Anda di halaman 1dari 183

Four-Leaf Clover ~ Bab 1

by Shiro Neko'shop on Monday, 19 March 2012 at 12:37


Hari ini adalah hari pertama di tahun ajaran baru. Murid-murid sekolahan berjalan secara
beriringan dengan teman-teman mereka. Mereka bercerita tentang pengalaman mereka
sepanjang jalan sambil ditemani angin yang berhembus pelan membawa kelopak bunga
sakura yang indah.

Hari masih pagi,akan tetapi sekolah sudah cukup ramai oleh murid yang datang. Ada yang
duduk dan bercanda di kelas, ada yang bermain bola basket, dan ada juga yang membahas
tugas bersama. Akan tetapi, seorang gadis berambut coklat panjang dan bermata hitam teduh
sedang duduk di atas bangku panjang di bawah pohon sakura yang sedang bermekaran.

Lembar demi lembar kertas ia balikkan dari novel yang sedang ia baca. Kadang-kadang dia
tersenyum geli saat membacanya. Rambutnya jatuh dari bahunya ketika ia tertawa pelan.
Kemudian dia melanjutkan lagi bacaanya dengan mata yang bergerak dari kiri ke kanan
membaca deretan kata-kata yang tersusun rapi. Tiba-tiba ia menghentikan bacaannya ketika
sekaleng soda menghalangi pandangannya. Ia kemudian menengadahkan kepalanya menuju
sumber yang telah menyodorkan kaleng soda itu sambil menutup novel bercover pink dan
putih yang ia pegang. Ia mendapati seorang laki-laki yang berambut hitam kepirangan yang
sedikit berantakan sedang tersenyum padanya.

Gadis itu beranjak bangun secara mendadak karena kaget. Dan dalam sekejap suara benturan
pada dahi mereka terdengar cukup keras sehingga membuat mereka berdua merintih
kesakitan.
"Aduh,aduh... Dahimu keras juga ya. Mungkin ini akan menjadi memar yang cukup besar!"
keluh laki-laki itu sambil menggosok-gosok tangannya di dahi.
"Ah... Sakit..." ujar gadis berambut coklat itu sambil memegang dahinya dengan kedua
tangannya. "Apa yang kau lakukan di sini, Yamamoto? Kau mengagetkanku!" lanjutnya lagi
kepada laki-laki yang bernama lengkap Yamamoto Kazuya itu. Kazuya tidak langsung
menjawab pertanyaan si gadis, melainkan menyodorkan lagi kaleng soda tadi. Gadis yang
bernama Fujioka Akino itu kemudian meraih kaleng itu sambil melepas kacamata bacanya
yang berbingkai abu-abu.
"Memangnya aku tidak boleh kesini? Aku hanya melihatmu sedang duduk di sini dari jendela
kelas, kemudian datang kesini untuk mengobrol." jawabnya dengan santai sambil sesekali
menghirup minuman sodanya. Dia menunggu respon Akino yang sedang membuka penutup
kaleng, yang kemudian meminumnya seteguk. "Ah... Segar sekali...! Terima kasih atas
minumannya!" ujar Akino sambil tersenyum manis kepada Kazuya. Sontak Kazuya

mengalihkan perhatiannya. Wajahnya bersemu merah dan terasa panas. Tanpa sadar ia
menundukkan kepalanya hingga rambutnya yang cukup panjang menutupi sebagian
wajahnya.
"Kau tidak apa-apa, Yamamoto?" tanya Akino dengan heran kepada Kazuya yang sudah
duduk disampingnya daritadi.
"Ti-tidak apa-apa!" jawabnya dengan gugup dan kemudian meneguk cola-nya dengan
terburu-buru. Sontak ia terbatuk-batuk karena tersedak. Wajahnya merah padam. Ia sungguh
malu karena itu. Akino yang melihat kejadian itu tertawa geli. Dirogohnya saku seragam
untuk mengambil sapu tangan. "Ambil ini. Kau ini lucu sekali ya. Untuk apa kau minum
secepat itu!" tegur Akino masih dengan tawanya yang belum berhenti. "Ambil dan keringkan
wajahmu. Ada-ada saja..."

Kazuya mengambil sapu tangan berwarna merah cerah yang polos dari tangan Akino dan
kemudian mengusapkan sapu tangan itu ke wajahnya yang basah. "Terima kasih." katanya
masih dengan suara yang serak karena batuk. "Aku haus. Makanya...."
"Oh,ayolah... Masih banyak persediaan minuman untukmu di kantin. Mereka tidak akan lari
kemana-mana." potong Akino, yang kemudian disusul suara tawa Kazuya yang salah tingkah.
"Baik, baik. Aku menyerah. Aku memang selalu kalah berdebat darimu." ujar Kazuya
menyerah seraya mengangkat kedua tangannya diudara. "Oh,kau suka baca novel? Novel apa
itu?" ujar Kazuya mengalihkan pembicaraan mereka saat ia melihat novel di pangkuan Akino.
"Yah...aku suka membaca. Ini novel 'Like Snow and Sakura'. Kau juga suka membaca
novel?"
"Sedikit... Aku lebih suka membaca komik."
"Oh ya? Kau juga suka membaca komik?" tanya Akino dengan sangat antusias setelah
mendengar pengakuan kazuya. "Aku juga suka membaca komik? Aku tidak menyangka kau
juga menyukainya! Langka sekali!" lanjutnya lagi sambil tertawa riang. Kazuya tidak
merespon pertanyaan Akino. Ia terdiam melihat Akino yang bercerita panjang lebar dengan
bersemangat yang sesekali tertawa. Ia tak sadar kalau dia tak mendengar cerita Akino dan
hanya terus memandanginya sampai ia tiba-tiba tersadar dari lamunannya, ketika mendapati
wajah Akino yang hanya berjarak tiga sentimeter dari wajahnya. "Kau tidak mendengar ya?"
tanya Akino dengan wajah yang lugu.

Dengan segera Kazuya bangkit dari tempat duduknya sambil berpura-pura merapikan rambut
dan bajunya. "Ah! Sebentar lagi bel masuk. Kita harus masuk sekarang." balas Kazuya
dengan gugup.
"Bel sudah berbunyi daritadi. Kau tidak mendengarnya?" ucap Akino dengan santai sehingga
membuat Kazuya semakin salah tingkah. "O-oh. Benarkah? Kalau begitu ayo kita masuk."
ajak Kazuya sambil beranjak pergi. "Pintu masuk sebdlah sini Yamamoto. Jangan bilang kau

lupa." tegur Akino sambil menunjuk arah yang berlawanan dari arah Kazuya menuju. Katakata Akino lagi-lagi menghentikan langkah kaki Kazuya. Dengan cepat ia berbalik sambil
menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Ah,ya...A-aku lupa tadi. A-ayo pergi." jawab Kazuya setengah berbisik. Sambil mengutuk
dirinya sendiri dalam hati,ia segera menyejajarkan langkahnya dengan langkah kaki Akino.

***

Bel berbunyi nyaring dan panjang hingga terdengar di segala penjuru sekolah. Bahkan
sesudut apapun kau berada, kau akan tetap mendengan suara bel khas Tokyo Academy itu.
Selang beberapa detik kemudian murid-murid berhamburan keluar dari kelas setelah guru
mereka keluar. Suasana sekolah yang awalnya tenang menjadi riuh karena suara derap kaki
para murid.

Akino masih sibuk membereskan barang-barangnya agar siap untuk pulang. Kazuya yang
sekelas dengannnya kelihatan sengaja duduk bermalas-malasan menunggu Akino.

Kau masih belum mau pulang, Yamamoto? tanya Akino seraya memasukkan buku tulisnya
tanpa mengalihkan pandangannya ke arah Kazuya. Kazuya agak tersentak kaget ketika Akino
tiba-tiba menanyainya. Ehm Aku sedang menunggumu. Ayo kita pulang bersama-sama?
ujarnya dengan terus terang. Akino berbalik menghadap Kazuya yang duduk dibelakangnya
sambil mengenakan tas sekolahnya yang berwarna biru gelap.

Kau yakin? Aku masih ingin mampir ke suatu tempat. Kau bisa pulang duluan. jawabnya.
Kazuya kemudian bangkit berdiri dari bangkunya seraya memikul tasnya di bahu kanan.
Kau mau kemana? tanya Kazuya penasaran. Aku juga hendak pergi ke suatu tempat. Kalau
begitu kita pergi bersama saja, bagaimana? ajaknya lagi.

Aku mau ke toko buku. Kau yakin kau mau ikut? Kau sendiri mau kemana?

Aku juga mau kesana? Buku tulisku sudah habis. Aku harus membeli yang baru. jawab
Kazuya asal-asalan. Sebenarnya itu hanya alasan bagi Kazuya agar bisa bersama Akino lebih
lama. Ya, dia memang menyukai Fujioka Akino. Tapi dia tidak berniat untuk menyatakannya
karena dia tahu diri. Fujioka Akino adalah gadis dari keluarga kaya. Ayahnya adalah
pemimpin sekaligus pemilik perusahaan besar di Tokyo. Sedangkan dirinya sendiri hanyalah

laki-laki dari keluarga biasa. Ia sudah cukup minder memikirkan hal itu. Bisa dekat sebagai
teman saja, ia sudah cukup senang.

Oh ya? Baiklah kalau begitu. Ayo, pergi

Mereka berdua berjalan beriringan menembus ramainya kota Tokyo. Hari itu cuaca cukup
bersahabat, dimana matahari bersinar dengan cahaya yang tidak terlalu menyengat. Lagipula,
hari sudah sore ketika mereka berdua sampai di toko buku. Kazuya langsung mengambil
sebuah buku di rak paling depan lalu menyusul Akino yang berjalan di depannya. Akino
menelusuri rak demi rak buku yang tertata rapi, dan kemudian berhenti di rak khusus
disusunnya buku bacaan kesukaannya. Kali ini dia memilih buku dengan cepat, karena tidak
ingin membuat Kazuya menunggu terlalu lama.

Bukannya novelmu yang sebelumnya belum selesai kau baca? Kenapa sudah membeli yang
baru? tanya Kazuya heran. Akino hanya menanggapi Kazuya dengan senyum kecil tanpa
mengalihkan perhatian dari novel yang sedang ia pegang. Dia sedang serius membaca
sinopsis novel yang ada di cover belakang novel yang berwarna hijau muda itu. Selesai
membaca, barulah Akino menjawab Kazuya yang masih menanti jawaban dari mulutnya.

Aku ingin membeli persediaan saja. Siapa tahu novel tadi akan selesai kubaca dalam
semalam. jawabnya polos.

Mendengar jawaban Akino, Kazuya hanya bisa mengiyakan. Mereka berjalan menuju kasir
untuk membayar. Setelah barang belian mereka selesai dibungkus, mereka pun meninggalkan
toko buku itu.
Sepanjang perjalanan, mereka berdua hanya diam tanpa suara apapun keluar dari mulut
mereka. Hanya terdengar suara hentakan kaki mereka yang sedang beradu dengan jalanan,
dan suara riuh dari kendaraan dan pejalan kaki yang lain. hal itu terus berlangsung sampai
mereka tiba di perempatan jalan untuk menyeberang. Wajah Akino menjadi murung dan bola
matanya tidak memancarkan cahaya lagi seperti ketika ia membaca sinopsis novel beliannya
di toko buku tadi. Ia terdiam memandangi tengah jalan, Kazuya merasa ada yang aneh dari
gadis itu dan menepuk pelan bahu kiri Akino yang lesu.

Kau tidak apa-apa, Fujioka? Kenapa tiba-tiba wajahmu murung begitu? Kau capek? tanya
Kazuya yang khawatir. Tapi sepertinya Akino tidak mendengarnya. Ia tetap diam dengan
wajah yang menyiratkan rasa takut yang dalam. Melihat keadaan itu, Kazuya

mengguncangkan tubuh Akino yang lemas tak bertenaga. Fujioka! Kau kenapa? Kenapa
tidak menjawabku?

Eh? Ya? Ada apa? Kau memanggilku? jawab Akino kemudian. Kazuya merasa cukup lega
ketika Akino tersadar dari lamunannya. Kau ini kenapa? Tiba-tiba wajahmu murung begitu.
Membuatku takut saja.

Ah, maafkan aku. Aku hanya teringat sesuatu.

Teringat apa? Kau bisa cerita padaku.ujar Kazuya. Mendengar hal itu, Akino merasa agak
tersentuh. Ia diam sejenak, seakan sedang mempertimbangkan tawaran Kazuya. Tapi
kemudian dia mengurungkan niatnya dan mengajak Kazuya untuk menyeberang setelah para
penyeberang lain mulai berjalan melewati mereka berdua.

Bukan apa-apa. Ayo cepat menyeberang. Terdengar suara penolakan dari ucapan Akino.
Akhirnya Kazuya mengurungkan niat untuk bertanya lebih jauh.

****

Pagi yang hening tiba-tiba dibuat riuh oleh suara jam weker yang berteriak membangunkan
majikannya. Masih dengan mata yang terpejam rapat, Kazuya berusaha meraih jam weker di
atas meja untuk membekapnya. Setelah jam weker itu berhenti berteriak, suasana kamar
Kazuya kembali hening. Tidak ada tanda- tanda Kazuya akan bangun. Ia hanya telungkup
diatas kasur yang berantakan dan menghela napas panjang. Akhirnya dengan enggan ia
merayap di atas kasur untuk bangun.

Rambutnya yang hitam kepirangan itu berantakan. Masih dengan mata yang terbuka sedikitsangat sedikit bahkan mungkin tidak terbuka sama sekali- ia duduk di tepi kasurnya.
Dikuceknya pelan matanya yang enggan terbuka dengan lesu, sampai pada akhirnya teriakan
ibunya dari dapur menyadarkannya secara total. Dengan segera ia membereskan tempat
tidurnya yang acak-acakan dan turun ke bawah untuk bersiap-siap.

Setelah siap dengan setelan seragam dengan jas berwarna hijau susu dan kemeja putih serta
celana panjang bermotif kotak-kotak berwarna coklat, ia kemudian menyambar tasnya dan

siap untuk pergi. Tapi sebelum pergi, ia berusaha merapikan rambutnya didepan kaca
lemarinya. Setelah yakin bahwa dia sudah siap untuk berangkat, ia berpamitan dengan kedua
orantuanya dan berangkat ke sekolah.

*****

Pagi-pagi sekali Fujioka Akino sudah lengkap dengan seragamnya. Ia terlihat sedang
menikmati sarapannya ditemani dua orang palayan yang sedang berdiri menunggu perintah.
Dia makan dengan tenang tanpa suara. Hanya terdengar dentingan pelan dari garpu dan pisau
yang menyentuh permukaan piring.

Walau telah disajikan sarapan yang enak dan mewah, makanan yang dimakannya terasa
hambar dan sulit ditelan. Ia makan dengan enggan dan dengan wajah yang murung. Selesai
melahap suapan terakhir, ia minum air putih dan segera meraih tas sekolahnya untuk
berangkat. Kedua pelayan itu membungkuk dengan hormat kepada Akino yang hanya dibalas
dengan anggukan kecil. Dengan buru-buru ia menuju pintu depan. Sebelum membuka pintu,
ia menghembuskan napas panjang. Setelah yakin bahwa dia sudah siap untuk keluar, ia
menarik gagang pintu dan melangkah keluar dengan senyuman manis.

Kiri, kanan, dan kiri. Akino melangkahkan kakinya secara bergantian di tepi jalan untuk
menuju sekolah. Roknya melambai-lambai mengikuti gerakan kakinya, rambutnya yang
dikuncir dua dibawah telinganya ditempatkannya didepan dada. Sesekali dia sengaja
melompat-lompat kecil di atas jalan yang berpetak-petak, layaknya anak kecil. Bibirnya yang
tipis dan berwarna pink kemerahan mengulum senyum yang riang ketika dia melompati
petak-petak jalan itu. Dia kemudian bersenandung kecil sambil menikmati kelopak bunga
sakura yang menyapu wajahnya yang bersih.

Hari masih pagi, dan belum banyak terlihat anak sekolahan yang berjalan menuju sekolah.
Hal itu membuat hati Akino menjadi damai dan tenang karena disekitarnya belum banyak
orang yang berlalu-lalang. Dia menikmati gugurnya kelopak bunga sakura yang jatuh
perlahan-lahan. Dan tanpa ragu dia berputar sebentar sambil menengadahkan kepalanya
untuk memandangi pohon-pohon sakura yang sudah dikerumuni kelopak bunga berwarna
pink. Ketika dia berputar untuk kedua kalinya, sontak dia terkejut saat mendapati Kazuya
yang telah berdiri di hadapannya sambil tersenyum geli. Dia tidak menyangka akan bertemu
Kazuya di tempat seperti itu.

Kau terlihat sangat menikmatinya, Fujioka. ujar Kazuya sembari berjalan mendekati Akino.

E-eh kau ternyata, Yamamoto. Se-selamat pagi. jawab Akino gugup sambil berpikir
apakah dia akan menganggapku seperti anak kecil? Pikiran itu terus berputar-putar diotaknya
sampai jawaban Kazuya membuyarkan pikirannya.

Selamat pagi juga. Keberatan kalau aku berangkat sekolah bersamamu? tanya Kazuya
dengan tampang yang agak ragu. Akino tersenyum lebar dan mengangguk. Tentu saja.

Rasa senang merambat diseluruh tubuh Kazuya ketika Akino terlihat senang saat mengiyakan
tawarannya. Dan pada detik selanjutnya mereka berdua sudah berjalan berdampingan di
bawah pohon sakura yang indah. Sesekali Kazuya melirik Akino yang tersenyum gembira
melihat sakura. Manis sekali. Tanpa sadar, muka Kazuya merona merah dan membuatnya
malu.

Ehm kau sangat suka musim semi ya? tanya Kazuya yang kemudian memecah
keheningan diantara mereka.

Aku suka semua musim. Baik musim semi, panas, gugur, maupun musim dingin. Semuanya
sangat indah! jawab Akino dengan lugu.

Dan musim yang paling kau suka adalah musim semi? tebak Kazuya.

Salah. jawab Akino singkat. Ia merasa bangga karena Kazuya tidak berhasil menebaknya.
Aku paling suka musim gugur. Sesuai dengan namaku, kan? Aki kan artinya musim gugur.
jelas Akino sambil tersenyum nakal.

Tapi kelihatannya kau lebih menikmati musim semi balas Kazuya yang tidak mau kalah.
Akino hanya menanggapinya dengan tawa pelan yang terdengar anggun, dan kemudian
menggeleng pelan.

Aku hanya teringat tentang Hashiyama Aoko. ujar Akino.

Hashiyama Aoko?

Iya. Dia tokoh utama dalam novel yang kubaca. Dia sangat suka musim semi! jelasnya.
Dia suka angin yang berhembus hangat, bunga sakura yang bermekaran, dan suasana
romantis yang akan memberinya inspirasi dalam menulis novel. Aku hanya sedang
menikmatinya seperti Aoko-chan. Ternyata seindah ini pandangannya terhadap musim
semi lanjutnya kemudian. Mereka berdua kembali diam. Kazuya berusaha mencerna katakata yang baru saja diucapkan gadis yang berjalan disampingnya. Lalu, musim yang paling
kau suka itu apa, Yamamoto? tanya Akino yang membuat Kazuya tersadar dari lamunannya.

Hm? Aku? Aku juga sangat menyukai musim gugur.

Oh ya? Apa yang kau sukai dari musim gugur? tanya Akino dengan sangat bersemangat.
Kukira kau akan menyukai musim dingin seperti tokoh pria di novel yang ku baca.

Umm Banyak sekali hal yang menarik dari musim gugur Aku suka pohon momiji yang
daunnya berwarna merah, festival lentera, undokai*, dan makanan-makanannya. Aku suka
semua yang ada di musim gugur. jawab Kazuya dengan sama antusiasnya dengan Akino.
Mereka berdua tertawa gembira. Apalagi di musim gugur ada momiji-gari**. Pasti
menyenangkan.

Iya benar! Aku juga tak sabar menanti musim gugur! Oh ya, musim semi ada acara
hanami***, kan? Bagaimana kalau kita piknik bersama di Taman Ueno? Sakura di sana
sangat indah! Kita pergi di hari Minggu berdua. Bagaimana? tanya Akino dengan wajah
yang berseri-seri.

Pik-piknik?? Kazuya tidak percaya dengan pendengarannya barusan. Matanya melebar dan
wajahnya merona dan terasa panas. Apakah artinya dia mengajakku kencan? Pikiran-pikiran
itu terus berkelebat di pikirannya sampai-sampai dia tidak bisa berpikir jernih. Dia menyadari
bahwa jantungnya berdegup kencang. Ia menjadi sangat khawatir kalau-kalau Akino akan
mendengarnya. Dia berusaha untuk menenangkan dirinya dan kemudian menjawab dengan
sesantai mungkin. Baiklah, kalau begitu. jawab Kazuya kemudian. Dia masih berpikir
apakah jawabannya terdengar aneh? Apakah mukanya merah? Dan sebagainya.

Mendengar hal itu pun, Akino melompat kegirangan sambil meraih tangan Kazuya yang
dingin untuk ikut melompat. Kazuya agak terkejut melihat Akino yang tertawa segembira itu
karena jawabannya. Melihat tingkah Akino yang bertingkah laku bagaikan anak kecil yang
baru saja mendapat mainan baru, Kazuya pun ikut tertawa tanpa memperhatikan lagi keadaan
sekitar.

undokai* : hari olahraga


momiji-gari** : menonton perubahan warna pada daun momiji menjadi warna merah
Hanami*** : menonton mekarnya bunga sakura dengan cara melakukan piknik di bawah
pohon sakura.

*****

Saat ini pelajaran sejarah sedang berlangsung. Guru kelas 2-3 yang memiliki perawakan
tinggi, berambut pirang, dan tampan sedang menjelaskan di depan kelas. Semua murid
mendengarkan dengan serius. Akan tetapi Akino duduk sambil menopang dagu dengan
tangan kiri sembari menulis dengan tangan kanannya yang sedari tadi menganggur. Mukanya
tersenyum terus dari pelajaran pertama hingga pelajaran ketiga sekarang. Ia menuliskan apa
yang akan ia lakukan bersama Kazuya nantinya. Ia akan membawa bento buatannya sendiri,
lalu makan bersama diatas kain lebar dengan motif kotak-kotak dan ditemani pesona bunga
sakura yang akan mekar sepenuhnya di hari itu. Kemudian pena yang ia gunakan tadi,
diletakkan di atas coretan tadi dan kemudian mengalihkan pandangannya keluar jendela. Hari
itu pasti akan menjadi hari yang menyenangkan. Katanya dengan yakin di dalam hati.

Sementara Kazuya ternyata tidak bisa konsentrasi dalam pelajaran karena ajakan Akino
barusan. Tubuhnya bergidik senang. Dan rasanya ia ingin berteriak bahwa dia sungguh
bahagia saat itu. Walaupun mereka tidak pacaran dan hanya teman dekat yang biasa, Kazuya
tidak merasa kecewa. Rasa kecewanya akan hal itu seakan sudah termakan oleh rasa
senangnya. Rasanya tidak sabar lagi harus menanti hingga hari Minggu nanti.

Dipandanginya sejenak punggung gadis yang duduk di depannya. Rambutnya yang dikuncir
dua, bahunya yang ramping dan kulit yang bersih. Semuanya membuat Kazuya terpesona dan
tanpa sadar ia tidak melepas sosok Akino dari pandangannya hingga bel pergantian pelajaran
membuatnya terkejut. Dan pada saat itu pula ia jadi mengutuk dirinya sendiri kalau dia sama
sekali tidak mendengarkan sepatah kata pun dari penjelasan gurunya yang padahal besok
mereka akan diberi tes. Tapi dihapusnya rasa khawatir itu dan kemudian berkata kepada
dirinya sendiri bahwa baik tes sejarah besok maupun piknik bersama Akino di hari Minggu
pasti akan berjalan lancar.

******

Four-Leaf Clover~ Bab 2


by Shiro Neko'shop on Wednesday, 28 March 2012 at 16:22
Waktu baru menunjukkan jam 9 malam. Akino masih duduk di depan meja belajarnya yang
dicat dengan warna coklat muda. Buku pelajarannya tersusun rapi di dalam rak buku yang
merupakan bagian dari meja belajarnya. Raknya terdiri dari 3 tingkat. Tingkat pertama dan
kedua diisi oleh buku pelajaran dan buku tulis. Sedangkan tingkat tiga diisinya dengan novelnovel koleksinya. Ia masih punya banyak novel yang ia susun di rak buku disamping meja
belajarnya.
Meja belajarnya terletak di sudut kanan kamarnya yang cukup luas untuk dirinya sendiri.
Mejanya rapi dengan ditempati laptop merk Sony dengan casing berwarna merah metallic
yang ia letakkan di pojok kiri meja belajarnya. Sementara di samping kiri mejanya ada
jendela yang lebar dan langsung menghadap taman depan rumahnya.
Akino menutup novel Like a Snow and Sakura-nya setelah memberi tanda dibagian yang
sudah ia baca barusan. Baru saja ia menyelesaikan bacaannya di bab 7. ia sengaja membaca
novel itu perlahan-lahan untuk menghayati cerita di dalamnya.

Okazaki Naoi benar-benar tokoh yang menarik. Sama seperti Yamamoto. Mereka berdua
memiliki karakter yang baik dan lucu. Gumamnya pada dirinya sendiri sembari
meregangkan ototnya dengan erangan pelan. Dilepasnya kacamata bacanya dan memejamkan
sejenak matanya yang lelah. Beberapa detik kemudian, ia memakai lagi kacamatanya dan
mengeluarkan sebuah buku dari lacinya yang dikunci. Sekilas tampak buku itu terlihat seperti
buku pada umumnya. Tapi buku itu terkunci. Akino meraba pojok mejanya yang ternyata
menjadi tempat persembunyian sebuah kunci mungil untuk membuka segel buku itu. Setelah
terbuka. Akino menarik keluar sebuah pena yang terselip diantara punggung buku itu, dan
mulai menulis.

Musim Semi, Kamis, 2 April, cuaca cerah.


Hari ini ayah tidak bisa sarapan bersama denganku. Pagi-pagi sekali ketika aku sudah siap
sarapan, ternyata ayah sudah berangkat kerja. Sudah berapa lama ya sejak terakhir kali aku
melihat wajah ayah?
Akino menghentikan tulisannya dan meraih sebingkai foto yang berada disebelah laptopnya.
Dipandangnya tiga orang yang sedang duduk dan memancarkan kebahagiaan di wajah
mereka. Ada anak kecil berkuncir dua sedang dipeluk oleh kedua orangtuanya. Jelas anak itu

adalah Akino. Ayahnya memiliki perawakan yang tegas tetapi ramah. Sedangkan ibunya yang
berambut coklat panjang dan lurus, memiliki perawakan yang lemah lembut dan anggun. Ia
memandangi wajah ayah dan ibunya secara bergantian dalam waktu yang cukup lama, lalu
meletakkan bingkai foto itu lagi dengan senyum tipis. Diraihnya lagi penanya dan kembali
menulis.

Tidak apa-apa. Aku tahu ayah sibuk. Semoga dia selalu sehat. Oh ya Kau tahu? Hari
Minggu ini aku akan pergi ke Taman Ueno bersama Yamamoto untuk melihat sakura sambil
berpiknik. Aku akan membuat bento, dan kami akan makan bersama. Pasti akan sangat
menyenangkan. Aku harap dia selalu ada untukku, karena jika dia pergi, aku tak akan punya
teman lagi.

Kazuya membolak-balikkan halaman pada buku sejarahnya. Sesekali ia mengacak-acak


rambutnya hingga berantakan sembari mengerang pelan.

Kenapa sama sekali tidak bisa masuk otak?? tanyanya pada diri sendiri. Ia kemudian
mencoba lagi untuk memahami kata demi kata yang tercetak di bukunya. Beberapa detik
kemudian ia menggaruk-garuk kepalanya dengan kuat dan segera menutup bukunya. Ia
melirik ke handphonenya yang diam tanpa suara seakan sudah mati. Ya pada dasarnya alat
itu memang benda mati. Diraihnya handphone itu, kemudian ditekannya keypad
handphonenya beberapa kali. Sejenak ia ragu ketika akan mengirim pesan yang sudah ia
ketik.

Apa yang akan kubicatakan ya? Menanyainya sudah tidur atau belum? Ah kalau aku
mengirim pesan seperti itu seakan aku ini pacarnya. Gumamnya pelan. Ditekannya tombol
delete untuk menghapus pesan tadi dan mulai mengetik lagi. Walaupun masih agak ragu, tapi
dia kemudian memberanikan diri untuk menekan tombol kirim.

Baru selang beberapa detik saja handphone milik Akino sudah berbunyi. Akino terkejut
ketika handphonenya menjerit dengan keras karena ia lupa mengaktifkan silent pada
handphonenya. Dengan segera ia mengubah setting pada handphonenya dan kemudian
membuka pesan yang masuk.

Yamamoto? Mau apa dia malam-malam begini? gumamnya heran walaupun sebenarnya dia
senang sahabat karibnya itu mengirimi dirinya pesan.

Sender : Yamamoto-Kun, 2 April 2011 21:16


Hey Fujioka, sudah mempelajari bahan untuk ulangan sejarah?

Akino berpikir sejenak. Ulangan? Apakah Pak Takagi tadi mengatakan tentan gulangan?
Keningnya berkerut berusaha mengingat. Tapi dia tahu kalau sepanjang sekolah tadi ia tidak
memperhatikan pelajaran. Lalu dengan segera dia menekan sejumlah tombol dan kemudian
menekan tombol call. Terdengar suara sambungan beberapa kali ketika dia menempelkan
ponselnya itu di telinganya.

Sementara itu Kazuya masih tertegun melihat nama Akino di layer ponselnya sedang
menelepon dirinya. Kenapa dia malah menelepon? Apa aku salah bicara? Masih dengan
jantung yang berdegup kencang, dia memberanikan diri untuk menjawab panggilan Akino.

Ha-halo? jawab Kazuya setengah berbisik.

Halo, Yamamoto! Kau sudah tidur ya? Cepat sekali! balas Akino. Kazuya terdiam dan
berpikir dalam hati. Bagaimana bisa Akino mengiranya sudah tidur padahal semenit yang lalu
dia mengirim pesan? Tentu saja belum. Kenapa menelepon? Kau bias membalas pesanku
seperti biasa kan jawab Kazuya kemudian.

Aku tak punya banyak waktu untuk itu. Jadi, kapan Pak Takagi bilang kalau besok ada
ulangan? Tanya Akino tanpa berbasa-basi.

Kau tidak mendengarnya? Apa yang kau lakukan di kelas tadi sampai kau tidak tahu hal
itu?

Ah lupakan hal itu. Jadi, Pak Takagi ada bilang kalau besok ada ulangan? Materi mana
yang akan keluar? Kau sudah selesai mempelajarinya? Akino mengucapkan sederet
pertanyaan tanpa sempat di jawab oleh Kazuya. Kazuya hanya menggelengkan kepalanya.
Tanyakan satu per satu ujarnya sambil menghela napas. Pelajari materi zaman klasik.
Kata Yamada kita akan ulangan tentang materi itu. Aku sudah mencoba belajar, tapi sama
sekali tidak bias masuk otak. Jawab Kazuya dengan wajah yang cemberut. Mendengar
pengakuan Kazuya, Akino malah tertawa terbahak dengan nada mengejek. Akino tertawa
cukup lama sehingga membuat Kazuya semakin kesal.

Belum cukup tertawanya? Tanya Kazuya dengan suara rendah. Akino berusaha mengatur
napas agar dia bias menjawab Kazuya. Ka tidak bias materi itu? Jadi untuk apa kau
menyandang posisi juara kelas? Aku tidak menyangka juara kelas sepertimu bias-bisanya
mengatakan aku sudah belajar, tapi sama sekali tidak bias masuk otak ejeknya lagi dengan
mengulangi kalimat Kazuya sambil meniru cara bicaranya Kazuya barusan. Ia kembali
tertawa sampai perutnya kesakitan. Perlahan-lahan dia mencoba menghentikan tawanya.
Entah kenapa dia merasa lucu mendengar pengakuan polos Kazuya.

Berhenti mengejekku. Aku tahu kau pintar di pelajaran sejarah.

Hm? Kau marah? Ayolah. Jangan marah. Aku hanya merasa hal itu sangat lucu.

Oh

Ayolah Yamamoto. Baik-baik. Aku minta maaf aku sudah keterlaluan. Maafkan aku
tuanku raja setan. Candanya lagi sembari berusaha meminta maaf. Kazuya mendengus
dan hendak memutus sambungan teleponnya. Kalau kau melanjutkannya lagi, aku tutup
teleponnya.

Ah baik baik. Kali ini aku serius. Aku minta maaf ya, Yamamoto? Aku benar-benar minta
maaf. Ok? Jangan marah lagi
ya. Pinta Akino dengan nada memelas.

Baik. Baik. Jawab Kazuya sambil memberingkan tubuhnya yang lelah di atas kasur. Akino
tersenyum lega mendengarnya dan melanjutkan pembicaraan mereka. Sudahlah, kau tidak
perlu khawatir. Kau kan pintar. Ulangan besok pasti lancar. Ucap Akino menyemangati
Kazuya. Entah kenapa Kazuya merasa deg-degan ketika mendengar kalimat yang baru saja
diucapkan Akino. Tanpa sadar dia tersenyum dan membenamkan wajahnya di dalam selimut.

Terima kasih. Jawanya singkat. Kenapa kau belum tidur? Tanya Kazuya malu-malu. Ia
sangat malu hingga wajahnya merona merah seperti tomat. Jantungnya berdegup kencang dan
napasnya sedikit memburu.

Hm? Aku? Aku masih asyik membayangkan rencana kita hari Minggu ini. Kau sudah janji,
kan?

Apa? Dia belum tidur hanya karena membayangkan hal seperti itu? Mendengar hal itu, jantun
Kazuya malah berdetak semakin keras hingga terdengar di dalam kamarnya yang hening. Ia
menekan dadanya dengan kuat untuk membungkam suara itu tapi tak berhasil.

Ssst diamlah sedikit. Bisiknya dengan sangat pelan.

Kenapa aku harus diam, Yamamoto? Kau sedang bersama seseorang? Tanya Akino
keheranan. Apakah suaranya terdengar sangat keras? Begitu pikirnya. Ah! Bukan apa-apa.
Mengenai piknik itu tentu saja aku sudah janji. Siapa yang akan membawa bekal nanti?
Kazuya seegra mengalihkan pembicaraan. Mana mungkin dia akan mengatakannya.

Tentu saja aku! Akan kutunjukkan kehebatanku dalam memasak. Serunya sambil menepuk
dadanya tanda menyombongkan diri. Oh ya? Aku harap kau tidak berusaha meracuniku.
Ejek Kazuya.

Jangan bercanda. Tentu saja tidak. Oh ya, kalau begitu aku mau tidur dulu. Sampai jumpa
besok ya, Yamamoto-kun. Semoga mimpi indah dan semoga piknik kita menyenangkan!

Iya. Selamat malam. Ujar Kazuya. Setelah memutus sambungan teleponnya, ia


menjatuhkan ponsel itu disampingnya. Walaupun agak kecewa karena tidak bisa mengobrol
lebih lama, ia sudah senang bisa mendengar suara gadis yang disukainya sebelum tidur.

Pagi-pagi sekali sudah terdengar suara berisik dari dapur. Ada suara pisau yang sedang
memotong sesuatu, suara grasa-grusu plastic, dan suara minyak yang meletup-letup. Dengan
begitu semangatnya Akino membuat bento untuk pikniknya nanti. Ia membuat telur gulung,
onigiri, serta sandwich. Akino membuat cukup banyak hingga pelayannya pun keheranan
melihatnya. Seringkali pelayannya itu menawarkan bantuan, tapi ditolak. Ia ingin menguji
keahliannya sendiri dalam memasak dari apa yang telah ibunya ajari.

Selesai membuat makanannya, ia kemudian menempatkannya di dalam sebuah kotak bekal


berwana biru muda. Dijejerkannya dengan rapi dan hati-hati. Ia kemudian tersenyum puas
ketika pekerjaannya selesai dengan sempurna.

Sekarang tinggal menunggu waktu? ujarnya pada diri sendiri sambil melepaskan sarung
tangan plastic dari tangannya. Segera dia berlarian dengan girang memasuki kamarnya untuk
mandi dan berdandan.

Setelah selesai mandi, dia berdiri terpaki di depan lemari bajunya dengan handuk putih yang
masih melilit ditubunya yang belum kering sepenuhnya. Ia menimbang-nimbang baju
yangakan dia pakai. Alisnya berkerut dan mulutnya manyun. Dia bingung dengan pakaian
yang akan ia pakai. Sampai akhirnya ia memutuskan utuk mengenakan dress selutut yang
santai tetapi modis. Selesai berpakaian, dia duduk manis di depan meja rias. Dipandanginya
bayangan yang terpantulkan di kaca. Berpikir harus menata rambutnya dengan gaya apa agar
terlihat menarik di mata Kazuya. Pada akhirnya dia menguncir dua rambutnya seperti biasa
agar terlhat cocok dengan gaya berpakaiannya.

Sementara Kazuya, ternyata sudah siap dengan pakaian terbaiknya. Ia mengenakan kemeja
putih polos dan celana panjang berwarna hitam. Kemejanya dipadukan dengan jaket biru tua
dengan motif kotak-kotak kesukaannya. Ia menyisir rambutnya dan bergaya di depan kaca.
Awalnya dia ragu dengan penampilannya, tapi kemudian meyakinkan dirinya bahwa ini
sudah cukup menarik bagi remaja seusianya.

Waktu menunjukkan pukul 10 tepat. Kazuya sudah menunggu di tempat janjian, jam setengah
sepuluh pagi tadi. Dia duduk diatas bangku panjang menunggu Akino sembari
membayangkan wajah Akino yang tersenyum manis. Ia pejamkan matanya untuk menikmati
hembusan angin yang lembut. Sebuah suara panggilan terdengar samara-samar, sehingga
membuatnya membuka mata perlahan-lahan. Sesuatu menghalangi pandangannya, ia
mengerjap-kerjapkan matanya dua kali hingga dia tersentak kaget ketika menyadari bahwa
ternyata wajah Akinolah yang menghalangi pandangannya. Tentu saja tanpa diragukan lagi,
wajahnya menjadi panas dan merah.

Fu-Fujioka?! seru Kazuya.

Kenapa kaget begitu, Yamamoto? Tanya Akino dengan kepala yang dimiringkan. Dia masih
belum mengangkat wajahnya yang berjarak kurang dari lima sentimeter dari wajah Kazuya
yang sudah seperti kepiting rebus.

Eh Ti-tidak. Su-sudah siap pergi? tanyanya dengan terbata-bata. Mendengar itu, barulah
Akino mengangkat wajahnya. Kazuya pun menghembuskan napas lega dan berdiri untuk
menyejajarkan pandangan mereka.

Ayo berangkat! ajak Akino sambil menebarkan senyum manisnya. Diraihnya telapak
tangan Kazuya yang lebih basar dari tangannya dan tanpa ragu menggandeng tangan itu.
Kazuya kaget bukan main ketika tangannya ditarik dengan lembut. Ia sampai menahan napas
untuk menekan suara detakan jantungnya.
*****
Wah....!Sudah sangat ramai ya...! seru Akino ketika memandang ke sekeliling taman yang
sudah penuh dengan orang-orang. Mereka semua duduk di atas tanah dengan hanya
berlapiskan kain dengan beraneka warna.

La-lalu... Bagaimana sekarang? tanya Kazuya dengan napas yang terengah-engah habis
berlarian. Ditambah lagi dengan tangan Akino yang masih menggenggam erat tangannya,
membuat napasnya semakin memburu.

Tiba-tiba Akino menarik lagi tangan Kazuya menuju ke suatu tempat. Kazuya membiarkan
tubuhnya ditarik kesana kemari selama yang melakukannya adalah Akino. Setelah berjalan
beberapa puluh langkah, mereka sampai di bawah pohon sakura yang cukup jauh dari orangorang.

Nah! Ini tempat yang sempurna kan?! Jauh dari keramaian dan tenang. Kita juga bisa
menikmati pohon ini berdua tanpa gangguan. Ujar Akino dengan sangat bersemangat. Ini
pertama kalinya Kazuya melihat Akino seceria ini. Ayo cepat rentangkan kainnya!

Ah, baiklah.

Sebentar saja mereka sudah dudu manis di atas kain lebar bermotif kotak-kotak dengan
paduan warna merah jambu dan putih milik Akino. Akino dengan cekatan menyiapkan bekal
yang ia buat tadi pagi yang terdiri dari 3 kotak. Masing-masing kotak berisi telur gulung,
onigiri, dan sandwich. Dia juga mengeluarkan 2 kaleng minuman bersoda dan meletakkannya
di depannya dan Kazuya. Sejenak dia berhenti dan terlihat berusaha mengingat-ingat dan

bergumam pada dirinya sendiri. Sementara Kazuya hanya duduk diam memandangi makanan
yang tersedia sembari sesekali melirik ke arah Akino yang sibuk mencari sesuatu.

Kau mencari apa, Fujioka? tanya Kazuya yang akhirnya membuka mulut. Akino tidak
merespon pertanyaan Kazuya. Mungkin karena tidak mendengar atau memang sengaja tidak
menjawab. Beberapa detik kemudian, Akino mengangkat wajanya dengan kening yang
berkerut. Yamamoto-kun.... panggil Akino dengan nada memelas. Kazuya hanya
mengangkat sebelah alisnya dengan heran. Aku hanya bawa sepasang sumpit! Padahal aku
sudah ingat untuk memasukkannya... Bagaimana ini?

Hah? Bagaimana bisa??

Maafkan aku! Kalau begitu aku akan menebusnya. Diraihnya sumpit satu-satunya yang ia
punya dan menjepit sebuah telur gulung buatannya dari kotak bekal birunya. Disodorkannya
ke arah Kazuya yang masih terpaku heran.
Oh Tuhan, mimpi apa dia semalam? Begitu pikir Kazuya yang mendadak salah tingkah
karena Akino hendak menyuapinya.
Ayo, makan. Biar aku yang menyuapimu.Akino tersenyum manis sekali. Dengan kikuk
Kazuya melahap makanan yang disodorkan Akino. Ia malu, sekaligus senang. Aku bagaikan
kejatuhan durian runtuh!! Pekiknya dalam hati. Hm! Enak!
Ini buatanmu?

Tentu saja. Terkesan bukan? Akino menyombongkan diri dengan bangga. Tentu dia senang
karena masakannya dipuji.
Tiba-tiba disodorkannya sepasanag sumpit itu kepada Kazuya yang masih mengunyah
makanan. Kazuya hanya diam dan heran. Apakah sekarang dia harus memakan sumpit yang
terbuat dari stainless itu? Membayangkannya saja sudah membuat tubuhnya bergidik. Suapi
aku. Ujar Akino singkat.

Apa? tanya Kazuya dengan nada tinggi tak percaya. Supi a-ku Akino mengulang
ucapannya dengan lebih jelas dan tegas. Apa?! Menyuapinya? Aku memang mimpi tertiban
durian runtuh semalam! Batin Kazuya berteriak keras walau pada kenyataannya dia hanya
terpaku memandangi mata Akino dengan lekat. Oh Tuhan... Apakah iini yang namanya cinta?
Bahagianya dia.

Dengan ragu Kazuya meraih sumpit yang diberikan Akino padanya. Dikepitnya salah satu
telur gulung dan menyodorkannya kepada Akino yang berseri-seri. Apa dia sedang
mengerjaiku? Kazuya tidak tahan lagi. Ia malu.
Sungguh malu. Napasnya memburu dan jantungnya berdetak tak karuan. Dipandangnya
mulut Akino yang mungil melahap telur gulung di ujung sumpit itu sembari tersenyum. Oh....
Bukankah ini berarti ciuman tak langsung?! Tidak. Tidak. Kazuya menggelengkan kepalana
dengan kuat untuk menghapus pikiran aneh seperti itu dari otaknya. Gila. Ya, dia sudah gila
karena terlalu menyukai gadis itu. Bahkan ia lupa sejak kapan dia mulai tertarik pada Akino.
Bagaimana bisa laki-laki biasa sepertinya bisa menyukai putri kalangan atas seperti Akino?
Tidak. Ia tidak pantas untuk Akino. Begitu caranya meyakinkan diri agar tidak pernah
menyatakan perasaannya. Dia tidak ingin kenangan yang sudah mereka ciptakan hancur
karena masalah itu.

Em... enak! Aku memang ahli dalam memasak!

Iya. Enak. Enak sekali. Kukira kau hanya bisa mematut diri di depan novel! puji Kazuya
yang kembali melahap telur gulungnya.

Tentu saja tidak. Oh ya, coba juga onigirinya! Ini. Kembali Akino menyodorkan makanan
kepada Kazuya. Walaupun
malu, dia menggigit onigiri itu dengan lahap. Enak. Enak sekali. Apalagi jika dimakan
bersama orang yang disuka. Dilihatnya wajah Akino yang tertawa tanpa dosa. Sangat cantik.
Akino melahap pula onigiri yang baru saja digigit Kazuya. Oh Tuhan, ini benar-benar ciuman
tak langsung!

Eh?! Kenapa kau makan lagi onigiri itu?! Itu kan bekasku! seru Kazuya yang tidak tahan
lagi dengan fantasinya.

Memangnya kenapa? Yamamoto-kun tidak sedang sakit, kan? Akino mengucapkannya


dengan santai sambil menjulurkan lidah. Atau jangan-jangan tadi pagi kau tidak menyikat
gigimu?! pekik Akino tiba-tiba. Kazuya tersentak kaget dan dengan segera membungkam
mulut Akino yang masih mengunyah makanan. Ia mendesis pelan sembari menempelkan jari
telunjuknya di bibir. Jangan sembarangan bicara! Mana mungkin aku tidak menyikat gigi!
dengan spontan Kazuya memrotes argumen Akino yang sembarangan dengan suara yang
ditahan.

Melihat reaksi Kazuya yang seperti itu, Akino malah tertawa terbahak-bahak. Untuk pertama
kalinya Akino melihat ekspresi panik di muka Kazuya. Kau ini lucu sekali ya. Untuk apa
kau sepanik itu? Aku kan hanya bercanda... masih dengan tawa yang memelan, Akino
melahap lagi onigiri di tangannya. Sementara Kazuya mendengus kesal setelah diejek Akino.

Secara tiba-tiba, Kazuya menjulurkan tangannya yang besar ke wajah Akino. Akino
terperanjat melihat Kazuya yang tiba-tiba melakukan hal itu. Dengan pelan Kazuya
mengusap sudut bibir Akino. Ada nasi yang menempel. Ujarnya lembut pada Akino.
Sejenak pandangan keduanya bertemu beberapa detik. Akino yang memandang Kazuya
dengan matanya yang bulat dan terbelalak menyadarkan Kazuya atas kelakuannya. Dengan
cepat Kazuya menarik kembali tangannya sambil meminta maaf. Akino masih diam terpaku
dengan wajah yang merona.
Yamamoto menyentuh wajahku. Begitu katanya dalam hati. Seketika jantungnya
berlompatan. Ia bingung. Perasaan apa ini? Kenapa dia jadi gugup? Ah.... Mungkin ini
pertama kalinya seorang laki-laki menyentuh wajahnya selain ayahnya. Pasti begitu.
Sementara Kazuya mengutuk perbuatannya barusan. Apa yang ia lakukan? Kenapa dia
dengan lancang membersihkan nasi yang menempel di wajah Akino? Padahal kan dia bisa
memberitahunya langsung pada Akino!
Berbagai macam pertanyaan terus melayang-layang dalam otak mereka berdua. Mereka
seakan menjadi asyik sendiri dengan pikiran mereka yang entah melantur kemana-mana.
Untuk beberapa menit mereka terus duduk diam. Hening. Terkadang hanya terdengan suara
angin yang mender-deru dan suara orang di kejauhan yang juga sedang berpiknik.

Eh... ehm... maaf untuk yang tadi. Ujar Kazuya dengan nada lirih. Ah, untuk apa minta
maaf. Tidak apa-apa kok.
Akino menjawab dengan senyum yang salah tingkah. Kenapa dirinya masih merasa gugup?
Ia merasa aneh. Antara senang dan tidak enak bercampur ketika dia merasakan debaran
jantunya yang tak karuan. Tapi walaupun aneh, dia menyukai perasaan ini. Tapi kenapa? Eh,
ayo dimakan lagi makananannya. Sayang kan kalau disisakan...

****

Kelopak bunga sakura masih terus berrjatuhan ketika mereka berdua sudah dalam perjalanan
pulang. Hari sudah sore ketika mereka berdua berjalan beriringan tanpa suara. Kazuya diam
dan terus kikuk memandangi kiri kanannnya seakan ada yang mengawasi mereka. Sementara
Akino berjalan ringan di sampingnya seakan tidak pernah terjadi apa-apa, sembari
bersenandung kecil.

Eh, Yamamoto-kun. Panggi Akino sehingga memecah keheningan diantara mereka.

Hm?

Keluargamu itu orangnya seperti apa?

Em... mereka perhatian padaku. Mereka tegas, tapi ada saatnya mereka asyik untuk diajak
bercanda. Kenapa bertanya seperti itu? Kazuya mengembalikan pertanyaan Akino. Akino
hanya tertawa kecil. Tidak apa-apa. Aku hanya bertanya.
Mereka kembali diam dan sibuk dengan pikiran mereka sendiri. Tapi mendadak Akino
mengangkat wajahnya dengan pandangan tidak mengerti bercampur terkejut ke arah Kazuya
yang berusaha lari dari tatapan Akino. Sejenak Akino menahan napas dan kemudian
dilanjutkannya dengan napas yang memburu. Dilihatnya tangan Kazuya yang sudah
menggenggam erat tangannya yang mungil.

Maaf. Sebentar saja, boleh kan? tanya Kazuya malu-malu tanpa memandang Akino. Akino
hanya menganggukkan kepalanya sekali dan membiarkan tangannya digandeng dengan
hangat oleh tangan Kazuya. Entah bagaimana ekspresi yang harus dipasang di wajah Akino.
Ia merasa sangat malu tapi juga merasa senang. Tuhan, apa ini? Perasaan apa ini?
Ingin rasanya Kazuya mengantukkan kepalanya ke batang pohon yang besar karena saking
senangnya. Akino tidak menolak!! Bagaimana ini? Wajahnya terasa sangat panas sehingga
membuatnya sedikit gerah karena jaket yang ia kenakan. Mungkin ini bertama kalinya ia
seberani ini menggenggap tangan gadis pujaannya. Tapi mungkin juga ini terakhir kalinya ia
bisa melakukannya.

Beberapa menit kemudian, mereka sampai di rumah Akino yang besar dan mewah. Dengan
perlahan Kazuya melepas tangan kirinya yang sedari tadi menggenggem tangan kanan Akino.
Sejenak ada rasa sedih yang menyerang hati mereka berdua. Kesempatan ini berakhir sampai
di sini. Begitu pikir Kazuya.

Terima kasih untuk hari ini ya. Hari ini menyenangkan sekali. Ujar Akino.

Ya, masuklah. Sampai jumpa besok. Kata Kazuya. Akino kemudian berbalik dan memasuki
rumahnya. Ditatapnya punggung gadis itu dengan tatapan sendu. Sejenak it tersenyum tipis

dan kemudian kembali berjalan pulang ketika sosok Akino sudah hilang di balik gerbang
rumahnya.

*****

Akino menghempaskan tubuhnya yang sudah berrbalut baju tidur ke atas tempat tidurnya
yang lebar dan empuk. Ia pandangi langit-langit kamarnya yang berwarna merah jambu
dengan tatapan sayu. Kemudian ia mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Otomatis
pandangannya teralihkan pada punggung tangan kanannya.
Apa yang Yamamoto pikirkan, ya? Kenapa dia menggenggam tanganku? gumam Akino
bingung. Akhirnya dijatuhkannya tangannya ke atas kasur. Ia menghela napas panjang dan
kemudian bangun dan berjalan menuju meja belajarnya untuk menulis di atas kertas buku
pribadinya.

Musim semi, Minggu, 5 April Hari Cerah.

Hari ini senang sekali aku bisa menghabiskan waktuku dengan berpiknik bersama
Yamamoto! Kau tahu? Dia memuji masakanku! Tapi, ada yang aneh padanya hari ini. Dia
menyentuh wajahku, bahkan menggenggam tanganku saat mengantarkanku pulang!! Dia
kenapa, ya? Lalu bagaimana denganku sendiri? Kenapa jantungku malah berdetak tidak
karuan ya? Jangan-jangan aku terserang penyakit jantung?! Entah benar atau tidak, kenapa
aku merasa senang ketika Yamamoto begitu ya? Apa mungkin aku gila?!! Oh,... andaikan
kau buku yang bisa bicara, aku ingin kau menjawab pertanyaan-pertanyaan ini!!!

******

Kazuya duduk diatas kasurnya sembari mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk
putihnya. Sejenak dia berhenti dan kemudian berdiri dan berjalan menuju kaca di kamarnya,
dipandanginya bayanagn yang terpantul di kaca seujuran 60cm x 30cm itu. Dia menghela
napas panjang dan kembali mengeringkan rambutnya.
Aku benar-benar nekad tadi! Pikirnya. Bagaimana bisa aku melakukannya? Jangan-jangan
tadi aku kesurupan?! Apa yang akan dipikirkan Akino nanti? Dia akan menganggapku aneh?
Oh... Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapinya besok! Sejumlah pertanyaan tanpa
jawaban berkelebat di pikirannya. Ia bingung dan tidak tahu dan tak tahu harus melakukan
apa.

Semoga besok aku bisa menghadapinya seperti biasa.... gumamnya pelan sembari
menghela napas lagi.

******

Four-Leaf Clover~bab 3
by Shiro Neko'shop on Wednesday, 4 April 2012 at 13:39
Fujioka! panggil seorang laki-laki berambut pirang dan bermata biru.

Eh? Ya? Dengan siapa? tanya Akino keheranan sembari menutup buku novelnya. Dia
menatap lekat-lekat mata laki-laki blasteran itu dari balik kacamata bacanya. Terlihat laki-laki
itu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Namaku Asakura Rin. jawabnya.

Ah! Asakura-senpai, ya! Ada apa?

Kau tahu aku? Bagaimana kau tahu aku ini seniormu? terdengar nada terkesan dari
pertanyaan laki-laki yang bernama Rin itu, karena dia merasa cukup senang kalau Akino tahu
tentang dirinta. Aku sering mendengar namamu disebut teman-teman sekelasku. jawabnya
sembari menebarkan senyum manisnya yang bisa dengan mudahnya menarik perhatian lakilaki seumurannya. Melihat itu, Rin terlihat semakin kikuk. Ada apa senpai mencariku?

Eh... itu, liburan musim panas nanti, sekolah kita akan mengadakan liburan bersama ke
pantai. Apa kau akan ikut?

Tentu saja.

Hati Rin seakan melambung tinggi karena senang. Ia terlihat menjadi sangat semangat untuk
rencana. Bagaimana kalau kita satu bis dan duduk bersama nanti? Apa kau keberatan? Ah,
tapi aku tidak memaksa. Dengan antusias dan penuh harapan Rin mengajak Akino untuk
berjalan bersama di liburan nanti. Sejenak wajah Akino berubah. Dia ingin menolak karena
dia sudah memiliki janji dengan Kazuya, tapi dia tidak enak hati mengatakannya.

Maaf senpai, tapi aku sudah ada janji.

Bahu Rin mendadak lemas. Ia ditolak. Tapi kelihatannya dia belum menyerah. Ada sesuatu
yang hendak disampaikannya, tapi dia agak ragu. Ketika Akino hendak beranjak pergi,
dengan cepat Rin menahan tangan Akino. Dengan tatapan heran Akino memandang Rin yang
terlihat bingung.

A-aku... kalau tidak keberatan, aku... aku ingin bertanya sesuatu padamu, Fujioka-san...

Apa?

Kembali Rin menggaruk-garuk kepalanya. Entah memang karena gatal, atau hanya untuk
menghilangkan keraguannya. Wajahnya mendadak merah dan terasa panas. Walau begitu, ia
terlihat yakin kalau dia bisa mengatakannya. A-aku menyukaimu, Fujioka-san. Maukah kau
berkencan denganku? tanyanya dengan suara yang cukup lantang di tempat yang sunyi
tempat mereka berada sekarang. Sontak mata Akino yang bulat terbelalak lebar hingga bola
matanya hampir melompat keluar karena tidak percaya dengan ucapan Rin barusan. Apa?
Dia sedang menyatakan cinta? Kenapa harus aku? Apa yang special dari orang sepertiku?
Seketika jantungnya berdetak karuan. Dan wajah Kazuya yang tersenyum lembut padanya
selalu terbayang di benaknya. Apa ini? Kenapa ada bayangan Kazuya di benakku?
Perasaannya campur aduk saat itu. Apa yang harus ia jawab? Menerimanya atau menolak?
Dia ragu untuk memutuskan. Tapi semakin ingin dia mencoba untuk menerima pernyataan
itu, semakin besar pula bayangan Kazuya di otaknya.

Maaf senpai. Biar kucoba untuk memikirkannya terlebih dahulu. Ini terlalu mendadak
bagiku.

Akino kemudian berjalan menjauhi Rin yang masih berdiri diam di tempat. Masih terus ia
membayangkan bagaimana reaksi Kazuya nanti jika ia mengetahui hal ini. Sejenak dia
merasa hatinya gamang. Dia merasa tidak sanggup untuk menerima permintaan Rin yang
mendadak itu. Apalagi dia juga tidak mengenal dengan baik dengan laki-laki yang disebutsebut sebagai Asakura Rin itu. Memang dari yang ia dengar, Asakura Rin adalah laki-laki
yang pintar, baik, dan perhatian. Tapi dalam lubuk hatinya, ia merasa bahwa Kazuya lebih
baik darinya. Kenapa? Perasaan apa ini sebenarnya?

****

Akino memandangi punggung-punggung murid SMA di sekolahnya yang kebanyakan


berjalan di depannya. Sesekali ia mengipasi tubuhnya dengan buku tulis yang ia pegang
sembari menyeruput cola dingin yang ia beli di kantin sekolah sebelum pulang. Ya. Sekarang
musim panas. Walaupun sudah diberi seragam yang cukup tipis, tetap saja dia merasa gerah
dengan cuaca yang begitu panas hari itu. Punggung bajunya dan dahinya juga basah karena
peluh. Ia berharap dia bisa berendam di dalam kolam renang sekarang juga.

Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya pelan. Seketika Akino menolehkan kepalanya menuju
orang yang menepuk bahunya itu. Ketika melihat orang yang menepuknya, dia merasa agak
canggung. Ternyata Asakura Rin. Kenapa dia? Mana Kazuya? Selagi berbagai pertanyaan itu
berkelebat di pikirannya, Asakura Rin sudah mengucapkan sederet kata yang membuyarkan
lamunan singkatnya. Pulang sendirian? Mana teman-temanmu?

Ah, orang yang pendiam sepertiku mana punya banyak teman. Kau sendiri, kenapa pulang
sendirian? Akino balik bertanya. Walaupun merasa agak canggung, ia berusaha untuk tampil
sewajarnya. Diliriknya Rin yang berjalan beriringan di sampingnya. Kenapa dia masih
menghampiriku?

Mereka pergi ke game center. Jadi aku pulang duluan saja.

Memangnya kau tidak suka bermain di game center seperti laki-laki pada umumnya?

Tidak. Aku kurang suka. Jawabnya dengan jujur. Ya. Memang cukup jarang ada laki-laki
yang seperti itu. Kebanyakan laki-laki di sekolah Akino merupakan laki-laki yang energic dan
suka berkeliaran kesana kemari. Asakura Rin memang orang yang berbeda. Setelah dilihat
baik-baik, Asakura Rin memang memiliki wajah yang tampan dengan wajah blasterannya
yang unik.rambutnya yang disisir agak jabrik menambah pesona dirinya. Tidak heran dia
begitu populer dikalangan murid perempuan. Rin juga memiliki postur tubuh yang tegap dan
tinggi. Ditambah lagi ia memiliki sifat yang baik, perhatian, suka menolong, pintar pula.
Laki-laki yang sempurna di mata perempuan seumuran Akino. Tapi entah kenapa, ia
kemudian membanding-bandingkan Rin dengan Kazuya teman baiknya. Sepertinya Kazuya
lebih sempurna darinya. Begitu pikirnya.

Wah, sungguh langka ya.... Jarang ada orang seperti senpai. Jawab Akino singkat.

Mengenai tadi, kau benar-benar akan mempertimbangkannya kan? mereka diam sejenak.
Akino bingung harus menjawab apa. Haruskah dia mengatakan ya atau menolaknya sekarang
juga. Dia ragu. Tentu saja, aku harap aku bisa menempati hatimu. Tapi, kalau memang tidak
bisa, aku juga tidak akan menolak... lanjutnya lagi sambil tersenyum.
Mendengar hal itu, Akino bukannya semakin terhibur. Dia malah merasa semakin tidak enak
hati untuk menolaknya. Dia tidak menyukai laki-laki ini. Sekali lagi bayangan Kazuya
muncul di pikirannya. Atau jangan-jangan penyebab utamanya adalah karena dia menyukai
Kazuya? Ia berusaha mengusir pikiran itu. Mana mungkin orang sepertinya bisa menyukai
Kazuya? Kazuya orang yang sangat baik, pintar, dan setia menjadi temannya. Sedangkan dia?
Dia hanya bermanja, dan kelihatannya dia sering membuat Kazuya kesal padanya.
Bagaimana mungkin orang yang tidak sempurna sepertinya bisa menyukai Kazuya?

Ehm... itu... akan kujawab besok.

****

Jangan lupa ya, Kazuya. Aku tunggu kabar darimu! seru Yamada kepada Kazuya yang baru
keluar dari gerbang sekolahnya yang lebar. Sementara Kazuya hanya mengiyakan apa yang
dikatakan Yamada teman sekelasnya. Setelah Yamada berlalu, ia melangkahkan kakinya
untuk segera sampai di rumah dan meminum cola yang sudah menantinya di kulkas
rumahnya.

Panas sekali hari ini.... desahnya pelan. Tiba-tiba matanya berbinar ketika melihat Akino
berjalan di depannya kira-kira tiga meter jauhnya. Baru saja ia hendak memanggil, tapi
dengan rasa kecewa dia mengurungkan niatnya. Dilihatnya ia sedang berjalan bersama
dengan seorang laki-laki. Asakura Rin. Pikirnya dalam hati. Seorang laki-laki populer di
sekolahnya. Apa yang sedang mereka lakukan? Kelihatannya mereka mengobrol dengan
cukup serius. Sejenak ada keinginan di hati kecil Kazuya untuk mencari tahu, tapi kemudian
dengan segera ia berusa untuk mengurungkan lagi niatnya. Dia hanya sahabat Akino. Tidak
ada hak baginya untuk tahu mengenai masalah pribadi Akino.

Dengan lesu ia kemudian berjalan menjauh dan hilang di balik keramaian.

****

Keesokan harinya, dimana hari itu adalah hari pertama dalam liburan musim panas, muridmurid dari sekolah Akino sudah berkumpul di depan gerbang sekolah. Mereka datang bukan
untuk sekolah di hari libur, tapi siap untuk berangkat menuju pantai di hari pertama liburan
hingga 3 hari kedepannya. Akino terlihat mencari-cari seseorang daritadi. Ia sedang menanti
Asakura Rin. Dia sudah meyakinkan dirinya bahwa ia akan menjawab pertanyaan yang
diajukan Rin kemarin. Mau tidak mau, dia harus menerima resikonya nanti.

Akhirnya setelah menunggu beberapa menit, ia melihat Asakura Rin sedang berlarian menuju
kerumunan. Dari jauh Akino memberi isyarat kepada Rin bahwa dia akan menunggunya di
tempat kemarin.

Beberapa menit kemudian, mereka sudah berdiri saling berhadapan. Ini momen yang sangat
menegangkan bagi keduanya. Rin terlihat begitu harap-harap cemas dengan jawaban yang
akan diberikan Akino. Sementara Akino sendiri kelihatannya masih agak bingung harus
memulai dari mana.

Begini, aku.... kata Akino memulai pembicaraan. Aku tahu Asakura-senpai adalah orang
yang sangat baik, perhatian, dan juga pintar. Kau adalah orang yang sangat sempurna di mata
perempuan. Ya tentu saja, aku juga menganggapmu seperti itu. Tapi, kau tahu.... aku...

Sudahlah. Aku mengerti. Kau tidak bisa menerimaku kan? ucap Rin tiba-tiba dengan
pandangan yang sedih. Akino seakan tersentak kaget karena sepertinya Rin bisa membaca
pikirannya. Dari awal aku juga merasa aku mungkin akan ditolak. Hanya saja... setidaknya
aku ingin kau tahu tentang perasaanku yang sebenarnya. Maka dari itu aku juga tidak akan
memaksamu. Kau sepertinya menyukai Yamamoto kan? Aku bisa mengerti. Terima kasih
karena sudah bersedia mempertimbangkan hal ini untukku.

Apa?! Ma-mana mungkin!

Sudahlah. Ayo kita berangkat. Kita mungkin sudah ditunggu.

Memang lega rasanya bahwa Rin tidak marah karena Akino menolaknya. Tapi apa yang
dikatakannya tadi? Dia menyukai Yamamoto? Apa benar? Semakin ia memikirkannya,

jantungnya berlompatan dengan kencang. Bagaimana ini? Apakah ternyata selama ini dia
menyukai Kazuya, sahabat terbaiknya itu?

****

Bus sudah berangkat dari jam delapan pagi tadi. Semuanya duduk di dalam bus sembari asyik
dengan teman sebangku mereka sendiri. Sementara Kazuya dan Akino hanya diam. Sejak apa
yang telah dikatakan Asakura Rin, Akino merasa sedikit canggung untuk mengobrol dengan
Kazuya. Dia berusaha untuk bertingkah sewajarnya. Tapi dia tidak bisa, apalagi dengan
wajahnya yang bersemu merah dan duduk bersebelahan dengan Kazuya, membuat fantasi
yang ada diotaknya semakin melantur kemana-mana. Oh... wajahnya terasa sangat panas.
Jangan memikirkan hal yang aneh. Menyukai Yamamoto Kazuya yang merupakan salah satu
laki-laki terpopuler di sekolahnya? Itu pikiran gila seorang gadis seumuran dia. Bahkan dia
sudah cukup beruntung karena bisa berteman akrab dengan orang ini. Kalau tidak ada
Kazuya, mungkin kehidupan SMA-nya akan sangat membosankan.

Akino adalah perempuan yang pendiam di kelas. Dia jarang berbicara dengan teman
sekelasnya. Apalagi dia hanya sibuk dengan novel yang ia beli dari toko buku. Dia seakan
telah dicap sebagai kutu buku di kelas bahkan sekolahnya. Mana ada yang mau mendekati
orang yang tidak peduli dengan keadaan sekitarnya seperti dirinya. Apalagi dengan hobinya
yang benar-benar menjadi bagian dari hidupnya. Memikirkan hal itu, dia mendesah pelan.

Kau kenapa, Fujioka? Kau tidak enak badan? Kenapa wajahmu merah begitu?

Apa? Wajahku merah? Mana mungkin! Aku sangat sehat kok! ujarnya dengan kikuk.
Apakah tingkah lakunya terlihat aneh barusan? Apakah benar wajahnya sangat merah?
Semerah apa? Kepiting rebus? Ya ampun... dia sungguh malu. Dia tidak berani menatap
wajah Kazuya yang sedang memerhatikan wajahnya lekat-lekat. Ia bahkan tidak sadar kalau
dia sedang menahan napas untuk menekan suara detakan jantungnya.

Kau yakin? Kau terlihat tidak sehat.

Sudah kubilang aku tidak apa-apa. Oh ya, kau mau cemilan? Aku bawa banyak! dengan
segera Akino mengalihkan pembicaraan dan meraih tas ransel kecilnya disamping kursinya.
Lalu masih dengan tangannya yang agak gemetar, dia membuka salah satu bungkusan potato
chips dari tasnya dan kemudian menyodorkannya kepada Kazuya. Kazuya menolak dengan

halus, tapi Akino malah terus memaksa Kazuya untuk memakannya. Dan secara refleks ia
langsung menyuapi dengan potato chips yang ada ditangannya.

Ini, ayo dimakan. Paksa Akino dengan mulut yang dimanyunkan. Dengan malu-malu
Kazuya melahap potato chips yang ada di depannya. Baru setelah Kazuya memakan snack
itu, Akino baru sadar dengan kelakuannya yang seperti anak kecil. Gawat! Ini sepertinya
sudah mendarah daging! Ini sudah menjadi kebiasaanku untuk melakukan hal ini! Kenapa
aku bisa begitu bodoh! Apa yang akan dipikirkan Kazuya nanti?! Pekiknya dalam hati.

****

Wah! Indahnya!!! Pantai!!! seru Akino setelah keluar dari bus. Akino begitu menikmati
hembusan angin laut yang menghilangkan rasa gerahnya akan musim panas. Langit biru,
pasir putih, dan air laut. Dia tidak sabar untuk segera melemparkan dirinya sendiri ke dalam
sejuknya air laut. Pasti akan sangat menyenangkan. Kazuya yang baru keluar melihat Akino
yang bagaikan anak kecil berumur 6 tahun yang begitu bersemangat ketika melihat laut.
Rambut Akino yang berwarna coklat panjang melambai-lambai karena hembusan angin.
Cantik sekali. Andaikan hubungan mereka bisa lebih dari sekedar teman mungkin ia sudah
menarik tangannya menuju laut dan bermain air layaknya pasangan kekasih pada umumnya.

Fujioka, sudah waktunya untuk berkumpul. Panggil Kazuya pelan.

Baik!

Semua murid berdiri membentuk kerumunan yang ramai di tempat mereka akan menginap
selama 3 hari 2 malam. Mereka ternyata sedang diberikan pengarahan oleh guru mereka
tentang acara yang akan diadakan. Selain itu, ternyata mereka juga sekaligus mencabut undi
untuk pembagian kamar. Akino mendapat kamar dengan nomor urut 11. Satu kamar akan
ditempati oleh 5 orang. Tapi tentu saja tetap memperhatikan jenis kelamin masing-masing.
Karena akan menjadi bencana besar jika laki-laki dan perempuan ditempatkan di satu kamar.

Selesai mendapat pengarahan, mereka dipersilakan untuk masuk ke kamar sesuai dengan
undian tadi. Akino yang tidak mempunyai teman pun merasa agak cemas jika dia tidak bisa
akrab dengan teman sekamarnya nanti. Tapi setidaknya dia memiliki novel untuk dibacanya
jika tidak ada kerjaan.

Ketika ia membuka pintu kamar, ternyata kamar itu sudah sedari tadi terisi oleh empat orang
lainnya. Terlihat dengan jelas satu diantara mereka merupakan perempuan yang sombong.
Sejenak Akino merasa ragu untuk melangkah masuk. Apakah dia salah kamar? Tapi setelah
dicek lagi nomor yang tergantung di depan pintu, tidak ada kesalahan sama sekali.
Dan itu membuat Akino merasa agak kecewa. Andaikan saja dia mendapat teman sekamar
yang lebih baik.

Masih dengan perasaan cemas, dia melangkah masuk dan kemudian memberanikan diri untuk
menyapa perempuan yang untuk 3 hari selanjutnya akan menjadi teman sekamarnya. Salah
satu perempuan diantara mereka menatap Akino dengan tatapan kurang senang. Ada apa?
Apakah aku pernah melakukan kesalahan padanya? Aku bahkan tidak mengenalnya. Mana
mungkin aku pernah melakukan kesalahan padanya.

Ha-hai semuanya. Namaku Fujioka Akino. Aku harap kita bisa menjadi teman sekamar yang
baik ya... ujarnya pelan.
Memang terdengar sok akrab. Tapi apa lagi bisa diucapkan dari kutu buku sepertinya? Dia
hanya bisa berharap.

Hai juga.... jawab 3 orang diantaranya. Tapi perempuan yang sedari awal kelihatan tidak
menyukainya itu tidak menyahut sapaan Akino. Namaku Nakamura Sakura. Ucap
perempuan berambut hitam lurus dan bermata biru. Aku Minase Yukari. Salam kenal.
jawab perempuan di sebelahnya yang berambut pendek sebahu dan berwarna hitam yang
dicatnya kemerahan di beberapa bagian. Dan aku Abekawa Ai. Senang berkenalan
denganmu. Ujar perempuan satunya dengan nada rendah. Ia bermata coklat redup dan
berambut gelombang dan pirang. Walaupun tampangnya tidak bersahabat, tapi setidaknya dia
masih mau memperkenalkan dirinya dibandingkan dengan perempuan yang masih belum
diketahui namanya itu.

Walaupun tidak ada jawaban sepatah katapun dari perempuan misterius itu, Akino tidak
memaksa. Karena itu haknya untuk tidak memberitahukannya. Ia hanya bisa
menganggapnya sebagai angin lalu.

****

Sementara Kazuya, ternyata dia sekamar dengan Yamada temannya, dan Asakura Rin.
Sungguh sebuah kebetulan. Ketika memasuki kamar, Rin sudah melemparkan senyum ramah
kepada Kazuya yang kemudian dibalas pula dengan senyum.

Namaku Asakura Rin. Salam kenal. kata Rin memperkenalkan diri sembari mengulurkan
tangannya ke arah Kazuya. Uluran tangan itu disambut Kazuya dengan santai sembari
mengucapkan pula namanya.

Aku Yamamoto Kazuya. Mohon bantuannya, Asakura-senpai.

Panggil saja aku Rin. Aku tidak akan keberatan.

Baiklah.

****

Malam telah datang. Semua murid telah tidur. Tapi Akino masih terjaga. Ia masih sibuk
membaca novel dengan penerangan seadanya dari lampu luar jendela yang menembus masuk.
Beberapa detik kemudian, Akino menanggalkan kacamata bacanya dan menutup novelnya
sembari bangun dari tempat tidurnya. Dipandanginya teman sekamarnya yang lain.
Kelihatannya sudah tidur. Dia kemudian menyelinap keluar untuk mencari udara segar. Dan
panggilan ombak di luar penginapan menarik hatinya untuk pergi keluar.

Setelah melewati pekarangan penginapan yang luas itu, dia telah menginjak permukaan pasir
yang lembut di sela-sela jari kakinya. Menyenangkan sekali. Ia rapatkan jaketnya yang
membalut tubuhnya sembari menikmati hembusan angin dan suara desiran ombak yang
menenangkan. Setelah berjalan beberapa langkah dengan kaki yang hanya dilapisi oleh
sendal jepit ia tiba-tiba berhenti dan pandangannya berpusat pada satu titik di depannya.
Yamamoto? Apa yang dilakukannya malam-malam begini? Kenapa masih belum tidur?
Dengan perlahan tapi pasti dia kemudian melangkahkan lagi kakinya untuk menghampiri
Kazuya yang duduk diatas pasir dan menghadap laut.

Yamamoto? sontak Kazuya terkejut ketika mendengar panggilan Akino yang tiba-tiba
sudah berada di sampingnya.

Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa masih belum tidur?

Aku tidak bisa tidur. Jawabnya singkat. Duduklah. Kata Kazuya sembari memberi isyarat
pada Akino untuk duduk di sampingnya. Akino menurut. Ia kemudian menghempaskan
dirinya ke atas pasir yang lembut dan duduk di samping Kazuya yang terlihat sangat
menikmati angin malam yang menerpa tubuhnya. Kau sendiri kenapa masih belum tidur? Ini
sudah hampir tengah malam.

Sama denganmu. Aku juga tidak bisa tidur. Aku belum terbiasa.... ucapnya dengan jujur.
Aku juga sepertinya kurang bisa akrab dengan teman sekamarku. Wajah mereka terlihat
judes. Aku jadi tidak berani untuk memulai percakapan dengan merek. Apalagi dengan salah
satu dari mereka.

Mereka tidak macam-macam denganmu kan? Tenang saja. Mungkin itu sudah sifat mereka.
Jangan dimasukkan ke dalam hati. hibur Kazuya. Akino hanya menganggukan kepalanya
tanda mengerti lalu mereka berdua kembali terdiam menikmati suara desiran ombak yang
lembut. Suasana hening diantara mereka berlangsung cukup lama hingga pada akhirnya
Kazuya mengajak Akino untuk kembali ke kamar masing-masing. Ayo kita kembali. Kau
bisa demam kalau terus-terusan disini. Apalagi besok kita masih ada kegiatan. ajak seraya
bangkit dari duduknya dan menepuk bersih pasir yang menempel di celana panjangnya.
Tanpa diduga-duga Kazuya mengulurkan tangan kanan ke arah Akino yang baru hendak
berdiri. Ayo, bangun. ucapnya pelan sambil tersenyum.

Wajah Akino mendadak bersemu merah. Dengan pelan ia menyambut uluran tangan Kazuya.
Padahal sebelum Rin mengatakan hal seperti tadi, dia pasti akan menyambut tangan Kazuya
tanpa ragu. Apakah benar Akino menyukainya? Kazuya menariknya berdiri. Tapi entah
memang karena tidak sengaja atau memang sudah direncanakan sebelumnya, tiba-tiba Akino
yang berdirinya tidak seimbang malah terpeleset dan membuatnya jatuh terbaring di atas
pasir dengan Kazuya yang hampir menimpa tubuhnya jika Kazuya tidak menopang tubuhnya
dengan kedua tangannya di atas
permukaan pasir.

Tentu saja hal ini membuat mereka sangat kaget apalagi terjatuh dengan pose seperti itu.
Pandangan mereka bertemu di tengah gelapnya malam yang hanya ditemani dengan
terangnya bulan. Akino benar-benar tidak bisa berkata apa-apa ketika hal itu terjadi. Ya
Tuhan, apa ini? Kenapa harus terjadi hal seperti ini? Batinnya. Untung saja sekarang gelap

dan suara desiran ombak dan anginnya cukup keras. Kalau tidak mungkin wajahnya yang
merah dan jantungnya yang melompat-lompat didadanya sudah disadari oleh Kazuya.

Momen itu terjadi selama beberapa detik tapi terasa lama bagi Akino yang sudah tidak
sanggup menahan malu. Semakin lama ia semakin terperanjat kaget karena tanpa disangkasangka wajah Kazuya mendekat ke arahnya. Apa yang dipikirkan Kazuya?! Apakah ini
seperti yang ada di dalam novel yang kubaca dimana dalam situasi seperti ini laki-laki itu
akan menciumnya?! Oh tidak.... aku mulai berkhayal yang tidak-tidak! Jangan pikirkan
masalah seperti itu! Tapi, apa yang harus aku lakukan sekarang?! Menutup mata? Memajukan
bibirku?! Ya Tuhan!!! Apa yang sedang aku pikirkan?! Aku tidak tahan lagi!!! Pikiran Akino
sangat kacau sampai-sampai dia tidak bisa berpikir lagi. Dia malah memejamkan matanya
rapat-rapat.

Melihat Akino yang sudah memejamkan matanya rapat-rapat, Kazuya berhenti mendekatkan
wajahnya yang sudah berjarak kurang dari tiga sentimeter. Apa yang sedang ia lakukan?
Hendak mencium Akino dalam situasi seperti itu?! Betapa mesumnya dia! Dia terus
mengutuk perbuatannya. Dengan secepat kilat ia bangkit berdiri dan merapikan pakaiannya.
Dan ditariknya pula Akino yang masih menutup matanya karena belum menyadari kalau
Kazuya sudah berdiri di hadapannya.

Maaf. Ucap Kazuya sambil menggerakkan tubuhnya tidak jelas.

Eh? Akino masih linglung dengan apa yang terjadi. Rasanya dia masih berada dalam mimpi
singkat barusan.

Ke-kenapa? Kau-kau tidak mengharapkan sesuatu terjadi kan. Ujar Kazuya pelan.

Mana mungkin! Dasar Yamamoto! Ka-kalau begitu aku masuk dulu. Jangan berlama-lama
di sini. Nanti kau masuk angin! balas Akino asal-asalan agar Kazuya tidak berhasil
membaca pikirannya tentang fantasi yang tadi berputar-putar di kepalanya sembari berlari
menjauh karena malu. Ini benar-benar kejadian yang memalukan!!

***

Keesokan harinya, Akino dan Kazuya bangun dengan muka yang kusut karena kurang tidur.
Ternyata semalaman mereka memikirkan momen tak terduga yang terjadi di antara mereka.
Ketika mereka berpapasan saat pengarahan dengan kegiatan hari itu, mereka hanya saling
menyapa dengan canggung. Tapi walaupun begitu, mereka tetap satu tim dalam kegiatan
selanjutnya.

Eh.... kita satu kelompok... mohon kerjasamanya ya... kata Akino.

Kenapa cara bicaramu jadi formal begitu? Apa mungkin kau... marah... Dengan cepat
Akino menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kuat. U-untuk apa marah. Aku tidak marah.
Sungguh!

Baiklah kalau begitu. Untuk acara voli pantai berpasangan nanti kau sudah siap kan? Kau
bisa bermain voli kan? tanya Kazuya. Ya, lumayan. jawab Akino dengan pasti.

Sekitar setengah jam kemudian, mereka mulai melaksanakan kegiatan mereka. Karena ada
100 pasang tim yang akan bertanding, maka guru memutuskan untuk membuat setiap
pertandingan hanya terdiri dari satu sesi dengan skor hingga 10 poin agar tidak memakan
waktu yang lama. Dan setiap 1 ronde permainan, maka akan ada 10 pasang murid yang akan
bertanding. Dan setiap dua pasangnya berada di satu area.

Kazuya dan Akino mendapat giliran ke 5 dan telah siap untuk bertanding. Dan ternyata dari
semua pasangan yang ada, mereka adalah pasangan yang terkuat sehingga mereka memimpin
pertandingan setelah berhasil memenangkan 5 ronde pertandingan. Tapi, masih ada ronde
penentuan juara dalam pertandingan kali ini. Mereka akan bertanding dengan pasangan
Asakura Rin dan Tsukishima Airi yang merupakan nama dari perempuan yang terlihat tidak
menyukai Akino di kamarnya.

Bunyi peluit menandakan pertandingan antara kedua kubu dimulai. Pertandingan yang terjadi
cukup sengit. Keduanya tidak mau mengalah dan saling mengejar point. Akino sendiri sudah
merasa sangat lelah karena terlalu bersemangat dalam bertanding. Tapi dia tidak peduli
dengan rasa lelahnya. Yang menjadi targetnya sekarang adalah menjadi pemenang.

Dan keinginannya bukan hanya sekedar keinginan. Akino dan Kazuya memenangkan
pertandingan. Semua menyorakkan kemenangan mereka ketika mereka saling berjabat tangan
dengan Asakura Rin dan Tsukishima Airi.

Permainan yang mengesankan ya! Aku tidak menyangka kalau kau bisa bermain voli,
Fujioka. puji Rin ketika mereka berjabat tangan.

Tentu saja. Memang kelihatannya aku ini tidak bisa apa-apa. Tapi aku lumayan dalam voli.
ujarnya sembari menepuk-nepuk dadanya dengan bangga. Kalian juga sangat hebat!
Pasangan yang benar-benar kuat! puji Akino sembari mengulurkan tangannya ke arah Airi
yang hanya di balas dengan tatapan tidak senang. Sementara ketika Kazuya hendak berjabat
tangan, tanpa ragu ia langsung menyambutnya. Kesalahan apa yang pernah dilakukannya
terhadap Airi?

****

Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Semua orang berkumpul di pantai mengitari api
unggun sambil berdansa dengan pasangan yang berganti-gantian. Dan sekarang Rin sedang
berdansa dengan Akino mengikuti musik yang diputarkan.

Liburan kali ini sangat menyenangkan ya. kata Rin membuka percakapan.

Iya. Sangat menyenangkan!

Apa kau mendapatkan teman baru? Mungkin dengan orang yang sekamar denganmu?
Akino menggelengkan kepalanya pelan. Tidak mungkin berjalan selancar itu. Ada salah satu
diantara mereka yang sepertinya tidak menyukaiku. Entah apa alasannya, tapi dia selalu
memandangku dengan tatapan sinis. Dan tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun
padaku. jelas Akino. Memang sulit baginya untuk beradaptasi dengan orang-orang di
sekitarnya. Dia tidak bisa menjadi orang yang sok akrab dengan orang lain jika orang tersebut
tidak mendekatinya terlebih dahulu. Jika ada orang yang bersedia menjadi temannya, dia
akan dengan senang hati menerimanya. Tapi kalau ia disuruh untuk mendekati orang lain
terlebih dahulu untuk mencari teman, dia tak akan berani.

Begitu ya... Hm... anggap saja itu hanya angin lalu. hiburnya. Sudah waktunya tukar
pasangan. lanjutnya lagi. Dan kini sampailah di giliran Kazuya dan Akino. Mereka berdansa
dengan gembira layaknya kekasih. Betapa bahagianya Kazuya kala itu. Akino sendiri juga
merasa senang bisa berdansa dengan Kazuya.

Mereka melangkahkan kaki seirama dengan musik yang mengalun. Dan saling tersenyum
ketika mereka saling bertatap muka. Dan baru Akino sadari, betapa ia menyukai situasi
seperti ini.

******

Four-Leaf Clover~bab 4
by Shiro Neko'shop on Tuesday, 10 April 2012 at 13:17
Four-Leaf Clover Bab 4
Terdengar suara ketukan kecil dari dalam kamar Akino. Ternyata suara itu berasal dari pen
yang Akino benturkan ke atas meja belajarnya dengan pelan. Dia sedang memikirkan
momen-momen yang terjadi hari itu untuk diabadikannya ke dalam buku hariannya. Setelah
selesai berkhayal, ia mulai menggoreskan pennya ke atas kertas.

Hari Minggu, 31 Agustus 2011, Akhir musim panas yang cerah.

Tidak terasa musim panas sudah akan berakhir. Dan besok, adalah hari pertama di
semester baru di musim favoritku. Musim gugur.... Aku tidak sabar untuk menikmati angin
sejuk musim gugur dan warna pohon momiji yang indah bersama dengan sahabat yang
kusukai.... Yamamoto Kazuya....

***

Pagi-pagi sekali Kazuya sudah siap dengan setelan seragam musim gugurnya yang berupa jas
coklat gelap, kemeja putih, dasi hitam bergaris putih, dan celana berwarna coklat muda
dengan motif kotak-kotak. Ia sudah tidak sabar untuk melihat senyum Akino yang bahagia di
musim yang paling di sukainya yang juga merupakan musim favoritnya.

Ia melangkah keluar dari rumahnya dengan pasti setelah berpamitan dengan kedua orang
tuanya. Ia menghirup dalam-dalam udara di hari pertama musim gugur. Hm... segar sekali.

Ketika hendak keluar dari pagar rumahnya, ia kaget ketika mendapati Akino sedang berdiri di
depan rumahnya dan memandangi langit yang biru.

Fujioka? Sedang apa kau disini?

Ayo kita berangkat bersama! Ini kan hari pertama di musim kesukaanku! jawabnya dengan
wajah yang berseri-seri. Mungkin inilah yang membuat Kazuya jatuh cinta pada Akino ketika
pertama bertemu kira-kira setahun lalu. Baiklah. Ayo pergi. tanggap Kazuya sembari
melemparkan senyum yang membuat Akino merasa malu-malu.

***

Hei, Fujioka...

Hm?

Dari namamu, jangan-jangan kau lahir di musim gugur ya? tanya Kazuya ketika mereka
sedang duduk di atas teras di bawah pohon sakura yang daun serta bunganya telah rontok
seluruhnya. Tapi Akino tidak menjawab pertanyaan Kazuya sama sekali. Ia sibuk sendiri
dengan novel yang baru ia beli beberapa hari yang lalu. Sesekali ia tertawa kecil dan
kemudian membalikkan halaman selanjutnya. Hei! Jawab aku...! tegur Kazuya yang
jengkel karena tidak diperdulikan.

Eh? Maaf. Kau bilang apa tadi? tanya Akino dengan wajah polos tanpa dosa. Ah... kau
sama sekali tidak mendengar pertanyaanku!

Maaf, maaf... aku sedang asyik membaca novel. Kau sendiri melihatnya kan.

Jangan hanya berkutat dengan novel. Kalau perlu coba kau mengarang novelmu sendiri.
Akino tertawa renyah. Sementara Kazuya hanya mendengus. Mana mungkin aku bisa. Aku
hanya suka membaca, tapi tidak suka menulis. Kalau memang suatu saat ada pekerjaan
khusus membaca novel, mungkin aku akan melamarnya! ujar dengan tawa pelan.

Kalau tidak salah tadi kau bertanya tentang hari kelahiranku ya? Kazuya mengangguk.

Hm.... Seperti namaku, Akino. Aku lahir di pertengahan musim gugur. terang Akino.

Tepatnya tanggal berapa? tanya Kazuya dengan maksud tersembunyi. 4 Oktober. jawab
Akino kemudian.

Kalau begitu luangkan waktumu di malam hari pada hari itu! Kazuya menjadi begitu
bersemangat. Ada yang ia rencanakan ternyata. Sementara Akino yang masih penuh dengan
tanda tanya keheranan hanya memiringkan kepalanya tanda tidak mengerti.

***

-4 OktoberKazuya telah menunggu di depan rumah Akino ketika ia sedang berbicara di telepon.

Cepat keluar. Aku sudah ada di luar... kata Kazuya dari balik syalnya yang hangat berwarna
biru tua. Ia mengenakan jaket hitam dan kaos yang cukup tebal ditubuhnya. Dilihatnya
sesekali ia menghangatkan tangannya dengan meniupkan udara panas dari mulutnya.

Beberapa menit kemudian dilihatnya Akino sudah keluar dengan jaket hangat berwarna
merah muda dan syal bermotif kotak-kotaknya yang berwarna merah tua. Akino membiarkan
rambutnya yang panjang tergerai di punggung. Cantik sekali hingga membuat Kazuya
terpesona melihat penampilan Akino malam itu. Akino hanya melempar senyum kepada
Kazuya yang menandakan dia siap untuk berangkat.

Dan dengan segera, Kazuya kemudian mengajaknya untuk pergi ke stasiun kereta untuk pergi
menuju Fukushima.

Apa yang akan kita lakukan di Fukushima, Yamamoto-kun? tanya Akino penasaran di
dalam kereta yang cukup ramai. Mereka berdua duduk berdampingan di atas bangku di dalam
kereta dengan keramaian orang-orang yang berkerumun di sekitar mereka. Mendengar
pertanyaan itu, Kazuya hanya mengedipkan mata kanannya dengan senyum nakal. Kau akan
tahu segera. Cukup ikuti aku.

Beberapa lama kemudian, mereka telah sampai di stasiun Fukushima. Semua orang
berhamburan keluar kereta ketika sampai di tempat tujuan. Sementara Kazuya dan Akino
masih menunggu penumpang yang lain untuk keluar. Setelah penumpang yang keluar mulai
berkurang, barulah mereka membuntuti penumpang yang lain untuk keluar dari kereta yang
pengap itu.

Akino menghirup dalam-dalam udara di luar kereta karena tidak tahan akan kepengapan
kereta tadi.

Hah... sudah sampai! Sekarang kita akan kemana? tanya Akino. Kazuya kemudian menarik
tangan kecil Akino dan mulai berlari kecil untuk keluar dari stasiun. Ayo, ikuti saja aku.

***

Wah...!!! indahnya!!! seru Akino ketika melihat lentera kertas dengan cahaya merah sedang
melayang di udara. Jadi ini yang ingin kau tunjukkan? tanya Akino dengan lantang. Dia
terlihat sangat gembira ketika melihat pemandangan yang indah itu. Fukushima dihiasi oleh
beratus-ratus lentera kertas yang memancarkan cahaya berwarna merah yang indah. Banyak
orang yang berlalu-lalang untuk menikmati keindahan langit malam di Fukushima. Di kiri
kanan jalan juga terdapat banyak kedai-kedai kecil yang menjual makanan khas Jepang.

Akino berlari-larian kecil di tengah kerumunan sambil menarik tangan Kazuya. Ia tertawa
dengan sangat riang. Ini merupakan hari ulang tahun yang terindah setelah terakhir kali ia
merayakannya bersama ayah dan ibunya. Mereka kemudian menghampiri beberapa kedai dan
membeli makanan untuk disantap sepanjang jalan sembari menikmati hembusan angin malam
yang sejuk. Sesekali Akino terlihat menyodorkan makanan ke arah Kazuya dan Kazuya
melahapnya dengan senang hati. Ia senang karena Akino bisa selalu tertawa saat bersamanya.
Apalagi ini merupakan hari ulang tahunnya. Hari yang paling dinantikan oleh setiap orang
dan hanya akan terjadi sekali dalam setahun.

Kazuya mengeluarkan ponselnya agar bisa memotret pemandangan yang indah di Fukushima
itu. Dan tidak jarang Akino memaksanya untuk berfoto bersama. Akino menarik lengan
Kazuya agar mendekat dengannya dan berfoto bersama dengan ponsel Kazuya. Akino tertawa
lebar sementara kedua tangannya mencubit kedua pipi Kazuya. Seringkali Kazuya meringis
kesakitan karena harus dicubit dengan paksa oleh Akino, tapi hanya ditanggapi dengan tawa.

Setelah puas berjalan kesana kemari, mereka kemudian duduk di atas teras kecil dibawah
cahaya lentera.

Wah... menyenangkan sekali! Terima kasih sudah mengajakku kesini! ujar Akino dengan
gembira.

Ini bukan apa-apa. Anggap saja ini hadiah ulang tahun dariku.

Iya! Ini hadiah ulang tahun terbaik yang pernah kudapatkan. mendengar pengakuan itu,
Kazuya senangnya bukan main. Ia tidak habis menyangka hadiah kecil seperti ini bisa
dianggapnya sebagai hadiah terbaik. Oh ya. Aku masih punya kado untukmu. kata Kazuya
sembari merogoh saku jaketnya. Kado?! Jadi selain ini kau masih menyiapkan kado
khusus?! Akino berseru tidak percaya. Betapa senangnya dia malam ini.

Tentu! Ini, bukalah. Kazuya menyerahkan kotak kado kecil yang berlapiskan kertas kado
berwarna merah muda dengan pita oranye di atasnya. Akino menerimanya dengan mata yang
berbinar-binar karena senang. Ia membuka bungkusan kado itu perlahan-lahan seakan takut
membuat kotak kado itu merasa sakit. Dan betapa kagetnya lagi ketika mendapati isi dari
kado itu ternyata kalung berbentuk daun yang berhelai empat. Indahnya... bentuk daun apa
ini? tanya Akino sambil mengangkat tinggi-tinggi kalung itu.

Four-leaf clover.... jawab Kazuya singkat. Akino masih memandangnya dengan penuh
tanda tanya, berharap agar Kazuya menjelaskan. Itu bentuk daun semanggi empat. Kau tidak
tahu tentang keajaiban daun ini? Akino menggelengkan kepalanya dengan pelan tapi dengan
wajah yang serius untuk mendengarkan. Hm... akan aku ceritakan kepadamu kapan-kapan.
Sekarang, pakai saja dulu. Sini biar aku pasangkan di lehermu. Kazuya mengulurkan
tangannya tanda ingin meminta kalung itu diberikan kepadanya. Akino menurut dan
memberikan kalung yang ia pegang ke tangan Kazuya.

Kazuya kemudian berjalan ke hadapan Akino yang sedang duduk dan kemudian
membungkukkan tubuhnya agar bisa mengalungkan kalung pemberiannya itu di leher Akino.
Akino bisa mendengarkan detakan jantungnya begitu keras ketika jarak mereka begitu dekat.
Wajah Kazuya berada di samping wajahnya. Dan dia dapat mendengar napas dari Kazuya di
telingannya. Oh... betapa dia menyukai irama detakan jantung itu.

Selesai mengalungkannya, Kazuya kembali duduk di samping Akino.

Maaf, itu hanya kalung murah karena aku tidak mampu untuk membeli yang mahal.
ujarnya sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Akino menggelengkan
kepalanya kuat-kuat. Tidak. Aku sangat suka hadiah ini. Aku tidak peduli dengan hadiahnya.
Aku akan sangat senang jika yang memberikan hadiah kepadaku itu memiliki keinginan yang
tulus. Jelas Akino dengan wajah yang malu-malu. Manis sekali. Ia sangat senang
mendapatkan hadiah itu. Apalagi yang memberikannya adalah Yamamoto Kazuya, batinnya.

Oh ya! seru Kazuya tiba-tiba sehingga mengagetkan Akino. Sudah jam berapa sekarang?
tanyanya sembari mengecek jam tangan yang terlilit di pergelangan tangan kirinya.
Sekarang sudah hampir jam 10 malam! Kita sudah harus pulang!

Mendengar hal itu, Akino merasa sedih karena kegembiraannya hari ini harus berakhir.
Tidak bisakah kita di sini lebih lama? tanya Akino sambil menarik lengan jaket Kazuya
yang sudah berdiri. Ia sedih karena harus segera pulang, sementara ia tidak bisa bertemu
dengan ayahnya yang sibuk karena pekerjaannya walaupun ini hari terpenting dalam
hidupnya. Melihat kejanggalan pada diri Akino, Kazuya kemudian duduk lagi untuk
menyejajarkan pandangannya dengan Akino. Ada apa denganmu? Ini sudah cukup malam.
Kenapa kau masih belum ingin pulang? Apalagi sekarang sudah tambah dingin. tanya
Kazuya dengan lembut.

Aku hanya belum ingin pulang. Lagipula jika aku pulang, aku hanya menghabiskan waktuku
sendirian. Ayahku juga pulang larut malam. jelasnya. Melihat wajah Akino yang sesedih ini
untuk pertama kalinya, Kazuya menjadi bingung bagaimana caranya untuk menghibur Akino.
Ia berusaha memikirkan jalan keluar agar bisa menghibur Akino hingga pada akhirnya ia
mengucapkan sederetan kata tanpa pikir panjang.

Kau bisa meneleponku kapanpun kau mau! ujar Kazuya dengan spontan yang membuat
Akino mengangkat wajahnya dengan wajah seperti anak kecil yang baru saja berhenti dari
tangisnya. E-eh... maksudku... jika memang kau merasa kesepian...

Apa yang kau katakan itu serius? Aku boleh meneleponmu kapanpun aku mau? tanya
Akino dengan penuh harap tanpa menunggu Kazuya untuk selesai bicara. Sejenak Kazuya
seperti orang bodoh yang tidak tahu harus menjawab apa. Dia sendiri tidak menyangka dia
bisa menyarankan hal seperti itu. E-eh... tentu saja! Kita sahabat kan. Tentu saja boleh. Aaku tidak akan keberatan. Jadi.... jika kau merasa kesepian, tinggal telepon saja aku. Aku
pasti akan menemanimu. Ba-bagaimana? apakah kata-katanya tadi terdengar sangat aneh?
Dia terus bertanya-tanya dalam hati dan berharap agar kalimatnya itu terdengar wajar. Kali
ini ia melihat wajah Akino kembali tersenyum dengan senang.

Benar begitu?! Kau benar-benar baik sekali, Yamamoto-kun!!! jerit Akino sembari
memeluk tubuh yang ada dihadapannya. Betapa terkejutnya Kazuya ketika Akino memeluk
tubuhnya tanpa ragu. Ia merasakan debaran jantungnya terdengar keras dimana saat itu ia bisa
mendengar Akino berbicara di telinganya. Sejenak ia hendak menepuk-nepuk punggung
Akino. Tapi kemudian ia mengurungkan niatnya karena tidak berani.

***

Sabtu, 4 Oktober 2011, Hari cerah.

Hari ini adalah hari terpenting dalam hidupku dan hanya akan terjadi sekali dalam
setahun. Tapi sayang sekali, ayah begitu sibuk sehingga tidak bisa menemaniku di hari ulang
tahunku. Aku sangat merindukan saat dimana aku selalu merayakan hari ulang tahunku
bersama ayah dan ibu. Apakah ayah sehat-sehat saja selama ini? Ia selalu sibuk untuk
bekerja. Aku takut ia tidak memerhatikan kesehatannya. Semoga ayah selalu sehat...
Tapi hari ini benar-benar hari yang sangat menyenangkan bagiku! Aku merayakan hari
ulang tahunku bersama Yamamoto-kun. Dia mengajakku ke Fukushima untuk melihat festival
lentera! Dia juga memberiku kalung berbentuk semanggi daun empat. Katanya daun ini bisa
menghasilkan keajaiban! Aku tidak sabar untuk mendengarkan cerita dari Yamamoto tentang
daun ini.

Dan kau tahu? Yamamoto mengijinkanku untuk menghubunginya kapanpun aku mau! Jadi
dengan begitu aku tidak akan merasa kesepian lagi jika aku berada di rumah! Dia orang
yang sangat baik ya? Sepertinya, aku tambah menyukainya... Akan aku balas kebaikannya
suatu hari. Mungkin juga pada saat ulang tahunnya!

Akino kemudian menutup buku hariannya dan menguncinya kembali. Setelah menaruh buku
itu kembali pada tempatnya, ia kemudian berjalan menuju kasurnya dan menghempaskan
tubuhnya keatas kasur dengan selimut berwarna putih miliknya. Ia mendesah pelan
merasakan nikmatnya membaringkan tubuhnya keatas kasurnya yang empuk itu. Sejenak ia
membayangkan apa yang sedang dilakukan Kazuya sekarang. Lalu dia kemudian meraih
ponselnya yang berada tidak jauh dari tempatnya berbaring dan membukanya. Dilihatnya
wajah Kazuya dan wajahnya sendiri terpampang di layar ponselnya yang berwarna merah
muda metalic. Dia tidak bisa menahan senyumnya ketika dia membayangkan wajah Kazuya
yang meringis ketika Akino mencubit wajah Kazuya untuk berpose di depan kamera. Ia
kemudian kembali menghembuskan napas pelan dan terlelap dalam tidurnya dengan dengan
wajah Kazuya yang masih membayangi pikirannya.

***

Kazuya duduk terpaku di depan meja belajarnya yang hanya diterangi oleh satu lampu
belajar. Dia masih tidak bisa percaya dia bisa mengatakan hal aneh kepada Akino tadi. Aku
bilang dia bisa meneleponku setiap saat? Wah... sungguh benar-benar sebuah keajaiban aku
bisa mengatakannya dengan begitu santai! Batinnya.

Tapi kemudian seulas senyum tersungging dibibirnya, ketika ia membayangkan wajah Akino
yang tersenyum padanya tadi. ia terlihat sangat senang. Kazuya merasa senang karena dia
bisa membuat Akino merasa senang, walau dia tidak pernah tahu perasaan yang sebenarnya
disembunyikan Akino. Apa yang membuatnya sempat berpikir untuk tidak pulang tadi?

Dia menggelengkan kepalanya dan kemudian mematikan lampu belajarnya dan siap untuk
tidur.

***

Four-Leaf Clover ~ Bab 5


by Shiro Neko'shop on Thursday, 3 May 2012 at 13:23
Four-leaf clover bab 5

Benang-benang wol, buku panduan merajut, gunting, dan alat merajut lainnya terlihat
berserakan di lantai kamar Akino yang dilapisi karpet merah jamrud. Akino kemudian

memasuki kamarnya yang berantakan itu sambil menggenggam segelas cokelat panas di
tangan kanannya. Ia mengenakan piyama pink polos dengan rambut tergerai berantakan.
Melihat barang-barangnya yang berantakan itu, dia hanya menghela napas panjang dan
kemudian duduk di atas kasurnya.

Sesekali ia meneguk cokelatnya sembari memandangi satu per satu barang-barang yang
tergeletak tidak bernyawa di depannya.

Kenapa merajut itu susah sekali, sih? gumamnya sembari kembali meneguk minumannya
dengan pelan. Ia memandangi langit-langit kamarnya seraya berpikir cara untuk
memudahkannya dalam merajut.

Nihil. Dia tidak menemukan cara apapun. Tapi beberapa detik kemudian ia segera
mengalihkan pandangannya ke jam di atas mejanya. Baru jam tujuh malam. Mungkin dia bisa
mencoba untuk mencari tahu cara merajut yang mudah di luar rumahnya. Begitu pikirnya.
Segera ia mengganti baju tidurnya dengan pakaian santai dan meraih baju hangatnya untuk
siap keluar.

Dengan perlahan Akino membuka pintu kamarnya agar tidak ketahuan oleh para pelayannya.
Dan kemudian mengendap-endap keluar setelah yakin bahwa tidak ada seorangpun dari
rumah itu yang melihatnya. Bagus. Rencana berhasil. pikirnya ketika dia sudah berada di
luar rumahnya yang kemudian disambut dengan dinginnya udara dan salju yang bertumpukan
hingga membuat tubuhnya menggigil. Tidak ingin mengulur waktu lebih lama, Akino pun
segera berlari keluar rumah dengan sepatu kets cokelat mudanya.

***

Akino berjalan dengan lesu dalam perjalanan pulang ketika usahanya tidak menghasilkan
apa-apa. Ia sudah berkeliling dari satu toko ke toko lain tapi tidak bisa menemukan apa-apa.

Bagaimana ini? Aku tidak bisa merajut gumamnya kesal sambil menapaki jalan yang
diselimuti salju putih yang dingin. Dia terus mengeluh hingga ia berhenti ketika seseorang
memanggilnya.

Fujioka-chan?

Lho, Asakura-senpai? Kenapa bisa ada di sini? tanya Akino dari balik baju hangatnya yang
hampir menutupi mulutnya.

Justru aku yang harus bertanya seperti itu. Sedang apa kau malam-malam di tepi jalan
begini? Kabur dari rumah? canda Rin sambil memindahkan kantong yang ia tenteng ke
tangan kirinya. Akino tertawa ringan. Tentu saja tidak. Aku sedang mencari informasi.

Informasi?

Em aku sedang mencari tahu cara merajut.

Tapi kenapa mencarinya di tepi jalan?! Rin tertawa renyah. Renyah sekali sehingga
membuat Akino mendengus kesal. Akino mengalihkan pandangannya hingga pusat
perhatiannya tertuju pada kantong yang ditenteng Rin.

Apa itu? tanya Akino sembari berusaha melihat isi kantong itu. Rin terlihat enggan
memberi tahu dan berusaha menyembunyikan kantong plastik yang ia pegang.

Embukan apa-apa jawab Rin kemudian.

Hm? Ayolah, memangnya itu sebuah hal yang sangat rahasia?

Ini

Akino menanti jawaban Rin, tapi Rin tampaknya enggan memberi tahu. Maka dari itu dengan
segera Akino kemudian merebut kantong Rin. Hei! Kembalikan!! jerit Rin sembari
berusaha merebut kembali miliknya.

Tidak, sebelum aku tahu apa ini! ujar Akino seraya berlari menjauh dan menjulurkan lidah
ke arah Rin. Rin hanya tersenyum dengan terpaksa ketika Akino mendapati barang yang ada
di dalam kantong Rin adalah bahan-bahan serta peralatan untuk merajut. Peralatan merajut?
Kau mau belajar merajut?

Ehtidak.

Berarti kau bisa merajut?! Kenapa tidak memberitahuku? Ajari aku, senpai! Boleh kan?
pinta Akino. Ia tidak pernah menyangka kalau laki-laki seperti Asakura Rin bisa merajut.
Perempuan yang mendapatkan hatinya kelak pasti akan sangat beruntung.

Mengajarimu? Kenapa harus aku? tanya Rin tidak terima.

Karena kau bisa, makanya ajari adik kelasmu ini yang tidak pandai merajut!

Baiklah, baik. Kapan dan dimana? tanya Rin menyanggupi permintaan perempuan itu.

Kalau begitu, besok di sekolah. Aku akan membawa alat dan bahan milikku.

***

Hari masih pagi ketika Akino tengah berdiri memandangi bayangannya yang terpantul di
kaca. Yosh! Hari ini aku akan belajar merajut! Semoga berjalan lancar! Setelah jadi nanti,
akan kujadikan hadiah untuk Yamamoto-kun! gumamnya pada bayangan di depannya
dengan pasti. Ia kemudian meraih tas tenteng kecil yang berisi peralatan dan bahan
merajutnya dan siap untuk berangkat.

Beberapa detik kemudian dia baru saja akan meraih gagang pintu kamarnya, mendadak ia
berjalan terhuyung-huyung dan kemudian terjatuh di depan pintu seakan tersandung. Benangbenang wolnya menggelinding keluar dari tasnya yang terjatuh. Aduh apa-apan ini.

Kenapa tiba-tiba telingaku berdengung dan kepalaku sakit? keluh Akino sembari
membereskan barang-barangnya dan berdiri. Dan pada detik selanjutnya ia kembali berjalan
dengan mantap untuk berangkat ke sekolah.

***

Akino berjalan dengan penuh semangat ketika sesuatu yang sangat dingin tiba-tiba menempel
di wajahnya. Sontak ia menjerit karena terkejut dan melototkan matanya ke arah orang yang
berbuat jahil itu. Yamamoto-kun! Apa yang kau lakukan?! bentak Akino dengan kesal.

Eh? Kau marah? Aku kan hanya bercanda ujar Kazuya dengan wajah bodoh karena tidak
menyangka bahwa Akino akan memarahinya.

Aku bukan marah. Aku hanya kaget!

Ah maafkan aku balas Kazuya kemudian dengan rasa bersalah. Lalu apa yang kau
bawa itu? Bento? tanya Kazuya ketika melihat tas kecil yang dibawa Akino di tangan
kanannya. Segera Akino menyembunyikannya di belakang tubuhnya agar Kazuya tidak bisa
melihat isinya.

Bu-bukan apa-apa. jawab Akino dengan cepat.

Ayolah beritahu aku desak Kazuya. Akino bersikeras menolak dan kemudian meraih
salju di atas tanah dan melemparkannya tepat di wajah Kazuya.

Haha maaf! Aku harus pergi duluan! Sampai jumpa di sekolah!!! teriaknya sembari
berlari menjauh dari Kazuya yang tengah membersihkan salju yang menempel pada
wajahnya. Melihat punggung Akino yang berlari menjauh, ia hanya menghela napas hingga
menciptakan kepulan asap putih dari mulutnya.

Ada apa dengannya? Apa sebegitu keterlaluannya ya perbuatanku tadi? gumamnya pada
diri sendiri.

***

BRUK! Lagi-lagi Akino terjatuh dengan mulus, mendarat di atas tumpukan salju yang dingin.
Ah! Kenapa jatuh lagi?? keluhnya sambil bangkit berdiri dan menepuk-nepuk baju
hangatnya yang seakan telah dibungkus oleh kertas putih dimana-mana.

Untung saja Yamamoto-kun tidak melihat isi tasku tadi! Tapi kenapa daritadi aku seakan
kehilangan keseimbangan dan jatuh sih? Menyebalkan. dengusnya dan kemudian segera
masuk ke sekolahnya yang berdiri megah.

***

Senpai! Di sini! panggil Fujioka Akino ketika melihat Asakura Rin dari kejauhan. Segera
Rin mempercepat langkahnya untuk menghampiri Akino yang menunggu di bawah pohon
sakura yang tidak berdaun maupun berbunga.

Kenapa memilih tempat seperti ini? Di sini dingin! desah Rin dengan berlebihan.

Di sini akan lebih aman. ujarnya santai sambil duduk di bangku panjang.

Aman? Aman dari apa? Apa jangan-jangan syal ini untuk Yamamoto? terka RIn hingga
mendadak membuat wajah Akino menjadi merah dan panas.

Ba-bagaimana kau bisa tahu!?

Rin dengan sombong menepuk-nepuk dadanya beberapa kali. Siapa dulu. Tentu saja aku
tahu. Kau kan memang menyukainya, jadi sengaja membuat syal untuknya. Wah beruntung
sekali dia Asakura Rin merasa iri. Tentu saja dia iri karena perempuan yang dia sukai
begitu perhatian pada laki-laki lain.

Si-siapa bilang aku menyukainya? Ini hanya kado ulang tahun untuknya kok

Baik. Baik. Kalau begitu ayo kita mulai. Tapi apa kau yakin Yamamoto tidak akan datang ke
sini? Akino tidak menjawah, melainkan melihat Rin dengan penuh tanda tanya seakan tidak
mengerti bahasa Rin. Ia pandangi mata dan bibir Rin secara bergantian. Matanya
memancarkan sinar yang cemas dan takut. Beberapa detik kemudian semua berubah menjadi
normal kembali.

Fujioka-chan? Kau kenapa? tanya Rin sembari menepuk pelan pundak Akino yang
ramping.

E-eh? Kau bilang apa tadi? Aku tidak mendengarnya dengan jelas. kata Akino kemudian
dan mengalihkan pandangannya sejenak. Terdengar Rin menghela napas dan mengulangi lagi
pertanyaannya. Ah! Tidak apa-apa. Yamamoto-kun ada urusan, jadi tidak mungkin datang
kemari. Nah ini dia peralatan merajutku. Lalu, ini benang-benang wolnya. Apa ini semua
cukup?

Tentu. Ini sudah lebih dari cukup. Bahkan ini bisa di buat dua syal.

***

Hei Kazuya, kapan kau akan menyatakan perasaanmu ke Akino-chan? tanya Yamada yang
sedang melahap hamburger yang ada di tangannya. Sontak Kazuya merona merah.

Apa yang sedang kau bicarakan?! Jangan sembarangan bicara!

Jangan berbohong lagi, Kazuya. Sudah banyak yang tahu dengan perasaanmu dengan Akino.
Kenapa kau tidak terus terang saja dengannya? Aku rasa Akino-chan tidak akan menolak.
lanjut Yamada. Mendengar itu Kazuya hanya menggelengkan kepalanya pelan sembari
mendesah.

Aku tidak mau banyak berharap. Sudah cukup beruntung aku bisa bersahabat dengannya.
Kau tahu? Aku dan dia adalah orang dari dunia yang berbeda. Fujioka adalah anak dari
keluarga yang terpandang. Sementara aku? Aku tidak layak untuknya.

Yamada kemudian menopang kepalanya dengan satu tangan di atas meja dan menatap
Kazuya dengan tajam. Kau kira ini sudah jaman apa? Masih saja berpacaran dengan
memandang status? Jangan gila. Setidaknya kau orang yang baik dan pintar. Akino-chan juga
kelihatannya sangat senang bersama denganmu.

Ya itu karena di kelas dia sama sekali tidak memiliki teman selain aku. Bagaimana kalau dia
membenciku kalau aku menyatakan perasaanku? Dia pasti akan menjadi seorang diri bukan?
Kasihan dia!

Jadi kau menyukainya hanya karena rasa iba? terka Yamada. Kazuya terdiam dan bertanyatanya pada dirinya sendiri. Apa benar yang dikatakan Yamada?

Tidak. Kurasa tidak. Aku... aku memang menyukainya. Menyukainya tanpa alasan. Tapi,
aku...

Lalu bagaimana dengan Asakura Rin? Kau akan membiarkannya merebut Akino-chan dari
sisimu? kalimat yang diucapkan Yamada kali ini membuat Kazuya membungkam mulutnya.
Belum pernah terpikirkan sebelumnya kalau ada masalah seperti ini. Kalau memang benar,
lalu apa yang bisa ia lakukan.

Asakura Rin? Memangnya.... apa yang akan dia lakukan? Sepertinya mereka juga baru saja
kenal. Mana mungkin akan terjadi apa-apa di antara mereka? gumamnya pada dirinya
sendiri.

Musim panas yang lalu, aku tidak sengaja melihat mereka berdua. Dan Asakura sedang
menyatakan perasaannya! Kau bahkan tidak tahu tentang itu? Sejak kejadian itu, mereka
terlihat semakin akrab! Apa kau tahu itu? balas Yamada dengan suara yang agak keras
sehingga sekali lagi membungkam mulut Kazuya yang hendak mengelak. Apa? Ada kejadian
seperti itu? Jadi ketika dia melihat mereka berdua sedang berjalan bersama.... apa mungkin?
Seketika Kazuya kemudian bangkit dari tempat duduknya dan kemudian menatap Yamada
yang masih duduk mengunyah makanannya.

Kalau memang hal itu terjadi, biarkan saja. Itu hak mereka bukan. Aku tidak bisa
mencegahnya. Aku harus pergi dulu. jawab Kazuya lirih. Apakah dia bisa melakukan apa
yang telah diucapkannya pada Yamada tadi? Bagaimana kalau dia tidak bisa melakukannya?
Dia bingung dan kacau. Sambil membawa rasa itu, ia kemudian berjalan menuju tempat
dimana Akino sering menghabiskan waktu.

Bukan main tercengangnya ketika ia melihat Rin dan Akino sedang duduk berdua sambil
merajut. Dilihatnya Rin mengajari Akino dengan sabar dengan jarak yang begitu dekat.
Betapa sesak napasnya ketika melihat hal itu. Apa yang sedang mereka lakukan? Jadi itu
yang Akino sembunyikan darinya tadi pagi? Lihat, betapa gembiranya wajah Akino ketika
diajari Rin cara merajut. Apakah memang benar apa yang telah dikatakan Yamada barusan?
Atau mungkin sudah lebih dari itu? Apa mereka berdua sedang pacaran? Kazuya tidak berani
untuk membayangkan hal seperti itu. Ia merasa hatinya disobek-sobek dan bukan main
sakitnya sehingga membuatnya berjalan menjauh dari tempat itu agar rasa sakit di hatinya
tidak semakin bertambah parah.

***

-23 Desember-

Akino menghela napas panjang tanda puas dengan hasil kerjanya selama beberapa hari.
Yosh! Sudah selesai!! Baguslah bisa selesai tepat waktu. gumamnya sambil memandangi
syal di depannya dengan tatapan bangga. Paduan biru muda. Biru tua dan hitam. Pasti cocok
dengan Kazuya, pikirnya. Lalu, warna hijau tua bercampur hijau muda di sampingnya akan ia
berikan kepada Asakura Rin sebagai tanda terima kasih.

Segera setelah ia selesai mengagumi karyanya, ia kemudian meraih ponselnya di atas meja
dan menekan sejumlah tombol dan menekan tombol call. Setelah menunggu beberapa detik
terdengar bunyi sambungan telepon. Akino menunggu hingga orang yang di teleponnya
mengangkat. Tapi nihil. Ia kemudian memutuskan sambungan dan memilih untuk mengirim
pesan singkat.

To : Asakura ; 23 Desember ; 21:39

Asakura-senpai, besok aku tunggu di tempat biasa. Ada yang ingin aku berikan padamu!
^^

Selesai mengirim pesan itu, ia kembali menekan keypad ponselnya untuk menelepon Kazuya.
3 detik, 5 detik, dan 7 detik kemudian terdengar orang mengankat panggilan itu. Moshimoshi? jawab Kazuya dengan enggan.

Yamamoto-kun, kau sedang sibuk? tanya Akino yang menyadari keengganan dalam
jawaban Kazuya. Kazuya memindahkan ponselnya ke telinga kiri dan duduk di atas kasurnya.

Tidak. Ada apa Fujioka-chan?

Emm begini, besok malam apa kau ada waktu? tanya Akino malu-malu sembari
menyandarkan punggungnya di tepi kasur.

Waktu? Untuk apa? Pikir Kazuya. Apakah Akino yang sekarang hendak mengajaknya keluar
di malam hari? Memangnya besok hari special? Oh benar besok adalah malam natal,
gerutunya dalam hati. Bagaimana dia bisa lupa! Memangnya ada apa, Fujioka-chan? Kau
ada perlu denganku besok malam? tanya Kazuya dengan nada rendah ketika ia teringat
peristiwa beberapa hari yang lalu ketika Akino sedang berduaan dengan Rin. Ia merasa kesal.
Tapi kenapa? Dia bahkan tidak punya hak.

Aku ingin mengajakmu keluar. Apa kau ada waktu?

Mengajak keluar?? Apa dia tidak salah dengar? Ada angina pa sehingga Akino tiba-tiba
mengajaknya keluar? Ehm baiklah. jawab Kazuya kemudian.

Benarkah?! Akino merasa gembira dan wajahnya berseri-seri. Untunglah, dia kira dia akan
ditolak tadi ketika mendengar Kazuya yang menjawab panggilannya dengan enggan. Kalau
begitu, besok jam delapan malam ya!
Baiklah.

Akino memutuskan sambungan teleponnya dan melompat kegirangan. Sejak kapan dia
merasa sebahagia ini ketika di dekat Kazuya? Apakah sudah lama? Dia tidak sabar menanti
hari esok. Beberapa saat kemudian ia berhenti melompat dan terlihat menopang tubuhnya di
meja belajarnya sembari memegangi kepalanya dan kemudian menjalar ke telinganya.

Kepalanya sakit dan telinganya berdengung. Ia kemudian berjalan pelan menuju kasur
dengan masih memegangi kepalanya. Aduh kenapa kepalaku sakit? Apa karena aku
kurang tidur? keluh Akino seraya duduk di atas kasur dan kemudian membaringkan
tubuhnya. Jangan sampai aku masuk angin. Aku harus segera tidur. gumamnya pada diri
sendiri seraya menarik selimut untuk menyelimuti tubuhnya dan segera tidur.

***

-24 Desember-

Asakura Rin berjalan dengan santai sambil membayangkan apa yang akan diberikan Akino
kepadanya. Dia memasuki gerbang sekolah dan kemudian berbelok ke kanan menuju tempat
janjiannya dengan Akino. Dan ternyata Akino sudah berdiri di sana menunggunya. Ia
melambai kecil ke arah Akino tanda sudah datang. Rin mempercepat langkahnya dan berhenti
tepat di depan Akino.

Selamat pagi sapa Rin dengan ramah sembari menebarkan senyum. Sudah lama
menunggu? lanjutnya.

Tidak. Aku juga baru sampai. Em aku ingin memberi sesuatu ujar Akino sembari
merogoh tasnya dan mengeluarkan syal yang selesai dirajutnya semalam. Ini untukmu.
Sebagai tanda terima kasih karena sudah mau mengajariku merajut. ujarnya lagi sembari
memasangkannya pada leher Rin.

Eh? Syal? Aku aku bisa memasangkannya sendiri kok kata Rin malu. Akino
menggeleng dan tetap melilitkan syal buatannya di leher Rin. Akino tersenyum puas ketika
melihat syal itu cocok untuk Rin.

Warnanya cocok! Terima kasih banyak ya, senpai! Dan selamat natal! ujar Akino sambil
tersenyum gembira.

***

Jadi, dia mengajakmu keluar? tanya Yamada kepada Kazuya ketika mereka tengah berjalan
menuju sekolah. Kazuya mengangguk senang. Ini mungkin kesempatan bagimu untuk
menyatakan perasaanmu! lanjutnya.

Eh?! Dasar! Mana mungkin!

Kalau tidak kau akan berakhir seperti itu. Yamada menunjuki suatu tempat sehingga
membuat Kazuya mengikuti arah tunjukan Yamada itu. Ia mendadak diam, dan memandangi
pemandangan menyakitkan di depannya dengan tatapan nanar. Apa betul Akino dan Rin
sedang berhubungan? Lihat, mereka begitu akrab. Akino bahkan memberikannya syal.
Hatinya terasa seperti disayat. Ia mengalihkan pandangannya dan berjalan pergi tanpa
menghiraukan panggilan Yamada.

***

Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Akino sudah lengkap dengan baju hangatnya
yang berwarna hitam, syal merah kotak-kotak, topi hangat serta sarung tangan. Ia sudah
menunggu di depan rumah Kazuya 15 menit yang lalu tanpa memberi tahu Kazuya. Beberapa
menit kemudian Kazuya keluar dengan baju hangat cokelat mudanya, dan syal berwarna
hitam.
Fujioka-chan?! Sudah berapa lama kau menunggu di sini?! tanya Kazuya kaget ketika
melihat Akino bersandar di tembok depan rumahnya dengan tampang lelah dan wajah yang
memerah karena kedinginan.

Yamamoto-kun! Sudah siap? Aku baru menunggu 15 menit kok. jawab Akino polos.
Wajahnya langsung berseri kembali ketika melihat Kazuya sudah keluar dari sarangnya.

15 menit?! Kenapa tidak meneleponku saja sih?

Aku tidak apa-apa. Ayo berangkat!

***

Lampu warna-warna berkelap-kelip di hampir setiap sudut kota Harajuku. Banyak orang
berlalu-lalang menembus dinginnya udara malam itu. Kostum mereka pun beraneka ragam
macam maupun warna. Apalagi dengan warna rambutnya. Tidak heran lagi, inilah dunia
cosplay.

Hampir semua toko memutarkan lagu bernuansa natal yang menenangkan hati. Mulai dari
toko aksesoris, caf, restoran kecil, toko pakaian, dan lain-lain memutarkan lagu-lagu natal.
Berbagai dekorasi natal yang menarik juga terpasang di setiap toko untuk memeriahkan natal
malam itu.

Keren!! Seluruh tempat dipasangi lampu! Indah sekali seperti di dunia dongeng! Benar kan,
Yamamoto-kun?! seru Akino di tengah keramaian. Kazuya mengangguk takjub. Ini pertama
kalinya dia datang ke Harajuku. Awalnya dia agak terkejut karena banyak orang yang
memakai pakaian aneh dan gaya rambut yang mencolok. Jadi seperti ini, Harajuku... pikirnya.

Sudah! Jangan melamun! Ayo jalan! kata Akino seraya menyambar tangan Kazuya dan
menyeretnya pergi dengan antusias.

Ke-kemana?

Ikut saja!
Akino menyeret Kazuya yang masih sibuk memerhatikan tiap sudut kota Harajuku itu.
Seringkali ia terkejut karena beberapa dari mereka yang mengenakan kostum menyeramkan,
tiba-tiba mengagetinya dengan usil. Kazuya hanya mendelik kesal ketika diusili oleh orangorang itu. Sementara orang-orang itu malah menertawainya.

Salah satu dari para cosplayer yang berada di depan Akino dan Kazuya tiba-tiba
menghentikan langkah mereka dan menyodorkan dua buah topi berwarna merah dan putih
kepada Akino. Topi natal. Akino mengangguk penuh terima kasih kepada orang itu dan
langsung memasangkan topi itu di kepala Kazuya.

Awalnya Kazuya menolak, tapi Akino bersikeras untuk mengenakan topi itu di kepala
Kazuya. Akhirnya dengan wajah cemberut Kazuya pun mengenakannya. Akino tertawa
renyah sehingga membuat wajah Kazuya bersemu merah karena malu.
Akino kembali meraih tangan Kazuya yang besar dan menggenggam dengan erat. Ditariknya
lagi dan kemudian mereka masuk ke caf kecil dengan lampu serba kuning di dalamnya.
Mereka berdua kemudian berjalan ke sebuah tempat duduk yang terletak di sisi caf. Akino
menyuruh Kazuya duduk, dan ia sendiri berjalan ke seberangnya dan kemudian duduk
berhadapan dengan Kazuya.

U-untuk apa ke sini?? bisik Kazuya.

Tentu saja untuk makan. Aku lapar gerutu Akino. Tentu saja mereka ke caf untuk
makan, bukan untuk konser, pikir Akino. Beberapa saat kemudian seorang pelayan wanita
yang berpakaian ala natal yang berwarna merah dengan paduan warna putih di beberapa
bagian, menghampiri mereka sembari menyodorkan dua buku menu ke hadapan mereka.

Akino memandangi setiap nama kue yang tertera di menu dengan saksama, berdecak sekali
dan kemudian menutup buku menu. Aku pesan cream puff dan segelas cappuccino, ya.
pesan Akino kepada pelayan cantik di sampingnya. Dengan cekatan pelayan itu mencatat
pesanan Akino dan mengulanginya sekali lagi untuk memastikan. Kau mau pesan apa,
Yamamoto-kun? tanya Akino seraya tersenyum manis.

Ehm aku tidak perlu. Kau saja yang makan. ujar Kazuya tidak enak hati. Bukan karena
tidak suka, tapi harganya yang terlalu mahal untuknya.

Oh, ayolah desah Akino. Aku menraktirmu malam ini. Pesan saja sesukamu. kata
Akino lagi.

Sudahlah aku tidak lapar

Kalau kau tidak memesan, aku tidak mau lagi berteman denganmu! ancam Akino.

Eh?! Kenapa begitu?! Ba-baiklah. Kalapu begitu aku pesan montblanc saja. ujar Kazuya
pasrah. Akino tersenyum lebar dan melanjutkan, untuk minumannya, cappuccino juga ya.

Eh tidak Kazuya tidak berani melanjutkan penolakannya ketika Akino melototinya


dengan tajam.

Pelayan itu pergi untuk mengambilkan pesanan, dan beberapa menit kemudian ia sudah
kembali dengan nampan yang berisikan pesanan Akino dan Kazuya. Pelayan itu menyajikan
kue pesanan mereka dengan cekatan. Setelah itu, ia membungkuk pelan dan berlalu.

Selamat makan! seru Akino sembari menepuk tangannya sekali dan kemudian meraih
garpu untuk memulai santapannya. Dilahapnya pelan-pelan cream puff miliknya sambil tidak
henti-hentinya memuji kelezatan makanannya. Kazuya juga memakan montblanc di
depannya. Enak, pikirnya ketika baru saja melahap suapan pertama.
Dipandanginya Akino yang terlihat begitu gembira melahap cream puff miliknya. Kenapa dia
begitu begitu manis? Gumamnya dalam hati.

Kenapa tidak makan? Tidak enak? tanya Akino yang seakan menangkap basah Kazuya
yang tengah asyik memandanginya.

Ah, tidak. Enak. Enak sekali.

Hm baguslah kalau begitu. ujar Akino yang kembali menebar senyum manis yang bisa
membuat hati Kazuya meleleh karena terpesona.

Mereka berdua duduk cukup lama di dalam caf itu, hingga akhirnya mereka memutuskan
untuk kembali berjalan-jalan. Walaupun waktu sudah menunjukkan hampir pukul sebelas
malam, Harajuku itu ternyata masih saja ramai. Malah bertambah ramai. Banyak pasangan
kekasih yang berjalan beriringan ke sana kemari sehingga memenuhi jalan.

Tidak jarang Akino dan Kazuya melihat pasangan-pasangan yang sedang berpelukan mesra
atau bahkan berciuman, walau mereka sadar banyak orang yang memerhatikan. Sontak
Kazuya dan Akino mengalihkan pandangan dari mereka yang sedang bermesraan itu karena
malu.

Wajahku panas sekali pikir Akino ketika baru saja melihat pasangan kekasih yang sedang
bercumbu dengan mesra. Sementara Kazuya malah menggaruk-garuk kepalanya tidak jelas.

Malam semakin larut ketika mereka sampai di bawah pohon natal yang menjulang tinggi di
depan mereka. Akan tetapi, ternyata lampu-lampu pada pohon itu belum dinyalakan. Akino
memandangi jam tangan yang melilit di pergelangan tangan kirinya.

3 menit lagi! serunya.

3 menit lagi? ulang Kazuya tidak mengerti.

3menit lagi pohonnya akan bersinar. seru Akino dengan penuh semangat. Oh ya, hampir
saja aku lupa. Akino mengeluarkan sebuah kotak berbungkus kertas kado berwarna merah
dan dihiasi pita hijau dan menyerahkannya kepada Kazuya. Kazuya menerimanya dengan
penuh tanda tanya, sementara Akino memberi isyarat baginya untuk membuka kado itu.

Kado natal? tanya Kazuya.

Buka saja dulu

Kazuya membuka kado itu dengan perlahan-lahan dan betapa terkejutnya ketika mendapati
itu adalah sehelai syal biru kotak-kotak. Wah bagaimana kau bisa tahu aku sedang
menginginkan sehelai syal baru, Fujioka-chan?? tanya Kazuya tidak percaya. Akino
mengambil syal itu dari tangan Kazuya dan menyuruhnya menanggalkan syal yang terlilit di
lehernya. Dan setelah itu Akino memasangkannya di leher Kazuya.

Selamat ulang tahun, Yamamoto-kun! ujar Akino dengan senyum tulus. dan selamat hari
natal. Lanjutnya.

Tapi aku tidak menyiapkan kado natal desah Kazuya. Awalnya aku rasa tidak perlu,
karena aku pikir kau tidak perlu mendapat apa-apa sejak kau sudah bersama dengan Rin
gerutunya dalam hati. Akino menggeleng pelan. Dipandangi mata Kazuya yang terlihat
menyesal.

Yang penting kau selalu ada di sisiku. Itu sudah menjadi kado natal terbaik yang pernah
kudapat. Terima kasih, Yamamoto-kun

Kazuya terdiam, tapi kemudian melempar senyum kepada Akino. Tentu saja. ujar Kazuya
sembari mengacungkan jari kelingkingnya. Kau juga ya? lanjut Kazuya. Akino
mengangguk dan mengaitkan jari kelingkingnya di jari Kazuya. Aku janji.

Seiring dengan perjanjian yang mereka buat pohon natal di dekat mereka tiba-tiba bersinar.
Ratusan lampu bercahaya berkelap-kelip pada pohon natal yang menjulang tinggi itu. Semua
orang berkumpul mengitari pohon itu berseru memuji keindahan pohon itu. Termasuk
diantaranya Kazuya dan Akino yang juga menikmati turunnya salju di malam natal.

***

Four-Leaf Clover ~ Bab 6


by Shiro Neko'shop on Saturday, 5 May 2012 at 14:33
Bab 6

Tokyo diselimuti pemandangan serba pink di mana-mana. Angin berhembus dengan hangat
dan berates-ratus, ribuan, bahkan jutaan kelopak bunga sakura melayang-layang di udara. Ya,
musim semi telah datang kembali. Tidak terasa waktu telah lewat begitu saja, di mana Akino
dan Kazuya kini duduk di kelas 3 SMA. Memang, hal seperti itu adalah hal yang biasa, tapi
bagi segelintir orang, ini adalah tahun terakhir mereka bisa melewati masa sekolah bersama
dengan teman-teman mereka.

Walaupun begitu, bagi Akino itu bukan hal yang harus dikhawatirkan. Karena sejak awal dia
tidak pernah punya banyak teman di sekolah. Baginya teman terpenting yang ia miliki
sekarang adalah Kazuya. Ya, walaupun ada rasa takut di hati kecilnya bahwa suatu hari
Kazuya akan pergi meninggalkannya. Tapi ia tetap percaya bahwa Kazuya pasti akan setia
menjadi sahabat terbaiknya.

Musim semi. Musim yang paling tepat untuk dihabiskan dengan duduk di bawah pohon
sakura sambil menikmati jatuhnya kelopak-kelopak sakura yang indah. Seperti Akino
misalnya, lagi-lagi membaca novel barunya di teras favoritnya di samping gedung sekolah.
Tempat itu memang cukup menyenangkan. Tenang, bersih dan indah.

Fujioka-chan panggil Kazuya yang membuyarkan khayalan Akino. Akino membuka


matanya yang sengaja ia pejamkan untuk berkhayal tentang adegan dalam novel yang tengah
ia baca. Dipandanginya Kazuya yang menyodorkan segelas minuman untuknya.

Terima kasih. ucapnya sembari menerima gelas yang terbuat dari stereofoam itu. Sementara
Kazuya mengambil tempat duduk di samping Akino. Hening. Mereka dan meneguk minuman
masing-masing tanpa suara.

Tidak terasa ya Kita akan segera lulus tahun ini. kata Kazuya yang akhirnya membuka
suara. Akino memandangi Kazuya tanpa bicara apa-apa. Ia hanya tersenyum tipis dan
menengadahkan kepalanya untuk menikmati sapuan kelopak bunga sakura di wajahnya yang
putih bersih.

Akino kembali memejamkan matanya untuk menikmati hembusan angin yang membelai
pelan wajahnya. Iya jawabnya singkat. Lagi-lagi hening.

Tiba-tiba, Kazuya teringat sesuatu dan segera bangkit berdiri. Tunggu aku sebentar. Aku
ingin mengambil sesuatu untukmu. ujar Kazuya sembari berlari ke arah gedung sekolah dan
meninggalkan Akino yang penuh tanda tanya.
Masa bodoh, pikirnya. Dibukanya lagi novel yang berada di pangkuannya dan kembali
membaca dengan saksama. Beberapa menit kemudian, Kazuya telah datang kembali dengan
napas terengah-engah sambil memegang sebuah buku.

Buku apa itu? Novel? Kau mulai tertarik dengan novel, Yamamoto-kun?

Tentu saja bukan jawab Kazuya yang masih berusaha mengatur napasnya.

Lalu apa?

Kazuya tersenyum dan menunjuki kalung yang diberikannya di hari ulang tahun Akino.
Sontak wajah Akino terlihat berseri-seri dan penuh minat.

Akhirnya kau akan bercerita tentang misteri daun ini juga! Aku sudah lama menantinya!

Tentu saja. Aku orang yang selalu menepati janji. ujar Kazuya sembari membuka buku
tebal bersampul hitam itu dan mencari-cari halaman yang membahas tentang four-leaf clover
itu. Nah, ini dia. tunjuk Kazuya seraya menggeser tubuhnya mendekati Akino untuk
menunjukkan isi buku itu.

Four-leaf Clover atau daun semanggi empat, adalah daun yang jarang sekali ditemukan. Dari
sekian ribu daun semanggi yang berhelai tiga, kemungkinan didapatkannya daun semanggi
empat adalah satu berbanding seratus ribu. Dari mitos yang beredar, orang yang secara tidak
sengaja menemukan daun semanggi empat ini akan mengalami hal yang baik.
Keempat helai daun ini melambangkan 4 hal. Daun pertama adalah iman, daun kedua
harapan, daun ketiga cinta, dan daun keempat melambangkan keberuntungan. Kazuya
membacakan isi buku yang ia pegang sembari menunjuki huruf-huruf yang tertera. Akino
terlihat begitu antusias mendengarkan setiap kalimat yang diucapkan Kazuya. Diambilnya
buku itu dan ditaruhnya di pangkuan sembari memandangi gambar four-leaf clover yang
tercetak di halaman buku itu. Ia tersenyum memandangi gambar itu.

Tertarik? tanya Kazuya.

Tentu saja. Daun yang indah. Apakah aku bisa menemukannya ya gumam Akino.

Pasti bisa! jawab Kazuya meyakinkan. Siapa tahu kau ditakdirkan untuk menemukannya.
candanya.

Yang benar saja Akino tertawa kecil.

Yah siapa tahu kau Kazuya terus mengoceh tanpa henti, sementara Akino diam
memandangi Kazuya dengan bingung. Apa yang sedang Yamamoto bicarakan? Aku tidak
mengerti!

Akino diam dan terus diam memandangi bibir Kazuya yang berkomat-kamit tanpa henti.
Wajah Kazuya terlihat sangat bersemangat ketika bercerita, akan tetapi alis Akino berkerut
dan terlihat cemas. Ada apa ini? Apa yang sedang kau ucapkan? Kenapa kau tidak bersuara?
Jeritnya dalam hati.

Akino mengalihkan pandangannya sembari menyentuh kedua telinganya. Terdengar suara


dengungan di dalam kepalanya dan dalam seketika dunia seakan membisu terhadapnya. Dia
kemudian bangkit berdiri perlahan-lahan dengan terhuyung-huyung. Kakinya terasa lemas.
Tapi dia tetap memaksakan diri untuk bangkit dan mencoba untuk berjalan menjauh.

Kazuya heran dengan Akino yang tidak merespon satupun kata-katanya. Ditariknya lengan
kanan Akino dan membuat Akino yang hendak beranjak pergi itu menghentikan langkahnya.

Fujioka-chan? Kau kenapa? tanya Kazuya cemas ketika Akino memandangi Kazuya
dengan tatapan takut. Akino tidak menjawab melainkan memandangi kazuya dengan penuh
tanda tanya.

KaKazuya? gumam Akino kemudian. Dia semakin cemas ketika dia bahkan tidak bisa
mendengar suaranya. Akino menggenggam erat lengan baju seragam yang dikenakan
Kazuya. Kazuya semakin bingung. Apa yang terjadi pada Akino?

Akino mundur selangkah demi selangkah. Semakin lama semakin cepat hingga kini ia berlari
menghindar dari Kazuya. Gagal. Seakan tersandung, ia pun terjatuh. Kazuya segera
menghampirinya dan mengguncang-guncang sedikit tubuh Akino yang gemetar.

Kau kenapa, Fujioka? tanya Kazuya lagi dengan lebih keras. Kau sakit? lanjutnya.

E-eh? Aku gumam Akino pelan. Dengungan di kepalanya perlahan menghilang, dan ia
menghela napas lega. Kini kata-kata Kazuya terdengar jelas di telinganya. Ee ah aku
aku tidak apa-apa jawab Akino kemudian.

Kau yakin?

Akino mengangguk pelan tapi pasti.

***

Malam telah datang menyambut penduduk Tokyo yang masih berlalu-lalang di jalanan.
Beberapa diantara mereka terlihat berjalan dengan terhuyung-huyung dan berbicara dengan
kerasnya di tepi jalanan yang ramai. Wajah mereka merona dengan sangat merah dan mata
mereka pun hampir terpejam. Mereka mabuk. Ya, bagaimana mungkin tidak mabuk jika telah
meneguk berbotol-botol arak.

Sementara orang-orang sibuk di jalanan dengan kegiatan mereka sendiri, Fujika Akino hanya
duduk terpaku di balik meja belajarnya. Pandangan matanya kosong dengan kedua kaki yang
ia peluk di depannya. Ditopangnya dagu mungilnya di antara kedua lututnya tanpa
melakukan apa-apa. Melamun. Itu istilah yang tepat untuknya saat ini.

Detik dan menit berlalu, Fujioka Akino masih diam tanpa gerak maupun suara di atas
kursinya. Beberapa menit kemudian ia mengambil sebuah buku tebal berwarna hitam dari tas
sekolahnya dan meletakkannya di atas meja belajarnya. Sejenak ia hanya memandangi buku
itu tanpa melakukan apa-apa. Hanya terlihat sunggingan senyum tipis di bibirnya ketika
memandangi buku itu. Barulah setelah puas ia memandangi sampul buku yang berwarna
hitam lusuh itu, Akino membuka lembar demi lembar halaman dari buku itu dan berhenti
pada artikel tentang four-leaf clover.

Ya, itu adalah buku yang tadi pagi dibawa Kazuya. Karena masih penasaran dengan daun
ajaib itu, ia kemudian meminjamnya dari Kazuya. Lama ia pandangi gambar daun langka di
atas kertas lusuh itu sembari mengusap-usap kalung dilehernya dengan jari jempol dan
telunjuknya. Sampai akhirnya, ia menutup buku itu dan beranjak dari tempat duduknya. Ia
berjalan mendekati pintu kamarnya yang dicat berwarna cokelat dan memutar gagang pintu.

Suara pintu kamarnya yang terbuka itu menggema di setiap sudut rumahnya yang besar.
Lampu rumah menyinari setiap ruangan. Akino berjalan mengelilingi rumahnya itu. Dulu ia
sering berlarian kesana kemari bersama dengan ayah dan ibunya. Tapi, kenangan tinggallah
kenangan.

Sesampainya di puncak tangga, Akino berbelok ke kanan dan membuka pintu sebuah
ruangan. Ruang kerja ayahnya. Akino melangkah masuk dan memandangi setiap sudut
ruangan. Rak-rak buku penuh terisi dengan buku-buku tebal maupun dokumen-dokumen
penting ayahnya. Ia kemudian melangkah menuju meja kerja ayahnya yang penuh dengan
kertas-kertas, dan peralatan kantor lainnya. Dirabanya tepi meja itu sambil mengenang
kenangan manis di keluarga mereka.

Ibu!!! panggil Akino dengan ceria. Kaki kecilnya melangkah dengan lincah dan membuat
rambutnya yang dikuncir dua, meliuk ke sana kemari. Terlihat ibunya menyambut Akino
yang baru saja pulang dari sekolahnya dengan senyum yang memukau. Direntangkannya
kedua tangan ke arah Akino yang dengan gembira berlari menuju pelukan ibunya.

Wah anak ibu sudah pulang ya. Bagaimana dengan sekolahmu sayang? tanya ibunya
dengan lembut.

Tadi, ibu guru memujiku, lho katanya gambarku bagus. Lihat! serunya sembari
menunjukkan kertas gambar yang sedari tadi ia pegang. Ibunya menerima dengan senang
hati dan kemudian membuka kertas itu.

Wah bagusnya anak ibu hebat ya ujar ibunya sembari memeluk anaknya erat-erat.
Akino memainkan rambut panjang ibunya yang lurus dan agak bergelombang dengan tangan
mungilnya. Ibunya cantik, dengan wajah yang lugu dan anggun layaknya malaikat.
Berambut cokelat sama seperti Akino. Senyumnya memukau dan anggun. Ia juga baik dan
hangat.

Beberapa menit kemudian, terlihat seorang pria berjas abu-abu melangkah masuk ke
ruangan itu dan memeluk kedua orang di dalamnya.

Ayah! seru Akino dengan senyumnya yang lugu.

Hai, mungil! panggil pria yang dipanggil ayah itu. Digendongnya Akino yang memeluk
kaki ayahnya yang besar. Wah anak ayah manis sekali hari ini. Sama seperti ibunya ya.
ujarnya nakal sembari mengecup kening ibunya.

Tentu saja. Siapa dulu ibunya. ucapnya dengan bangga. Sontak mereka berdua tertawa
kecil yang kemudian diikuti tawa Akino yang polos.

Akino tersenyum mengingat kenangan itu. Sejenak ia merapikan sejumput rambutnya ke


belakang telinganya dan melangkah keluar ruangan. Ditutupnya pintu dan secara bersamaan
terdengar pintu utama terbuka. Segera Akino memandang pintu utama dari lantai dua dan
mendapati seorang pria separuh baya melangkah masuk diikuti dengan sambutan pelayan
rumahnya yang sudah berjejer rapi di kiri kanan pintu.

Ayah! Serunya dalam hati. Segera dia berlarian menuruni tangga untuk menemui ayahnya itu.

Ayah! Selamat datang! serunya ketika memijak anak tangga terakhir. Dipandanginya
ayahnya dengan gembira dan senyum lebar yang manis dan memukau. Sontak langkah
ayahnya terhenti. Ayahnya terlihat kaget melihat wajah anaknya. Tapi dengan cepat ayahnya
mengubah raut wajahnya menjadi tenang dan dingin sembari berjalan melewati anaknya
tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Akino memandangi punggung ayahnya dengan tatapan nanar tidak mengerti. Ia berusaha
menyembunyikan perasaannya yang sedikit kecewa dan mengikuti langkah ayahnya yang
menaiki anak-anak tangga.

Ayah biar aku yang membawakan tas ayah. Sini. tawar Akino sembari mencoba
mengambil tas yang ditenteng tangan kiri ayahnya yang bernama Fujioka Takuto. Ayahnya
tidak merespon melainkan menggenggam erat tasnya dan menatapi Akino dengan tatapan
dingin. Sontak Akino memandangi mata ayahnya dengan tatapan takut dan berhenti
bertingkah. Takuto kemudian melanjutkan langkahnya dan meninggalkan Akino yang
membisu.

Takuto memasuki ruang kerjanya sementara Akino masih berdiri mematung di tangga.
Perlahan ia menuruni anak tangga dengan perasaan sedih. Ia bingung dengan sikap ayahnya.

Apakah dia berbuat sebuah kesalahan? Padahal sudah lama sekali ia tidak bertemu dengan
ayahnya. Bahkan dia telah lupa kapan terakhir kali mereka berpapasan muka dan mengobrol.

Dia masuk ke dalam dapur, dan disambut dengan hormat dari beberapa pelayan yang berada
di dalamnya. Mereka terlihat sibuk bersih-bersih. Akino tersenyum tipis membalas hormat
mereka, dan kemudian mengambil gelas dan membuat teh hangat.

Akino kemudian kembali menaiki anak tangga dengan ragu sambil membawa baki dengan
teh buatannya di atasnya. Setelah melangkah beberapa puluh langkah kemudian, dia telah
sampai di depan pintu ruang kerja ayahnya yang baru saja ia masuki sebelum ayahnya
pulang. Dia hendak mengetuk pintu, tapi ragu. Dikepalkannya tangan kanannya yang sudah
diangkatnya di atas udara hendak mengetuk pintu dari kayu jati yang besar dan berwarna
cokelat gelap di depannya.

Sejenak ia berpikir untuk kembali saja ke kamarnya, tapi rasa rindunya kepada ayahnya itu
membuatnya nekad untuk mengetuk pintu setelah apa yang telah dilakukan Takuto
kepadanya.

Akino mengetuk pintu itu tiga kali tanpa direspon sama sekali oleh orang yang berada di
dalamnya. Setelah menunggu beberapa saat, ia kemudian memutar handle pintu dan
membuka pintu itu secara perlahan-lahan. Ia dongakkan kepalanya ke dalam ruangan untuk
mengintip ayahnya yang berada di dalam ruang kerja itu.

Ayahnya sedang duduk di balik meja kerjanya sambil memerhatikan berkas-berkas yang ia
pegang dari balik kacamatanya. Wajahnya serius. Setelah diamati baik-baik. Akino baru
menyadari adanya kerutan-kerutan di sekitar mata dan bibir ayahnya. Tubuh ayahnya juga
terlihat lebih kurus, dan rambutnya pun memutih di beberapa bagian.

Ayah panggil Akino sambil melangkah masuk dengan perasaan takut bercampur ragu.
Ayahnya tidak merespon panggilan anaknya itu melainkan tetap fokus kepada pekerjaan di
depannya. Akino diam sesaat, memandangi ayahnya yang sedang serius bekerja.

Tangan ayahnya yang besar dimana dulu seringkali membawanya ke dalam pelukan, wajah
ayahnya yang masih menampakkan garis-garis ketampanannya dulu, dan juga rambut
ayahnya yang terlihat agak memutih, dimana ia seringkali mengelus-elus bahkan menarik

rambut ayahnya yang tebal itu ketika dipapah di punggung ayahnya. Sejenak, rasa sedih
merambat di hatinya, ketika menyadari bahwa ayahnya sudah mulai tua dimakan usia.

Akino berjalan mendekati meja kerja ayahnya yang penuh dengan kertas-kertas. Ayah aku
buatkan teh untuk ayah ayo diminum untuk menghilangkan rasa lelah. ujar Akino
dengan suara pelan dan penuh perhatian. Ayahnya diam, dan tiba-tiba berdiri sembari
menepis baki yang dipegang Akino dari hadapannya. Sontak Akino kaget dan terjatuh hingga
cangkir yang berisi teh hangat itu tumpah di lengan serta kakinya yang dilapisi celana tidur.

Akino meringis menahan rasa perih yang disebabkan oleh panasnya teh itu sembari
memandangi ayahnya yang berdiri di hadapannya. Ayahnya menatapnya dengan tajam dan
seketika terasa menghujam hati Akino yang rapuh. Akino bergidik ketakutan memandangi
tatapan ayahnya.

A-ayah ayah kenapa? ujarnya terbata-bata dengan suara yang bergetar. Matanya
basah menahan air mata karena rasa takut dan panas di kulitnya.

Apa maumu? tanya Takuto singkat, masih dengan tatapannya yang tajam dari balik
kacamatanya. Akino tidak mengerti dengan pertanyaan ayahnya itu.

A-apa maksud ayah. A-aku ti-tidak mengerti jawab Akino sambil menggenggam
erat tangannya yang tersiram teh panas beberapa detik yang lalu. Kulitnya terasa melepuh dan
memerah. Air matanya bergulir cepat menuruni pipinya ketika dia sudah tidak sanggup
menahan air mata di sudut matanya.

Takuto tidak menjawab, melainkan menatap Akino dengan penuh amarah. Cepat keluar dari
ruanganku sekarang juga!! bentak ayahnya dengan keras sehingga terdengar menggema di
rumahnya yang sepi. Akino menahan napas untuk menekan suara isakannya yang pasti akan
menjadi-jadi jika air matanya sudah tumpah ruah.

Ke-kenapa ayah a-apa sa-salahku? tanyanya Akino menginginkan kejelasan. Jelas dia
bingung dengan sikap ayahnya yang tiba-tiba seperti ingin menelannya bulat-bulat. Dia
bahkan sudah sangat lama tidak bertemu dengan ayahnya, tapi kenapa ayahnya harus marah
seperti ini tanpa sebab?

Ayahnya kembali membentaknya untuk kedua kalinya dan dengan suara yang lebih keras.
Akan tetapi, dunia seakan membisu. Akino hanya memandangi ayahnya dengan pandangan
bingung bercampur takut. Ia tahu ayahnya baru saja menyuruhnya untuk keluar dari
ruangannya. Ia tahu jelas. Tapi, tak dapat ia dengarkan satupun suara yang diucapkan
ayahnya, padahal ia yakin ayahnya saat itu menggertak dengan suara yang cukup keras untuk
menakuti pelayan-pelayan yang ada di lantai satu.

Akino seakan telah melupakan rasa sakit di kulitnya. Dan berusaha menjauhkan tubuhnya
yang lemas dari ayahnya yang sedang murka itu. Ia mencoba untuk merangkak menjauh
sambil masih menatap lekat-lekat mata ayahnya dengan mata yang melebar dan sembab.
Akino mencoba untuk berdiri dengan kakinya yang seakan tidak kuat menopang tubuhnya
dan berjalan keluar dari ruangan ayahnya dengan terhuyung-huyung.

Telinganya kembali berdengung dan membuat dunia membisu terhadapnya. Langkahnya


gontai menuju tangga yang sudah berada di depannya. Ia memegangi dengan erat pegangan
pada tangga sembari melangkahkan kakinya untuk menuruni satu per satu anak tangga itu.
Terlihat beberapa pelayan berkumpul di bawah tangga karena suara teriakan majikan mereka
barusan. Mereka memandangi Akino dengan cemas sembari berbisik dengan pelayan yang
berkumpul di sekitar mereka, hingga Akino kemudian sampai di anak tangga terakhir. Akan
tetapi, kakinya seakan tersandung sesuatu sehingga membuatnya jatuh tersungkur dilantai
marmer rumahnya yang dingin.

Nona?! Nona tidak apa-apa?! seru beberapa pelayan yang kemudian menghampiri Akino.
Akino tidak merespon, dan berusaha berdiri kembali dan berjalan dengan terhuyung-huyung
menuju kamarnya. Pelayan-pelayan di sekitarnya berusaha membantu, akan tetapi Akino
tidak menghiraukan melainkan terus berjalan menuju ke kamarnya.

***

Akino jatuh terduduk di samping kasurnya dengan masih menyentuh kedua daun telinganya.
Sesekali ia menepuk pelan kepalanya berharap agar suara dengungan yang kini masih
berngiang di dalam telinga dan kepalanya bisa hilang. Beberapa detik berlalu, tapi terasa
seperti berjam-jam. Rasa takut dan cemas menyelimutinya. Ada apa dengan dirinya?
Akino menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kuat sambil menekan kuat telinganya itu.
Perlahan-lahan ia menghela napas lega ketika semuanya berubah menjadi normal secara
lambat laun. Akan tetapi, semua itu belum juga mengobati rasa takut di hatinya. Masih
terngiang di benaknya ketika ayahnya mengusirnya keluar tadi. Ada apa dengan ayahnya itu?
Kenapa dia tiba-tiba berubah setelah lama tidak bertemu? Kesalahan apa yang telah ia
perbuat kepada ayahnya sehingga ayahnya menjadi seperti itu?

Perlahan terdengar suara isakan yang memilukan darinya. Air matanya jatuh bergantian dari
matanya dan membasahi pipi dan selimut yang menjulur ke bawah dari kasurnya. Ia ingin
berhenti menangis, akan tetapi rasa kecewa dan sedih kian menyeruak keluar dari dalam
hatinya. Bagaimana tidak, jika dirimu tiba-tiba dibentak tanpa alasan oleh orang yang kau
sayangi, padahal sudah lama kita merindukan orang itu.

Dan untuk sepanjang malam, Akino menangis hingga ia merasa lelah dan kemudian terlelap
dengan air mata yang masih membasahi sudut matanya.

***

Four-Leaf clover ~ Bab 7


by Shiro Neko'shop on Monday, 7 May 2012 at 14:06
Bab 7

Sinar matahari menembus masuk dari celah jendela yang tidak tertutup oleh gorden.
Perlahan-lahan ruangan diterangi oleh berkas-berkas cahaya yang cerah dan hangat. Seberkas
cahaya terlihat sengaja menyinari wajah seorang gadis berambut cokelat yang terbaring di
atas tempat tidur yang berantakan itu.

Akino tidak bergerak dari tempat tidurnya walaupun ia tahu hari sudah pagi dan dia harus
segera berangkat ke sekolah jika tidak ingin terlambat. Dia menghalangi cahaya yang
menyinari matanya itu dengan tangannya yang lesu. Dan beberapa menit kemudian dia
menggeliat di atas kasur itu sebentar dan duduk di tepi kasur.

Ia memandangi lantai kamarnya yang berlapiskan karpet merah jamrud di depannya dengan
tatapan kosong dan mata
yang sembab karena menangis semalaman. Wajahnya kusut dan terasa lengket karena air
mata yang membasahi pipinya semalam. Perlahan ia bangkit berdiri dan berjalan menuju
kamar mandi.

Dipandanginya bayangan di kaca yang menampilkan sesosok gadis yang berwajah lesu dan
pucat. Beginikah keadaannya sekarang? Dibukanya kran air dan menampung air yang
mengalir deras dengan kedua tangannya, dan dibasuhnya wajahnya yang pucat itu. Setelah
kesadarannya mulai kembali, ia pun segera membuka shower untuk segera mandi.

Masih dengan tubuh yang lelah, ia membasahi dirinya yang masih terbalut dengan pakaian
tidurnya. Segera pakaiannya yang kini telah basah menempel pada tubuhnya dan
menampakkan dengan jelas lekuk tubuhnya. Dan lagi-lagi di sela-sela air dingin yang
mengalir di wajahnya, terasa beberapa tetes air mata yang hangat mengalir dari sudut
matanya.

Selesai mandi, Akino melewatkan sarapannya. Ia langsung meraih tas sekolahnya dan
melangkah lesu keluar rumah dan berangkat ke sekolah. Pelayan yang telah menyiapkan
sarapannya pun terlihat sangat khawatir dengan keadaan nona mudanya itu. Tapi sebagai
pelayan, mereka pun tidak bisa apa-apa.

Akino berjalan menuju sekolah tanpa menghiraukan keadaan sekitarnya. Kadang beberapa
orang menabrak bahunya, tapi dia tidak merespon dan tetap melanjutkan perjalanannya.

***

Kazuya duduk di bangkunya sambil menatapi bangku Akino yang berada di depannya.
Kenapa Akino masih belum datang? Padahal sebentar lagi bel akan segera berbunyi.

Baru saja Kazuya mengucapkan itu di dalam hati, dan segera setelah itu, bel sekolah pun
berbunyi nyaring tanda pelajaran pertama akan segera dimulai. Dan beberapa detik setelah
itu, Akino melangkah masuk ke dalam kelas. Terlihat wajah Kazuya tersirat rasa lega, karena
awalnya ia berpikir kalau ada yang terjadi pada Akino setelah kejadian kemarin. Tepat setelah
Akino mencapai tempat duduknya setelah melempar senyum samar pada Kazuya yang
melambai ke arahnya, guru matematika mereka masuk dan mulai mengajar.

Ada yang aneh pada Fujioka, batinnya.

Pelajaran berlangsung dengan tenang. Semua terlihat sibuk mencatat catatan yang diberikan
guru mereka di papan tulis. Akino berusaha memusatkan perhatiannya pada pelajaran dan
ikut mencatat walau dengan hati yang kacau dan bingung. Sesekali Kazuya terlihat melirik ke
gadis yang duduk di depannya dengan cemas. Ini pertama kalinya ia mendapati Fujioka
Akino terlambat datang ke sekolah. Haruskah aku menanyakan apa yang terjadi padanya
nanti?

***

Bel tanda istirahat berbunyi beberapa jam kemudian. Akino segera bangkit berdiri dan
meninggalkan kelas. Diam-diam Kazuya mengikuti Akino dari belakang.

Setelah berjalan beberapa saat, mereka berdua sampai di tempat biasanya Akino beristirahat.
Akino duduk di atas bangku langganannya tanpa melakukan apa-apa. Tidak ada kacamata
yang biasa dia pakai untuk membaca, tidak ada pula novel yang sengaja dia bawa ke sekolah
untuk dibaca di waktu senggang. Segera Kazuya mengambil tempat duduk di samping Akino
sambil menyapa seperti biasa.

Hei! tegur Kazuya ketika Akino tidak menjawab panggilannya. Seakan terkejut Akino
mengangkat wajahnya yang tertekuk sembari mengelus pelan dadanya tanda terkejut.

Oh, Kazuya. Ada apa? tanya Akino pelan dengan suara yang agak serak.

Kau kenapa? Sakit? Wajahmu pucat tanya Kazuya cemas. Akino menggeleng dan
kembali asyik dengan pikirannya yang membuat suasana hatinya berantakan. Kau ada
masalah? lanjut Kazuya kemudian. Akino terdiam, bukan karena
sengaja, tapi karena tidak tahu apa yang harus ia jawab. Apakah hal itu terlihat jelas di
wajahnya? Pikirnya.

Tidak. Bukan hal yang besar.

Ceritakan saja padaku. Apapun itu. ujar Kazuya sembari menatap lembut mata Akino yang
masih agak sembab walaupun sudah ia kompres dengan air dingin tadi pagi. Sontak mata
Akino terlihat kembali berkaca-kaca menatap
Kazuya yang begitu baik padanya. Setetes demi setetes air matanya kembali bergulir turun
dari wajahnya dan membasahi rok yang ia kenakan. Ia menutupi wajahnya dengan kedua
tangan dan menangis sesunggukan.

Aku aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi jawab Akino yang masih bingung
dengan kejadian yang menimpanya. Ayahku tiba-tiba membentakku dengan murka
semalam. Aku tidak tahu apa salahku. Dia dia menatapku dengan tatapan dingin dan tajam.
Aku takut sekaligus bingung kenapa ayah tiba-tiba memarahiku. Apa salahku?

Kazuya mengusap pelan punggung Akino yang bergetar. Tenanglah ceritakan saja pelanpelan. hibur Kazuya.

Aku merindukannya aku ingin sekali bertemu dengannya dan didekap dalam pelukannya
yang hangat seperti dulu. Aku selalu berharap aku bisa bercanda lagi dengannya. Tapi aku tak
tahu mengapa. Padahal sudah dua tahun aku tidak bertemu dengan ayah aku aku
merindukannya. ujar Akino dengan tangis yang semakin keras.

Kazuya seakan mengerti perasaan Akino, dan membawa gadis itu ke pelukannya sembari
mengusap kepala Akino dengan lembut. Tenanglah tenang. Mungkin saja itu karena
ayahmu sedang lelah dan tertekan dengan pekerjaannya. Dia pasti tidak memiliki maksud
buruk. hiburnya.

Hangat. Akino merasakan kehangatan menjalar di tubuhnya. Betapa ia merindukan pelukan


yang hangat seperti ini. Sudah bertahun-tahun ia tidak dipeluk dengan hangat oleh ayahnya.
Ia sangat merindukan ayahnya yang ramah dan penuh kasih sayang padanya sejak ia sudah
tidak bisa mendapat pelukan dari ibunya tercinta yang sudah mendahului mereka.

Akino masih menangis sesunggukan di pelukan Kazuya, laki-laki yang disukainya. Betapa ia
terlihat begitu lemah dan rapuh hari itu. Tapi Kazuya tidak mengatakan apapun dan
membiarkan Akino menumpahkan air matanya hingga ia merasa lega. Akino bersyukur
karena memiliki laki-laki yang bersedia berada di sampingnya dan begitu perhatian dan baik
hati.

Perlahan-lahan tangisan Akino mereda, sehingga dia bisa mendengarkan suara detakan
jantung Kazuya di telinganya. Ia pun dapat merasakan debaran jantungnya yang agak cepat
ketika dipeluk dengan hangat seperti itu. Dan barulah ia tahu, betapa dia menyukai pelukan
Kazuya.

Puas menangis dan mengusap kering air mata di wajahnya dengan kasar, Akino menjauhkan
dirinya dari pelukan Kazuya. Ia merasa malu. Walaupun dia tahu Kazuya tidak akan
berkomentar apapun.

Maaf ujar Akino pelan.

Kazuya tidak menjawab melainkan hanya tersenyum ramah. Sudah merasa lebih baik?
tanya Kazuya sembari kembali mengusap pelan kepala Akino. Akino mengangguk dan
tersenyum.

Terima kasih

***

Akino kini merasa lebih baik setelah melepaskan sebagian beban di hatinya. Akino
melangkah dengan lebih ceria dibanding tadi pagi untuk segera pulang ke rumah. Sejenak ia
berhenti. Terulang lagi.

Dunia di sekitarnya seakan membisu terhadapnya, dan hanya dengingan yang dapat ia dengar
di telinganya dan terasa menyiksa. Apa yang sebenarnya terjadi? Dipandangnya orang-orang
yang berlalu-lalang disekitarnya. Seorang anak kecil yang menangis di depan ibunya, mobilmobil yang melaju kencang di jalan raya, anak-anak sekolahan yang tertawa bersama dengan
temannya, tapi tidak ada satupun suara yang dapat ia dengar kala itu.

Akhirnya, dengan terhuyung-huyung ia berjalan perlahan menuju rumahnya walaupun


dengan perasaan cemas.

***

Akino sudah siap dengan T-shirt yang dipadukan dengan celana levis panjang, dan jaket
berwarna kuning cerah. Ketika sampai di rumah, dengingan di telinganya perlahan
menghilang. Akan tetapi, hatinya tetap merasa takut dan akhirnya memutuskan untuk
memeriksakannya ke dokter.

Segera dengan menaiki taksi, ia pergi menuju rumah sakit.

Dengan ragu ia melangkahkan kaki memasuki rumah sakit yang berdiri megah di depannya,
segera setelah ia sampai sepuluh menit kemudian. Banyak orang yang berlalu-lalang di dalam
rumah sakit itu. Dari perawat, dokter, keluarga pasien, bahkan pasien-pasien itu sendiri.
Setelah mendaftarkan diri untuk berobat, ia langsung dipanggil masuk oleh dokter ke
ruangannya yang serba putih.

Jadi, apa keluhan yang anda rasakan saat ini? tanya dokter itu dengan ramah untuk
memulai pembicaraan.

Aku, tidak yakin dengan apa yang terjadi. Akan tetapi, sejak dari musim dingin tahun lalu,
aku mendengar suara dengungan di telinga dan otakku. Bahkan sebelum aku kemari, suara
dengungan itu berubah menjadi dengingan dan terasa menyiksa telingaku. Dan jika hal itu
terjadi, aku tidak bisa mendengar suara di sekitarku. Selain itu, terkadang aku akan
kehilangan keseimbangan telingaku berdengung. Apakah ini penyakit? tanya Akino raguragu. Berharap bahwa dugaannya itu tidak benar.

Sudah berapa kali hal itu terjadi?

Aku tidak menghitungnya. Hal ini sering terjadi secara tiba-tiba. Dan belakangan ini lebih
sering terjadi. jawab Akino sambil menatap mata dokter di depannya.

Kalau begitu, mungkin nona harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut jika tidak keberatan.

Tidak. Aku tidak keberatan. Bisakah aku mengetahui hasilnya hari ini juga?

***

Akino berjalan dengan langkah gontai dan menjatuhkan dirinya di halte bis yang hanya
terdapat beberapa orang saja. Masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar dari hasil
diagnose dokter. Wajahnya pucat dan matanya berkaca-kaca menahan tangis.

Apakah nona pernah mengalami kecelakaan? tanya dokter mencoba memastikan sesuatu
hal. Akino mengangguk pelan.

Hal itu terjadi dua tahun lalu ketika aku menyeberang jalan raya, ada mobil yang melaju
kencang dan menabrakku. Apa ada hubungannya dengan telingaku?

Apakah terdengar suara ledakan setelah kejadian? tanya dokter itu lagi seakan tidak
menghiraukan pertanyaan yang diajukan Akino kepadanya.

Alis Akino berkerut berusaha untuk mengingat kembali kejadian yang menimpanya dua
tahun lalu. Dan dengan ragu dia menjawab pertanyaan itu, sepertinya ada. Akan tetapi
saat itu kesadaranku sudah mulai menurun.

Dokter yang berpakaian serba putih dan berkacamata itu terlihat memajukan tempat
duduknya dan meletakkan kedua tangannya di atas meja. Wajahnya serius dan seakan ingin
memberi tahu sesuatu tapi bingung untuk memulai darimana.

Jadi begini. Menurut diagnose yang sudah keluar tadi, terdapat kerusakan pada sel-sel
pendengaran anda yang diperkirakan disebabkan oleh ledakan keras yang mungkin berasal
dari mobil yang menabrak anda. Rambut mikroskopik yang terdapat pada permukaan sel-sel
itu rusak dan menyebabkan rambut mikroskopik itu bergerak secara random pada keadaan
yang konstan. Karena tidak mampu lagi menahan pengisian listrik pada sel-sel
pendengaran, maka terjadilah kebocoran. Dan sinyal-sinyal listrik itu akan menuju otak
sebagai suara yang amat berisik.

Ja-jadi?

Bunyi-bunyian yang terdengar akan bervariasi dari yang pelan sampai memekakkan
telinga. Mengenai nona yang akan kehilangan keseimbangan, itu bisa jadi disebabkan oleh
dengungan maupun dengingan itu sendiri. Kerusakan pada telinga akan mempengaruhi
keseimbangan tubuh.

A-apakah maksudmu, aku mungkin akan menjadi tuna rungu? La-lalu apakah aku akan
menjadi lumpuh? tanya Akino cemas. Berharap agar dokter menjawab tidak padanya.
Dokter itu terdiam sejenak dan terlihat ragu untuk memberi tahu. Ayo, katakan aku tidak
akan menjadi tuna rungu maupun lumpuh, bukan? desak Akino.

Anda tidak akan lumpuh, akan tetapi keseimbangan tubuh akan terganggu. Kemudian
mengenai suara dengungan itu kini telah berubah menjadi dengingan. Dimana suara itu dari
hari ke hari akan semakin keras dan memekakkan telinga dan menurunkan daya
pendengaran, dan hingga akhirnya menghilang sama sekali. Apalagi dalam kondisi seperti
ini, rambut mikroskopik pada telinga nona telah rusak. Jadi hal ini tidak akan kembali
normal. jawab dokter itu. Akino terdiam sesaat. Masih tidak percaya dengan apa yang baru
saja ia dengar. Ia meremas jaket yang ia kenakan dan berusaha menahan air mata.

Ti-tidak tidak mungkin kan, dok? Kau hanya bercanda, kan? Aku tidak mungkin akan
kehilangan pendengaranku dan menjadi tuna rungu! Ti-tidak bisakah telingaku ini
disembuhkan? Pasti ada kan? desak Akino panik karena tidak menerima vonis dokter
terhadapnya. Dokter itu menggelengkan kepalanya dengan raut wajah menyesal karena
tidak bisa membantu pasiennya itu.

Maaf. Tapi sekali rambut mikroskopik itu terganggu atau bahkan rusak, rambut-rambut itu
tidak bisa kembali normal. Selain itu kerusakan pada rambut mikroskopik telinga nona
sudah parah. ujar dokter itu dengan suara yang semakin memelan.

Seketika bahu Akino terjatuh lemas dan tatapannya langsung berubah menjadi kosong. Tidak
pernah ia sangka sebelumnya bahwa akan terjadi hal seperti ini pada dirinya. Dan dengan
langkah yang lesu, ia keluar dari ruangan itu tanpa bisa mengucapkan apa-apa.

Betapa shocknya ia sekarang. Ia tidak mampu berkata apa-apa. Ia hanya bisa menggigiti
bawah bibirnya dengan kuat untuk menahan air mata yang sudah hampir jatuh dari pelupuk

matanya. Kenapa? Kenapa hal ini harus terjadi? Kelak bagaimana aku bisa menghadapi
Kazuya dengan status sebagai tuna rungu? Lalu ayah? Apakah aku kelak sudah tidak bisa
mendengar lagi suara ayah?

Ia tidak pernah membayangkan hal seperti ini akan terjadi padanya. Kenapa harus dia yang
mengalaminya?

Ia bangkit dari tempat duduknya dan memilih berjalan kaki untuk segera pulang ke rumahnya
dan menumpahruahkan beban yang kini menjerat hatinya dengan begitu kuat.

***

Akino meremas selimut yang menutupi wajahnya dengan kuat. Menangis dengan suara yang
tertahan. Tidak ingin ada orang dari dalam rumahnya yang mendengar suara tangisannya
yang kini terdengar memilukan. Air matanya yang terasa panas sudah membasahi mata,
wajah, dan selimut yang kini ia kenakan. Kini dia tidak bisa menghentikan tangisnya. Setiap
kali ia menghapus air matanya dengan punggung tangan, air matanya kembali jatuh dan
jatuh. Tidak memberi kesempatan bagi majikannya untuk berhenti. Andaikan sekarang
Kazuya berada di sampingku. Pikirnya.

Tidak. Ia menggelengkan kepalanya dengan kuat, sehingga membuat kepalanya terasa pusing
karena terlalu lama menangis. Ia tidak ingin Kazuya tahu mengenai hal ini. Mungkin saja dia
akan meninggalkannya karena ia akan segera menjadi tuna rungu. Dan bila hal itu terjadi,
maka untuk selanjutnya ia hanya akan terpuruk pada kesunyian dan kesepian. Bahkan untuk
membayangkan saja ia tidak berani. Bagaimana kalau hal itu benar-benar terjadi? Tuhan,
apakah Kau ada? Kalau ada, mana keadilan untukku? Apa salahku sehingga aku harus
mengalami hal seperti ini?

Akino berhenti menangis dan duduk di tepi kasurnya. Terulang lagi.

Tidak. Tidak! Jangan lagi, kumohon! jeritnya histeris sambil memegangi kedua telinganya.
Sia-sia. Ia bahkan tidak bisa mendengar suaranya sendiri. Matanya melebar dan kembali
menangis dan menangis. Ia menumbangkan tubuhnya ke atas tempat tidur dan
membenamkan wajahnya diantara selimutnya dengan masih memegangi kedua telinganya. Ia

menjerit, menangis, dan bahkan berteriak berusaha mengusir suara dengingan di telinganya
untuk mengembalikan pendengarannya.

Tidak. Kumohon kumohon ini menyakitkan! jeritnya karena merasa dengingan


yang keras di telinganya itu terasa seperti ingin memecahkan gendang telinganya. Kosong.
Tidak ada yang dapat ia dengar selain dengingan yang menyiksa itu. Bahkan ia sama sekali
tidak mendengar pelayannya menggedor-gedor pintu kamarnya.

Nona! Buka pintunya nona! Apa yang terjadi pada nona!? teriak pelayan pria yang
menggedor pintu kamar Akino itu. Akino tidak merespon. Tetap saja meronta-ronta di atas
tempat tidurnya yang lebar seperti orang yang kesurupan.

Sakit sakit hhh. Aku mohon hentikan berhenti!!!

Seakan dapat merespon perintah Akino, dengingan di telinganya perlahan memelan dan
akhirnya menghilang. Akino terbaring lesu dengan napas yang sengal. Perlahan ia mendengar
suara ketukan pintu yang kasar dari luar sana beserta suara beberapa pelayan yang
meneriakinya. Ia enggan bangun dari tempat tidurnya, akan tetapi, suara mereka memaksanya
untuk turun dan membukakan pintu.

Ia mengusap air matanya hingga kering dengan kasar. Sembari berjalan terhuyung-huyung
menuju pintu kamarnya, ia menarik napas panjang dan membuangnya pelan-pelan, berusaha
untuk menyembunyikan keadaan sebenarnya dari pelayannya. Perlahan ia membuka pintu
kamarnya dan melirik kecil dari celah yang membuatnya dapat melihat beberapa pelayan di
balik pintu.

Maaf katanya dengan suara yang terdengar serak. Aku tidak apa-apa silakan
lanjutkan saja pekerjaan kalian lanjutnya pelan. Pelayan-pelayan itu terlihat enggan untuk
diam saja. Mereka tetap berdiri di balik pintu, mendesak Akino untuk membukakan pintu
agar lebih lebar. Ingin tahu apa yang terjadi.

Sudah kubilang aku tidak apa-apa. Aku aku hanya sedang berlatih memainkan peranku
dalam drama, kok. Pergilah kata Akino untuk meyakinkan pelayannya agar segera pergi
seraya tersenyum tipis. Pelayan-pelayannya saling memandang satu sama lain untuk beberapa
saat dan terlihat menghela napas lega. Dan setelah itu pun, mereka kemudian menurut dan
pergi dari tempat itu untuk melanjutkan pekerjaan mereka.

Akino menutup pintu kamarnya dan menguncinya kembali. Tubuhnya yang lemas kemudian
melorot jatuh ke atas lantai kamarnya yang berlapiskan karpet merah jamrud. Dan lagi-lagi
bertetes-tetes air membasahi wajahnya dan membuat kepalanya terasa pusing karena terlalu
lama menangis.

***

Langit telah berubah warna dari biru yang menenangkan menjadi hitam yang kelam. Malam
telah datang. Angin malam yang sejuk berhembus lembut menerpa wajah Akino ketika ia
sedang berdiri di balkon rumahnya. Rambutnya yang dikuncir dua olehnya melambai pelan di
depan dadanya yang dilapisi baju tidur dan jaket berwarna kuning yang ia kenakan tadi siang.

Ia menghela napas dan memandangi langit yang bertaburkan bintang dengan tatapan nanar
sembari menggenggam erat buku harian dan pena yang ia peluk di depan dadanya.

Ayah Yamamoto gumamnya dalam hati.

Ia membalikkan tubuhnya menuju sebuah tangga yang menghubungkan balkon rumahnya


dengan atap rumahnya yang berada lebih rendah dari yang atap yang lainnya. Ia menaiki
tangga kecil itu dan kemudian duduk di atas atap rumahnya, tempat yang menjadi tempat
favoritnya dulu di mana ia sering menghabiskan waktunya bersama dengan ayah dan ibunya.

Setelah diam untuk beberapa saat lamanya, ia membuka lembaran-lembaran pada buku
hariannya dan mulai menulis dengan kedua pahanya sebagai alasnya untuk menulis.

Rabu, 24 April, hari yang cerah.

Malam ini, bintang bersinar dengan cahaya kelap-kelip menembus awan-awan tipis yang
melayang di langit karena hembusan angin. Hari yang cerah. Tapi hatiku tidak. Rasanya
banyak sekali kabut tebal yang menghalangi pandanganku hari ini. Kenapa aku harus
mengalami hal seperti ini? Apa salahku?

Aku masih ingin mendengarkan suara angin yang berhembus di setiap musim yang kusukai,
kicauan burung pada pagi hari, lagu-lagu yang indah, dan suara-suara orang yang penting
bagiku. Tapi apakah aku akan kehilangan hal itu sebentar lagi? Berapa lama keadaan ini
akan bertahan? Berapa lama lagi aku masih bisa mendengar suara-suara yang menarik
perhatianku?

Mata Akino mulai berkaca-kaca dan terasa panas di sela-sela tiupan angin yang sejuk di
malam musim semi itu. Sudah berapa kali ia menangis hari ini? Sudah berapa liter air
matanya terkuras hari ini? Ia bahkan tidak bisa menghitungnya lagi. Ia menarik napas
panjang dan kemudian menghembuskannya kembali agar air matanya tidak lagi menetes.
Karena jika hal itu terjadi, mungkin lagi-lagi dia tidak akan bisa menghentikannya. Ia
kembali menggoreskan penanya ke atas kertas buku hariannya yang berwarna hijau cerah.

Ayah keluargaku satu-satunya yang kumiliki sekarang. Kenapa ayah tiba-tiba bersikap
kasar padaku? Yamamoto Kazuya sahabatku satu-satunya. Apakah semuanya akan
berakhir ketika kesunyian akan menyelimutiku? Termauk persahabatanku dengannya?
Apakah hidupku harus berakhir pada kesunyian dan kesepian?

Akino menutup buku hariannya dan meletakkannya di sampingnya. Matanya yang berkacakaca ia alihkan ke bulan purnama yang membisu padanya. Dirapatkannya jaketnya dan
kemudian merogoh keluar ponsel yang berada di saku jaketnya. Sejenak terlihat ia
memandangi ponsel itu tanpa melakukan apa. Dan beberapa saat kemudian, terlihat ia
menekan sejumlah tombol ponsel itu beberapa kali dan menempelkan ponsel itu di
telinganya.

Terdengar suara sambungan berbunyi beberapa kali, hingga seseorang mengangkatnya.


Moshi-moshi? Fujioka-chan? Ada apa menelepon? tanya suara orang di seberang sana.
Akino diam dan mendengar sejenak orang itu berbicara kepadanya.

Fujioka-chan? panggil orang itu lagi.

Iya, Yamamoto-kun jawabnya kemudian dengan suara yang agak bergetar. Sudah
tidur? tanyanya singkat.

Belum. Ada apa? Ada yang ingin kau bicarakan?

Akino menggeleng pelan, walaupun ia tahu Kazuya tidak akan bisa melihat gelengan di
kepalanya. Tidak. Hanya ingin mendengar suaramu ujarnya lirih.

Suaraku? Apa maksudnya?? Pikir Kazuya dalam hati, kaget dengan apa yang baru saja Akino
ucapkan padanya. Kazuya tertawa hambar dan agak salah tingkah. Suaraku? Kau rindu
padaku? canda Kazuya yang diselingi dengan tawa yang terdengar bodoh dan dibuat-buat.
Kita kan masih bisa bertemu besok, dan kau akan puas mendengar suaraku seharian.
lanjutnya lagi agar tidak terdengar aneh.

Akino tertawa hambar sembari mengusap-usap lengannya yang terasa agak menggigil.
Mungkin bisa dibilang begitu. Kau keberatan?

Apa?! Serius? Dia rindu padaku? Oh Tuhan apakah ini sebuah perkembangan dalam
hubungan kami? Tidak. Tidak. Jangan lupa Kazuya kalau dia itu putri konglomerat!! Jeritnya
dalam hati untuk mengusir pikiran anehnya yang mulai mengembara kemana-mana.

Ah. Ti-tidak. ujarnya sembari mengacak-acak rambutnya. Senang. Tentu saja ia senang
karena mendengar pengakuan Akino barusan. Ke-kenapa belum tidur? Sudah hampir jam
sepuluh malam kan Kazuya berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia berpindah dari tempat
tidur menuju ke meja belajarnya dan duduk di atas kursinya yang dekat dengan jendela
kamarnya.

Aku masih asyik memandangi bulan. jawab Akino asal. Padahal alasan sebenarnya karena
hatinya yang gundah sehingga membuatnya tidak bisa tidur. Sedih bercampur takut karena
tidak lagi bisa mendengarkan suara laki-laki yang kini sedang berbicara dengannya di
telepon. Cobalah kau lihat. Bulannya indah langitnya cerah sekali hari ini.
Kazuya mengalihkan pandangannya keluar jendela. Ya, kau benar.

Mereka diam sejenak memandangi bulan yang ada di atas mereka hingga suara Akino
memecahkan keheningan di antara mereka. Tidurlah. Malam semakin larut. sarannya
kepada Kazuya.

Kau sendiri?

Aku juga sudah mau tidur. dusta Akino. Tubuhnya bergetar. Bukan karena dingin, tapi
karena rasa takut yang kini menyelimutinya. Matanya kembali berkaca-kaca, sehingga ia
harus menggigiti bibir bawahnya untuk menahan isakan yang sebentar lagi akan keluar dari
mulutnya.

Ehm baiklah. Selamat malam, Fujioka-chan. ucap Kazuya hendak mengakhiri


pembicaraan singkat di antara mereka. Baru saja ia hendak memutuskan sambungan telepon,
terdengar lagi suara Akino memanggilnya.

Yamamoto!

Eh? Iya? Ada apa?

Ee ah, tidak tidak apa-apa jawab Akino kemudian.

Kalau begitu selamat malam.

Hm. Akino mengangguk pasrah. Eh, Yamamoto-kun! panggilnya lagi seakan tidak
ingin Kazuya menutup teleponnya.

Apa??

Ti-tidak. Selamat malam selamat tidur, Yamamoto-kun. ujarnya lirih dengan suara
yang bergetar. Tidak. Aku tidak bisa menahannya lagi!

Diputuskannya sambungan telepon itu dan kemudian menggenggam erat ponsel di depannya.
Aku aku tidak bisa gumamnya sambil terisak-isak. Suaranya terdengar memilukan. Ia
sama sekali tidak sanggup untuk mengatakan hal itu kepada Kazuya. Ia kemudian

membenamkan wajahnya di antara kedua lutut yang ia peluk dan kembali menangis dengan
ditemani terpaan angin musim semi yang lembut.

***

Four Leaf Clover~Bab 8


by Shiro Neko'shop on Wednesday, 16 May 2012 at 12:12
Bab 8

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan bulan berganti bulan. Musim semi telah
lewat dan digantikan oleh musim panas. Kini musim panas pun telah lewat dan digantikan
oleh musim gugur, yang merupakan musim terindah yang ada di Jepang. Dan sekaligus
merupakan musim yang paling disukai oleh Fujioka Akino, murid SMA yang kini sudah
memasuki semester baru, dan setengah tahun kemudian akan lulus dari sekolah itu.

Mengenai diagnosa dokter yang memvonis dia akan menjadi tuna rungu selalu saja
membayang di benaknya. Bagaimana tidak, hidup tanpa suara adalah hal yang menakutkan
bagi setiap orang. Tapi walaupun begitu, selama ini dia tetap berusaha untuk tegar agar tidak
ada satupun orang yang tahu mengenai keadaannya. Dia tetap mencoba untuk bersikap biasa
seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa terutama di depan Kazuya. Hal ini dilakukannya
karena ia merasa takut suatu hari Kazuya akan meninggalkannya bila mengetahui hal itu.

Hari demi hari, pendengaran Akino semakin sering terganggu dan semakin lemah, sehingga
terkadang, Kazuya harus berbicara agak keras kepada Akino agar bisa terdengar dengan jelas.
Dengingan yang sering terdengar di telinga dan otaknya terasa menyiksa hingga tidak jarang
ia selalu menjerit sakit apalagi jika dia sedang berada di rumah. Akan tetapi tidak jarang hal
itu terjadi di sekolah baik ketika jam pelajaran, istirahat, maupun ketika sedang bersama
dengan Kazuya. Apabila ditanya, dia selalu saja menjawab tidak apa-apa. Sampai kapan dia
bisa menyembunyikan semua ini?

***

Fujioka-chan! seru Kazuya dari kejauhan ketika Akino sedang duduk tenang di teras
langganannya dengan headset di kedua telinganya. Tidak ada respon dari Akino saat itu,
sampai ia sadar ketika Kazuya menepuk bahunya dengan pelan.

Oh, Yamamoto-kun ada apa? Kau dari mana? tanyanya sembari menanggalkan
headsetnya yang berwarna putih itu dari telinganya.

Dari kantin sekolah. Kau tidak mau makan?

Akino menggeleng dan mengalihkan pandangannya ke langit biru yang bersih hari itu. Suhu
udara sudah berubah menjadi sejuk di akhir September. Hampir semua orang telah mulai
mengenakan syal di leher mereka untuk sekedar menghangatkan sebagian tubuh mereka dari
terpaan angin musim gugur yang sejuk.

Kazuya berdiri di balik bangku membelakangi Akino sembari mengikuti Akino memandangi
langit yang begitu bersahabat hari itu. Akino diam dan berusaha mendengar suara-suara kecil
yang berada di sekitarnya. Ia masih bisa menangkapnya kini. Tapi nanti? Ia menunduk sedih.
Yamamoto-kun panggilnya lirih.

Hm? jawab Kazuya tanpa mengalihkan pandangannya. Akino diam sejenak untuk
menimbang-nimbang kalimat selanjutnya yang akan dia katakan.

Ia tersenyum tipis. Bisakah kau memanggil nama kecilku saja? tanyanya pelan.

Kazuya melirik ke arah Akino dari balik bahunya dengan matanya yang melebar. Merasa
sedang ditatapi Kazuya seperti itu, Akino berbalik dan tersenyum manis dan membuat wajah
Kazuya agak bersemu merah. Bisa kan? tanyanya lagi untuk memastikan.

Ehm Akino

Yang jelas tuntut Akino dengan wajah cemberut. Kazuya menggaruki kepalanya yang
tidak gatal. Ini hal yang tidak biasa baginya. A Akino-chan?

Sontak Akino tersenyum senang karena ia bisa mendengar Kazuya memanggil nama
kecilnya. Ya, Kazuya-kun? balasnya gembira. Ini merupakan keinginannya sejak lama. Dan
ia semakin ingin Kazuya memanggilnya seperti itu ketika ia tahu bahwa suatu saat ia tidak
akan bisa lagi mendengar suara Kazuya maupun orang-orang di sekitarnya.

Ayo, masuk kelas? ajak Akino kemudian dan bangkit berdiri dari tempatnya duduk. Kazuya
mengangguk setuju sembari melempar senyum yang bisa membuat hati perempuan yang
mengidolakannya tergetar. Termasuk diantaranya adalah Akino. Ia tersenyum canggung
membalas senyuman Kazuya yang ramah dan hangat dan dengan tatapan yang begitu teduh
menenangkan.

Baru saja melangkah beberapa langkah dari tempat asal, Akino berhenti lagi dan terlihat
memegangi telinganya. Hal yang ditakutinya kembali muncul. Ia merasa gendang telinganya
disayat-sayat sehingga menimbulkan perih.

Akino-chan? panggil Kazuya sambil memegangi bahu Akino yang menegang. Kau tidak
apa-apa?

Akino mengangkat tangan kirinya ke arah Kazuya untuk memberitahu bahwa ia tidak apaapa. Akino mengerang pelan sambil memegangi kedua telinganya dengan kuat. Sakit.
Walaupun terjadi beberapa detik, hal itu terasa menyiksa fisik dan batinnya kala itu. Kazuya
sudah merasa tidak beres dari awal Akino bersikap seperti itu. Hal itu sudah sering terjadi,
dan Akino selalu saja mengatakan ia tidak apa-apa. Apa yang sebenarnya terjadi pada Akino?

Kazuya mengangkat wajah Akino yang pucat dengan kedua tangannya ke arahnya. Dilihatnya
wajah Akino yang terlihat tersiksa dengan sesuatu yang belum diketahuinya. Akino-chan?
Kau dengar aku? Akino-chan ada apa denganmu? Jawab aku. ujar Kazuya cemas dengan
Akino yang sama sekali tidak merespon satupun pertanyaannya.
Hei, Akino! tegurnya lagi sambil mengguncang-guncang kedua bahunya yang gemetar.

Akino membuka matanya yang sedari tadi ditutupnya rapat-rapat, memandangi bola mata
coklat milik Kazuya di depannya dengan tatapan takut. Ia mencengkeram kuat lengan baju
Kazuya sehingga membuat Kazuya semakin panik. Akino menggeleng-gelengkan kepalanya
dengan kuat. Tapi Kazuya kian mendesaknya untuk mengatakan yang sebenarnya.

Tenang, Akino. Sebentar lagi siksaan ini perlahan akan menghilang. Tahan sebentar lagi!
Ujarnya untuk meyakinkan diri. Satu menit, dua menit, tiga menit kemudian, dengingan yang
menyiksanya itu berhenti perlahan-lahan hingga akhirnya hilang. Akino menghela napas lega
dan kemudian menurunkan tangannya yang mencengkeram lengan baju Kazuya tadi.

Aku ti- Akino membisu. Matanya melebar dan tatapannya mendadak kosong memandangi
Kazuya yang berdiri di hadapannya. Ia merasa bibirnya tiba-tiba mongering dan wajahnya
pucat pasi. Ia merasa suaranya tercekat di tenggorokannya sehingga tidak dapat ia ucapkan.
Kembali Kazuya bingung dan cemas melihat Akino yang begitu aneh.

Akino-chan.? panggil Kazuya pelan dan hati-hati.

Sesaat setelah Kazuya memanggilnya, Akino merasa seluruh tubuhnya terasa lemas dan ia
pun jatuh terduduk di atas tanah yang kotor masih dengan tatapan tidak percaya sambil
menyentuh telinga kanannya. Akino mulai panik dan air mata mulai menggenang di matanya.

Akino? Kau kenapa?! tegur Kazuya lagi dengan suara yang lebih keras. Sebenarnya apa
yang terjadi denganmu?

Air mata mulai mengalir di pipi Akino. Dan suara isakan takut, panik, dan sedih terdengar
dari Akino yang tubuhnya kini mulai gemetar. Tidak gumamnya di sela-sela tangisnya.
Tidak!!! pekiknya histeris sembari menutup kedua telinganya rapat-rapat. Oh Tuhan,
jangan sekarang! Jeritnya dalam hati.

Ka- Kazuya. Kazuya! panggil Akino dengan wajah yang kini sudah basah oleh air mata.
Katakan sekali lagi. Pa-panggil namaku sekali lagi! Kumohon! seru Akino semakin
menjadi. Kazuya yang masih tidak mengerti dengan hal ini menurut dan memanggil nama
kecil Akino sesuai permintaannya.

Akino-chan? Ada apa??

Kini Akino benar-benar pasrah. Tubuhnya lemas tak bertenaga, bahkan rasanya duduk pun ia
tidak sanggup. Tangisan Akino semakin jadi dan terdengar semakin memilukan dan menyayat
hati. Suaramu aku aku tidak bisa mendengar suaramu, Kazuya

***

Akino duduk termenung di pojok kamar sambil memeluk kedua lututnya. Ia bergumam tidak
jelas dengan tatapan yang sama sekali kosong sembari membentur-benturkan kepalanya ke
dinding kamarnya sehingga menciptakan suara dentuman pelan di dalam kamarnya.

Sejak kehilangan pendengarannya tadi siang, dirinya seakan berubah 180 derajat menjadi
orang yang lain. Selama pelajaran berlangsung pun ia hanya diam. Tidak mendengar maupun
berbicara apapun. Kini ia merasa seluruh hidupnya hancur ketika semua yang ia takutkan kini
sudah menjadi kenyataan.

Perlahan setetes demi setetes air mata mulai bergulir kembali di pipinya. Tapi walaupun
begitu, ekspresi wajahnya tetap datar dan tidak berhenti-hentinya membenturkan kepalanya
di tembok.

***

Kazuya sendiri juga duduk diam di kamarnya yang senyap. Ia masih belum percaya dengan
apa yang menimpa Akino tadi pagi. Apakah dia serius dengan apa yang diucapkannya? Atau
hal itu hanyalah bohongan belaka? Mana yang harus ia percaya?

Kazuya masih bingung dengan semua yang terjadi. Ia mengerang pelan sambil menarik
rambutnya dengan kedua tangan untuk mengembalikan kesadarannya. Ia ingin memastikan
semuanya, sehingga kemudian ia meraih ponselnya yang berwarna biru tua metallic di atas
meja, dan menekan nomor ponsel Akino.

Ia menempelkan benda mati itu di daun telinganya menunggu jawaban dari Akino. Nihil.
Tidak ada jawaban. Ia mencoba sekali lagi, hingga berulang-ulang kali. Tapi, hasilnya sama
saja. Ia sama sekali tidak mendengar jawaban apapun. Apakah ini berarti, apa yang terjadi
tadi pagi bukanlah mimpi? Bahwa kini Akino telah kehilangan pendengarannya?

***

Malam berganti pagi, dimana Kazuya kini sudah berada di dalam kelasnya. Ia terlihat sedang
terpekur memandangi langit di luar sana yang sedang mendung. Gemuruh pelan terdengar
dari balik awan pekat yang gelap itu. Dan angin bertiup agak kencang menerpa pepohonan di
luar sana dan menjatuhkan ratusan daun dari pohon momiji yang berwarna merah
kecokelatan. Terlihat di bawah sana murid-murid mempercepat langkah mereka memasuki
gedung sekolah agar tidak basah oleh hujan yang sebentar lagi akan turun.

Sesekali Kazuya mengalihkan pandangannya ke gerbang sekolah dan berganti ke jam tangan
yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Sudah tersisa lima menit lagi hingga bel
tanda masuk akan berbunyi. Tapi.

Kazuya, mana Akino-chan? Dia tidak masuk hari ini? tanya Yamada yang sudah duduk di
samping mejanya.

Tidak tahu. Dia masih belum datang juga. jawab Kazuya singkat tanpa mengalihkan
pandangannya dari gerbang sekolah yang masih terbuka lebar.

Apa mungkin dia sedang sakit?

Aku tidak tahu. Dia tidak memberitahu apa-apa.

Kazuya terlihat semakin cemas karena Akino sama sekali tidak menampakkan dirinya hingga
bel tanda masuk kini telah berbunyi nyaring. Kenapa dia tidak masuk? Apakah karena
kejadian kemarin? Semua pertanyaan mengenai keberadaan Akino sekarang terus
berseliweran di otaknya.

***

Tik! Tik!

Jarum jam menciptakan irama yang teratur ketika berpindah tempat dari satu angka ke angka
lainnya. Suara itu terdengar menggema di dalam kamar yang sepi layaknya tidak ada
penghuni. Suara gemuruh dari langit serta suara angin yang berhembus menambah irama
pada jarum jam yang berjalan.

Langit mulai gelap. Setetes demi setetes air jatuh ke permukaan bumi secara perlahan, dan
kemudian semakin cepat sehingga menciptakan irama yang berantakan dan berisik. Kilat
menyambar sehingga membuat kamar yang sepi itu mendadak terang akan cahayanya yang
putih kebiruan menembus masuk melewati jendela kamar yang besar. Kilat itu kemudian
diikuti dengan suara gemuruh yang menyentak keras sehingga membuat jendela kamar itu
bergetar sesaat. Sontak Akino tersentak bangun dari tidurnya di pojok kamar. Dan ketika ia
bangun, kilat sekali lagi menyambar dan diikuti suara guntur yang amat keras.

Segera ia kemudian memeluk kedua lututnya dan membenamkan wajahnya diantara kedua
lututnya itu. Tubuhnya gemetar karena takut. Sesekali ia melirik ke sekitar kamarnya yang
gelap dan sunyi, serasa asing dengan lingkungan kamarnya yang sama sekali tidak berubah.
Melihat kasurnya yang menganggur, ia langsung merangkak menaiki kasurnya dan
menyembunyikan diri di balik selimutnya yang tebal.

Ayahgumamnya dalam hati. Hanya ayah yang teringat di benaknya kini ketika ia merasa
takut akan kesendirian. Hanya ayah, satu-satunya keluarga yang ia miliki sekarang. Akan
tetapi, cuplikan-cuplikan ketika ayahnya mengusirnya kembali terbayang di benaknya
sehingga membuatnya tidak bisa menahan air matanya. Ia mengelus pelan tangannya yang
ketika itu tersiram air panas dari teh yang ia suguhkan kepada ayahnya yang baru pulang
kerja. Mengingat lagi rasa perih yang ia dapatkan di kulitnya itu kini serasa tidak sebanding
dengan penderitaan yang ia alami sekarang ini.

Sudah sejak pulang sekolah kemarin ia meringkuk di dalam kamar, tepatnya di pojok
kamarnya yang tersudut. Sekalipun ia tidak menginjakkan kakinya keluar kamar sejak siang
kemarin. Bahkan ia tidak makan maupun untuk minum sekalipun. Tidak heran ia merasa
tenggorokannya kering sama seperti bibirnya yang kini kering dan pucat. Rasa lapar dan haus
yang ia rasa kini sepertinya lebih ringan dari kenyataan yang harus ia hadapi dalam sekejap.

Kembali ia menggigiti bibir bawahnya untuk menahan tangis, walaupun sebenarnya hal itu
tidak berhasil karena air matanya yang tidak dapat lagi dibendung. Kini sudah tidak ada
siapa-siapa lagi di sisinya. Bahkan Kazuya sekalipun, sahabat yang disukainya. Kazuya pasti
akan meninggalkannya ketika kemarin ia tahu tentang keadaannya. Jadi kini, untuk apa lagi

dia harus menampakkan diri di sekolah? Walau memang ia masih bisa pergi ke sekolah, apa
yang akan dia lakukan di sana? Duduk membisu?

Kazuya ucapnya di sela-sela tangisnya. Ia semakin histeris ketika lagi-lagi ia menyadari


bahwa ia bahkan tidak bisa mendengar suaranya sendiri. Bagaimana ini? Tuhan apa
salahku?

***

Pelajaran telah berlangsung dari lima belas menit yang lalu. Guru sejarah sedang
menerangkan penjelasannya di depan dengan suara yang lantang. Akan tetapi, suara guntur,
angin, dan hujan yang deras seakan sengaja meredam suara guru sejarah itu. Semua murid
terlihat serius untuk berusaha menangkap suara guru sejarah mereka, walaupun beberapa di
antaranya terlihat sibuk sendiri, terutama yang duduk di bangku belakang.

Kazuya sama sekali tidak memperhatikan pelajaran. Ia benar-benar cemas dengan keadaan
Akino sekarang. Apa yang harus ia perbuat? Bisakah dia melakukan sesuatu yang berguna
untuknya? Ia ragu. Apa yang bisa dilakukan oleh orang sepertinya?

Diam-diam ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel. Sesekali ia melirik ke Pak
Takagi yang asyik beradu dengan suara hujan sembari mencatat bagian-bagian penting dari
penjelasannya ke papan tulis. Segera ia memanfaatkan kesempatan itu untuk mengirim e-mail
kepada Akino yang tidak masuk sekolah hari itu.

To : Fujioka-chan
Jumat, 01 Oktober, 09.18
Akino-chan kau baik-baik saja kan? Kenapa tidak masuk sekolah? Aku khawatir

Kazuya menatap ponselnya nanar. Apakah Akino akan membalas e-mailnya? Apa yang
sedang dilakukannya sekarang? Apa mungkin kini dia sedang terbaring lemah di atas kasur?
Oh Tuhan ia sangat mengkhawatirkan gadis itu sekarang. Begitu khawatirnya dia hingga
mengerang kesal. Untung saja ketika itu hujan tengah turun dengan derasnya sehingga Pak
Takagi tidak mendengar erangannya yang akan dijadikannya sebagai alasan untuk
menendang Kazuya keluar dari kelasnya.

***

Hujan masih turun cukup deras ketika Kazuya berjalan pulang dari sekolah. Untung saja tadi
pagi dia membawa payung. Sesekali ia melirik ke arah ponselnya berharap agar ada balasan
e-mail yang masuk dari Akino. Ia mendesah keras ketika menyadari tidak ada balasan sama
sekali dari Akino sejak tadi pagi hingga jam tiga sekarang.

Kazuya! panggil Yamada dengan suara yang samar-samar karena diredam suara hujan dari
kejauhan. Kazuya berhenti dan berbalik memandangi Yamada yang berlarian ke arahnya.

Ada apa? tanya Kazuya.

Masih tidak ada kabar dari Akino-chan?

Kazuya mendesah pelan, kemudian menggelengkan kepalanya dua kali. Mereka diam
sejenak. Apa kau tahu sesuatu, Kazuya? tanya Yamada kemudian.

A-apa? Kazuya terlihat agak kaget ketika Yamada menanyainya dengan tatapan serius. Eeh tidak

Jangan bohong. Apa sesuatu terjadi padanya? tanya Yamada hati-hati.


Kazuya diam. Kenapa Yamada kelihatannya selalu tahu tentang pikirannya? Ia ragu untuk
memberitahukan kondisi Akino yang ia ketahui kemarin. Ia ingin mendapatkan saran dari
seseorang. Tapi ia takut jika Akino akan menanggung malu jika aibnya sekarang diketahui
orang lain. Ehm aku rasa kau tidak perlu tahu, Yamada maaf. ujar Kazuya kemudian
dan berjalan meninggalkan Yamada yang masih memandanginya dengan bingung.

Kazuya berjalan tanpa tujuan hingga akhirnya ia sampai di depan rumah Akino. Rumahnya
itu terlihat sangat tenang seakan tidak ada orang yang berada di dalam rumah itu. Di tatapnya
jendela-jendela rumah yang tertutup rapat.

Manakah yang merupakan kamar Akino? Apa yang sedang dilakukannya sekarang sampai
tidak masuk sekolah hari ini?
Pertanyaan-pertanyaan itu kemudian membawanya untuk menekan bel rumah itu. Hening.
Tidak ada jawaban. Ia menekan bel sekali lagi, hingga seseorang berbicara dari dalam rumah
melalui speaker yang terdapat di bawah bel rumah itu.

Maaf, dengan siapa?

Ee aku teman Fujioka. Apakah Fujioka ada di rumah? tanya Kazuya. Orang yang
menjawab bel rumah tadi diam. Hingga sesaat kemudian orang itu menjawab ya, dan
mempersilahkan Kazuya untuk masuk.

Kazuya meletakkan payungnya yang basah di tepi pintu, ketika pintu rumah dibukakan oleh
seorang pelayan laki-laki yang kira-kira berusia 20 tahunan. Ia mempersilahkan Kazuya
masuk dan menuntun Kazuya menuju kamar Akino yang terkunci rapat.

Nona masih belum keluar dari kemarin, tuan. Apakah tuan tahu apa yang terjadi pada nona
kami? tanya pelayan itu dengan cemas. Akan tetapi Kazuya tidak menjawab, melainkan
hanya menggeleng pelan. Ia kemudian mengetuk pintu beberapa kali sambil sesekali
memanggil Akino. Tidak ada jawaban. Kazuya tidak menyerah, ia terus mengetuk pintu dan
memanggil Akino hingga suara pecahan vas bunga terdengar dari dalam kamar Akino. Sontak
Kazuya dan pelayan yang berdiri di sampingnya itu kaget dan menggedor-gedor pintu dengan
keras. Akan tetapi tetap saja tidak ada jawaban.

Akhirnya, mau tidak mau Kazuya dan pelayan itu mendobrak pintu kamar Akino. Pada
dobrakan ketiga, pintu itu pun terbuka lebar dan mereka mendapati Akino sedang duduk
terperanjat di dekat vas bunga yang pecah.

Akino?! Kau tidak apa-apa? seru Kazuya sembari dengan cepat menghampiri Akino yang
tampaknya menangis ketakutan. Akino memandangi Kazuya dengan matanya yang sembab
dan cekung. Segera Akino memeluk Kazuya di depannya dan menangis histeris. Pelayan
Akino juga menghampiri Akino dan terus menghujani Akino dengan pertanyaan sepihak.
Bukannya Akino tidak mau menjawab. Akan tetapi karena ia tidak bisa mendengar
pertanyaan pelayannya itu.

Dengan pelan Kazuya menenangkan Akino dan memesan pelayan itu untuk membawakan
makanan atau minuman kepada pelayan itu. Dia menurut dan kemudian beranjak keluar dari
kamar Akino yang gelap dengan terburu-buru.
Setelah pelayan itu keluar, Kazuya kemudian membantu Akino untuk berdiri dan
menuntunnya ke tempat tidur. Tepat setelah Akino duduk di atas kasur, pelayan tadi datang
dan membawakan makanan dan minuman untuk Akino.

Kazuya menerima baki dengan makanan di atasnya sembari tersenyum tipis dan berterima
kasih. Pelayan itu tetap berdiri memandangi Akino yang masih menangis sesunggukan
dengan khawatir. Akan tetapi, Kazuya kemudian menyuruhnya untuk meninggalkan mereka
berdua. Awalnya pelayan itu ragu, akan tetapi akhirnya ia menurut ketika Kazuya melempar
senyum kepada pelayan itu.

Akino? panggil Kazuya pelan kepada Akino yang menyembunyikan wajahnya dengan
kedua tangannya. Akino kau tidak apa-apa? panggilnya lagi sembari menurunkan kedua
tangan Akino dari wajahnya. Dilihatnya wajah Akino yang terlihat kurus dan memucat.
Matanya merah, sembab dan terlihat lingkaran hitam di bawah matanya. Wajah Akino saat itu
terlihat cukup menyeramkan. Cukup menyeramkan untuk menakuti anak-anak berumur 5
tahun ke bawah.

Kazuya? gumam Akino pelan di sela-sela tangisnya.

Iya ini aku jawab Kazuya sambil tersenyum melihat kondisi Akino.

Aku aku takut, Kazuya aku takut kau akan menjauhiku aku suara Akino tercekat.
Ia tidak sanggup untuk melanjutkan kata-katanya. Di pukulnya dadanya yang terasa sakit
karena sedih dengan kepalan tinjunya yang mungil. Kazuya sedih melihat keadaan Akino
yang begitu terpuruk. Ia menahan tangan Akino yang masih memukuli dadanya. Ia membelai
pelan kepala Akino dan kemudian mengusap air mata yang jatuh dari. Dan tanpa ragu ia
membawa Akino yang lesu ke dalam pelukannya.

Tentu tidak, Akino-chan. Kau tidak perlu takut.

Hangat. Entah kenapa, seketika Akino merasa sekujur tubuhnya berubah tenang. Ia merasa
aman di pelukan Kazuya. Di balasnya pelukan Kazuya itu dengan melingkarkan kedua

tangannya di punggung Kazuya. Betapa ia merindukan sebuah kehangatan yang sudah lama
tidak ia rasakan selama bertahun-tahun.

***

Hujan telah mereda, dan hanya tersisa hujan gerimis yang jatuh. Sinar matahari mulai
menyeruak keluar dari awan mendung yang perlahan-lahan bergerak pergi. Kini Akino telah
terlelap dalam tidurnya. Sementara Kazuya masih duduk di samping Akino sambil
memandang lekat-lekat wajah Akino yang tengah tidur dan terlihat tenang.

Ia membalas genggaman tangan kanan Akino dengan tangan kirinya, sementara tangan
kanannya mengusap pelan wajah Akino. Ia menatapnya iba. Ternyata apa yang kemarin
terjadi pada Akino di hadapannya adalah kenyataan.
Bukanlah mimpi. Lalu apa yang bisa dilakukannya sekarang untuk Akino? Begitu kesalnya
dia ketika menyadari bahwa ia tidak bisa melakukan apa-apa. Ia pun mendesah pelan.

Kazuya beranjak dari tempatnya duduk, hendak menutup jendela kamar Akino dengan gorden
yang berwarna putih. Akan tetapi, genggaman Akino mendadak mengerat seakan tidak
mengijinkan Kazuya untuk pergi. Alhasil, Kazuya kembali duduk di atas kursinya dan
mengusap punggung tangan Akino yang halus.

Apa yang bisa kulakukan untukmu, Akino-chan? gumamnya pelan dengan suara yang
bergetar sembari kembali mengelus kepala Akino.

***

Four-Leaf Clover ~ bab 9


by Shiro Neko'shop on Saturday, 19 May 2012 at 12:46
Bab 9

Selamat siang! Apakah Akino ada di rumah? tanya Kazuya lewat speaker bel rumah milik
Akino kepada pelayan yang menjawab panggilan Kazuya dari luar rumah.

Ya, tuan. Silakan masuk. jawab pelayan itu dan kemudian terdengar suara bunyi kunci
otomatis pagar rumah itu terbuka. Kazuya kemudian mendorong pagar itu hingga terbuka dan
memasuki lingkungan rumah Akino yang luas. Ia berjalan sembari memikul tas sekolah di
bahu kanannya dan tanpa terasa ia telah sampai di depan pintu depan rumah Akino yang
besar.

Ia kemudian masuk dengan membuntuti pelayan yang membukakan pintu untuknya untuk
menuju ke kamar Akino. Pelayan itu tidak berkata apa-apa sampai Kazuya bertanya apakah
Akino sudah makan siang. Pelayan itu menjawab dengan ramah dan hormat kepada Kazuya
yang padahal lebih muda darinya, bahwa Akino bahkan belum menyentuh sarapannya.

Apa? Dia belum sarapan dari pagi? Kalau begitu, tolong siapkan bubur untuknya, ya. Biar
aku yang akan membujuknya untuk makan.

Baik, tuan. jawab pelayan itu sambil tersenyum dan kemudian pergi setelah
membungkukkan badan kepada Kazuya yang kemudian juga membalasnya dengan
membungkuk kecil. Kazuya kemudian berbalik ke arah pintu kamar Akino yang tertutup
tepat di depannya. Ia memutar gagang pintu dan kemudian melangkah masuk pelan-pelan,
seakan tidak ingin mengganggu orang yang ada di dalam ruangan itu.

Terlihat Akino sedang duduk diam di atas kasur sambil memeluk boneka teddy bear berwarna
coklat mudanya yang
lembut, tanpa berbuat lebih. Baru saja Kazuya menutup pintu kamar, Akino yang seakan tahu
seseorang masuk ke kamarnya langsung menoleh ke arah pintu. Senyumnya sontak merekah
ketika melihat orang yang berdiri di ambang pintu adalah Kazuya. Segera ia turun dari
kasurnya dan berlari ke arah Kazuya yang tersenyum padanya. Dipeluknya tubuh yang lebih
tinggi darinya itu dengan erat. Sontak Kazuya agak terkejut melihat tingkah Akino yang
layaknya anak kecil yang baru saja bertemu dengan orang tuanya yang baru pulang dari luar
kota.

Kazuya. Akhirnya kau datang! serunya gembira dengan Kazuya yang masih berada di
pelukannya. Ia bisa merasakan tubuhnya hangat ketika memeluk Kazuya, sahabatnya. Ia juga
bisa merasakan jantungnya berdetak tidak karuan ketika berada di dekat Kazuya.

Kazuya mengelus pelan rambut Akino yang berwarna coklat panjang yang halus di depannya.
Akino menengadahkan kepalanya sembari memamerkan deretan giginya yang putih bersih
dan rapi kepada Kazuya yang berada sangat dekat dengannya. Kazuya tersenyum dengan
sinar mata yang teduh dan menenangkan. Ia terlihat begitu ramah dan dewasa ketika
tersenyum seperti itu.

Kenapa tidak makan? tanya Kazuya dengan menggerakkan bibirnya perlahan agar Akino
bisa membaca maksud dari perkataannya. Akino diam dan berusaha mencerna apa yang
dikatakan Kazuya. Melihat Akino yang kebingungan, ia kemudian mengambil sebuah buku
kecil yang kira-kira berisi dua puluh lembar kertas di dalamnya, serta sebuah pen.

Kazuya menulis di atas halaman pertama buku itu dan kemudian menunjukkan isi buku itu
kepada Akino. Akino tersenyum mengerti, Aku tidak lapar jawabnya santai. Kazuya
mendesah keras menghadapi sifat Akino yang selalu pura-pura tegar dan keras kepala. Ia
kemudian kembali menulis di bawah tulisan tadi dan kemudian menunjukkan kembali isinya
sambil mengucapkannya kepada Akino.

Jangan bohong. Kau ini belum makan dari pagi. Mana mungkin tidak lapar. Kalau begini
terus kau bisa sakit, Akino-chan kata Kazuya mengulangi apa yang tertulis di atas buku
itu.

Akino menggeleng kuat, Aku tidak bohong kok! ujarnya manyun sambil berjalan ke arah
kasurnya dan duduk di atasnya.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar. Kazuya kemudian membukakan
pintu dan mendapati pelayan yang tadi disuruhnya membawa makan siang kepada
majikannya itu tengah berdiri di depan pintu sambil membawa nampan dengan makanan dan
minuman di atasnya. Kazuya menerima nampan itu seraya tersenyum penuh terima kasih, dan
pelayan itu pun pergi. Kazuya menutup pintu, dan kemudian membawa nampan itu kepada
Akino yang sudah duduk di atas kasur.

Kau-harus-makan! kata Kazuya sambil mengeja pelan kalimat yang diucapkannya.

Aku tidak lapar, Kazuya-kun. tolak Akino dengan nada memelas. Kazuya melipat kedua
tangannya di depan dada dengan tampang tidak senang. Akino menunduk dan kemudian
menuruti keinginan Kazuya.

Baik, baik. Aku bohong. Aku lapar sekali ujar Akino tanpa memandangi Kazuya.
Kazuya tersenyum menang dan kemudian duduk di atas kursi kecil sembari mengambil
mangkuk berisikan bubur dari atas nampan yang tadi ia taruh di atas meja kecil di samping
kasur. Kazuya meraih sendok di samping mangkuk dan kemudian menyendoki isi mangkuk
itu dan meniup pelan bubur yang masih panas itu.

Betapa tersentuhnya Akino ternyata Kazuya begitu memerhatikannya. Ia merasa sangat


menyesal karena telah berpikir yang tidak-tidak bahwa Kazuya akan meninggalkannya begitu
saja ketika tahu dia telah menjadi seorang tunarungu.
Matanya berkaca-kaca ketika ia mengunyah pelan bubur yang baru saja disuapi Kazuya
padanya.

Panas sekali! Lihat, air mataku hampir saja keluar! ujar Akino yang takut Kazuya
menyadari bahwa ia hampir menangis. Kazuya tahu Akino hanya sedang mencari alasan, tapi
ia lebih memilih diam, tidak ingin membahasnya lebih lanjut.

Oh ya? Maaf aku akan meniupnya lagi agar lebih dingin. jawab Kazuya masih dengan
mengeja satu persatu kata-katanya agar terbaca jelas oleh Akino. Akino tertawa dan
mengangguk mengerti dengan apa yang dikatakan Kazuya.

***

Kau tidak mau sekolah? tanya Kazuya ketika Akino telah selesai melahap makanannya.
Akino menunduk lesu ketika mengerti apa yang baru saja dikatakan Kazuya. Ia menggeleng
pelan dan ragu.

Aku tidak tahu aku takut juga malu dengan keadaanku sekarang. Aku sudah tidak
bisa mendengar sekarang. Lalu, bagaimana caranya aku mengikuti pelajaran nanti?
Bagaimana jika ada orang yang mengajakku bicara nanti? Apakah aku bisa menjawab
pertanyaan mereka? Aku ragu. ujarnya sedih. Kazuya diam, dan beberapa menit kemudian
ia mengangkat wajah Akino yang tertunduk lesu ke arahnya.

Lihatlah. kata Kazuya sembari menunjuk bibirnya. Akino memandangnya heran tanpa
berkata apa-apa. ulangi apa yang aku katakan. kata Kazuya.

Akino masih diam sejenak berusaha menangkap apa yang dikatakan Kazuya kepadanya.
Lihat aku ulangi apa yang aku katakan? ulang Akino dengan ragu. Kazuya
mengangguk mantap dan kembali berbicara.

Aku pasti bisa. Aku Fujioka Akino pasti bisa melewati ini semua.

Akino memandangi setiap gerakan pada bibir Kazuya, dan kemudian mengulangi apa yang
dikatakan Kazuya. Senyumnya perlahan-lahan merekah seiring merasa kepercayaan pada
dirinya mulai timbul.

Panggil saja aku kapanpun kau merasa kesulitan. Karena aku akan selalu membantumu
kapanpun, dan selama aku mampu untuk melakukannya. Okay?

Akino terharu. Matanya kembali berkaca-kaca. Ia tersenyum penuh syukur karena Tuhan
telah memberi sahabat seperti Kazuya di sisinya. Padahal Kazuya selalu membantunya, tapi
ia baru menyadarinya sekarang. Betapa gembiranya ia hingga kembali memeluk tubuh
Kazuya di hadapannya itu. Kazuya membalas pelukan itu dengan menepuk-nepuk pelan
punggung Akino yang mulai bergetar.

Terima kasih, Kazuya-kun.

Iya

Oh, iya! Aku punya permintaan. kata Akino tiba-tiba dan menatap Kazuya lekat-lekat.
Kazuya mengangkat sebelah alisnya dengan heran. Bisakah kau merahasiakannya dari
semua orang? Termasuk pelayan di rumahku dan ayahku?

Kenapa ayahmu juga?

Aku tidak mau dia tahu. Aku tidak mau merepotkannya. Aku tidak mau kalau harus
dimarahi lagi oleh ayah. Aku ingin ayah hidup senang. Tanpa gangguan dariku bisa kan?

Kazuya terperangah. Ia diam karena tidak pernah menyangka Akino akan berpikiran seperti
itu terhadap ayahnya. Sebenarnya apa yang terjadi di antara mereka berdua? Ia ingin tahu,
akan tetapi walaupun bertanya kepada Akino, ia tidak akan mendapatkan apa-apa. Karena
bahkan Akino sendiri tidak tahu dengan apa yang terjadi. Akhirnya Kazuya mengangguk
mantap, dan berjanji kepada Akino untuk merahasiakannya dari siapapun.

Baik. Aku berjanji. ujarnya singkat.

Benarkah?

Kazuya tersenyum dan mengacungkan jari kelingkingnya ke arah Akino. Akino pun
menyambutnya dengan mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Kazuya sebagai
tanpa pengikat janji di antara mereka berdua.

***

Langit begitu cerah hari ini. Pagi-pagi sekali, Akino sudah siap dengan seragam musim
gugurnya. Rambutnya disisir dengan rapi dan diikat kuncir kuda dengan pita merah. Awalnya
ia ragu ketika memutuskan untuk pergi ke sekolah. Akan tetapi, kata-kata Kazuya kemarin
seakan telah menghipnotis dirinya sehingga rasa percaya dirinya kembali muncul.

Akino kemudian mengenakan syal merah kecoklatan dengan motif kotak-kotak kesukaannya.
Dan dengan mantap ia melangkahkan kaki untuk segera berangkat ke sekolah. Pelayan
rumahnya menyambutnya di ambang pintu depan dan dengan hormat membukakan pintu
untuk majikannya itu. Ia berjalan membuang beban, tanpa ada lagi keraguan.

Dibukanya pagar rumahnya dan kemudian melangkah keluar, sembari menyapa indahnya
musim gugur kesukaannya itu. Akino terperanjat kaget ketika ia mendapati Kazuya telah

berdiri di samping pagar rumahnya lengkap dengan seragam dan syal untuk menghangatkan
dirinya.

Kazuya? Kenapa bisa ada di sini? Sudah berapa lama kau di sini?? tanya Akino yang masih
kaget. Matanya yang indah membulat memandangi sahabatnya yang kini tersenyum penuh
pesona ke arahnya. Oh sudah lama senyum ini membuat jantungnya berdegup kencang dan
membuat wajahnya begitu merah karena malu.

Kazuya mengacungkan jari telunjuknya ke depan bibirnya dengan kedipan mata yang nakal,
Mulai hari ini, aku akan mengantarmu ke sekolah. Dan ketika pulang, aku akan
mengantarmu pulang ke rumah.

Eh?! U-untuk apa seperti itu? Aku kan bisa pulang dan pergi sendiri! ujar Akino terbatabata dengan wajah yang semakin memerah.

Sudahlah. Ayo pergi. ajaknya sembari kembali menebar senyum. Oh Tuhan apakah
Kazuya adalah malaikat yang sengaja Kau kirimkan padaku? Betapa baik hatinya dia.
Apakah aku berhak untuk menyukainya?

Akino kemudian membuntuti Kazuya yang sudah berjalan mendahuluinya dengan gembira,
sembari menggenggam tangan kanan Kazuya yang sedari tadi menganggur dengan tangan
kiri kecilnya.

***

Kazuya dan Akino masuk berbarengan ke dalam kelas yang sudah cukup ramai dengan
murid-murid yang lain. Ada yang duduk bergerombol, ada yang sedang menghapus papan
tulis yang terukir kapur-kapur tulis yang berwarna putih, ada yang terlihat duduk diam
sembari mengerjakan tugas, bahkan ada pula yang anak laki-laki yang duduk di atas meja
guru dan bercanda dengan pacarnya.

Akino seakan merasa asing dengan kelasnya itu melangkah masuk dengan ragu, membuntuti
Kazuya yang berjalan tenang tanpa beban menuju bangkunya. Sampai di bangkunya yang

kosong sejak kemarin, Akino meletakkan tas sekolahnya dan duduk sembari melempar
pandangannya ke luar jendela. Sejauh ini semuanya berjalan dengan lancar, pikirnya.

Akino tersadar dari lamunannya, ketika Kazuya dengan sengaja menyolek bahu kanannya. Ia
berbalik dan mendapati Kazuya yang duduk di belakangnya itu menyodorkan sebuah buku
tulis. Akino memiringkan kepalanya tak mengerti.

Apa ini?

Tugas dari Pak Suzuki. Aku lupa memberitahumu kemarin. Untuk sementara kau catat saja
pekerjaanku. ujar Kazuya dengan wajah yang ditopangnya dengan tangan kiri. Akino
menerimanya sambil berterima kasih. Dan dengan cepat ia mengeluarkan buku tulisnya untuk
segera mengerjakan tugas matematika itu, karena tidak lama lagi, bel tanda masuk akan
segera berbunyi.

***

Akino mengikuti pelajaran seperti biasanya. Akan tetapi ia cukup kesulitan untuk menangkap
materi yang disampaikan karena terkadang gurunya itu harus membelakanginya ketika akan
menulis di papan tulis. Bila hal itu terjadi, dia tidak bisa melihat gerakan bibir gurunya untuk
menangkap maksud dari guru itu.

Tapi ia masih beruntung karena ia mengerti dengan materi-materi yang dituliskan di papan
tulis. Ya, karena memang dia adalah anak yang cukup pintar di kelasnya. Posisi juara kedua
setelah Kazuya membuatnya lebih bersyukur dengan kepintaran yang diberikan Tuhan
padanya.

Teng! Bel tanda pergantian pelajaran berbunyi. Akino menghela napas panjang sembari
membereskan buku-buku pelajaran matematikanya dan menukarnya dengan pelajaran sains
yang akan segera dimulai setelah ini. Kembali Kazuya menyolek bahu kanan Akino sehingga
Akino segera mengalihkan pandangannya ke Kazuya.

Bagaimana? Berjalan cukup lancar kan? tanya Kazuya agak cemas. Akino tersenyum dan
mengacungkan jempolnya kepada Kazuya.

Iya. Cukup lancar, berkatmu!

Baguslah kalau begitu. Kalau ada yang tidak kau mengerti, tanyakan saja padaku.

Roger, boss! canda Akino dengan mantap untuk menghapus rasa cemas di hati Kazuya
terhadapnya.

***

Bel tanda istirahat telah berbunyi dari lima menit yang lalu. Kini Akino sedang mengunyah
rotinya di pekarangan belakang sekolahnya yang ditanami pohon khas musim gugur
favoritnya. Pohon momiji. Sekolahnya memang dikelilingi pepohonan sehingga terasa
rindang. Di sisi kiri dan kanan sekolahnya itu di tanami pohon sakura, dan di pekarangan
belakang sekolahnya, adalah tempat khusus ditanami pohon momiji.

Akino menyukai tempat itu. selain karena rindang dan indah, tempat itu juga cukup tenang
untuk dijadikan tempat beristirahat setelah kepenatan yang menyelimuti pikirannya ketika
pelajaran berlangsung dari pagi hari tadi.

Akino duduk di atas bangku panjang yang dicat berwarna putih yang sudah kusam sambil
menendang-nendang pelan kakinya ke arah daun-daun momiji yang tergeletak di atas tanah.
Sesekali ia menyeruput cappuccino hangat yang ia beli di kantin bersamaan dengan roti yang
kini telah berakhir di dalam perutnya.

Ia menggoyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan dengan tatapan kosong ke arah lautan
dedaunan berwarna cokelat kemerahan yang tengah jatuh perlahan-lahan secara bergantian
ketika angin musim gugur yang sejuk menerpa. Semenit kemudian ia menegakkan tubuhnya
ketika ia melihat Kazuya sedang berjalan ke arahnya duduk. Ia melempar senyum kepada
Kazuya sambil tidak berhenti menyeruput cappuccino dari gelasnya.

Tumben kau tidak membaca novel? tanya Kazuya ketika sudah menjatuhkan dirinya ke
atas bangku panjang tempat Akino kini tengah duduk.

Aku belum sempat membeli yang baru. jawab Akino kepada lawan bicaranya yang tengah
memutar-mutar daun momiji berwarna merah di tangannya.

Apa tadi kau masih mendapat kesulitan untuk menangkap penjelasan guru? Materinya
cukup rumit tadi.
Akino diam sejenak dan menatapi minuman di genggaman tangannya dengan nanar. Yah
mau bagaimana lagi sekarang aku sudah tidak bisa mendengar. Yang bisa kuandalkan
sekarang hanyalah mata. Itu juga berkatmu. Kalau kau tidak memberitahuku, mungkin
sekarang aku masih duduk di pojokan kamarku. ujarnya seraya tertawa kecil. Akino
mengangkat wajahnya dan memandangi wajah Kazuya yang menatapnya dengan cemas.

Sudahlah, tenang saja. Aku hanya belum cukup terbiasa lama kelamaan aku juga akan
berhasil mengatasinya. Itupun selama kau masih mau membantuku. lanjutnya lagi.
Mendengar itu, Kazuya menghela napas lega. Tentu saja.

Kazuya-kun

Hm?

Kau tidak akan pernah meninggalkan aku kan? Walaupun sekarang aku sudah
menjadi tunarungu? tanya Akino dengan raut wajah yang sedih dan harap-harap cemas.
Sontak Kazuya terperanjat dengan pertanyaan Akino yang mendadak itu. Akan tetapi
kemudian, Kazuya mengangkat tangannya dan menepuk pelan kepala Akino.

Tentu saja tidak, Akino-chan. Memangnya kenapa kalau sekarang kau sudah tidak bisa
mendengar? Yang penting kau tetap Akino-chan kan tenang saja. Aku bukan orang yang
setega itu meninggalkan temanku hanya karena masalah ini. Justru malah aku ingin lebih
banyak membantu. hibur Kazuya. Entah kenapa, kata-kata yang diucapkan oleh Kazuya itu
selalu berhasil membuat jantung Akino berdegup kencang, akan tetapi dari sisi lain, ia merasa
hatinya hangat dan tenang. Apa mungkin karena cinta?

Kazuya tersenyum lembut, dan dibalas dengan senyum malu dari Akino. Begitu malunya dia
hingga dia tidak berani menatap sepasang mata coklat di depannya.

Mereka berdua hanya asyik mengobrol sepanjang jam istirahat tanpa memerhatikan keadaan
sekitar mereka. Mereka bahkan tidak menyadari seseorang ternyata sedang mengamati, tidak
jauh dari tempat Kazuya dan Akino sedang duduk.

***

Akino meletakkan tasnya di atas kursinya dan kembali keluar dari kamarnya. Ia berjalan
menaiki lantai dua rumahnya dan berbelok keluar dari sebuah pintu menuju ke balkon
rumahnya. Seperti biasa ia selalu menaiki atap rumahnya yang menghadap ke halaman
rumahnya.

Ia duduk di atasnya tanpa bersuara. Mencoba untuk menenangkan diri setelah lelah belajar di
sekolah. Ini pertama kalinya ia merasa tegang, kesulitan serta lelah dalam belajar. Berhubung
karena kini ia harus sangat fokus kepada guru jika tidak ingin ketinggalan pelajaran.

Ia menarik pita merah yang mengikat rambutnya sehingga rambut cokelatnya itu tergerai ke
bawah. Ia menekuk kedua kakinya dan memeluk kedua kakinya itu sembari menopang
dagunya di atas lutut. Ia memejamkan matanya menikmati suhu sejuk di hari itu. Ia masih
merasa bahwa semua ini adalah mimpi. Merasa bahwa sekarang ia masih tertidur dengan
sangat pulas. Akan tetapi ia tahu. Semua adalah kenyataan. Dimana mau tidak mau dia harus
menerima kenyataan yang pahit itu.

Tidak apa-apa. Semuanya pasti akan berjalan lancar seperti hari ini juga. Akan berjalan lancar
selama ada Kazuya di sampingku yang selalu mendukungku, pikirnya.

***

Hari ini Akino berangkat ke sekolah sendirian setelah menyuruh Kazuya untuk berangkat
duluan. Ia berjalan dengan langkah ringan di lorong sekolah menuju ke kelasnya, kelas 3-3.
Lorong sekolahnya terlihat ramai dengan murid-murid yang berdiri berdua, bertiga, maupun
bergerombol.

Ia merasa ada sesuatu yang mengganggunya sepanjang ia berjalan di lorong sekolah itu.
Semua orang terlihat berbisik, dan tatapan mereka yang tertuju pada dirinya. Sepertinya,
mereka sedang membicarakanku?

Mereka memandang Akino dengan pandangan merendahkan. Ada dari mereka yang mencibir
bahkan dengan blak-blakkan langsung menghadangnya dan mengejeknya. Mereka tertawa
ketika Akino memandanginya dengan tatapan heran. Apa yang sebenarnya terjadi?

Dan tiba-tiba seorang anak laki-laki yang kelihatannya juga berasal dari kelas tiga,
menghadang jalan Akino.

Hoo inikah gadis yang sekarang mendadak berubah menjadi seorang selebritis?!
Kelihatannya dia memang pantas mendapatkannya ya! Benar kan? serunya di depan semua
orang. Termasuk di depan Akino yang memandanginya dengan penuh kebingungan. Ia
berusaha menangkap apa yang dibicarakan laki-laki bernama Sawabe Ryohei itu.

Jadi ucapnya sembari mendekatkan wajahnya yang tersenyum licik itu ke arah Akino.
kau sekarang adalah seorang yang tuli, heh? katanya. Sontak wajah Akino memucat dan
keringat dingin mengucur dari seluruh tubuhnya. Bagaimana dia bisa tahu? Bagaimana
mereka semua bisa tahu?! Melihat reaksi Akino yang berubah, Sawabe Ryohei sontak tertawa
lantang, diikuti dengan tawa ejekan dari murid-murid lain yang kini melihat Akino layaknya
seorang badut.

Apa yang kau mau? ujar Akino berusaha untuk tenang.

Oh? anak itu berhenti tertawa dan menatap tajam ke arah Akino. Kau mengerti apa yang
sedang aku bicarakan? Wah sebuah keajaiban, seorang tunarungu sepertimu bisa mengerti
apa yang sedang aku bicarakan. Apa mungkin kau sekarang sedang sengaja memintal cerita
ini untuk membuatmu menjadi selebriti di sekolah ini?

Aku tidak punya masalah denganmu. Jadi jangan ganggu aku.

Lancang! serunya sembari menarik rambut Akino yang tergerai dengan kuat. Akino
merintih kesakitan, tapi tetap berusaha untuk menahannya. heh, cewek tuli. Lebih baik

perhatikan sikapmu. Orang cacat sepertimu tidak layak untuk berada di sini. Lebih baik kau
segera mengangkat kaki dari sini. Jangan sampai mempermalukan sekolah ini, heh? hinanya
lagi dengan lebih tajam sehingga membuat mata Akino mulai berkaca-kaca karena ia merasa
seakan ada pedang tajam yang menghujam hatinya. Sakit.

Belum sempat Akino berbicara, seseorang dari belakang Ryohei menarik bahunya secara
kasar dan langsung menghantamkan tinjunya tepat di pipi kanan Ryohei. Sontak Ryohei
terjerembab ke belakang sambil merintih kesakitan.

Kurang ajar kau! makinya dengan murka sembari menatap tajam ke orang yang baru saja
meninjunya itu. Jangan sok menjadi pahlawan di sini ya, Yamamoto Kazuya!

Kazuya?

Kau juga. Jangan sok menjadi preman di sekolah jika kau hanya bisa mengganggu yang
lemah. ujar Kazuya dengan nada rendah. Akino bersembunyi di balik punggung Kazuya
sambil menatap wajah Kazuya di depannya. Ini pertama kalinya ia melihat Kazuya begitu
marah. Tatapannya tajam dan mengerikan. Tidak pernah ia sangka, Kazuya yang selama ini ia
kenal begitu ramah bisa marah seperti itu.

Kalau kau ingin menjadi seorang tokoh antagonis di sekolah ini, atau menjadi jagoan, lebih
baik kau cari lawan yang tangguh. Ajak dia berkelahi, dan bila kau menang, kau baru berhak
menyandang posisi sebagai orang terkuat di sekolah ini. Kalau menyandang posisi itu dengan
cara mengerjai yang lemah, tidakkah kau malu, Sawabe? kata Kazuya sambil tersenyum
sinis.

Jadi, apakah itu menandakan kau kuat, heh? Kalau kau memang jagoan, aku bisa saja
meladenimu. Lihat saja siapa yang lebih hebat di sini. tantang Ryohei.

Mendengar tantangan itu, Kazuya malah tertawa kecil dengan nada mengejek. Oh tidak,
Sawabe. Kalau kau memang ingin mengajak berkelahi, carilah perampok, ketua gank atau
sejenisnya di luar sana. Berkelahi denganku tidak akan menghasilkan apa-apa. Justru kau
akan mendapatkan skors dari kepala sekolah. Dan orangtuamu akan mendapatkan malu
karena itu. Apa kau mau hal itu terjadi?

Kurang ajar! serunya murka. Kata-kata Kazuya ternyata tidak memberikan efek sama
sekali. Hal itu malah membuat Ryohei semakin memanas dan kini menerjang Kazuya. Akino
menjerit ketika Ryohei melayangkan tinjunya ke arah Kazuya. Akan tetapi, waktu seakan
melambat, dan Akino melihat dengan jelas bagaimana Kazuya menangkisnya dan kemudian
menangkap tinju Ryohei itu. Kazuya memutarbalikkan tubuh Ryohei dengan posisi tangan
kanannya yang terlipat di balik punggung. Semua orang di sana terkejut melihat apa yang
terjadi. Tidak ada satupun yang bersuara maupun bergerak.

Sawabe Ryohei mengerang sakit ketika Kazuya mencengkeram lengan Ryohei dengan kuat.
Lepaskan aku! teriaknya sembari meronta-ronta.

Camkan ini baik-baik di otakmu, Sawabe Ryohei. Jangan pernah lagi kau mengganggu
Fujioka Akino jika kau tidak mau dikeluarkan dari sekolah. ancam dengan nada rendah
sehingga membuat Ryohei yang mendengarnya merasa bulu kuduknya berdiri.

Selesai berkata seperti itu, Kazuya melepaskan tangannya dari lengan Ryohei dengan kasar,
dan membawa Akino pergi dari tempat itu. Masih dengan perasaan takut dan bingung, Akino
membiarkan dirinya dibawa pergi oleh Kazuya.

***

Kazuya-kun, darimana kau belajar berkelahi? tanya Akino dengan tatapan penuh curiga
ketika mereka sedang berada di atap sekolah.

Hei begitukah reaksimu kepada orang yang telah menolongmu? balas Kazuya dengan
raut wajah yang merasa tersinggung.

Bu-bukan begitu. Selama ini aku menganggapmu orang yang ramah dan lembut. Tapi tadi
tiba-tiba kau seperti berubah menjadi orang lain. Beritahu aku, darimana kau belajar
berkelahi? Aku tidak akan memaafkanmu kalau ternyata kau bergabung dengan sebuah
komplotan penjahat atau sejenisnya yang sering membuat kekacauan. ancam Akino masih
dengan tatapan penuh curiga. Diliriknya Kazuya dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan
tatapan menyelidik. Seketika Kazuya tertawa mendengar analisis Akino yang terdengar
sangat berlebihan.

Bodoh. Mana mungkin aku terlibat dengan hal seperti itu. Aku mempelajari bela diri dari
ayahku. Ayahku mengajariku aikido[1] dan karate[2] ketika aku duduk di bangku SMP. jelas
Kazuya.

Aikido dan karate?! Ayahmu yang mengajarimu?! Wah aku bahkan belum tahu tentang
hal itu! Keren! Jangan-jangan ayahmu dulunya seorang pendekar atau sejenisnya ya? seru
Akino dengan mata yang berbinar-binar penuh minat. Kazuya memandanginya dengan heran,
apa yang membuatnya terlihat begitu antusias? Padahal baru saja di mengancamnya agar
tidak terlibat apapun dengan hal seperti berkelahi.

Kenapa antusias begitu? Ada yang menarik ya? Padahal baru semenit yang lalu kau
mengancamku untuk tidak berhubungan dengan hal seperti itu. ujar Kazuya.

Yah selama itu bukan hal yang negatif kan tidak apa-apa. ujar Akino manyun. Beberapa
detik kemudian raut wajah Akino langsung berubah murung. Tapi darimana mereka tahu
hal tentangku? gumamnya pelan. Apa mulai hari ini aku akan melanjutkan hariku dengan
keadaan seperti ini, dimana semua orang telah tahu apa yang terjadi?

Kazuya menatap Akino prihatin. Ia bingung harus mengatakan apa. Dia sendiri juga masih
bertanya-tanya, darimana mereka tahu tentang hal yang harusnya disembunyikan Akino dari
semua orang. Dan bagaimana bisa hal itu langsung tersebar begitu saja dalam semalam?

Kembali Kazuya mengangkat tangannya dan menaruhnya di atas kepala Akino dan
mengusapnya dengan lembut. Akino mengangkat wajah polosnya menghadap Kazuya yang
berada di hadapannya. Tangannya yang besar kini sedang mengusap kepalaku dengan lembut.
Semakin lama, kelembutannya padaku terasa semakin mirip dengan ayah

Tenang saja. Kan aku sudah bilang kalau aku akan selalu berada di sampingmu dan
membantumu apapun yang terjadi. Semuanya akan baik-baik saja.

Akino mengangguk sambil tersenyum senang kepada Kazuya yang membalasnya dengan
anggukan kecil.

***

Four-Leaf Clover Bab 11 part 1


by Shiro Neko'shop on Monday, 28 May 2012 at 17:33
Bab 11 part 1

Kenapa tulisannya kabur begini? gumam Akino ketika sedang membaca novel barunya di
dalam kamarnya yang tenang. Akino melepaskan kacamatanya seraya mengambil kain putih
yang terdapat di dalam kotak kacamata bacanya. Diusapkannya beberapa kali ke kedua kaca
itu sehingga menjadi lebih bersih. Setelah bersih, ia pun kembali mengenakan kacamata itu
dan melanjutkan bacaannya.
Beberapa kemudian dia merasakan sesuatu yang aneh dari dalam tubuhnya. Ia menekan
perutnya dan membekap mulutnya dengan tangannya sendiri. Segera ia bangkit dari
tempatnya duduk dan berlari dengan tergopoh-gopoh menuju kamar mandi. Akino merasakan
seluruh makanan yang ia makan di hari itu ingin menyeruak keluar dari dalam perutnya. Tapi
pada akhirnya tidak ada yang berhasil dimuntahkannya. Ia menepuk-nepuk kedua pipinya
untuk mengembalikan kesadarannya.
Setelah keluar dari kamar mandi, ia meraih gelas berisi air putih yang ia letakkan di atas meja
belajarnya. Diteguknya air putih itu hingga habis dan menghela napas lega. Seiring
berjalannya musim dingin yang menusuk tulang itu, Akino dapat merasakan tubuhnya terasa
tidak fit. Ia jadi mudah lelah dan pusing serta sakit kepala. Maka hampir tiap hari ia harus
menelan obat sakit kepala.
Hah kenapa musim dingin tahun ini menjadi begitu menyebalkan? gumamnya sambil
memandangi salju yang turun perlahan-lahan di luar jendelanya. Ia merasakan perlahan-lahan
salju yang melayang-layang di depannya itu terlihat samar-samar hingga terlihat sebagai
sesuatu yang klise dan tidak nyata.
Akino memutar tubuhnya dan kembali duduk di atas kursi di dekatnya, menghadap langsung
ke meja belajarnya. Diraihnya lagi buku novelnya dan kembali membaca. Akan tetapi,
beberapa menit kemudian ia menutup buku itu dengan kasar dan mengambil buku diary dari
laci mejanya.
Seperti biasa ia mengambil kunci di sudut meja belajarnya dan membuka segel buku itu.
Ditariknya pen yang terselip di punggung buku itu dan mulai menulis.

Musim dingin, Kamis 12 Desember, turun salju

Cuaca semakin dingin saja di musim dingin tahun ini. Dan aku merasa tubuhku jadi mudah
lelah karena dinginnya cuaca. Oh Tuhan jangan sampai aku masuk angin akan susah
bagiku nanti jika harus ketinggalan pelajaran dan mengejar ketinggalan-ketinggalan itu

dalam waktu singkat. Ya memang aku bisa meminta bantuan dari Kazuya tapi seperti
yang sudah aku ketahui dia sudah bersama gadis lain. Mana mungkin aku terus menempel
padanya. Aku masih punya harga diri. Memang sulit. Tapi mau tidak mau, aku harus
menjaga jarak.
Sekitar dua minggu lagi, ulang tahun Kazuya akan segera datang. Sampai sekarang, aku
masih terbayang ketika tahun lalu aku dan Kazuya pergi mengelilingi kota Harajuku untuk
merayakan hari ulang tahunnya. Apa tahun ini aku masih bisa merayakan ulang tahunnya
bersama?
Tsukishima Airi kenapa dia harus muncul diantara kami? Apakah ini cara-Mu untuk
menjauhkan aku dengan Kazuya? Sungguh aku sangat menyukainya tak bisakah aku
mengenalnya dengan lebih dekat?
Akino menutup buku itu dan kembali menguncinya. Rasa kantuk menyelimutinya, dan itu
menandakan ia harus segera tidur.

***

Kazuya tidak mengalihkan matanya walaupun semenit dari sosok gadis yang kini duduk di
depannya. Rambutnya yang bergelombang dan berwarna cokelat panjang yang indah
digerainya ke bawah. Ia pandangi Akino yang terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya
tidak jelas. Ada apa dengannya?
Dan ternyata, Akino hampir tertidur ketika pelajaran bahasa Inggris sedang berlangsung.
Kelopak matanya hampir terpejam seluruhnya. Sesekali ia tersadar ketika kepalanya yang ia
topang dengan tangan kiri hampir jatuh. Segera Akino mengerjap-kerjapkan matanya
beberapa kali untuk mengembalikan kesadarannya yang mulai terbang entah kemana. Akan
tetapi sekian detik kemudian terlihat ia kembali terlelap. Dan pada detik selanjutnya dia akan
kembali tersadar dari tidurnya.
Jam pelajaran berakhir. Untung saja gurunya tidak menegur Akino tadi. Akino meregangkan
tubuhnya sambil mengerang pelan. Ia mengucek matanya beberapa kali sambil menguap
kecil.

Hei! tegur Kazuya sembari menendang kursi Akino.

Hm? Akino memutar tubuhnya menghadap sosok Kazuya yang duduk di belakangnya.

Jam berapa kau tidur semalam? Bagaimana bisa kau terlelap selama pelajaran?

Aku tidur awal kok. Entahlah. Aku merasa sangat mengantuk dan susah konsentrasi.
Mungkin karena pengaruh cuaca yang juga dingin. Pas sekali untuk tidur.

Tapi kau harus lihat situasi. Ini di dalam kelas. Miss Yuki melirikmu daritadi, kau tahu itu?
omel Kazuya.

Mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa menahannya. Ini juga bukan keinginanku
Percakapan singkat mereka terhenti ketika seorang guru masuk ke kelas mereka dan mulai
mengajar.

***

Siang ini, langit cukup cerah. Tidak ada salju yang turun seperti hari sebelumnya. Banyak
anak-anak yang bermain salju di depan rumah mereka. Ada yang membuat boneka salju, ada
pula yang saling melempar gumpalan salju kepada teman mereka.

Seorang laki-laki berusia paruh baya yang terlihat ramah sedang berjalan melintasi jalan yang
diapit oleh rumah-rumah. Ia berjalan tanpa tujuan hingga ia sampai di perempatan. Ia berdiri
diam di perempatan itu layaknya orang bodoh. Wajahnya sudah mulai berkeriput, akan tetapi,
ketampanannya di masa muda masih terlihat jelas di wajah orang itu.
Orang itu mengenakan baju hangat yang tebal berwarna hijau gelap dengan syal hitam yang
melilit di lehernya. Ia menatap langit di atasnya dengan tatapan murung tetapi tenang.

Harumi gumamnya pelan.

***

Akino berlarian dari pekarangan belakang sekolah menuju toilet sekolah. Lagi-lagi ia bisa
merasakan makanan di perutnya menyentak ingin keluar. Akan tetapi, sama seperti biasanya,
hal itu tidak membuahkan hasil. Ia keluar dari toilet itu sambil menepuk-nepuk pelan pipinya.

Ketika hendak keluar dari pintu, Akino hampir terjerembab ke belakang ketika menabrak
seorang gadis yang hendak masuk. Airi! Kini Airi berada begitu dekat dengan Akino. Akino
harus bicara apa? Lagi-lagi Airi memandangnya dengan sinis. Dan tanpa bicara apapun, Airi
menerobos masuk sambil sengaja menabrakkan bahunya ke bahu Akino. Akino
memandanginya heran, dan kemudian berjalan keluar tanpa bicara apa-apa. Ia ingin minta
maaf, akan tetapi entah kenapa ia tidak bisa mengucapkan apa-apa.

Hei, kau tidak apa-apa? tanya Kazuya yang ternyata menunggunya tidak jauh dari kamar
kecil.
Akino menggeleng, dan berjalan lurus tanpa menghiraukan lebih jauh Kazuya yang berbicara
di sampingnya. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya ditarik menaiki tangga yang kemudian berakhir
di atap sekolah.

Apa yang kau mau? tanya Akino dengan nada rendah.

Kau ini kenapa? Kenapa sepertinya kau sedang menjauhiku? tanya Kazuya dengan penuh
rasa ingin tahu. Kau tahu? Aku bingung kau tiba-tiba memperlakukanku seperti ini

Kazuya aku hanya menjaga jarak denganmu. Apa kau tidak tahu itu?

Jaga jarak? Untuk apa? Ada sesuatu yang kau sembunyikan?

Justru aku yang harus bertanya seperti itu padamu. Bukannya sekarang kau sudah pacaran
dengan Tsukishima Airi? Kenapa kau menyembunyikannya dariku?

A-apa? Airi? Kazuya semakin bingung dengan arah pembicaraan Akino. Pacaran? Sejak
kapan ia pacaran dengan Airi?

A-aku tidak pacaran dengannya

Bohong. Jelas-jelas aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri ketika kalian berpelukan
sekitar seminggu yang lalu. Dia memelukmu dan mengatakan aku menyukaimu. Dan kau
bahkan tidak mengelak. Itu berarti kalian sudah resmi pacaran kan jelas Akino panjang
lebar. Napasnya terengah-engah karena mengatakan semua itu dalam satu tarikan napas.

Ka-kau melihatnya?

Iya. Aku melihatnya dengan sangat jelas.

Kazuya diam. Dan sesaat kemudian ia tertawa renyah, memandangi wajah Akino yang
memerah.

Apa yang kau tertawai? Tidak ada yang lucu, Kazuya.

Aku tidak pacaran dengannya, Akino-chan sungguh. Aku sudah menolaknya. Aku
bahkan tidak mengenalnya secara dekat. Bagaimana bisa aku pacaran dengannya? jelas
Kazuya sambil sesekali tertawa. Apa ini? Ia dapat merasakan jantungnya menyentak-nyentak
dari dalam rongga dadanya. Apa Akino cemburu padaku? Apakah ini berarti aku memiliki
kesempatan? Pikirnya.

A-apa? Jangan bohong! entah kenapa tiba-tiba wajah Akino menjadi begitu merah dan ia
agak menahan napas. Apa benar yang dikatakan Kazuya? Dia tidak pacaran dengan Airi?
Model cantik itu? Jantungnya kini berdegup semakin kencang. Akino merasa senang,
sekaligus lega, karena ternyata Kazuya tidak memiliki hubungan khusus dengan Airi. Oh
Tuhan apakah ini berarti, Kau memberiku kesempatan?

Aku serius. Aku berani bersumpah. Kalau aku berbohong, maka aku akan mati disambar
petir! ujar Kazuya meyakinkan. Ia bahkan mengangkat tangannya, menunjuki langit dengan
kedua jarinya sembari mengucapkan sumpah.
Kini Akino semakin yakin. Hatinya semakin berteriak senang. Ingin sekali ia berteriak dari
atap gedung sekolah ini sekeras-kerasnya saking gembiranya.

O-oh ya ja-jadi begitu ujar Akino lirih walaupun pada kenyataannya, ia sedang
menjerit keras di dalam hatinya. Ia malu sehingga ia tidak berani memandang wajah Kazuya.
Diliriknya keadaan sekitar dengan gugup.

Jadi?

Apa?

Kau tidak akan menjauhiku lagi kan? tanya Kazuya memastikan. Akino mengangguk
pelan, dan dibalas dengan senyuman lega dari wajah Kazuya. Kalau begitu, ayo turun. Di
sini dingin lanjut Kazuya sembari mengusap-usap lengannya dengan berlebihan. Akino
menurut dan kemudian membuntuti Kazuya untuk turun dan kembali ke kelas.

Tiba-tiba semuanya menjadi seperti sebuah mimpi. Entah nyata atau tidak. Punggung Kazuya
semakin menjauh dari jangkauannya. Dan Akino merasa tubuhnya lemas dan pandangannya
kabur. Kepalanya sakit, dan detik selanjutnya Akino sudah terhempas di atas lantai atap
sambil memegangi kepalanya. Sejenak ia masih bisa melihat dengan samar-samar kedua kaki
Kazuya berlari ke arahnya. Hingga kemudian ia sudah tidak tahu lagi apa yang terjadi
padanya.

***

Putih. Kenapa semuanya putih? Akino memandangi setiap sudut di hadapannya dengan
pandangan yang masih samar-samar. Ia mengerjap-kerjapkan matanya beberapa kali agar bisa
melihat dengan lebih jelas. UKS. Itu pikiran pertama yang terlintas di otaknya ketika ia sudah
bisa melihat dengan jelas ruangan yang ia tempati.

Akino terbaring di atas kasur UKS masih lengkap dengan seragamnya. Kepalanya terasa
berat ketika ia hendak bangun. Ia dapat merasakan ada sesuatu yang bergerak di sisi tubuhnya
ketika ia hendak bangun.

Kazuya? Gumamnya heran. Kenapa dia bisa ada di sini? Sesaat tanpa sadar ia menahan napas
dengan mata yang membulat. Kazuya menggenggami tangannya dengan erat. Oh Tuhan
apakah aku masih bermimpi?

Akino membiarkan Kazuya yang tertidur di kursinya. Wajahnya datar dan terlihat tenang.
Dirapikannya poni Kazuya
yang sudah hampir menutupi matanya secara perlahan. Ia dapat merasakan bagaimana
darahnya berdesir cepat ketika ia menyentuh Kazuya. Betapa ia menyukai perasaan seperti
itu. Rasanya seperti mimpi ketika Kazuya mengatakan bahwa ia tidak memiliki hubungan
khusus dengan Airi.

Lama ia perhatikan wajah Kazuya yang tertidur pulas, sampai ia memutuskan untuk
membangunkannya. Diketuknya pelan wajah Kazuya yang bersih dengan jari telunjuknya
sehingga membuat Kazuya menggerakkan sedikit tubuhnya sembari perlahan-lahan
membuka kelopak matanya.

Akino-chan?! serunya ketika ia mendapati Akino sudah duduk tegak di hadapannya. Kau
sudah bangun? Tidak apa-apa kan? Aku kira sesuatu terjadi denganmu! Kau tiba-tiba saja
pingsan dan
Akino tertawa ringan dan menggelengkan kepalanya. Aku tidak apa-apa. Belakangan ini aku
merasa lelah. Mungkin karena terlalu dingin.

Kazuya menghela napas lega, syukurlah

Jam sekolah telah usai. Dan waktu sudah menunjukkan jam tiga sore lewat lima belas menit.
Sekolah sudah sepi. Begitu juga dengan ruangan UKS. Tidak terlihat lagi ada guru pengawas
yang menjaga tempat itu. Mungkin saja sudah pulang. Mereka kemudian bergegas menaiki
kelas untuk membereskan tas sekolah yang mungkin masih tergeletak di atas meja kelas
untuk segera pulang.

Tanpa mereka sadari, Tsukishima Airi mengawasi mereka dari jauh dengan tatapan kesal dan
penuh dendam. Apa yang bagus darinya, Kazuya?! Kenapa kau lebih memilih dia daripada
aku?!

***

Akino dan Kazuya berjalan beriringan di tengah ramainya kota. Walaupun cuaca begitu
dingin, hal itu ternyata tidak bisa menghentikan aktivitas ibukota Jepang itu. Bahkan ketika
malam hari telah datang, walaupun salju sedang turun sehingga membuat suhu turun secara
drastis, tetap saja ada orang yang berlalu-lalang di pusat kota itu.

Entah mengapa, Akino melihat keadaan di sekitarnya begitu berkabut sehingga wajah orangorang yang dilewatinya terlihat samar-samar, termasuk wajah Kazuya yang berada di
sampingnya. Akino memandangi Kazuya dengan mata yang disipitkan, berusaha untuk
membuat pandangannya menjadi lebih jelas.

Ada apa Akino-chan? tanya Kazuya ketika merasa Akino memandangnya lekat-lekat.
Akino mengucek matanya dua kali. Berhasil. Sekarang pandangannya menjadi lebih jernih.

Sepertinya aku harus memeriksakan mataku dan membeli kacamata. Pandanganku mulai
kabur.

Itu karena kau terlalu sering membaca hingga larut malam tanpa mengistirahatkan matamu!
Makanya, jangan terlalu sering membaca. ujar Kazuya.

Hah kau ini selalu saja sok tahu aku tidak membaca hingga larut malam. Aku selalu
tidur tepat waktu.

Sama saja. Bagaimanapun juga mata juga perlu istirahat. Salahmu juga terlalu sering
membaca. Hampir tiap hari berkutat dengan novel. Lama-lama matamu bisa rusak. omelnya
lagi. Tidak terima dengan hal itu, Akino mengelak sejadi-jadinya.

Sudah kubilang tidak!

Iya.

Ah tidak!! protes Akino geram sambil mendaratkan cubitannya di pinggang Kazuya.


Sementara Kazuya merintih kesakitan, Akino sudah melarikan diri sambil menjulurkan
lidahnya ke arah Kazuya yang hendak mengejarnya.

Bruk!
Tanpa sengaja Akino menabrak seorang laki-laki hingga dia sendiri terjerembab jatuh.
Dengan segera ia bangkit berdiri dan meminta maaf kepada orang itu. Laki-laki dengan
perawakan tinggi seperti ayahnya itu tersenyum ramah tanpa mengucapkan apa-apa. Tibatiba, ia terlihat kaget ketika Akino tersenyum kepadanya.

Baru saja orang tua itu hendak bersuara, Akino sudah pergi meninggalkannya dan
menghampiri Kazuya yang masih tertawa mengejek ke arah Akino. Dan tidak lama
kemudian, Akino dan Kazuya sudah hilang dibalik keramaian kota.

Ah tidak mungkin gumam orang itu pelan dan kemudian melanjutkan perjalanannya.

***

Malam sudah larut dan orang-orang telah asyik dengan mimpi mereka. Akan tetapi Akino
masih sibuk mengerjakan tugas sekolahnya. Ia menggaruk-garuk kepalanya hingga
rambutnya terlihat berantakan. Ia sama sekali tidak bisa konsentrasi dengan apa yang ia
kerjakan. Entah karena sulit, atau karena hal lainnya. Ia yakin ia bisa mengerjakan tugastugas yang ada di depannya itu. Akan tetapi, otaknya enggan memroses penyelesaian dari
soal matematika yang diberikan gurunya.

Dengan putus asa, Akino kemudian menutup bukunya dan bangkit berdiri dari tempat
duduknya. Ia berjalan sempoyongan menuju tempat tidurnya sambil memijit-mijit keningnya.
Ia lelah dan pusing. Ada apa denganku? Akino membaringkan tubuhnya yang lelah di atas
kasur sambil menarik selimutnya untuk menutupi tubuhnya.

***

Kazuya terlihat asyik mengotak-atik folder di dalam laptopnya. Entah apa yang menarik
perhatiannya di dalam laptopnya itu. Sesekali ia tersenyum dan tertawa sendiri memandangi
isi foldernya itu. Dan ternyata ia sedang membongkar foto-foto kenangannya dengan Akino
ketika hari ulang tahun Akino tahun lalu.

Sejenak ia menghela napas dan menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, menerawang ke


langit-langit kamarnya. Apakah hubunganku dengan Akino hanya akan seperti ini? Tanpa ada
kemajuan sedikit pun? Kenapa aku harus terlahir dengan dunia yang berbeda dengannya?
Andaikan duniaku dengannya sama, mungkin aku akan lebih punya keberanian untuk
menyatakannya gumamnya dalam hati.

Ia melirik keluar jendela kamarnya yang menghadap jalanan. Sepi. Tidak ada orang yang
lewat. Ia kembali mendesah. Salju turun lagi

Setelah puas memandangi jalanan kosong di depannya, ia kemudian mematikan laptopnya


dan menghempaskan tubuhnya ke atas kasur dan tidur.

***

Seminggu kemudian, Akino sudah mendapatkan kacamata pesanannya. Kacamata berbingkai


bening. Ia mengenakannya dan bercermin di depan kaca. Lumayan, pikirnya. Dan sekarang,
penglihatan Akino pun menjadi lebih jelas dan jernih.

Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh kurang dua puluh menit. Dia harus segera berangkat
ke sekolah. Segera ia meraih tas sekolah dan mantel putihnya, dan bergegas berjalan keluar
kamar. Sebelum memutar gagang pintu, ia berhenti sebentar seakan teringat akan sesuatu. Ia
berjalan kembali ke meja belajarnya dan mengambil kotak kado kecil yang telah dibungkus
dengan kertas kado berwarna merah dengan pita berwarna hijau cerah dari atas meja
belajarnya.
Warnanya berkesan natal bukan? Aku harap Kazuya menyukainya, pikirnya dengan hati yang
gembira.

Hadiah kecil itu sengaja ia persiapkan untuk ulang tahun Kazuya di malam natal nanti. Tentu
saja, ia akan mengajaknya keluar seperti tahun lalu dan merayakannya bersama. Apakah

tahun ini mereka harus pergi lagi ke Harajuku? Hm mungkin Harajuku merupakan pilihan
yang tepat. Akino tersenyum lebar membayangkan apa yang akan mereka lakukan di hari itu.

Akino tersentak kaget ketika ia melihat jam pada meja belajarnya telah menunjukkan pukul
tujuh kurang lima belas menit. Dia harus bergegas jika tidak ingin terlambat. Akino
meletakkan kado ke dalam laci mejanya dengan hati-hati dan bergegas keluar dari rumah
untuk berangkat ke sekolah.

***

Akino baru saja hendak keluar dari gudang peralatan ketika guru olahraga menyuruhnya
untuk mengambilkan berkas-berkas yang tertinggal. Akan tetapi, tiba-tiba seseorang sengaja
menghadang jalannya sehingga membuat Akino terkejut dan memundurkan kakinya beberapa
langkah. Setelah menyadari siapa yang menghadangnya, matanya melebar dan
tenggorokannya mendadak kering. Rasa kaget bercampur takut menyelimuti dirinya.

Kini Tsukihima Airi berdiri tegak di depannya bersama dengan dua orang temannya. Ia
menatap Akino dengan tajam tanpa bicara apa-apa. Akhirnya mau tidak mau, Akino berusaha
bersuara untuk meminta ijin agar bisa pergi dari tempat itu.

Maaf, permisi aku sedang terburu-buru ujarnya sopan. Akan tetapi, gadis itu sama
sekali tidak menghiraukan. Ia tetap berdiri tegak di ambang pintu, sementara dua temannya
mengawasi di sisi kanan dan kiri pintu agar tidak ada celah bagi Akino untuk kabur.

Fujioka Akino. ucapnya sambil memandangi nama yang tertera pada tanda pengenal di
seragam Akino. Ia mengucapkannya dengan suara rendah. Walaupun Akino kini tidak bisa
mendengar, tapi ia dapat merasakan rasa kebencian yang berasal dari kata-katanya.

Ehm i-iya? Ada apa? tanya Akino gugup, tapi berusaha wajar. Airi tidak menjawab,
melainkan hanya menatap Akino dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan pandangan
merendahkan. Hanya gadis biasa, pikirnya. Airi melangkahkan kakinya selangkah demi
selangkah ke arah Akino yang kemudian mundur setiap kali Airi berjalan maju ke arahnya.
Apa maunya?

Hei, gadis tuli. Aku lihat, sama sekali tidak ada keistimewaan darimu. katanya. Akino dapat
menangkap maksud Airi dengan jelas dari gerakan bibir Airi yang tipis. Apa sebenarnya
yang menarik darimu, hingga bisa memikat banyak lelaki pintar dan tampan? lanjutnya lagi.
Walaupun Akino tidak mengerti akan maksudnya, tapi kata-katanya terasa menghunjam
hatinya. Sakit.

A-apa maksudmu, Tsukishima-san? Kau mau bicara apa denganku?

Tiba-tiba, Airi mengangkat tangannya dan mendaratkan tamparannya di pipi kanan Akino.
Seketika Akino memegangi pipinya yang terasa perih dan panas. Kacamatanya bahkan jatuh
ke atas lantai yang berdebu. Matanya panas. Rasanya ia hampir menangis. Kenapa Airi
memperlakukannya seperti itu? Dengan takut, Akino kembali bersuara agar bisa mengetahui
sebenarnya apa yang menyebabkan Airi begitu membenci dirinya.

Ee Tsukishima-san ma-maaf tapi apa salahku padamu? Aku bahkan tidak


pernah bicara denganmu. Tapi kenapa sepertinya kau begitu membenciku? tanyanya
sambil menahan air mata yang hampir jatuh. Sontak pertanyaan Akino membuat wajah Airi
berubah menjadi merah padam karena marah. Walaupun pandangannya kini kabur karena
tanpa kacamata, Akino masih dapat membayangkan seberapa marahnya Airi sekarang.

Tanpa ampun Airi kemudian mendorong Akino dengan kasar sehingga Akino jatuh
tersungkur ke belakang. Kepalanya bahkan terbentur lantai keramik yang keras. Akino dapat
merasakan sesuatu mendadak berubah dari tubuhnya. Semua tubuhnya seakan menjadi
lumpuh dan badannya sulit digerakkan. Akino berusaha untuk bangun, akan tetapi hal itu siasia. Apalagi ditambah dengan Airi yang menekan lehernya dengan kasar secara tiba-tiba,
sehingga sekali lagi kepala Akino membentur lantai dengan keras.

Akino merintih kesakitan. Akan tetapi rintihannya kini terdengar seperti orang yang tengah
mengerang nyawa karena Airi mencekik lehernya dengan kuat.

Kau Fujioka Akino! ujarnya dengan kesal. Akino berusaha untuk tetap fokus kepada
bibir Airi yang berbicara walaupun kini ia sulit bernapas dan pandangannya benar-benar
kabur tanpa mengenakan kacamata. Kau merebutnya dariku! Kau tahu itu?! jerit Airi
histeris. Merebut? Merebut siapa? Akino masih berusaha melepaskan tekanan pada tangan
Airi yang mencekiknya dengan semakin kuat. Akan tetapi, tubuhnya terasa lemas dan tidak
bisa bergerak. Ia dapat merasa paru-parunya sesak karena kekurangan udara.

Dasar kau wanita jalang!!! pekik Airi semakin kencang di dalam ruangan yang pengap itu.
Cekikan pada leher Akino semakin kuat sehingga Akino semakin tidak sanggup untuk
bernapas maupun bergerak. Kedua temannya yang berada di belakangnya kaget melihat
perbuatan Airi yang mendadak berubah seperti orang gila.

Airi! Hentikan! Kau bisa membunuhnya!! seru salah seorang temannya yang berambut
pendek sebahu, sembari menarik tangan Airi agar melepaskan Akino yang terlihat semakin
mengerang nyawa.

Aku tidak peduli! Biar saja dia mati! Dia merebut Kazuya dariku! Dia wanita jalang!! Aku
harus memberinya pelajaran walaupun dia harus mati sekalipun!!! Airi semakin menjadi.
Bukannya memelankan cengkeramannya pada leher Akino, ia malah semakin menekannya
dengan kuat. Akino berusaha menendang-nendangkan kakinya sementara tangannya
mengenggam erat kedua lengan Airi.

Kazuya tolong ujar Akino dalam hati.

Airi!! Sadarlah! Dia bisa mati! Cepat lepaskan dia!!! pekik temannya yang satu lagi. Segera
kedua temannya itu menarik kedua lengan Airi yang menekan kuat leher Akino seakan ingin
mematahkan tenggorokan Akino saat itu juga. Pandangan Akino mulai berkunang-kunang,
dan tendangan pada kakinya semakin pelan begitu pula genggaman tangannya pada lengan
Airi. Ia sudah tidak sanggup. Ia merasa darahnya mulai berhenti di puncak kepalanya.
Wajahnya memerah, dan hampir membiru karena kehabisan udara.

Pada hentakan ketiga, kedua temannya itu berhasil melepaskan cekikan Airi pada Akino. Dan
pada saat itu juga Akino merasa tubuhnya yang menegang perlahan-lahan mulai lega. Ia
menarik napas dengan cepat sambil terbatuk-batuk. Ia menggeliat di atas lantai yang kotor itu
sambil memegangi lehernya. Aku kira aku akan mati pikirnya.

Airi masih berusaha melepaskan diri dari kedua temannya dengan paksa sembari berteriak
histeris. Ia ingin menerjang kembali Akino yang sudah tergeletak tidak berdaya. Suaranya
terdengar sangat keras di tempat yang sepi itu. Memang, gudang itu jarang didatangi. Jadi
tidak akan ada yang heran, siapapun yang berteriak di situ tak akan ada yang mendengar.

Dengan susah payah salah satu dari temannya kemudian menarik pintu hingga tertutup,
meninggalkan Akino yang tidak berdaya.

Akino berusaha untuk bangun, akan tetapi sia-sia. Ia bahkan sulit untuk menggerakkan
tubuhnya. Kepalanya terasa berat dan berdengung hebat. Tubuhnya lemas dan di beberapa
bagian seakan mati rasa. Dan pada akhirnya, ia hanya dapat menyerah. Perlahan-lahan
pandangannya semakin kabur hingga kegelapan menelannya.

Kazuya tolong aku, kumohon

***

Four-Leaf Clover Bab 11 part 2


by Shiro Neko'shop on Monday, 28 May 2012 at 17:45
Bab 11 part 2

Jam pelajaran terakhir hampir selesai, dan Kazuya masih duduk di bangkunya dengan gelisah
sambil sesekali melirik ke arah pintu. Ia menggigiti ujung jarinya dengan cemas. Kemana lagi
anak satu ini? Bisa-bisanya ia membolos! Omelnya dalam hati. Akino masih belum kembali
ke kelas dari jam istirahat tadi. Kemana dia? Kazuya bahkan tidak melihatnya ketika jam
istirahat berlangsung. Awas saja jika tertangkap. Aku akan mengomelimu panjang lebar.

Menit demi menit berlalu, Akino masih belum tampak batang hidungnya. Kazuya semakin
gelisah. Akino belum pernah begini sebelumnya. Apa sesuatu terjadi padanya? Sudah dari
tadi Kazuya merasa tidak tenang. Tepatnya sejak jam istirahat. Ia merasakan sesuatu di dalam
dadanya bergejolak. Ada yang tidak beres, tapi dengan segera ia menghapus pikiran itu. Tidak
berani untuk membayangkan hal yang tidak-tidak.

Teng! Beberapa menit kemudian, bel tanda jam pelajaran berakhir pun berbunyi. Segera
setelah mengucapkan salam kepada guru dan membereskan barang-barang miliknya dan
Akino, ia langsung menerobos keluar kelas.
Kazuya berlari secepat mungkin menuju atap sekolah. Siapa tahu Akino ada di sana. Tepat
setelah ia membuka pintu menuju atap sekolah, ia menghela napas kecewa karena dia tidak
menemukan siapapun di sana. Segera Kazuya kembali berlari menuruni tangga menuju ke
ruang UKS. Apa mungkin Akino jatuh pingsan lagi?

Kembali ia merasa kecewa karena ia hanya mendapati seorang guru pengawas UKS sedang
bersiap-siap untuk pulang. Akino tidak ada di sana. Kazuya berpikir keras. Berpikir kira-kira
di mana ia akan menemukan Akino. Ya. Mungkin dia ada di pekarangan sekolah. Dengan
segera ia berlari menuju ke pekarangan sekolah walaupun dengan napas terengah-engah.

Sesampainya di sana, ia berusaha mencari-cari sosok Akino dimana-mana. Nihil. Ia tidak


mendapatkan siapa-siapa. Ia bahkan sudah mengitari sisi kanan, belakang dan kiri gedung
sekolah itu. Akan tetapi, ia bahkan tidak merasa tempat itu pernah didatangi. Akino! Dimana
kau?!

***

Airi masih mengerang kesal karena kedua temannya tadi mengacaukan rencananya.
Wajahnya merah padam karena marah. Sementara kedua temannya terlihat berusaha
menenangkan Airi dengan perasaan takut.

Su-sudahlah Airi kau jangan marah lagi lagipula kalau perempuan itu sampai mati
nanti, kau bisa berurusan dengan polisi kata gadis berambut pendek sebahu yang ternyata
bernama Yamanaka Sora. Airi sontak bangkit berdiri dan mendorong Sora hingga jatuh
terjerembab.

Tahu apa kau?! Memangnya kenapa kalau dia sampai mati? Apa hubungannya denganmu?
Kau tidak tahu betapa bencinya aku terhadapnya!! bentaknya garang. Baru saja ia hendak
menendang Sora dengan keras, temannya yang satunya lagi Kurihara Naoko, begitulah
namanya sudah menahan tubuh Airi dengan kuat.

Lepaskan aku, bodoh!!

Hentikan, Airi! Kalau memang Kazuya tidak menyukaimu, kau bisa apa? Melampiaskannya
kepada perempuan itu tidak akan membuahkan hasil apa-apa! tegur Naoko. Mendengar hal
itu, Airi bukannya semakin tenang, ia malah semakin kesal. Ditepisnya tangan Naoko dan
menghempaskannya hingga berakhir sama seperti Sora.

Aku tidak peduli! Aku harus mendapatkan Kazuya bagaimanapun caranya! Walaupun itu
harus membuat gadis bernama Fujioka Akino itu mati sekalipun!! jeritnya histeris sembari
menendang Naoko tanpa ampun. Ia berubah menjadi bengis dan kejam. Air matanya
mengucur keluar dari matanya. Tapi hal itu tidak membuatnya lemah. Rasa emosinya kini
meluap keluar tanpa bisa dikendalikan olehnya.

Akan tetapi suara hantaman pada pintu kelas tempat Airi dan teman-temannya sedang berada
tiba-tiba terdengar hingga menghentikan amukan Airi. Sontak Airi memutar tubuhnya dengan
cepat, diikuti dengan Sora serta Naoko yang sudah terbatuk-batuk memegangi perutnya yang
sakit ditendang oleh Airi.

Kini mata Airi yang basah terbelalak, dan ia merasa napasnya tertahan dan jantungnya
berdegup dengan kencang ketika melihat asal suara itu. Orang itu kini menatapnya tajam dan
penuh amarah.

KaKazuya gumamnya dengan suara bergetar karena terkejut sekaligus panik.


Bagaimana tidak. Kazuya menangkap basah Airi yang baru saja mengakui apa yang ada di
dalam hatinya. Napas Kazuya memburu karena marah.
Wajahnya bahkan memerah, dan matanya menatap Airi dengan tajam dan dingin layaknya
pembunuh berdarah dingin.
Airi dapat merasakan tiba-tiba melayang dan menghantam dinding kelas dengan keras. Ia
merasa napasnya tercekat dan seluruh tubuhnya lemas karena takut. Kazuya mengangkat
kerah baju Airi dengan kasar dan menghantamkan tubuhnya dengan kuat pada dinding kelas
yang kini telah sepi.

Airi dapat melihat dengan jelas kemarahan yang tersirat di dalam bola mata Kazuya yang
berwarna cokelat tepat dan sejajar dengan matanya. Ia tidak bisa merasakan apa-apa di
telapak kakinya. Tepatnya, ia bahkan tidak menginjak lantai karena Kazuya mengangkat
tubuhnya dengan kedua tangan dengan bertumpu pada dinding di belakangnya.
Naoko dan Sora memandangi peristiwa di depan mereka dengan takut. Mereka bahkan
bergerak mundur memandangi Airi yang merasa tersiksa karena kesulitan bernapas.

Katakan apa yang telah kau lakukan pada Akino. Cepat katakan!!! bentaknya dengan suara
keras. Suaranya bahkan menggema di lorong-lorong sekolah yang sudah sepenuhnya sepi.
Naoko dan Sora menelan ludah karena kaget. Sementara Airi hanya dapat memandangi
Kazuya dengan mata terbelalak.

A Aku Ka-zuya kata Airi perlahan dengan susah payah. Lepas

Kazuya menurunkan tubuh Airi dan menghempaskannya secara kasar ke atas lantai kelas
tanpa ampun. Airi terbatuk-batuk sambil memegangi lehernya.

Dimana Akino? tanya Kazuya dengan suara rendah tapi dapat membuat bulu roma mereka
bertiga berdiri. Airi memandangi Kazuya dengan tatapan takut.

Ka-Kazuya maafkan aku aku tidak bermaksud untuk

KATAKAN DIMANA AKINO!!! bentak Kazuya dengan suara yang lebih keras. Sontak
Airi terdiam dan gelagapan. Berakhir sudah. Rencananya kini sudah hancur.

Gu-gu-gudang pe-peralatan olahraga ujar Airi yang akhirnya menyerah. Air matanya
mengalir deras. Ia tidak lagi bisa mengelak. Ia sudah ketahuan. Kini sudah tidak ada jalan
baginya untuk mundur.

Kazuya dengan segera berlari keluar dari kelas untuk pergi ke tempat yang di sebutkannya.
Belum jauh dari ambang pintu kelas, Kazuya memalingkan lagi wajahnya kepada Airi masih
dengan tatapan yang tajam.

Kau akan kuurus setelah ini. Siapkan mentalmu. Aku tidak peduli kau seorang perempuan
maupun anak-anak. Aku tidak akan memaafkan siapapun yang melukai orang yang penting
bagiku. ancam Kazuya, dan kemudian berlalu dari kelas itu.

***

Dan kini, di sinilah Kazuya berada. Di depan pintu gudang peralatan olahraga dengan napas
terengah-engah. Dengan segera ia membuka pintu itu dengan paksa hingga menciptakan
suara yang keras.

Betapa terkejutnya Kazuya ketika mendapati Akino terbaring tak berdaya di atas lantai tanpa
bergerak sedikit pun.

A-Akino? gumamnya pelan sembari berjalan mendekati Akino dengan tatapan tidak
percaya. Diangkatnya kepalanya dan di taruhnya di pangkuannya sembari menepuk pelan
pipi Akino untuk membangunkannya. Akino bangun. Kau tidak apa-apa kan? Hei.
Akino-chan jangan menakutiku ayo cepat bangun. panggilnya dengan suara yang
bergetar. Apa yang sebenarnya sudah dilakukan oleh Airi?!

Dengan panik Kazuya mengangkat tubuh Akino yang terkulai lemas dan menggendong
Akino di punggungnya. Dan detik kemudian ia sudah berlarian keluar dari gedung itu untuk
membawa Akino pulang ke rumahnya.

***

Akino terbaring tidak sadarkan diri di dalam kamarnya. Kazuya duduk di sampingnya dengan
perasaan yang campur aduk. Ia merasa gelisah dan takut sesuatu yang tidak diharapkan akan
terjadi pada Akino. Ia menggenggam erat tangan kanan Akino yang lembab karena keringat
dingin, sembari mengusap pelan peluh di kening Akino dengan handuk kecil.

Ya Tuhan tubuhnya panas sekali gumamnya panik dan segera berlari masuk ke dalam
dapur. Ia meminta lagi handuk kering dan air hangat kepada pelayan untuk menurunkan
demam Akino. Setelah mendapatkan apa yang ia perlukan, ia membawa baskom berisi
handuk dan air hangat ke dalam kamar Akino.

Ia memeras kering handuk itu dan menaruhnya di kening Akino, sembari berharap Akino
dapat segera sadar. Ya Tuhan jangan sampai sesuatu terjadi padanya.

***

Tubuh Airi menegang dan tanpa sadar ia menahan napasnya. Matanya melebar dan sendok
yang sedari tadi ia pegang untuk menikmati makan siangnya di kantin jatuh terpelanting ke

atas meja. Kembali ia merasakan ketakutan yang merambat di sekujur tubuhnya. Ia berusaha
untuk menguasai dirinya kembali dan menarik napas pelan dengan tersendat-sendat.

Kazuya kini berdiri tepat di hadapannya dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada.
Tidak sedetik pun ia melepaskan pandangannya dari sosok di depannya yang tengah duduk
sendiri di pojok kantin sekolahnya.

Ka-Kazuya gumamnya gugup dengan senyum takut yang terpaksa. Napasnya tercekat
ketika menyebutkan nama laki-laki itu. Ia berusaha untuk tenang dan mengambil sendok
kecilnya. Ia tidak berani untuk menatap mata itu, akan tetapi ia bahkan tidak sanggup untuk
mengalihkan pandangannya.

Tanpa disuruh oleh Airi, Kazuya mengambil tempat duduk tepat di hadapan Airi. Airi merasa
semakin tegang ketika Kazuya sekarang berada begitu dekat dengannya. Bukan karena
perasaan cinta yang ia miliki pada Kazuya. Melainkan tasa takut yang menekan dirinya.

Aku datang kemari untuk menagih janji seperti apa yang telah kukatakan kemarin. Kau
ingat? Kazuya mulai bersuara dengan nada rendah. Sekali lagi ia dapat merasakan dendam
pada diri Kazuya padanya kini sedang menghunjam dirinya. Airi tidak berani menjawab dan
menundukkan kepalanya untuk menghindari kontak mata di antara mereka.

Tatap aku. ujar Kazuya singkat dan membuat Airi yang telah pasrah mau tidak mau
mengangkat wajahnya dan kembali menatap mata Kazuya yang kini terlihat redup tapi tajam.

Maaf

Suara hantaman keras terdengar tiba-tiba dari tangan Kazuya yang sengaja ia benturkan ke
atas meja. Sontak Airi tersentak kaget, sementara orang-orang lain yang juga berada di
tempat itu langsung memandangi mereka berdua dengan tatapan kaget bercampur heran. Apa
yang terjadi pada mereka?

Kazuya tidak mempedulikan keadaan sekitarnya yang kini sedang berbisik


membicarakannya. Ia hanya fokus pada gadis di depannya yang kini memandangnya dengan
ketakutan.

Kau kira dengan maaf saja cukup? Kau sudah mencelakai orang! Kau tahu itu? bentaknya.
Apa salah Akino padamu? Dia bahkan tidak pernah sekalipun berbicara denganmu!

Kenapa? Kenapa kau lebih memilih dia? Apa yang istimewa darinya? Kau tahu kalau aku
menyukaimu. Tapi kenapa kau menolakku mentah-mentah tanpa mempertimbangkannya
terlebih dahulu? Perasaanku padamu serius, Kazuya. Airi akhirnya bersuara. Ia kecewa
akan penolakan Kazuya kepadanya. Hatinya seakan remuk dan terasa sakit. Ia merasa
beratus-ratus pedang menghunjam hatinya.

Jadi cuma karena itu?! Kau wanita kejam Airi! Aku kira kau gadis yang baik. Kau cantik,
pintar dan memiliki karier yang bagus. Tapi aku tidak pernah menyangka kau bisa melakukan
hal sekeji ini cuma karena masalah sepele seperti ini! Kazuya memanas. Bagaimana tidak
jika ternyata Airi sampai hati untuk melakukan hal itu hanya karena ia menolak pernyataan
cintanya beberapa waktu yang lalu.

Kenapa harus aku? tanya Kazuya lirih. Ia menatapi Airi nanar. Airi memandangnya tidak
mengerti dengan maksud Kazuya. Aku laki-laki dari keluarga biasa. Aku tidak punya apaapa. Sedangkan kau, seorang gadis dengan karier yang baik. Kenapa kau harus menyukaiku,
Airi?

Aku menyukaimu. Aku tidak punya alasan. Bahkan aku tidak tahu apa alasanku bisa
menyukaimu. Kau baik, tampan dan pintar. Kau selalu bisa diandalkan. Pertama kali aku
melihatmu jantungku jawab Airi dengan suara yang sama lirihnya dengan Kazuya. Ia
menekan dadanya kuat dengan mata yang mulai basah. Jantungku berdetak tidak karuan.
Napasku memburu dan sekujur tubuhku terasa hangat tanpa bisa aku kendalikan. Aku
menyukaimu begitu saja. Aku iri kepada gadis itu. Fujioka Akino. Aku tidak tahu apa yang
kau lihat darinya. Aku bahkan lebih baik darinya. Tidakkah aku sempurna? Dia hanya gadis
cacat yang tuli!

Plak!
Airi terdiam. Tidak pernah ia menyangka Kazuya yang ia tahu adalah seorang laki-laki yang
begitu ramah dengan semua orang kini menamparnya dengan kasar. Pipinya terasa perih. Air
matanya mulai mengalir keluar disertai isakan kecil yang ia tahan. Murid-murid lain yang
sedari tadi masih menjadikan mereka berdua sebagai pusat perhatian terkejut. Bisikan mereka
semakin heboh karena tidak menyangka Kazuya tega untuk menampar seorang perempuan.

Asalkan kau tahu, Airi. Aku Yamamoto Kazuya. Belum pernah sekalipun menampar
maupun memukul gadis manapun. Aku bukan orang yang menyukai kekerasan. Kekerasan itu
akan kugunakan jika terjadi dua hal. Satu, karena aku tengah terdesak dalam situasi yang
tidak memungkinkan. Dan hal kedua karena lawanku sudah keterlaluan dan membuat aku
marah. jelas Kazuya kepada Airi.

Dan kali ini, kau benar-benar membuatku marah. Jangan pernah sekali-kali kau menyebut
Akino cacat di depanku. Itu jika kau tidak mau merasakan rasa tamparan yang lebih sakit dari
itu. Kazuya bangkit berdiri masih dengan wajah yang tidak ia palingkan dari Airi yang
masih duduk menatapinya dengan mata yang basah. Aku sarankan kau untuk meminta maaf
kepada Akino. Jangan pernah kau menyentuhnya bahkan sehelai rambut pun. Jika sesuatu
terjadi padanya, aku benar-benar tidak akan memaafkanmu.

Kazuya berlalu diikuti dengan pandangan puluhan pasang mata yang menatap ke arahnya.
Airi masih memandanginya dengan isakan yang memilukan. Maafkan aku. Kumohon
maafkan aku. gumamnya pelan di sela-sela tangisnya.

***

Jadi, Akino sudah sadar?! seru Kazuya ketika pelayan rumah Akino mengabari bahwa
Akino sudah sadar. Pelayannya itu mengangguk dengan wajah yang tersenyum lega. Segera
setelah itu, Kazuya berlari masuk menuju kamar Akino. Segera ia memutar gagang pintu dan
masuk untuk segera bertemu dengan Akino.

Akino tengah duduk bersandar di atas kasurnya dengan mata yang menatap kosong ke
jendela kamarnya. Merasa ada yang masuk, Akino memalingkan wajahnya ke arah pintu.
Akino menyipitkan matanya untuk melihat siapa yang masuk. Kazuya tersenyum lega dan
langsung berlari ke samping kasur Akino dan duduk di sampingnya. Senyum Akino merekah
ketika menyadari bahwa orang yang kini tengah duduk di sampingnya adalah Kazuya.

Kazuya-kun kau datang ujar Akino dengan suara yang serak dan pelan.

Iya kau tidak apa-apa kan? Mana yang sakit? Sudah makan? Demammu sudah turun?
Kazuya menghujani Akino dengan berbagai pertanyaan tanpa sempat dijawab Akino. Akino
tertawa pelan

Tanyakan satu-satu ujar Akino pelan. Aku sudah tidak apa-apa. Hanya masih sedikit
lelah. Aku sudah makan, dan demamku juga sudah turun.

Kazuya menghela napas lega. Tubuhnya kini pun tidak lagi kaku dan tegang. Ia benar-benar
lega karena Akino terlihat sudah membaik. Diraihnya tangan Akino dan mengenggamnya
dengan kedua tangan sembari membawanya ke wajahnya. Akino tersentak kaget dan
jantungnya pun berlompatan. Matanya membulat dan ia pun menahan napas.

Syukurlah kau tidak apa-apa maaf aku tidak bisa melindungimu ini semua salahku
sehingga membuatmu menjadi seperti ini. Aku mohon maafkan aku, Akino-chan

Akino tersenyum dengan sinar matanya yang teduh. Diusapnya kepala Kazuya dengan
lembut. Ini bukan salahmu mungkin memang karena aku menyebalkan di mata Airi, jadi
dia benci padaku justru aku berterima kasih padamu, karena kau selalu menemaniku,
bagaimanapun keadaanku. Aku bersyukur memiliki sahabat sepertimu bila tidak ada
Kazuya, mungkin aku akan selalu kesepian maaf ya kalau aku selalu menyusahkanmu

Tidak ujar Kazuya sembari menggelengkan kepalanya pelan. Kau tidak pernah
menyusahkanku, Akino-chan aku juga berterima kasih kau mau menerimaku sebagai
sahabatmu Aku selalu ingin melindungimu. Tapi perasaanku yang ingin
melindungimu ini, bukan sebagai sahabat Kazuya memelankan suaranya dan berpikir
sejenak. Apakah ia harus mengatakannya? Apakah dia akan menyesal jika mengucapkan
kalimat itu kepada Akino?
Akino memiringkan kepalanya sambil memandangi Kazuya dengan matanya yang sayu.
Lalu, sebagai apa, Kazuya-kun? tanya Akino dengan penuh rasa penasaran. Jadi, apakah
selama ini Kazuya tidak pernah menganggapnya sebagai sahabat?

Aku ingin melindungimu dan terus berada di sisimu bukan sebagai sahabat
melainkan. Aku terhadapmu, aku entah kenapa ia sangat sulit mengutarakannya. Ia
malu sekaligus takut. Bagaimana kalau dia menolakku? Bila sampai dia menolakku, aku
dengannya mungkin tidak akan lagi bisa bersama. Tapi Aku aku menyukaimu, Akinochan bukan sebagai sahabat tapi sebagai seorang laki-laki. Aku sudah lama aku
menyimpannya. Tapi aku hanya tidak tahu bagaimana untuk mengucapkannya. Eh tapi,
kau tidak perlu membalasnya. Yang penting kau

Kau bicara apa, Kazuya? tanya Akino. Sontak Kazuya terdiam. Apa ini berarti Maaf
Oh tidak jangan sekarang aku bahkan belum selesai bicara, tapi dia sudah mau
menolakku? Oh Tuhan apakah aku tidak punya kesempatan sekecil apapun untuk bersama
dengannya?

Akino tersenyum dengan wajah yang terpaksa. Maaf, Kazuya aku tidak bisa melihatmu
dengan jelas mungkin kacamataku ini masih kurang dari cukup untuk membantu kaburnya
penglihatanku ujarnya sambil tertawa kecil dengan perasaan yang tidak enak hati terhadap
Kazuya. Tunggu sebentar. Mungkin kacamataku kotor. Aku akan membersihkannya dulu.
Tunggu sebentar ya ujarnya sembari menanggalkan kacamatanya dan membersihkannya
menggunakan kain dari kotak kacamatanya.

Ya Tuhan jantungku serasa ingin melompat jatuh. Aku kira dia akan menolakku. Ternyata
karena kacamatanya buram. Kalau begini terus, aku bisa terkena serangan jantung! Serunya
dalam hati. Ia merasa malu karena sudah mengkhayal yang tidak-tidak dan sekaligus lega
karena ternyata Akino mengucapkan kata maaf bukan untuk menolaknya, tapi karena
kacamatanya yang kotor. Ia menghela napas panjang untuk menenangkan dirinya. Tenang,
Kazuya mungkin masih ada kesempatan. Berjuanglah.

Akino telah selesai membersihkan kacamatanya. Kini ia sudah mengenakan kembali


kacamatanya sambil tersenyum. Nah, ternyata karena kacamataku kotor. Aku kira aku harus
membeli kacamata yang baru. Padahal baru beberapa hari aku memakainya. katanya sambil
tertawa karena salah tingkah. Sekarang aku sudah bisa melihatmu dengan jelas. Kau bicara
apa tadi? Kau bisa mengulanginya kan?

Sejenak Kazuya menjadi ragu. Ia harus mengulangi kata-kata yang memalukan itu?
Bagaimana bisa! Tadi saja dengan susah payah ia berhasil mengatakannya. Tapi Akino malah
tidak melihat dengan jelas! Oh, dia kesal pada dirinya sendiri. Apa aku harus mengulanginya?

Ehm tidak tidak apa-apa. Aku menganggapmu sebagai sahabatku. Sahabat terbaikku.
Makanya aku akan selalu melindungi dan menemanimu dalam kondisi apapun. Oh tidak.
Kazuya tidak sanggup untuk mengulanginya. Ia malu.
Bagaimana kalau pelayan di rumah itu sampai mendengarnya? Dia bisa malu setengah mati!
Sejenak Akino memandangnya dengan curiga. Akan tetapi pada detik selanjutnya ia
tersenyum. Syukurlah aku kira kau membenciku terima kasih ya sudah mau menjadi
sahabatku, Kazuya-kun ujarnya sambil membalas genggaman tangan Kazuya padanya.

***

Four-Leaf Clover Bab 12


by Shiro Neko'shop on Monday, 28 May 2012 at 17:47
Bab 12
Sudah tiga hari Akino terbaring di atas kasur. Ia ingin kembali masuk ke sekolah, tapi untuk
berjalan saja dia masih sempoyongan, mana mungkin dia bisa masuk sekolah. Keinginannya
untuk masuk sekolah semakin tidak bisa terwujud karena Kazuya melarangnya dengan tegas.
Tidak hanya Kazuya, pelayan di rumahnya pun jadi seenaknya sendiri hingga melarangnya
untuk sekolah. Walaupun begitu, ia senang karena ada orang yang begitu
mengkhawatirkannya.
Kini Akino tengah duduk di atas kursi yang menghadap keluar jendela kamarnya sembari
memandangi benda yang berada di kedua telapak tangannya. Hari ini tanggal dua puluh tiga.
Besok, dia sudah bisa menyerahkan kado kecil itu kepada Kazuya, laki-laki yang
membuatnya jatuh cinta.
Akino memutar-mutar kado itu di depan matanya sambil tersenyum membayangkan reaksi
dari Kazuya. Reaksi salah tingkah yang ditunjukkannya ketika tahun lalu Akino memberikan
syal sebagai hadiah ulang tahunnya masih terbayang jelas di benaknya. Malam itu, ia masih
mengingatnya dengan jelas. Bagaimana salju turun di antara mereka dan di antara orangorang di sekitar mereka. Dia begitu bahagia ketika bersamanya. Apalagi ketika Kazuya
khusus mengajaknya ke Fukushima, musim gugur tahun lalu di hari ulang tahunnya.
Tanpa sadar jantungnya berpacu begitu cepat ketika ia memikirkan wajah Kazuya yang
tersenyum ramah padanya. Sinar matanya begitu teduh dan tenang. Dia baik, walaupun
ternyata ia terlihat begitu menyeramkan ketika sedang marah seperti yang ia lihat ketika
Kazuya menghajar Ryohei.
Ia ingin sekali berharap bahwa Kazuya juga menyimpan perasaan khusus padanya. Tidak
perlu banyak, sedikit saja ia sudah akan melompat kegirangan. Ia ingin mengutarakan
perasaannya. Akan tetapi ia takut Kazuya akan menolaknya. Walaupun begitu, sekeras apa
dia mencoba untuk mengurungkan niatnya, semakin kuat rasanya ia ingin menyatakannya.
Maka dari itu, ia sudah memutuskan. Besok, ia akan mengutarakannya di hadapan Kazuya.
Jika memang Kazuya menolaknya, mungkin mereka tidak ditakdirkan untuk bersama sebagai
sepasang kekasih. Melainkan sebagai sepasang sahabat. Tidak apa-apa. Setidaknya ia sudah
mencoba dan Kazuya akan mengetahui perasaannya. Itu lebih baik jika ia sembunyikan
selamanya.
Akino bangkit berdiri masih dengan tubuhnya yang terasa lemas ke arah meja belajar di
sampingnya. Ia menarik laci mejanya hingga terbuka dan meletakkan kado kecilnya itu di

atas diarynya. Sesaat setelah Akino mengunci laci mejanya, seseorang masuk ke kamarnya
sembari menebarkan senyum. Senyum Akino merekah ketika menyadari bahwa orang itu
adalah Kazuya yang masih lengkap dengan seragam sekolahnya.
Sudah baikan? tanya Kazuya sembari berjalan mendekati Akino yang kemudian duduk
kembali di atas kursi setelah memutarnya untuk menghadap Kazuya. Akino mengangguk.
Sudah lebih baik dari kemarin. Mungkin aku sudah bisa masuk sekolah.
Lagi-lagi. Sudah kubilang kau belum boleh keluar rumah. Lihat wajahmu. Masih begitu
pucat dan kusut. Kau sudah makan? Aku bawakan sushi.
Sushi? sontak wajah Akino berseri dan matanya pun berbinar-binar ketika Kazuya
mengeluarkan sekotak sushi yang ia beli di toko tidak jauh dari sekolahnya. Kau tahu?
Sudah lama aku tidak makan sushi! Kau memang selalu mengerti aku!
Kazuya tersenyum geli dan menyerahkan sepasang sumpit yang sudah ia buka bungkusnya
kepada Akino. Ini, makanlah. Sebanyak yang kau mau. Kalau masih kurang akan aku
belikan lagi. ujarnya.
Akino hendak meraih sumpit itu, dan kemudian terhenti karena ternyata tangannya tidak
berhasil meraihnya di mana tangannya masih berjarak beberapa mili lagi hingga sumpit itu
berada.
Hei, sumpitnya di sini. Ulurkan tanganmu lebih panjang. gurau Kazuya yang masih
menyodorkan sumpit itu kepada Akino yang masih diam. Akino masih memandangi sumpit
itu dengan tatapan nanar.
Iya ya. Bodoh sekali. ujar Akino sambil tersenyum bodoh. Kembali ia mengulurkan
tangannya, dan mengambil sumpit itu dengan tangan yang agak bergetar. Dan kemudian
sedetik kemudian Akino langsung kembali berubah menjadi ceria dan menjepit sushi-sushi di
depannya dan memakannya dengan lahap. Ia menjerit gembira karena sushi itu terasa lezat di
lidahnya.
Akino mengayun-ayunkan kakinya yang tidak menginjak permukaan lantai karena tergantung
oleh tempat duduknya yang agak tinggi, sembari sesekali mengunyah makanan di depannya
dengan bersemangat. Kazuya hanya diam dan sesekali tertawa renyah melihat Akino yang
seperti anak kecil ketika menikmati makanan.
Beberapa menit kemudian, Akino menghela napas lega ketika telah menghabiskan sushi yang
dibeli Kazuya.
Aku kenyang ujarnya sambil mengusap pelan perutnya.
Masih mau tambah?
Akino mengangkat tangan menyerah. Tidak, tidak. Aku sudah kenyang. ujarnya sambil
menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Terlihat Kazuya tertawa dan membereskan kotakkotak yang tadinya membungkus sushi itu ke dalam kantong dan membuangnya.

Oh ya, ini. Catatan pelajaran hari ini. Catat jika kau sempat, tapi jangan dipaksakan kalau
merasa lelah. kata Kazuya sambil menyerahkan sebuah buku tulis kepada Akino yang masih
duduk bermalas-malasan di atas kursinya.
Wow! Kau memang selalu bisa diandalkan ya, kawan! pujinya sambil menerima buku itu
dan membuka isinya.
Kazuya tersenyum sombong, Ya, tentu saja. Kau baru tahu ya aku begitu bisa diandalkan.
ucapnya sembari menepuk-nepuk dadanya dengan bangga.
Jangan bangga hanya karena baru kupuji sekali. Belakangan ini kau jadi semakin suka
untuk menyombongkan diri di hadapanku. Dasar ledek Akino risih melihat Kazuya yang
tersenyum lebar.
Baik, baik maaf.
Mereka berdua tertawa bersama. Di saat melakukan suatu hal bersama-sama memang
menyenangkan. Akan tetapi, waktu seakan tidak mengijinkan mereka bersama terlalu lama.
Hari sudah mulai gelap, dan akhirnya Kazuya memutuskan untuk segera kembali ke rumah.
***
Hari telah menjelang sore ketika Akino sedang bersantai di balkon rumahnya. Sebentar lagi
Kazuya akan datang. Selama beberapa hari ini Kazuya selalu datang mengunjunginya setelah
pulang sekolah. Betapa beruntungnya ia memiliki orang seperti itu di sisinya selama ini.
Dia datang! Serunya dalam hati ketika melihat Kazuya melewati pagar dan melintasi
pekarangan depan rumahnya. Ia tersenyum lebar dan kemudian segera masuk kembali ke
dalam rumahnya. Akino menuruni tangga rumahnya perlahan-lahan dengan kakinya yang
masih terasa lemas ketika Kazuya telah masuk ke dalam rumah dan disambut oleh pelayan
rumahnya itu. Kazuya seakan telah menjadi salah seorang anggota keluarga dari rumah itu
dengan disambut seperti itu.
Hei, Kazuya-kun! serunya dari atas tangga. Kazuya memalingkan wajahnya ke sumber
suara dan mendapati Akino sedang menuruni tangga pelan-pelan.
Apa yang kau lakukan disitu?! Nanti kau jatuh! seru Kazuya sambil berjalan ke arah
tangga.
Jatuh apanya? Kau mendoakanku ya? Tenang saja! Aku kan sudah sehat! ujarnya sembari
tertawa lebar. Akan tetapi, tawanya itu terhenti ketika seseorang memasuki rumahnya itu.
Matanya melebar, mendapati sosok orang itu adalah ayahnya.
Ayah. gumamnya sembari terus terpaku pada sosok di depannya yang masih berada di
ambang pintu. Kazuya tersentak kaget ketika melihat ayah Kazuya untuk pertama kalinya dan
segera membungkuk dengan hormat kepada ayah Akino. Takuto memandangi mereka dengan
enggan dan melewati mereka untuk segera naik ke ruang kerjanya melewati tangga sebelah
kanan. Tangga yang terletak di sebelah tangga dimana Akino berada.

Masih terpaku dengan sosok ayahnya yang ia rindukan, tanpa sadar ia mempercepat
langkahnya. Ayah. Aku ingin berbicara dengan ayah serunya dalam hati. Napasnya tercekat
karena ternyata ayahnya masih menatapnya dengan sorotan mata yang tajam dan terlihat
begitu tidak menyukainya.
Keinginan Akino untuk menghampiri ayahnya kandas, ketika tanpa sengaja ia tergelincir.
Semuanya terjadi dalam waktu singkat tapi dengan gerakan yang seakan melambat. Ia dapat
melihat wajah ayahnya yang datar dan wajah Kazuya yang terlihat panik, meneriakinya
dengan keras diikuti dengan seruan dari para pelayan yang juga menyaksikan hal itu.
Akino merasa tubuhnya lemas tak berdaya ketika ia harus mendarat dengan kepala yang
terantuk ke lantai dengan begitu keras. Kepalanya berdengung hebat dan tubuhnya terasa
lumpuh. Ia dapat merasa bahwa pandangannya benar-benar kabur dan berkunang-kunang. Ia
hendak bersuara, akan tetapi suaranya tercekat di dalam tenggorokannya.
Ia masih bisa melihat sosok Kazuya di depannya sambil memanggil namanya dengan wajah
yang benar-benar panik dan pucat. Perlahan ia mencoba untuk memalingkan wajahnya
kepada Takuto yang berdiri tidak jauh darinya dengan mata yang melebar karena kaget. Akan
tetapi sedetik kemudian, wajah Takuto kembali berubah menjadi datar tanpa ekspresi.
Matanya terasa panas dan ia merasakan dengan samar-samar air matanya mengalir dari sudut
matanya dengan bola matanya yang kini menatap sekelilingnya dengan kosong. Pelayan
rumahnya mengerumuninya dan menyerukan namanya, tapi tidak satupun dari suara mereka
yang terdengar. Ia hanya dapat merasa telinga dan kepalanya berdengung hebat. Dan
perlahan-lahan ia tidak tahu lagi apa yang terjadi ketika kesadarannya mulai tenggelam dalam
kegelapan.
Akino!!! Bangun Akino! Cepat bangun!! panggil Kazuya panik. Keringat dingin mengucur
di kening dan wajahnya. Ia menepuk wajah Akino beberapa kali untuk membangunkan
Akino. Sia-sia. Akino bahkan tidak bergerak sedikit pun. Ia memandangi sekelilingnya yang
dikerumuni oleh para pelayan. Betapa terkejutnya ia ketika ia mendapati Takuto menaiki
tangga tanpa memalingkan wajah sekalipun ke arah Akino yang tidak sadarkan diri.
Paman! seru Kazuya dengan suara yang bergetar. Takuto menghentikan langkahnya dan
menoleh ke arah Kazuya yang kini sudah berdiri tegak dan menatap ke arahnya. Tidakkah
paman melihat Akino jatuh dari tangga tadi?
Aku melihatnya. Lalu kenapa kalau aku melihatnya? tanya Takuto dengan nada datar dan
tenang. Sejenak Kazuya merasa hatinya kecewa dan marah mendengar jawaban itu.
Lalu, bagaimana bisa paman pergi begitu saja melihat anak paman yang sekarang tidak
sadarkan diri? Tidak adakah rasa khawatir dari paman sebagai seorang ayah bagi Akino?
suara Kazuya mulai mengeras. Kesal dengan jawaban Takuto yang benar-benar menganggap
tidak ada apapun yang terjadi saat itu. Takuto menatapnya dengan mata yang disipitkan di
balik kacamatanya.
Memangnya kau siapa? Berani-beraninya mencampuri masalahku. jawab Takuto rendah
seakan tidak terpengaruh dengan perkataan Kazuya sedikitpun.
A-apa?

Aku bertanya padamu. Siapa kau, laki-laki muda lancang yang mencampuri urusan
keluargaku? Lagipula, apa yang harus dikhawatirkan? Dia sudah dewasa dan bisa menjaga
dirinya sendiri. Selain itu, jatuh dari tangga hanyalah hal biasa. Sebentar lagi dia juga akan
siuman. lanjutnya sembari kembali menaiki tangga. Perkataan Takuto kali ini benar-benar
membuat hati Kazuya memanas. Wajah Kazuya menjadi merah padam. Bagaimana bisa
seorang ayah mengatakan hal seperti itu kepada anaknya? Apakah ini adalah alasan mengapa
Akino dulu menangis sesunggukan di depannya dulu?
Paman, anda benar-benar orang yang tidak punya perasaan. Aku tidak pernah melihat orang
tua seperti paman, yang sama sekali tidak peduli dengan keadaan anaknya sendiri. Paman
bahkan sama sekali tidak punya hak untuk menyandang status ayah!! Paman tahu itu?!
Selesai mengucapkan kata-kata itu, Kazuya kemudian segera menggendong Akino di
punggungnya dan membawa Akino keluar dari rumah. Ketika ia mencapai ambang pintu, ia
memutar tubuhnya dan kembali menatap Takuto yang masih memandanginya dengan murka.
Ingat baik-baik paman! Lebih baik paman segera meminta maaf kepada Akino!
Dan setelah ia mengucapkan kalimat itu, Kazuya dengan cepat berlari dan membawa Akino
ke rumah sakit.
***
Akino kini telah berbalut pakaian biru khusus pasien. Kazuya duduk di samping Akino yang
terbaring tidak sadarkan diri di atas kasur rumah sakit. Ia menatap wajah Akino yang pucat
dan datar tanpa ekspresi sembari menggenggam erat tangan Akino. Kazuya terus berdoa
dalam hati agar tidak akan ada yang terjadi pada Akino.
Sejak sampai di rumah sakit hingga saat ini ia masih membayangkan kejadian yang baru saja
menimpa Akino, begitu pula dengan sikap Takuto yang benar-benar membuatnya kecewa dan
marah. Takuto sama sekali tidak mempedulikan Akino yang kala itu dengan tragisnya jatuh
dari tangga hingga kepalanya terantuk begitu keras.
Takuto bahkan dengan santainya mengucapkan bahwa hal terjatuh dari tangga itu merupakan
hal yang sangat biasa. Bagaimana seorang ayah bisa tega mengatakan hal itu tanpa rasa
bersalah sedikit pun? Semakin ia memikirkan hal itu, ia semakin prihatin kepada Akino yang
terbaring di hadapannya. Dibelainya kepala Akino yang dibalut perban karena terluka bahkan
berdarah. Aku bahkan tidak tahu apa-apa tentangmu. Bagaimana bisa kau tahan dengan ayah
yang seperti itu?
***
Takuto duduk bersandar di atas kursinya sambil memejamkan mata. Hatinya bergejolak
ketika ia melihat Akino yang terjatuh dari tempat setinggi itu. Ia tidak bisa mencegahnya. Ia
bahkan merasa tidak sanggup untuk mendekatinya ketika anaknya itu memandanginya
dengan tatapan sayang dan penuh dengan teriakan minta tolong.
Ia mengerang kesal sambil mendaratkan tinjunya ke atas meja kerjanya. Kini ia sama sekali
tidak bisa memusatkan perhatiannya kepada pekerjaannya yang selama bertahun-tahun ini
menjadi tempatnya untuk berlari dari kehidupan keluarganya. Kembali ia terbayang saat-saat
dimana ia, istrinya dan Akino, anaknya berkumpul bersama dengan bahagia.

Dulu semua memang terasa indah. Tapi hal itu terjadi dan benar-benar merusak hubungan
mereka bertiga. Mereka tidak lagi saling menyapa bahkan untuk sekedar makan bersama pun
tidak. Hal itu terjadi begitu saja tanpa dapat dicegah. Semakin Takuto mengenang kembali
kejadian yang membuat hubungan mereka itu retak, ia semakin mengerang dengan keras
sembari menghantam meja kerjanya kuat-kuat.
Sebenarnya, tidak ada keinginan bagi Takuto untuk memperlakukan Akino seperti itu. Akan
tetapi, ia selalu emosi jika melihat wajah anaknya itu apalagi ketika Akino tersenyum tanpa
dosa padanya. Dadanya terasa diiris dengan paksa dan membuat napasnya tercekat. Perasaan
itu terus membayanginya hingga membuat kebencian meliputi hatinya walaupun itu anaknya
sekalipun.
Walaupun ia merasa khawatir, ia hanya bisa diam dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa.
Bahkan kejadian dimana Akino menangis dengan pilu ketika ia mengusirnya dari ruang
kerjanya itu masih terbayang-bayang di benaknya. Dia menangis. Menangis dengan begitu
sedih tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Oh apakah apa yang kulakukan ini benar,
Tuhan?
***
Keesokan harinya, langit begitu cerah, akan tetapi tumpukan salju masih terlihat di manamana. Kazuya melangkahkan kakinya dengan cepat dan gelisah ketika pulang sekolah. Ia
ingin segera kembali ke rumah sakit untuk melihat keadaan Akino. Apakah dia sudah sadar?
Langkahnya terhenti ketika ia melewati sebuah toko buku yang pernah mereka berdua
kunjungi. Apakah lebih baik aku membelikan buku untuk dibacanya di sana? Siapa tahu saja
dia akan merasa bosan. Akhirnya dengan langkah yang mantap, ia kemudian melangkah
masuk dan disambut dengan senyuman hangat dari kasir yang letaknya paling dekat dengan
pintu toko.
Ia menyusuri puluhan rak buku, untuk mencari letak rak buku novel yang sering dibaca
Akino. Ia berhenti di rak yang tersusun berpuluh-puluh bahkan ratusan novel yang berjejer
rapi dan kemudian memilah-milah buku yang akan ia beli. Setelah membaca salah satu
sinopsis buku yang menurutnya lumayan menarik, ia kemudian membawa buku itu ke kasir
untuk dibungkus.
Setelah menyerahkan beberapa lembar uang kertas sesuai dengan harga yang tertera, Kazuya
kemudian melangkah keluar sambil menjinjing buku yang ia beli itu dengan tangan kanan.
Beberapa meter kemudian, ia berhenti lagi di sebuah toko buah. Dan tanpa diperintah
otaknya, ia melangkah masuk untuk membeli apel untuk Akino. Setelah merasa apa yang
dibelinya cukup, barulah ia kemudian bergegas berangkat ke rumah sakit tempat Akino kini
dirawat.
***
Putih. Semuanya serba putih dimulai dari langit-langit, dinding, gorden, bahkan kasur dan
selimutnya semuanya berwarna putih. Akino langsung tahu bahwa ia sedang berada di dalam
rumah sakit ketika perlahan-lahan ia membuka kelopak matanya dengan enggan. Ia hendak
bangun dan duduk, akan tetapi rasa sakit di kepalanya pada akhirnya mengurungkan niatnya.

Segera suster yang ternyata berada di dalam ruangan itu memanggil dokter untuk memberi
tahu bahwa Akino telah sadar di kala ia sedang mengecek keadaannya. Dan tak lama
kemudian, seorang pria muda dengan kulit putih yang bersih dan berkacamata masuk dan
menghampiri Akino yang masih terbaring tidak berdaya.
Akino memberi isyarat kepada dokter ketika ia hendak bangun dan duduk. Segera dokter itu
membantunya untuk bangun dan menyandarkan Akino pada dinding ruangan itu dengan
bantal sebagai alasnya. Dokter yang memiliki perawakan tubuh yang tinggi dan tegap, serta
wajah yang lumayan membuat para suster terpesona itu tersenyum hangat kepada Akino yang
terlihat masih sepenuhnya pucat dengan bibir yang kering. Refleks Akino membalasnya
dengan anggukan kecil dan tersenyum kepada dokter itu sembari mengenakan kacamata yang
berada di atas meja kecil di samping kasurnya.
Sudah merasa baikan? Apakah masih ada bagian yang terasa sakit? tanya dokter itu dengan
ramah.
Akino mengangguk pelan sambil menunjuki kepalanya yang masih dibaluti perban.
Kepalaku masih terasa sakit jawab Akino singkat sambil masih tersenyum kepada dokter
itu. Oh ya apakah luka di kepalaku berat? Tidak ada masalah apapun kan? tanyanya
dengan suara yang masih agak serak. Sejenak Akino dapat melihat ekspresi wajah dokter itu
yang berubah tanpa mengucapkan apa-apa.
Dokter? panggilnya pelan.
Dokter itu kemudian menatapnya lurus-lurus dengan pandangan yang terlihat iba dengan
sinar matanya yang terlihat meredup. Saya tidak tahu apakah saya harus mengatakannya
sekarang ataupun tidak.
Maksudnya? tanya Akino dengan ragu yang masih dengan fokus memandangi bibir dokter
itu.
Saya tidak yakin apakah nona siap atau tidak mendengar berita ini.
Akino mulai tegang. Jantungnya berdegup kencang dan tanpa sadar ia agak menahan
napasnya. Akan tetapi, ia kemudian mengulum senyum yang lembut tapi mantap kepada
dokter itu setelah berhasil menenangkan dirinya. Katakan saja apapun itu kata Akino
dengan tenang.
Dokter itu masih terlihat ragu untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Akan tetapi,
senyuman Akino yang begitu mantap kepadanya, membuat dirinya mau tidak mau
mengatakannya. Anda ujar dokter itu dengan suara yang berat. Suaranya terasa tercekat
di tenggorokannya karena merasa tidak tega untuk mengatakan hal itu kepada gadis muda
yang berada di hadapannya.
Menurut hasil diagnosa, anda menderita kanker otak lanjutnya lirih.
Seketika tubuh Akino menegang dan matanya membulat tidak percaya dengan apa yang
dikatakan oleh dokter itu. ia meremas selimut yang menyelimuti kedua kakinya dengan kuat.
Wajahnya tertunduk lesu ketika mendapat kabar yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Ba-bagaimana bisa? suara Akino mulai bergetar. Rasa takut mulai menyelimuti hatinya.
Ia dapat merasa jantungnya berpacu dengan semakin kuat dibalik rongga dadanya. Dan
dengan enggan ia mengangkat wajahnya dan menatap dokter yang masih berdiri tegak di
hadapannya.
Apakah. Ada anggota keluarga anda yang menderita penyakit ini?
Akino terlihat berusaha untuk mengingat-ingat. Dan pikirannya terhenti kepada ibunya. Ibu
yang telah melahirkannya dan membesarkannya. Akan tetapi meninggal dalam usia muda dan
yang menyebabkannya memang kanker otak yang sebelumnya tanpa pernah ia ketahui telah
menggerogoti diri ibunya hingga akhir.
I-ibu ujarnya lirih dengan suara yang tercekat. Ia membekap mulutnya sendiri tak
percaya bahwa apa yang menimpa ibunya kini menimpa dirinya. Apakah ini berarti.
Penyakit ini adalah penyakit keturunan? tanyanya memastikan. Dokter itu mengangguk
pasrah.
Apakah masih bisa disembuhkan? tanya Akino mulai panik. Dengan agak terkejut dokter
itu memandangi kedua bola mata Akino yang mulai basah. Dan dengan pasrah ia
memejamkan matanya sembari menggeleng pelan.
Hantaman keras pada kepala anda telah memperburuk keadaan. Selain itu penyakit anda
telah mencapai stadium akhir
Dan kali ini, perkataan dokter itu benar-benar membuat Akino bungkam. Kepalanya
tertunduk lesu dengan jantung yang seakan tiba-tiba berhenti berdetak. Semakin kuat ia
meremas selimut yang menyelimutinya itu sambil menggigit bibir bawahnya. Maaf tolong
tinggalkan aku sendiri ujar Akino dengan suara serak dan pelan. Dan suara pilu dan sedih
terdengar jelas dari ucapannya. Tanpa mengatakan apa-apa, dokter itu kemudian melangkah
keluar dari ruangan itu meninggalkan Akino yang masih duduk tercengang dengan tatapan
yang kosong.
Sesaat setelah dokter itu keluar dan menutup pintu, bertetes air mata mengalir jatuh tanpa
memberi kesempatan bagi Akino untuk mengusapnya hingga kering. Dan pada detik
selanjutnya, Akino telah menangis dengan suara pilu yang ia tahan di dalam ruangan yang
hanya tersisa dirinya sendiri.
Ia menekan dadanya kuat-kuat sambil menumpahkan air mata yang kini tak sanggup lagi ia
bendung. Hatinya sakit dan remuk karena harus menghadapi hal seperti ini dalam hal sekejap.
Ia putus asa dan sedih. Ia mengerang sekeras-kerasnya untuk mengeluarkan perasaan itu dari
hatinya. Akan tetapi, hal itu sama sekali tidak membantunya. Semakin kuat ia memaksakan
dirinya untuk menangis, semakin ia merasa dirinya jatuh semakin dalam.
Wajah ayah dan ibunya kini terbayang-bayang di dalam benaknya. Kebersamaan yang dulu
mereka alami bersama kini membayangi pikirannya. Wajah ibunya yang tersenyum begitu
anggun dan hangat layaknya malaikat kepadanya, dapat menenangkan dirinya yang dulu
menangis tersedu-sedu karena terjatuh dan melukai lututnya. Ia mengingat kembali saat
dimana ayah dan ibunya memeluk dirinya dengan erat dan hangat. Ia ingin kembali ke saat
itu. Akan tetapi, semua bahkan telah berlalu. Tersadar bahwa sekarang semua sudah tidak

dapat diputar kembali ke masa lalu, tangisnya semakin dalam dan terdengar begitu menyayat
hati.
Ibu ayah. panggilnya di sela-sela napasnya yang tersendat-sendat karena menangis.
Akino mengusap wajah dan matanya yang basah dengan kasar, akan tetapi air mata kembali
membasahi wajahnya. Ia mengerang sembari menepuk-nepuk dadanya yang terasa sakit dan
sesak. Kepalanya pusing dan mulai berdenyut sakit. Ia memegang kepalanya dengan kuat.
Sakit. Akan tetapi, rasa sakit yang kini menyerang hatinya bahkan lebih sakit dari hal itu
semua.
Ia ingin berteriak. Ingin mengamuk dan menghancurkan barang-barang yang berada di
sekitarnya tanpa ampun. Akan tetapi, bahkan tubuhnya terlalu lemah untuk mewujudkan itu
semua. Apakah semuanya akan berakhir begitu saja? Apa salahku sehingga Tuhan begitu
kejam padanya?
Tangis Akino semakin keras dan bahkan terdengar hingga di luar ruangan. Beberapa orang
yang lewat memandanginya dengan tatapan bingung, sembari menerka apa yang terjadi pada
gadis muda yang tengah menangis dengan begitu pilu.
Tidak aku tidak mau! serunya tiba-tiba sembari menggigiti ujung jarinya. Tuhan aku
mohon aku masih belum ingin mati apa salahku? Kenapa Kau begitu kejam padaku?!
suara Akino terdengar semakin keras. Selesai sudah. Tidak ada lagi kesempatan untuknya.
Semuanya dari dalam hidupnya akan segera mencapai akhir.
Ayah. Ibu.!! Aku belum ingin mati. Tolong tolong aku. pintanya sembari
menarik rambutnya dengan kuat. Tangisnya semakin kuat ketika saat itu kembali
membayangi benaknya. Ayahnya mengusirnya dengan tatapan yang begitu tajam dan penuh
benci. Tak ada lagi. Tak ada lagi yang bisa menolongnya kini. Ka-Kazuya
***
Anda menderita kanker otak terdengar suara dokter dari dalam ruangan tempat Akino
berada. Seketika Kazuya merasa tubuhnya membeku dari balik pintu ruangan rumah sakit
yang kini ditempati oleh dokter dan Akino sendiri. Ia diam dan sekujur tubuhnya gemetar.
Akino menderita kanker? Kazuya bertanya-tanya dalam hati. Apakah dia tidak salah
dengar?
Kazuya tetap memfokuskan pendengarannya pada pembicaraan kedua orang di dalam orang
itu dengan saksama.
Ba-bagaimana bisa? kali ini Akino bersuara.
Apakah di antara keluarga anda ada yang menderita penyakit ini?
I-ibu
Apa? Ibu Akino mengidap penyakit itu?! Apakah ini berarti penyakit keturunan? lanjut
Akino yang kedengaran semakin panik. Untuk beberapa saat, Kazuya tidak mendengar dokter
itu menjawab pertanyaan Akino. Apakah masih bisa disembuhkan? tanya Akino dengan
nada yang ragu.

Jantung Kazuya berdetak semakin kencang ketika Akino menanyakan hal itu. ia menunggu
beberapa saat hingga akhirnya dokter itu menjawab, Hantaman keras pada kepala anda
telah memperburuk keadaan. Selain itu penyakit anda telah mencapai stadium akhir
Barang bawaan Kazuya sontak terjatuh diikuti dengan tubuhnya yang terasa lemas
mendengar pernyataan dokter itu. Sesaat kemudian, dokter muda itu keluar dari ruangan
Akino yang kemudian diikuti dengan suara tangisan Akino yang tiba-tiba pecah.
Kazuya masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia jatuh terduduk di samping pintu
ruangan itu. Akino menangis dengan begitu keras, dan suara tangisannya terdengar begitu
memilukan dan menyayat hati. Hati Kazuya pun ikut remuk mendengar suara isakan Akino di
balik pintu itu. ingin ia segera menerobos masuk dan memeluk tubuh Akino yang lesu. Akan
tetapi kini untuk berdiri saja ia tidak sanggup.
Hatinya kini semakin berkecamuk antara takut, merasa bersalah, dan sedih. Ia takut
kehilangan gadis itu dari hidupnya. Ia merasa bersalah karena tidak bisa melindungi gadis itu.
Dan ia sedih karena kehidupan Akino yang begitu tragis dan dramatis. Tanpa sadar air
matanya pun ikut mengalir. Tubuhnya bergetar hebat. Ia pun menangis sembari
menyembunyikan wajahnya diantara kedua lututnya yang ia tekuk di depan dada.
Akino Akino-chan maaf ini semua salahku.!
***

Four-Leaf Clover Bab 13


by Shiro Neko'shop on Monday, 28 May 2012 at 17:54
Bab 13
Akino menatap dinding di depannya dengan tatapan kosong. Sama sekali tidak terlihat
adanya cahaya pada bola matanya yang hitam. Angin dingin berhembus masuk melewati
jendela ruangan yang terbuka. Dingin. Sedingin hatinya kini.
Beberapa saat kemudian, Kazuya masuk dengan kantong plastik pada tangannya. Akino tidak
merespon. Entah karena memang tidak tahu atau tidak mau tahu. Kazuya memandangi Akino
yang duduk di atas kasur di seberangnya. Hatinya seakan tersayat melihat wajah Akino yang
terlihat begitu pucat. Ia seakan bisa merasakan penderitaan yang dialami Akino kini.
Kazuya melangkahkan kakinya menuju tempat Akino terduduk, dan kemudian menarik kursi
dan ikut duduk di sampingnya. Akino tersadar dari lamunannya ketika Kazuya melambaikan
tangan di depan wajahnya.
Kazuya-kun gumamnya pelan dan serak. Ia berusaha untuk tersenyum walaupun
sebenarnya hatinya belum bisa menuruti keinginannya. Alhasil, hanya senyum terpaksa dan
pedih yang dapat ia perlihatkan.

Apa kau masih sakit? tanya Kazuya pelan sembari tersenyum ragu.
Sejenak Akino berpikir di dalam hatinya. Oh ya Kazuya masih belum mengetahuinya.
Apakah aku harus memberitahukan hal ini kepadanya? Ia diam dan hanya menatap Kazuya,
yang pada detik berikutnya ia memalingkan wajahnya ke luar jendela.
Aku sudah merasa baikan terima kasih sudah mengkhawatirkanku
Kazuya diam. Memandangi selimut putih di hadapannya dengan tatapan nanar. Ia masih
belum terima ketika ia mendengar dokter yang memvonis gadis di hadapannya itu mengidap
penyakit kanker otak. Ia lebih tidak terima lagi ketika tahu bahwa penyakit itu telah mencapai
stadium akhir. Ia merasa kedua matanya kembali panas. Akan tetapi, ia berusaha untuk tegar
dan menghadapi Akino dengan senyum. Ia harus selalu menemani Akino. Dimana kecelakaan
pada Akino juga merupakan salah satu kelalaiannya.
Kazuya mengetuk pelan punggung tangan Akino yang masih menggenggam selimut dengan
erat. Akino menoleh dan kembali tersenyum kepada Kazuya. Mata Kazuya membulat ketika
mendapati mata Akino yang berkaca-kaca.
Akino-chan? Kau menangis? Ada apa? tanyanya lembut. Kazuya tentu tahu apa yang
menyebabkan itu semua. Tapi mungkin untuk sementara waktu lebih baik dia berpura-pura
untuk tidak mengetahuinya.
Eh? Tidak! Aku tidak menangis. Tadi terkena terpaan angin. Jadi agak perih. Hehehe
dustanya sambil mengerjap-kerjapkan matanya beberapa kali. Ada apa? Akino balik
bertanya. Kazuya pun kemudian mengeluarkan sebuah buku novel yang ia beli di toko buku
tadi dan menyerahkannya kepada Akino.
Untukmu. Aku pikir kau pasti akan bosan jika hanya duduk diam di dalam rumah sakit. Jadi
sekalian saja aku membelinya dalam perjalanan ke sini. jelas Kazuya dengan senyumnya
yang teduh. Akino menerimanya dengan gembira.
Wah terima kasih banyak. ujar Akino. Ia menaruh buku itu di atas pangkuannya dan
menatap buku itu dalam.
Kenapa? Tidak suka? tanya Kazuya sambil mengetuk-ngetuk lagi punggung tangan Akino.
Hah? Tidak. Sebenarnya, aku sudah pernah membacanya jawab Akino jujur.
Apa? Jadi kau sudah pernah membacanya?! Wah. Kalau begitu, sini kembalikan. Biar aku
tukar lagi dengan yang lain. Kazuya kalut ketika mengetahui bahwa novel yang ia beli untuk
Akino ternyata sudah pernah dibaca. Segera ia mengambil kembali novel itu dan hendak
memasukkannya kembali ke dalam kantong plastik.
Akino dengan cepat merebut buku itu, Jangan! Aku menyukai novel ini! Apalagi buku ini
pemberianmu. ujarnya malu-malu sembari membuka plastik putih yang membungkus rapi
buku itu.
Tapi kau sudah pernah membacanya. Tidak akan seru kalau kau sudah mengetahui jalan
ceritanya protes Kazuya.

Sudah kubilang tidak apa-apa. Lagipula mana bisa kau menukarnya begitu saja. Kasir toko
itu mungkin akan mengomelimu panjang lebar. Oh ya, apa itu? tanya Akino ketika melihat
kantong plastik berwarna putih di pangkuan Kazuya. Kazuya mengambil isi kantong itu dan
menunjukkannya kepada Akino.
Apel. Mau? Biar aku kupaskan.
Tentu saja! Kau tahu saja apa yang aku mau! pujinya sambil sesekali tertawa ringan.
Mendengar itu, Kazuya pun mengambil pisau kecil yang ia bawa dan mulai mengupas salah
satu apel. Mereka berdua pun kembali dalam keadaan hening yang masing-masing dari
mereka sibuk dengan pekerjaan mereka sendiri. Akino mulai membaca novel pemberian
Kazuya dengan khusyuk, sementara Kazuya mengupas kulit apel dan membelahnya menjadi
beberapa bagian.
Ini. Buka mulutmu. kata Kazuya sembari mengacungkan salah satu belahan apel ke arah
Akino. Akino menoleh dan kemudian memakan apel itu dengan lahap. Akino tersenyum. Dan
lagi-lagi dengan mata yang agak berkaca-kaca. Hati Kazuya terasa diremas dengan begitu
kuat ketika melihat ekspresi Akino yang seperti itu. Sedih, akan tetapi berusaha untuk
bertahan.
Seketika Akino terperangah. Matanya membulat lebar dan ia merasakan jantungnya
berlompatan dan ia menahan napas untuk beberapa detik ketika tubuhnya kini didekap erat
oleh Kazuya. Akino bisa merasa napas Kazuya yang berhembus di telinganya, serta jantung
Kazuya yang berdetak di dekat wajahnya. Ia dapat mencium aroma tubuh Kazuya di
depannya.
Maaf, Akino-chan ini salahku tidak bisa melindungimu baik-baik. Kalau aku tidak lengah
dan kalau tidak menolak Airi mentah-mentah, dia juga tidak akan marah dan akhirnya
mencelakaimu. Dan di saat kau jatuh dari tangga pun. Seandainya saja aku bisa segera
menolongmu sebelum terjatuh, mungkin tidak akan terjadi hal seperti ini. Maafkan aku,
Akino-chan. Ini semua memang salahku. Kazuya berbicara panjang lebar, walaupun dia
tahu Akino tidak akan bisa mendengar satupun kata yang ia ucapkan. Tanpa dapat ia tahan,
air matanya mengalir dari kedua bola matanya dan jatuh membasahi rambut Akino yang
tergerai.
Akino membiarkan Kazuya memeluk dirinya yang kini memang sedang ingin mendapatkan
kehangatan dari seseorang. Ia menyandarkan kepalanya di dada Kazuya yang bidang dengan
wajah yang pedih. Dirinya yang sekarang benar-benar terpuruk. Ia ingin terus tersenyum dan
pasrah kepada Tuhan. Akan tetapi, ia tidak sanggup. Ia merasa hatinya disayat-sayat
mendengar vonis dokter akan dirinya.
Beberapa menit kemudian, Kazuya melepaskan pelukannya dan mengangkat wajah Akino ke
hadapannya. Ditatapnya wajah Akino yang pucat dengan kedua bola matanya yang basah.
Kazuya-kun? Kenapa kau menangis? tanya Akino bingung sembari mengusapkan ibu
jarinya pada wajah Kazuya. Ia tersenyum menatap Kazuya. Berusaha menghiburnya. Akan
tetapi ia hanya bisa menunjukkan kepedihan dalam senyumannya. Senyuman yang membuat
hati Kazuya merasa bersalah.

Kumohon, Akino-chan jangan tunjukkan senyum seperti itu ucap Kazuya lirih. Akino
terdiam. Menangislah. Menangislah jika hatimu memang sakit. Jangan kau tunjukkan
senyummu yang terlihat begitu pedih. Aku akan selalu menemanimu. Baik sedih maupun
senang. Maka dari itu. menangislah jika kau merasa sedih, Akino-chan
Mata Akino mulai berkaca-kaca dan air matanya mengalir turun ketika ia tak dapat lagi
menahan air mata itu. Pundaknya mulai terguncang-guncang ketika suara isakannya
terdengar. Dan dengan hangat Kazuya kemudian membawa tubuh Akino yang lemah itu ke
dalam dekapannya.
Tubuh Akino bergetar seiring dengan tangisnya yang memilukan di dalam dekapan Kazuya.
Akino menggenggam erat baju Kazuya sembari mengerang kuat. Tak kuasa menahan sedih,
Kazuya pun ikut terlarut dalam kesedihan Akino, gadis yang dicintainya itu. Kenapa? Kenapa
Tuhan harus memberikan cobaan seperti itu pada gadis yang begitu polos ini? Apa salahnya?
Ayah. panggil Akino di sela tangisnya. Betapa prihatinnya Kazuya ketika mendengar
Akino yang menyebut-nyebut ayahnya yang padahal sama sekali tidak mempedulikannya.
Semakin erat Kazuya memeluk tubuh Akino sembari mengelus puncak kepala gadis itu.
Kazuya. panggilnya kemudian.
Hm? jawab Kazuya dengan suaranya yang tercekat.
Aku aku belum ingin mati aku masih belum ingin mati, Kazuya masih banyak
masih banyak yang ingin aku lakukan. Aku masih ingin berbicara banyak dengan ayah. Aku
juga masih ingin melaku hhh melakukan banyak hal denganmu ujar Akino serak.
Kenapa? Kenapa Tuhan menimpakan hal ini kepadaku? Hhh apa salahku? Jawab aku
Kazuya-kun beritahu aku apa yang telah kuperbuat sehingga Tuhan begini kepadaku?
lanjutnya lagi. Kazuya diam. Ia tidak bisa menjawab apapun. Ia hanya terisak kecil
mendengar segala curahan Akino.
Tangis Akino semakin keras akan tetapi teredam oleh tubuh Kazuya yang mendekapnya
hangat. Ia sulit bernapas dimana hatinya seakan diremas kuat. Wajahnya memerah dan basah
oleh peluh dan air mata. Kepalanya terasa pusing karena terlalu banyak menangis.
Kazuya-kun. Sungguh aku belum ingin mati tolong aku.
Betapa sakitnya Kazuya mendengar permintaan Kazuya yang tidak akan mungkin bisa
dilakukannya. Ia meminta maaf berulang kali walaupun Akino tidak bisa mendengar
suaranya. Dan kini ia tahu, betapa tidak berdayanya ia ketika menyadari bahwa ia tidak
pernah bisa membantu Akino selain selalu berada di sisi gadis itu selama ini.
***
Kazuya berdiri terpaku di depan rumah Akino. Ia memandangi rumah itu sesaat dan
kemudian memutuskan untuk masuk ke rumah itu.
Kazuya menekan bel beberapa kali, hingga salah seorang pelayan membukakan pintu
untuknya. Ketika Kazuya masuk ke dalam rumah itu, hal yang pertama ia tanyakan kepada
pelayan rumah Akino adalah keberadaan Takuto. Dan ternyata, Takuto saat itu masih belum

pulang dari kantor sehingga mau tidak mau, Kazuya memutuskan untuk menunggu di ruang
tamu.
Hari semakin gelap ketika sebuah mobil sedan hitam kemudian memasuki halaman rumah
Akino. Segera Kazuya bangkit dari tempat duduknya dan kemudian melihat mobil itu dari
jendela.
Seorang pria paruh baya yang tidak lain tidak bukan adalah Fujioka Takuto, turun dari mobil
itu setelah sopirnya membukakan pintu untuk majikannya. Takuto kemudian melangkah
dengan wajah lelah menuju ambang pintu yang telah dibukakan para pelayannya yang setia.
Langkahnya sontak terhenti ketika ia mendapati Kazuya juga berdiri di ambang pintu,
menatapinya dengan tatapan keruh.
Seakan tidak melihat, Takuto masuk ke rumah tanpa menghiraukan keberadaan Kazuya di
rumah itu. Memang Kazuya merasa kesal. Akan tetapi, ia akan menahan emosinya sebelum ia
mengatakan maksud kedatangannya untuk bertemu dengan Takuto. Takuto menaiki tangga
rumahnya untuk segera masuk ke dalam ruang kerjanya.
Maaf, paman. Ada yang ingin aku bicarakan dengan paman ujar Kazuya sopan. Takuto
berhenti dan menatap Kazuya dengan tajam.
Bila itu adalah hal mengenai Akino, lupakan saja. Aku lelah dan ingin beristirahat.
Pulanglah, anak muda. ujarnya tanpa ragu sedikit pun, dan kemudian kembali menaiki satu
per satu anak tangga.
Maaf. Ini hal penting. Dan paman harus tahu.
Takuto menghela napas panjang untuk menahan emosinya yang akan meluap kapan saja jika
ia sedang lelah. Takuto memutar tubuhnya dan kembali memandangi Kazuya.
Kalau begitu katakan sekarang. Apa yang ingin kau bicarakan padaku?
Bisakah pergi ke tempat yang lebih tenang? Aku hanya ingin berbicara dengan paman.
Kembali Takuto menghela napas sembari melepas dasi yang melilit di kerah kemejanya.
Ikut aku. ujarnya kemudian. Kazuya pun segera berjalan mengikuti langkah Takuto dari
belakang, meninggalkan para pelayan yang masih memandangi mereka berdua dengan penuh
tanda tanya.
Kazuya masuk ke dalam ruang kerja Takuto yang sesak akan buku-buku dan tumpukan
pekerjaan di meja kerja. Kazuya kemudian menutup pintu pelan-pelan sementara Takuto
duduk di atas kursi di balik meja kerjanya. Takuto mengangkat wajahnya dan menatapi
Kazuya tanpa bicara apa-apa. Kazuya juga diam. Dia akan terus diam jika Takuto tidak
bersuara.
Jadi, apa? tanya Takuto kemudian setelah beberapa menit berlalu.
Aku ingin tahu, kenapa paman sama sekali tidak mempedulikan Akino? tanya Kazuya yang
kemudian bersuara.

Itu urusan keluargaku. Kau hanya orang luar, jadi tidak perlu tahu. jawabnya tegas.
Baik. Aku memang orang luar. Tapi kenapa? Kenapa paman harus memperlakukan Akino
seperti itu? Apa salahnya? Kenapa paman bahkan tidak menghampirinya yang jatuh dari
tangga setinggi itu? Apakah paman sama sekali tidak peduli dengan keadaan Akino
sekarang? lanjut Kazuya lirih. Ia berusaha sesabar mungkin untuk berbicara dengan ayah
Akino. Takuto hanya mengerutkan keningnya dengan tubuh yang ia sandarkan di kursi.
Hanya terjatuh kan? Lalu kenapa? Memangnya hanya terjatuh begitu dia akan mati? Dia
bukan anak bayi yang harus terus dikhawatirkan dan dimanja. Lama-lama dia juga akan
terbiasa dan mengerti.
Bukan main marahnya Kazuya sekarang. Ia mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat dengan
wajah yang memerah padam. Dan dalam satu hentakan, ia menghantamkan tinjunya ke atas
meja dengan keras sembari menatap Takuto lekat-lekat. Sontak Takuto terkejut dengan
perbuatan Kazuya yang lancang dan tiba-tiba.
Hanya terjatuh, katamu?! Memang dia tidak akan segera mati karena jatuh dari tangga itu!
Akan tetapi itu akan menjadi salah satu penyebab yang akan membuatnya meninggal! Apa
paman tahu akan hal itu?! kali ini Kazuya tidak lagi bisa menahan emosinya. Ia membentak
pria di depannya dengan garang. Tubuhnya bergetar dan napasnya memburu karena kesal.
Ingin sekali ia langsung menghantam wajah pria itu hingga jatuh tersungkur. Akan tetapi,
walaupun begitu, ia tahu. Waktu yang telah pergi tak akan pernah kembali lagi.
Jaga sikapmu!
Akino memang bukan lagi anak bayi. Akan tetapi dia juga manusia. Dan yang paling
penting, Akino adalah darah daging paman sendiri! Pernahkah paman tahu tentang
keadaannya sehari-hari? Tahukah paman betapa rindunya Akino kepada paman? Dan tahukah
paman sekarang Akino tidak lagi bisa mendengar?! Kazuya berseru kuat tanpa peduli orang
di depannya lebih tua darinya. Akan tetapi, Kazuya tidak bisa lagi menahannya. Takuto sudah
keterlaluan.
Apa? Tidak bisa mendengar? ulang Takuto agak terkejut.
Iya! Tepatnya sekarang dia sudah menjadi tunarungu! Apakah paman pernah tahu tentang
hal itu, hah?! Apa yang dilakukan paman selama ini sebagai ayah?! Hanya menenggelamkan
diri dalam pekerjaan? Apakah paman berpikir, uang adalah segalanya? Hanya dengan
memiliki uang, paman akan merasa senang? Kalau memang hal itu benar bagi paman, hal itu
benar-benar bertolak belakang dengan Akino! Yang ia butuhkan bukan uang. Tapi kehangatan
sebuah keluarga!!! Kazuya semakin menjadi. Dan kini pelupuk matanya mulai basah. Dan
setetes demi setetes air matanya mengalir cepat dari matanya.
Apakah paman tidak bisa sekali saja peduli padanya? Bahkan ketika tidur ia selalu
memanggil paman. Sekarang yang ia miliki hanya paman, tapi kenapa paman malah
meninggalkannya begitu saja? Kini dia sedang sakit parah. Apa paman tahu itu? Akino
menderita, paman!! Hal yang paling ia butuhkan sekarang hanyalah kehangatan dan kasih
sayang orang tua. Hanyalah hal sesederhana itu. Tidak bisakah paman mewujudkannya?
perlahan Kazuya mengecilkan suaranya dan berharap bahwa kata-katanya bisa menyadarkan
Takuto. Setidaknya hanya ini yang bisa ia lakukan kepada Akino.

Sakit parah? Sakit apa? Takuto terlihat mulai peduli akan tetapi masih dengan tatapan yang
tajam seakan tidak terpengaruh perkataan Kazuya.
Memangnya paman peduli apa yang sedang dideritanya sekarang? Apakah paman pernah
peduli kapan ia sakit dan kapan dia tidak makan? Pernahkah paman mempedulikan hal
seperti itu selain pekerjaan paman? Apakah dengan memberitahukannya kepada paman,
paman akan berubah dan memperhatikannya?
Takuto diam dan kemudian memalingkan wajahnya. Hatinya tidak tenang. Akan tetapi, rasa
kebencian seakan menariknya untuk kembali ke posisi awal. Sudahlah. Lebih baik kau
pulang. Tidak ada hubungannya denganku. Sebentar lagi dia juga akan sembuh. Mengenai
biaya rumah sakit, aku yang akan membayarnya. Sekarang pulanglah. Aku lelah.
Tubuh Kazuya kini menegang. Matanya terbelalak dan jantungnya seakan berhenti saat itu
juga. Dia sama sekali tidak peduli? Apa benar yang dikatakannya? Tidak ada hubungan
dengannya? Bagaimana bisa? Bagaimana bisa seorang mengatakan hal seperti itu? Apa yang
terjadi? Takuto benar-benar tidak menghiraukan hal itu semua dan menyuruhnya untuk
pulang?! Sontak Kazuya merasa tubuhnya kini perlahan melemas dan hampir terjatuh ke atas
lantai. Akan tetapi dengan segera ia menopang tubuhnya di dinding ruangan itu tanpa
sanggup bicara apapun.
Ia benar-benar tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu. Kazuya mencoba untuk
mengangkat wajahnya yang masih terperangah dengan jawaban Takuto itu. Ditatapnya tajam
dan penuh kebencian kepada sepasang bola mata di hadapannya.
Paman paman akan menyesali kata-kata dan perbuatan paman. Aku yakin dengan hal
itu. Paman pasti akan menyesalinya. Lihat saja. ujarnya dengan suara yang bergetar dan
kemudian melangkah keluar dari ruangan itu dengan langkah gontai.
Kazuya kemudian keluar dari rumah itu tanpa mengatakan apa-apa lagi. Bahkan ia tidak
menjawab satupun pertanyaan dari para pelayan itu. Ia benar-benar tercengang, karena
bertemu dengan orang seperti Takuto. Dalam hati ia hanya bisa mengutuk dirinya sendiri
sebagai orang yang tidak berguna karena tidak bisa membantu sedikitpun keinginan Akino.
Kazuya berjalan pulang ke rumahnya dengan lesu, ditemani dengan dinginnya salju yang
turun.
Sementara itu, Takuto masih duduk terdiam di belakang meja kerjanya. Ia merasa kacau.
Antara benci dan khawatir. Entah apa yang harus ia perbuat sekarang. Kini ia hanya bisa
mengerang kesal karena merasa seperti orang kejam yang bodoh.
***
Di pihak lain, Akino kini tengah duduk sendiri di atas kasurnya di tengah gelapnya malam. Ia
menerawang ke segala ruangan dengan penerangan yang seadanya. Sesekali ia memalingkan
wajahnya dan memandang keluar jendela. Turun salju, pikirnya. Kira-kira apa yang sedang
dilakukan Kazuya sekarang?
Tiba-tiba seseorang masuk ke dalam ruangan itu. Akino tidak dapat melihatnya dengan jelas,
karena ruangan yang gelap. Setelah menutup pintu, orang itu menekan sakelar dan seketika

cahaya lampu menerangi ruangan itu. Dan ternyata, orang itu adalah seorang suster. Akino
tersenyum kepada suster itu yang dibalas dengan anggukan ramah dari suster itu.
Selamat malam, nona. Bagaimana keadaan nona? tanyanya dengan ramah.
Baik-baik saja. jawabnya singkat. Suster itu kemudian memeriksa peralatan medis di dalam
ruangan itu. Mengecek apakah semuanya berfungsi dengan baik. Setelah pengecekannya
selesai, suster itu pun pamit. Akan tetapi, Akino dengan segera menahannya.
Maaf, suster. Bisakah aku minta tolong? tanya Akino ragu.
Suster itu mengangkat kedua alisnya sesaat, yang kemudian dilanjutkan dengan senyum yang
lembut. Tentu saja. Ada yang bisa saya bantu?
Bisakah tolong menyampaikan pada orang ini untuk membawakan sesuatu untukku? Akino
kemudian menyodorkan ponselnya dengan nomor telepon yang tertera di layar ponsel itu.
Suster itu kemudian mengangguk dan mengambil ponsel itu dari tangan Akino. Sesuai
permintaannya, suster itu kemudian menelepon nomor yang tertera pada layar ponsel. Ia
menempelkan ponsel itu di telinganya dan sesaat kemudian terlihat ia sedang berbicara
dengan orang yang dihubungi.
Apa yang ingin anda pesan, nona? tanya suster itu.
Tolong suruh dia untuk membawakan sebuah kotak kado kecil dan buku diary dari laci
mejaku besok pagi
Suster itu pun kemudian mengatakan apa yang dikatakan Akino kepada orang yang kini
sedang dihubunginya, yang merupakan salah satu pelayan di rumahnya. Dan beberapa saat
kemudian, terlihat suster itu menutup telepon dan menyerahkan kembali ponsel itu kepada
Akino.
Terima kasih kata Akino dengan sopan. Segera setelah itu, suster itu kemudian
membungkuk sejenak dan keluar dari ruangan itu sembari mematikan lampu. Dan Akino kini
kembali dilingkupi gelapnya malam. Ia kemudian menarik selimut hingga menutupi tubuhnya
dan kemudian memutuskan untuk beristirahat.
***

Four-Leaf Clover Bab 14


by Shiro Neko'shop on Monday, 28 May 2012 at 17:56
Bab 14
Akino tengah memandangi kotak kado kecil yang rencananya ingin ia berikan kepada Kazuya
kemarin ketika kemudian dokter muda yang menangani Akino masuk ke ruangan itu. Dengan
lembut Akino tersenyum kepada dokter itu yang dibalas dengan senyum ramah dari dokter
itu. Tanpa diminta, dokter itu kemudian menarik kursi di samping Akino dan duduk di
atasnya.

Bagaimana kabarmu, nona Akino?


Dengan mata yang menyipit, Akino mencermati gerakan bibir dokter itu. Cukup buruk
jawabnya kemudian.
Apa yang terjadi?
Aku rasa aku memerlukan kacamata baru ujar Akino sembari tertawa kecil. Semakin
hari penglihatanku semakin kabur saja. Padahal aku sudah memakai kacamata. Tapi tetap
saja lanjutnya. Diputar-putarnya kotak kado itu sembari menatap dokter itu. sepertinya
baru berumur sekitar dua puluh tahunan, pikirnya.
Dokter itu diam tak bersuara sambil tetap menatap Akino yang duduk di hadapannya. Kenapa
gadis semuda dia harus mengalami penderitaan seperti ini?
Ada apa dokter? Ada sesuatu yang menempel di wajahku? dengan cepat Akino meraba
wajahnya, mencari-cari penyebab dokter itu menatapnya tanpa bergeming.
Ada yang masih saya beritahukan kepada nona ujarnya serak. Akino terdiam menunggu
kalimat selanjutnya yang akan dikatakan dokter itu. Hal ini mengenai mata anda
lanjutnya.
Tubuh Akino kembali menegang. Rasanya dia sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan
dokter itu mengenai penglihatannya. Ia menahan napas agar air matanya tidak keluar.
Perlahan ia melempar senyum. Senyum yang benar-benar terpaksa. Aku akan buta?
tanya perlahan. Mendengar itu, si dokter langsung memalingkan wajahnya, tidak berani
menatap mata pasien di depannya. Sejenak ia diam, dan kemudian mengangguk dengan
pasrah.
Masih dengan senyum, Akino kemudian menghela napas panjang seraya mengangkat
wajahnya menatapi langit-langit ruangan itu yang berwarna putih. Jangan. Jangan sampai aku
menangis lagi, gumamnya dalam hati.
Begitu ya sudah kuduga. Awalnya aku bertanya-tanya kenapa penglihatanku tiba-tiba
menjadi kabur tanpa alasan. Padahal sudah menggunakan kacamata, akan tetapi, hari demi
hari pandanganku semakin kabur. Dan setelah dokter memvonisku telah mengidap penyakit
mematikan itu, aku berpikir, semua hal itu jadi masuk akal. ujarnya panjang lebar. Kini ia
sudah pasrah. Tak ada lagi yang bisa ia tuntut. Dipalingkan lagi wajahnya kepada dokter
muda itu dan tersenyum. Senyum dengan sedih yang mendalam. Terima kasih sudah
memberitahuku katanya lirih.
Dokter itu ikut prihatin dan menatap Akino nanar. Tapi keadaan akan lebih baik
seandainya ada donor mata untuk anda.
Akino menggeleng pelan. Seandainya saja bukan? Tidak ada kepastian untuk itu. untuk
mendapatkan donor mata tentu sangat sulit kan? Aku tahu hal itu kemungkinan itu sangat
kecil. Tapi apakah apakah aku harus percaya pada kemungkinan kecil itu? Kurasa itu sangat
sulit

Kini dokter itu terperangah. Memang benar apa yang dikatakan Akino. Sulit untuk
mendapatkan donor mata. Selain karena pihak keluarga pendonor yang mungkin belum tentu
akan menyetujui, belum tentu pula mata yang akan didonorkan itu masih dalam kondisi yang
baik.
Setelah beberapa saat mereka berdua membisu, dua orang masuk ke dalam ruangan itu.
Akino menoleh, dan kembali menyipitkan mata untuk melihat siapa orang yang datang.
Kazuya-kun lalu gumamnya sembari masih mengamati orang di sebelah Kazuya.
Kazuya dan orang yang dibawanya itu kemudian berjalan mendekati Akino sementara dokter
itu kemudian pamit.
Asakura-senpai?! serunya kaget. Kenapa bisa ada di sini?! tanyanya masih dengan mata
yang melebar. Perlahan Rin duduk di sisi ranjang sembari menepuk pelan puncak kepala
Akino.
Apa yang terjadi padamu, hm? Kenapa kau bisa jadi seperti ini? tanyanya lirih. Sampai
sekarang ia masih tidak percaya dengan apa yang diceritakan Kazuya padanya ketika tanpa
sengaja bertemu di sebuah toko. Akino hanya tersenyum sembari sesekali melirik ke arah
Kazuya yang berdiri di sisi kanannya tepatnya di dekat jendela.
Aku juga tidak tahu mungkin sudah takdir Akino tertawa kecil. Sementara Rin hanya
menampakkan wajah yang sedih. Jangan tatap aku dengan wajah seperti itu ujarnya
kemudian. Ia tidak suka orang-orang yang dekat dengannya memandanginya dengan tatapan
seperti itu. Hal itu serasa menambah sakit di hatinya berkali-kali lipat besarnya.
Maaf. jawab Rin singkat. Semoga ada keajaiban yang bisa membuatmu sembuh, Akinochan
Semoga saja
Ketiga orang itu kemudian terdiam tanpa bicara sepatah katapun. Beberapa menit kemudian,
Asakura Rin mengangkat lengannya dan memandangi jam tangannya.
Ah, maaf. Sudah waktunya aku pergi maaf ya tidak bisa menemanimu. Semoga kau
segera sembuh ujarnya lembut sembari tanpa ragu memeluk tubuh di hadapannya. Sontak
Kazuya dan Akino sendiri tercengang tidak percaya. Sesaat kemudian Akino membalas
pelukan itu. Pelukan Asakura-senpai hangat sekali tapi berbeda dengan Kazuya.
Sepertinya, pelukan ini lebih seperti pelukan dari seorang kakak kepada adiknya, gumam
Akino dalam hati.
Sejenak Kazuya merasa hatinya sakit melihat pemandangan di depannya. Akan tetapi ia
kemudian berusaha menganggap bahwa pelukan itu hanya antara seorang senior kepada adik
kelasnya. Lalu, apa salahnya? Tenang, Kazuya tenanglah
Beberapa detik kemudian Rin melepaskan dekapannya pada Akino dan dengan sopan pamit
kepada Kazuya dan Akino. Sesaat setelah Rin keluar dari ruangan, Kazuya kemudian duduk
di kursi tempat dokter muda tadi duduk.
Bagaimana keadaanmu sekarang, Akino-chan? tanya Kazuya dengan lembut sembari
menggenggam tangan kanan Akino dengan kedua tangannya yang besar.

Seperti yang kau lihat, Kazuya-kun


Ditatapnya wajah Kazuya, mulai dari rambutnya yang hitam kepirangan, bola matanya yang
cokelat teduh, hidungnya yang mancung, wajahnya yang bersih dan bibirnya yang kini
terkatup rapat. Kenapa wajahmu begitu pucat? Kau sakit? tanya Akino ketika menyadari
wajah Kazuya terlihat pucat dengan bibir yang agak kering. Ia menyentuh dahi Kazuya
dengan punggung tangannya. Wah sepertinya kau agak demam. Apa yang kau lakukan?
Kau main salju semalaman ya?
Tidak. Aku sehat-sehat saja. ujarnya dengan senyum mantap.
Kau yakin? Sepertinya tidak
Sungguh, aku baik-baik saja. ulangnya dengan tegas.
Baiklah Oh ya, Kazuya-kun panggilnya pelan.
Hm? tanya Kazuya sembari mengangkat kedua alisnya.
Boleh tidak aku menyentuh wajahmu? tanyanya ragu. Sejenak Kazuya kaget dengan
permintaan Akino yang tiba-tiba. Apa maksudnya? Akhirnya tanpa banyak bertanya, Kazuya
menganggukkan kepalanya dan disambut dengan senyuman manis Akino.
Benar? Kalau begitu, pejamkan matamu sebentar perintahnya. Kazuya menurut dan
memejamkan matanya. Dan pada detik selanjutnya, Akino mengangkat kedua tangannya dan
mengelus kepala Kazuya. Rambutnya tebal dan halus. Baru Akino sadari bahwa rambut
Kazuya begitu halus layaknya rambut bayi. Akino tersenyum dan kemudian tangannya mulai
menjelajah turun menuju wajah Kazuya. Wajahnya bersih dan juga halus. Akan tetapi agak
kering. Mungkin karena pengaruh cuaca, pikirnya.
Kembali tangan Akino melanjutkan penjelajahannya. Sejenak ia melihat Kazuya tertawa kecil
karena merasa geli. Akan tetapi, tidak dihiraukannya dan kemudian mengusap pelan kedua
mata Kazuya. Alis matanya juga panjang. Aku suka sekali dengan matanya. Begitu teduh dan
menenangkan. Gumamnya dalam hati. Tangannya kemudian bergerak turun menuju batang
hidung Kazuya. Mancung, pikirnya. Dan terakhir tangannya bergerak turun ke bibir Kazuya.
Ternyata bibirnya lembut, pikirnya lagi.
Nah, bukalah matamu. kata Akino masih dengan kedua tangannya yang menyentuh kedua
pipi Kazuya. Perlahan Kazuya membuka matanya, dan ia tersentak kaget ketika mendapati
wajah Akino begitu dekat dengannya. Sontak wajahnya memerah dan tanpa sadar ia menahan
napas. Akino tersenyum lembut padanya. Walaupun pucat, Akino terlihat cantik dengan
senyumannya yang anggun dan lembut.
Tiba-tiba Akino menarik wajah Kazuya agar mendekat. Kini dahi mereka berdua
bersentuhan. Akino memejamkan matanya, sementara Kazuya masih gugup dengan jarak
wajah mereka yang begitu dekat. Ia dapat mendengar hembusan napas Akino yang begitu
pelan dan tenang.
Kini, aku sudah mengingat semuanya. Mengingat kenangan kita bersama selama ini. Dan
tadi, aku juga sudah hapal dengan wajahmu. Akan selalu aku ingat dalam benakku.

Rambutmu yang halus, bulu matamu yang panjang, hidungmu yang mancung, dan wajahmu
yang bersih dan halus. Walaupun sekarang aku sudah tidak bisa mendengar suaramu, tapi apa
kau tahu? Sampai sekarang aku masih mengingatnya dengan jelas. Suaramu terdengar begitu
indah. Dalam dan menenangkan. Akino diam sejenak. Sementara Kazuya juga masih diam
untuk menangkap maksud dari kata-kata yang diucapkan Akino. Kenapa Akino tiba-tiba
berubah?
Beberapa saat kemudian Akino mengangkat wajahnya dan menatap sejenak wajah Kazuya
yang terlihat samar. Pada detik selanjutnya, ia menarik tubuh Kazuya kepelukannya. Kazuya
terkejut karena Akino yang tiba-tiba memeluknya.
Akino-chan.
Akino tidak menjawab melainkan hanya memeluk Kazuya dengan erat. Ditopangnya
wajahnya di atas pundak kanan laki-laki itu sambil tersenyum. Kazuya-kun adalah sahabat
terbaikku aku masih ingat ketika suatu hari kau datang menghampiriku dan mengajakku
berkenalan. Kau mengulurkan tangan sambil tersenyum ramah padaku. Saat itu aku benarbenar tidak menyangka, akan ada orang yang menyapaku. Seperti yang kau tahu, aku
pendiam di kelas. Hampir tidak pernah berbicara pada orang lain. Dan mereka pun tidak
pernah menyapaku. Tapi kau berbeda. Saat itu aku begitu gembira bisa mendapatkan teman
yang sekarang akhirnya menjadi sahabatku. lanjutnya panjang lebar. Ia menghela napas.
Suaranya bergetar dan matanya mulai panas. Bertahanlah, Akino. Jangan menangis,
gumamnya dalam hati.
Kazuya masih membisu untuk mendengarkan tiap perkataan Akino. Akino yang sekarang
sepertinya ingin mengatakan banyak hal. Dan dia akan setia mendengarnya apapun itu.
Kau orang baik, Kazuya-kun laki-laki yang sangat baik. Kau pintar, tampan, kuat, dan
begitu bisa diandalkan. Tapi kenapa kau belum memiliki pacar? tanyanya kemudian sembari
tertawa pelan. Perempuan yang bisa mendapatkanmu, pasti adalah orang yang sangat
beruntung. Karena di dunia ini jarang sekali ada orang yang sepertimu
Kini Akino tidak sanggup lagi. perlahan air mata yang sudah tak terbendung di matanya
mulai jatuh dan membasahi syal milik Kazuya. Akan tetapi ia tetap berusaha untuk
menyembunyikan isakan tangisnya dengan menarik napas panjang dan mempererat
pelukannya. Aku, bahagia sekali bisa mengenalmu sungguh. Aku benar-benar
berterimakasih kau begitu peduli padaku di saat aku kesepian. Tidak. Tidak hanya ketika aku
kesepian kau selalu ada untukku. Dan itu adalah hal terbaik yang pernah aku dapatkan.
Walaupun sekarang ayah tidak ada untukku. Walaupun ayah membenciku, tidak apa-apa.
Mungkin aku memang salah padanya. Aku hanya berharap, agar ayah akan selalu sehat dan
bahagia. Semoga ayah tahu kalau aku selalu menyayanginya baik sekarang, maupun untuk
kedepannya. Tanpa dia, aku belum tentu ada di dunia ini dan bertemu denganmu. Dan
tentunya, ini juga berkat ibu sehingga aku bisa lahir ke dunia ini. Hanya saja, ibu sudah
pergi tapi, mungkin sebentar lagi aku akan bertemu dengannya di sana. Aku begitu
merindukannya.
Segera Kazuya melepaskan pelukan Akino dengan kasar dan menatap lekat-lekat wajah
Akino yang kini sudah basah oleh air mata.

Apa yang sedang kau bicarakan?! Kau tidak akan mati! Kalaupun kau ingin mati, aku tidak
akan pernah mengijinkanmu. Bila kau masih bersikeras, maka aku akan membencimu. Aku
akan melupakanmu dan tidak mau lagi menjadi sahabatmu! ancam Kazuya panik dengan
perkataan Akino yang seakan merupakan pesan terakhir baginya. Mendengar itu, Akino
hanya tersenyum tipis.
Sudahlah, Kazuya pada akhirnya kau akan tau apa yang akan terjadi. Kau tidak perlu
menyangkal lagi. Bukan kau maupun aku yang bisa mencegah ini semua. Semuanya di
tangan Tuhan. Dan sekarang, ini kehendak-Nya. Lalu aku bisa apa? Aku dan kau hanya bisa
menerima
Tidak! Berhenti mengatakan hal seperti itu! bentak Kazuya. Memang hal yang dikatakan
Akino benar. Akan tetapi, setidaknya ia masih ingin berharap bahwa akan ada keajaiban yang
terjadi pada Akino. Setidaknya ia masih ingin berharap bahwa Akino tidak akan pergi.
Walaupun kemungkinan itu sangat kecil dan bahkan tidak ada sama sekali, ia tetap ingin
percaya pada kemungkinan terkecil itu. Ia benar-benar tidak ingin kehilangan gadis itu. Gadis
itu telah mengikat hatinya. Akan tetapi kenapa Tuhan begitu kejam untuk memisahkan
mereka berdua disaat mereka sudah menjalin hubungan yang begitu dekat? Tidak bisakah
Kau mencabut hukuman-Mu?
Akino kemudian mengusap wajahnya yang basah dengan kasar dan kemudian tersenyum
mantap. Ia kemudian teringat akan sesuatu, dan kemudian mengambil kotak kado kecil yang
dari kemarin ingin ia serahkan dari atas tempat tidurnya.
Ini untukmu, Kazuya-kun. Selamat ulang tahun dan selamat hari Natal. Maaf aku
terlambat memberikannya padamu
Masih dengan keadaan tercengang Kazuya menerima kado itu. Bahkan Akino masih
menyiapkan hadiah ulang tahun untuk walaupun dengan keadaan tubuhnya sekarang?
Ayo dibuka kata Akino kemudian. Dengan ragu Kazuya membukanya dan mendapati
bahwa di dalamnya terdapat sepasang gantungan ponsel yang berbentuk four-leaf clover.
Kedua gantungan itu menyatu dan menciptakan bentuk daun pembawa keberuntungan itu.
Akino mengambil gantungan itu dari tangan Kazuya dan kemudian membelah gantungan itu
menjadi dua bagian.
Nah, bagian ini untukmu, dan satunya lagi untukku. Bagus bukan? ujarnya sembari
melempar senyum dan menyerahkan salah satu gantungan ponsel itu kepada Kazuya. Kazuya
menerimanya.
Iya terima kasih.
***
Pemandangan dan percakapan itu benar-benar terlihat dan terdengar menyedihkan. Ya.
Takuto mengakuinya. Ia sedih melihat Akino, anaknya yang ketika itu tengah mencurahkan
isi hatinya kepada Kazuya. Anak itu menangis. Wajahnya juga pucat. Apa yang selama ini
membuatnya sama sekali tidak ingin memperhatikan anak malang itu?

Kini ia mengutuk dirinya sendiri yang tidak pernah mempedulikan anaknya. Kazuya benar, ia
tidak pantas untuk menjadi seorang ayah. Dia bahkan tidak tahu bagaimana anaknya selama
ini tumbuh. Dia juga tidak tahu apakah anaknya itu makan dengan baik. Ia lebih tidak tahu
lagi apa yang dialami anaknya selama ini.
Dengan berat hati ia kemudian memutar tubuhnya untuk segera pergi. Kini ia hanya bisa
pura-pura tidak tahu.
Tiba-tiba tanpa sengaja ia menabrak bahu seorang pria tua yang sepertinya seumuran
dengannya. Ia meminta maaf. Dan sesaat setelah ia menatap wajah pria itu, ia merasa
darahnya mengalir dengan cepat. Tubuhnya menegang dan ia mengepalkan kedua tangannya
dengan kuat. Dapat dilihat dengan jelas wajah Takuto yang kini terlihat ingin mengamuk.
Takuto? gumam pria itu. Takuto tidak merespon. Melainkan hanya menatap pria itu
dengan murka. Apa yang kau lakukan di sini? Kau sakit? Atau anakmu yang sakit?
Bagaimana kabar anakmu sekarang? Dia pasti sudah besar kan sekarang? tanya pria itu
sembari menyentuh bahu Takuto tanpa memberi kesempatan kepada Takuto untuk menjawab.
Dan bahkan Takuto sendiri pun sebenarnya tidak ingin menjawabnya.
Hal itu bukan urusanmu. jawab Takuto singkat sembari menepis tangan pria itu.
Takuto?
Jangan seenaknya menyebut namaku setelah kau menghancurkan keluargaku! bentaknya
tiba-tiba. Sesaat pria yang bernama Sakamoto Onoda itu memandang Takuto dengan tatapan
kaget sekaligus bingung.
Apa maksudmu dengan menghancurkan keluargamu? Aku bahkan tidak melakukan apaapa
Takuto tersenyum sinis memandangi Onoda yang kini kebingungan. Tidak melakukan apaapa katamu? Kau ini bodoh atau pura-pura bodoh? Setelah membuat Harumi
meninggalkanku, dan pergi bersamamu, kau masih berani mengelak?! Dasar brengsek!
makinya sembari melayangkan tinjunya tepat di wajah Onoda. Sontak Onoda membentur
dinding rumah sakit. Beberapa orang yang lewat memandangi mereka dengan tatapan heran
sembari mencibir.
Onoda bangkit berdiri sembari mengusap sudut bibirnya yang berdarah.
Dengar dulu, Takuto. Aku tidak melakukan apa-apa! Harumi yang meminta tolong padaku!
Heh, minta tolong katamu?! Lucu sekali! Kau tahu betapa hancurnya aku ketika Harumi
memutuskan untuk meninggalkanku dan pergi bersamamu?! Dia bahkan tersenyum dengan
tatapan yang tajam dan tanpa ragu sebelum dia pergi dari rumahku. Apa kau tahu betapa
sakitnya aku?! Kalian berdua licik! Sejak kapan kalian merencanakannya? Hah?!
Sungguh! Harumi meminta tolong padaku! Walaupun dulu aku menyukainya, akan tetapi,
kau sahabatku. Dan dia lebih mencintaimu daripada aku. Aku hanya sekedar ingin
menolongnya. Tidak lebih! Aku tidak punya maksud untuk merusak rumah tangga kalian.

Aku juga sudah membujuknya untuk kembali. Tapi dia bersikeras untuk tidak mau.
Percayalah padaku!
Omong kosong! Harumi benar-benar wanita jalang! Dia mempermainkanku dan kemudian
pergi meninggalkanku begitu saja. Licik sekali! Sama sepertimu!
Dalam sekejap, Takuto sudah membentur dinding dengan tangan Onoda yang mencengkeram
kerah kemejanya dengan kuat. Jangan sekali-kali kau menghinanya sebagai wanita licik
apalagi wanita jalang! Apakah kau tahu seberapa menderitanya ketika ia harus
meninggalkanmu?! Apa kau tahu dia mengidap penyakit mematikan sehingga mau tidak mau
ia meninggalkanmu dan anakmu?!
Takuto terdiam. Penyakit mematikan? Dia bahkan tidak pernah tahu akan hal itu. Setelah
kejadian itu, dimana Harumi mengatakan dengan pasti bahwa dia akan pergi
meninggalkannya dan pergi bersama lelaki lain. Dan lelaki yang Harumi maksud adalah
Onoda, sahabatnya sendiri. Takuto terpukul dan pada detik itu juga kebencian
menyelimutinya.
Beberapa minggu kemudian, ia mendengar kabar bahwa istrinya itu meninggal. Ia terkejut
akan kabar itu. Akan tetapi, hatinya telah tertutup oleh kebencian sehingga ia sama sekali
tidak ingin tahu apa yang menyebabkan kematian istrinya hingga saat ini.
Apa maksudmu?
Mata Onoda mulai berkaca-kaca mengingat kejadian itu. Kejadian dimana Harumi
mendatanginya dengan mata yang sembab, wajah yang begitu pucat pasi serta tubuhnya yang
lemah. Harumi, wanita itu. Wanita yang pernah dicintainya, dan bahkan mungkin sampai
sekarang pun ia masih mencintai wanita itu, ternyata mengidap penyakit mematikan seperti
itu.
Kau bahkan tidak tahu apa yang terjadi padanya bukan? Dia begitu menderita Takuto.
Apa kau tahu hal itu. Penyakit itu dengan perlahan tapi pasti menggerogoti tubuhnya hingga
akhir hidupnya. Bahkan disaat-saat terakhirnya dia selalu memanggil namamu dan anakmu.
Selama dia bersamaku, tidak ada seharipun ia melupakan kalian. Ia begitu mencintaimu dan
anak kalian. Dia tidak ingin kalian melihatnya menderita karena penyakit itu. Dia ingin agar
kalian menganggapnya sebagai wanita kejam yang meninggalkan keluarganya demi pria lain.
Pada akhirnya, Tuhan memanggilnya. Kau tahu apa yang ia katakan pada saat terakhirnya?
Takuto terdiam, lebih tepatnya tercengang dengan cerita Onoda.
Mungkin ini sudah takdirku tidak ada lagi yang kuinginkan dalam hidup ini. Aku hanya
berharap, jika kelak aku dilahirkan kembali, aku ingin bisa menebus kesalahanku pada
Takuto dan Akino-chan ujar Onoda mengulang kembali apa yang Harumi katakan
kepadanya menjelang ajalnya. Perlahan Onoda melepaskan cengkeraman tangannya pada
kerah baju Takuto.
Tubuh Takuto yang mendadak lemas, kini jatuh terduduk di atas lantai rumah sakit yang
dingin. Matanya yang kosong menatap permukaan lantai di hadapannya. Jantungnya mulai
berpacu dengan cepat. Rasa bersalah secara tiba-tiba menyelimuti dirinya. Matanya terasa
panas dan perlahan air mata mengalir di wajah pria paruh baya itu. Selama ini, tanpa tahu

apa-apa dia begitu membenci Harumi. Dia selalu menganggapnya sebagai wanita jalang
tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik kebohongannya itu. Dia bahkan membuat
Akino yang tidak tahu apa-apa menjadi begitu menderita. Ia membenci anak itu hanya karena
wajah Akino yang begitu mirip dengan ibunya itu selalu mengingatkan perbuatan Harumi
yang keterlaluan kepadanya.
Bagaimana bisa? Bagaimana bisa dia sekejam itu? Bukan Harumi yang kejam terhadap
mereka. Melainkan dirinya sendiri yang telah menyalahkan orang yang tidak bersalah tanpa
tahu kebenarannya.
Apa? Apa yang menyebabkan Harumi meninggal? tanyanya lirih.
Kanker otak jawab Onoda dengan suara yang sama lirihnya.
Kini tubuh Takuto benar-benar tidak bisa menerima apa yang di dengarnya sekarang. Wanita
itu Harumi mengidap penyakit mengerikan itu sendirian tanpa memberitahunya hanya
karena tidak ingin dirinya dan Akino melihat penderitaannya? Oh Tuhan. Kebohongan
macam apa ini? Kenapa? Kenapa Kau mengambil Harumi dari sisiku? Dan untuk dua hingga
tiga tahun terakhir ini aku menjauhi dan membenci Akino hanya karena wajahnya yang
mengingatkanku pada Harumi?
Takuto menyesal dengan perbuatannya. Ia mengutuk dirinya sendiri di dalam hati. Tapi apa
gunanya penyesalan? Kini semua telah terjadi. Harumi tidak lagi bisa ia temui. Ia ingin
meminta maaf, tapi bagaimana caranya untuk itu? Tidak. Akino. Ya, dia masih memiliki
Akino, anaknya. Anaknya yang tidak bersalah tapi ia perlakukan dengan kejam. Dia masih
ada kesempatan. Masih ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya.
Ia bangkit berdiri dengan langkah gontai menuju ruangan Akino dirawat. Dibukanya gagang
pintu ruangan itu secara tiba-tiba dan mengagetkan kedua orang di dalam kamar rawat itu.
Sontak Kazuya dan Akino menoleh dengan cepat ke arah pintu untuk melihat siapa yang telah
masuk. Kazuya dapat langsung melihat dengan jelas Takuto yang berdiri di ambang pintu,
dengan seorang pria di belakangnya. Matanya terbelalak dan dengan cepat ia bangkit berdiri.
Akino masih dengan susah payah menyipitkan matanya untuk melihat dengan jelas siapa
orang yang berdiri di ambang pintu dengan kacamata yang sama sekali tidak membantu. Dan
betapa terkejutnya ketika ia menangkap sosok itu adalah ayahnya. Ayah yang begitu ia
rindukan.
A yah? gumamnya pelan. Tanpa sadar matanya mulai dipenuhi lagi dengan air mata.
Dan detik selanjutnya air mata itu mengalir dengan deras dari sudut matanya. Ayah
panggilnya lagi. Perlahan-lahan Takuto melangkahkan kakinya menuju tempat Akino duduk.
Ia begitu kaget ketika melihat wajah anaknya yang begitu pucat dari dekat. Bagaimana bisa
anaknya menjadi seperti ini? Separah inikah Akino setelah jatuh dari ketinggian tangga itu?
Dipeluknya dengan erat Akino yang masih tidak percaya bahwa ayahnya kini begitu dekat
dengannya dan memeluknya dengan hangat. Kapan terakhir kali ia merasakan kehangatan
pelukan seorang ayah? Ia sudah tidak ingat lagi. Ia gembira kini keinginannya terwujud.
Akan tetapi, kegembiraannya ini tidak dapat ia tunjukkan dengan senyuman yang bahagia,
melainkan dengan air mata bahagia.

Akino membalas pelukan ayahnya itu dengan tangannya yang lemas.


Akino maafkan ayah, nak. Maafkan ayah telah begitu kejam padamu. Ayah salah
sudah memperlakukanmu seperti itu ayah mohon maafkan ayah ujar Takuto sembari
menangis.
Percuma saja paman. Akino tidak bisa mendengar lagi suara paman ujar Kazuya
kemudian.
Onoda yang sedari tadi berdiri di ambang pintu tercengang mendengar pernyataan Kazuya.
Takuto juga terkejut akan hal itu, walaupun ia sudah tahu mengenai ketulian pada telinga
anaknya.
Perlahan Takuto kemudian melepaskan pelukannya dan mengelus kedua pipi anaknya itu
dengan kedua tangannya. Diusapnya air mata Akino dengan ibu jarinya dan dipandanginya
Akino yang masih menangis sesunggukan di depannya. Akino membalas tatapan ayahnya itu
dengan matanya yang basah. Apakah ini mimpi? Bahwa ayahnya kini tengah berada di
hadapannya.
Akino
Hm? ujar Akino dengan suara yang enggan keluar dari tenggorokannya.
Maafkan ayah, nak ayah bersalah karena sudah jahat padamu maafkan ayah, ya
Akino ayah benar-benar minta maaf. Ayah mohon jangan membenci ayah. pinta
Takuto.
Dengan lembut Akino mengulum senyum di bibirnya. Aku tidak pernah membenci ayah
aku selalu menyayangi ayah. Aku sangat rindu pada ayah. Apakah ayah sekarang sudah tidak
sibuk dengan pekerjaan ayah? tanya Akino.
Oh Tuhan. Betapa naifnya anak ini. Betapa tersayatnya hati Takuto ketika mendengar
pengakuan anaknya bahwa dia tidak dibenci, melainkan disayangi dan dirindukan.
Tidak, nak. Ayah tidak sibuk. Maafkan ayah
Akino mengangkat kedua tangannya dan mengelus wajah ayahnya yang terlihat samar di
matanya. Kulit ayahnya kini sudah mulai tua dan berkeriput. Dia menyipitkan matanya agar
dapat melihat wajah Takuto dengan lebih jelas. Dilihatnya dengan jelas mata ayahnya
berwarna hitam, dan rambut hitam ayahnya yang mulai memutih. Betapa ia merindukan
ayahnya selama ini.
Ayah tidak bersalah. Justru aku yang harus minta maaf jika aku ada salah
Tanpa membiarkan Akino selesai bicara, kembali Takuto memeluk dengan erat tubuh
anaknya yang lemas itu. Kazuya dan Onoda yang sedari tadi melihat pemandangan itu juga
ikut menangis terharu.
Akhirnya keinginanmu terwujud, Akino-chan, gumam Kazuya dalam hati. Ia berterima kasih
kepada Tuhan karena sudah membiarkan Takuto sadar dari kesalahannya.

Ayah. Sebagai anak, aku punya permintaan ujar Akino kemudian. Takuto melepas
pelukannya dan menatap anaknya itu dengan ramah.
Apa itu, nak?
Ayah, maukah ayah memaafkan ibu? Ibu tidak bermaksud untuk meninggalkan ayah.
Bisakah ayah memaafkan ibu? tanya Akino kemudian. Takuto terperangah. Bagaimana
Akino bisa tahu hal itu?
Da-darimana kamu tahu hal itu?
Dulu ketika ibu sudah meninggal, tanpa sengaja aku menemukan buku harian ibu yang
disembunyikan di balik rak buku di ruang kerja ayah. Dan aku membacanya. Ibu sebenarnya
tidak ingin meninggalkan ayah. Ibu hanya tidak mau kalau ayah me
Ayah sudah tahu itu nak. Semuanya salah ayah. Ibumu adalah wanita yang baik dan
pengertian. Ayah tidak akan membencinya maafkan ayah
Begitu leganya Akino saat itu dan kemudian berhambur ke dalam pelukan ayahnya.
***

Four-Leaf Clover Bab 15


by Shiro Neko'shop on Monday, 28 May 2012 at 17:58
Bab 15
Kazuya memasuki ruangan yang ditempati Akino dengan langkah yang agak terhuyunghuyung. Wajahnya agak pucat dan napasnya terengah-engah. Kedua orang yang berada di
dalam ruangan itu Akino dan Takuto langsung memalingkan wajah ketika pintu terbuka.
Takuto bangkit berdiri dan kemudian berjalan ke hadapan Kazuya. Kazuya menebar senyum
senyum ramah dan membungkuk dengan hormat kepada Takuto. Sejenak Takuto
memalingkan wajahnya kepada Akino yang memandanginya dengan mata yang disipitkan.
Senyum. Hanya itu yang Akino berikan kepada ayahnya.
Maaf, nak Kazuya. Apa boleh aku bicara sebentar denganmu? tanya Takuto lirih. Kazuya
hanya mengangguk dan kemudian mengikuti langkah Takuto dan keluar dari ruangan itu
sembari menarik handle pintu kamar itu hingga tertutup sempurna.
Ada apa, paman? tanya Kazuya serak sembari agak terbatuk-batuk kecil.
Aku ingin tahu. Apa yang sebenarnya terjadi pada anakku? tanya Takuto dengan wajah
yang cemas dan kusut. Sepertinya dia tidak tidur semalaman, pikir Kazuya.
Paman masih belum tahu dari Akino? tanya Kazuya agak kaget. Takuto menggelengkan
kepalanya tanda tidak tahu. Kazuya menatap Takuto nanar. Kasihan dengan apa yang dialami
ayah dan anak itu.

Kazuya diam sejenak, hingga akhirnya ia membuka suara. Akino mengidap penyakit,
paman. Penyakit yang juga dialami ibunya.
Mata Takuto sontak melebar dan ia merasa jantungnya tiba-tiba berhenti berdetak. A-apa?
A-Akino mengidap kanker otak? ujar Takuto terbata-bata. Tidak. Ia berharap agar
Kazuya menggelengkan kepalanya dan mengatakan bahwa tebakannya itu salah. Jangan
sampai
Kazuya mengangguk. Ia mengerutkan keningnya dengan tampang yang begitu sedih. Ia
melirik ke arah Akino dari sebuah kaca pada pintu kamar rawat itu yang sedang memandang
keluar jendela. Ia tidak tahu berapa lama lagi dia bisa bersama gadis itu. Gadis yang dulunya
begitu sehat dan ceria itu sekarang berakhir menjadi seperti ini. Sebenarnya apa dosa yang
telah Akino perbuat?
Keheningan di antara Takuto dan Kazuya pecah ketika seseorang datang di antara mereka.
Seorang gadis cantik dengan rambut hitam yang dikuncir kuda. Takuto memandangi gadis itu
dengan penuh tanda tanya. Sementara Kazuya malah memandangi gadis itu dngan tajam.
Apa yang kau lakukan di sini, Airi? tanya Kazuya kemudian melihat Airi berdiri tegak
dengan dress selutut berwarna kuning yang ia kenakan. Airi tidak berani mengangkat
wajahnya untuk menatap Kazuya. Ia takut dan malu.
Aku ingin bertemu dengan Fujioka ujarnya serak.
Setelah dilihat lebih teliti, Kazuya mendapati mata Airi yang sembab. Apa yang terjadi?
Apakah ia habis menangis?
Untuk apa? Menertawakannya? lanjut Kazuya dengan sinis. Sejenak Airi diam. Wajar kalau
Kazuya berpikiran seperti itu tentangnya. Akan tetapi, kali ini dia datang benar-benar bukan
untuk mencari gara-gara dengan Akino. Melainkan untuk meminta maaf.
Bisakah aku bertemu dengan Fujioka? Ada yang ingin aku bicarakan dengannya.
Mendengar itu, Kazuya terdiam dan mau tidak mau, ia kemudian membuka pintu untuk Airi.
Airi kemudian melangkah masuk dengan ragu. Ia berjalan mendekati Akino yang masih tidak
menyadari kehadirannya. Akino terlihat begitu tenang ketika memandangi salju-salju yang
bertumpukan di luar jendela kamar.
Airi berjalan melewati kasur itu menuju arah pandangan Akino hingga pada akhirnya Akino
agak tersentak kaget. Dengan susah payah ia mencermati orang di depannya. Seorang gadis.
Siapa?
Airi mendekatkan dirinya pada tempat tidur Akino kala itu. Dan detik itu juga Akino
memandanginya dengan mata yang membulat. Airi!
Tsukishima-san apa yang kau lakukan di sini? tanya Akino pelan.
Aku datang kesini untuk meminta maaf ujar Airi lirih dan serak. Kini dia benar-benar
terpukul dan merasa bersalah ketika melihat keadaan Akino yang terlihat begitu

menyedihkan. Tubuhnya sudah kurus sejak terakhir kali ia mencelakainya. Wajahnya pucat
dan terlihat begitu lesu.
Meminta maaf? Untuk apa?
Aku minta maaf sudah mencelakakanmu, Fujioka. Kini aku tahu aku salah. Aku ingin
meminta maaf padamu. Semua itu terjadi karena kecemburuanku. Aku benar-benar bodoh
dan egois sehingga aku bertindak keji seperti itu. Aku mohon maafkan aku ujarnya
panjang lebar sembari kemudian menjatuhkan dirinya hingga berlutut di depan Akino. Akino
terkejut dengan sikap Airi dan segera ia berusaha turun dari tempat tidurnya untuk
mengangkat tubuh Airi agar kembali berdiri. Walaupun kakinya terasa lemas ia tetap
memaksakan diri.
Ayolah. Jangan berlutut di hadapanku. Kau tidak salah, jadi kau tidak perlu minta maaf.
Justru akulah yang harusnya minta maaf karena telah membuatmu marah. Awalnya aku tidak
tahu kenapa kau terlihat begitu membenciku sejak kita pertama kali bertemu dulu. Akan
tetapi, sekarang aku jadi tahu. Kau menyukai Kazuya. Dan kau cemburu akan hal itu. Kau
yang seperti itu terlihat wajar bagiku jadi tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri Akino
menuntun Airi untuk berdiri walaupun dengan susah payah karena tubuhnya yang tidak
bertenaga. Penyakit ini semakin hari semakin menguras tenaganya hingga habis. Akan tetapi
ia yakin, ia masih bisa melakukan sesuatu. Apapun itu.
Airi mulai menangis mendengar tiap perkataan Akino. Bagaimana bisa ada orang senaif
dirinya? Yang begitu saja memaafkan orang yang telah mencelakakannya. Bagaimana bisa?
Bila hal itu menimpa dirinya, mungkin ia akan murka dan langsung menghajar orang itu.
Dengan cepat Airi merangkul tubuh Akino di depannya. Dengan pelan Akino menepuk-nepuk
punggung Airi yang bergetar untuk menenangkannya. Ia tersenyum tulus. Ia bahagia pada
akhirnya Airi kemudian sadar.
Perlahan-lahan Akino mulai panik. Jantungnya berlompatan di dalam rongga dadanya.
Sesekali ia mengucek matanya beberapa kali dan mengerjap-kerjapkan matanya secara
berlebihan sembari melempar pandangannya ke seluruh ruangan. Tidak. Tidak, jangan
sekarang.
Dia semakin panik ketika ia sama sekali tidak bisa melihat apapun yang ada di depannya.
Semuanya gelap.
Tidak tidak! seru Akino tiba-tiba. Airi langsung melepaskan pelukannya ketika
mendengar seruan gadis itu. Akino mengarahkan pandangannya kepada kedua tangannya.
Gelap. Tidak ada apapun. Kembali ia memandangi seluruh ruangan itu. Oh tidak. Jangan
sekarang. Aku masih belum siap, gumamnya dalam hati.
Ayah. Kazuya-kun. panggilnya pelan. Nihil. Tidak ada suara sama sekali. Kazuya dan
Takuto segera masuk ke dalam kamar rawat Akino dan menghampiri Akino yang kini terlihat
mengayunkan kedua tangannya di udara.
Ayah Kazuya-kun! Akino semakin panik karena ia kini tidak bisa melihat apa-apa.
Semuanya terlihat gelap. Bahkan setitik cahaya pun tidak ada.

Ada apa Akino? Ayah di sini ujar Takuto masih kebingungan melihat sikap Akino yang
tiba-tiba berubah. Akino menangis ketakutan. Kakinya lemas dan kemudian jatuh terjerembab
di atas permukaan lantai.
Ayah! Ayah dimana? Ayah, kumohon tunjukkan diri ayah! seru Akino dengan suara
terisak-isak. Segera Kazuya kemudian menghampiri Akino dan kemudian membantunya
untuk bangun.
Akino-chan aku di depanmu. Kau lihat aku? Aku di sini ujar Kazuya yang juga terlihat
panik. Dengan cepat Akino kemudian menarik kedua tangan Kazuya, dan kemudian beralih
kepada wajah Kazuya.
Ka-Kazuya? Kau Kazuya kan? Aku tidak salah kan? ujar Akino.
Oh Tuhan, apa lagi yang terjadi pada Akino sekarang, pikir Kazuya.
Iya, ini aku. jawab Kazuya lembut. Kau kenapa, Akino-chan?
Ayaaaaahhh!!!! Kazuyaaa!!! Bagaimana ini? Di mana kalian? Cepat tunjukkan wajah
kalian. Aku aku tidak bisa melihat kalian! Cepat! Cepat tunjukkan dimana kalian!
Akino mulai histeris. Ia berseru dalam kesunyian dan kegelapan dirinya. Takuto, Kazuya dan
Airi tercengang mendengar pengakuan Akino. Dengan cepat Takuto kemudian menghampiri
Akino dan kemudian mengangkat tubuh Akino.
Nak, ayah disini. Ada apa dengan matamu? Apa yang terjadi? Cepat beritahu ayah ayah di
sini mata Takuto yang sedari tadi sudah basah karena mengetahui penyakit Akino dari
Kazuya, kini semakin basah ketika air mata meluap dari matanya memandangi Akino.
Cepat cepat panggilkan dokter!!! teriak Takuto. Airi yang tersentak kaget dengan cepat
keluar dari kamar rawat untuk segera mencari dokter.
Ayah. Kazuya. Aku tidak bisa melihat. Mataku mataku sudah napas Akino kini
terengah-engah. Udara terasa sulit masuk ke dalam paru-parunya. Ia merasa seakan ada
sesuatu yang menyekat pernapasannya. Ia merasa begitu takut ketika kini yang ada di
pandangannya hanyalah ruangan yang gelap gulita tanpa setitik cahaya pun.
Tidak sanggup menahan itu semua, tubuh Akino sontak lemas dan kemudian jatuh di pelukan
ayahnya dengan kondisi tidak sadarkan diri.
Akino? Akino! Bangun Akino!!! Cepat bangun!! panggil Kazuya sembari mengguncangguncangkan tubuh Akino. Takuto yang kaget pun kemudian segera mengangkat tubuh Akino
ke atas tempat tidur dan membaringkan tubuh Akino di atasnya.
Ayo, nak. Bangun ayah mohon. Jangan takuti ayah seperti ini. Cepat bangun. ujar
Takuto sembari mengusap-usap wajah Akino yang basah karena peluh dan air mata.
Sementara Kazuya masih dengan panik menggenggam erat dan terus memanggil nama
Akino.
Tidak lama kemudian seorang dokter masuk bersamaan dengan dua orang suster. Kazuya dan
Takuto disuruh untuk menunggu di luar ruangan sementara mereka akan menangani Akino.

Dengan terpaksa Kazuya dan Takuto keluar ruangan dibantu oleh seorang suster yang
berpakaian serba putih. Dengan perasaan cemas ketiga orang yang tadi menyaksikan kejadian
di dalam kamar itu tadi menunggu dokter yang memeriksa keadaan Akino itu.
Beberapa menit kemudian, dokter itu keluar dari ruangan sembari menurunkan stetoskop dari
telinganya dengan wajah sedih. Dengan cepat Takuto dan Kazuya menghampiri dokter itu
dan menanyakan keadaan Akino. Dokter itu menatap kedua orang itu dengan tatapan sedih
dan kasihan.
Penglihatan nona Fujioka kini sudah hilang. Sel-sel kanker itu telah menyebar di seluruh
tubuhnya termasuk pada matanya.
Apa maksudmu, dia buta?
Dokter itu mengangguk pasrah. Dengan murka, Takuto tiba-tiba menyergap kerah baju dokter
itu dengan kuat. Segera Kazuya menarik tubuh Takuto untuk melepaskan cengkeraman pada
baju dokter itu.
Paman. Tenanglah paman tanyakan semuanya dengan tenang.
Bagaimana bisa aku tenang?! Dia mengatakan bahwa anakku kini telah buta! Apa
maksudnya?!
Maafkan kami. Tapi saya sudah pernah memberitahukannya kepada pasien. Dan tampaknya
pasien juga sudah pasrah dengan keadaannya ujar dokter itu lirih dan kemudian
meninggalkan mereka bertiga yang berdiri dengan tatapan kosong yang masih tidak percaya.
Akino buta? Apakah ini alasannya menyentuh wajahku dan kemudian mengatakan bahwa
dia sudah menghapal wajahku di dalam benaknya? Apakah di saat itu dia sudah tahu dengan
keadaannya? Dengan langkah gontai, Kazuya kemudian memasuki kamar rawat Akino dan
jatuh terduduk pada kursi di samping ranjang Akino. Ia meraih tangan kiri Akino yang kini
berkeringat dingin.
Akino-chan kenapa nasibmu seburuk ini? Kenapa kau harus mengalami hal seperti ini?
Apa yang harus kulakukan agar bisa membantumu? Kazuya terus bertanya pada dirinya
sendiri tanpa ada suara yang menjawab pertanyaanya itu. Apakah Tuhan benar-benar ada?
Kenapa Tuhan tidak memberikan keajaiban untuk Akino, justru malah membuatnya semakin
menderita?
Sementara Takuto, ia sudah tidak sanggup melihat penderitaan yang dialami anaknya. Seperti
inikah yang telah dialami oleh Harumi, istrinya? Inikah yang menyebabkan dia meninggalkan
aku dan Akino? Karena ia tahu betapa menderitanya bila menderita penyakit mematikan ini?
Takuto hanya berdiri di ambang pintu dengan hati yang seakan remuk. Ia menangisi nasib
anaknya yang begitu menyedihkan tanpa suara. Dia tidak berhak untuk menangisi Akino,
apalagi setelah apa yang telah ia lakukan pada Akino. Akan tetapi, dia tidak akan siap jika
suatu hari Akino harus pergi meninggalkan mereka semua. Bagaimana ini? Apa yang bisa aku
lakukan, Harumi?
Airi yang merasa dirinya merupakan salah satu penyebab keadaan Akino bertambah parah,
kini menyalahkan dirinya sendiri. Andaikan saja dia tidak menyukai pria itu, yang pada

awalnya dia sudah tahu bahwa Kazuya telah menyukai Akino sejak lama. Andaikan saja dia
tidak cemburu dan membiarkan saja kesedihan meliputinya tanpa kebencian pada Akino,
pasti dia tidak akan menyerangnya. Dan andaikan saja dia tidak menyerang Akino begitu
brutal, dia juga tidak akan berakhir seperti ini. Hatinya diliputi rasa bersalah yang mendalam.
Ingin rasanya ia mati saja untuk menebus kesalahannya.
Perlahan ia melangkahkan kakinya pergi dari tempat itu tanpa pamit. Dia tidak sanggup lagi
untuk melihat pemandangan menyakitkan itu lebih lama. Mungkin lebih baik kini dia
menghilang dari kehidupan mereka sambil terus menyalahkan dirinya.
***
Takuto duduk di atas kursi ruang kerjanya dengan tatapan enggan pada pekerjaan di
hadapannya. Dirinya yang sekarang sama sekali tidak ada keinginan untuk melakukan
pekerjaannya. Pikirannya terpusat pada keadaan Akino di tengah malam begini.
Sambil menghela napas panjang, ia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menyusuri
ruang kerjanya yang kini terasa sesak baginya. Tiba-tiba ia teringat dengan perkataan
anaknya, yang mengatakan dia menemukan sebuah buku harian di balik salah satu rak di
dalam ruang ini. Segera ia kemudian mencari-cari buku itu di tiap balik rak-rak buku itu.
Ketika ia sampai di sebuah rak yang ke lima, yang letaknya paling pojok ruangan, ia melihat
sebuah benda bersampul hitam yang sudah usang dan berdebu terapit di antara rak buku
dengan dinding ruangan. Dengan susah payah ia mengambil buku itu dengan hati-hati dari
tempat itu. Setelah berhasil mengambilnya, ditiupnya debu yang menempel pada sampul
buku itu. bukunya sudah tua. Kertasnya bahkan hampir menguning. Sudah berapa lama buku
itu tersembunyi di sana?
Usai membersihkan debu pada sampul buku, ia perlahan membuka halaman pertama. Terlihat
tulisan Harumi yang indah dengan tinta pena warna hitam.
Sabtu, 12 Oktober Musim gugur
Aku bertemu dengannya. Dia Fujioka Takuto datang menghampiriku ketika aku sedang
duduk di bawah pohon momiji yang indah. Dia menyapaku dengan senyumnya yang ramah.
Kuakui dia tampan, apalagi dia merupakan idola di sekolah. Sedangkan aku hanyalah gadis
biasa. Yang tidak terkenal dan terlebih lagi, aku orang yang begitu tertutup.
Apa kau tahu? Awalnya aku menganggapnya orang yang sombong dan angkuh. Terlebih
karena dia seorang anak orang kaya. Tapi ternyata, dia adalah orang yang begitu ramah
dan hangat. Dan dari situlah, aku mulai jatuh cinta kepadanya.
Takuto hening membaca setiap kata-kata yang ditulis oleh Harumi sembari kembali
bernostalgia dengan hubungan mereka dulu semasa sekolah. Ketika itu, mereka masih
seumuran dengan Akino yang sekarang. Mereka bercanda bersama. Hari-hari terasa begitu
indah.
Harumi adalah orang yang sederhana. Ia mencintai Takuto bukanlah karena harta, melainkan
tulus dari dalam hati. Dulu Harumi selalu ceria dan bersemangat, tapi ada kalanya dia begitu
lembut sehingga perlahan-lahan melunakkan hatinya dan membuatnya terpesona.

Kembali Takuto membalikkan beberapa halaman kertas buku itu dengan hati-hati karena
kertas itu terlihat sudah lapuk dan mudah robek.
Rabu, 14 April Musim Semi
Ini pertama kalinya dia mengajakku keluar! Kau tahu? Dia mengajakku ke Biei di Pulau
Hokkaido! Oh tempat itu begitu indah dan romantis! Hamparan bunga-bunga itu, benarbenar indah hingga aku tidak bisa mengatupkan bibirku saking takjubnya!
Tidak hanya itu, dia juga mengajakku berjalan-jalan di Taman Ueno. Bunga-bunga sakura
bermekaran di atas kami. Dan kelopaknya gugur ditiup angin. Bisakah kau membayangkan
betapa romantisnya seorang laki-laki dan perempuan berjalan bersama di bawah hujan
kelopak bunga sakura sambil bergandengan tangan?
Takuto merasakan wajahnya memerah ketika mengenang masa-masa itu. Ketika itu, dengan
beraninya ia menggandeng tangan gadis itu. Bukan gandengan tangan dalam arti sahabat.
Tapi masing-masing dari kelima jari mereka bertautan satu sama lain. Gandengan dalam arti
kekasih. Ya, dia mengakuinya. Hari itu begitu indah dan menyenangkan.
Selasa, 14 Februari Musim dingin
Sudah 4 tahun kami bersama. Setelah menempuh kuliah di jurusan yang sama, kami pun
akhirnya lulus kuliah bersama tepat waktu. Dan apa kau tahu? Hari ini, adalah hari
terindah dalam hidupku. Pria itu Takuto dia melamarku!
Ketika itu, kami mengunjungi sebuah caf, dan di sana ternyata dia sudah mempersiakan
segalanya. Dengan cincin sebagai tanda pengikat, ia berikan kepadaku sambil berkata
maukah kau menikah denganku, Harumi?. Oh dia begitu romantis. Aku mencintainya,
dan aku menerima lamaran itu. Dan dia mengenakan cincin itu di jari manis pada tangan
kiriku dan menciumi tanganku.
Tidak hanya itu. dia mengecup keningku dan bibirku di depan semua orang. Aku malu! Tapi
aku bahagia. Takuto, aku mencintaimu apa kau tahu itu?
Takuto tersenyum. Benar apa yang dituliskan Harumi. Hari itu, di hari Valentine, dia melamar
Akino di sebuah caf yang sebenarnya sudah dipesannya untuk mengadakan sebuah kejutan
kepada Harumi. Harumi menerimanya dengan wajah yang merona merah dan hampir
menangis. Dan di saat itu pula dia mengecup bibir wanita itu dengan lembut diiringi tepuk
tangan pengunjung dan pelayan caf itu. Apakah dulu dia memang orang seberani dan
seagresif itu?
Sabtu, 4 Oktober Musim gugur
Akino. Fujioka Akino. Apakah nama itu terdengar indah? Anak itu anakku dan Takuto
terlihat begitu mungil dan manis. Kulitnya pun masih kemerahan dan begitu tipis. Aku
menggendongnya di pelukanku serta elusan hangat dari tangan Takuto mendarat di kepala
Akino kecil. Oh betapa cantiknya anak ini. Apakah kelak dia akan menjadi anak yang
manis dan baik seperti ayahnya? Kuharap juga begitu

Aku memberinya nama Akino. Karena aku menyukai musim gugur. Dan aku pun
melahirkannya di pertengahan musim gugur. Aki musim gugur bukankah nama itu indah?
Apakah kelak Akino-chan juga akan menyukai musim gugur sepertiku ya Aku sungguh
berterima kasih karena aku bertemu dengan Takuto dan Akino-chan. Mereka membuat
hidupku terasa lengkap
Takuto tersenyum lembut. Tanpa sadar matanya berkaca-kaca. Ya, anak itu Akino adalah
anak yang berharga bagi mereka berdua. Bagaimana bisa selama ini dia mencampakkan
Akino begitu saja dan tenggelam pada pekerjaannya tanpa mempedulikan anak mereka itu?
Dia benar-benar berdosa.

Senin, 21 Januari Musim dingin


Kebersamaanku dengan Takuto dan Akino-chan adalah kenangan yang begitu indah hingga
aku tak rela melepaskannya apalagi melupakannya. Akan tetapi, semua itu tiba-tiba menjadi
sebuah kaca yang kemudian dihancurkan hingga jatuh berkeping-keping. Hatiku berubah
menjadi dingin sedingin musim dingin ini. Aku begitu ingin lari dari kenyataan. Tapi
seberapa kuat aku berlari, seberapa cepat aku melarikan diri, semuanya terasa begitu siasia.
Tubuhku mendadak lemah dan tidak berdaya ketika aku mendapat kabar mengerikan itu.
Hidupku tidak lama lagi. Aku harus berakhir dengan penyakit ini. Kanker otak yang
mengerikan. Bagaimana bisa? Apa yang aku lakukan hingga aku harus menghadapi beban
seperti ini dalam hidupku? Bagaimana caraku untuk memberitahu Takuto dan Akino-chan?
Aku sendiri tidak sanggup menerima cobaan ini. Apakah aku harus membagi penderitaan ini
kepada mereka? Tidak. Aku tidak bisa sungguh aku tidak bisa
Perlahan Takuto merasa sekujur tubuhnya menegang. Penyakit itu. Penyakit yang kemudian
akan membawa Harumi pergi dari sisinya. Ia mulai terisak ketika membaca halaman itu. dia
bahkan menemukan bagian dari halaman itu yang terlihat seperti tetesan-tetesan air yang kini
telah menguning. Ia begitu yakin, bahwa itu pasti adalah air mata Harumi. Air mata
kesedihan yang tidak pernah ia tunjukkan di depannya. Karena selama ini ia hanya pernah
melihat air mata bahagia darinya. Dengan berat hati ia kemudian membuka lembaran terakhir
yang ditulis Harumi dan kemudian membacanya sembari menitikkan air mata.
Kamis, 7 Maret Musim Semi
Musim semi begitu indah. Akan tetapi tidak seindah keadaan hatiku sekarang ini. Aku
merasa tubuhku semakin lemah seiring dengan berkembangnya sel-sel mematikan di dalam
tubuhku. Pandanganku mulai kabur. Indera-inderaku juga mulai tidak berfungsi dengan
tidak normal. Aku tersiksa dengan penyakit ini. Terlebih lagi aku harus menyembunyikan ini
semua dari Akino-chan dan Takuto yang kucintai.
Mereka berdua adalah dua orang yang berharga dalam hidupku. Aku tidak ingin melihat
mereka bersedih karena aku. Dan kini aku memutuskan untuk meninggalkan mereka sebelum
semuanya terlambat dan aku tidak bisa lagi untuk mengembalikan keadaan. Aku harus

pergi. Jangan sampai mereka tahu tentang keadaanku. Aku harus meninggalkan mereka
dengan kejam. Supaya mereka menganggapku wanita jalang yang meninggalkan mereka
untuk pergi dengan lelaki lain. Sakamoto Onoda, sahabatku dan Takuto. Hanya dia yang
teringat di benakku kini. Hanya kepadanya aku bisa meminta tolong, karena dia satu-satunya
orang yang mengetahui keadaanku.
Hatiku benar-benar sakit seakan dihunjam dengan pedang yang tajam. Aku tak sanggup
untuk meninggalkan mereka. Tapi takdir mengharuskan aku untuk melakukannya. Maafkan
aku, Takuto maafkan ibu, Akino-chan andaikan kalian semua tahu, aku mencintai kalian
berdua. Jadi, anggap saja aku ini wanita kejam yang tidak pantas untuk diingat, dan
lupakanlah aku dari ingatan kalian.
Dan kini Takuto sudah menangis dengan erangan yang keras. Wanita itu meninggalkan
mereka karena hal itu. Dia bahkan tidak pernah menyadari apa yang dialami wanita itu
selama bersamanya. Bagaimana bisa? Apa yang selama ini ia lakukan hingga tidak pernah
tahu tentang penyakit yang dihadapi Harumi? Kenapa dia begitu tidak peka sebagai seorang
suami?
Ia menekan dadanya yang terasa sesak ketika mengingat kejadian itu. Ketika dimana Harumi
tersenyum dengan licik dan kemudian keluar dari rumahnya dengan Onoda yang sudah
menunggunya di luar rumah. Kala itu ia merasa bagaikan laki-laki yang bodoh. Ia merasa
tertipu dengan keanggunan dan kesetiaan Harumi. Akan tetapi, itu hanyalah kebohongan
belaka. Kebohongan demi kebaikan dirinya dan Akino. Kenapa Harumi begitu mempedulikan
mereka sementara bahkan dia tidak menyadari apa-apa tentangnya?
***
Waktu sudah memasuki awal musim semi. Akan tetapi, suhu dingin masih menyeruak keluar
dan menusuk tulang. Salju masih bertumpukan di jalanan hingga sudut-sudut kota. Orangorang berlalu lalang sibuk dengan syal dan mantel yang masih membaluti tubuh mereka.
Napas Kazuya terengah-engah ketika sampai di rumah sakit. Selain karena habis berlari
karena mengetahui bahwa Akino sudah sadar, dia juga merasa kondisi tubuhnya yang kurang
sehat. Dengan terbatuk-batuk dan langkah yang tertatih-tatih, Kazuya melangkah masuk ke
samping Akino yang terduduk diam di atas kasur dengan tatapan mata yang kosong ke
dinding di depannya.
Akino sama sekali tidak merespon ketika Kazuya sudah duduk di sampingnya. Akino terlihat
begitu pucat dan tak bertenaga layaknya mayat hidup. Perlahan Kazuya meraih tangan Akino,
dan barulah saat itu juga Akino kemudian bergerak ke sumber yang telah menggenggam
tangannya dengan hangat.
Si-siapa? tanya Akino takut. Kini, dia benar-benar terpuruk. Dia tidak hanya tidak bisa
mendengar. Kini dia juga tidak bisa lagi melihat secercah cahaya pun di matanya. Atau lebih
tepatnya, buta.
Kazuya mengangkat tangan Akino dan membawanya ke wajahnya. Akino dengan ragu
kemudian menggunakan tangannya untuk menyentuh wajah Kazuya. Kazuya? tanyanya
ragu. Kazuya menganggukkan kepalanya dengan mata yang berkaca-kaca. Sesaat setelah

Kazuya menganggukkan kepalanya, senyum di bibir Akino mulai merekah, menciptakan


lengkungan pada bibirnya yang pucat dan kering.
Kazuya kemudian bangkit dari tempatnya duduk dan berpindah ke atas kasur tepat di
samping Akino. Ia membawa tubuh lesu itu ke dalam pelukannya sembari mengeluskan
tangannya pada kepala Akino. Akino membalas pelukan itu dengan erat seakan tidak ingin
Kazuya pergi dari sisinya.
Maaf, Kazuya sudah membuatmu sedih dan repot dengan keadaanku yang seperti ini.
Maafkan aku kalau aku adalah ibuku, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama
ya ujarnya pelan.
Tidak, Akino jangan katakan hal seperti itu. aku tidak ingin mendengar perkataan
semacam itu. Semua ini juga bagian dari salahku aku yang lalai, sehingga tidak bisa
menjagamu dengan baik. Tangis. Lagi-lagi tangis yang bisa Kazuya ekspresikan pada
wajahnya. Tapi, walaupun sekarang dia menangis, Akino tidak akan tahu lagi. Dia yang
sekarang seakan bisa mengekspresikan perasaan sedihnya tanpa harus disembunyikan dari
Akino.
Jangan menangis, Kazuya-kun. Aku tidak ingin kau menangis karenaku ujar Akino
lirih. Kazuya tersentak kaget mendengarnya dan kemudian melepaskan pelukannya itu. Akino
tersenyum padanya. Matanya menatapnya dengan tatapan kosong. Tangannya kemudian
diangkat dan mencari-cari wajah Kazuya yang berada di depannya. Dan setelah ia berhasil
menyentuh wajah laki-laki itu, ia kembali menebar senyumnya yang lembut.
Maaf, sudah membuatmu sedih. Aku benar-benar minta maaf. Walaupun kini aku sudah
tidak bisa melihat maupun mendengar, aku tetap bisa tahu apa yang kau rasakan ini
mungkin pengaruh hubungan kita yang akrab ujarnya sambil tertawa kecil. Aku bisa
mengetahuinya dari bahasa tubuhmu. Selama pandanganku kabur, aku selalu berusaha untuk
mempelajari bahasa tubuh orang-orang di sekitarku. Dan yang paling kukenali adalah kau,
Kazuya-kun. Jadi, kumohon jangan menangis pintanya memelas sambil mengusap air
mata Kazuya dengan kedua ibu jarinya.
Kazuya mengangguk mengiyakan permintaan Akino yang disambut dengan senyum Akino
yang anggun dan penuh terima kasih.
Beberapa saat kemudian, Takuto masuk ke dalam ruangan itu dengan wajah yang kusut.
Matanya agak sembab, terbukti dengan kantong matanya yang agak lebih besar dari biasanya.
Takuto mengenakan kemeja dan jas kantornya dengan dasi yang terikat tidak rapi, layaknya
pekerja yang baru saja pulang dari bar minum. Sungguh Kazuya terkejut dengan penampilan
Takuto yang layaknya orang gila.
Paman? Kenapa penampilan paman seperti itu? tanya Kazuya.
Aku hanya kurang tidur. Bagaimana keadaan Akino? tanyanya sembari duduk di kursi yang
tadinya ditempati Kazuya.
Kazuya tidak menjawab. Melainkan menuntun tangan Akino ke wajah Takuto. Akino agak
heran ketika mendapati ada orang yang duduk di sampingnya. Perlahan Akino menyentuh
wajah ayahnya itu dengan ragu. Mencoba mengingat-ingat siapa orang yang sedang ia sentuh.

Takuto kemudian menggenggam tangan Akino di wajahnya. Dan ketika itu pula Akino
tersenyum. Ayah ayah datang. Apa ayah tidur dengan baik? tanya Akino. Sejenak
Takuto melirik Kazuya, ingin bertanya bagaimana ia berkomunikasi dengan keadaan anaknya
yang sekarang. Kazuya hanya mengangguk dengan senyum tipis. Dan Takuto pun mengikuti
petunjuk Kazuya untuk mengangguk.
Baguslah apa ayah sudah makan? tanya Akino lagi. Dan sekali lagi Takuto mengangguk
dan disambut dengan senyum lega. Semua anggukan kepala itu hanyalah kebohongan yang
dibuat Takuto agar Akino tidak mengkhawatirkan dirinya. Sejujurnya, ia tidak bisa tidur. Dan
sama sekali tidak nafsu makan. Dan bahkan kini dia tidak bisa merawat dirinya dengan baik.
Terbukti dengan penampilannya yang acak-acakan seperti baru saja bangun dari tidur. Tidak.
Bahkan lebih buruk dari itu.
Paman lebih baik paman jaga kesehatan paman. Jangan sampai paman ambruk karena
Akino masih memerlukan paman di sisinya. kata Kazuya prihatin dengan keadaan Takuto.
Kau memang benar. Selama ini, aku selalu memikirkan diri sendiri tanpa mempedulikan
Akino. ucapnya sembari menurunkan kedua tangan Akino. Ia mengusap punggung tangan
gadis itu seperti yang biasa dilakukan seorang ayah kepada anaknya. Tapi sekarang, setelah
aku menyadari bahwa aku salah, aku tidak bisa melakukan apa-apa demi diriku sendiri
maupun demi Akino. Hal itu membuatku frustasi. Aku bingung dan takut untuk kehilangan
lagi.
Kazuya memandangi kedua insan di hadapannya secara bergantian dan kemudian bangkit
berdiri dari tempat duduknya.
Hal yang bisa paman lakukan sekarang adalah menjaga kesehatan paman agar bisa terus
menemani Akino. Itulah hal yang kini paling dibutuhkan oleh Akino. ujarnya. Sejenak
Takuto memandang Kazuya dengan tatapan kagum. Kazuya yang sekarang, begitu mirip
dengan dirinya yang dulu. Aku harus pergi dulu, paman. Ada yang harus kucari. Bilang
kepada Akino kalau aku pergi sebentar.
Baiklah hati-hati.
***

Four-Leaf Clover Bab 16


by Shiro Neko'shop on Monday, 28 May 2012 at 17:58
Bab 16
Hari demi hari berlalu, dan matahari sudah mulai bersinar dengan cahayanya yang hangat
sehingga salju yang awalnya bertumpuk pun kini sudah meleleh dan hilang hingga musim
dingin selanjutnya akan membawanya kembali.
Hari ini adalah sebuah keajaiban. Hari ini Akino, Kazuya, dan Takuto bisa kembali tersenyum
ketika mendengar kabar bahwa, ada orang yang bersedia mendonorkan matanya kepada

Akino. Dan tanpa pikir panjang, Takuto langsung menyetujuinya, dan Akino akan segera
melaksanakan operasi pada matanya hari itu juga.
Hal ini adalah keajaiban yang tidak pernah Akino bayangkan sebelumnya. Kemungkinan
kecil yang ia katakan kepada dokter muda itu dulu kini benar-benar terjadi padanya. Dalam
hatinya ia begitu berterima kasih kepada Tuhan yang memberikan keajaiban itu kepadanya.
***
Tok-tok!
Terdengar suara ketukan pada pintu ruangan kerja dokter muda yang menangani Akino
Okinawa, begitulah namanya. Kazuya melangkah masuk ketika dokter itu
mempersilahkannya untuk masuk.
Permisi, dokter ujar Kazuya dengan sopan sembari membungkukkan tubuhnya kepada
dokter itu. Dokter itu tersenyum ramah kepada Kazuya dan kemudian menyuruhnya untuk
duduk pada kursi di hadapannya.
Selamat siang, ada yang bisa saya bantu? tanyanya ramah. Perlahan Kazuya menggaruk
kepalanya yang tidak gatal sembari tersenyum malu.
Sebenarnya, ada yang ingin saya tahu. Itu pun jika diperkenankan jawab Kazuya.
Apa itu?
Ehm ini mengenai pendonor mata kepada Akino. Apakah boleh saya tahu siapa orang
yang telah mendonorkan matanya kepada Akino? Setidaknya saya ingin berterima kasih
kepadanya yang telah berbaik hati mendonorkan matanya. ujar Kazuya dengan jujur. Dokter
itu terlihat mengingat-ingat tentang orang yang dimaksudkan, dan kemudian mencoba
mengecek berkas-berkas yang tersusun di atas mejanya.
Maaf, tunggu sebentar. kata dokter itu sembari mengacak-acak kertas-kertas yang ada di
atas mejanya. Kazuya menurut sembari mengamati dokter di hadapannya itu.
Setelah menunggu beberapa menit, dokter Okinawa terlihat telah memegang secarik kertas
pada tangannya sembari membaca isi kertas itu dari balik kacamatanya.
Mengenai pendonor mata itu, dia telah meninggal. Ia meninggal karena kecelakaan mobil
kemarin. Ketika sampai di rumah sakit, pendonor masih dalam keadaan sadar, akan tetapi ia
terluka parah. Dan pada saat kritis itu, ia mengatakan bahwa ingin mendonorkan kedua
matanya kepada nona Fujioka Akino.
Tapi, bagaimana dia bisa tahu ada pasien yang bernama Akino? Siapa pendonor itu, dok?
Dari kartu identitas yang kami peroleh, pendonor itu bernama Tsukishima Airi. ujar dokter
itu. Sontak Kazuya terpaku akan kata-kata dokter itu. Matanya terbelalak dan terasa perih.
Airi? Tsukishima Airi yang ketika itu ditolaknya?

A-apa? Airi? suaranya terdengar parau. Kazuya menelan ludahnya dengan susah payah.
Airi kecelakaan? Kemarin? Bagaimana bisa? Kenapa dia sama sekali tidak tahu? Dan gadis
itu kemudian mendonorkan matanya kepada Akino?
Semua pertanyaan berkelebat di pikirannya. Akan tetapi pertanyaan itu tidak ada satupun
yang terjawab. Bahunya yang tadinya menegang, kini terjatuh lemas. Tanpa tahu apa-apa, dan
dengan hati yang begitu gembira, hari itu ia bersorak gembira ketika mendengar Akino akan
segera menjalani operasi.
Ka-kalau begitu apakah aku bisa bertemu dengan orang tuanya?
Sayang sekali, dari penyelidikan polisi, nona Tsukishima adalah seorang yatim piatu. Sejak
dulu ia tinggal di panti asuhan dan kemudian hidup sendiri ketika memasuki bangku SMA
dengan profesi sebagai seorang model. dokter itu bercerita dengan raut wajahnya yang tadi
jernih menjadi terlihat sedih.
Berakhirlah sudah. Kini, rasa terima kasih pun tak bisa ia ucapkan. Perasaannya berkecamuk
dalam hatinya. Ia benar-benar kacau. Apakah kecelakaan Airi juga merupakan kesalahannya?
Oh tidak sudah berapa banyak dosa yang ia perbuat? Dan sudah berapa nyawa yang ia
hilangkan karena perbuatannya?
Oh ya sebelum meninggal, nona Tsukishima meninggalkan sepucuk surat ini. Anda yang
bernama Yamamoto Kazuya, bukan? tanya dokter itu memastikan sembari menunjukkan
sepucuk surat ke hadapannya. Kazuya tidak menjawab, melainkan hanya memandangi
amplop surat yang sudah berteteskan darah. Perlahan ia mengangkat tangannya yang bergetar
menuju surat itu dan kemudian mengambilnya. Dan dengan perlahan pula ia membuka
amplop itu dan mengeluarkan surat itu dari dalamnya.
Ia membuka kertas itu dengan perasaan yang bercampur aduk dan air mata yang hampir
menuruni pipinya.
Untuk : Yamamoto Kazuya
Ketika kau membaca surat ini, mungkin aku sudah tidak berada di dunia ini lagi. Akan
tetapi, setidaknya ada yang ingin aku sampaikan kepadamu, Kazuya. Seperti yang kau tahu,
aku menyukaimu. Kau orang yang tanpa sengaja telah merebut hati dan pikiranku. Memang
semua ini terdengar menggelikan, tapi aku tetap ingin memberitahukannya padamu
setidaknya untuk terakhir kalinya.
Ketika aku memutuskan untuk melakukan hal ini, aku sudah yakin bahwa tidak ada lagi yang
bisa aku lakukan di dunia ini. Setidaknya untuk kehidupanku di kali ini.
Tujuanku untuk menulis surat ini kepadamu, bukan untuk mencari simpati atas kematianku.
Akan tetapi aku hanya ingin memberitahumu, bahwa kematianku ini bukanlah salahmu. Aku
tahu apa yang akan kau pikirkan di saat kau telah tahu bahwa akulah yang telah
mendonorkan mata kepada Fujioka.
Keputusan ini aku ambil atas tekadku sendiri. Bukan karena kau telah menolak cintaku. Akan
tetapi karena aku ingin menebus kesalahanku pada Fujioka. Tapi aku juga tidak
menyalahkannya. Sungguh

Selama aku hidup, aku hanya sebatang kara. Tidak ada orang tua yang membesarkanku.
Ketika aku lahir, aku sudah berada di depan pintu panti asuhan. Itulah yang aku dengar dari
pengurus panti ketika aku bertanya tentang orangtuaku. Satu hal yang kupikirkan saat itu
adalah, bahwa aku mungkin anak buangan. Anak yang sebenarnya tidak ingin dimiliki
orangtuaku. Dan dari situlah aku mulai berubah menjadi orang yang seperti ini.
Ambisiku yang besar terhadap dunia hiburan, membawaku kepada profesi yang sekarang
membuat namaku terkenal. Sekarang, apapun yang aku mau, bisa kudapatkan dengan hasil
kerja kerasku. Akan tetapi, keegoisanku mulai menyelimutiku, terutama ketika aku bertemu
denganmu. Aku ingin sekali memilikimu. Dan keinginanku itu membawaku untuk melakukan
hal nekad itu. Aku menyesal. Andaikan saja aku bisa memutarbalikkan waktu, aku ingin
sekali melakukannya. Tapi, semua itu sia-sia.
Jadi, Kazuya jangan pernah menyalahkan dirimu atas kematianku. Ini benar-benar
keputusanku. Aku ingin menjadi orang yang berguna sebelum aku mati. Karena aku tahu
selama ini aku tidak pernah menjadi orang yang berguna bagi orang di sekitarku. Selama
aku hidup, aku hanya menyusahkan orang lain. Karena alasan itulah aku ingin memberikan
mataku kepada Fujioka Akino.
Jagalah dia dan selalu temani dia. Jangan pernah meninggalkannya, karena aku tidak akan
tenang sebelum semua itu kau lakukan. Hanya itu permintaanku. Aku berharap, agar ada
keajaiban yang terjadi. Jaga dirimu
~Airi~
Kazuya meremas surat itu dengan kuat. Dadanya terasa sesak. Ia merasa hatinya tertusuk
begitu dalam ketika harus kehilangan orang yang walaupun tidak akrab dengannya. Kematian
benar-benar mengerikan di matanya. sebutir air mata mengalir jatuh dan menetes di atas surat
yang ditulis Airi. Kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa semua terasa bagaikan dongeng
yang begitu menyedihkan? Tidak bisakah semua ini dihentikan dan dikembalikan kepada
posisi semula?
Apakah Airi sudah dimakamkan? Aku ingin melihatnya. ujar Kazuya dengan suaranya
yang parau dan tercekat. Ia berusaha untuk menahan isak tangisnya dan mencoba untuk tegar.
Ditatapnya mata dokter itu lekat-lekat dengan matanya yang sudah memerah dan basah.
Dokter Okinawa kemudian bangkit dari tempatnya duduk. Jenazahnya masih berada di
dalam kamar jenazah. Apa anda ingin melihatnya?
Dengan kakinya yang masih bergetar dan lemas, Kazuya berdiri dan kemudian
menyejajarkan tatapannya kepada dokter di hadapannya.
Tentu. jawabnya.
***
Dan disinilah Kazuya berada. Di dalam kamar jenazah yang suram. Aura yang berbeda terasa
menusuk dirinya. Akan tetapi, keinginannya untuk bertemu dengan Airi sudah bulat. Dokter
itu membawanya menuju tubuh Airi yang terbujur kaku di atas hamparan alumunium yang
terasa dingin.

Kazuya menahan napasnya memandangi tubuh Airi yang terselimuti seluruhnya dengan kain
putih. Kain itu kotor karena darah. Dan darah itu terlihat masih segar padahal sudah lewat
semalam. Jantung Kazuya kini berdegup tidak karuan. Ia ingin menarik kain yang menutupi
wajah Airi, akan tetapi ia tidak memiliki keberanian untuk itu.
Setelah lewat beberapa menit, dimana ia berusaha untuk menenangkan dirinya, dengan ragu
ia kemudian menyentuh kain itu dan kemudian menariknya.
Matanya terbelalak lebar dan hujan pada matanya enggan untuk berhenti. Napasnya tercekat
ketika melihat wajah Airi yang kini sudah tertidur untuk selamanya dengan wajahnya yang
tenang. Kedua matanya ditutupi dengan perban, menandakan bahwa kini bola matanya sudah
tidak berada di dalam rongga matanya.
Ia tidak sanggup untuk mengucapkan sepatah katapun. Bahkan suara tangisnya pun enggan
keluar. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Semua itu adalah kenyataan yang kini
berdiri tegak di hadapannya. Dia tidak lagi bisa menyangkal. Sebelumnya ia berpikir bahwa
surat itu, dan kabar itu semuanya adalah kebohongan belaka. Akan tetapi, begitu rapuhnya dia
ketika menyadari bahwa semua itu bukanlah cerita, melainkan kebenaran.
Perlahan Kazuya melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan itu serta dokter Okinawa
yang masih memandangi Kazuya dengan tatapan prihatin. Semua rasa sakit menghunjam
dadanya. Baik itu sakit secara fisik maupun batin, semuanya bercampur aduk menjadi satu.
Dan mau tidak mau, ia harus mengakui, semua telah berakhir.
***
Kuncup bunga sakura mulai bermekaran. Orang-orang sudah menanggalkan setelan pakaian
musim dingin mereka dan mengenakan pakaian santai mereka dan kemudian melintasi
jalanan kota dibawah terpaan angin hangat dari musim semi yang telah datang mengabsen
tiap orang di Jepang.
Kazuya berlarian dengan langkah yang letih dan terhuyung-huyung di tepi jalan untuk
menuju rumah sakit. Terkadang tanpa sengaja ia menabrak orang-orang yang berjalan di
depannya, dan kemudian berlalu setelah meminta maaf.
Kazuya berbelok dari jalannya dan kemudian memasuki gedung rumah sakit yang berdiri
megah. Segera ia menembus keramaian pada lantai dasar rumah sakit itu dan segera menaiki
tangga dan kemudian berbelok ke lorong rumah sakit yang lebih sepi dari lantai dasar tadi.
Ia melintasi beberapa kamar rawat yang berpenampilan yang sama dan kemudian berhenti di
ruangan nomor 78, kamar rawat Akino. Ia datang tepat waktu walaupun harus dengan napas
yang terengah-engah.
Takuto memalingkan wajahnya yang khawatir kepada Kazuya yang baru saja masuk ke
dalam ruangan. Hari ini adalah hari dimana perban pada mata Akino akan dilepas. Terlihat di
dalam ruangan itu dokter Okinawa tengah berdiri di samping Akino dan perlahan-lahan
membuka perban yang menutupi kedua mata Akino.
Kazuya menanti dengan tidak sabar, walaupun sebenarnya tubuhnya begitu lelah dan
wajahnya pucat. Takuto yang kini sudah berdiri di samping Kazuya menanti dengan hati yang

tidak tenang sembari terus menatap lurus-lurus Akino di hadapannya. Ia terus berdoa dalam
hati agar mata yang di dapatkan Akino sekarang dapat berfungsi dengan baik.
Perban pertama telah dilepas dan dokter Okinawa menyerahkan perban itu kepada suster
yang berdiri di sisi kirinya. Akino meremas selimut yang menyelimutinya dengan tegang.
Berharap agar dia bisa melihat kembali dengan mata yang ia dapatkan dari pendonor yang
tidak ia ketahui nama bahkan orangnya. Tenggorokannya terasa kering ketika kini dokter
Okinawa mulai membuka kapas yang ditempel pada kedua matanya.
Kini perban yang tadinya menutupi kedua mata Akino telah berpindah posisi pada tangan
suster yang kemudian melangkah mundur.
Akino masih memejamkan kedua matanya. Masih mencoba dengan takut untuk membuka
kelopak matanya. Kazuya dan Takuto yang sedari tadi berdiri di ujung ranjang, kini telah
berjalan menghampiri Akino di sisi kanan ranjangnya. Takuto meraih tangan Akino yang
berkeringat dingin karena cemas.
Bukalah matamu, nak ayo. ujar Takuto walaupun dia tahu, Akino tidak akan bisa
mendengarnya.
Perlahan kelopak mata Akino mulai terbuka. Berkas-berkas cahaya yang menembus masuk
melewati jendela kini menyinari dirinya. Secercah cahaya hangat yang ia rindukan.
Senyum pada bibir Akino merekah ketika ia bisa melihat dengan jelas Takuto yang berdiri
sangat dekat dengannya. Ia mengalihkan pandangannya ke sisi belakang Takuto, dan di situ
berdirilah Kazuya dengan wajahnya yang pucat dan cemas. Dan pada sisi kirinya dapat ia
lihat dokter Okinawa yang menatapnya dengan ramah.
Dokter ayah Kazuya ujarnya sembari tersenyum. Aku aku bisa melihat kalian
semua. lanjutnya dengan air mata bahagia di sudut matanya. Dengan cepat Takuto
menarik lembut tubuh Akino ke dalam pelukannya. Dengan penuh syukur ia memanjatkan
pujiannya kepada Tuhan yang telah bermurah hati memberikan kembali cahaya pada
anaknya.
Tubuh Kazuya yang sedari tadi menegang kini sudah dapat merasakan kelegaan mendengat
pengakuan Akino. Akan tetapi, ia menatap kedua bola mata yang kini sudah menjadi milik
Akino. Mata itu. Sinar mata yang ia kenal. Sinar mata yang dimiliki Tsukishima Airi
sebelumnya. Terima kasih Airi, ujarnya dalam hati.
***

Four-Leaf Clover Bab 17-END


by Shiro Neko'shop on Monday, 28 May 2012 at 18:00
Bab 17-end
Akino menatap langit biru yang kini sepertinya sedang tersenyum padanya. Langit di sore
hari itu dihiasi dengan sapuan tipis awan putih yang hampir tidak terlihat. Sinar matahari

menyinarinya dengan hangat. Dan kelopak bunga sakura melayang-layang di udara bak
sedang menari dengan tarian indahnya yang mempesona. Angin musim semi menyapu lembut
wajahnya yang pucat. Rambutnya yang dia biarkan tergerai, kini melambai-lambai karena
ditiup angin.
Kazuya masuk ke dalam ruangan itu dan berjalan menghampiri Akino yang kini sedang
duduk di tepi jendela. Kazuya tersenyum memandangi senyum pada sosok yang disukainya
itu. betapa ia merindukan senyuman itu. Senyuman yang terlihat begitu tenang dan damai,
tapi mampu membuat jantungnya berlompatan.
Kazuya meletakkan sebuah topi berwarna cokelat muda pada puncak kepala Akino. Akino
menoleh dan memandangi Kazuya dengan bola matanya yang jernih.
Kazuya-kun bagaimana dengan sekolahmu? tanya Akino.
Sebentar lagi acara kelulusan jawabnya singkat. Ia mengalihkan pandangannya ke luar
jendela dan memandangi pohon sakura dengan bunganya yang berwarna pink menyelimuti
seluruh ranting.
Ah, tapi aku tidak mengikuti ujian pasti aku tidak bisa mengikuti acara kelulusan ya
ujarnya sambil tertawa ringan yang di sambut dengan tawa kecil dari Kazuya. Oh ya, kau
tahu apa yang sangat kuinginkan sekarang ini? tanya Akino mendadak ceria.
Kazuya menoleh memandangi Akino dengan penuh tanda tanya. Apa? Makan?
Bukan! seru Akino sembari memasang tampang cemberut. Memangnya aku terlihat
seperti orang yang gila makan?
Lalu, apa? tanyanya bingung.
Pergi ke Taman Ueno untuk melihat sakura! serunya dengan senyumnya yang melebar.
Kau gila! sergah Kazuya yang langsung membuat Akino memanyunkan bibirnya layaknya
anak kecil.
Tapi aku ingin ke sana. Sebentar saja. Kumohon pintanya.
Tidak boleh. Kau masih sakit! Kau harus dirawat dan tidak boleh keluar dari rumah sakit.
Jahat! Aku ingin pergi!!! Akino berteriak mengotot untuk pergi.
Sudah kubilang tidak bo
Tidak apa-apa, Yamamoto-kun tiba-tiba Takuto masuk dengan setelan kantornya dan
berjalan mendekati kedua orang di hadapannya.
Ayah! Ayah sudah kembali. ujarnya ceria. Takuto merangkul gadis itu sembari mencium
puncak kepala gadis itu.
Bagaimana kabarmu, sayang? tanya Takuto dengan lembut.

Aku merasa lebih baik sekarang tapi Kazuya tidak mau mengajakku keluar aku bosan
berada di sini tiap hari ujarnya sembari melirik Kazuya dengan kesal.
Ajak saja saja dia pergi, Yamamoto-kun bisa kan? ucap Takuto kemudian.
Tapi. Kazuya hendak menolak, akan tetapi Takuto menatapnya dengan tatapan memelas.
Kazuya mengerti betul maksud dari ayah gadis itu. Hal itu tentu saja mengenai. Baiklah
kalau begitu ujar Kazuya yang kemudian pasrah. Sontak Akino berseru kegirangan
mendengar persetujuan Kazuya.
Ayah mau ikut?! Ayo pergi bersama? ajak Akino. Sejenak Takuto menimbang-nimbang
tawaran anaknya itu. Tapi kemudian menggelengkan kepalanya.
Tidak usah. Ayah masih ada urusan. Kamu bersenang-senanglah dengan Yamamoto ya
tapi ingat, jangan terlalu lama. Kamu harus cepat kembali, ya?
Akino mengangguk menyanggupi dengan senyum yang terus terukir pada bibirnya.
***
Kaki mereka kini tengah melintasi tepi jalan yang ramai oleh orang-orang. Akino
mengenakan T-shirt seadanya dengan celana jeans biru pada kakinya. Tidak lupa ia
mengenakan jaket pada tubuhnya agar tidak terlalu banyak diterpa angin.
Mereka bergandengan tangan melintasi jalan yang di sisi kiri dan kanan ditanami oleh pohon
sakura yang indah. Tempat itu membawa pikiran Akino kepada musim semi dua tahun yang
lalu dimana dia sedang berputar-putar di bawah hujan sakura yang indah dan secara tiba-tiba
dipergoki oleh Kazuya.
Indahnya gumam Akino sembari mengangkat tangannya di udara untuk menangkap
kelopak sakura yang berjatuhan.
Rambutnya yang dibiarkannya tergerai kini melambai-lambai oleh angin yang menerpa
lembut di sore hari itu. Kazuya ikut tersenyum ketika melihat wajah Akino yang terlihat ceria.
Mereka berdua berjalan dalam hening hingga akhirnya mereka sampai di Taman Ueno
dengan pohon-pohon sakura yang tumbuh sehingga menjadikannya sebagai objek yang tidak
dapat dilewatkan oleh setiap orang.
Wah. Walaupun sudah sore begini tetap saja ramai ya. ujarnya sembari melemparkan
pandangannya ke setiap tempat. Banyak orang yang masih duduk di bawah pohon sakura
sambil menikmati bekal mereka dan indahnya musim semi di sana.
Iya ya ujar Kazuya sedikit kecewa.
Tapi, coba lihat di sana! seru Akino sembari menunjukkan jarinya ke sebuah tempat.
Kazuya mengikuti tunjukkan Akino yang berakhir di sebuah pohon. Tempat itu kan tempat
kita berpiknik dulu. Kau ingat? tanyanya sembari menarik tangan Kazuya menuju sebuah
pohon sakura yang tumbuh sendiri.

Kazuya membiarkan tubuhnya ditarik oleh gadis itu sama seperti ketika dulu ia ditarik ke
tempat itu. Sama seperti dulu. Perbuatan Akino yang seenaknya itu selalu membuat hatinya
berdebar-debar.
Dan dalam semenit, sekarang mereka sudah berdiri di bawah pohon itu. Akino menarik
Kazuya untuk kemudian duduk di sampingnya.
Hah. Sayang sekali kita tidak membawa bento seperti dulu kata Akino sembari
mendesah panjang.
Kau kan hanya ingin datang kemari untuk menikmati hanami kan. Bukan untuk berpiknik!
tegur Kazuya.
Hehe iya, iya
Hening. Mereka terlihat asyik dengan pikiran mereka masing-masing. Akino kembali
bernostalgia dengan masa-masa sekolahnya dengan Kazuya dulu. Hari dimana mereka selalu
bersama dan bercanda bersama. Kenangan yang memiliki arti tersendiri padanya.
Sementara Kazuya daritadi hanya sibuk berpikir akan sesuatu, yang bahkan membuat dirinya
sendiri bingung dengan apa yang ia pikirkan. Akan tetapi lamunannya itu akhirnya
terbuyarkan ketika kepala Akino kemudian jatuh di atas bahu kirinya. Sejenak ia menahan
napas karena terkejut, tapi jantungnya berdebar karena senang.
Aku belum pernah begini sebelumnya gumam Akino sembari memejamkan kedua
matanya. Kau orang yang sangat baik dan perhatian padaku. Sampai aku sendiri bingung
kenapa kau begitu peduli padaku. Sebenarnya apa alasanmu, Kazuya-kun? tanya Akino.
Kazuya terdiam. Bertanya di saat seperti ini? Sepertinya ini bukan saat yang tepat, serunya
dalam hati.
Kazuya-kun panggil Akino dengan nada lembut.
Hm?
Aku selalu ingin mengatakan sesuatu padamu. lanjutnya sambil mengangkat wajahnya
dan menatap mata Kazuya di depannya lekat-lekat yang dibalas dengan wajah penasaran
Kazuya.
Tapi, aku tidak tahu, apakah aku pantas untuk mengatakannya padamu. Tapi Akino
menyentuh dada kirinya tepat di jantungnya. Hati ini selalu ingin mengatakannya. Dulu aku
memang menyangkal dengan perasaanku sendiri, tapi kini aku menyadari bahwa aku
menyukaimu, Kazuya-kun. Tidak. Aku mencintaimu apa kau tahu hal itu?
Kazuya menahan napasnya dan matanya terbelalak dengan lebar. Wajahnya sontak bersemu
begitu merah ketika Akino mengatakan kalimat itu. Kalimat yang selama ini ingin ia katakan,
tapi tak pernah berani ia ucapkan. Ia merasa jantung di dalam rongga dadanya menyentak
dengan sangat kuat hingga terasa ingin melompat keluar.

A-aku sebenarnya aku juga aku juga mencintaimu ujarnya lirih. Oh. Dia benarbenar mengatakannya. Walaupun malu, kini dia berhasil mengucapkannya tepat di hadapan
gadis yang ia sukai!
Mendengar itu, wajah Akino sendiri pun merona, dan senyum merekah di wajahnya. Ia
tersenyum dengan lembut. Begitu lembut dan cantik hingga membuat Kazuya terpana. Entah
apa yang kini membuat hatinya begitu nekad ketika ia meraih wajah Akino untuk
mendekatinya. Akino membiarkan Kazuya yang kemudian menyentuh bibirnya dengan
lembut. Ia dapat merasa jantungnya yang berdegup tak karuan. Ia begitu menyukai perasaan
yang meluap itu.
Kini ia merasa dirinya begitu utuh ketika ia bisa menyampaikan perasaannya kepada Kazuya,
laki-laki yang membuatnya jatuh cinta.
Kazuya menghentikan ciumannya dan kemudian membawa tubuh gadis itu ke dalam
pelukannya. Sungguh. Sungguh ia mencintai gadis ini. Sungguh ia tidak ingin melepaskan
gadis ini. Dan sungguh, tak ada lagi yang bisa membuatnya merasa bahagia dengan perasaan
ini selain gadis yang kini didekapnya.
Terima kasih. Terima kasih telah menjadi sahabatku dan terima kasih telah membalas
perasaanku. Sebelumnya aku berpikir, hal ini mustahil. Aku pikir, kau tidak menaruh
perasaanku. Tapi sekarang aku tenang. Sangat tenang ujarnya sembari membalas
pelukan itu dengan melingkarkan kedua tangannya di leher Kazuya. Kini pertanyaan di
hatinya terjawab. Pertanyaan mengenai alasan pelukan Kazuya begitu berbeda dengan
pelukan yang pernah ia dapatkan dari ayahnya dan Asakura Rin.
Kazuya melepaskan pelukannya dan kemudian menatap Akino dengan bola mata cokelatnya
yang jernih.
Justru aku yang harus berterima kasih, karena kau juga menyukaiku. Aku kira, kau tidak
akan menyukai orang sepertiku yang berasal dari keluarga biasa.
Akino menggeleng dan tersenyum lembut. Tidak ada istilah keluarga biasa bagiku. Karena
menurutku, semua orang itu sama selama dia adalah orang yang baik
Kazuya menghela napas lega dan kemudian menyentuh kedua pipi Akino yang masih
memerah. Ayo, kembali. Sudah hampir gelap ajaknya. Akino mengangguk dan kemudian
berdiri dengan bantuan uluran tangan Kazuya yang besar. Dan kini mereka bergandengan
tangan bukan sebagai seorang teman, tetapi bergandengan tangan layaknya kekasih dengan
jari-jari mereka yang saling bertautan.
Segera mereka kemudian meninggalkan tempat itu dan melangkahkan kaki untuk segera
kembali ke rumah sakit sebelum hari mulai gelap.
Baru berjalan beberapa langkah, Akino mendadak berhenti dan kemudian menopang
tubuhnya di salah satu batang pohon sakura di sisi jalan.
Kau kenapa, Akino-chan? tanya Kazuya cemas. Akino mengangkat wajahnya dan
tersenyum tipis.

Aku lelah boleh aku istirahat sebentar? kata Akino dengan napas yang agak terengahengah.
Tapi kita harus segera kembali sebelum malam. Sini, biar kupapah. Ayo naik
kepunggungku. Kazuya memutar tubuhnya dan kemudian berlutut dengan satu kaki di depan
Akino. Akino tertawa kecil.
Tapi, aku berat loh apa kau sanggup?
Sudahlah ayo cepat naik. Badanmu lebih kecil dariku. Tentu saja aku mampu! katanya
dengan mantap. Dan kemudian dengan tawa renyah, Akino kemudian melingkarkan
tangannya di leher Kazuya dan naik ke atas punggungnya. Dalam satu hentakan, Akino sudah
berada dalam gendongan Kazuya.
Yosh! Ayo kita kembali! serunya sembari berjalan dengan mantap. Akino memeluk tubuh
itu dengan erat seakan tidak ingin melepaskannya sembari memejamkan matanya dan
tersenyum.
Kazuya-kun panggilnya pelan.
Hm? jawab Kazuya sembari menolehkan sedikit kepalanya.
Punggungmu hangat.
Kazuya tertawa kecil dan meneruskan perjalanannya. Dan sekali lagi Akino memanggilnya.
Kazuya-kun.
Apa?
Aromamu harum ya. kata Akino pelan. Mendengar itu, sekali lagi Kazuya tertawa. Adaada saja, pikirnya.
Kazuya-kun.
Apa?
Kau tahu kan kalau aku menyukaimu? tanyanya lirih. Kazuya menganggukkan kepalanya
dua kali yang diikuti dengan senyum bahagia dari Akino. Kazuya-kun panggilnya untuk
kesekian kali.
Apa, Akino-chan?
Aku lelah. Aku ingin tidur sebentar. jawabnya. Kali ini Kazuya tidak menjawab.
Raut wajahnya tiba-tiba berubah menjadi ekspresi kaget. Ia semakin panik ketika dia
mengguncangkan sedikit tubuhnya untuk memanggil Akino.
Akino-chan? panggilnya sembari menolehkan kepalanya sedikit. Tidak ada jawaban. Hei,
Akino-chan? Jangan tidur dulu. panggilnya lagi. Lagi-lagi tidak ada jawaban. Kazuya
semakin panik ketika perlahan-lahan rangkulan pada lehernya perlahan melonggar.

Hei, Akino-chan. panggil Kazuya dengan suara yang mulai bergetar karena takut. Tidak.
Jangan sekarang. Kumohon jangan sekarang. Aku masih belum siap sekarang. Akinochan ayo bangun. panggilnya lagi.
Jantung Kazuya rasanya tiba-tiba berhenti berdetak ketika rangkulan pada lehernya terlepas.
Dia panik. Dia takut. Perlahan ia kembali melangkahkan kakinya dan kemudian semakin
cepat hingga akhirnya ia kini sudah berlari-lari menembus keramaian kota.
Akino-chan! Ayo cepat bangun! Jangan tidur dulu kumohon buka matamu dan jawab
aku! serunya dengan air mata yang mulai membendungi matanya. Hentakan pada kakinya
membuat air mata yang menghalangi pandangannya itu jatuh menuruni wajahnya. Akino
tidak menjawab. Matanya terpejam dan wajahnya terlihat begitu tenang. Akino. Bangun
akino! suara Kazuya berubah menjadi erangan dan terdengar memilukan ketika ia tidak
mendapat jawaban dari Akino.
Segera ia berlarian memasuki rumah sakit dan membawanya ke ruangan dokter Okinawa.
Okinawa yang kaget melihat Akino digendongan Kazuya segera menyuruh Kazuya untuk
membaringkannya di sebuah kasur dalam ruangannya itu. Okinawa berseru memanggil suster
yang kemudian segera memasangkan segala peralatan pernapasan dan alat medis lainnya.
Kazuya disuruh Okinawa untuk menunggu di luar. Kazuya yang panik langsung menelepon
Takuto untuk menyuruhnya datang ke rumah sakit.
Kazuya berjalan mondar-mandir dengan kedua tangannya yang ia satukan di depan wajahnya.
Kumohon Tuhan berikanlah keajaiban. Aku mohon
Ia mulai mengerang takut sembari menarik rambutnya dengan cemas. Dan tingkahnya itu
kemudian berhenti ketika dokter keluar dari ruangannya tepat setelah Takuto datang.
Dokter. Bagaimana dengan Akino? Dia baik-baik saja kan? Dia baik-baik saja kan?!
Kazuya berseru dengan histeris layaknya orang gila. Tubuhnya sontak lemas ketika dokter
Okinawa tidak menjawab pertanyaannya melainkan hanya menggeleng pelan. Takuto
terdiam. Terpaku tidak percaya. Akino telah
Dengan segera ia kemudian menerobos masuk dan menghampiri Akino yang kini terbaring di
atas kasur tanpa bergerak sedikit pun. Wajahnya terlihat begitu tenang dan datar. Kazuya
mengguncang-guncangkan tubuh itu sembari terus memanggil namanya.
Akino-chan! Ayo cepat bangun! Sudah kubilang kalau aku tidak akan memaafkanmu kalau
kau pergi! Cepat bangun! Jangan pura-pura tidur!! Ayo bangun!!! jeritnya. Takuto kemudian
masuk ke dalam ruangan itu dengan langkah gontai mendekati Kazuya yang masih terus
menyerukan nama anaknya. Ia menepuk punggung Kazuya untuk menenangkan. Tentu ia
sedih. Tapi dia sudah tahu bahwa tidak akan ada harapan dan ia hanya bisa pasrah.
Kazuya tidak menyerah, dan terus memanggil Akino tanpa henti. Tiba-tiba dia seakan teringat
sesuatu dan kemudian merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana.
Akino-chan. Ayo bangun. Kau lihat ini? Aku menemukan ini! Aku selalu mencaricarinya untukmu. Ayo cepat buka matamu dan lihatlah. Ini daun semanggi empat yang kita
bicarakan dulu. Daun yang ajaib itu. Ayo bangun! Cepat bangun!!! Kazuya menaruh daun

semanggi empat yang selama ini ia cari dengan susah payah itu ke atas tangan Akino yang
perlahan mulai terasa dingin.
Kumohon. Bangunlah dan lihatlah bukannya kau percaya dengan keajaiban? Ayo.
Kumohon. Turuti permintaanku sekali ini saja
Kazuya jatuh terduduk dengan tangis yang dalam dan keras. Hatinya terasa tercabik-cabik
ketika tidak sekalipun Akino meresponnya. Tidak untuk memandangnya, maupun daun ajaib
yang sudah dicarinya dengan susah payah, hingga harus membuatnya kelelahan setiap
malam.
Dokter Okinawa dan suster di ruangan itu hanya dapat memandangi Kazuya dengan prihatin
tanpa bisa berbuat lebih. Ia terharu melihat kegigihan Kazuya untuk mencari daun yang
kabarnya langka sekali untuk ditemukan.
***
Apa ini? Tempat apa ini? Kenapa semuanya serba putih dan berkilauan? Kenapa aku
mengenakan pakaian serba putih seperti ini?
Akino-chan panggil seseorang. Akino menoleh dan melihat Kazuya yang jatuh berlutut
di hadapannya. Ia begitu terkejut ketika melihat seorang gadis yang tergeletak tidak bernyawa
di atas kasur. Itu aku?
Cepat bangun, Akino-chan! Kau lihat ini? Ini daun semanggi empat yang susah payah aku
cari untukmu. Ayo cepat buka matamu dan lihatlah ini panggil Kazuya dengan
wajahnya yang memerah karena menangis.
Perlahan Akino yang kini mengenakan terusan berwarna putih bersih menangis karena
melihat Kazuya yang terlihat begitu sedih akan kepergiannya. Takuto terlihat menahan
tangisnya, tapi kepedihan hatinya tidak dapat ia sembunyikan dari wajahnya. Ia menutup
mulutnya agar suara isakannya tidak terdengar hingga akhirnya sebuah suara yang menggema
terdengar dari kejauhan tengah memanggil namanya.
Fujioka Akino panggil suara itu dengan suaranya yang terdengar begitu indah dan
merdu.
Siapa? Siapa di sana? tanya Akino sembari menebar pandangannya ke sekelilingnya akan
tetapi ia tidak mendapatkan siapapun di sana.
Kau tidak perlu tahu siapa Aku. Tapi ada yang ingin Aku sampaikan kepadamu.
Apa? Apa yang ingin Kau sampaikan kepadaku?
Kau lihat kan apa yang berada di hadapanmu sekarang? Lelaki itu, adalah lelaki yang kau
cintai bukan? Dia begitu setia menemanimu bagaimanapun keadaanmu. Kau harus sangat
bersyukur karena bertemu dengan orang sepertinya. Dia bahkan sengaja mencari daun itu
karena percaya dengan mitos tentang keajaiban yang diciptakannya. Dia menemanimu dari
pagi hingga malam. Dan ketika malam hari ia akan keluar dari rumahnya dan menjelajahi
setiap semak-semak yang dikiranya ditumbuhi rumput. Ia mencarinya hingga larut malam

sambil terus berdoa dan berharap dengan keajaiban yang sebenarnya sangat kecil
keberadaannya. jelas suara itu panjang lebar kepada Akino yang terlihat begitu tercengang
mendengarnya.
Dan apa kau tahu darimana kau mendapatkan bola mata itu?
Ti-tidak siapa? Siapa yang telah mendonorkannya kepadaku?
Gadis bernama Tsukishima Airi. Gadis yang pernah mencelekaimu dan membuat
keadaanmu bertambah parah.
Akino terperangah. Dan ia terdiam dengan bibirnya yang kini kering mengatup dengan begitu
rapat. Airi? Tsukishima Airi?! Dia bahkan tidak pernah tahu tentang hal itu. Mata ini
Tanpa terasa matanya mulai basah. Mata yang sebenarnya bukan miliknya meneteskan air
mata.
Aku menghargai semua pengorbanan mereka demi dirimu. Mereka bersedia untuk
mengorbankan diri mereka demi dirimu. Dan oleh karena itu, Aku memberimu kesempatan
kedua untuk melanjutkan kehidupanmu. Karena sebetulnya, waktumu masih panjang. Dan
oleh karena itu, hargailah dan jagalah kehidupanmu ini hingga ajalmu menjemputmu nanti.
Tiba-tiba Akino merasakan dirinya seakan tertarik oleh sebuah pusaran yang tidak terlihat.
Perlahan ia merasa sesuatu menyiksa batinnya yang kemudian ia menyadari dirinya kini
perlahan-lahan menghilang.
***
Akino membuka matanya perlahan-lahan dan ia mendengar suara isakan tangis di telinganya.
Apa yang terjadi?
Ka-zuya ayah ucapnya lirih dengan suaranya yang serak.
Tiba-tiba seisi ruangan itu tercengang. Kazuya bangkit berdiri dan Takuto dengan cepat
menghampiri kasur itu.
A-Akino? ujar Kazuya dan Takuto bersamaan. Akino menatap mereka berdua dengan
senyum yang lembut. Sejenak Takuto tersentak ketika melihat senyum Akino saat itu begitu
mirip dengan seseorang yang ia kenal. Harumi
Kenapa kalian menangis? ujarnya. Dan dengan cepat Kazuya memeluk tubuh yang
masih lemah itu dan erat sambil terisak-isak. Sementara Takuto menggenggam kedua tangan
Akino dengan hangat dan masih tidak percaya dengan pandangannya.
Dokter Okinawa dan suster yang sedari tadi berada di dalam ruangan itu pun tercengang. Apa
yang terjadi? Gadis itu hidup kembali?
Akino-chan. Kau menakutiku! Kau tahu itu?! Kumohon jangan pernah lakukan hal seperti
ini lagi! ujar Kazuya masih dengan kedua tangannya yang mendekap erat gadis itu.

Iya jawab Akino serak. Ayah Kazuya. aku kembali.


***

Four-Leaf Clover Epilog


by Shiro Neko'shop on Monday, 28 May 2012 at 18:03
Epilogue
Seorang wanita berambut cokelat panjang sepunggung yang tergerai tengah berdiri di bawah
pohon momiji yang sudah berubah sepenuhnya menjadi berwarna kuning, cokelat, dan
merah. Wanita itu terlihat tengah menikmati hembusan angin sejuk yang menerpa wajahnya
sembari memandangi sebuah kaca berbentuk segi empat di hadapannya. Ia mengangkat benda
itu tinggi-tinggi sehingga terlihat bersinar di bawah langit yang kini bergitu bersih.
Wanita itu tersenyum dengan lembut sampai ia tidak menyadari seseorang tengah berlari ke
arahnya sembari menyerukan dirinya.
Ibu!! panggil seorang gadis kecil berumur empat tahun dan berambut cokelat yang
panjangnya sebahu. Rambutnya dikuncir dua dan terlihat melambai-lambai ketika ia berlarian
menuju wanita yang dipanggilnya ibu itu. Wanita itu kemudian menolehkan wajahnya dan
kemudian tersenyum lembut kepada gadis kecil yang berlarian ke arahnya dengan
mengenakan tas di punggungnya.
Hai, gadis kecil! seru wanita itu dan kemudian membawa anak itu ke dalam gendongannya.
Bagaimana dengan sekolahmu hari ini, sayang?
Anak kecil berwajah agak kemerahan kemudian mengacungkan kedua jari jempolnya kepada
ibunya sembari tersenyum manis. Keren! Sekolah dan teman-temanku keren! serunya.
Anak pintar! pujinya sembari mendaratkan ciuman di kening gadis kecil itu.
Yukino-chan! panggil seorang pria yang kira-kira seumuran dengan wanita itu.
Ayah! seru gadis kecil bernama Yukina itu kepada laki-laki yang memanggilnya. Terlihat
dari belakang pria itu, berdiri seorang pria yang usianya sudah sepuh tersenyum ke arah anak
dan ibu itu. Rambutnya sudah memutih dengan keriput di wajahnya yang menjelaskan umur
pria itu.
Kazuya, ayah! panggil wanita berambut panjang yang ternyata bernama Akino itu. Akino
berlari menghampiri kedua pria itu sembari tersenyum.
Kazuya kemudian mengulurkan kedua tangannya kepada Yukino yang kemudian disambut
dengan cepat oleh Yukino yang berhambur ke pelukan ayahnya. Anak nakal. Kenapa tibatiba lari begitu. Nanti kalau hilang bagaimana? tegur Kazuya yang kemudian dibalas dengan
bibir Yukino yang manyun.

Sudahlah namanya juga anak kecil ujar Takuto sembari mencubit pelan pipi Yukino
yang tembam, sementara Yukino tertawa geli.
Dia harus diberi pelajaran, ayah. Kalau tidak dia akan menjadi anak nakal seperti ibunya.
ujarnya sembari menoleh kepada Akino yang mendelik kesal ke arahnya.
Kau kira kau tidak? Dulu kau juga jahil, kau tahu itu? balas Akino.
Tapi setidaknya tidak separah dirimu.
Ah, menyebalkan! seru Akino.
Kakek aku mau dengan kakek. pinta Yukino manja sembari mengulurkan tangan
kecilnya ke arah Takuto. Sambil tertawa, Takuto kemudian menyambut uluran tangan itu dan
membawa anak itu ke dalam pelukannya.
Sudahlah kalian berdua. Katanya mau kerumah keluargamu, Kazuya. Ayo kita pergi ujar
Takuto tanpa mengalihkan perhatiannya dari Yukino, cucunya yang manis.
Kakek coba lihat kata Yukino sembari menunjukkan sebuah benda yang sedari tadi
dipegang Akino.
Apa ini?
Ini punya ibu
Loh, Yukino-chan! Sejak kapan kamu mengambilnya?? ujar Akino heran ketika menyadari
bahwa benda segi empat yang sedari tadi ia pegang kini suda berpindah tangan. Kazuya yang
penasaran dengan apa yang dimaksud, kemudian menoleh. Benda itu
Sejak tadi ketika ibu lari-lari ke sini. katanya polos. Akino tertawa kecil.
Jangan sampai hilang ya ini benda paling berharga yang ibu miliki. ujarnya sembari
melirik nakal ke arah Kazuya yang wajahnya sudah bersemu merah. Wah sepertinya ada
yang malu.
Si-siapa yang malu! Dasar ayo, ayah kita pergi. ajak Kazuya sembari berjalan
meninggalkan Akino yang masih tertawa geli.
Benda itu. Ternyata masih disimpannya hingga sekarang. Four-leaf clover yang ia carikan
untuknya bertahun-tahun yang lalu. Yang kini Akino abadikan di antara dua kaca yang
mengapit daun yang sudah berubah warna menjadi cokelat itu.
Akino melangkahkan kakinya mengikuti ketiga orang di depannya sambil tersenyum.
Hargailah semua yang ada pada kehidupanmu sekarang.
Akino menghentikan langkahnya dan kemudian memutar tubuhnya mencari suara yang tibatiba entah datang darimana. Ia menatap langit di atasnya sembari menebar senyum. Tentu
saja dan terima kasih, jawabnya.

Ibu! Ayo cepat. panggil Yukino dari jauh. Dan dengan cepat Akino kemudian
melangkahkan kakinya mengejar orang-orang di depannya yang tersenyum ramah kepadanya.
***

Anda mungkin juga menyukai