Pengantar diskusi 29-30 Januari 2015 di Bumi Pemuda Rahayu bersama para
peneliti Kampung.
Kampung kelihatannya dapat menawarkan pengetahuan dan praktik bagi kehidupan
berkota pada umumnya. Ia dapat juga ditawarkan sebagai kritik. Benarkah?
Bagaimana?
Sudah sejak lama kampung diteliti, dipuji, diperbaiki[1], diciptakan kembali dengan
berbagai tingkat tiruan (oleh T.Karsten di awal abad ke-20 di Semarang, misalnya
Mlaten dll), dihancurkan, disingkirkan, difoto-foto (dengan selfie sekarang). Ada
campur aduk nostalgia, kekhawatiran (bahkan keputusasaan), romantisme, serta
kekaguman estetik dan etik.
Kini kenyataannya makin pahit dan nyata: kampung-kampung makin deras tergusur
oleh berbagai hal: pabrik, mall, real estate, infrastruktur, .Terlebih lagi sebenarnya
oleh pikiran yang ingin menggantinya dengan sesuatu yang seolah lebih baik, pasti,
abadi dan yang terakhir (the ultimate), tapi sebenarnya wayang saja (mirage) yang cair,
bergerak-gerak dan ilusif: Modernitas. Pikiran itu mewujud dalam cara-cara
membangun kota yang menjadi kebijakan yang tanpa kesadaran, karena tidak ada
wacana kritis dari yang sudah ada menyejarah seperti kampung.
Ketergantungan pada modal swasta untuk membangun kehidupan bersama telah
dibenarkan atas dasar percepatan pembangunan dan kekurangan dana pada pihak
publik/negara. Dana seolah-olah hanya satu-satunya modal. Tetapi asumsi
pemerataan tidak terjadi. Makin sedikit prosentase orang yang menguasai makin
banyak prosentase kekayaan seluruh bangsa. (Ada data yang banyak beredar, baik
untuk dunia maupun untuk Indonesia). Ini menjadi wahana neoliberalisme yang sudah
dimulai pada pertengahan tahun 1980an dengan pola PPP (Public-Private Partnership).
Dan ini bukan tanpa harga. Kampung-kampung makin cepat tergusur. Sekarang,
meskipun telah diketahui kesalahan dan kelemahannya, ketergantungan itu tidak
disadari untuk dilawan, tapi malah dianggap suatu sistem yang lazim, dan kepentingan
akumulasi keuntungan dianggap harus diakomodasi sebaik-baiknya dalam suatu
keseimbangan pembangunan. Tentu saja neo-liberalisme bukan saja menggusur
kampung, tapi juga mengubah banyak dimensi kehidupan perkotaan lainnya. Tapi,
mungkin kampung, apabila dapat dilihat sebagai suatu entitas yang cukup
Belakangan ini mereka mulai melihat peluang untuk membuat kampung tersebut
tempat tinggal yang lebih asyik lagi.
Adil Albatati dari Surabaya meneliti Kampung Arab di kota itu. Ia berafiliasi dengan
komunitas Perpustakaan C2O yang selama setahun lebih ini
membangun websiteayorek.org yang berperan juga sebagai alat penggerak kegiatankegiatan offline antara lain dengan beberapa kampung di Surabaya.
Datang dari tempat paling jauh, teman-teman Pontianak yang akan mengungkapkan
realita kampung melayu Pontianak.
Mira Lubis adalah dosen di jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota.
Indah Kartka Sari adalah dosen di jurusan arsitektur. Keduanya dari niversitas
Tanjungpura di kota itu. Kemungkinan akan datang juga Julia dari sebuah LSM yang
tertarik pada soal kampung ini.
Yuli Kusworo dan teman-teman ARKOM Yogya bukannya bertujuan meneliti per se,
melainkan mengajak komunitas membangun kampung mereka bersama-sama. Dengan
sendirinya proses itu menghasilkan banyak pengetahuan akan rahasia kampung.
Antariksa bersama Kunci Cultural Studies Center, juga dari Yogya, sudah lama sekali
mengajak warga kampung mengenali sejarah, rahasia dan masalah kampungnya secara
partisipatif. Mereka bahkan berupaya memperkuat kampung sebagai suatu entitas geokultural, antara lain dengan membangun pusat arsip yang menyerupai museum.
Elanto Wijoyono dari Combine, Yogyakarta, bekerja dengan desa-desa nonperkotaan, terutama di bidang konsolidasi informasi dan kerjasama desa-kota. Selain
itu ia terlibat dalam pengorganisasian gerakan masyarakat yang menyuarakan
keringnya sumur-sumur kampung-kampung karena airnya tersedot hotel-hotel,
disamping berbagai gerakan lainnya seperti anti-rokok, sepeda, Mencari Hariyadi,
dan lain-lain.
Dian Tri Irawaty dari Rujak Center for Urban Studies punya pengalaman menata
kampung secara partisipatif di Labuanbajo dan Pulau Komodo (Manggarai Barat, NTT),
selain suatu proses visioning di Jatisura, Jatiwangi, Majalengka.
Pertanyaan-pertanyaan minimal ini mungkin dapat mendorong perhatian kita kepada
sesi-sesi selama dua hari diskusi:
Apa yang dapat ditawarkan sebagai kritik terhadap kota (dan lain-lain)?
Bagaimana memperkuat kampung-kampung pada dirinya, dan ia sebagai wacana
kritik?
Perlukah dan bagaimana menggiatkan riset dan pewacanaan kampung dalam
[1] Sejarah perbaikan kampung sudah dimulai di awal abad ke-20 dengan Kampong
verbetering program sebagai bagian dari politik etis. Di jaman Ali Sadikin Jakarta
mengulangnya dengan dana World Bank menjadi Kampong Improvement Program.
Salah satu obyek program tersebut kini telah menjadi SCBD di pusat Jakarta.