Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM

PENGENDALIAN HAYATI (PNE 1402)

ACARA : II. PEGUJIAN ANTAGONISME PADA MEDIA PADAT

OLEH :
NAMA

: Andik Setyawan

GOLONGAN

: E/2

KELAS KULIAH

:B

HARI PRAKTIKUM

: Senin,18 April 2016


pukul 13:30 17-00

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS JEMBER
2016

TUJUAN
Untuk mengetahui antagonisme dari setiap agen hayati pada media padat
dengan cara pengujian antagonisme agen hayati terhadap patogen secara biakan
ganda (dual culture), uji bakteri AH lawan bakteri patogen dengan pengujian dual
culture, dan ujian untuk jamur patogen dngan bakteri antagonis atau endofit
dengan metode dual culture.
BAB 1. CARA KERJA
Cara kerja:
1. Pengujian antagonisme agens hayatiterhadap patogen secara biakan
ganda (dual culture)
1. Mengambil masing-masing membiakan AH dan pathogen dengan bor gabus
dan meletakkan dengan jarak 3 cm di cawan Petri yang berisi media Potato
dextrose

agar.

(Skema

penempatan

jamur

patogen

dan

agens

hayatisepertipadagambar).
2. Persentase hambatan agens hayati terhadap patogen diukur pada hari ke 4
setelah inokulasi dengan rumus (Darmaputra, 1999):

B
Contoh : Uji penghambatan Penicillium purpurescens terhadap Phytophthora
palmivora pada biakan ganda (7 hsi). A. Penicillium purpurescens, B.
Phytophthora palmivora, C. Zona bening atau daerah hambatan
P = persentase hambatan
r1 = jari-jari koloni patogen yang menjauhi koloni agen hayati (dihitung dari pusat
titik tumbuh), dan r2 = jari-jari koloni patogen yang mendekati koloni agens
hayati (Dharmaputra 1999).
Data setiap dua hari sekali tentang pertambahan diameter koloni dan
persentase hambatan jamur agens hayati dianalisa dengan sidik ragam dan apabila
terdapat perbedaan yang nyata dilakukan uji lanjut dengan BNJ 5%.
2. Uji Bakteri AH lawan bakteri pathogen denganpengujian dual culture
(misal, Pseudomonas fluorescens vs Xanthomonas spp.).
Cara kerja:
1. Menyiapkan kertas saring yang dibentuk lingkaran kecil (diplong), sterilkan.
2. Dengan pinset steril, potongan kertas dicelupkan pada suspensi bakteri
tersebut dengan tujuan agar bakteri menempel pada kertas,

3. Meletakkan potongan kertas tersebut pada media TSA/NA, masing-masing


dengan jarak 3 cm.
4. meginkubasikan bakteri selama 30-48 jam,
5. Bila bakteri AH mengeluarkan antibiotic, akan tampak zona bening yang
mengitari pertumbuhan bakteripatogen.
6. Diagram peletakan AH (A) dan Patogen (P)
A

7. Daya hambat AH terhadap bakteri pathogen adalah

P
3
cm

P = Diameter koloni bakteri pathogen- diameter koloni bakteri AH x 100%


diameter koloni bakteri pathogen

BAB 2. HASIL DAN PEMBAHASAN


2.1 Hasil
No

Perlakuan/Gambar

Presentase
Hambatan
-

Keterangan
1. Media yang digunakan
PDA
2. Jamur tumbuh, akan
tetapi terkontaminasi oleh
Bakteri.

Kontrol Jamur
(Fusarium)
Perlakuan kontrol yang menggunakan jamur Fusarium terlihat bahwa
jamur membentuk hifa berwarna putih disekelilingnya, di pusat berwarna
kuning, dan berdiameter 4,4 cm. Namun, terjadi kontaminasi oelh bakteri.
Menurut (Budi dkk, 2010) bahwa karakteristik dari jamur Fusarium yang
ditumbuhkan pada media PDA yaitu berkoloni dan yang harus diamati dari
isolat Fusarium tersebut warna, aerial miselium, dan rata-rata pertumbuhan
diameter pada cawan petri.
2

1. Menggunakan media
Kings,B
2. PF tumbuh dan berhasil,
akan tetapi belum
sempurna menyebarnya
yaitu hanya 5 cm.

Kontrol
Pseudomonas f.
Kings B

Pseudomonas fluorescens mengalami pertumbuhan dengan berwarna


bening agak kecoklatan. PF tumbuh dan berhasil, akan tetapi belum sempurna
menyebarnya yaitu hanya 5 cm. Hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian

(Fahy dan Hayward dalam Salendra, 2013) yang menunjukkan bahwa ciri-ciri
dari Pseudomonas fluorescens yaitu koloni berwarna kuning.
3
Bakteri Endofit tumbuh,
akan tetapi terkontaminasi
oleh bakteri.

Kontrol
Bakteri Endofit
PDA
Berdasarkan hasil pengamatan, jamur endofit yang dibiakkan didalam
media berhasil tumbuh, namun terdapat kontaminan yang terbawa masuk
kedalam media sehingga menyebabkan persaingan dengan jamur endofit
dalam perebutan nutrisi dan tempat. Akibat dari hal tersebut terjadi hambatan
pertumbuhan jamur endofit yang dibiakkan.
4
50 %

PF tumbuh, akan tetapi


belum menyebar sempurna
dan menekan fusarium.

Bakteri vs Jamur
(PF vs Fusarium)
NA
Perlakuan bakteri Pseudomonas fluorescens terlihat menghambat
patogen jamur Fusarium. Jamur Fusarium terlihat berwarna kuning,
sedangkan kedua bakteri berwarna abu-abu. Persentase hambatan yang
dikendalikan oleh bakteri terhadap patogen jamur Fusarium yaitu 50%.

83,34 %

Trichoderma tumbuh dan


menekan pertumbuhan
patogen, sehingga patogen
tidak dapat tumbuh.

Jamur vs Jamur
(Trichoderma vs Fusarium)
PDA
Jamur Trichoderma sp. dan Fusarium mengalami pertumbuhan tidak
sama, hanya Trichoderma menutupi patogen jamur Fusarium sehingga
menekan pertumbuhan patogen, sehingga patogen tidak dapat tumbuh.
Trichoderma terlihat berwarna bening disekelilingnya dan pada pusat
berwarna hijau dengan diameter 4,5 cm, sedangkan pada Fusarium terlihat
bahwa disekeliling jamur berwarna putih dan membentuk hifa dengan
diameter 3,4 cm, pada pusat berwarna kuning. Trichoderma menutupi
Fusarium dengan panjang 1 cm. Persentase penghambatan yang dikendalikan
oleh agen hayati Trichoderma terhadap Fusarium yaitu 83,43%.
2.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilaksanakan, perlakuan yang
terbaik terdapat pada perlakuan Trichoderma sp., dimana pada perlakuan tersebut
mempunyai daya hambat tertinggi. Agen hayati yang pada saat praktikum
digunakana untuk menghambat pertumbuhan Fusarium sp. yang ditumbuhkan di
media PDA menunjukkan hasil terbaik. Hasil tersebut dibuktikan dengan
hambatan yang terjadi pada pertumbuhan jamur Fusarium sp. yaitu sebesar
83,34%. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Alfizar dkk. (2013) yang
menunjukkan Trichoderma sp. dapat menghambat pertumbuhan cendawan
patogen C. capsici, Fusarium sp., dan S. rolfsii secara in vitro. Daya hambat
Trichoderma sp. yang paling tinggi terdapat pada patogen C. capsici, diikuti
dengan daya hambat terhadap patogen Fusarium sp. dan S. rolfsii.
Secara umum kemampuan bakteri dalam menekan penyakit yang
disebabkan oleh patogen tular tanah dilakukan dengan empat cara yaitu

menghambat

patogen

dengan

cara

berkompetisi

dalam

memanfaatkan

besi/hipotesis siderofor, menghambat patogen dengan bahan yang dapat


didifusikan, induksi resistensi dan mengkolonisasi akar dan menstimulir
pertumbuhan tanaman. Cara lain dengan ketahanan kimiawi ditunjukkan dengan
terbentuknya senyawa kimia yang mampu mencegah pertumbuhan dan
perkembangan patogen. Senyawa yang dimaksud dapat berupa metabolit sekunder
di antaranya senyawa alkaloida, fenol, flavonoida, glikosida, fitoaleksin, dan
sebagainya. Senyawa metabolit sekunder tersebut bersifat toksin dan menghambat
pertumbuhan patogen yang dapat merusak ketahanan tanaman. Mekanisme ini
tidak menghambat pertumbuhan tanaman, bahkan dapat meningkatkan produksi
dan ketahanan terhadap stres lingkungan pada beberapa tanaman. Pseudomonas
fluorescens P60 mempunyai tiga mekanisme dalam mengendalikan penyakit layu
Fusarium, yaitu ketahanan terimbas, antibiosis, dan PGPR (Plant Growth
Promoting Rhizobacteria) (Soesanto dkk., 2010).
Satu jenis agen antagonisme kemungkinan mempunyai satu atau lebih
mekanisme. Mekanisme tersebut adalah lisis, miselium agen antagonisme mampu
menghancurkan miselia dari penyakit sehingga mengakibatkan kematian penyakit
tersebut. Antibiosis, penyakit tidak mampu menembus daerah di sekitar agen
antagonis akibatnya terdapat daerah kosong antara agen antagonis dan penyakit.
Parasitisme, miselia dari agen antagonis mampu melilit miselia dari penyakit yang
berperan memparasiti miselia patogen mengakibatkan miselia penyakit menjadi
kosong dan patogen tersebut mati. Penghambatan di zona tumbuh, pertumbuhan
agen antagonisme lebih dominan dibandingkan dengan patogen sehingga ruang
lingkupnya hampir dipenuhi oleh perkembangan agen antagonis dan terdapat
seperti pembatas antara agen antagonis dengan patogen.
Kedua agen hayati yang diujikan pada saat praktikum yaitu Psudomonas
fluorescens dan Trichoderma memiliki efektifitas yang tinggi dalam pengendalian
patogen penyebab penyakit tanaman. Hal tersebut dibuktikan dengan kemampuan
menghambat patogen jamur Fusarium yang cukup tinggi, mencapai presentase
sebesar 83% untuk agen hayati Trichoderma dan 50% agen hayati pf. Menurut
Soesanto (2013), keberagaman isolat jamur Trichoderma spp. mempunyai daya
hambat berbeda-beda pada masing-masing patogen tanaman dalam metode dual

culture, dan hasil yang didapatkan persentase penghambatan tertinggi pada


Fusarium yaitu 61,82% yang berasal dari isolat nenas. Hasil penelitian Hartal dkk.
(2010) juga menunjukkan bahwa Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. efektif
mengendalikan perkembangan layu fusarium pada krisan dengan penekanan
tertinggi ditunjukkan oleh aplikasi dalam bentuk kombinasi (70.1 %) yang diikuti
dengan aplikasi tunggal Trichoderma sp. (56.4 %) dan Gliocladium sp. (55.9 %).
Berdasarkan hasil pengujian pada saat praktikum Pseudomonas
fluorescens juga merupakan agen hayati yang efektif dan potensial dikembangkan.
Hasil penelitian Soesanto dkk. (2010) menunjukkan bahwa aplikasi Pseudomonas
fluorescens P60, baik dalam bentuk supernatan maupun suspensi, mampu
meningkatkan senyawa fenol (tanin, saponin, dan glikosida) di dalam jaringan
tanaman, menurunkan intensitas penyakit layu Fusarium, menekan laju infeksi,
menurunkan kepadatan akhir patogen, meningkatkan kepadatan antagonis akhir
dan meningkatkan tinggi tanaman, bobot kering akar, dan bobot buah per
tanaman.
Agen hayati (biokontrol) menurut FAO adalah mikroorganisme alami
seperti bakteri, cendawan, virus dan protozoa, maupun hasil rekayasa genetik
(genetically modified microorganisms) yang digunakan untuk mengendalikan
organisme

pengganggu

tumbuhan.

Agen

hayati

tidak

hanya

meliputi

mikroorganisme, tetapi juga organisme yang ukurannya lebih besar dan dapat
dilihat secara kasat mata seperti predator atau parasitoid untuk membunuh
serangga. Pengendalian hayati jamur penyakit tanaman sering dilakukan dengan
menggunakan mikroba seperti jamur dan bakteri.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kemampuan
bakteri dalam menghambat jamur patogen, seperti penelitian Soesanto dkk. (2014)
yang memanfaatan bakteri antagonis pseudomonas fluorescens p60 terhadap
fusarium oxysporum F.sp. Lycopersici Pada tanaman tomat in vivo. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa aplikasi Pseudomonas fluorescens P60, baik
dalam bentuk supernatan maupun suspensi, mampu meningkatkan senyawa fenol
(tanin, saponin, dan glikosida) di dalam jaringan tanaman, menurunkan intensitas
penyakit layu Fusarium. Penelitian lain juga dilakukan oleh Suryadi (2009) yang

memanfaatkan Pseudomonas fluorescens untuk mengendalikan layu bakteri


(Ralstonia solanacearum) pada tanaman kacang tanah in vitro. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan pada pengujian in vitro, aplikasi isolat Pseudomonas
flourence menunjukkan kisaran zona hambatan patogen Ralstonia solanacearum.
Beberapa

penelitian

lain

juga

dilakukan

antara

lain

dengan

memanfaatkan Pseudomonas fluorescens GI34 dan Bacillus subtilis BBO1 yang


digunakan untuk mengendalikan penyakit pustul pada tanaman kedelai yang
disebabkan oleh Phaeoisariopsis griseola. Beberapa bakteri dari genus Bacillus,
seperti B. subtilis, B. cereus, B. licheniformis, B. megaterium dan B. pumilus dapat
berperan sebagai agen biokontrol untuk mengendalikan pertumbuhan jamur
Fusarium sp. (El-Hamshary & Khattab 2008). Beberapa bakteri lain yang
dimanfaatkan sebagai biokontrol yaitu Pseudomonas putida terhadap Fusarium
oxysporum, P. sutzeri terhadap F. Solani dan B. circulans, Streptomyces, Nocardia
terhadap F. Solani, Rhizobium leguminosorum terhadap Phytium sp.

BAB 3. KESIMPULAN
1. Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilaksanakan, perlakuan yang terbaik

terdapat pada perlakuan Trichoderma sp., dimana pada perlakuan tersebut


mempunyai daya hambat tertinggi yaitu dengan presentase sebesar 83,43%.
2. Secara umum kemampuan bakteri dalam menekan penyakit yang disebabkan
oleh patogen tular tanah dilakukan dengan empat cara yaitu menghambat
patogen dengan cara berkompetisi dalam memanfaatkan besi/hipotesis
siderofor, menghambat patogen dengan bahan yang dapat didifusikan, induksi
resistensi dan mengkolonisasi akar dan menstimulir pertumbuhan tanaman.
3. Agen hayati (biokontrol) menurut FAO adalah mikroorganisme alami seperti

bakteri, cendawan, virus dan protozoa, maupun hasil rekayasa genetik


(genetically modified microorganisms) yang digunakan untuk mengendalikan
organisme pengganggu tumbuhan. Beberapa agen hayati yang efektif dan
potensial untuk dikembangkan dalam usaha pengendalian secara biologis
adalah pseudomonas fluorescens dan Thrichoderma sp.

DAFTAR PUSTAKA
Alfizar, Marlina, dan Fitri S. 2013. Kemampuan Antagonis Trichoderma sp.
terhadap Beberapa Jamur Patogen In Vitro. Floratek, 8 (1) : 45-51.
Hartal, Misnawaty, dan I. Budi. 2010. Efektifitas Trichoderma sp. dan Gliocldium
sp. dalam Pengendalian Layu Fusarium pada Tanaman Krisan. Ilmuilmu Pertanian Indonesia, 12 (1) : 7-10.
Saylendra, A, dan D. Firnia. 2013. Bacillus sp. dan Pseudomonas sp. Asal Endofit
Akar Jagung (Zea mays L.) yang Berpotensi sebagai Pemacu
Pertumbuhan Tanaman. Ilmu Pertanian dan Perikanan, 2 (1) : 19-27.
Soesanto, L., E. Mugiastuti., R. F. Rahayuniati, dan R. S. Dewi. 2013. Uji
Kesesuaian Empat Isolat Trichoderma spp. dan Daya Hambat In Vitro
terhadap Beberapa Patogen Tanaman. HPT Tropika, 13 (2) : 117-123.
Soesanto, L., Endang M., dan Ruth F.R. 2013. Kajian Mekanisme Antagonis
Pseudomonas Flourencens P60 terhadap Fusarium Oxysporum F.SP.
Lycopersici pada Tanaman Tomat In Vitro. HPT, 10 (2) : 108-115.
Zereough, M.M., Bouzid D. and Mezaache A.S. 2011. Effect of Bacillus
Megaterum Filtrates on The Growth and Spore Germination of
Ascochyta Rabiei. Algaria, 8 (9) : 1-3.

Anda mungkin juga menyukai