Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH GANGGUAN PERSEPSI SENSORI INDERA PENCIUMAN

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas IDK 3

NAMA KELOMPOK:
Anggie Natasya Listyawan

201501047

Chandra Amar Imam M

201501050

Nur afidatus sayidah

201501059

Dara nur inda

201501065

Rajib Ali Mustanat

201501068

Rahmanda Prastyka

201501073

Isfini

201501078

Anisa Tristiana Hadi

201501080

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN S I


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ( STIKES ) BINA SEHAT PPNI
MOJOKERTO
TH 2015/2016
KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan rasa syukur Allah alhamdulillah kepada Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judulGangguan Persepsi Sensori Indra Penciuman untuk memenuhi tugas mata kuliah yaitu
Ilmu Dasar Keperawatan 3.
Terselesainya makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Dalam penulisan
makalah ini, penulis menyadari bahwa banyak keterbatasan dalam penyampaian, untuk itu
penulis mengharapkan masukan, kritik serta saran bagi pembaca yang bersifat membangun.
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis
khususnya.

Mojokerto,29 April 2016

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................
DAFTAR ISI.......................................................................................................................
PENDAHULUAN............................................................................................................... 1
Hidung................................................................................................................................. 1
Patogenesis.......................................................................................................................... 3
Etiologi................................................................................................................................ 4
Diagmosis Gangguan Pembauan......................................................................................... 6

PENDAHULUAN
Indera pembau yang merupakan fungsi saraf olfaktorius (N.I), sangat erat hubungannya dengan
indera pengecap yang dilakukan oleh saraf trigeminus (N.V), karena seringkali kedua sensoris ini
bekerja bersama-sama. Reseptor organ penghidu terdapat di regio olfaktorius dihidung bagian
sepetiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang pada lamina kribrosa os
etmoid menuju bulbus olfaktorius didasar fosa kranii anterior (1).
Hilangnya fungsi pembauan dan/atau pengecapan dapat mengancam jiwa penderita karena
penderita tak mampu mendeteksi asap saat kebakaran atau tidak dapat mengenali makanan yang
telah basi. Karena sekitar 80% gangguan pengecapan merupakan kelainan pembauan yang sejati
maka artikel ini terutama difokuskan pada fungsi pembauan dan penurunannya. (2)
Hasil survei tahun 1994 menunjukkan bahwa 2,7 juta penduduk dewasa Amerika menderita
gangguan pembauan, sementara 1,1 juta dinyatakan menderita gangguan pengecapan. Penelitian
yang dilakukan sebelumnya menemukan bahwa 66% penduduk merasakan bahwa mereka pernah
mengalami penurunan ketajaman pembauan.

Hidung ( indera penciuman / pembau ) :


Hidung merupakan alat visera (alat dalam rongga badan) yang erat
hubungannya dengan gastrointestinalis. Sebagian rasa berbagai makanan
merupakan kombinasi penciuman dan pengecapan. Reseptor penciuman
merupakan kemoreseptor yang dirangsang oleh molekul larutan di dalam
mukus. Reseptor penciuman juga merupakan reseptor jauh (telereseptor).
Jarak penciuman tidak disalurkan dalam talamus dan tidak di proyeksikan
neokorteks bagi penciuman.
Olfaktori adalah organ pendeteksi bau yang berasal dari makanan.
Pada manusia, bau mempunyai muatan afeksi yang bisa menyenangkan
atau membangkitkan rasa penolakan dan keterlibatan memori, selain itu bau
juga penting untuk nafsu makan. Epitelium pembau mengandung 20 juta
sel-sel olfaktori yang khusus dengan aksonakson yang tegak sebagai serabut
- serabut saraf pembau. Di akhir setiap sel pembau pada permukaan
epitelium mengandung beberapa rambut-rambut pembau yang bereaksi
terhadap bahan kimia bau - bauan di udara.
1

Sel-sel olfaktori memiliki tonjolan ujung dendrit berupa rambut yang


terletak pada selaput lendir hidung, sedangkan ujung yang lain berupa
tonjolan akson membentuk berkas yang disebut saraf otak I (nervus
olfaktori). Saraf ini akan menembus tulang tapis dan masuk ke dalam otak
manusia.
Di dalam hidung (nasus) terdapat organum olfactorium perifer. Daerah
sensitif pada indera pembau terletak di bagian atas rongga hidung.
Terminologi
Gangguan pembauan disebut dengan osmia.
Anosmia : tidak bisa mendeteksi bau
hiposmia : penurunan kemampuan dalam mendeteksi bau
disosmia : distorsi identifikasi bau
Parosmia : perubahan persepsi pembauan meskipun terdapat sumber bau, biasanya bau tidak
enak.
Phantosmia : persepsi bau tanpa adanya sumber bau
Agnosia : tidak bisa menyebutkan atau membedakan bau, walaupun penderita dapat mendeteksi
bau.
Gangguan pembauan dapat bersifat total (seluruh bau), parsial (hanya sejumlah bau), atau
spesifik (hanya satu atau sejumlah kecil bau).
ANATOMI DAN FISIOLOGI
Neuroepitel olfaktorius terletak di bagian atas rongga hidung di dekat cribiform plate, septum
nasi superior dan dinding nasal superolateral. Struktur ini merupakan neuroepitelium
pseudostratified khusus yang didalamnya terdapat reseptor olfaktorius utama. Pada neonatus,
2

daerah ini merupakan suatu lembar neural yang padat, namun pada anak-anak dan dewasa
terbentuk interdigitasi antara jaringan respiratorius dan olfaktorius.Dengan bertambahnya usia
seseorang, jumlah neuron olfaktorius ini lambat laun akan berkurang. Selain neuron olfaktorius,
epitel ini juga tersusun oleh sel-sel penopang yaitu duktus dan glandula Bowman yang sifatnya
unik pada epitel olfaktorius dan sel basal yang berfungsi pada regenerasi epitel.
Sensasi pembauan diperantarai oleh stimulasi sel reseptor olfaktorius oleh bahan-bahan kimia
yang mudah menguap. Untuk dapat menstimulasi reseptor olfaktorius, molekul yang terdapat
dalam udara harus mengalir melalui rongga hidung dengan arus udara yang cukup turbulen dan
bersentuhan dengan reseptor. Faktor-faktor yang menentukan efektivitas stimulasi bau meliputi
durasi, volume dan kecepatan menghirup. Tiap sel reseptor olfaktorius merupakan neuron bipolar
sensorik utama. Dalam rongga hidung rata-rata terdapat lebih dari 100 juta reseptor. Neuron
olfaktorius bersifat unik karena secara terus menerus dihasilkan oleh sel-sel basal yang terletak
dibawahnya. Sel-sel reseptor baru dihasilkan kurang lebih setiap 30-60 hari. Reseptor odorant
termasuk bagian dari G-protein receptor superfamily yang berhubungan dengan adenilat siklase.
Manusia memiliki beratus-ratus reseptor olfaktorius yang berbeda, namun tiap neuron hanya
mengekspresikan satu tipe reseptor. Inilah yang mendasari dibuatnya peta pembauan (olfactory
map). Neuron yang menyerupai reseptor yang terdapat di epitel mengirimkan akson yang
kemudian menyatu dalam akson gabungan pada fila olfaktoria didalam epitel.
PATOGENESIS
Aspek-aspek molekuler dari penciuman kini telah dipahami. Pada mammalia, kemungkinan ada
300-1000 gen reseptor penciuman yang termasuk dalam 20 keluarga yang berbeda yang terletak
di berbagai kromosom dalam kelompok-kelompok. Gen-gen reseptor ditemukan pada lebih dari
25 lokasi kromosom manusia. Protein-protein reseptor penciuman adalah reseptor-reseptor
tergabung protein G yang ditandai oleh keberadaan domain transmembran 7 alfa-helikal.
Masing-masing neuron penciuman hanya mengekspresikan satu, atau paling banyak beberapa,
gen reseptor, menjadi dasar molekuler untuk pembedaan bau. Maka sistem penciuman ditandai
oleh tiga hal yang penting: (1) keluarga gen reseptor yang besar yang menunjukkan keberagaman
yang sangat baik sehingga memungkinkan respon terhadap berbagai bau, (2) protein-protein
reseptor yang menunjukkan spesifitas yang hebat sehingga memungkinkan pembedaan bau, dan
(3) hubungan-hubungan bau disimpan dalam ingatan lama sesudah peristiwa terjadinya paparan
dilupakan.
3

ETIOLOGI
Disfungsi pembauan
Gangguan pembauan dapat disebabkan oleh proses-proses patologis di sepanjang jalur
olfaktorius. Kelainan ini dianggap serupa dengan gangguan pendengaran yaitu berupa defek
konduktif atau sensorineural. Pada defek konduktif (transport) terjadi gangguan transmisi
stimulus bau menuju neuroepitel olfaktorius. Pada defek sensorineural prosesnya melibatkan
struktur saraf yang lebih sentral. Secara keseluruhan, penyebab defisit pembauan yang utama
adalah penyakit pada rongga hidung dan/atau sinus, sebelum terjadinya infeksi saluran nafas atas
karena virus; dan trauma kepala.
Defek konduktif
1. Proses inflamasi/peradangan dapat mengakibatkan gangguan pembauan. Kelainannya
meliputi rhinitis (radang hidung) dari berbagai macam tipe, termasuk rhinitis alergika, akut, atau
toksik (misalnya pada pemakaian kokain). Penyakit sinus kronik menyebabkan penyakit mukosa
yang progresif dan seringkali diikuti dengan penurunan fungsi pembauan meski telah dilakukan
intervensi medis, alergis dan pembedahan secara agresif.
2. Adanya massa/tumor dapat menyumbat rongga hidung sehingga menghalangi aliran odorant
ke epitel olfaktorius. Kelainannya meliputi polip nasal (paling sering), inverting papilloma, dan
keganasan.
3. Abnormalitas developmental (misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga dapat menyebabkan
obstruksi.
4. Pasien pasca laringektomi atau trakheotomi dapat menderita hiposmia karena berkurang
atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung. Pasien anak dengan trakheotomi dan
dipasang kanula pada usia yang sangat muda dan dalam jangka waktu yang lama kadang tetap
menderita gangguan pembauan meski telah dilakukan dekanulasi, hal ini terjadi karena tidak
adanya stimulasi sistem olfaktorius pada usia yang dini.
4

Defeksentral/sensorineural
1. Proses infeksi/inflamasi menyebabkan defek sentral dan gangguan pada transmisi sinyal.
Kelainannya meliputi infeksi virus (yang merusak neuroepitel), sarkoidosis (mempengaruhi
stuktur saraf), Wegener granulomatosis, dan sklerosis multipel.
2. Penyebab kongenital menyebabkan hilangnya struktur saraf. Kallman syndrome ditandai
oleh anosmia akibat kegagalan ontogenesis struktur olfakorius dan hipogonadisme
hipogonadotropik. Salahsatu penelitian juga menemukan bahwa pada Kallman syndrome tidak
terbentuk VNO.
3. Gangguan endokrin (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM) berpengaruh pada fungsi
pembauan.
4. Trauma kepala, operasi otak, atau perdarahan subarakhnoid dapat menyebabkan regangan,
kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus dan mengakibatkan anosmia.
5. Disfungsi pembauan juga dapat disebabkan oleh toksisitas dari obat-obatan sistemik atau
inhalasi (aminoglikosida, formaldehid). Banyak obat-obatan dan senyawa yang dapat mengubah
sensitivitas bau, diantaranya alkohol, nikotin, bahan terlarut organik, dan pengolesan garam zink
secaralangsung.
6. Defisiensi gizi (vitamin A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengaruhi pembauan.
7. Jumlah serabut pada bulbus olfaktorius berkurang dengan laju 1% per tahun.
Berkurangnya struktur bulbus olfaktorius ini dapat terjadi sekunder karena berkurangnya sel-sel
sensorik pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi proses kognitif di susunan saraf pusat.
8. Proses degeneratif pada sistem saraf pusat (penyakit Parkinson, Alzheimer disease, proses
penuaan normal) dapat menyebabkan hiposmia. Pada kasus Alzheimer disease, hilangnya fungsi
pembauan kadang merupakan gejala pertama dari proses penyakitnya. Sejalan dengan proses
penuaan, berkurangnya fungsi pembauan lebih berat daripada fungsi pengecapan, dimana
penurunannya nampak paling menonjol selama usia dekade ketujuh.
Walau dahulu pernah dianggap sebagai defek konduktif murni akibat adanya edema mukosa dan
5

pembentukan polip, rhinosinusitis kronik nampaknya juga menyebabkan kerusakan neuroepitel


disertai hilangnya reseptor olfaktorius yang pemanen melalui upregulated apoptosis.
DIAGNOSIS GANGGUAN PEMBAUAN
Tahapan pertama dalam mendiagnosis adalah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara
menyeluruh. Berikan penekanan khusus pada riwayat URI, patologi hidung atau sinus, riwayat
trauma, masalah medis lainnya, dan obat-obatan yang diminum.
Lakukan CT scan jika dipandang perlu. Pada umumnya, berkurangnya fungsi pembauan tanpa
disertei gejala susunan saraf pusat atau pemeriksaan neurologis yang abnormal sangat kecil
kemungkinannya berhubungan dengan massa intrakranial seperti meningioma. Kendati demikian
seringkali dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan MRI apabila riwayat penyakitnya tidak
mendukung atau ditemukan gejala dan tanda neurologis sekunder. Walau tidak dianjurkan untuk
melakkan pemeriksaan laboratorium standard namun dapat dilakukan pemeriksaan alergi, DM,
fungsi tiroid, fungsi ginjal dan hepar, fungsi endokrin, dan defisiensi gizi berdasarkan hasil
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Biopsi epitel olfaktorius merupakan suatu teknik dalam riset.
A. Tanda dan Gejala
Mengetahui awitan dan perkembangan kelainan penciuman dapat menjadi hal yang sangat
penting untuk menegakkan diagnosis etiologik. Anosmia unilateral jarang menjadi keluhan; ia
hanya dapat dikenali dengan menguji bau secara terpisah pada masing-masing lubang hidung.
Anosmia bilateral, di lain pihak, membuat pasien mencari pertolongan dokter. Pasien-pasien
anosmik biasanya mengeluhkan hilangnya kemampuan merasa meskipun ambang rasanya
mungkin berada pada kisaran normal. Pada kenyataannya, mereka mengeluhkan hilangnya
deteksi rasa, yang sebagian besar merupakan fungsi dari penciuman.
B. Temuan Fisik
Pemeriksaan fisik harus meliputi pemeriksaan lengkap pada telinga, saluran napas bagian atas,
kepala, dan leher. Kelainan pada masing-masing daerah kepala dan leher dapat menyebabkan
disfungsi penciuman. Keberadaan otitis media serosa dapat menunjukkan adanya massa
nasofaring atau peradangan. Pemeriksaan hidung yang seksama untuk mencari massa hidung,
6

jendalan darah, polip, dan peradangan membran hidung sangat penting. Bila ada, rinoskopi
anterior harus ditunjang dengan pemeriksaan endoskopik pada rongga hidung dan nasofaring.
Keberadaan telekantus pada pemeriksaan mata dapat mengarah ke massa atau peradangan di
sinus. Massa nasofaring yang menonjol ke rongga mulut atau drainase purulen di orofaring dapat
ditemukan pada pemeriksaan mulut. Leher harus dipalpasi untuk mencari massa atau pembesaran
tiroid. Pemeriksaan saraf yang menekankan pada nervus kranialis dan fungsi sensorimotorik
sangat penting. Mood pasien secara umum harus dinilai dan tanda-tanda depresi harus dicatat.
C. Temuan Laboratorium
Telah dikembangkan teknik-teknik untuk biopsi neuroepitelium olfaktorius. Namun, karena
degenerasi neuroepitelium olfaktorius yang luas dan interkalasi epitel pernapasan pada daerah
penciuman orang dewasa tanpa disfungsi penciuman yang jelas, material biopsi harus
diinterpretasikan dengan hati-hati.
D. Pencitraan
CT scan atau MRI kepala dibutuhkan untuk menyingkirkan neoplasma pada fossa kranii anterior,
fraktur fossa kranii anterior yang tak diduga sebelumnya, sinusitis paranasalis, dan neoplasma
pada rongga hidung dan sinus paranasalis. Kelainan tulang paling bagus dilihat melalui CT,
sedangkan MRI bermanfaat untuk mengevaluasi bulbus olfaktorius, ventrikel, dan jaringanjaringan lunak lainnya di otak. CT koronal paling baik untuk memeriksa anatomi dan penyakit
pada lempeng kribiformis, fossa kranii anterior, dan sinus.

E. Pemeriksaan Sensorik
Pemeriksaan sensorik fungsi penciuman dibutuhkan untuk (1) memastikan keluhan pasien, (2)
mengevaluasi kemanjuran terapi, dan (3) menentukan derajat gangguan permanen.
1. Langkah pertama menentukan sensasi kualitatif

Langkah pertama dalam pemeriksaan sensorik adalah menentukan derajat sejauh mana
keberadaan sensasi kualitatif. Beberapa metode sudah tersedia untuk pemeriksaan penciuman.
a. Tes Odor stix Tes Odor stix menggunakan sebuah pena ajaib mirip spidol yang menghasilkan
bau-bauan. Pena ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6 inci dari hidung pasien untuk memeriksa
persepsi bau oleh pasien secara kasar.
b. Tes alkohol 12 inci Satu lagi tes yang memeriksa persepsi kasar terhadap bau, tes alkohol 12
inci, menggunakan paket alkohol isopropil yang baru saja dibuka dan dipegang pada jarak sekitar
12 inci dari hidung pasien.
c. Scratch and sniff card (Kartu gesek dan cium) Tersedia scratch and sniff card yang
mengandung 3 bau untuk menguji penciuman secara kasar.
d. The University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT) Tes yang jauh lebih baik
dibanding yang lain adalah UPSIT; ia sangat dianjurkan untuk pemeriksaan pasien dengan
gangguan penciuman. Tes ini menggunakan 40 item pilihan-ganda yang berisi bau-bauan scratch
and sniff berkapsul mikro. Sebagai contoh, salah satu itemnya berbunyi Bau ini paling mirip
seperti bau (a) coklat, (b) pisang, (c) bawang putih, atau (d) jus buah, dan pasien diharuskan
menjawab salah satu dari pilihan jawaban yang ada. Tes ini sangat reliabel (reliabilitas tes-retes
jangka pendek r = 0,95) dan sensitif terhadap perbedaan usia dan jenis kelamin. Tes ini
merupakan penentuan kuantitatif yang akurat untuk derajat relatif defisit penciuman. Orangorang yang kehilangan seluruh fungsi penciumannya akan mencapai skor pada kisaran 7-19 dari
maksimal 40. Skor rata-rata untuk pasien-pasien anosmia total sedikit lebih tinggi dibanding
yang diperkirakan menurut peluang saja karena dimasukannya sejumlah bau-bauan yang beraksi
melalui rangsangan trigeminal.

2. Langkah ke-dua menentukan ambang deteksi


Setelah dokter menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif, langkah kedua
pada pemeriksaan sensorik adalah menetapkan ambang deteksi untuk bau alkohol feniletil.
8

Ambang ini ditetapkan menggunakan rangsangan bertingkat. Sensitivitas untuk masing-masing


lubang hidung ditentukan dengan ambang deteksi untuk fenil-teil metil etil karbinol. Tahanan
hidung juga dapat diukur dengan rinomanometri anterior untuk masing-masing sisi hidung.

TERAPI
A. Kurang Penciuman Hantaran
Terapi bagi pasien-pasien dengan kurang penciuman hantaran akibat rinitis alergi, rinitis dan
sinusitis bakterial, polip, neoplasma, dan kelainan-kelainan struktural pada rongga hidung dapat
dilakukan secara rasional dan dengan kemungkinan perbaikan yang tinggi. Terapi berikut ini
seringkali efektif dalam memulihkan sensasi terhadap bau: (1) pengelolaan alergi; (2) terapi
antibiotik; (3) terapi glukokortikoid sistemik dan topikal; dan (4) operasi untuk polip nasal,
deviasi septum nasal, dan sinusitis hiperplastik kronik.
B. Kurang Penciuman Sensorineural
Tidak ada terapi dengan kemanjuran yang telah terbukti bagi kurang penciuman sensorineural.
Untungnya, penyembuhan spontan sering terjadi. Sebagian dokter menganjurkan terapi seng dan
vitamin. Defisiensi seng yang mencolok tak diragukan lagi dapat menyebabkan kehilangan dan
gangguan sensasi bau, namun bukan merupakan masalah klinis kecuali di daerah-daerah
geografik yang sangat kekurangan. Terapi vitamin sebagian besar dalam bentuk vitamin A.
Degenerasi epitel akibat defisiensi vitamin A dapat menyebabkan anosmia, namun defisiensi
vitamin A bukanlah masalah klinis yang sering ditemukan di negara-negara barat. Pajanan pada
rokok dan bahan-bahan kimia beracun di udara yang lain dapat menyebabkan metaplasia epitel
penciuman. Penyembuhan spontan dapat terjadi bila faktor pencetusnya dihilangkan; karenanya,
konseling pasien sangat membantu pada kasus-kasus ini.

C. Kurang Penciuman Akibat Penuaan (Presbiosmia)


Seperti dijelaskan sebelumnya, lebih dari separuh orang yang berusia di atas 60 tahun menderita
disfungsi penciuman. Belum ada terapi yang efektif untuk presbiosmia namun sangat penting
untuk membicarakan masalah ini dengan pasien-pasien usia lanjut; dapat menenangkan bagi
pasien ketika seorang dokter mengenali dan membicarakan bahwa gangguan penciuman memang
umum terjadi. Selain itu, manfaat langsung dapat diperoleh dengan mengidentifikasi masalah
tersebut sejak dini; insidensi kecelakaan akibat gas alam sangat tinggi pada usia lanjut,
kemungkinan sebagian karena penurunan kemampuan membau secara bertahap. Merkaptan, bau
busuk pada gas alam, adalah perangsang olfaktorius, bukan trigeminal. Banyak pasien yang lebih
tua dengan disfungsi penciuman mengalami penurunan sensasi rasa dan lebih suka memakan
makanan-makanan yang lebih kaya rasa. Metode yang paling umum adalah meningkatkan
jumlah garam dalam diitnya. Konseling dengan seksama dapat membantu pasien-pasien ini
mengembangkan strategi-strategi yang sehat untuk mengatasi gangguan kemampuan
membaunya.
PROGNOSIS.
Hasil akhir disfungsi penciuman sebagian besar bergantung pada etiologinya. Disfungsi
penciuman akibat sumbatan yang disebabkan oleh polip, neoplasma, pembengkakan mukosa,
atau deviasi septum dapat disembuhkan. (2,4,5) Bila sumbatan tadi dihilangkan, kemampuan
penciuman semestinya kembali. Sebagian besar pasien yang kehilangan indra penciumannya
selama menderita infeksi saluran napas bagian atas sembuh sempurna kemampuan
penciumannya; namun, sebagian kecil pasien tak pernah sembuh setelah gejala-gejala ISPA
lainnya membaik. Karena alasan-alasan yang belum jelas, pasien-pasien ini sebagian besar
adalah wanita pada dekade keempat, kelima, dan keenam kehidupannya. Prognosis
penyembuhannya biasanya buruk. Kemampuan dan ambang pengenalan bau secara progresif
turun seiring bertambahnya usia. Trauma kepala di daerah frontal paling sering menyebabkan
kurang penciuman, meskipun anosmia total lima kali lebih sering terjadi pada benturan terhadap
oksipital. Penyembuhan fungsi penciuman setelah cedera kepala traumatik hanyalah 10% dan
kualitas kemampuan penciuman setelah perbaikan biasanya buruk. Pajanan terhadap racun-racun
seperti rokok dapat menyebabkan metaplasia epitel penciuman. Penyembuhan dapat terjadi
dengan penghilangan bahan penyebabnya.
10

1. Pengkajian
Hal-hal penting selama pengkajian dalam sistem persepsi sensori seperti :

Kebiasaan promosi kesehatan, misal : kebiasaan membersihkan hidung


Orang yang beresiko : lansia, jenis pekerjaan, dan gangguan jiwa
Kemampuan untuk melakukan perawatan diri
Tingkat sosialisasi klien dan metode komunikasi
Lingkungan yang terkait dengan kondisi bahaya. Misalnya benda tajam
Status mental meliputi : penampilan dan perilaku fisik, kemampuan kognitif, dan stabilitas

emosional
Pemeriksaan fisik pada panca indera.

2. Diagnosa Keperawatan

Gangguan persepsi sensori pembau atau penghidung


Bersihan jalan nafas tidak efektif berdasar adanya masa dalam hidung
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berdasar menurunnya nafsu makan
Resiko infeksi berdasar terhambatnya drainase secret
Hambatan interaksi sosial berdasar suara sengau yang timbul akibat sumbatan polip
Ansietas berdasar kegelisahan adanya sumbatan pada hidung
Nyeri kronis berdasar penekanan polip pada jaringan sekitar

3. Intervensi dan Rasional


1. Gangguan persepsi pembau atau penghidung
Tujuan : mengembalikan fungsi penciuman ke normal
Kriteria Hasil : individu akan mendemostrasikan penurun gejala beban sensori berlebih yang
ditandai dengan penurunan persepsi penciuman
INTERVENSI
Anjurkan klien untuk mengubah posisi
secara sering, meskipun hanya
mengangkat satu sisi tubuh dengan
sedikit berulang
Rujuk ke perubahan proses pola berfikir
yang berhubungan dengan
ketidakmampuan mengevaluasi realitas
untuk mengetahui intervensi tambahan
Meningkatkan stimulus sensori yang
bervariasi. Hal ini dapat membantu
mencegah perubahan akibat kemunduran
sensori yang lain
Menjelaskan tentang stimulus sensori
yang akan dialami individu, kondisi
distress, tekanan dan konfusi akan
berkurang
Kualitas atau kuantitas input sensori
11

berkurang akibat imobilitas atau


pengurangan

2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berdasar adanya masa dalam hidung
Tujuan : bersihan jalan nafas menjadi efektif dalam 10-15 menit setelah dilakukan tindakan
Kriteria Hasil :
RR normal ( 16-20 kali/menit)
Suara nafas vesikuler
Pola nafas teratur tanpa menggunakan otot bantu pernafasan
Saturasi oksigen 100%
INTERVENSI
Observasi :

Observasi RR tiap 4 jam, bunyi


nafas, kedalaman inspirasi, dan
gerakan dada
Auskultasi bagian dada anterior
dan posterior
Pantau status oksigen pasien

RASIONAL
Rasional :

Mengetahui keefektifan pola nafas


Mengetahui adanya penurunan atau
tidak adanya ventilasi dan adanya
bunyi tambahan
Mencegah terjadinya sianosis dan
keparahan

Mandiri :

Berikan posisi fouler atau


semifouler tinggi
Lakukan nebulizing
Berikan oksigenasi

Mencegah obstruksi atau aspirasi


dan meningkatkan espansi paru
Membantu pengenceran secret
Mengkompensasi ketidakadekuatan
Oksigen akibat inspirasi yang
kurang maksimal

12

Kolaborasi :

Mukolitik untuk menurunkan


batuk, ekspektoran untuk
membantu memobilisasi secret,
bronkodilator menurunkan spasme
bronkus dan analgetik diberikan
untuk meningkatkan kenyamanan

Membantu pasien untuk


mengeluarkan secret yang
menumpuk
Membantu melapangkan ekspansi
paru

Berikan obat sesuai dengan


indikasi mukolitik, ekspektoran,
bronkodilator.

Edukasi :

Ajarkan batuk efektif pada klien


Ajarkan terapi nafas dalam pada
pasien

3.Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan berdasar menurunnya nafsu makan


Tujuan : menunjukkan peningkatan nafsu makan setelah dilakukan tindakan dalam 3x 24 jam
Kriteria hasil :
Klien tidak merasa lemas
Nafsu makan klien meningkat
Klien mengalami peningkatan BB minimal 1 kg/2 minggu
Kadar albumin >3,2 Hb >11
INTERVENSI
Observasi :

Pastikan pola diet biasa pasien,


yang disukai atau tidak disukai
Pantau masukan dan pengeluaran
BB secara periodik
Kaji turgor kulit pasien
Pantau nilai laboratorium seperti
Hb, albumin, dan kadar glukosa
darah

RASIONAL
Rasional :

Untuk mendukung peningkatan


nafsu makan pasien
Mengetahui keseimbangan intake
dan pengeluaran asupan makanan
Sebagai data penunjang adanya
perubahan nutrisi yang kurang dari
kebutuhan
Untuk dapat mengetahui tingkat
kekurangan kandungan Hb,
13

albumin,dan glukosa dalam darah

Mandiri :

Pertahankan BB dengan
memotivasi pasien untuk makan
Menyediakan makanan yang dapat
meningkatkan selera makan pasien
Berikan makanan kesukaan pasien
Ciptakan lingkungan yang
menyenangkan untuk makan
Dorong makan dikit demi sedikit
dan sering dengan makanan tinggi
kalori dan karbohidrat
Auskultasi bising usus, palpasi atau
observasi abdomen

Pertahankan BB yang ada agar


tidak semakin berkurang
Meningkatkan nafsu makan pasien
Merangsang nafsu makan
Meningkatkan rasa nyaman pasien
untuk makan
Meningkatkan asupan makanan
pada pasien
Mengetahui adanya bising usus atau
peristaltik usus yang
mengindikasikan berfungsinya
saluran cerna

Kolaborasi :

Kolaborasi dengan tim analis medis


untuk mengukur kandungan
albumin, Hb, dan kadar glukosa
darah
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
memberikan diet seimbang TKTP
pada pasien
Diskusikan dengan dokter
mengenai kebutuhan stimulasi
nafsu makan atau makanan
pelengkap

Edukasi :

Berikan informasi yang tepat


tentang kebutuhan nutrisi dan
bagaimana memenuhinya
Ajarkan pada pasien dan keluarga
tentang makanan yang bergizi dan
tidak mahal

Mengetahui kandungan biokimiawi


darah pasien
Memberikan asupan nutrisi yang
sesuai dengan kebutuhan pasien
Memberi rangsangan pada pasien
untuk menimbulkan kembali nafsu
makannya

Agar pasien mengetahui kebutuhan


nutrisinya dan cara memenuhinya
yang sesuai kebutuhan
Agar pasien mendapatkan gizi yang
seimbang dengan harga yang relatif
terjangkau
Merangsang nafsu makan pasien

14

Dukung keluarga untuk


membawakan makanan favorit
pasien dirumah

4. Resiko infeksi berdasar terhambatnya drainase secret


Tujuan : meningkatnya fungsi indra penciuman klien
Kriteria Hasil :
Klien tidak merasa lemas
Mukosa mulut klien tidak kering
INTERVENSI
Observasi :

Pantau adanya gejala infeksi


Kaji faktor yang dapat meningkatkan
serangan infeksi

RASIONAL

Menjaga timbulnya infeksi


Menjaga perilaku dan keadaan yang
mendukung terjadinya infeksi

Reaksi demam indikator adanya infeksi


lanjut
Suhu ruangan/jumlah selimut harus
diubah untuk mempertahankan suhu
mendekati normal

Mandiri :

Awasi suhu sesuai indikasi


Pantau suhu lingkungan

Health Education :

Menjaga lingkungan, ventilasi, dan


juga pencahayaan dirumah tetap bersih
5. Hambatan interaksi sosial berdasar suara sengau yang timbul akibat sumbatan polip
Tujuan : peningkatan sosialisi
Kriteria Hasil :

15

Menunjukkan keterlibatan sosial


Menunjukkan penampilan peran
INTERVENSI
Observasi :

Kaji pola interaksi antara pasien dengan


orang lain

RASIONAL

Mengetahui tingkat sosialisasi pasien


dengan orang lain

Pasien dapat beristirahat dan bersosiasi


dengan maksimal
Perawat dapat mengerti kondisi psikis
pasien
Keberadaan pendukung sebaya akan
menjadi teman untuk bersosialisasi

Mandiri :

Tetapkan jadwal interaksi


Identifikasi perubahan perilaku yang
spesifik
Libatkan pendukung sebaya dalam
memberikan umpan balik pada pasien
dalam interaksi sosial

Motivasi diperlukan dalam mengubah


persepsi pasien menjadi lebih baik

Pasien dapat meningkatkan sosialisasi


dengan baik pada komunitas
masyarakat dan sekitarnya

Kolaborasi :

Kolaborasi dengan psikolog untuk


memberikan motivasi diri pada pasien

Edukasi :

Berikan informasi tentang sumbersumber dikomunitas yang akan


membantu pasien untuk melanjutkan
dengan meningkatkan interaksi sosial
setelah pemulangan

6. Ansietas berdasar kegelisahan adanya sumbatan pada hidung


16

Tujuan : pengurangan ansietas


Kriteria Hasil :
Pasien tidak menunjukkan kegelisahan
Pasien dapat mengkomunikasikan kebutuhan dan perasaan negatif
Tidak terjadi insomnia
INTERVENSI
Observasi :

Kaji tingkat kecemasan pasien


Tanyakan kepada pasien tentang
kecemasannya

RASIONAL

Mengetahui tingkat kecemasan pasien


Mengetahui penyebab kecemasan
pasien

Meningkatkan motivasi diri pasien


Tingkat kenyamanan pasien dapat
mempengaruhi kecemasan pada pasien
Hiburan akan mengalihkan fokus pasien
dari kecemasannya

Mandiri :

Ajak pasien untuk berdiskusi masalah


penyakitnya dan memberikan
kesemptan kepada pasien untuk
menentukan pilihan
Berikan posisi yang nyaman pada
pasien
Berikan hiburan kepada pasien

Kolaborasi :

Memberikan bantuan farmakologik


untuk menenangkan pasien

Memberi pengetahuan yang faktual


pada pasien
Relaksasi membantu menurunkan
kecemasan pada pasien
Kejelasan mengenai prosedur dapat
mengurangi kecemasan pasien

Berikan obat-obatan penenang jika


pasien mengalami insomnia

Edukasi :

Sediakan informasi faktual menyangkut


diagnosis perawatan, dan prognosis
Ajarkan pasien tentang penggunaan
teknik relaksasi
Jelaskan semua prosedur termasuk
sensasi yang biasanya dirasakan selama
prosedur

17

7. Nyeri kronis berdasar penekanan polip pada jaringan sekitar


Tujuan : nyeri berkurang/hilang
Klriteria Hasil :

Klien mengungkapkan kualitas nyeri yang dirasakan berkurang atau hilang


Klien tidak menyeringai kesakitan
Tidak ada kegelisahan dan ketegangan otot
Tidak terjadi perubahan pola tidur pada pasien

INTERVENSI
Observasi :

Kaji tingkat nyeri klien


Observasi TTV dan keluhan klien
Kaji pola tidur, pola makan, serta pola
aktivitas pasien

RASIONAL

Mandiri :

Klien mengetahui teknik distraksi dan


relaksasi sehingga dapat
mempraktekkannya bila mengalami nyeri

Menghilangkan atau mengurangi keluhan


nyeri klien dengan sebab dan akibat nyeri
diharapkan klien berpartisipasi dalam
perawatan untuk mengurangi nyeri

Memberikan pengetahuan pada klien dan


keluarga
Untuk memaksimalkan tindakan
(menguirangi ketidakpatuhan

Ajarkan teknik relaksasi dan distraksi,


misalnya baca buku atau mendengarkan
musik

Kolaborasi :

Mengetahui tingkat nyeri klien dalam


menentukan tindakan selanjutnya
Mengetahui keadaan umum dan
perkembangan kondisi klien. TTV dapat
menunjukkan kualitas nyeri dan respon
nyeri oleh tubuh pasien tersebut
Untuk mengetahui pengaruh nyeri yang
timbul pada pola kesehatan pasien

Kolaborasi dengan tim medis untuk


terapi konservatif : pemberian obat
asetominoven, aspirin, dekongestan
hidung dan pemberian analgetik

Edukasi :

18

Jelaskan sebab dan akibat nyeri pada


klien serta keluarganya
Jelaskan pada keluarga dan pasien bahwa
dalam penatalaksanaan ini membutuhkan
kepatuhan penderita untuk menghindari
penyebab atau pencetus alergi

4. IMPLEMENTASI

1.Atur posisi klien sehingga duduk di tepi tempat tidur bila memungkinkan.
2.Pastikan rongga hidung cukup bersih dan tidak tersumbat oleh mukus atau benda lain.
3.Jika terdapat mukus atau benda asing, pemeriksa mengidentifikasi mukus atau pun sumbatan yan
terdapat pada lubang hidung, kemudian membersihkan mukus dengan menggunakan kapas lidi
4.Zat yang baunya tajam seperti amonia jangan dipergunakan, karena zat tersebut mengganggu klien dan
anggsang yang berbahaya ini terdeteksi oleh serabut sensori dari saraf kelima
5.Minta klien untuk menutup kedua mata dan satu lubang hidung menggunakan jari tangan 6.Dekatkan
sumber bau ke lobang hidung yang tidak di tutup dan minta klien mengidentifikasi dan menyebutkan
nama sunber bau
7.Lakukan langkah-langkah yang sama pada lubang hidung yang lain.
8.Penyakit penyebab tersering pada pasien yaitu, misalnya: sinusitis, alergi, dan infeksi saluran
pernapasan atas

5. Evaluasi

Ketika merawat klien yang mengalami perubahan sensori, perawat mengevaluasi apakah tindakan
perawatan meningkatkan atau paling tidak mempertahankan kemampuan klien untuk berinteraksi dan
berfungsi dalam lingkungan. Sifat dasar perubahan sensori klien mempengaruhi cara perawat
mengevaluasi perawatan. Perawat mengadaptasikan hasil evaluasi pada klien yang defisit sensori untuk
menentukan apakah hasil actual sama dengan hasil yang diharapkan. Misalnya, perawat menggunakan
teknik komunikasi yang sesuai untuk mengevaluasi apakah klien yang mengalami defisit penciuman
mencapai kemampuan mencium dengan lebih efektif. Demikian pula perawat menggunakan berbagai
makanan atau minuman dengan menutup mata untuk menguji kemampuan mencium klien yang rusak.
19

Jika hasil yang diharapkan tidak tercapai maka mungkin ada kebutuhan untuk mengubah lingkungan
klien. Anggota keluarga diperlukan untuk lebih terlibat dalam mendukung klien.

KESIMPULAN

Neuroepitel olfaktorius terletak di bagian atas rongga hidung di dekat cribiform plate, septum
nasi superior dan dinding nasal superolateral. Struktur ini merupakan neuroepitelium
pseudostratified khusus yang didalamnya terdapat reseptor olfaktorius utama. Pada neonatus,
daerah ini merupakan suatu lembar neural yang padat, namun pada anak-anak dan dewasa
terbentuk interdigitasi antara jaringan respiratorius dan olfaktorius.Dengan bertambahnya usia
seseorang, jumlah neuron olfaktorius ini lambat laun akan berkurang. Neuroepitel olfaktorius
terletak di bagian atas rongga hidung di dekat cribiform plate, septum nasi superior dan dinding
nasal superolateral. Struktur ini merupakan neuroepitelium pseudostratified khusus yang
didalamnya terdapat reseptor olfaktorius utama. Pada neonatus, daerah ini merupakan suatu
lembar neural yang padat, namun pada anak-anak dan dewasa terbentuk interdigitasi antara
jaringan respiratorius dan olfaktorius.Dengan bertambahnya usia seseorang, jumlah neuron
olfaktorius ini lambat laun akan berkurang.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo E. Gangguan Penghidu. In : Soepardi EA, Iskandar N editors. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 5 th ed. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI,
2006;p.130-131.
2. Leopold DA, Holbrook EH, Noell CA, Mabry RL, Disorders of Taste and Smell. 2006 :18. http://www.emedicine.com.
3. Hoffman HJ, Ishii EK, MacTurk RH, Age-related changes in: the prevalence of smell / taste
problems among the United States adult population. Results of the 1994 disability supplement to
the National Health Interview Survey (NHIS). Ann N Y Acad Sci 1998 Nov 30; 855: 716-22.
4. Lalwani AK, Mafong DD, Olfactory Dysfungtion. In: Lalwani AK editor. a Lange Madical
Book Current Diagnosis & Treament In Otolaryngology Head and NeckSurgery.64 Th ed. New
York:McGrawHill,2004;p.239-243.
5. Doty RL, Deems DA, Olfactory Function and Dysfunction In : Bailey BJ, Calhoun KH, Healy
GB et al Editors. Texbooks Bailey Head and Neck Surgery Otolaryngology. 3 th ed.
Philadelphia: Lippincott William & Wilkins, 2001; p.246-260.
6. Devanand DP, Michaels-Marston KS, Liu X, et al: Olfactory deficits in patients with mild
cognitive impairment predict Alzheimers disease at follow-up. Am J Psychiatry 2000 Sep;
157(9): 1399-405.

21

Anda mungkin juga menyukai