2
Dari anamnesa pada penderita didapatkan, penderita digigit ular pada
lengan tangan kanan 1 hari sebelum masuk rumah sakit RSU Dr. Soetomo, saat
penderita membersihkan tegalan sekitar pukul 15.00 wib. Penderita tidak dapat
menjelasakan dengan jelas ciri-ciri ular, hanya terlihat ular warna kecoklatan
belang melarikan diri dan dilengan penderita terdapat luka bekas gigitan. Awalnya
hanya dirasakan nyeri pada tempat gigitan, namun 4 jam kemudian lengan
membengkak dan memerah menyebar kelengan atas dan pergelangan tangan
sehingga jari-jari tangan terasa kesemutan. Penderita saat itu dirawat di RS
Bangkalan, lebih kurang 5 jam setelah gigitan, penderita mengeluh mengeluarkan
darah dari gusi dan luka bekas gigitan ular. Penderita juga mengeluh pusing, mual
dan muntah, tetapi tidak demam. Oleh karena takut penderita dan keluarga minta
dirujuk ke RSU Dr. Soetomo Surabaya.
Riwayat penyakit dahulu: sebelumnya penderita tidak pernah skit kencing manis,
tekanan darah tinggi maupun sakit yang lainnya.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan didapatkan penderita compos mentis GCS 456, keadaan
umum lemah, tekanan darah 150/110 mmHg, nadi 104 x/mnt isi cukup teratur, suhu
aksiler 37,5 0C, perapasan 24 x/mnt. Pada pemeriksaan kepala dan leher didapatkan
anemia, tidak ditemukan ikterus, dispneu, sianosis maupun pemesaran kelenjar
getah bening. Pupil isokor diameter 3/3 mm, reflek cahaya +/+, tidak didapatkan kaku
kuduk. Keluar darah dari sela-sela gusi. Pemeriksaan jantung didapatkan suara 1
dan suara 2 tunggal, tak ditemukan bising jantung, murmur ataupun gallop.
Pemeriksaan paru tak ditemukan suara wheezing maupun ronchi dikedua lapangan
paru. Pada pemeriksaan abdomen hepar dan lien tidak teraba. Pada pemeriksaan
ekstremitas superior kanan didapatkan edema hebat, eritema positive, terdapat
bekas gigitan ular pada manus kanan sisi ulnar dua buah dengan daerah nekrosis
pada sekitarnya. Arteri radialis kanan teraba, pulsasi kuat. Didapatkan nyeri
ekstensi tangan, parastesis dan plegi lengan kanan.
Hasil laboratotium dan radiologi:
Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan Hb 10,1 g/dl, leukosit 17.900 /uL,
trombosit 20.000 /uL, PCV 37 %. Pemeriksaan gula darah acak 156 mg/dl, BUN 15
mg/dl, serum kreatinin 1,0 mg/dl, kalium serum 4,10 mEq/L, natrium serum 137
mEq/L, SGOT 44 U/L, wakttu perdarahan (BT) 6 menit 30 detik (N: 4 menit),
3
waktu pembekuan (CT) > 20 menit (N: 15 menit), PPT > 60 detik (kontrol: 13,9
detik), KPTT > 120 detik (kontrol: 30,8 detik). Sedimen urin: eritrosit 3-5 plp,
leukosit 2-4 plp, epitel 2-4 plp. Pada EKG didapatka irama irama sinus takikardia
110 x/menit dengan normal axis.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium penunjang
penderita didiagnosis sebagai gigitan ular grade IV, sindroma carpal turner
antebrakhii kanan, gangguan faal hemostasis.
Penderita dikonsulkan ke bagian penyakit dalam dan di simpulkan bahwa
pada saat ini di bidang penyakit dalam didapatkan penderita dengan suspek
koagulopati intravakular diseminata.
Saran: Transfusi trombosit 10 kolf, transfusi FFP 2 kolf, mohon diperiksakan
D-dimer, FDP, FH dan DL ulang. Penderita diikuti.
Tindakan pada saat itu dilakukan:
-
pro fasciatomy
Injeksi Ampicilin 3 x 1 g IV
Transfusi TC 10 kolf
Diet TKTP
4
trauma (+), ROM terbatas oleh karena nyeri.
Produksi urin 2200 ml/24 jam
Hasil laboratorium:
Hb 7,1 g/dl, leukosit 8.600/uL Trombosit 299.000/uL, PVC 21 %,
BUN 14 mg/dl, SK 1,08 mg/dl , FDP 75 ug/uL(N: 0- 20 ug/uL),
PPT 14,1 dtk (C: 13,0), KPTT 30,1 dtk (C: 29,8)
A
: Diet TKTP
Infus RL 1000 cc/24 jam
O2 masker 6 L/mnt
Injeksi Ampisilin 3 x 1 g IV
Injeksi Tramadol 3 x 1 ampul IV
Injeksi Ranitidin 2 x 1 ampul IV
Transfusi PRC sampai dengan Hb 10 g/dl
Rawat luka
Penderita dipindah ROI 2
Monitor vital sign, DL post transfusi, produksi urin
basah.
Hasil laboratorium:
Hb 9,9 g/dl, leukosit 8.600/uL Trombosit 478.000/uL, PVC 30,4 %, BUN 20
mg/dl, SK 1,2 mg/dl, Kalium serum 3,5 mEq/L, Natrium
40 U/L, SGPT: 50 U/L, Billirubin Total:
Albumin serum: 3,5 g/dl, Glubulin serum: 4,3 g/dl, PPT 11,6 dtk (C: 13,2), KPTT 32,2
dtk (C: 31,9)
A
: Diet TKTP
Infus RL 1000 cc/24 jam
5
Injeksi Ampisilin 3 x 1 g IV
Injeksi metamizole 3 x 1 ampul IV
Injeksi Ranitidin 2 x 1 ampul IV
Rawat luka
Monitor vital sign
Hari keduabelas perawatan (Ruang Bedah E)
S
PEMBAHASAN
Diagnosis akibat terkena gigitan ular adalah diagnosis klinik yang biasanya
mudah dibuat karena penderita, teman atau keluarganya mengatakan bahwa
penderita digigit ular. Manifestasi klinis yang mula-mula timbul adalah nyeri pada
tempat gigitan, setelah 6 8 jam kemudian nyeri bertambah hebat dan terjadi
pembengkakan bagian proksimal dari luka gigitan bahkan sampai seluruh
ekstremitas. Hemorrhagic blisters dapat terjadi di sekeliling luka, meluas dalam
beberapa hari sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan. Beberapa gejalan sistemik
awal antara lain mual, muntah, mati rasa disekitar mulut (perioral paresthesia) dan
badan terasa lemah. Pada manifestasi sistemik yang berat dapat terjadi hipotensi
umumnya oleh karena volume intravaskular yang berkurang; takikardia oleh karena
nyeri, cemas dan bergesenya cairan ke ruang ketiga akibat inflamasi; respiratory
distress, takipneu dan penurunan kesadaran bisa oleh karena proses inflamasi,
koagulopati maupun neurotoxin dari bisa ular (Tanen, 2001; Walter, 2002; Norris,
2003; Chun, 2005).
keracunan bisa ular pada saat penderita datang dan menentukan apakah terdapat
perluasan seperti memburuknya gejala dan tanda kliinis, untuk itu digunakan metode
grade 0 IV (Jones, 1989).
6
TABEL 1: The degree of envenomation (Jones, 1989)
Grade
Local manifestation
0
No envenomation
I
Minimal envenomation
II
Moderate envenomation
III
Severe envenomation
IV
Very severe
envenomation
Systemic manifestation
None
Ussually not present
Nausea, vomiting,
giddiness, shock or
neurotoxic symtoms
Grade II symtoms
ussually preset and may
include generalized
ptechiae and ecchymosis
Always present and
symtoms may include
renal failure, blood tinged
secretion, coma and
death
Pada penderita ini mengalami gigitan ular saat bekerja di tegalan, dengan
luka dua buah lubang kecil di tangan kanan, nyeri pada tempat gigitan, edema,
erithema, ekimosis pada seluruh ekstremitas yang digigit, didapatkan fang marks.
Dengan gejala klinik mual, muntah, nyeri kepala badan lemah dan perdarahan.
Berdasarkan data resebut , menurut kriteria Jones (Jones, 1989) penderita
didiagnosis gigitan ular grade IV.
Secara klinis KID dapat didiagnosis dengan beberapa hal sebagai berikut: 1)
adanya perdarahan dan / atau trombosis sistemik, 2) adanya penyakit dasar yang
diketahui dapat menyebabkan KID, 3) didukung pemeriksaan laboratorium: a. Hitung
trombosit pertama kurang dari 100.000 /uL, b. Memanjangnya PPT dan aPTT, c.
Adanya FDP dalam plasma; D-dimer, d. Rendahnya kadar inhibitor koagulasi, seperti
antithrombin III (ATIII) dalam plasma (Grosset, 1999; Boediwarsono, 2004)
Dalam perjalanannya penderita mengalami perdarahan gusi dan luka
gigitan ular, terjadi trombositopeni, tejadi pemanjangan PPT dan KPTT, dan
pemeriksaan FDP meningkat. Pemeriksaan AT III merupakan pemeriksaan yang
lebih khusus yang dapat menunjang diagnosis KID, tetapi secara praktis tidak
diperlukan (Levi, 1999; Boediwarsono, 2004). Sehingga disimpulkan penderita
mengalami koagulasi intravaskular diseminata (KID)
7
Salah satu keadaan yang dihubungkan dengan penyebab
terjadinya
koagulasi inravaskular diseminata (KID) adalah bisa ular. Dari 14 famili terdapat 5
famili ular berbisa yaitu:Colubridae, Hydrophidae, Elapidae, Viperidae dan
Crotalidae. Bisa ular terdiri dari campuran enzim yang komplek, polipeptida dengan
berat molekul rendah 6 100 kD, glikoprotein dan ion logam yang bila berada dalam
tubuh manusia dapat bersifat sitotoksik, hemotoksik, neurotoksik dan dapat merusak
endotelium vaskuler (Braun, 1997; Gold, 2002; Norris, 2003)
Mekanisme terjadinya KID akibat gigitan ular berbisa dapat melalui beberapa
cara. Beberapa bisa ular mengandung hemorrhagins yang menyebabkan kerusakan
endotel vaskuler yang luas dan dapat menyebabkan perdarahan. Beberapa enzim
yang lain memicu KID melalui mekanisme pembekuan darah, misalnya ankistyodon
rhodostoma memecah fibrinopeptida A dari rantai A fibrinogen dan mengubah
menjadi fibrin monomer. Bisa ular echis carinatus, oxyuranus microlepidotus, the
tiger snake mengandung protease yang dapat memecah protrombin menjadi
trombin, selanjutnya mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Bisa russells viper
mempunyai kerja ganda yaitu mempengaruhi faktor X dan memacu kerja faktor V.
Bisa ular yang lain menginduksi agregasi trombosit (Grosset, 1999). Akibat
diaktifkannya sistem pembekuan darah akan terbentuk mikrotrombi di dalam
pembuluh darah. Pembentukan mikrotrombi yang terus menerus menyebabkan
konsumsi faktor pembekuan dan trombosit meningkat sehingga jumlah trombosit dan
faktor-faktor pembekuan menurun. Hal ini akan menimbulkan perdarahan. Terjadinya
benang fibrin dalam pembuluh darah dapat menyebabkan anemia hemolitik
mikroangiopati (Lee, 1999; Grosset, 1999). Adanya bekuan dalam pembuluh darah
akan mengaktifkan sistem fibrinolisis yang mengubah plasminogen menjadi plasmin.
Plasmin adalah enzim proteolitik kuat yang dapat memecah fibrin, fibrinogen juga
faktor V dan VII. Pemecahan fibrin yang telah mengalami cross linking menghasilkan
Fibrin Degradation products (FDP). Fragmen-fragmen ini menghambat polimerisasi
fibrin sehingga menghambat terbentuknya benang-benang fibrin dan agregasi
trombosit. Karena pemakaian berlebihan faktor-faktor koagulasi, terbentuknya FDP
dan aktifnya sistem fibrinolisis maka akan terjadi perdarahan yang tak terkontrol
(Grosset, 1999, Boediwarsono, 2004)
Penatalaksanaan penderita dengan gigitan ular berbisa harus diobservasi
dengan ketat ( vital sign, irama jantung dan saturasi oksigen) sambil menanyakan
riwayat kejadian antara lain saat kejadian, diskripsi umum dari ular, pertolongan
pertama yang diberikan, penyakit yang menyertai, riwayat alergi. Pemeriksaan fisik
8
dengan fokus pada sistem kardiovaskuler, paru dan sistem saraf. Pada luka gigitan
diperiksa tanda gigitan, goresan, edema, eritema dan ekimosis. Keadaan awal luka
gigitan harus dicatat, kemudian dievaluasi tiap 15-20 menit sampai perluasan
pembengkakan berkurang dan menentukan derajat keracunan bisa ular (Hall, 2001;
Walter, 2002; Norris 2003). Sementara itu juga dilakukan pemeriksaan laboratorium
dan bila didapatkan hipotensi, segera dipasang infus dengan cairan normal salin
atau ringer laktat. Bila penderita syok dan tidak respon setelah dilakukan
resusitasicairan RL 20-40 ml/KgBB, dapat diberikan vasopresor seperti dopamin.
Serum anti bisa ular (SABU) yang monospesifik sesuai jenis ularnya, namun hal ini
sulit dilakukan. Saat ini yang banyak tersedia adalah polyvalent crotalidae antivenin,
serum kuda derivat dari 4 jenis crotalidae. Mengenai dosis SABU, Walter dkk,
menyatakan bahwa pada dry bite tidak diberikan, derajat ringan yang progresif 10
vial, sedang 10-20 vial, berat 20 vial yang diberikan dalam infus normal salin, ringer
laktat atau dektrose 5 % selama lebih dari 30-60 menit, dengan observasi di ruang
intensif, mengingat komplikasinya dapat terjadi anafilaktoid, anafilaktik dan serum
siknes. Beberapa penulis lain memberikan SABU dengan dosis yang lebih rendah
yaitu grade II diberikan 3-4 vial, grade III IV 5-15 vial, jika gejala bertambah dapat
diberikan beberapa vial lagi dalam 2 jam pertama (Jones, 1989). Saat ini telah
dikembangkan SABU yang disebut CroFab atau FabAV yang berisi Fab yang
dimurnikan sesuai spesies ular yang dalam penelitian terbatas memberi hasil yang
lebih baik (Dart, 2001). Sebelum pemberian dilakukan tes kulit dahulu, bila terjadi
reaksi alergi, hentikan pemberian dan diterapi dengan epinefrin dan antihistamin
(Braun, 1997; McKinney, 2001; Walter, 2002). Terapi lain yang diberikan adalah anti
tetanus serum (ATS), sedangkan pemberian antibiotik profilaksis masih kontroversial
(Braun, 1997; Madoff, 2003). Untuk penatalaksanaan KID pada umumnya adalah:
pengobatan penyakit dasar, substitusi faktor pembekuan, heparin dan AT III (Levi,
1999). Pemberian SABU saja sering dapat mengoreksi koagulopati minor, namun
kadang-kadang diperlukan pemberian komponen darah seperti fresh frozen plasma
(FFP), cryoprecipitate atau trombosit konsentrat (TC) (Roberts, 1990; Ellenhorn,
1997). Secara teori, pemotongan jalur koagulasi akan menghentikan KID. Hepari
yang berfungsi sebagai aktifator spesifik sistem antithrombin III akan menghambat
enzim proteolitik termasuk diantaranya faktor Ixa, Xa dan trombin (Grosset, 1999).
Dalam penelitian,terbukti heparin dapat menghambat sebagian aktifasi koagulasi,
namun belum ada kesimpulan konklusif bahwa terapi heparin dapat menurunkan
morbiditas atau mortalitas KID. Heparin lebih dianjurkan untuk penderita KID dengan
9
tromboemboli atau deposisi fibrin yang luas seperti purpura fulminan atau iskemia
akral (Levi, 1999). Terapi heparin mungkin tidak efektif karena memerlukan
antitrombin III untuk bekerja dan biasanya antitrombin menurun pada KID (Baglin,
1996).
Penatalaksaann penderita ini dimulai agak terlambat karena tidak segera
dibawa ke RSU Dr. Soetomo. Menurut kriteria Jones penderita masuk dalam stadium
IV. Penderita mendapat perawatan luka (fasiatomy) di IRD bedah serta pemberian
cairan infus, penderita dirawat di ROI diberian SABU 15 vial drip dalam dektrose 5
%/ 1 jam. Antibiotik ampisilin, ATS. Oleh karena sudah terjadi KID penderita juga
diberi FFP dan TC, PRC, juga dilakukan monitoring vital sign, tanda-tanda reaksi
alergi/anafilaksis, serum siknes, EKG, saturasi oksigen dan balan cairan di ROI,
selama 2 hari perawatan di ROI penderita membaik, penderita dipindah ke ruangan
bedah.
PROGNOSIS
Mortalitas di rumah sakit setelah gigitan ular berbisa adalah 11 %. Resiko
kematian pada pasien yang digigit ular berbisa ini dapat diturunkan dengan
identifikasi awal dari indikator prognostik dan penatalaksanaan yang agresif pada
penderita. Indikator prognostik yang signifikan sebagai prediktor mortalitas penderita
dengan gigitan ular dari hasil penelitin adalah ada tidaknya vomiting, neurotoxicity
dan kreatin serum (Sharma, 2004; Kalantri, 2006) dan ada tidaknya komplikasi
sistemik (Chun, 2005). Pada penderita ini didapatkan gejala vomiting, parastesi dan
plegi lengan kanan, kreatin serum dalam batas normal, dan pada penderita
didapatkan komplikasi sistemik berupa KID dan anemia maka prognosis penderita
adalah buruk. Namun oleh karena penatalaksanaan yang agresif dan monitor yang
ketat di ROI akhirnya penderita dapat diselamatkan dan sembuh dari penyakitnya.
RINGKASAN
Demikian telah dibahas kasus seorang wanita penderita gigitan ular berbisa
grade IV dengan komplikasi KID. Diagnosis gigitan ular ditegakkan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditemukannya luka gigitan ular di tangan, dalam
perjalanannya penderita mengalami komplikasi KID dan anemia. Penderita
mengalami perdarahan gusi, PPT, KPTT memenjang dan pemeriksaan FDP
meningkat. Penderita diterapi dengan SABU, ATS, Antibioti, FFP, TC dan PRC,
penderita diobservasi di ROI untuk monitor vital sign, jantung paru, ginjal dan reaksi
10
alergi, anfilaksis maupun serum siknes. Dalam perawatan dua hari di ROI hari
penderita membaik dari KID dan tidak ada efek samping terapi. Penderita dinyatakan
sembuh setelah dirawat selama duabelas hari.
DAFTAR PUSTAKA
1. Baglin T (1996). Disseminate intravascular coagulation: Diagnosis ad
treatment. BMJ 312, 683-7
2. Boediwarsono
(2004).
Koagulasi
intravaskular
diseminata.
Dalam:
JS,
Cheng
(2005).
Snake
envenomations,
brown.
11
12. Kalantri S, Singh A, Joshi R (2006). Clinical predictors of in-hospital mortality
in patients with snake bite: a retrospective study from a rural hospital in central
India. Trop Med Inter Health II, 22-30
13. Lee GR (1999). Acquired hemolytic anemia resulting from direct affects of
infectious, chemical or physical agents. In: Wintrobes clinical hematology 10
th ed. Editors: Lee GR, Foerster J, Lukens J, Paraskevas F, Greer JP,
Rodgers GM. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia pp: 1298-9
14. Levi M, Ten Cate H (1999). Disseminate intravascular coagulation. N Engl J
Med 341, 586-92
15. Madoff LC (2003). Infection from bites, scratches and burns. In: Harrisons
principles of internal medicine 15 th ed. Editors: Fauci AS, Braunwaald E,
Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL.
McGraw-Hill New York, pp: 835-9
16. McKinney PE (2001). Out of and interhospital management of crotalin
snakebite. Ann Emerg Med 37, 168-74
17. Norris RL and Auerbach PS (2003). Disorder caused by reptile bites and
marine animal envenomations. In: Harrisons principles of internal medicine 15
th ed. Editors: Fauci AS, Braunwaald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB,
Kasper DL, Hauser SL, Longo DL. McGraw-Hill New York, pp: 2544-6
18. Roberts JR and Otten EJ (1990). Toxic envenomations. In: Disorders of
hemostsis. Thirt ed. Editors:Ratnoff OD, Fosbes CD. WB Saunders company.
Philadelphia, pp: 259-71
19. Sharma SK, Chappuis F, Jha N, Bovier PA (2004). Impact of Snakebite and
determinants of fatal outcomes in southeastern Nepal. Am J Trop Med Hyg.
71(2), 234-8
20. Tanen DA, Raha AM, Graeme KA (2001). Rattlesnake envenomations. Arc
Intern Med 161, 474-9
21. Walter FG, Bilden EF, Gilby RL (2002). Environmental emergencies. Critical
Care Clinics 15, 353-70
22.