari
petinggi daerah Jipang tersebut, kemudian memperoleh dua orang anak, yang tertua seorang
perempuan diambil sebagai istri oleh Sunan Kudus (tepatnya Sunan Kudus
senior/Undung/Ngudung), sedang yang laki-laki digelari sebagai Pangeran Bonang. Raja
Bungsu sendiri disebut sebagai Pangeran Makhdum.
Jadi, Sunan Ampel memiliki darah Uzbekistan dan Champa dari sebelah ibu. Tetapi dari ayah
leluhur mereka adalah keturunan langsung dari Ahmad al-Muhajir, Hadhramaut. Bermakna
mereka termasuk keluarga besar Saadah BaAlawi.

Isteri dan Anak


Isteri Pertama, yaitu: Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo AlAbbasyi, berputera:
1. Maulana Mahdum Ibrahim/Raden Mahdum Ibrahim/ Sunan Bonang/Bong Ang
2. Syarifuddin/Raden Qasim/ Sunan Drajat
3. Siti Syariah/ Nyai Ageng Maloka/ Nyai Ageng Manyuran
4. Siti Muthmainnah
5. Siti Hafsah
Isteri Kedua adalah Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera:
1. Dewi Murtasiyah/ Istri Sunan Giri
2. Dewi Murtasimah/ Asyiqah/ Istri Raden Fatah
3. Raden Husamuddin (Sunan Lamongan)
4. Raden Zainal Abidin (Sunan Demak)
5. Pangeran Tumapel
6. Raden Faqih (Sunan Ampel 2)

Sejarah dakwah
Syekh Jumadil Qubro (alias Haji Bong Tak Keng), dan kedua anaknya, Maulana Malik
Ibrahim dan Maulana Ishak bersama sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah,
Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam
Selatan, dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudra Pasai.
Di Kerajaan Champa, Maulana Malik Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Champa, yang
akhirnya mengubah Kerajaan Champa menjadi Kerajaan Islam. Akhirnya dia dijodohkan

dengan putri raja Champa (adik Dwarawati), dan lahirlah Raden Rahmat. Di kemudian hari
Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa tanpa diikuti keluarganya.
Sunan Ampel (Raden Rahmat) datang ke pulau Jawa pada tahun 1443, untuk menemui
bibinya, Dwarawati. Dwarawati adalah seorang putri Champa yang menikah dengan raja
Majapahit yang bernama Prabu Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri seorang adipati di Tuban yang
bernama Arya Teja. Mereka dikaruniai 4 orang anak, yaitu:
1. Putri Nyai Ageng Maloka,
2. Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang),
3. Syarifuddin (Sunan Drajat) dan
4. Syarifah, yang merupakan istri dari Sunan Kudus.
Pada tahun 1479, Sunan Ampel mendirikan Mesjid Agung Demak. Dan yang menjadi
penerus untuk melanjutkan perjuangan dakwah beliau di Kota Demak adalah Raden Zainal
Abidin yang dikenal dengan Sunan Demak, beliau merupakan putra beliau dari istri dewi
Karimah.Sehingga Putra Raden Zainal Abidin yang terakhir tercatat menjadi Imam Masjid
Agung tersebut yang bernama Raden Zakaria (Pangeran Sotopuro).
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak dan dimakamkan di sebelah
barat Masjid Ampel, Surabaya.

Sunan Drajat
Sunan Drajat diperkirakan lahir pada tahun 1470 Masehi. Nama kecilnya adalah Raden
Qasim, kemudian mendapat gelar Raden Syarifudin. Dia adalah putra dari Sunan Ampel, dan
bersaudara dengan Sunan Bonang.
Ketika dewasa, Sunan Drajat mendirikan pesantren Dalem Duwur di desa Drajat, Paciran,
Kabupaten Lamongan.
Sunan Drajat yang mempunyai nama kecil Syarifudin atau raden Qosim putra Sunan Ampel
dan terkenal dengan kecerdasannya. Setelah menguasai pelajaran islam beliau menyebarkan
agama Islam di desa Drajat sebagai tanah perdikan di kecamatan Paciran. Tempat ini
diberikan oleh kerajaan Demak. Ia diberi gelar Sunan Mayang Madu oleh Raden Patah pada
tahun saka 1442/1520 masehi
Makam Sunan Drajat dapat ditempuh dari Surabaya maupun Tuban lewat Jalan Daendels
(Anyar-Panarukan), namun bila lewat Lamongan dapat ditempuh 30 menit dengan kendaraan
pribadi.

Sejarah singkat

Sunan Drajat bernama kecil Raden Syarifuddin atau Raden Qosim putra Sunan Ampel yang
terkenal cerdas. Setelah pelajaran Islam dikuasai, beliau mengambil tempat di Desa Drajat
wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan sebagai pusat kegiatan dakwahnya sekitar
abad XV dan XVI Masehi. Ia memegang kendali keprajaan di wilayah perdikan Drajat
sebagai otonom kerajaan Demak selama 36 tahun.
Beliau sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal berjiwa sosial, sangat memperhatikan
nasib kaum fakir miskin. Ia terlebih dahulu mengusahakan kesejahteraan sosial baru
memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Motivasi lebih ditekankan pada etos kerja
keras, kedermawanan untuk mengentas kemiskinan dan menciptakan kemakmuran.
Usaha ke arah itu menjadi lebih mudah karena Sunan Drajat memperoleh kewenangan untuk
mengatur wilayahnya yang mempunyai otonomi.
Sebagai penghargaan atas keberhasilannya menyebarkan agama Islam dan usahanya
menanggulangi kemiskinan dengan menciptakan kehidupan yang makmur bagi warganya,
beliau memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Patah Sultan Demak pada tahun
saka 1442 atau 1520 Masehi.

Filosofi Sunan Drajat


Filosofi Sunan Drajat dalam pengentasan kemiskinan kini terabadikan dalam sap tangga ke
tujuh dari tataran komplek Makam Sunan Drajat. Secara lengkap makna filosofis ke tujuh sap
tangga tersebut sebagai berikut :
1. Memangun resep tyasing Sasoma (kita selalu membuat senang hati orang lain)
2. Jroning suka kudu ling lan waspada (di dalam suasana riang kita harus tetap ingat

dan waspada)
3. Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah (dalam perjalanan

untuk mencapai cita - cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)
4. Mpr Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu)
5. Heneng - Hening - Henung (dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan

dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita - cita luhur).
6. Mulya guna Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan

salat lima waktu)


7. Mnhana teken marang wong kang wuta, Mnhana mangan marang wong kang

luw, Mnhana busana marang wong kang wuda, Mnhana ngiyup marang wong
kang kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan
masyarakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta
beri perlindungan orang yang menderita)

Penghargaan

Dalam sejarahnya Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang Wali pencipta tembang
Mocopat yakni Pangkur. Sisa - sisa gamelan Singo mengkok-nya Sunan Drajat kini tersimpan
di Museum Daerah.
Untuk menghormati jasa - jasa Sunan Drajat sebagai seorang Wali penyebar agama Islam di
wilayah Lamongan dan untuk melestarikan budaya serta benda-benda bersejarah
peninggalannya Sunan Drajat, keluarga dan para sahabatnya yang berjasa pada penyiaran
agama Islam, Pemerintah Kabupaten Lamongan mendirikan Museum Daerah Sunan Drajat
disebelah timur Makam. Museum ini telah diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur tanggal 1
Maret 1992.
Upaya Bupati Lamongan R. Mohamad Faried, S.H. untuk menyelamatkan dan melestarikan
warisan sejarah bangsa ini mendapat dukungan penuh Gubernur Jawa Timur dengan alokasi
dana APBD I yaitu pada tahun 1992 dengan pemugaran Cungkup dan pembangunan Gapura
Paduraksa senilai Rp.98 juta dan anggaran Rp.100 juta 202 ribu untuk pembangunan kembali
Mesjid Sunan Drajat yang diresmikan oleh Menteri Penerangan RI tanggal 27 Juni 1993.
Pada tahun 1993 sampai 1994 pembenahan dan pembangunan Situs Makam Sunan Drajat
dilanjutkan dengan pembangunan pagar kayu berukir, renovasi pasban, bal rant serta
Cungkup Sitinggil dengan dana APBD I Jawa Timur sebesar RP. 131 juta yang diresmikan
Gubernur Jawa Timur M. Basofi Sudirman tanggal 14 Januari 1994.

Sunan Bonang

Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah
Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi
Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban. Sunan Bonang belajar agama dari pesantren
ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai
pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri,yang mayoritas masyarakatnya
beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha.
Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer
timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus
pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai
imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi.

Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana
ke daerah-daerah yang sangat sulit.
Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau
Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di
sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan
Tuban.
Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran
ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin,
tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai
seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.
Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan
kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan
intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut
disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal
ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah
satunya adalah "Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al
Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung
laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta
Hamzah Fansuri.
Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu,
dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang,
dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir
yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo
Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang.
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya.
Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah
perseteruan Pandawa-Kurawa.

Sunan Muria

Sunan Muria dilahirkan dengan nama Raden Umar Syaid. Menurut beberapa riwayat Sunan
Muria merupakan putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Soejinah (putri
Sunan Ngudung). Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung Muria.
Gunung tersebut merupakan tempat beliau berdakwah hingga tempat dia dimakamkan.
Berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah yang sangat terpencil
dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Maka dari itu, ia memilih gunung
Muria sebagai tempat berdakwahnya.
Bercerita tentang Sunan Muria, wali ini terkenal karena kesaktian ilmunya. Ia memiliki fisik
yang kuat karena sering naik turun gunung muria yang tingginya sekitar 750 meter untuk
menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat.
Kesaktiannya tersebut ditemukan saat beliau dipercaya untuk menikahi Dewi Roroyono putri
dari seorang ulama bernama Ngerang yang sangat disegani masyarakat , yang bertempat
tinggal di juana, pati jawa tengah. Bahkan Sunan kudus pun juga sempat menjadi murid
ulama tersebut.
Konon, ada suatu kejadian dimana Dewi Roroyono diculik oleh murid Ngerang sendiri yakni
Adipati Pathak Warak. Berbeda dengan Sunan Muria dan Sunan Kudus yang bisa menahan
pandangan mata dari wanita cantik karena ilmu agama mereka, murid Ngerang yang satu ini
sangat tergila-gila dengan Dewi Roroyono. Sempat mendapat penolakan dari wanita tersebut,
Pathak Warak kesal dan berniat untuk menculik wanita yang sudah membuat dirinya tergilagila.
Tau anaknya diculik oleh Pathak Warak selepas sebuah pertemuan yang dihadiri semua
murid-muridnya, Ulama Ngerang mengumpulkan lagi semua murid yang masih tinggal
ditempatnya dan masyarakat untuk membantu menemukannya. Ngerang pun berjanji akan
memberi hadiah, jika ia wanita akan dijadikan saudara Dewi Roroyono, apabila ia laki-laki,
Beliaun berjanji akan menikahi anaknya dengan pria tersebut. Meski begitu, ternyata hanya
Sunan Muria yang menawarkan diri untuk menyelamatkan Dewi Roroyono.
Ketika pengejaran Sunan Muria kepada Pathak Warak, Sunan Muria bertemu dengan Kapa
dan Gentiri (adik seperguruan Sunan Muria) yang telah pulang terlebih dahulu dari
pertemuan yang diceritakan diatas. Sunan Muria lantas menceritakan apa yang terjadi dan
segera ingin melanjutkan pengejarannya. Tapi kedua saudaranya itu menahan Sunan Muria,
dan menawarkan diri untuk menggantikannya untuk membawa kembali Dewi Roroyono.
Disitu keduanya berjani, jika berhasil Sunan Muria tetap berhak menikahi Dewi Roroyono.
Alhasil, Kapa dan Gentiri berhasil menculik balik Dewi Roroyono dari Pathak Warak.
Uniknya mereka berdua langsung membawa Dewi Roroyono ketempat ayahnya Ngerang.
Disana keduanya menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Dilain pihak, Sunan Muria yang belum tau Dewi Roroyono telah dibawa pulang oleh kedua
saudaranya, bertemu dengan Pathak Warak yang sedang mengejar Kapa dan Gentiri. Sunan
Muria menghadang laju kuda yang dinaiki Pathak Warak tanpa mengetahui apa yang telah
terjadi. Pathak Warak menjelasakan dan terjadilah perkelahian. Diriwayatkan, karena
kesaktiannya, dalam duel tersebut Sunan Muria mengalahkan Pathak Warak hanya beberapa
kali gebrakan saja. Bahkan seluruh kesaktian dari Pathak Warak lenyap, dai ia lumpuh hingga
tidak bisa berdiri lagi.

Pada akhirnya, Ulama Ngerang menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria.Upacara
pernikahan pun dilaksanakan. Kapa dan Gentiri berjasa besar diberi hadiah tanah di desa
buntar. Dengan hadiah itu keduanya menjadi orang kaya yang kehidupan mereka serba
kecukupan. Sementara itu, Sunan Muria segera memboyong istrinya ke padepokan gunung
muria. Mereka hidup bahagia karena merupakan pasangan ideal.

TUGAS SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM


TENTANG 9 WALI

NAMA

: Muhammad Fauzan

KELAS

: IX A

Anda mungkin juga menyukai