NAMA KELOMPOK:
Anggie Natasya Listyawan
201501047
201501050
201501059
201501065
201501068
Rahmanda Prastyka
201501073
Isfini
201501078
201501080
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan rasa syukur Allah alhamdulillah kepada Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judulGangguan Persepsi Sensori Indra Penciuman untuk memenuhi tugas mata kuliah yaitu
Ilmu Dasar Keperawatan 3.
Terselesainya makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Dalam penulisan
makalah ini, penulis menyadari bahwa banyak keterbatasan dalam penyampaian, untuk itu
penulis mengharapkan masukan, kritik serta saran bagi pembaca yang bersifat membangun.
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis
khususnya.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................
DAFTAR ISI.......................................................................................................................
PENDAHULUAN............................................................................................................... 1
Hidung................................................................................................................................. 1
Patogenesis.......................................................................................................................... 3
Etiologi................................................................................................................................ 4
Diagmosis Gangguan Pembauan......................................................................................... 6
PENDAHULUAN
Indera pembau yang merupakan fungsi saraf olfaktorius (N.I), sangat erat hubungannya dengan
indera pengecap yang dilakukan oleh saraf trigeminus (N.V), karena seringkali kedua sensoris ini
bekerja bersama-sama. Reseptor organ penghidu terdapat di regio olfaktorius dihidung bagian
sepetiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang pada lamina kribrosa os
etmoid menuju bulbus olfaktorius didasar fosa kranii anterior (1).
Hilangnya fungsi pembauan dan/atau pengecapan dapat mengancam jiwa penderita karena
penderita tak mampu mendeteksi asap saat kebakaran atau tidak dapat mengenali makanan yang
telah basi. Karena sekitar 80% gangguan pengecapan merupakan kelainan pembauan yang sejati
maka artikel ini terutama difokuskan pada fungsi pembauan dan penurunannya. (2)
Hasil survei tahun 1994 menunjukkan bahwa 2,7 juta penduduk dewasa Amerika menderita
gangguan pembauan, sementara 1,1 juta dinyatakan menderita gangguan pengecapan. Penelitian
yang dilakukan sebelumnya menemukan bahwa 66% penduduk merasakan bahwa mereka pernah
mengalami penurunan ketajaman pembauan.
daerah ini merupakan suatu lembar neural yang padat, namun pada anak-anak dan dewasa
terbentuk interdigitasi antara jaringan respiratorius dan olfaktorius.Dengan bertambahnya usia
seseorang, jumlah neuron olfaktorius ini lambat laun akan berkurang. Selain neuron olfaktorius,
epitel ini juga tersusun oleh sel-sel penopang yaitu duktus dan glandula Bowman yang sifatnya
unik pada epitel olfaktorius dan sel basal yang berfungsi pada regenerasi epitel.
Sensasi pembauan diperantarai oleh stimulasi sel reseptor olfaktorius oleh bahan-bahan kimia
yang mudah menguap. Untuk dapat menstimulasi reseptor olfaktorius, molekul yang terdapat
dalam udara harus mengalir melalui rongga hidung dengan arus udara yang cukup turbulen dan
bersentuhan dengan reseptor. Faktor-faktor yang menentukan efektivitas stimulasi bau meliputi
durasi, volume dan kecepatan menghirup. Tiap sel reseptor olfaktorius merupakan neuron bipolar
sensorik utama. Dalam rongga hidung rata-rata terdapat lebih dari 100 juta reseptor. Neuron
olfaktorius bersifat unik karena secara terus menerus dihasilkan oleh sel-sel basal yang terletak
dibawahnya. Sel-sel reseptor baru dihasilkan kurang lebih setiap 30-60 hari. Reseptor odorant
termasuk bagian dari G-protein receptor superfamily yang berhubungan dengan adenilat siklase.
Manusia memiliki beratus-ratus reseptor olfaktorius yang berbeda, namun tiap neuron hanya
mengekspresikan satu tipe reseptor. Inilah yang mendasari dibuatnya peta pembauan (olfactory
map). Neuron yang menyerupai reseptor yang terdapat di epitel mengirimkan akson yang
kemudian menyatu dalam akson gabungan pada fila olfaktoria didalam epitel.
PATOGENESIS
Aspek-aspek molekuler dari penciuman kini telah dipahami. Pada mammalia, kemungkinan ada
300-1000 gen reseptor penciuman yang termasuk dalam 20 keluarga yang berbeda yang terletak
di berbagai kromosom dalam kelompok-kelompok. Gen-gen reseptor ditemukan pada lebih dari
25 lokasi kromosom manusia. Protein-protein reseptor penciuman adalah reseptor-reseptor
tergabung protein G yang ditandai oleh keberadaan domain transmembran 7 alfa-helikal.
Masing-masing neuron penciuman hanya mengekspresikan satu, atau paling banyak beberapa,
gen reseptor, menjadi dasar molekuler untuk pembedaan bau. Maka sistem penciuman ditandai
oleh tiga hal yang penting: (1) keluarga gen reseptor yang besar yang menunjukkan keberagaman
yang sangat baik sehingga memungkinkan respon terhadap berbagai bau, (2) protein-protein
reseptor yang menunjukkan spesifitas yang hebat sehingga memungkinkan pembedaan bau, dan
(3) hubungan-hubungan bau disimpan dalam ingatan lama sesudah peristiwa terjadinya paparan
dilupakan.
3
ETIOLOGI
Disfungsi pembauan
Gangguan pembauan dapat disebabkan oleh proses-proses patologis di sepanjang jalur
olfaktorius. Kelainan ini dianggap serupa dengan gangguan pendengaran yaitu berupa defek
konduktif atau sensorineural. Pada defek konduktif (transport) terjadi gangguan transmisi
stimulus bau menuju neuroepitel olfaktorius. Pada defek sensorineural prosesnya melibatkan
struktur saraf yang lebih sentral. Secara keseluruhan, penyebab defisit pembauan yang utama
adalah penyakit pada rongga hidung dan/atau sinus, sebelum terjadinya infeksi saluran nafas atas
karena virus; dan trauma kepala.
Defek konduktif
1. Proses inflamasi/peradangan dapat mengakibatkan gangguan pembauan. Kelainannya
meliputi rhinitis (radang hidung) dari berbagai macam tipe, termasuk rhinitis alergika, akut, atau
toksik (misalnya pada pemakaian kokain). Penyakit sinus kronik menyebabkan penyakit mukosa
yang progresif dan seringkali diikuti dengan penurunan fungsi pembauan meski telah dilakukan
intervensi medis, alergis dan pembedahan secara agresif.
2. Adanya massa/tumor dapat menyumbat rongga hidung sehingga menghalangi aliran odorant
ke epitel olfaktorius. Kelainannya meliputi polip nasal (paling sering), inverting papilloma, dan
keganasan.
3. Abnormalitas developmental (misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga dapat menyebabkan
obstruksi.
4. Pasien pasca laringektomi atau trakheotomi dapat menderita hiposmia karena berkurang
atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung. Pasien anak dengan trakheotomi dan
dipasang kanula pada usia yang sangat muda dan dalam jangka waktu yang lama kadang tetap
menderita gangguan pembauan meski telah dilakukan dekanulasi, hal ini terjadi karena tidak
adanya stimulasi sistem olfaktorius pada usia yang dini.
4
Defeksentral/sensorineural
1. Proses infeksi/inflamasi menyebabkan defek sentral dan gangguan pada transmisi sinyal.
Kelainannya meliputi infeksi virus (yang merusak neuroepitel), sarkoidosis (mempengaruhi
stuktur saraf), Wegener granulomatosis, dan sklerosis multipel.
2. Penyebab kongenital menyebabkan hilangnya struktur saraf. Kallman syndrome ditandai
oleh anosmia akibat kegagalan ontogenesis struktur olfakorius dan hipogonadisme
hipogonadotropik. Salahsatu penelitian juga menemukan bahwa pada Kallman syndrome tidak
terbentuk VNO.
3. Gangguan endokrin (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM) berpengaruh pada fungsi
pembauan.
4. Trauma kepala, operasi otak, atau perdarahan subarakhnoid dapat menyebabkan regangan,
kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus dan mengakibatkan anosmia.
5. Disfungsi pembauan juga dapat disebabkan oleh toksisitas dari obat-obatan sistemik atau
inhalasi (aminoglikosida, formaldehid). Banyak obat-obatan dan senyawa yang dapat mengubah
sensitivitas bau, diantaranya alkohol, nikotin, bahan terlarut organik, dan pengolesan garam zink
secaralangsung.
6. Defisiensi gizi (vitamin A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengaruhi pembauan.
7. Jumlah serabut pada bulbus olfaktorius berkurang dengan laju 1% per tahun.
Berkurangnya struktur bulbus olfaktorius ini dapat terjadi sekunder karena berkurangnya sel-sel
sensorik pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi proses kognitif di susunan saraf pusat.
8. Proses degeneratif pada sistem saraf pusat (penyakit Parkinson, Alzheimer disease, proses
penuaan normal) dapat menyebabkan hiposmia. Pada kasus Alzheimer disease, hilangnya fungsi
pembauan kadang merupakan gejala pertama dari proses penyakitnya. Sejalan dengan proses
penuaan, berkurangnya fungsi pembauan lebih berat daripada fungsi pengecapan, dimana
penurunannya nampak paling menonjol selama usia dekade ketujuh.
Walau dahulu pernah dianggap sebagai defek konduktif murni akibat adanya edema mukosa dan
5
jendalan darah, polip, dan peradangan membran hidung sangat penting. Bila ada, rinoskopi
anterior harus ditunjang dengan pemeriksaan endoskopik pada rongga hidung dan nasofaring.
Keberadaan telekantus pada pemeriksaan mata dapat mengarah ke massa atau peradangan di
sinus. Massa nasofaring yang menonjol ke rongga mulut atau drainase purulen di orofaring dapat
ditemukan pada pemeriksaan mulut. Leher harus dipalpasi untuk mencari massa atau pembesaran
tiroid. Pemeriksaan saraf yang menekankan pada nervus kranialis dan fungsi sensorimotorik
sangat penting. Mood pasien secara umum harus dinilai dan tanda-tanda depresi harus dicatat.
C. Temuan Laboratorium
Telah dikembangkan teknik-teknik untuk biopsi neuroepitelium olfaktorius. Namun, karena
degenerasi neuroepitelium olfaktorius yang luas dan interkalasi epitel pernapasan pada daerah
penciuman orang dewasa tanpa disfungsi penciuman yang jelas, material biopsi harus
diinterpretasikan dengan hati-hati.
D. Pencitraan
CT scan atau MRI kepala dibutuhkan untuk menyingkirkan neoplasma pada fossa kranii anterior,
fraktur fossa kranii anterior yang tak diduga sebelumnya, sinusitis paranasalis, dan neoplasma
pada rongga hidung dan sinus paranasalis. Kelainan tulang paling bagus dilihat melalui CT,
sedangkan MRI bermanfaat untuk mengevaluasi bulbus olfaktorius, ventrikel, dan jaringanjaringan lunak lainnya di otak. CT koronal paling baik untuk memeriksa anatomi dan penyakit
pada lempeng kribiformis, fossa kranii anterior, dan sinus.
E. Pemeriksaan Sensorik
Pemeriksaan sensorik fungsi penciuman dibutuhkan untuk (1) memastikan keluhan pasien, (2)
mengevaluasi kemanjuran terapi, dan (3) menentukan derajat gangguan permanen.
1. Langkah pertama menentukan sensasi kualitatif
Langkah pertama dalam pemeriksaan sensorik adalah menentukan derajat sejauh mana
keberadaan sensasi kualitatif. Beberapa metode sudah tersedia untuk pemeriksaan penciuman.
a. Tes Odor stix Tes Odor stix menggunakan sebuah pena ajaib mirip spidol yang menghasilkan
bau-bauan. Pena ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6 inci dari hidung pasien untuk memeriksa
persepsi bau oleh pasien secara kasar.
b. Tes alkohol 12 inci Satu lagi tes yang memeriksa persepsi kasar terhadap bau, tes alkohol 12
inci, menggunakan paket alkohol isopropil yang baru saja dibuka dan dipegang pada jarak sekitar
12 inci dari hidung pasien.
c. Scratch and sniff card (Kartu gesek dan cium) Tersedia scratch and sniff card yang
mengandung 3 bau untuk menguji penciuman secara kasar.
d. The University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT) Tes yang jauh lebih baik
dibanding yang lain adalah UPSIT; ia sangat dianjurkan untuk pemeriksaan pasien dengan
gangguan penciuman. Tes ini menggunakan 40 item pilihan-ganda yang berisi bau-bauan scratch
and sniff berkapsul mikro. Sebagai contoh, salah satu itemnya berbunyi Bau ini paling mirip
seperti bau (a) coklat, (b) pisang, (c) bawang putih, atau (d) jus buah, dan pasien diharuskan
menjawab salah satu dari pilihan jawaban yang ada. Tes ini sangat reliabel (reliabilitas tes-retes
jangka pendek r = 0,95) dan sensitif terhadap perbedaan usia dan jenis kelamin. Tes ini
merupakan penentuan kuantitatif yang akurat untuk derajat relatif defisit penciuman. Orangorang yang kehilangan seluruh fungsi penciumannya akan mencapai skor pada kisaran 7-19 dari
maksimal 40. Skor rata-rata untuk pasien-pasien anosmia total sedikit lebih tinggi dibanding
yang diperkirakan menurut peluang saja karena dimasukannya sejumlah bau-bauan yang beraksi
melalui rangsangan trigeminal.
TERAPI
A. Kurang Penciuman Hantaran
Terapi bagi pasien-pasien dengan kurang penciuman hantaran akibat rinitis alergi, rinitis dan
sinusitis bakterial, polip, neoplasma, dan kelainan-kelainan struktural pada rongga hidung dapat
dilakukan secara rasional dan dengan kemungkinan perbaikan yang tinggi. Terapi berikut ini
seringkali efektif dalam memulihkan sensasi terhadap bau: (1) pengelolaan alergi; (2) terapi
antibiotik; (3) terapi glukokortikoid sistemik dan topikal; dan (4) operasi untuk polip nasal,
deviasi septum nasal, dan sinusitis hiperplastik kronik.
B. Kurang Penciuman Sensorineural
Tidak ada terapi dengan kemanjuran yang telah terbukti bagi kurang penciuman sensorineural.
Untungnya, penyembuhan spontan sering terjadi. Sebagian dokter menganjurkan terapi seng dan
vitamin. Defisiensi seng yang mencolok tak diragukan lagi dapat menyebabkan kehilangan dan
gangguan sensasi bau, namun bukan merupakan masalah klinis kecuali di daerah-daerah
geografik yang sangat kekurangan. Terapi vitamin sebagian besar dalam bentuk vitamin A.
Degenerasi epitel akibat defisiensi vitamin A dapat menyebabkan anosmia, namun defisiensi
vitamin A bukanlah masalah klinis yang sering ditemukan di negara-negara barat. Pajanan pada
rokok dan bahan-bahan kimia beracun di udara yang lain dapat menyebabkan metaplasia epitel
penciuman. Penyembuhan spontan dapat terjadi bila faktor pencetusnya dihilangkan; karenanya,
konseling pasien sangat membantu pada kasus-kasus ini.
1. Pengkajian
Hal-hal penting selama pengkajian dalam sistem persepsi sensori seperti :
emosional
Pemeriksaan fisik pada panca indera.
2. Diagnosa Keperawatan
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berdasar adanya masa dalam hidung
Tujuan : bersihan jalan nafas menjadi efektif dalam 10-15 menit setelah dilakukan tindakan
Kriteria Hasil :
RR normal ( 16-20 kali/menit)
Suara nafas vesikuler
Pola nafas teratur tanpa menggunakan otot bantu pernafasan
Saturasi oksigen 100%
INTERVENSI
Observasi :
RASIONAL
Rasional :
Mandiri :
12
Kolaborasi :
Edukasi :
RASIONAL
Rasional :
Mandiri :
Pertahankan BB dengan
memotivasi pasien untuk makan
Menyediakan makanan yang dapat
meningkatkan selera makan pasien
Berikan makanan kesukaan pasien
Ciptakan lingkungan yang
menyenangkan untuk makan
Dorong makan dikit demi sedikit
dan sering dengan makanan tinggi
kalori dan karbohidrat
Auskultasi bising usus, palpasi atau
observasi abdomen
Kolaborasi :
Edukasi :
14
RASIONAL
Mandiri :
Health Education :
15
RASIONAL
Mandiri :
Kolaborasi :
Edukasi :
RASIONAL
Mandiri :
Kolaborasi :
Edukasi :
17
INTERVENSI
Observasi :
RASIONAL
Mandiri :
Kolaborasi :
Edukasi :
18
4. IMPLEMENTASI
1.Atur posisi klien sehingga duduk di tepi tempat tidur bila memungkinkan.
2.Pastikan rongga hidung cukup bersih dan tidak tersumbat oleh mukus atau benda lain.
3.Jika terdapat mukus atau benda asing, pemeriksa mengidentifikasi mukus atau pun sumbatan yan
terdapat pada lubang hidung, kemudian membersihkan mukus dengan menggunakan kapas lidi
4.Zat yang baunya tajam seperti amonia jangan dipergunakan, karena zat tersebut mengganggu klien dan
anggsang yang berbahaya ini terdeteksi oleh serabut sensori dari saraf kelima
5.Minta klien untuk menutup kedua mata dan satu lubang hidung menggunakan jari tangan 6.Dekatkan
sumber bau ke lobang hidung yang tidak di tutup dan minta klien mengidentifikasi dan menyebutkan
nama sunber bau
7.Lakukan langkah-langkah yang sama pada lubang hidung yang lain.
8.Penyakit penyebab tersering pada pasien yaitu, misalnya: sinusitis, alergi, dan infeksi saluran
pernapasan atas
5. Evaluasi
Ketika merawat klien yang mengalami perubahan sensori, perawat mengevaluasi apakah tindakan
perawatan meningkatkan atau paling tidak mempertahankan kemampuan klien untuk berinteraksi dan
berfungsi dalam lingkungan. Sifat dasar perubahan sensori klien mempengaruhi cara perawat
mengevaluasi perawatan. Perawat mengadaptasikan hasil evaluasi pada klien yang defisit sensori untuk
menentukan apakah hasil actual sama dengan hasil yang diharapkan. Misalnya, perawat menggunakan
teknik komunikasi yang sesuai untuk mengevaluasi apakah klien yang mengalami defisit penciuman
mencapai kemampuan mencium dengan lebih efektif. Demikian pula perawat menggunakan berbagai
makanan atau minuman dengan menutup mata untuk menguji kemampuan mencium klien yang rusak.
19
Jika hasil yang diharapkan tidak tercapai maka mungkin ada kebutuhan untuk mengubah lingkungan
klien. Anggota keluarga diperlukan untuk lebih terlibat dalam mendukung klien.
KESIMPULAN
Neuroepitel olfaktorius terletak di bagian atas rongga hidung di dekat cribiform plate, septum
nasi superior dan dinding nasal superolateral. Struktur ini merupakan neuroepitelium
pseudostratified khusus yang didalamnya terdapat reseptor olfaktorius utama. Pada neonatus,
daerah ini merupakan suatu lembar neural yang padat, namun pada anak-anak dan dewasa
terbentuk interdigitasi antara jaringan respiratorius dan olfaktorius.Dengan bertambahnya usia
seseorang, jumlah neuron olfaktorius ini lambat laun akan berkurang. Neuroepitel olfaktorius
terletak di bagian atas rongga hidung di dekat cribiform plate, septum nasi superior dan dinding
nasal superolateral. Struktur ini merupakan neuroepitelium pseudostratified khusus yang
didalamnya terdapat reseptor olfaktorius utama. Pada neonatus, daerah ini merupakan suatu
lembar neural yang padat, namun pada anak-anak dan dewasa terbentuk interdigitasi antara
jaringan respiratorius dan olfaktorius.Dengan bertambahnya usia seseorang, jumlah neuron
olfaktorius ini lambat laun akan berkurang.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangunkusumo E. Gangguan Penghidu. In : Soepardi EA, Iskandar N editors. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 5 th ed. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI,
2006;p.130-131.
2. Leopold DA, Holbrook EH, Noell CA, Mabry RL, Disorders of Taste and Smell. 2006 :18. http://www.emedicine.com.
3. Hoffman HJ, Ishii EK, MacTurk RH, Age-related changes in: the prevalence of smell / taste
problems among the United States adult population. Results of the 1994 disability supplement to
the National Health Interview Survey (NHIS). Ann N Y Acad Sci 1998 Nov 30; 855: 716-22.
4. Lalwani AK, Mafong DD, Olfactory Dysfungtion. In: Lalwani AK editor. a Lange Madical
Book Current Diagnosis & Treament In Otolaryngology Head and NeckSurgery.64 Th ed. New
York:McGrawHill,2004;p.239-243.
5. Doty RL, Deems DA, Olfactory Function and Dysfunction In : Bailey BJ, Calhoun KH, Healy
GB et al Editors. Texbooks Bailey Head and Neck Surgery Otolaryngology. 3 th ed.
Philadelphia: Lippincott William & Wilkins, 2001; p.246-260.
6. Devanand DP, Michaels-Marston KS, Liu X, et al: Olfactory deficits in patients with mild
cognitive impairment predict Alzheimers disease at follow-up. Am J Psychiatry 2000 Sep;
157(9): 1399-405.
21