Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

LATAR BELAKANG
Masalah-masalah perkembangan individu sejak dilahirkan, masa kanak-kanak,

remaja hingga dewasa merupakan masalah yang menarik untuk disimak. Tidak
semua individu mengalami perjalanan yang mulus dalam menjalani kehidupan akan
datang, ada juga yang mengalami masalah dalam tumbuh kembangnya.
Masa kanak-kanak merupakan masa yang sangat menentukan dalam tumbuh
kembang seorang individu. Kebutuhan akan nutrisi yang cukup dan seimbang,
pendidikan dan kesehatan merupakan modal mereka untuk dapat mencapai taraf
perkembangan yang optimal. Tetapi tidak semua anak terlahir beruntung. Ada yang
lahir dengan kelainan yang dibawa sejak dari kandungan, ada yang mendapat
kelainan selama proses persalinan, dan ada juga yang mendapatkan kelainan pada
masa balita.

Anak-anak seperti inilah yang disebut dengan anak berkebutuhan

khusus. 1
Anak berkebutuhan khusus termasuk penyandang cacat merupakan salah satu
sumber daya manusia bangsa Indonesia yang kualitasnya harus ditingkatkan agar
dapat berperan, tidak hanya sebagai obyek pembanguanan tetapi juga sebagai subyek
pembangunan. Anak penyandang cacat perlu dikenali dan diidentifikasi dari
kelompok anak pada umumnya, karena mereka memerlukan pelayanan yang bersifat

khusus, seperti pelayanan medik, pendidikan khusus maupun latihan-latihan tertentu


yang bertujuan untuk mengurangi keterbatasan dan ketergantungan akibat kelainan
yang diderita, serta menumbuhkan kemandirian hidup dalam masyarakat.
Masalah kecacatan pada anak merupakan masalah yang cukup kompleks baik
secara kuantitas maupun kualitas, mengingat berbagai jenis kecacatan mempunyai
permasalahan tersendiri.
Jika masalah anak penyandang cacat ini ditangani secara dini dengan baik dan
keterampilan mereka ditingkatkan sesuai minat, maka beban keluarga, masyarakat
dan negara dapat dikurangi. Sebaliknya jika tidak diatasi secara benar, maka
dampaknya akan memperberat beban keluarga dan negara.
Keberadaan anak berkebutuhan khusus termasuk penyandang cacat secara
nasional maupun sebarannya pada masing-masing provinsi belum memiliki data
yang pasti. Menurut WHO jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia adalah
sekitar 7% dari total jumlah anak usia 0-18 tahun atau sebesar 6.230.000 pada tahun
2007. Menurut data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2003 jumlah
penyandang cacat di Indonesia sebesar 0,7% dari jumlah penduduk sebesar
211.428.572 atau sebanyak 1.480.000 jiwa. Dari jumlah tersebut 24,45% atau
361.860 diantaranya adalah anak-anak usia 0-18 tahun dan 21,42% atau 317.016
anak merupakan anak cacat usia sekolah (5-18 tahun). Sekitar 66.610 anak usia
sekolah penyandang cacat (14,4% dari seluruh anak penyandang cacat) ini terdaftar
di Sekolah Luar Biasa (SLB). Ini berarti masih ada 295.250 anak penyandang cacat
(85,6%) ada di masyarakat dibawah pembinaan dan pengawasan orang tua dan
keluarga dan pada umumnya belum memperoleh akses pelayanan kesehatan

sebagaimana mestinya. Pada tahun 2009 jumlah anak penyandang cacat yang ada di
Sekolah meningkat menjadi 85.645 dengan rincian di SLB sebanyak 70.501 anak dan
di sekolah inklusif sebanyak 15.144 anak.2
Salah satu contoh anak kategori berkebutuhan khusus adalah anak tunagrahita
yang memiliki intelegensi yang signifikan berada di bawah rata-rata dan disertai
dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa
perkembangan, yang terutama disebabkan oleh karena adanya kelainan kromosom
(sindroma Down).2
Nama sindroma Down berasal dari nama dokter Inggris bernama Langdon
Down. Sindroma Down bukan merupakan suatu penyakit tetapi merupakan suatu
kelainan genetik yang dapat terjadi pada pria maupun wanita. Kelainan ini
merupakan hasil dari kelainan kromosom yang tidak selalu diturunkan kepada
keturunan berikutnya. Kelainan kromosom yang sering dijumpai adalah kelebihan
kromosom 21 yang dinamakan trisomi 21. 3
Frekuensi terjadinya penderita sindroma Down di Indonesia adalah 1 dalam
600 kelahiran hidup. Angka kejadian sindroma Down berkaitan dengan usia ibu saat
kehamilan. Rasio kejadian untuk ibu muda <20 tahun adalah 1:2000 setiap kelahiran.
Frekuensi akan meningkat menjadi 1:100 pada usia ibu >45 tahun. Meningkatnya
usia ibu saat kehamilan sampai di atas 45 tahun akan meningkatkan resiko
melahirkan anak dengan sindroma Down sebesar 1:50. 3
Orang-orang dengan sindroma down tidak memiliki masalah rongga mulut
yang unik. Akan tetapi, beberapa masalah cenderung sering terjadi dan bisa menjadi
parah. Perawatan profesional secara dini dan perawatan harian di rumah dapat

mengurangi keparahannya dan membuat penderita sindroma Down memiliki


perbaikan kesehatan rongga mulut. 4
Beberapa penelitian mengatakan bahwa karies pada penderita sindroma Down
bukan merupakan masalah karena cenderung insidensinya terjadi lebih rendah
dibanding anak yang non sindroma Down 3,5,6, hal ini disebabkan adanya saliva yang
berlebihan, dan terutama oleh kandungan karbonat yang tinggi pada saliva sehingga
memiliki daya buffer yang baik. Disamping itu juga keadaan mikrodonsia dan
spacing turut memberikan peran dalam daya self cleansing gigi-geligi.3 Selain itu ada
beberapa kondisi oral yang berhubungan dengan hal ini yaitu adanya erupsi yang
terlambat dari gigi desidui dan permanen, hilangnya gigi permanen, dan adanya
bentuk gigi yang kecil sehingga terbentuk space yang luas (diastema) diantara gigi,
yang dapat memudahkan dalam mengontrol dan melepaskan plak. Sebagai tambahan,
adanya pengaturan makanan (diet) pada kebanyakan anak dengan sindroma down
dalam mencegah obesitas (kelebihan berat badan), dapat membantu dalam
mengurangi konsumsi makanan dan minuman kariogenik.4
Namun, ada juga beberapa penelitian yang mengatakan bahwa pada penderita
retardasi mental (sindroma Down) dijumpai insiden karies gigi yang lebih tinggi 7,8,
terutama pada retardasi mental yang berat dan sangat berat. Insidensi karies yang
tinggi pada penderita retardasi mental kemungkinan disebabkan karena kekurangmampuan penderita melakukan pembersihan rongga mulut, atau orang tua kurang
memperhatikan pola makan (diet) anak.1
Selain masalah karies gigi, pada penderita sindroma Down juga ditemukan
adanya maloklusi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti adanya

keterlambatan erupsi gigi permanen, gangguan perkembangan pada maksila,


kebiasaan buruk (bernafas melalui mulut, bruxism, tongue trusting), bentuk gigi yang
abnormal, pengunyahan yang tidak baik, hipotonik otot rongga mulut, dan terjadinya
anodonsia parsialis dengan angka kejadian sebesar 50% jika dibandingkan populasi
umum yang hanya sebesar 2%. Satu-satunya gigi yang tidak mengalami anodonsia
adalah gigi molar pertama tetap. 3,4,9,10
Di negara-negara maju prevalensi karies gigi terus menurun, sedangkan di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia ada kecenderungan terjadi kenaikan
prevalensi penyakit tersebut. 11
Berdasarkan survei data, kesehatan gigi di Indonesia masih merupakan masalah
karena prevalensi karies mencapai 80% dari jumlah penduduk. Tingginya prevalensi
karies gigi, serta belum berhasilnya usaha untuk mengatasinya mungkin disebabkan
oleh faktor-faktor distribusi penduduk, lingkungan, perilaku, dan pelayanan
kesehatan gigi yang berbeda dalam masyarakat Indonesia (Dirjen Pelayanan Medik
Direktorat Kesehatan Gigi, 1996). 11
Menurut Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional tahun
2007, Kota Makassar yang memiliki jumlah penduduk terbesar di provinsi Sulawesi
Selatan dengan 1.235.239 jiwa yang tersebar di 14 kecamatan memiliki angka
prevalensi karies aktif dan pengalaman karies yang cukup tinggi, yaitu sebesar 37,6%
dan 58,1%. 12,13
Berdasarkan beberapa hal di atas, dapat dilihat bahwa kepedulian dan perhatian
masyarakat dan pemerintah masih sangat rendah terhadap kesehatan gigi dan mulut
anak-anak, khususnya anak berkebutuhan khusus seperti sindroma Down. Oleh

karena itu, penulis tertarik untuk menelusuri lebih lanjut mengenai prevalensi
terjadinya karies gigi dan bagaimana relasi gigi anterior pada anak sindroma Down
di kota Makassar, yang memiliki jumlah penduduk terbesar di Sulawesi Selatan
dengan angka pengalaman karies yang cukup tinggi.
1.2

RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah

penelitian ini, yaitu :


1. Bagaimana prevalensi karies gigi pada anak sindroma Down di kota Makassar?
2. Bagaimana relasi gigi anterior anak sindroma Down di kota Makassar?
1.3

TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka diperoleh tujuan dari penelitian

ini, yaitu :
1. Mengetahui prevalensi karies gigi pada anak sindroma Down di kota Makassar.
2. Mengetahui jenis relasi gigi anterior yang paling sering terjadi pada anak
sindroma Down di kota Makassar.
1.4
1.

MANFAAT PENELITIAN
Manfaat dari penelitian ini adalah :
Dapat memberikan wawasan dan pengetahuan serta memberikan pengalaman

2.

langsung pada peneliti dalam melakukan penelitian ini.


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai

3.

prevalensi karies gigi anak sindroma Down di kota Makassar.


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi ilmiah
mengenai jenis relasi gigi anterior yang paling sering terjadi pada anak

4.

sindroma Down di kota Makassar.


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada para dokter

5.

gigi mengenai karakteristik sindroma Down.


Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan salah satu acuan untuk
mengadakan penelitian-penelitian selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai