Anda di halaman 1dari 18

MATERI STUDENT LEARNING GATHERING (SLG)

REVISI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 2002
TENTANG
KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Korupsi merupakan perbuatan


penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan
sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain, korupsi sendiri
merupakan hal yang sangat merugikan negara.
Di Indonesia, tindak pidana korupsi yang terjadi dari tahun ke tahun makin
sistematis merasuki seluruh sendi kehidupan bernegara dan masyarakat.
Perkembangan korupsi selama kurang lebih 30 tahun tidak semakin
berkurang, bahkan semakin bertambah baik dari sisi kuantitatif maupun
dari sisi kualitatif.
Dari aspek kerugian keuangan negara, hasil audit Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) memperlihatkan nilai korupsi yang terjadi disejumlah
instansi di Indonesia sangat besar dan cenderung meningkat setiap
tahunnya. Sejak berdiri 12 (dua belas) tahun yang lalu, Komisi
Pemberantasan Korupsi seperti tak berhenti menangkap pejabat pelaku
tindak pidana korupsi. Tak pandang bulu, mulai dari ketua lembaga
negara, pimpiinan partai, anggota legislatif, menteri, gubernur, bupati,
hingga petinggi lembaga penegak hukum. Dalam kurun waktu 2004-2015,
KPK memenjarakan 23 menteri dan kepala lembaga negara, 15 gubernur,
49 bupati/walikota, 87 legislator, serta 120 pejabat eselon I, II, dan III.
Namun, faktanya, perkara korupsi tak menyusut sama sekali. Jumlah
perkara tindak pidana korupsi meningkat dari 1.257 kasus pada 2011
menjadi 2.270 kasus pada tahun 2014, atau dapat dikatakan terdapat
kenaikan sebanyak 80,6% dalam tiga tahun.
Korupsi yang terus berlangsung bagaikan penyakit kanker yang sulit untuk
disembuhkan. Korupsi tidak saja menyebabkan terjadinya kerugian pada
keuangan negara namun juga berdampak terhadap terjadinya
pelanggaran hak-hak sosial warga negara.

Pusat Kajian Indonesia Berbicara | 1

Pada tahun 2003, KPK didirikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri


berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat KPK).
Namun, jauh sebelum terbetuknya KPK, Indonesia telah memiliki lembagalembaga negara yang memiliki tugas pokok untuk memberantas korupsi
di Indonesia. Oleh karena itu, ada baiknya kita lebih mengenal sejarah
Lembaga Pemberantasan Korupsi di Indonesia, sebagai berikut:
Pada tahun 1967, dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi melalui
Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967. Tim ini bertugas untuk
membantu Pemerintah dalam memberantas korupsi yang terjadi di
Indonesia, terutama dalam hal pencegahan dan penindakan.
Pada tahun 1970, terbentuklah Komisi IV (empat) melalui Keputusan
Presiden Nomor 12 Tahun 1970, sekaligus sebagai Komite Anti Korupsi
yang masa kerjanya hanya berlangsung selama dua bulan.
Tahun 1977 sampai dengan 1981, melalui Instruksi Presiden Nomor 9
Tahun 1977 dibentuklah Operasi Penertiban yang memiliki tugas
pokok untuk membersihkan pungutan liar, penertiban uang siluman,
penertiban aparat PEMDA dan Departemen.
Pada tahun 1982, dihidupkan kembali Tim Pemberantasan Korupsi
tanpa dikeluarkan Keputusan Presiden yang baru.
Pada tahun 1999, didirikannya Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara melalui Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun
1999. Tim ini bertugas melakukan pemeriksaan kekayaan pejabat
negara.
Tahun 2000 hingga 2001, dibentuklah Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2000 dan merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tim ini bertugas
untuk mengungkapkan perkara-perkara korupsi yang ditangani oleh
Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Pada tahun 2003, didirikanlah Komisi Pemberantasan Korupsi
berdasarkan amanat dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Tujuan awal didirikannya KPK
karena lembaga Pemerintah yang menangani tindak pidana korupsi
belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak
pidana korupsi.
Dan pada tahun 2005, dibentuk Tim Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005, yang
memiliki tugas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.
Dalam hal ini KPK diberi amanat untuk melakukan pemberantasan korupsi
secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. KPK merupakan

Pusat Kajian Indonesia Berbicara | 2

lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna


dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi
yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun1, bukan untuk mengambil
alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga atau institusiinstitusi yang ada sebelumnya. Penjelasan Undang-Undang menyebutkan
peran KPK sebagai lembaga penggerak pemberantasan korupsi yang
berintegritas, efektif, dan efisien.2
Dalam pelaksanaan tugas dan
kewenangannya, KPK berpedoman kepada 5 (lima) asas, yaitu 3: kepastian
hukum;
keterbukaan;
akuntabilitas;
kepentingan
umum;
dan
proposionalitas. KPK dalam hal ini harus bertanggung jawab kepada publik
dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK).
KPK mempunyai 5 (lima) tugas penting yaitu4: 1). Koordinasi dengan
instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi; 2). Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi; 3). Melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; 4).
Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan 5).
Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Sementara dalam melaksanakan tugas koordinasi, KPK berwenang untuk
mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi; menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan
pemberantasan
korupsi;
meminta
informasi
tentang
kegiatan
pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi terkait;
Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana
korupsi.
Adapun dasar hukum yang memperkuat
pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu:

KPK

dalam

melakukan

1 http://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/sekilas-kpk
2 http://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/visi-misi
3 http://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/sekilas-kpk
4 http://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/fungsi-dan-tugas

Pusat Kajian Indonesia Berbicara | 3

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang


Hukum Acara Pidana;
Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan
Negera yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi;
Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan
Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU
Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tindak Pidana Pencucian Uang;
Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2005 tentang Sistem
Manajemen Sumber Daya Manusia KPK;
Undang-Undangn No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi;
Peraturan Pemerintah No. 103 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2005 Tentang Sistem
Manajemen Sumber Daya Manusia KPK;
Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian;
Keputusan Presiden RI No. 73 Tahun 2003 Tentang Pembentukan
Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan
Peraturan Pemerintah RI No. 109 Tahun 2000 Tentang Kedudukan
Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dan eksistensi KPK kembali


diuji. Kali ini melalui mekanisme yang sah, melalui proses legislatif dengan
cara melakukan Revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (biasa di kenal
dengan UU KPK) yang mulai bergulir sejak taun 2010 lalu.
REKAM JEJAK MENGENAI REVISI UU NOMOR 30 TAHUN 2002
TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Dalam sejarah Republik Indonesia Revisi UU KPK adalah regulasi yang
paling alot baik dalam proses pengusulan maupun pembahasannya.
Berikut adalah rekam jejak Indonesia Corruption Watch (selanjutnya
disingkat ICW) mengenai perjalanan Revisi UU KPK sejak 2010 sampai
dengan Februari 2016, sebagai berikut:
Dimulai pada 26 Oktober 2010, Komisi Hukum DPR RI mulai
mewancanakan revisi UU KPK. Pada tahun 2011, Wakil Ketua DPR RI
Pusat Kajian Indonesia Berbicara | 4

mengajukan
usulan
Revisi
UU
KPK
dengan
surat
bernomor
PW01/0054/DPR-RI/1/2011 tertanggal 24 Januari 2011 yang ditulis oleh
Priyo Budi Santoso (Wakil Ketua DPR RI) dari fraksi Golkar kepada Benny K
Harman (Ketua Komisi III DPR RI). Dalam surat tersebut, Priyo meminta
Komisi III menyusun draf naskah akademik dan revisi UU KPK. Prolegnas
prioritas pada 2011 terdapat 70 rancangan tentang perubahan UU, revisi
UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK menjadi salah satu undang-undang
dalam daftar tersebut dan hal itu di prakasai oleh Komisi III DPR. Di tahun
yang sama, Ketua Komisi Hukum DPR menyatakan bahwa revisi UU KPK
merupakan satu keharusan. Menurut Komisi III DPR RI, ada 10 poin pada
UU KPK yang harus direvisi, antara lain:
(1)Kewenangan merekrut penyidik dan penuntut;
(2)Fokus pada agenda pemberantasan korupsi yang harus dipertegas;
(3)Wewenang menyadap;
(4)Laporan harta kekayaan penyelenggara negara;
(5)Kewenangan penyitaan dan penggeledahan;
(6)Menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3);
(7)Berkaitan dengan prinsip kolektif kolegial kepemimpinan KPK;
(8)Prioritas kerja KPK dalam bidang pencegahan atau penindakan
harus dipertegas;
(9)Fokus penindakan KPK untuk kasus dengan ukuran tertentu;
(10)
Fokus KPK untuk menyelamatkan uang negara atau ingin
menghukum pelaku korupsi.
Pada Februari 2012, munculah Naskah Revisi UU KPK yang diduga
berasal dari Badan Legislasi DPR RI. Dalam hal ini, kewenangan
penuntutan hilang, penyadapan harus izin Ketua Pengadilan, dibentuknya
dewan pengawas, dan KPK hanya boleh menangani kasus korupsi yang
merugikan negara diatas lima milyar rupiah, namun naskah ini hanya
beredar terbatas di Komisi III DPR RI. Beberapa bulan kemudian, pada
tanggal 3 Juli 2012 diadakan Rapat Pleno Komisi III DPR RI yang dipimpin
oleh Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Golkar, yakni Aziz Syamsuddin.
Adapun hasil dari Rapat Pleno tersebut menunjukkan terdapat 7 fraksi di
DPR RI menyetujui Revisi UU KPK dan UU Tindak Pidana Korupsi
(selanjutnya disingkat UU Tipikor), yaitu fraksi Partai Demokrat, Golkar,
PAN, PKB, PPP, Gerindra, dan Hanura. Sedangkan di lain pihak, PDI
Perjuangan menolak revisi UU KPK, dan PKS menyatakan dirinya abstain.
Pada tanggal 27 September 2012, Ketua Komisi Hukum DPR RI, Gede
Pasek Suardika menyatakan DPR mempercepat pembahasan revisi UU
KPK. Revisi tersebut dalam rangka memperjelas kewenangan KPK yang
selama ini belum jelas, serta revisi tersebut sudah tak bisa ditolak karena
perubahan sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas)
sejak tahun 2011. Selanjutnya, Komisi III DPR RI menyelenggarakan Rapat

Pusat Kajian Indonesia Berbicara | 5

Pleno, pada tanggal 4 Oktober 2012, dengan agenda menyetujui untuk


melanjutkan naskah revisi UU tentang perubahan UU No. 30 Tahun 2002
tentang KPK pada proses berikutnya, yaitu pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi oleh Badan Legislasi DPR RI.
Namun, pada tanggal 8 Oktober 2012, Presiden RI, Bapak Susilo
Bambang Yudhoyono (pada waktu masa jabatan sebagai Presiden RI)
membuat pernyataan persnya yang menyatakan bahwa lebih baik kita
meningkatkan upaya pemberantasan korupsi agar lebih berhasil, daripada
harus memberikan perhatian dan menghabiskan energi hanya untuk
melakukan revisi UU KPK dan saya mendukung penuh KPK. Sampai pada
saat ini saya tidak tahun konsep DPR untuk merevisi UU KPK itu, Jika
ternyata revisi tersebut untuk memperkuat KPK dan lebih efektif, maka
saya siap untuk membahasnya, tetapi untuk saat ini belum tepat. Hal
tersebut ternyata berdampak kepada Panitia Kerja (Panja) Revisi UU KPK,
pada tanggal 16 Oktober 2012, mereka memutuskan untuk
menghentikan pembahasan revisi UU KPK tersebut. Seluruh fraksi partai
politik DPR menolak Revisi UU KPK. Selanjutnya, keputusan Panja
diserahkan ke Badan Legislatif, Dalam hal ini, Ketua Panja Revisi UU KPK,
R.
Dimyati
Natakusuma
mengatakan
keputusan
Panja
untuk
menghentikan pembahasan tidak lepas dari upaya DPR untuk
mendengarkan suara rakyat , terutama bagi mereka yang menolak.
Setelah dua tahun vakum, pada 9 Oktober 2015, keluar Surat Keputusan
DPR RI tentang Program Legislasi Nasional 2015-2019 dan Program
Legislasi Nasional Revisi UU Prioritas Tahun 2015. Surat dengan Nomor
06A/DPR/II/2014-2015 yang ditandatangani oleh Ketua DPR, Setya
Norvanto. Revisi UU KPK tercantum dalam nomor urut 63 dan diusulkan
oleh DPR RI. Namun, pada 19 Juni 2015, Presiden Joko Widodo
menyatakan membatalkan rencana pemerintah untuk membahas Revisi
UU KPK dalam Program Legislasi Nasional 2015.
Pada 23 Juni 2015, diadakan Sidang Paripurna, seluruh fraksi di DPR RI
bersepakat untuk memasukkan Revisi UU KPK dalam Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) Prioritas 2015. Revisi UU KOK masuk daftar
Rancangan Undang-Undang yang ditambah dalam Prioritas Prolegnas
2015. Dalam sidang tersebut tidak ada satu fraksi yang menolak Revisi UU
KPK. Adapun DPR memasukkan UU KPK dala Prolegnas 2015 karena
usulan dari Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly. Secara garis besar
ada 5 isu krusial yang diangkat oleh DPR dalam naskah Revisi UU KPK,
yaitu : 1). Pembatasan kewengan penyadapan; 2). Pembentukan dewan
pengawas KPK; 3). Penghapusan kewenangan penuntutan; 4). Pengetatan
rumusan mengenai kolektif-kolegial; dan 5). Pengaturan terkait PLT
Pimpinan jika berhalangan hadir.

Pusat Kajian Indonesia Berbicara | 6

Oktober 2015, telah beredar naskah Revisi UU KPK yang patut diduga
berasal dari gedung Parlemen di Senayan. Dalam catatan ICW, sedikitnya
terdapat 17 hal krusial dalam Revisi UU KPK versi Senayan yang
melemahkan KPK. Mulai dari usulan pembatasan usia institusi KPK hingga
12 tahun mendatang, memangkas kewenangan penuntutan, mereduksi
kewenangan penyadapan, membatasi proses rekruitmen penyelidik
secara mandiri hingga membatasi kasus korupsi yang dapat ditangani
oleh KPK. Namun, pada 13 Oktober 2015, Pemerintah dan DPR akhirnya
sepakat menunda pembahasan Revisi UU KPK. Kesepakatan ini tercapai
setelah Presiden Joko Widodo dan Pimpinan DPR bertemu dalam rapat
Konsultasi di Istana Negara. Keduanya bersepakat untuk membahas Revisi
UU KPK ini dalam masa sidang selanjutnya pada tahun 2016 nanti. Ketua
DPR, Setya Novanto mengungkapkan bahwa penundaan ini dilakukan
karena DPR masih fokus membahas RAPBN 2016, yang harus disahkan
pada rapat paripurna 30 Oktober 2015 ini.
Selanjutnya, pada November 2015, Badan Legislasi (Baleg) DPR dan
Menteri Hukum dan HAM menyetujui Revisi UU KPK menjadi prioritas yang
harus diselesaikan pada tahun 2015 ini. DPR beralasan Revisi UU KPK
penting dilakukan untuk menyempurnakan kelembagaan KPK. Revisi UU
KPK menjadi usulan DPR. Namun, di pihak lain, Presiden Joko Widodo
mempertegaskan penyataannya bahwa revisi UU KPK merupakan inisiatif
dari DPR. Dulu juga saya sampaikan, tolong rakyat ditanya, semangat
revisi UU KPK itu untuk memperkuat, bukan untuk memperlemahkan..
Pertengahan Desember 2015, Materi Revisi UU KPK masuk dalam
materi pertanyaan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon Pimpinan
KPK periode 2015-2019. Uji Kelayakan dilakukan oleh Komisi III DPR.
Dalam Rapat Paripurna, 15 Desember 2015, di DPR RI memutuskan
untuk memasukkan Revisi UU KPK dalam Prolegnas 2015. Keputusan yang
dilakukan secara mendadak di hari-hari akhir masa sidang anggota DPR
RI, yang akan reses pada 18 Desember 2015.
Permasalah Revisi UU KPK bergulir hingga tahun berikutnya, pada 26
Januari 2016, DPR menyepakati Revisi UU KPK masuk dalam Prolegnas
2016 di DPR RI. Hanya fraksi partai Gerindra yang menolak Revisi UU KPK.
Dan pada bulan Februari 2016, Revisi UU KPK mulai dibahas dalam rapat
harmonisasi Baleg di DPR RI. Anggota fraksi PDI Perjuangan, Risa Mariska
dan Ichsan Soelistyo hadir sebagai perwakilan pengusul revisi UU
tersebut.
PRO DAN KONTRA TERHADAP DRAF REVISI UU NOMOR 30 TAHUN
2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI

Pusat Kajian Indonesia Berbicara | 7

Sepanjang perjalanan wacana merevisi UU KPK, selalu disebutkan


tujuannya untuk memperkuat komisi anti rasuah tersebut. Namun, jika
melihat isi draf Revisi UU KPK yang terlihat adalah upaya untuk
melemahkan komisi yang lahir dari rahim reformasi itu.
Berikut pada tabel 1.1 memaparkan mengenai draf Revisi UU KPK sejak
Oktober 2015 sampai dengan Februari 2016, yakni:
MATERI
PERUBAH
AN

Dewan
Eksekutif

Batas
Waktu
KPK

Kasus
yang
ditangani

Kewenang
an
penyadap
an

DRAF I
(OKTOBER 2015)

DRAF II
(DESEMBER 2015)

KPK terdiri dari:


a. Pimpinan KPK yang
terdiri 5 anggota
komisioner KPK
b. Dewan
Eksekutif
yang terdiri atas 4
anggota (Pasal 22)

KPK terdiri dari:


a. Komisioner KPK terdiri
dari 5 orang anggota
KPK
b. Dewan Eksekutif yang
terdiri atas 4 anggota
Dewan
Eksekutif
(Pasal 27)
Tidak diatur batas masa
waktu KPK

Tidak ada.

Menyangkut kerugian
negara, paling sedikit
Rp 25 miliar
Menyangkut
kasus
korupsi yang waktu
kejadiannya
kurang
dari dua tahun (Pasal
11 ayat 1)

Menyangkut kerugian
negara paling sedikit

Perlu
izin
tertulis
Ketua
Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi
(Pasal 13 ayat 1)
Penyadapan dilakukan
paling lama 3 bulan
dan
dapat
diperpanjang satu kali
untuk jangka waktu
yang sama (ayat 3)
Dalam hal mendesak,
penyadapan
dapat
dilakukan
sebelum
mendapatkan
izin
tertulis dari Ketua
Pengadilan
Tindak
Pidana Korupsi (Pasal

KPK dibentuk untuk


masa waktu 12 tahun
sejak
UU
ini
diundangkan (Pasal 5)
- Kasus
dengan
kerugian
negara
paling sedikit Rp
50 miliar (Pasal 13
huruf b)
- Untuk kerugian di
bawah
Rp
50
miliar, KPK wajib
menyerahkan
ke
Kepolisian
&
Kejaksaan
(Pasal
13 huruf c)
Perlu izin dari Ketua
Pengadilan
Negeri
(Pasal 14 ayat (1)
huruf a)

DRAF III
(FEBRUARI 2016)

Tidak diatur batas


masa waktu KPK

Penyadapan
dilaksanakan
setelah terdapat
bukti permulaan
yang cukup &
atas
izin
dari
Dewan Pengawas
(Pasal 12 ayat 1)
Penyadapan
dilakukan paling
lama
3
bulan
terhitung
sejak
izin
tertulis
diterima penyidik
(ayat 3)

Pusat Kajian Indonesia Berbicara | 8

Kewenang
an
penuntuta
n

Kewenang
an
menerbitk
an SP3

Penyelidik
&
Penyidik

Pengawas
KPK

Penuntut adalah Jaksa


yang berada di bawah
lembaga
Kejaksaan
Agung RI yang diberi
wewenang oleh KUHAP
untuk
melakukan
penuntutan
dan
melaksanakan
penetapan
Hakim
(Pasal 53 ayat 1)
KPK
berwenang
mengeluarkan
SP3
setelah
diketahui
tindak pidana korupsi
yang sedang ditangani
tidak
memenuhi
syarat
untuk
dilanjutkan ke tahap
penuntutan (Pasal 42)

Penyelidik
dan
penyidik yang menjadi
pegawai
pada KPK
berasal dari instansi
Kepolisian
dan
Kejaksaan
setelah
diusulkan
oleh
Kepolisian
dan
Kejaksaan (Pasal 41
ayat 3)
-

Dibentuk
Dewan
Kehormatan
dengan
kewenangan
memeriksa
dan
memutuskan
dugaan
penyalahgunaan
wewenang
serta
menjatuhkan
sanksi administrasi
dalam
bentuk
teguran lisan dan
tertulis,
pemberhentian
sementara
dan
pemberhentuan
dari pegawai KPK

14 ayat 1)
Penuntut adalah jaksa
yang berada di bawah
lembaga
Kejaksaan
Agung RI yang diberi
wewenang berdasarkan
UU No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara
Pidana dan UU No. 16
Tahun
2004
tentang
Kejaksaan (Pasal 68 ayat
1)
KPK dapat mengeluarkan
SP3 dalam perkara tindak
pidana korupsi, jika:
a. Tidak
memenuhi
syarat
untuk
dilanjutkan ke tahap
penuntutan
b. Dinyatakan
tidak
berwenang
oleh
putusan
pengadilan
(Pasal 60)
Penyidik
KPK
adalah
penyidik
yang
diperbantukan
dari
instansi Kepolisian dan
Kejaksaan
selama
menjadi pegawai pada
KPK (Pasal 57 ayat 1)

Dibentuk
Dewan
Pengawas
KPK
yang
dipilih dan diangkat oleh
Presiden RI (Pasal 48 Ayat
1)

Dalam melaksanakan
tugasnya,
KPK
berwenang
melakukan
penyelidikan,
penyidikan,
dan
penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi
(Pasal 11)

KPK
berwenang
mengeluarkan
SP3
dalam perkara tindak
pidana korupsi (Pasal
40)

Penyidik
KPK
merupakan penyidik
yang diperbantukan
dari
Kepolisian
Negara,
Kejaksaan
RI,
dan
Penyidik
Pegawai Negeri Sipil
yang
diberi
wewenang
khusus
oleh UU (Pasal 45
ayat 1)
- Dibentuk Dewan
Pengawas (Pasal
37 A ayat 1)
dengan
tugas
mengawasi
pelaksanaan
tugas
dan
wewenang
KPK,
menyelenggaraka
n sidang dugaan
pelanggaran etik
pimpinan
KPK,
mengevaluasi
kinerja pimpinan
KPK, setiap tahun,
serta menerima
dan
menindaklanjuti

Pusat Kajian Indonesia Berbicara | 9

dan
pelaporan
tindak pidana yang
dilakukan
komisioner
KPK
(Pasal 39 ayat 2)
Dewan
Kehormatan
bersifat ad hoc
yang terdiri dari 9
anggota, yaitu 3
unsur
dari
Pemerintah,
3
unsur
aparat
penegak
hukum,
dan 3 orang unsur
masyarakat (ayat
3)

laporan
masyarakat
terkait
dugaan
pelanggaran etik
pimpinan
KPK
(Pasal 37 B)
Anggota
Dewan
Pengawas dipilih
dan diangkat oleh
Presiden RI (Pasal
37 D ayat 1)

Berdasarkan pemaparan draf Revisi UU KPK diatas, diantaranya terdapat


pasal-pasal yang cukup krusial, yaitu:
1. Dewan Pengawas KPK
Adanya ketentuan mengenai pembentukan Dewan
merupakan suatu ketentuan yang kontroversi. Mengapa?

Pengawas

Pasal 37A ayat (1) jo Pasal 37B


Dibentuk Dewan Pengawas dengan tugas mengawasi pelaksanaan
tugas dan wewenang KPK, menyelenggarakan sidang dugaan
pelanggaran etik pimpinan KPK, mengevaluasi kinerja pimpinan KPK,
setiap tahun, serta menerima dan menindaklanjuti laporan masyarakat
terkait dugaan pelanggaran etik pimpinan KPK.
Pasal 37D ayat (1)
Anggota Dewan Pengawas dipilih dan diangkat oleh Presiden RI.
2. Batas Masa Waktu KPK
Dalam Draf Revisi UU KPK III (februari) telah dihapus ketentuan yang
membahas mengenai adanya batas masa waktu KPK. Seperti yang kita
ketahui, dalam draf awal Revisi UU KPK I (oktober) diatur secara
spesifik dalam pasal-pasalnya, yaitu:
Pasal 5
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibentuk untuk masa
waktu 12 (dua belas) tahun sejak undang-undang ini diundangkan

Pusat Kajian Indonesia Berbicara | 10

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Pasal diatas, bahwa batas


masa waktu KPK hanya 12 tahun sejak Revisi UU KPK ini disahkan.
Kemudian dipertegas kembali dalam Pasal 73 draf Revisi UU KPK. Jika
melihat sejarah dibentuknya KPK, KPK merupakan lembaga negara
yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna
terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang bersifat
independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bebas dari kekuasaan manapun. Dengan adanya langkah pembatasan
masa waktu KPK merupakan salah satu bentuk pelemahan
pemberantasan tindak pidana korupsi, bukan hanya bagi KPK, tetapi
juga akan berdampak buruk bagi Bangsa Indonesia karena secara tidak
langsung ini merupakan lonceng peringatan yang baik bagi para
koruptor.
3. Ruang Lingkup Kasus yang Ditangani
Salah satu yang menjadi perhatian adalah ruang lingkup kasus yang
ditangani. Dalam draf Revisi UU KPK III untuk ketentuan mengenai
ruang lingkup kasus yang ditangani masih mengalami kerancuan
karena dalam ketentuan tersebut hanya menyatakan bahwa Kasus
yang menyangkut dengan kerugian negara paling sedikit. Dalam
ketentuan pasal tersebut tidak dijelaskan secara langsung batas
minimum kerugian negara paling sedikit itu seberapa. Hal ini akan
menimbulkan multitafsir dikemudian hari.
Jika dibandingkan dengan UU KPK sekarang mengenai ketentuan ini
terang dijelaskan dalam Pasal 11 huruf (c) yang menyatakan bahwa:
Dalam melaksanakan tugasnya, KPK berwenang melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang
menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah)
Dan jika kita lihat dalam sejarah Revisi UU KPK terdapat beberapa kali
perubahan dalam ketentuan ini. Dalam Draf Revisi UU KPK I (Oktober)
yang dijelaskan secara langsung dalam pasal-pasalnya, yaitu :
Pasal 13 huruf (b)
Dalam melaksanakan tugasnya, KPK berwenang melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang
menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 50.000.000.000,00
(lima puluh milyar rupiah)
Pasal 13 huruf (c)

Pusat Kajian Indonesia Berbicara | 11

Untuk kasus tindak pidana korupsi yang menyangkut kerugian negara


di bawah Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah), KPK wajib
menyerahkan ke instansi Kepolisian dan Kejaksaan.
Selanjutnya, pada Draf Revisi UU KPK II (Desember) juga dijelaskan
dalam pasal 11 ayat (1) yang menyatakan bahwa:
Dalam melaksanakan tugasnya, KPK berwenang melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang
menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 25.000.000.000,00 (dua
puluh lima milyar rupiah) dengan waktu kejadiannya kurang dari dua
tahun
Jika melihat dari sejarah Revisi UU KPK memang terdapat ketidakkonsistenan DPR dalam hal ruang lingkup kewenangan KPK menangani
kasus. Berdasarkan beberapa pasal diatas, DPR masih belum dapat
memecahkan permasalahan mengenai kerugian negara paling
sedikit secara proposional.
4. Kewenangan
KPK
Dalam
Penyidikan, dan Penuntutan

Melakukan

Penyelidikan,

Berdasarkan Pasal 6 huruf (c) jo Pasal 38 ayat (1) jo Pasal 39 ayat (1)
UU KPK menyatakan bahwa :
KPK mempunyai tugas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang telah diberi
wewenang berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain
dalam Undang-Undang ini.
Kemudian, dalam Pasal 39 ayat (3) dijelaskan pula bahwa Penyelidik,
penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada KPK,
diberhentikan sementara dari instansi Kepolisian dan Kejaksaan selama
menjadi pegawai pada KPK.
Jika melihat dari rekam jejak draf Revisi UU KPK, dalam draf Revisi UU
KPK I (Oktober) dan draf Revisi UU KPK II (Desember) telah dirumuskan
mengenai kewenangan KPK dalam hal penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan. Sebelumnya dalam UU KPK tidak menjelaskan definisi dari
penyelidik, penyidik, dan penuntut, namun dalam mengatur mengenai
definisi tersebut.
Pusat Kajian Indonesia Berbicara | 12

Dalam draft Revisi UU KPK I menjelaskan dalam pasal-pasalnya, antara


lain:
Pasal 53 ayat (1)
Penuntut adalah Jaksa yang berada di bawah lembaga Kejaksaan
Agung RI yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim.
Pasal 41 ayat (3)
Penyelidik dan penyidik yang menjadi pegawai pada KPK berasal dari
instansi Kepolisian dan Kejaksaan setelah diusulkan oleh Kepolisian dan
Kejaksaan.
Kemudian, draf Revisi UU KPK II juga mencantumkan mengenai
ketentuan tersebut dalam pasal-pasalnya, yakni:
Pasal 68 ayat (1)
Penuntut adalah jaksa yang berada di bawah lembaga Kejaksaan
Agung RI yang diberi wewenang berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan.
Pasal 57 ayat (1)
Penyidik KPK adalah penyidik yang diperbantukan dari instansi
Kepolisian dan Kejaksaan selama menjadi pegawai pada KPK.
Selanjutnya, pada draf Revisi UU KPK III diperjelas mengenai ketentuan
ini, antara lain:
Pasal 11
Dalam melaksanakan tugasnya, KPK berwenang melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi.
Pasal 45 ayat (1)
Penyidik KPK merupakan penyidik yang diperbantukan dari Kepolisian
Negara, Kejaksaan RI, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diberi
wewenang khusus oleh Undang-Undang.
Namun, jika melihat dari ketentuan mengenai penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan bukan merupakan ketentuan yang krusial,
namun jika melihat UU KPK saat ini ada baiknya untuk

Pusat Kajian Indonesia Berbicara | 13

menyempurnakan ketentuan ini. Adapun unsur-unsur yang harus


menjadi pertimbangkan dan diperjelas oleh DPR dalam merumuskan
ketentuan mengenai penyelidikan, penyidikan , dan penuntutan, antara
lain :
Definisi dari penyelidikan, penyelidik, penyidikan, penyidik,
penuntutan dan penuntut umum.
Catatan: Alangkah lebih sistematis jika semua definisi di
masukkan ke dalam Pasal 1 dalam Bab I mengenai Ketentuan
Umum. Sehingga orang yang membaca akan memahami secara
benar apa yang diatur dalam Undang-Undang tersebut.
Pengangkatan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum.
Catatan: Harus diperjelas bahwa penyelidik, penyidik, dan
penuntut umum yang menjadi pegawai KPK merupakan orang
yang diperbantukan dari instansi Kepolisian, Kejaksaan, dan
Penyidik PNS. Dalam penjelasan Revisi UU KPK III perlu
dimasukan
penjelasan
mengenai
maksud
dari
kata
diperbantukan di dalam pasal tersebut. Bukankah kata
diperbantukan akan menimbulkan keadaan tumpang tindih
dalam ketiga instansi tersebut?
Dasar hukum yang memberikan wewenang untuk penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan.
Catatan: Perlu untuk ditambahkan mengenai dasar hukum yang
memberikan wewenang, selain Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana dan berdasarkan UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, juga perlu dimasukkan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia. Karena KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan
memiliki tugas dan wewenang yang saling berkaitan untuk
memberantas tindak pidana korupsi.
5. Kewenangan KPK Dalam Melakukan Penyadapan (Pasal 12)
Salah satu ketentuan yang krusial adalah kewenangan dalam
melakukan penyadapan. Dalam draf Revisi UU KPK III untuk ketentuan
mengenai penyadapan telah dijelaskan dengan terang dengan syaratsyarat tertentu yang tercantum dalam pasal-pasalnya, yaitu :
Pasal 12 ayat (1)

Pusat Kajian Indonesia Berbicara | 14

Penyadapan dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang


cukup dan atas izin dari Dewan Pengawas.
Pasal 12 ayat (3)
Penyadapan dilakukan paling lama 3 bulan terhitung sejak izin tertulis
diterima penyidik
Jika melihat UU KPK, KPK memiliki wewenang untuk melakukan
penyadapan dan merekam pembicaraan tanpa harus izin pihak
manapun. Dengan adanya izin untuk melakukan penyadapan
dikhawatirkan akan memperbesar potensi bocornya informasi kepada
subjek yang ingin di sadap, sehingga proses pengungkapan perkara
akan semakin lama atau bahkan mengalami jalan buntu.
Namun, apabila draf Revisi UU KPK III disetujui dan disahkan, maka
sebelumnya DPR perlu untuk menambahkan dalam pasalnya,
ketentuan mengenai pengecualian terhadap izin yang harus diterima
oleh KPK dari Dewan Pengawas, jika terkait dengan hal yang
mendesak. Dan dalam penjelasan Revisi UU KPK harus dijelaskan
maksud dari unsur hal yang mendesak.
6. Kewenangan KPK Untuk Menerbitkan SP3
Merupakan salah satu ketentuan baru. Dalam Pasal 40 UU KPK
menyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang
mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan
dalam perkara tindak pidana korupsi. Sedangkan, berdasarkan Pasal
40 yang tercantum dalam draf Revisi UU KPK menyatakan bahwa
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengeluarkan surat
perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam
perkara
tindak pidana korupsi.
Ketentuan ini tidak dapat dipisahkan dengan ketentuan mengenai
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Setelah memahami isi draft Revisi UU KPK, maka terdapat beberapa


pernyataan mengenai isi draft tersebut baik dari KPK, fraksi partai politik,
maupun akademisi, adalah sebagai berikut:
N
O
1

TOKOH

STATEMENT

Agus Rahardjo

KPK sangat berhati-hati dalam menguust sesuatu.

(Ketua KPK)

Penyadapan yang dilakukan KPK pun selalu diaudit.


Tidak

adanya

wewenang

menerbitkan

SP3

juga

Pusat Kajian Indonesia Berbicara | 15

Laode M Syarif
(Wakil Ketua KPK)
Johan Budi

(Staf Khusus Presiden


Bidang Komunikasi)

Zulkifli Hasan
(Ketua MPR)

menghilangkan risiko jual-beli SP3 di lembaga itu.


Isi draf yang disusun Baleg DPR tersebut cenderung
melemahkan KPK. Dengan pertimbangan itu, kini KPK
berpendapat tak perlu ada revisi UU KPK.
Sikap dan Komitmen Presiden Joko Widodo tak berubah,
yaitu tidak akan melemahkan KPK. Revisi UU KKPK
hanya

untuk

menguatkan

KPK,

bukan

untuk

melemahkan.
KPK harus diajak bicara terkait diteruskan atau tidak
revisi

UU

KPK.

Pasalnya,

Komisi

itu

yang

akan

menggunakan UU itu.
Revisi UU KPK merupakan proses panjang yang muncul
karena rangkaian persoalan. Masalah itu, misalnya, KPK

Bambang Soesatyo
(Ketua Komisi III)

pernah dikalahkan dalam praperadilan

tersangka atau terungkap bahwa KPK tidak selalu


melaksanakan
disusun.

Abdullah Dahlan
6

penetapan

prosedur

Dewan

operasional

pengawas

itu

yang

sudah

diperlukan

untuk

menghindari penyimpangan kekuasaaan.


Ia mempertanyakan legitimasi publik

dari

revisi

(Indonesia Corruption

tersebut. Pasalnya,masyarakat sipil di sejumlah daerah

Watch)

menolak rencana tersebut


Meminta rekan-rekannya di DPR untuk berhati-hati
dalam menyikapi revisi Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sebab, setelah revisi ini disetujui sebagai usul inisiatif
DPR, bisa jadi Presiden Joko Widodo tidak mengeluarkan

Desmond J Mahesa

Amanat Presiden (Ampres) sehingga revisi tidak dapat

(Ketua DPP Partai

dilanjutkan. "Kalau enggak dikeluarin Ampres-kan sama

Gerindra)

aja Pemerintah ini ngerjain DPR," kata Desmond di


Kompleks
(17/2/2016).

Parlemen,
Desmond

Senayan,

Jakarta,

mengatakan,

sejak

Rabu
awal

pemerintah yang ingin merevisi Undang-Undang KPK.


Pemerintah,
8

kata dia,

meminta revisi

ini disusun

Hendrawan Supratikno

berdasarkan inisiatif DPR.


Meminta agar fraksi-fraksi yang menolak revisi UU

(Wakil Ketua Fraksi PDI

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Perjuangan)

Korupsi tidak sibuk membuat provokasi. Menurut dia,


lebih baik fraksi-fraksi itu menyiapkan usulan yang
dapat menguatkan tugas dan fungsi KPK. Dalam revisi
UU KPK, Hendrawan menegaskan, Fraksi PDI Perjuangan
tidak ingin berbicara pada parameter penguatan atau
pelemahan KPK, tetapi bagaimana membangun tata

Pusat Kajian Indonesia Berbicara | 16

kelola yang baik terhadap empat poin yang hendak


direvisi.

PERTANYAAN DISKUSI:
1 Pandangan umum terhadap KPK dan kelebihan serta kekurangan
KPK dalam tugasnya memberantas korupsi ?

Pusat Kajian Indonesia Berbicara | 17

2 Bagaimanakah tata cara ataupun prosedur untuk merevisi suatu


UU? Apakah selama ini draf Revisi UU KPK telah sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan?
3 Pembahasan poin-poin Revisi Undang-Undang KPK tahun 2002
sesuai draft yang diajukan dari Badan Legislasi Dewan Perwakilan
Rakyat,

apakah

ini

dikategorikan

penguatan konstitusi KPK?

sebagai

pelemahan

atau

Berikut perbandingan tiga draft Revisi

Undang-Undang KPK yang dikeluarkan oleh Badan Legislasi pada


bulan: Oktober 2015, Desember 2015, dan Februari 2016.
EMPAT POIN INDIKASI REVISI UNDANG-UNDANG KPK
No. 30 Tahun 2002
Berdasarkan Draft Revisi Undang-Undang KPK; 1 Februari 2016
No

Poin Poin Revisi Undang-Undang KPK

Pemberian

Kewenangan

KPK

mengeluarkan

Surat

Perintah

Penghentian Penyidikan/SP3.
2

Pengaturan penyadapan

Pembentukan Dewan Pengawas/Dewan Kehormatan KPK

Penyidik dan Penuntut KPK

4 RUU KPK telah disepkati untuk ditunda pembahasannya oleh DPR RI


namun jika RUU KPK ini dilanjutkan pembahasannya apakah
diperlukan Peraturan Presiden/PERPU atau elemen hukum lain untuk
meresponi Revisi Undang-Undang KPK? Jika masyarakan menilai
RUU KPK ini melemahkan KPK.
5 Mengapa RUU KUHAP dan RUU TIPOKOR tidak menjadi fokus revisi
dan tidak masuk PROLEGNAS, melainkan RUU KPK yang difokuskan
untuk direvisi namun disisi lain KPK mengacu kepada KUHAP dan
TIPIKOR ?

Pusat Kajian Indonesia Berbicara | 18

Anda mungkin juga menyukai