Anda di halaman 1dari 13

PARADIGMA FILSAFAT HUKUM TERHADAP KASUS MINAH

(Mengukur Keadilan yang Dihadapkan dengan Kepastian Hukum)

Disusun untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester Genap


Mata Kuliah Pengantar Filsafat Hukum
Kelas D

Oleh:
Dian Laraswati Zuriah
NIM. 135010100111046

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2016
i

DAFTAR ISI
Halaman Judul............................................................................................................ i
Daftar Isi..................................................................................................................... ii
Abstrak....................................................................................................................... 1
1. LATAR BELAKANG............................................................................................ 1
2. PEMBAHASAN
2.1 Analisis Kasus Nenek Minah menurut Mazhab Positivisme: Pengertian,
Fungsi dan Tujuan Filsafat Hukum ............................................................... 2
2.2 Kedudukan Filsafat Hukum dalam Kasus Nenek Minah sebagai Fakta
Hukum Empirik.............................................................................................. 6
2.3 Kedudukan Filsafat Hukum dalam Memberikan Alternatif Solusi Kasus
Nenek Minah.................................................................................................. 8
3. KESIMPULAN...................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 11

ii

PARADIGMA FILSAFAT HUKUM TERHADAP KASUS NENEK MINAH


(Mengukur Keadilan Yang Dihadapkan Dengan Kepastian Hukum)
Dian Laraswati Zuriah
Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Jl. MT. Haryono No. 169 Malang
Email: dianlaraswatizuriah@gmail.com
Abstrak: Indonesia adalah negara yang berdasarkan kepada hukum (rechtaat),
hukum harus dijadikan panglima dalam menjalankan kehidupan bernegara dan
bermasyarakat, sehingga tujuan hakiki dari hukum bisa tercapai seperti keadilan,
kepastian dan ketertiban. Secara normatif hukum mempunyai cita-cita indah namun
didalam implentasinya hukum selalu menjadi mimpi buruk dan bahkan bencana bagi
masyarakat. Ketidaksinkronan antara hukum di dalam teori dan hukum dilapangan
menjadi sebuah perdebatan yang tidak kunjung hentinya. Terkadang untuk
menegakkan sebuah keadilan menurut hukum harus melalui proses-proses hukum
yang tidak adil, sebagaimana yag terjadi dalam kasus Nenek Minah. Adanya
perbenturan antara nilai-nilai keadilan pada kasus tersebut maka dalam tulisan ini
Penulis menganalisa kasus tersebut melalui aliran hukum Positivisme untuk
mengetahui pengertian, fungsi dan tujuan dari filsafat hukum. Selain itu Penulis juga
menganalisa kedudukan filsafat hukum dalam fenomena kasus Nenek Minah sebagai
fakta hukum yang bersifat empirik. Tak kalah pentingnya untuk mengetahui peraan
dan kedudukan filsafat hukum dalam memberikan alternatif solusi terhadap fenomena
kasus Nenek Minah.
Kata Kunci: Filsafat Hukum, Keadilan, Kepastian, dan Minah

1. LATAR BELAKANG
Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari aturan hukum. Peran sental
hukum dalam menciptakan lingkungan yang memungkinkan masyarakat merasa
terlindungi, dmai, dan tenteram eksistensinya telah diakui.1 Walaupun begitu, terdapat
permasalahan-permasalahan hukum yang tidak selalu membahas bagaimana hukum
itu diterapkan di lingkungan masyarakat dan sanksi itu dijatuhkan, melainkan
persoalan moral dan etika dalam menjatuhkan putusan hukum pun turut juga menjadi
pertimbangan. Sebagaimana kasus yang pernah menjadi pusat perhatian publik sejak
1

Johny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya: Bayumedia,
2005, hlm.1.

tahunn 2009 hingga kini yaitu Nenek Minah, yang didakwakan telah mencuri tiga
buah kakao di perkebunan milik PT. Rumpun Sari Antan (RSA). Ini merupakan
sebuah contoh bahwa hukum di Indonesia bersifat tumpul ke atas, namun tajam ke
bawah.
Terdapat banyak pihak yang menilai bahwa apa yang telah diputuskan oleh
hakim dengan amar putusan menjalankan pidana selama satu (1) bulan lima belas
(15) hari ats kasus Nenek Minah masih berlebihan. Di sini lah tercermin antara
hukum yang dicita-citakan (das sollen) dengan hukum yang diimplementasikan di
masyarakat (das sein) tidak sinkron. Permasalahan hukum seperti yang terjadi pada
nenek Minah masih banyak ditemui di Indonesia. Hal ini memuktikan bahwa hukum
di Indonesia masih lemah dalam hal mengayomi masyarakat. Dan terkadang untuk
menegakkan sebuah keadilan secara normatif menurut hukum harus melalui prosesproses hukum yang tidak adil, sebagaimana yang dialami Nenek Minah.
Berdasarkan pemaparan di atas, menjadi wajar apabila kasus Nenek Minah
dijadikan objek materi untuk dikaji dan dikritisi untuk mendapatkan hakikat dari
hukum itu sendiri. Bagaimana pengertian, fungsi dan tujuan dari filsafat hukum
dengan melihat unsur-unsur dari kasus Nenek Minah? Bagaimana kedudukan filsafat
hukum dalam fenomena kasus Nenek Minah sebagai fakta hukum yang bersifat
empirik? Seberapa pentingkah kedudukan filsafat hukum dalam memberikan
alternatif solusi terhadap fenomena kasus Nenek Minah? Permasalahan-permasalahan
tersebut bisa diajukan sebagai wujud perhatian atas peristiwa-peristiwa hukum yang
terjadi di Indonesia.
2. PEMBAHASAN
2.1 Analisis Kasus Nenek Minah menurut Mazhab Positivisme: Pengertian,
Fungsi dan Tujuan Filsafat Hukum
Kasus yang terjadi pada Nenek Minah, jika ditinjau berdasarkan mazhab
positivisme dalam filsasfat hukum adalah sebuah perbuatan yang tetap harus diadili
tanpa menghiraukan besar kecil yang dicurinya ataupun kondisi dari pelakunya.
Penegakan hukum terhadap Nenek Minah memang harus dilepaskan dari unsur-unsur
2

sosial dan moralitas, karena menurut kaca mata aliran ini tujuan hukum adalah
kepastian, tanpa adanya kepastian hukum tujuan hukum tidak akan tercapai walaupun
harus mengenyampingkan rasa keadilan.
Menurut Austin, ilmu hukum tugasnya hanyalah menganalisis unsur-unsur
yang secara nyata ada dalam sistem hukum modern. Maka dari itu, ilmu hukum hanya
berurusan dengan hukum positif, yaitu hukum yang diterima tanpa memperhatikan
kebaikan atau keburukannya. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang
berdaulat dalam suatu negara.2 Karena kurangnya perhatian Austin terhadap hukum
yang dicita-citkan (ius constituendum) serta dijuhkannya dari nilai-nilai baik dan
buruk dan hal-hal yang menyangkut keadilan tersebut, banyak kalangan berpendapat
bahwa pemikiran positivisme hukum ini mematikan minat orang untuk berfilsafat
hukum.
Kaum Positivis Hukum berkeyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya
mencintai kedamaian dan keteraturan. Fungsi hukum yang paling utama dalam kaca
mata positivisme hukum adalah sebagai sarana tertib sosial (social order). Dalam
konteks hukum sebagai tertib sosial, semua pihak akan menjadikan norma positif
dalam sistem perundang-undangan sebagai pegangan bersama dalam menjalani
kehidupan bermasyarakat. Konflik diselesaikan dengan pranata hukum yang tersaji
dan siap pakai.
Selanjutnya, Prof. H.L.A. Hart menguraikan tentang ciri-ciri pengertian
positivisme pada ilmu hukum sebagai berikut ini. 3
1. Pengertian bahwa hukum adalah perintah dari manusia (command of human
being);
2. Pengertian bahwa tidak ada hubungan mutlak/ penting antara hukum (law) dan
moral, atau hukum sebagaimana yang berlaku/ ada dan hukum yang seharusnya;
3. Pengertian bahwa analisis konsepsi hukum adalah:
a. Mempunyai arti penting;
2

Muhammad Sidiq, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Prandya Paramita, Jakarta,
2009, hlm. 6
3
Lihat bukunya: The Concept of Law, Oxford University Press, 1975. Lihat juga Friedman,
Legal Theory, hlm. 287.

b. Harus dibedakan dari penyelidikan:

Historis mengenai sebab-musabab dan sumber-sumber hukum;

Sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya; dan

Penyelidikan hukum secara kritis atau penilaian, baik yang didasarkan


moral, tujuan sosial, fungsi hukum dan lain-lainnya.

4. Pengertian bahwa sistem hukum adalah sistem yang logis, tetap dan bersifat
tertutup dalam mana keutusan-keputusan hukum yang benar/ tepat biasanya dapat
diperoleh dengan alat-alat logika peraturan-peraturan hukum yang telah
ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial. politik, dan
ukuran-ukuran moral.
5. Pengertian bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau
dipertahankan sebagai ernyataan kenyataan yang harus dibuktikn dengan
argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan.
Telah jelas bahwa mazhab positivisme hukum ini telah memperkuat ajaran
legisme, dengan mengidentikkan bahwa hukum adalah undang-undang, dan
menyatakan tidak ada hukum di luar undang-undang, undang-undang menjadi sumber
hukum satu-satunya.
Hukum Pidana di Indonesia sendiri menganut mazhab positivisme, dimana hal
ini secara eksplisit tertuang dalam Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (selanjutnya disebut KUHP) bahwa tidak dapat di pidana seseorang sebelum
ada undang-undang yang mengaturnya, ini disebut dengan azas legalitas (nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali). Dari pernyataan tersebut maka pada
Pasal 1 Ayat (1) KUHP tersebut menentukan bahwa, dapat dipidana atau tidaknya
suatu perbuatan tergantung pada undang-undang yang mengaturnya. Jadi perbuatan
pidana yang dapat dipertanggung jawabkan adalah perbuatan-perbuatan yang tertuang
didalam hukum positif, selama perbuatan pidana tidak diatur didalam didalam hukum
positif, maka perbuatan tersebut bukan perbuatan pidana dan tidak bisa dimintakan
pertanggung jawaban hukumnya menurut hukum pidana.
Ketika nenek Minah kedapatan mengambil tiga (3) buah kakao, yang secara
ekonomi nilainya tidak seberapa, nenek Minah harus berurusan dengan hukum,
4

karena perbuatan yang dilakukan nenek Minah menurut hukum Pidana termasuk
tindak pidana pencurian. Menurut mazhab positivisme bagaimana pun hukum harus
ditegakkan tanpa melihat baik atau buruknya serta adil atau tidak adilnya. Hukum
harus dilepaskan dari unsur-unsur sosial, karena tujuan dari aliran ini adalah
kepastian hukum.
Dalam mazhab positivisme, setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya
yang obyektif sebagai norma-norma yang positif, serta ditegaskan dalam wujud
kesepakatan kontraktual yang konkret antara warga masyarakat atau wakil-wakilnya.
Disini hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang
abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi
sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian mengenai apa yang terbilang hukum,
dan apa pula yang sekalipun normatif harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan
terbilang hukum.4
Dalam menjawab persoalan tersebut, Indonesia sebagai negara yang menganut
mazhab positivisme, mau tidak mau cara berpikir aliran positivisme itulah yang harus
diterapkan. Inilah yang disebut dengan tertib berpikir. Dengan kata lain, terlepas dari serba
keburukan-keburukan yang melekat pada mazhab hukum positivisme ini, cara memandang
persoalannya harus dengan kacamata positivisme, bukan dengan dasar filosofis lainnya.
Menurut Hans Kelsen sendiri, mazhab positivisme hukum tidak mempersoalkan keadilan,
karena hal tersebut bukan konsen dari hukum. Oleh karena itu, maka harus melihat kembali
fakta-fakta substansi hukum Pidana Indonesia dalam kasus Nenek Minah, sehingga hukum
Pidana terlepas dari in-konsistensi hukum.

Soetandyo Wignjosobroto, Hukum, Paradigma, metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta:


Elsam & Huma, , 2002, hlm. 96

2.2 Kedudukan Filsafat Hukum dalam Kasus Nenek Minah sebagai Fakta
Hukum Empirik
Kasus nenek Minah terlihat mencederai rasa keadilan di tengah masyarakat, sebab
nenek Minah yang tidak tahu apa-apa tersebut harus berurusan dengan hukum dan dijatuhi
hukuman oleh hakim. Padahal apa yang diperbuat oleh nenek Minah sangat tidak berbanding
dengan sanksi yang diterimanya. Seharusnya perkara-perkara kecil seperti ini tidak sampai ke
pengadilan dan cukup diselesaikan secara kekeluargaan, tetapi hukum berkata lain. Substansi
hukum tidak lagi mencerminkan keadilan ditengah masyarakat, hukum sudah jauh dari nilainilai yang hidup ditengah masyarakat.

Berbagai teori mencoba menjawab pertanyaan apakah sebabnya suatu negara


berhak menghukum seseorang sebagai dasar pembenarannya (penghalalan). Tampak
bahwa dalam menjawab dasar mengikat sesuatu hukum tersirat juga ulasan
wewenang negara untuk menghukum warganya terutama atas segala perbuatannya
yang dapat menggoncangkan, membahayakan, dan meruntuhkan sendi-sendi
kehidupan masyarakat.5
Terdapat ajaran kedaulatan Tuhan yang sangat terkenal pada abad ke-19,
Friedrich Julius Stahl berpendapat bahwa:6
negara adalah badan yang mewakili Tuhan di dunia yang memiliki
kekuasaan penuh untuk menyelenggarakan ketertibaan hukum di dunia. Para
pelanggar ketertiban itu perlu memperoleh hukuman agar ketertiban hukum
tetap terjamin.
Kemudian, teori perjanjian masyarkat mencoba menjawab pertanyaan tersebut
di atas dengan mengemukakan otoritas negara yang bersifat monopoli itu pada
kehendak manusia itu sendiri yang menghendaki adanya kedamaian dan
ketenteraman masyarakat. Mereka (masyarakat) berjanji akan mentaati egala
ketentuan yang dibuat negara dan di lain pihak bersedia pula untuk memperoleh
hukuman jika dipandang tingkah lakunya akan berakibat terganggunya ketertiban
dalam masyarakat. Dengan otomatis, mereka telah memberikan kuasanya kepada
negara untuk menghukum seseorang yang melanggar ketertiban.
5

Tresna, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Tiara Limited, dalam Lili Rasjidi dan Lia
Sonia Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2012, hlm.
85.
6
Bambang Poernomo, Asas-Ass Hukum Pidana, Ghalia.1978, hlm. 22.

Sudut pandang teori lain mengemukakan, bahwa penganut-penganut teori


kedaulatan negara memiliki pandangan yang lebih tegas. Karen negralah yang
berdaulat, maka hanya negra itu sendiri yang bergerak untuk menghukum seseorang
yang mencoba mengganggu ketertiban dalam masyarakat. Negaralah yang
menciptakan hukum, jadi segala sesuatu harus tunduk kepada Negara. Negara di sin
dianggap sebagai suatu keutuhan yang menciptakan peraturan-peraturan hukum. Jadi,
adanya hukum itu karena adanya negara, dan tidak ada satu hukum pun yang berlaku
jika tidak dikehendaki oleh negara. Dalam kaitan dengan hukuman, hukuman ciptaan
negara itu adalah hukum pidana.
Walaupun terdapat berbagai teori seperti tersebut di atas, seungguhnya hak
negara untuk menghukum seseorang didasari pemikiran bahwa negara memiliki tgas
yang berat, yaitu berusaha mewujudkan segala tujuan yang menjadi cita-cita dan
keinginan seluruh warganya. Usaha-usaha yang berupa hambatan-hambatan,
penyimpangan-penyimpangan terhadap tujuan tadi patut dicegah dengan memberikan
hukuman kepada pelakunya. Hanya dengan cara demikian, negara dapat
melaksanakanan tugasnya sebagaimana mestinya.
Untuk itu, unsur-unsur penegakan hukum terutama dalam melakukan putusan
hukum yang harus diperhatikan adalah hukum itu sendiri, masalah ukuran keadilan,
dan juga punishment atau hukuman yang diberikan kepada pelaku hukum itu.
Konsepsi hukum yang seharusnya mengedepankan human act masih jarang dipakai,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Thomas Aquinas.
Aquinas memberikan jawaban bahwa hukum seharunya mengikuti prinsip
manusia dalam bertindak, karena hal itu merupakan aturan dan juga ukurannya.
Ukuran tersebut adalah kebahagiaan atau moral. Karena memang tujuan dari
adanya hukum adalah untuk mencapai kebahagiaan, the last end of human life is
happiness or be attitude. Oleh Karena itu hukum harusnya mencapai sebuah
kebahagiaan bukan sebaliknya. Dalam hubungannya manusia dalam menciptakan
hukum, Aquinas berpendapat bahwa tujuan dari terbentuknya hukum adalah
mengantarkan manusia menuju kebajikan, as the philosopher says, the intention of
the lawgiver is to lead men to virtue.
7

2.3 Kedudukan Filsafat Hukum dalam Memberikan Alternatif Solusi Kasus


Nenek Minah
Setelah melihat dan menganalisis tentang kasus Nenek Minah di atas maka
secara jelas dalam kasus tersebut hakim terlalu normatif dalam memutuskan perkara.
Hakim tidak memperhatikan kajian

secara empiris dalam hal ini tidak

memperhatikan aspek sosiologi. Contoh kasus tersebut di atas merupakan salah satu
bukti bahwa penegakan hukum di Negara Indonesia hari ini masih sangat jauh dari
harapan.
Perlu dipertanyakan bagaimana kedudukan filsaft hukum dalam memberikan
alternatif solusi dari kasus Nenek Minah. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka
terlebih dahulu harus mengetahui filsafat hukum itu sendiri. Seperti yang telah
diketahui bahwa filsafat hukum itu adalah cabang filsafat yang membicarakan apa
hakekat hukum itu, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk
kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah umum yang
abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal konkret mengenai
hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam
lembaga hukum.
Untuk itu perananan filsafat dalam mencegah keterpurukan hukum adalah
dengan

menciptakan

penegak

hukum

yang

professional.

Karena

dengan

diciptakannya penegak hukum yang yang professional maka akan menumbuhkan


kesadaran akan pentingnya hukum dalam hidup bersama, menumbuhkan ketaatan
pada hukum, menemukan ruhnya hukum, menghidupkan hukum dalam masyarakat
dan akan memacu penemuan hukum baru.
Faktor peran pentingya filsafat bagi para penegak hukum yang professional
adalah sebagai berikut ini.7

Andi Sunarto, Peranan Filsaffat Hukum dalam Mencegah Keterpurukan Hukum, 2013,
dalam
http://nartocalonlegislator.blogspot.co.id/2013/10/peranan-filsafat-hukumdalammencegah.html diakses pada 2 Mei 2016.

1. Dengan belajar filsafat diharapkan akan dapat menambah ilmu pengetahuan,


karena dengan bertambahnya ilmu akan bertambah pula cakrawala pemikiran dan
pangangan yang semakin luas;
2. Dasar semua tindakan. Sesungguhnya filsafat di dalamnya memuat ide-ide itulah
yang akan membawa mansuia ke arah suatu kemampuan utnuk merentang
kesadarannya dalam segara tindakannya sehingga manusia kaan dapat lebih
hidup, lebih tanggap terhadap diri dan lingkungan, lebih sadar terhadap diri dan
lingkungan;
3. Dengan adanya perkembangan ilmu pengethauan dan teknologi kita semakin
ditentang dengan kemajuan teknologi beserta dampak negatifnya, perubahan
demikian cepatnya, pergeseran tata nilai, dan akhirnya kita akan semakin jauh
dari tata nilai dan moral.
Setiap profesi termasuk aparat pemerintah dan aparat penegak hukum
menggunakan filsafat hukum untuk menyediakan struktur yang mampu menciptakan
disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas nilai yang dijadikan acuan dalam
mengemban tugasnya sehari-hari. Dengan demikian dapat dikatakan filsafat hukum
ibarat kompas yang memberikan atau menunjukkan arah pandang bagi aparat
pemerintah sekaligus menjamin mutu moral profesi di hadapan masyarakat.
Hal yang penting dipahami adalah bahwa filsafat hukum tidak membebankan
sanksi hukum atau paksaan fisik. Filsafat hukum dirumuskan dengan asumsi bahwa
tanpa sanksi atau paksaan dari pihak luar setiap orang akan mematuhinya. Dorongan
untuk mematuhi filsafat hukum bukan dari adanya sanksi melainkan dari rasa
kemanusiaan, harga diri, martabat dan nilai-nilai filosofis.
Ada beberapa maksud yang terkandung dalam pembentukan filsafat hukum,
yaitu: sebagai berikut ini.
1. Menjaga dan meningkatkan kualitas moral;
2. Menjaga dan meningkatkan kualitas keterampilan teknis; dan
3. Melindungi kesejahteraan materiil pengemban profesi.
Selanjutnnya supaya hukum yang dibangun dan dibentuk memiliki landasan
yang kokoh untuk jangka panjang dan tidak akan dipertentangkan dengan
9

pemahaman filsafat barat dan timur, pengetahuan tentang filsafat hukum barat yang
masih mendominasi pengetahuan filsafat hukum Indonesia seharusnya diselaraskan
dengan filsafat Pancasila sebagai Dasar Negara.
Yang terakhir agar supaya keterpurukan kesalahan dalam mengadili dapat
diminimalisasi maka dalam mengkaji sebuah kasus harus berusaha mencari atau
mengungkap hakikat dari hukum tersebut dan juga harus menganalisis konsep-konsep
fundamental dalam hukum yaitu keadilan, kesamaan, kepastian dan tujuan hukum itu
sendiri.
Filsafat

hendaknya

memberikan

keyakinan

kepada

manusia

untuk

menompang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang menjadikan penggolonganpenggolongan berdasarkan ras, dan keyakinan keagamaan mengabdi kepada cita
mulia kemanusiaan, tanpa mengindahkan norma/nilai-nilai yang berlaku dan melekat
dimasyarakat itu sendiri.
3. KESIMPULAN
Hukum dan keadilan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Kasus nenek
Minah merupakan gambaran nyata bahwasanya dunia hukum di Indonesia masih
memerlukan banyak pemikir hukum agar kedepannya hukum yang ada lebih
membaik lagi. Dalam perkembanganya di Indonesia jika ingin mengambil keadilan
haruslah seorang hakim tersebut melihat aspek sosiologis maupun yuridis dengan
adanya aspekaspek tersebut seorang hakim dapat memberikan putusan di pengadilan
dengan berlandaskan keadilan.

10

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Johny Ibrahim, 2005, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya:
Bayumedia.
Lili Rasjidi dan Lia Sonia Rasjidi, 2012, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Muhammad Sidiq, 2009, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Prandya
Paramita, Jakarta.
Soetandyo Wignjosobroto, 2002, Hukum, Paradigma, metode dan Dinamika
Masalahnya, Jakarta: Elsam & Huma.
Artikel Internet
Andi Sunarto, Peranan Filsaffat Hukum dalam Mencegah Keterpurukan Hukum,
2013,

dalam

http://nartocalonlegislator.blogspot.co.id/2013/10/peranan-

filsafat-hukum- dalam-mencegah.html diakses pada 2 Mei 2016.

11

Anda mungkin juga menyukai