Anemia Hemolitik

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 29

Anemia Hemolitik

Anemia hemolitik merupakan kondisi dimana jumlah sel darah merah (HB)
berada di bawah nilai normal akibat kerusakan (dekstruksi) pada eritrosit yang
lebih cepat dari pada kemampuan sumsum tulang mengantinya kembali. Jika
terjadi hemolisis (pecahnya sel darah merah) ringan/sedang dan sumsum tulang
masih bisa mengompensasinya, anemia tidak akan terjadi, keadaan ini disebut
anemia terkompensasi. Namun jika terjadi kerusakan berat dan sumsum tulang
tidak mampu menganti keadaan inilah yang disebut anemia hemolitik.
Anemia hemolitik sangat berkaitan erat dengan umur eritrosit. Pada kondisi
normal eritrosit akan tetap hidup dan berfungsi baik selama 120 hari, sedang pada
penderita anemia hemolitik umur eritrosit hanya beberapa hari saja.
Penyebab
1.
Faktor
intrinsik
(intrakorpuskular)
Hemolisis terjadi akibat faktor yang ada pada eritrosit itu sendiri, misal
kekurangan bahan baku pembuat eritrosit, herediter (kelainan eritrosit yang
bersifat kongenital seperti pada thalasemia dan sferosis kongenital), gangguan
pembentukan HB dan abnormalitas enzim dalam eritrosit.
2.
Faktor
ekstrinsik
(ekstrakorpuskular)
Hemolisis akibat faktor-faktor dari luar misal akibat reaksi autoimun, infeksi
dan reaksi/pengaruh obat-obatan.

Patofisiologi
lisis/pecahnya
eritrosit
Mekanisme pemecahan eritrosit ektravaskular terjadi dalam sel makrofag dan
sistem retikuloendotelial terutama di organ hati, limpa/pankreas dan sumsum
tulang. Pemecahan eritrosit terjadi di dalam sel organ-organ tersebut karena

organ-organ tersebut mengandung enzim heme oxygenase yang berfungsi sebagai


enzim pemecah.
Eritrosit yang lisis akibat kerusakan membran, gangguan pembentukan
hemoglobin dan gangguan metabolisme ini, akan dipecah menjadi globin dan
heme. Globin akan disimpan sebagai cadangan, sedang heme akan dipecah lagi
menjadi besi dan protoforfirin. Besi disimpan sebagai cadangan. Protoforpirin
akan terurai menjadi gas CO dan bilirubin. Bilirubin dalam darah berikatan
dengan albumin akan membentuk bilirubin indirect (bilirubin I). Bilirubin indirect
yang terkonjugasi di organ hati menjadi bilirubin direct (bilirubin II). Bilirubin
direct diekresikan (disalurkan) ke empedu sehingga meningkatkan sterkobilinogen
(mempengaruhi warna feses) dan urobilinogen (mempengaruhi warna urin/air
seni).
Mekanisme pemecahan eritrosit intravaskular terjadi dalam sirkulasi darah.
Eritrosit yang lisis melepaskan HB bebas ke dalam plasma. Haptoglobin dan
hemopektin mengikat HB bebas tersebut ke sistem retikuloendotelial untuk
dibersihkan.
Dalam kondisi hemolisis berat, jumlah haptoglobin dan hemopektin mengalami
penurunan, akibatnya Hemoglobin bebas beredar dalam darah (hemoglobinemia).
Pemecahan eritrosit yang berlebihan akan membuat hemoglobin dilepaskan ke
dalam plasma. Jumlah hemoglobin yang tidak terakomodasi seluruhnya oleh
sistem keseimbangan darah itulah yang menyebabkan hemoglobinemia.
Hemoglobin juga dapat melewati glomelurus ginjal sehingga terjadi
hemoglobinuria. Hemoglobin yang terdapat di tubulus ginjal akan diserap oleh
sel-sel epitel, sedang kandungan besi yang terdapat di dalamnya akan disimpan
dalam bentuk hemosiderin. Jika epitel ini mengalami deskuamasi akan terjadi
hemosiderinuria (hemosiderin hanyut bersama air seni). Hemosiderinuria
merupakan tanda hemolisis intravaskular kronis.
Berkurangnya jumlah eritrosit diperifer juga memicu ginjal mengeluarkan
eritropoetin untuk merangsang eritropoesis di sumsum tulang. Hal ini
menyebabkan terjadinya peningkatan retikulosit (sel eritrosit muda di paksa
matang)
sehingga
mengakibatkan
polikromasia.
Gejala
Gejala umum pada anemia adalah nilai kadar HB <7g/dl, sedang gejala
hemolisisnya berupa ikterus (kuning) akibat peningkatan kadar bilirubin indirect

dalam darah, pembengkakan limfa (splenomegali), pembengkakan organ hati


(hepatomegali) dan kandung batu empedu (kholelitiasis). Tanda dan gejala lebih
lanjut
sangat
tergantung
pada
penyakit
yang
menyertai.
Pemeriksaan laboratorium
Berikut pemeriksaan laboratorium yang mengarah pada diagnosa anemia
hemolitik:

Penurunan kadar HB<1g/dl dalam satu minggu tanpa diimbangi dengan

proses eritropoesis yang normal


Penurunan masa hidup eritrosit <120 hari. Pemeriksaan terbaik dengan

labeling crom. Persentasi aktivitas crom dapat dilihat dan sebanding dengan
umur eritrosit. Semakin cepat penurunan aktivitas crom maka semakin pendek
umur eritrosit
Hemoglobinuria (urin berwarna merah kecoklatan atau merah kehitaman)
Hemosiderinuria diketahui dengan pemeriksaan pengecatan biru prusia

pada air seni


Hemoglobinemia, terlihat pada plasma yang berwarna merah terang
Peningkatan katabolisme heme, biasanya terlihat dari peningkatan

bilirubin serum
Retikulositosis, mikroskopis pewarnaan supravital (menghitung sel darah

merah muda)
Sterkobilinogen feses meningkat, pigmen feses berwarna kehitaman
Terjadi hiperplasia eritropoesis sumsum tulang

Diagnosa
banding
Anemia hemolitik berbeda dengan tanda dan gejala anemia berikut ini:

Pada anemia perdarahan akut dan anemia defisiensi besi, tidak ditemukan

gejala ikterus/kuning dan Hemoglobin akan naik pada pemeriksaan berikutnya.


Sedangkan pada anemia hemolitik tidak.
Anemia hipoplasi/eritropoesis inefektif, kadang juga ditemukan acholurik

joundice tapi tidak diikuti dengan peningkatan retikulosit (sel darah merah
muda).
Anemia yang disertai perdarahan di rongga retroperitoneal (rongga perut)
biasanya menunjukkan gejala mirip dengan anemia hemolitik. Pada kasus ini
hanya bisa dibedakan jika dilakukan pemeriksaan untuk membuktikan adanya
perdarahan.

Pada syndrom gilbert (organ hati tidak dapat memproses bilirubin dengan

baik), terdapat joundice (kuning) namun tidak ditemukan kelainan morfologi


eritrosit. Tidak terjadi anemi dan retikulosit berada pada nilai normal.
Mioglobinuria pada kerusakan otot berbeda dengan hemoglobinuria.
Untuk membedaan keadaan tersebut dilakukan pemeriksaan elektroforesis
(mengidentifikasi hemoglobin abnormal dalam darah).

Pengobatan

Penanganan

gawat

darurat:

Atasi syok, pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, perbaiki fungsi


ginjal. Jika terjadi penurunan hemoglobin berat perlu diberi diberi transfusi
namun dengan pengawasan ketat. Transfusi yang diberikan berupa washed red
cell untuk mengurangi beban antibodi. Selain itu juga diberi steroid parenteral
dosis tinggi atau hiperimun untuk menekan aktivitas makrofag.
Terapi suportif-simptomatik:

Bertujuan untuk menekan proses hemolisis terutama dilimfa dengan jalan


splenektomi (operasi pengangkatan limfa). Selain itu perlu juga diberi asam
folat 0,15-0,3mg/hari untuk mencegah krisis megaloblastik.
Terapi kausal:
Mengobati penyebab dari hemolisis, namun biasanya penyakit ini idiopatik
(tidak diketahui penyebabnya) dan herediter (bawaan) sehingga sulit untuk
ditangani. Pada thalasemia, transplantasi sumsum tulang bisa dilakukan.

Malaria Serebral
Merupakan komplikasi paling berbahaya. Ditandai dengan penurunan kesadaran
(apatis, disorientasi, somnolen, stupor, sopor, koma) yang dapat terjadi secara
perlahan dalam beberapa hari atau mendadak dalam waktu hanya 1-2 jam,
sering disertai kejang. Penilaian penurunan kesadaran ini dievaluasi berdasarkan
GCS.

Diperberat karena gangguan metabolisme, seperti asidosis, hipoglikemi,


gangguan ini dapat terjadi karena beberapa proses patologis.
Diduga terjadi sumbatan kapiler pembuluh darah otak sehingga terjadi anoksia
otak. Sumbatan karena eritrosit berparasit sulit melalui kapiler karena proses
sitoadherensi dan sekuestrasiparasit. Tetapi pada penelitian Warrell, menyatakan
bahwa tidak ada perubahan cerebral blood flow, cerebro vascular resistence, atau
cerebral metabolic rate for oxygen pada pasien koma dibanding pasien yang telah
pulih kesadarannya.
Kadar laktat pada cairan serebrospinal (CSS) meningkat pada malaria serebral
yaitu >2.2 mmol/L (1.96 mg/dL) dan dapat dijadikan indikator prognostik: bila
kadar laktat >6 mmol/L memiliki prognosa yang fatal.
Biasanya disertai ikterik, gagal ginjal, hipoglikemia, dan edema paru. Bila
terdapat >3 komplikasi organ, maka prognosa kematian >75 %.
Gagal Ginjal Akut (GGA)
Kelainan fungsi ginjal dapat terjadi prerenal karena dehidrasi (>50%), dan hanya
5-10 % disebabkan oleh nekrosis tubulus akut. Gangguan fungsi ginjal ini oleh
karena anoksia yang disebabkan penurunan aliran darah ke ginjal akibat dehidrasi
dan sumbatan mikrovaskular akibatsekuestrasi, sitoadherendan rosseting.
Apabila berat jenis (BJ) urin <1.01 menunjukkan dugaan nekrosis tubulus akut;
sedang urin yang pekat dengan BJ >1.05, rasio urin:darah > 4:1, natrium urin < 20
mmol/L menunjukkan dehidrasi
Secara klinis terjadi oligouria atau poliuria. Beberapa faktor risiko terjadinya
GGA ialah hiperparasitemia, hipotensi, ikterus, hemoglobinuria.

Dialisis merupakan pengobatan yang dapat menurunkan mortalitas. Seperti pada


hiperbilirubinemia, anuria dapat berlangsung terus walaupun pemeriksaan parasit
sudah negatif
Kelainan Hati (Malaria Biliosa)
Ikterus sering dijumpai pada infeksi malaria falsiparum, mungkin disebabkan
karena sekuestrasidan sitoadheren yang menyebabkan obstruksi mikrovaskular.
Ikterik karena hemolitik sering terjadi. Ikterik yang berat karena P. falsiparum
sering penderita dewasa hal ini karena hemolisis, kerusakan hepatosit. Terdapat
pula hepatomegali, hiperbilirubinemia, penurunan kadar serum albumin dan
peningkatan ringan serum transaminase dan 5 nukleotidase. Ganggguan fungsi
hati dapat menyebabkan hipoglikemia, asidosis laktat, gangguan metabolisme
obat.
Edema Paru sering disebut Insufisiensi Paru
Sering terjadi pada malaria dewasa. Dapat terjadi oleh karena hiperpermiabilitas
kapiler dan atau kelebihan cairan dan mungkin juga karena peningkatan TNF-.
Penyebab

lain

gangguan

pernafasan (respiratory

distress): 1) Kompensasi

pernafasan dalam keadaan asidosis metabolic;2) Efek langsung dari parasit atau
peningkatan tekanan intrakranial pada pusat pernapasan di otak; 3) Infeksi
sekunder pada paru-paru; 4) Anemia berat; 5) Kelebihan dosis antikonvulsan
(phenobarbital) menekan pusat pernafasan.
Hipoglikemia
Hipoglikemi sering terjadi pada anak-anak, wanita hamil, dan penderita dewasa
dalam pengobatan quinine (setelah 3 jam infus kina). Hipoglikemi terjadi

karena: 1) Cadangan

glukosa

kurang

pada

penderita

starvasi

atau

malnutrisi; 2) Gangguan absorbsi glukosa karena berkurangnya aliran darah ke


splanchnicus; 3) Meningkatnya metabolisme glukosa di jaringan;4) Pemakaian
glukosa

oleh

parasit; 5) Sitokin

akan

menggangu

glukoneogenesis; 6)Hiperinsulinemia pada pengobatan quinine.


Metabolisme anaerob glukosa akan menyebabkan asidemia dan produksi laktat
yang akan memperburuk prognosis malaria berat
Haemoglobinuria (Black Water Fever)
Merupakan suatu sindrom dengan gejala serangan akut, menggigil, demam,
hemolisis intravascular, hemoglobinuria, dan gagal ginjal. Biasanya terjadi pada
infeksi P. falciparum yang berulang-ulang pada orang non-imun atau dengan
pengobatan kina yang tidak adekuat dan yang bukan disebabkan oleh karena
defisiensi G6PD atau kekurangan G6PD yang biasanya karena pemberian
primakuin.
Malaria Algid
Terjadi gagal sirkulasi atau syok, tekanan sistolik <70 mmHg, disertai gambaran
klinis keringat dingin, atau perbedaan temperatur kulit-mukosa >1 C, kulit tidak
elastis, pucat. Pernapasan dangkal, nadi cepat, tekanan darah turun, sering tekanan
sistolik tak terukur dan nadi yang normal.
Syok umumnya terjadi karena dehidrasi dan biasanya bersamaan dengan sepsis.
Pada kebanyakan kasus didapatkan tekanan darah normal rendah yang disebabkan
karena vasodilatasi.
Asidosis

Asidosis (bikarbonat <15meq) atau asidemia (PH <7.25), pada malaria


menunjukkan prognosis buruk. Keadaan ini dapat disebabkan: 1) Perfusi jaringan
yang buruk oleh karena hipovolemia yang akan menurunkan pengangkutan
oksigen; 2) Produksi laktat oleh parasit; 3) Terbentuknya laktat karena aktifitas
sitokin terutama TNF-, pada fase respon akut; 4) Aliran darah ke hati yang
berkurang, sehingga mengganggu bersihan laktat; 5) Gangguan fungsi ginjal,
sehingga terganggunya ekresi asam.
Asidosis metabolik dan gangguan metabolik: pernafasan kussmaul, peningkatan
asam laktat, dan pH darah menurun (<7,25) dan penurunan bikarbonat (< 15meq).
Keadaan asidosis bisa disertai edema paru, syok gagal ginjal, hipoglikemia.
Gangguan lain seperti hipokalsemia, hipofosfatemia, dan hipoalbuminemia.
Manifestasi gangguan Gastro-Intestinal
Gejala gastrointestinal sering dijumpai pada malaria falsifarum berupa keluhan tak
enak diperut, flatulensi, mual, muntah, kolik, diare atau konstipasi. Kadang lebih
berat

berupa billious

remittent

fever (gejala

gastro-intestinal

dengan

hepatomegali), ikterik, dan gagal ginjal, malaria disentri, malaria kolera.


Hiponatremia
Terjadinya hiponatremia disebabkan karena kehilangan cairan dan garam melalui
muntah dan mencret ataupun terjadinya sindroma abnormalitas hormon antidiuretik (SAHAD).
Gangguan Perdarahan
Gangguan perdarahan oleh karena trombositopenia sangat jarang. Perdarahan
lebih sering disebabkan oleh Diseminata Intravaskular Coagulasi (DIC).

Catatan
Sitoadherensi: perlekatan antara eritrosit berparasit (EP )stadium matur pada
permukaan endotel vaskular.
Sekuestrasi: sitoadheren menyebabkan eritrosit berparasit tidak beredar kembali
dalam vaskuler
Rosseting: berkelompoknya EP matur yang diselubungi 10 eritrosit yang non
parasit sehingga terjadi obstruksi aliran darah local/dalam jaringan sehingga
mempermudah terjadinya sitoadheren.
Referensi
Sudoyo A. W. dkk, 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi
IV . Jakarta : EGC

Hepatitis
Virus
Akut
Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan hati yang
menimbulkan gejala klinis yang khas yaitu badan lemah, kencing berwarna seperti
teh pekat, mata dan seluruh badan menjadi kuning.
Berdasarkan penyebabnya, hepatitis dapat dibagi atas :

Hepatitis oleh virus


Hepatitis oleh bakteri
Hepatitis oleh obat-obatan.

Sedangkan berdasarkan perjalanan penyakitnya, hepatitis dapat dibagi atas :

Hepatitis akut
Hepatitis kronis

Hepatitis viral akut ialah inflamasi hati akibat infeksi virus hepatitis yang
berlangsung
selama
kurang
dari
6
bulan.
The clinical picture of viral hepatitis is extremely variable, ranging from
asymptomatic infection without jaundice to a fulminating disease.

Hepatitis virus akut adalah penyakit infeksi virus hepatotropik yang bersifat
sistemik
dan
akut

berlangsung
kurang
dari
6
bulan.
Sebagian hepatitis akan sembuh sempurna, tetapi sebagian lain akan berkembang
menjadi
kronis,
sirosis
atau
karsinoma
hati.
Etiologi
Paling sedikit ada 6 jenis virus penyebab hepatitis yaitu virus hepatitis A, B, C,
D, EHepatitis A umumnya mengenai anak dan dewasa muda sedangkan Hepatitis
B sering mengenai dewasa muda, bayi dan balita. Hepatitis C lebih sering
mengenai
orang
dewasa.
Hepatitis A lebih sering mengenai penderita dengan status sosioekonomi yang
buruk karena penularan virus ini terutama melalui jalur faecal oral.
Patogenesis
Virus-virus Hepatitis secara primer tidak bersifat sitopatik (merusak) pada sel-sel
hepar. Gejala klinis yang disebabkan oleh infeksi virus ini disebabkan oleh
respons imun penderita terhadap infeksi tersebut.
Patofisiologi
1.
Patofisiologi
Ikterus
Ikterus adalah keadaan klinis di mana ditemukannya warna kuning pada kulit dan
mukosa yang disebabkan oleh pigmen empedu. Ikterus dapat diketahui bila kadar
bilirubin darah lebih dari 2 mg%.
Metabolisme
Bilirubin
Bilirubin merupakan produk dari pemecahan heme yang 80-85% berasal dari
eritrosit matang dan 15-20% dari produk heme lainnya seperti myoglobin,
sitokrom.
Proses pemecahan heme terjadi dalam sel retikuloendotelial. Heme diubah
menjadi biliverdin melelui proses oksigenasi. Biliverdin oleh enzim biliverdin
reduktase diubah menjadi bilirubin.
Bilirubin yang beredar dalam plasma sebagian besar (90%) berada dalam bentuk
unconjungated/indirek. Bilirubin indirek akan berikatan dengan albumin lebih
kuat dibandingkan dengan bilirubin direk.
Namun ikatan ini tidak mutlak sehingga bila terdapat anion lain seperti
Sulfonamide dan Salisilat yang berkompetisi dengan bilirubin maka bilirubin ini
akan beredar bebas dalam darah dan memasuki jaringan tubuh lainnya seperti
jaringan otak.

Bilirubin indirek melepaskan ikatannya dengan albumin lalu masuk ke dalam hati
dan terikat dengan ligandin. Di dalam hati terjadi perubahan bilirubin menjadi
bilirubin glukoronid oleh enzim glukoronosil transferase.
Bakteri dalam usus halus dan kolon mengubah bilirubin glukoronid menjadi
urobilinogen, sebagian diserap kembali dan akan melewati sirkulasi enterohepatik;
sebagian
lainnya
dikeluarkan
melalui
urin
dan
feses.
Bilirubin direk mudah larut dalam air sehingga dapat difiltrasi melalui ginjal.
Manifestasi
Klinis
1.
Stadium
praikterik
Berlangsung selama 4-7 hari. Pasien mengeluh sakit kepala, lemah, anoreksia,
mual, muntah, demam, nyeri pada otot, dan nyeri pada perut kanan atas. Urin
menjadi
lebih
coklat.
2.
Stadium
ikterik
Berlangsung selama 3-6 minggu. Ikterus mula-mula terlihat pada sklera,
kemudian pada kulit seluruh tubuh. Keluhan-keluhan berkurang, tetapi pasien
masih lemah, anoreksia, dan muntah. Tinja mungkin berwarna kelabu atau kuning
muda.
Hati
membesar
dan
nyeri
tekan.
3.
Stadium
pascaikterik
(rekonvalesens)
Ikterus
mereda,
warna urin dan tinja
menjadi normal lagi.
Apabila hepar sudah membesar pasien dapat mengeluh nyeri perut kanan atas
(perut
begah).
Demam dengan suhu sekitar 38-39oC lebih sering ditemukan pada hepatitis A.
urine berwarna gelap (seperti air teh) dan feses berwarna tanah (clay-colored).
Dengan timbulnya gejala kuning/ikterus maka biasanya gejala prodromal
menghilang.
Hepatomegali
dapat
disertai
nyeri
tekan.
Ikterik pada penderita terutama tampak pada wajah, batang tubuh dan sklera.
Ikterik pertama kali terlihat pada frenulum lingue namun yang biasa diperhatikan
pertama kali adalah sklera. Sklera mudah menyimpan bilirubin karena terdiri atas
banyak sekali serat-serat elastin.
Mata kuning adalah keluhan pertama yang dapat dilihat oleh penderita atau
kerabatnya. Warna kuning pada mata dapat memberikan gambaran kasar
penyebab ikterus :

Kuning : Prehepatik
Kuning oranye : Hepatik

Kuning kehijauan : Posthepatik

Pemeriksaan
1. Kepala

Fisik

Mata
Mulut
Leher

Spider naevi (spider telangiectasis, spider angioma, arterial spider) ditemukan


pada penyakit hati yang kronis, dijumpai pada daerah yang mendapatkan
vaskularisasi
dari
vena
cava
superior.
Lokasinya adalah pada muka, leher, lengan, punggung tangan, dada dan punggung
tetapi jarang terdapat di bawah garis yang menghubungkan kedua areola
mammae. Spider naevi tampak sebagai titik dengan serabut-serabut pembuluh
darah yang menyebar secara radier dengan diameter mulai seujung jarum sampai
0,5 cm.
2.Thoraks
3.
Inspeksi dartar lembut, jika terdapat asites akan tampak cembung.

Abdomen

Hepatomegali

Pada hepatitis virus akut, terjadi pembesaran hepar yang bersifat kenyal, tepi
tajam, permukaan rata. Sedangkan pada sirosis, hepar dapat teraba atau tidak
teraba. Pada karsinoma, hepar membesar dan teraba keras dengan permukaan
yang berbenjol-benjol, tepi tidak rata, tumpul dan pada auskultasi terdengar
hepatic bruit.

Pembesaran Lien

4. Ekstremitas

Edema

Edema dapat dijumpai pada penderita penyakit hati kronis. Penimbunan cairan
pada penyakit hati dimulai dari rongga perut (asites) lalu diikuti tempat-tempat
lainnya.

Clubbing

Clubbing biasa dijumpai pada penyakit-penyakit kronis. Pada hepatitis akut tidak
ditemukan.

Sianosis dapat ditemukan pada penderita sirosis dengan kegagalan hati

akibat penurunan dari kejenuhan O2 dalam arteri.


Eritema Palmaris

Eritema palmaris (liver palms) yaitu salah satu kelainan yang dapat dijumpai pada
penderita kegagalan hati. Tangan penderita akan tampak merah tua dan teraba
panas (hangat) terutama pada hipotenar, tenar dan pada jari.

Liver Nail (White Nail)

Kriteria
Diagnosis
The key features for diagnosis are :
Mual, anoreksia, malaise, urin gelap
Ikterus
Hepatomegali yang kenyal dan nyeri tekan
Peningkatan SGOT dan SGPT (SGPT > SGOT) lebih dari 3 kali nilai
normal.
Diagnosis Banding
Hepatitis Akibat Obat
Hepatitis Alkoholik
Penyakit Saluran Empedu
Leptospirosis
1.
Ikterus
Prehepatik
Ikterus prehepatik ini adalah akibat proses hemolisis eritrosit yang berlebihan,
gangguan
konjungasi
bilirubin
dan
gangguan
up-take
bilirubin.
Didapatkan keluhan mata (sklera) berwarna kuning. BAB dan BAK tak ada
kelainan.
Keluhan
gatal
dan
nyeri
tekan
tidak
ada.
2.
Ikterus
Hepatik
3. Ikterus Posthepatik
Pemeriksaan
Penunjang
Terdapat dua pemeriksaan penting untuk mendiagnosis hepatitis, yaitu tes awal
untuk mengkonfirmasi adanya peradangan akut pada hati dan tes yang bertujuan
untuk
mengetahui
etiologi
dari
peradangan
akut
tersebut.
Diagnosis hepatitis biasanya ditegakkan dengan pemeriksaan tes fungsi hati,
khususnya alanin amino transferase (ALT=SGPT), aspartat amino transferase
(AST=SGOT). Bila perlu ditambah dengan pemeriksaan bilirubin. Alkali fosfatase

kurang bermakna karena kadarnya meningkat pada anak yang sedang mengalami
pertumbuhan.
Kadar transaminase (SGOT/SGPT) mulai meningkat pada masa prodromal dan
mencapai puncak pada saat timbulnya ikterus. Peninggian kadar SGOT dan SGPT
yang menunjukkan adanya kerusakan sel-sel hati adalah 50-2.000 IU/ml. Terjadi
peningkatan bilirubin total serum (berkisar antara 5-20 mg/dL).
Tinja akolis mungkin dijumpai sebelum timbul ikterus. Penurunan aktivitas
transaminase diikuti penurunan kadar bilirubin. Bilirubinuria dapat negatif
sebelum bilirubin darah normal. Kadar alkali fosfatase mungkin hanya sedikit
meningkat. Gamma GT dapat meningkat pada hepatitis dengan kolestasis.
Jenis virus penyebab hepatitis akut didiagnosis dengan petanda virus yaitu IgM
antiHAV, IgM anti HBc dan dapat dilengkapi dengan HBsAg.
Bila terdapat riwayat transfusi darah, pemakaian obat-obatan narkoba, atau ada
risiko infeksi vertikal dapat dilakukan pemeriksaan anti-HCV, IgM anti-HDV
diperiksa pada kasus hepatitis B kronik. Bila dicurigai pasien menderita hepatitis
E,
dilakukan
pemeriksaan IgM
anti-HEV.
IgM anti-HAV yang meningkat menunjukkan hepatitis A akut. Sedangkan makna
petanda
virus
untuk
hepatitis
B
adalah
sebagai
berikut:
HBsAg, tanda mengidap virus hepatitis B (hepatitis akut, hepatitis kronis,
sirosis,
hepatoma,
karier)
Anti-HBs, umumnya tanda sembuh dan kekebalan seumtu hidup terhadap
reinfeksi
hepatitis
B
HBeAg dan DNA VHB, tanda bahwa replikasi virus hepatitis B aktif dan daya
tularnya tinggi, muncul sebelum timbulnya gejala dan kurang lebih bersamaan
waktunya
dengan
terdeteksinya
HBsAg
Serokonversi dari HBeAg menjadi anti-HBe adalah tanda remisi; replikasi
virus
tidak
aktif
IgG anti-HBc, tanda sedang atau pernah terinfeksi, bisa menetap dalam kadar
rendah
seumur
hidup
IgM anti-HBc, tanda infeksi akut atau kronis aktif. Setelah fase akut, IgM antiHBc turun dengan jambat, tetapi marker replikasi virus -HBeAg dan HBV DNAtetap dapat dideteksi, sedangkan anti-HBe dan anti-HBs biasanya belum dapat
dideteksi.
Biopsi hati (bila faal hati tidak kembali normal setelah 6 bulan).
Terapi
Tirah baring. Pada periode akut dan keadaan lemah diharuskan cukup istirahat.


Diet
Terapi suportif sesuai kondisi pasien
1. Berikan obat-obat yang bersifat melindungi hati.
2. Antibiotik tidak jelas kegunaannya
3. Jangan diberikan antiemetik.
Penyulit

Hepatitis

Kolestasis

seimbang.

Fulminan
berkelanjutan

HEPATITIS B
A. Defenisi
Hepatitis adalah istilah umum yang berarti radang hati. Hepa berarti kaitan
dengan hati, sementara itis berarti radang. Peradangan ini biasa di sebabkan
oleh infeksi atau toksin termasuk alkohol. Sampai saat ini baru di ketahui
penyebab hepatitis virus adalah virus hepatitis A-G. HBV merupakan virus DNA,
termasuk dalam famili Hepadnaviridae yang memiliki envelope, berukuran kecil
dan mengandung DNA beruntai ganda parsial dengan 3200 pasang basa nitrogen.
Masa inkubasi virus ini adalah 1-6 bulan.2,4
B. Epidemiologi
1.
Umur
Hepatitis B dapat menyerang semua golongan umur, Paling sering pada bayi dan
anak yaitu sekitar 25 - 45,9%. Resiko untuk menjadi kronis menurun dengan
bertambahnya umur, hal ini berkaitan dengan terbentuk antibodi dalam jumlah
cukup seiring dengan bertambahnya umur untuk menjamin terhindar dari hepatitis
kronis.5
2.
Jenis kelamin
Berdasarkan sex ratio, wanita 3x lebih sering terinfeksi hepatitis B dibanding
pria.6
3.
Mekanisme pertahanan tubuh
Bayi baru lahir atau bayi 2 bulan pertama setelah lahir lebih sering terinfeksi
hepatitis B, terutama pada bayi yang sering terinfeksi hepatitis B, terutama pada
bayi yang belum mendapat imunisasi hepatitis B. Hal ini karena sistem imun
belum berkembang sempurna.4
4.
Kebiasaan hidup
Sebagian besar penularan pada masa remaja disebabkan karena aktivitas seksual
dan gaya hidup seperti homoseksual, pecandu obat narkotika suntikan, pemakaian
tatto, pemakaian akupuntur.3
5.
Pekerjaan

Kelompok resiko tinggi untuk mendapat infeksi hepatitis B adalah dokter, dokter
bedah, dokter gigi, perawat, bidan, petugas kamar operasi, petugas laboratorium
dimana mereka dalam pekerjaan sehari-hari kontak dengan penderita dan material
manusia (darah, tinja, air kemih).6
C. Sumber Dan Cara Penularan Virus Hepatitis B7
1. Sumber Penularan Virus Hepatitis B.
Darah
Saliva
Kontak dengan mukosa penderita virus hepatitis B
Feces dan urine
Lain-lain: pisau cukur, alat kedokteran yang terkontaminasi virus hepatitis
2. Cara penularan virus Hepatitis B
Penularan infeksi virus hepatitis B melalui berbagai cara yaitu :
a. Parenteral : dimana terjadi penembusan kulit atau mukosa misalnya
melalui tusuk jarum atau benda yang sudah tercemar virus
hepatitis B dan pembuatan tattoo
b. Non Parenteral : karena persentuhan yang erat dengan benda yang tercemar
virus hepatitis B contoh: ketika aff infus tidak menggunakan sarung tangan,
sangat berisiko kontak dengan darah pasien yang masih ada di madrin.
Secara epidemiologik penularan infeksi virus hepatitis B dibagi 2 cara penting
yaitu:
a. Penularan vertikal; yaitu penularan infeksi virus hepatitis B dari ibu yang
HBsAg positif kepada anak yang dilahirkan yang terjadi selama masa
perinatal. Resiko terinfeksi pada bayi mencapai 50-60 % dan bervariasi antar
negara satu dan lain berkaitan dengan kelompok etnik.
b. Penularan horizontal; yaitu penularan infeksi virus hepatitis B dari seorang
pengidap virus hepatitis B kepada orang lain disekitarnya, misalnya: melalui
hubungan seksual.
D. Patogenesis HepatitisB 4,6
Virus hepatitis B (VHB) masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari
peredaran darah partikel dan maasuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi
virus. Selanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane
utuh, partikel HbsAg bentuk bulat dan tubuler, dan HbsAg yang tidak ikut
membentuk partikel virus. VHB merangsang respons imun tubuh, yang pertama
kali dirangsang adalah respons imun spesifik (innate immune response) karena
dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa menit sampai beberapa
jam. Proses eliminasi nonspesifik ini tejadi tanpa restriksi HLA, yaitu dengan
memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T.
Untuk proses eradikasi VHB lebih lanjut diperlukan respons imun spesifik,
yaitu dengan mengaktifasi sel limfosit T dan sel limfosit B. Aktivasi sel T CD8+
terjadi setelah kontak reseptor sel T tersebut dengan kompleks peptida VHB-MHC
kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada permukaan dinding
APC dan dibantu rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami
kontak dengan kompleks peptida VHB-MHC kelas II pada dinding APC. Peptida
VHB yang ditampilkan pada permukaan dinding sel hati dan menjadi antigen

sasaran respons imun adalah peptida kapsid yaitu HbcAg atau HbeAg. Sel T
CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus yang ada didalam sel hati yang
terinfeksi. Proses eliminasi tersebut bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati
yang akan menyebabkan meningkatnya ALT atau mekanisme sitolitik. Di samping
itu dapat juga terjadi eliminasi virus intrasel tanpa kerusakan sel hati yang
terinfeksi melalui aktivitas IFN dan TNF yang dihasilkan oleh sel T CD8+
(mekanisme nonsitolitik).
Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan
produksi antibodi antara lain anti-HBs, anti-HBc, anti-Hbe. Fungsi anti-HBs
adalah netralisasi partikel VHB bebas dan mencegah masuknya virus kedalam sel.
Dengan demikian anti-HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel.
Infeksi kronik VHB bukan disebabkan gangguan produksi anti-HBs. Buktinya
pada pasien Hepatitis B kronik ternyata dapat ditemkan adanya anti-HBs
bersembunyi dalam kompleks dengan HbsAg.
Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi VHB dapat
diakhiri, sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi VHB
yang menetap. Proses eliminasi VHB oleh respons imun yang tidak efisien dapat
disebabkan oleh faktor virus ataupun faktor pejamu.
Faktor Virus, antara lain :
Terjadinya imunotoleransi terhadap produk VHB, hambatan terhadap CTL yang
berfungsi melakukan lisis sel-sel terinfeksi, terjadinya mutan VHB yang tidak
memproduksi HbeAg, integrasi genom VHB dala genom sel hati.
Faktor Pejamu, antara lain :
Faktor genetik, kurangnya IFN, adanya antibodi terhadap antigen nukleokapsid,
kelainan fungsi limfosit, respons antiidiotipe, faktor kelamin atau hormonal.
Salah satu contoh peran imunoterapi terhadap produk VHB dalam persistensi
VHB adalah mekanisme persistensi infeksi VHB pada neonatus yang dilahirkan
oleh ibu HbsAg dan HbeAg positif. Diduga persistensi tersebut disebabkan
adanya imunotoleransi terhadap HbeAg yang masuk ke dalam tubuh janin
mendahului invasi VHB, sedangkan persistensi pada usia dewasa diduga
disebabkan oleh kelelahan sel T karena tingginya konsentrasi partikel virus.
Persistensi infeksi VHB dapat disebabkan karena mutasi pada daerah precore dari
DNA yang menyebabkan tidak dapat diproduksinya HbeAg. Tidak adanya HbeAg
pada mutan tersebut akan menghambat eliminasi sel yang terinfeksi VHB.
Perjalanan Penyakit Hati
Sebagian besar Individu yang mendapat infeksi sejak lahir akan tetap HbsAg
positif sepanjang hidupnya dan menderita Hepatitis B Kronik, sedangkan hanya
sedikit individu dewasa yang mendapat infeksi akan mengalami persistensi
infeksi. Persistensi VHB menimbulkan kelainan yang berbeda pada individu yang
berbeda, tergantung dari konsentrasi partikel VHB dan respons imun tubuh.
Interaksi antara VHB dengan respons imun tubuh terhadap VHB, sangat besar
perannya dalam menentukan derajat keparahan hepatitis. Makin besar respons
imun tubuh terhadap virus, makin besar pula kerusakan jaringan hati, sebaliknya
bila tubuh toleran terhadap virus tersebut maka tidak terjadi kerusakan hati. Ada 3

fase penting dalam perjalanan penyakit hepatitis B Kronik yaitu fase


imunotoleransi, fase imunoaktif atau fase immune clearence, dan fase
nonreplikatif atau fase residual. Pada masa anak-anak atau pada masa dewasa
muda, sistem imun tubuh toleran terhadap VHB sehingga konsentrasi virus dalam
darah dapat sedemikian tingginya, tetapi tidak terjadi peradangan hati yang
berarti. Dalam keadaan itu VHB ada dalam fase replikatif dengan titer HbsAg
yang sangat tinggi, HbeAg positif, anti-Hbe negatif, titer DNA VHB tinggi dan
konsentrasi ALT yang relatif normal. Fase ini disebut fase imunotoleransi. Pada
fase imunotoleransi sangat jarang terjadi serokonversi HbeAg secara spontan, dan
terapi untuk menginduksi serokonversi HbeAg tersebut biasanya tidak efektif.
Pada sekitar 30% individu dengan persistensi VHB akibat terjadinya replikasi
VHB yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari
kenaikan konsentrasi ALT. Pada keadaan ini pasien mulai kehilangan toleransi
imun terhadap VHB. Fase ini disebut fase imunoaktif atauimmune
clearance. Pada fase ini tubuh berusaha menghancurkanmenghancurkan virus dan
menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Pada fase imunoaktif
serokonversi HbeAg baik secara spontan maupun karena terapi lebih sering
terjadi. Sisanya, sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya dapat menghilangkan
sebagian besar partikel VHB tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti. Pada
keadaan ini, titer HbsAg rendah dengan HbeAg yang menjadi negatif dan antiHbe yang menjadi positif secara spontan, serta konsentrasi ALT yang normal,
yang menandai terjadinya fase nonreplikatif atau fase residual. Sekitar 20-30%
pasien Hepatitis B Kronik dalam fase residual dapat mengalami reaktivasi dan
menyebabkan kekambuhan.6
MEKANISME TERJADINYA IKTERUS
Pembagian mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung
dalam 3 fase, yaitu prehepatik, intrahepatik, pascahepatik, masih relevan.
Pentahapan yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga pentahapan
metabolisme bilirubin menjadi 5 fase, yaitu fase pembentukan bilirubin, transpor
plasma, liver uptake, konjugasi, dan ekskresi bilier. Ikterus disebabkan oleh
gangguan pada salah satu dari 5 fase metabolisme bilirubin tersebut.3
Fase Prahepatik1,4
Prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut ikterus yang disebabkan oleh
hal-hal yang dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah merah)
a.
Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg
per kg berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel
darah merah yang matang, sedangkan sisanya 20-30% berasal dari protein heme
lainnya yang berada terutama dalam sumsum tulang dan hati. Peningkatan
hemolisis sel darah merah merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan
bilirubin.
b.
Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak
terkojugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat
melalui membran gromerolus, karenanya tidak muncul dalam air seni.
Fase Intrahepatik1,5

Intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada hati


yang mengganggu proses pembuangan bilirubin
c.
Liver uptake. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan
cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin.
d.
Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami
konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida / bilirubin
konjugasi / bilirubin direk. Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan bilirubin yang
tidak larut dalam air kecuali bila jenis bilirubin terikat sebagai kompleks dengan
molekul amfipatik seperti albumin. Karena albumin tidak terdapat dalam empedu,
bilirubin harus dikonversikan menjadi derivat yang larut dalam air sebelum
diekskresikan oleh sistem bilier. Proses ini terutama dilaksanakan oleh konjugasi
bilirubin pada asam glukuronat hingga terbentuk bilirubin glukuronid / bilirubin
terkonjugasi / bilirubin direk.
Fase Pascahepatik3,4
Pascahepatik yaitu menyangkut penyumbatan saluran empedu di luar hati
oleh batu empedu atau tumor
e.
Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus
bersama bahan lainnya. Di dalam usus, flora bakteri mereduksi bilirubin menjadi
sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang
memberi warna coklat. Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam
empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai mencapai air seni sebagai
urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan bilirubin konjugasi tetapi tidak bilirubin
tak terkonjugasi. Hal ini menerangkan warna air seni yang gelap khas pada
gangguan hepatoseluler atau kolestasis intrahepatik. Gangguan metabolisme
bilirubin dapat terjadi lewat salah satu dari keempat mekanisme ini: over
produksi, penurunan ambilan hepatik, penurunan konjugasi hepatik, penurunan
eksresi bilirubin ke dalam empedu (akibat disfungsi intrahepatik atau obstruksi
mekanik ekstrahepatik)3
A. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi/indirek
1. Over produksi3
Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah yang
sudah tua atau yang mengalami hemolisis akan meningkatkan produksi bilirubin.
Penghancuran eritrosit yang menimbulkan hiperbilirubinemia paling sering akibat
hemolisis
intravaskular
(kelainan
autoimun,
mikroangiopati
atau
hemoglobinopati) atau akibat resorbsi hematom yang besar. Ikterus yang timbul
sering disebut ikterus hemolitik.
Konjugasi dan transfer bilirubin berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin
tak terkonjugasi/indirek melampaui kemampuan sel hati. Akibatnya bilirubin
indirek meningkat dalam darah. Karena bilirubin indirek tidak larut dalam air
maka tidak dapat diekskresikan ke dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria.
Tetapi pembentukkan urobilinogen meningkat yang mengakibatkan peningkatan
ekskresi dalam urine feces (warna gelap). Beberapa penyebab ikterus hemolitik :
hemoglobin abnormal (cickle sel anemia), kelainan eritrosit (sferositosis
heriditer), antibodi serum (Rh. Inkompatibilitas transfusi), dan malaria tropika
berat.
2. Penurunan ambilan hepatik 5

E.

Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi dilakukan dengan memisahkannya


dari albumin dan berikatan dengan protein penerima. Beberapa obat-obatan
seperti asam flavaspidat, novobiosin dapat mempengaruhi uptake ini.
3. Penurunan konjugasi hepatik1,3
Terjadi gangguan konjugasi bilirubin sehingga terjadi peningkatan bilirubin
tak terkonjugasi. Hal ini disebabkan karena defisiensi enzim glukoronil
transferase. Terjadi pada : Sindroma Gilberth, Sindroma Crigler Najjar I,
Sindroma Crigler Najjar II.
B. Hiperbilirubinemia konjugasi/direk3,5
Hiperbilirubinemia konjugasi / direk dapat terjadi akibat penurunan eksresi
bilirubin ke dalam empedu.Gangguan ekskresi bilirubin dapat disebabkan oleh
kelainan intrahepatik dan ekstrahepatik, tergantung ekskresi bilirubin terkonjugasi
oleh hepatosit akan menimbulkan masuknya kembali bilirubin ke dalam sirkulasi
sistemik sehingga timbul hiperbilirubinemia. Kelainan hepatoseluler dapat
berkaitan dengan : Hepatitis, sirosis hepatis, alkohol, leptospirosis, kolestatis obat
(CPZ), zat yg.meracuni hati fosfor, klroform, obat anestesi dan tumor hati
multipel. Ikterus pada trimester terakhir kehamilan hepatitis virus, sindroma
Dubin Johnson dan Rotor, ikterus pasca bedah. Obstruksi saluran bilier
ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai
bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial.
Obstruksi total dapat disertai tinja yang akolik. Penyebab tersering obstruksi bilier
ekstrahepatik adalah : 5
Obstruksi sal.empedu didalam hepar
Sirosis hepatis, abses hati, hepatokolangitis, tumor maligna primer dan sekunder.
Obstruksi didalam lumen sal.empedu : batu empedu, askaris
Kelainan di dinding sal.empedu : atresia bawaan, striktur traumatik, tumor
saluran empedu.
Tekanan dari luar saluran empedu :
Tumor caput pancreas, tumor Ampula Vatery, pancreatitis, metastasis tumor di
lig.hepatoduodenale

Manifestasi Klinis Hepatitis B


Berdasarkan gejala klinis dan petunjuk serologis, manifestasi klinis hepatitis B
dibangi 2 yaitu :
1.
Hepatitis B akut yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap individu
yang sistem imunologinya matur sehingga berakhir dengan hilangnya virus
hepatitis B dari tubuh.
Hepatitis B akut terdiri atas 3 yaitu :
a. Hepatitis B akut yang khas
b. Hepatitis Fulminan
c. Hepatitis Subklinik 4
2.
Hepatitis B kronis yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap individu
dengan sistem imunologi kurang sempurna sehingga mekanisme, untuk
menghilangkan VHB tidak efektif dan terjadi koeksistensi dengan VHB.
a.
Hepatitis B akut yang khas
Bentuk hepatitis ini meliputi 95 % penderita dengan gambaran ikterus yang jelas.
Gejala klinis terdiri atas 3 fase yaitu :

1.

2.

3.

b.

c.

Fase Praikterik (prodromal)


Gejala non spesifik, permulaan penyakit tidak jelas, demam tinggi, anoreksia,
mual, nyeri didaerah hati disertai perubahan warna air kemih menjadi gelap.
Pemeriksaan laboratorium mulai tampak kelainan hati (kadar bilirubin serum,
SGOT dan SGPT, Fosfatose alkali, meningkat).
Fase lkterik
Gejala demam dan gastrointestinal tambah hebat disertai hepatomegali dan
splenomegali. timbulnya ikterus makin hebat dengan puncak pada minggu kedua.
setelah timbul ikterus, gejala menurun dan pemeriksaan laboratorium tes fungsi
hati abnormal.
Fase Penyembuhan
Fase ini ditandai dengan menurunnya kadarenzim aminotransferase.
pembesaran hati masih ada tetapi tidak terasa nyeri, pemeriksaan laboratorium
menjadi normal.5,6
Hepatitis Fulminan
Bentuk ini sekitar 1 % dengan gambaran sakit berat dan sebagian besar
mempunyai prognosa buruk dalam 7-10 hari, lima puluh persen akan berakhir
dengan kematian. Adakalanya penderita belum menunjukkan gejala ikterus yang
berat, tetapi pemeriksaan SGOT memberikan hasil yang tinggi pada pemeriksaan
fisik hati menjadi lebih kecil, kesadaran cepat menurun hingga koma, mual dan
muntah yang hebat disertai gelisah, dapat terjadi gagal ginjal akut dengan anuria
dan uremia.5
Hepatitis Kronik
Kira-kira 5-10% penderita hepatitis B akut akan mengalami Hepatitis B
kronik. Hepatitis ini terjadi jika setelah 6 bulan tidak menunjukkan perbaikan
yang mantap.6

Diagnosis 3,7
Anamnesis
Menanyakan tentang keluhan pasien sesuai dengan gejala-gejala yang khas
pada penyakit hati,menanyakan tentang riwayat kontak dengan darah orang yang
di curigai terinfeksi virus hepatitis dll. Anamnesis yang baik dan sistematika 80%
dapat mendiagnosis suatu penyakit.
b.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik biasa di ditemukan Sklera, dan kulit ikterik.
Penurunan bunyi usus besar, peningkatan lingkar abdomen, dan adanya
pergerakan cairan. Biasa juga yang khas terdapat nyeri tekan perut kanan. Bila
hepatitis kronik dengan komplikasi sirosis hepatis maka sering ditemukan hati
mengecil, spider nevi, eritema palmar dan edema pada kedua tungkai.
c.
Pemeriksaan penunjang
Evaluasi Lab
Biasanya meliputi beberapa pemeriksaan penapisan untuk fungsi hati.
Pemeriksaan
biokimiawi
bisa
mencakup:
Enzim-enzim
serum
termasuk SGOT/PT, alkaline phosphatase,HbsAg
F.
a.

Gambaran Laboratorium Yang Khas Pada Hepatitis VirusAkut Tipe B


HbsAg

HBsAg sudah positif dalam masa inkubasi, biasanya 2-6 minggu sebelum
timbulnya gejala-gejala. Pada Hepatitis B Akut HbsAg hilang dalam waktu
beberapa minggu atau bulan, kemudian timbul Anti-HBs yang akan tetap
terdeteksi seumur hidup. Pada sebagian kecil Anti-HBS kemudian bisa tidak
terdeteksi. Bila HBsAg tidak hilang,dan persisten lebih dari 6 bulan dinamakan
Hepatitis B kronik. Pada bayi yang lahir dari ibu pengidap Hepatitis B kronis,
HBsAg timbul antara usia 6 minggu sampai 6 bulan dan umumnya bersifat
persisten.
HBeAg
HBeAg terdeteksi dalam serum dalam waktu singkat setelah terdeteksi
HBsAg. HBeAg bersama dengan HBVDNA adalah tanda-tanda bahwa ada
replikasi HBV yang masih aktif. Bila infeksi mereda HBeAg hilang dari serum
dalam waktu singkat sebelum HbsAg menghilang
HBV DNA
Seperti HBeAG, HVDNA adalah petanda bahwa ada replikasi HBV yang
masih aktif. Ditemukan dan hilang dari serum kira-kira bersamaan dengan
HBeAg.
Setelah terinfeksi HBV, penanda virologik pertama yang terdeteksi dalam
serum selama 1-12 minggu, biasanya antara 8-12 minggu, adalah HbsAg.
Sirkulasi HbsAg mendahului peningkatan aktivitas serum aminotransferase dan
gejala-gejala klinis 2-6 minggu dan tetap terdeteksi selama fase ikterik atau fase
simtomatik dari hepatitis B akut dan sesudahnya. Setelah HbsAg tidak terdeteksi
1-2 bulan setelah onset dari jaundice dapat bertahan lebih dari 6 bulan.
Setelah HBsAg menghilang, antibody terhadap HBsAg (anti-HBS) mulai
terdeteksi dalam serum dan bertahan sampai waktu yang tidak terbatas. Karena
HbcAg intraseluler dan ketika di dalam serum, tersembunyi dalam mantel HbsAg,
jelas terlihat HbcAg tidak bersirkulasi dalam serum dan oleh karena itu, HBcAg
tidak terdeteksi dalam serum pasien dengan infeksi HBV.
Di lain pihak, antibodi terhadap HbcAg (anti-HBc) dengan cepat terlihat
dalam serum dimulai dalam 1-2 minggu pertama setelah timbulnya HbsAg dan
mendahului terdeteksinya kadar anti-HBs dalam beberapa minggu hingga
beberapa bulan. Karena terdapat variasi dalam waktu timbulnya anti-HBs setelah
infeksi HBV, kadang terdapat suatu tenggang waktu beberapa minggu atau lebih
yang memisahkan hilangnya HbsAg dalam timbulnya anti-HBs. Selama periode
gap atau window period ini anti-HBc dapat menjadi bukti serologik pada
infeksi HBV yang sedang berlangsung, dan darah yang mengandung anti-HBc
tanpa adanya HbsAg dan anti-HBs telah terlibat pada pada perkembangan
hepatitis B akibat transfusi. IgM Anti-Hbc terdeteksi kira-kira selama 6 bulan
pertama setelah infeksi akut, sedangkan IgG anti-HBc setelah 6 bulan. Oleh
karena itu, pasien yang menderita hepatitis B akut memiliki IgM anti-HBc dalam
serumnya.
Evaluasi radiographic

USG paling
baik
digunakan
sebagai
alat
penapis untukmemperlihatkan dilatasi percabangan-percabangan saluran empedu
dan memperlihatkan batu empedu. Alat ini juga dapat digunakan untuk
mendeteksi penyakit parenkim.
G. Penatalaksanaan
1. Non-Farmakologi
Pasien hepatitis B harus menghindar kontak seksual sampai antigenemia
hilang. menghindari semua hepatitisatotoksin, terutama alcohol. pengaturan diet
yang tepat dapat mempercepat pemulihan fungsi hati. Pemberian protein bermutu
tinggi dan vitamin dapat mempercepat pemulihan dari sel-sel hati yang
mengalami kerusakan seperti Aminoleban mengandung AARC / BCAA ( Branch
Chain Amino Acids) kadar tinggi serta diperkaya dengan asam amino penting lain
seperti arginin, histidin, vitamin, dan mineral. Nutrisi khusus hati ini akan
menjaga kecukupan kebutuhan protein dan mempertahankan kadar albumin darah
tanpa meningkatkan risiko terjadinya hiperamonia. Dosis Dewasa 500-1000
ml/dosis dengan infus drip intravena 25-40 tetes/menit
Namun perlu diingat bahwa pemberian protein harus disesuaikan dengan
toleransi tubuh penderita karena bila berlebih dapat menyebabkan kadar ammonia
dalam darah meningkat atau tidak seimbang sehingga timbullah berbagai
gangguan dalam tubuh. Oleh karenanya, diperlukan suatu pengaturan diet yang
tepat untuk penderita hepatitis agar diperoleh pemulihan yang maksimal.1
Tujuan pengaturan diet pada penderita penyakit hati adalah memberikan
makanan cukup untuk mempercepat perbaikan fungsi tanpa memperberat kerja
hati. Syaratnya adalah sebagai berikut :3,6
1.
Kalori tinggi, kandungan karbohidrat tinggi, lemak sedang dan protein
disesuaikan dengan keadaan penderita.
2.
Diet diberikan secara berangsur, disesuaikan dengan nafsu makan dan toleransi
pendeita.
3.
Cukup vitamin dan mineral.
4.
Rendah garam atau cairan dibatasi bila terjadi penimbunan garam/air.
5.
Mudah dicerna dan tidak merangsang.
6.
Bahan makanan yang mengandung gas dihindarkan
Macam - Macam Diet Untuk Penderita Penyakit Hati 4
a.
Diet 1
Untuk penderita sirosis hati yang berat dan hepatitis akut prekoma. Biasanya
diberikan makanan berupa cairan yang mengandung karbohidrat sederhana
misalnya sari buah, sirop, teh manis. Pemberian protein sebaiknya dihindarkan.
Bila terjadi penimbunan cairan atau sulit kencing maka pemberian cairan
maksimum 1 liter perhari. Diet ini sebaiknya diberikan lebih dari 3 hari.
b.
Diet 2
Diberikan bila keadan akut atau prekoma sudah dapat diatasi dan mulai timbul
nafsu makan. Diet berbentuk lunak atau dicincang, tergantung keadaan penderita.
Asupan protein dibatasi hingga 30 gram perhari, dan lemak diberikan dalam
bentuk yang mudah dicerna.
c.
Diet 3

Untuk penderita yang nafsunya cukup baik. Bentuk makanan lunak atau biasa,
tergantung keadaan penderita. Kandungan protein bisa sampai 1 g/kg berat badan,
lemak sedang dalam bentuk yang mudah dicerna.
d.
Diet 4
Untuk penderita yang nafsu makannya telah membaik, dapat menerima protein
dan tidak menunjukan sirosis aktif. Bentuk makanan lunak atau biasa, tergantung
kesanggupan penderita. Kalori, kandungan protein dan hidrat arang tinggi, lemak,
vitamin dan mineral cukup.
Kelompok Makanan Sehari-hari
Secara praktis, makanan sehari-hari dapat dibagi menjadi 3 kelompok :
1.
Kelompok kuning
Makanan yang digunakan sebagai sumber energi seperti nasi, kentang, minyak,
gula, dan kue. Asupan makanan dari kelompok ini harus ditetapkan jumlahnya
perhari.
2.

3.

1.
2.
3.
4.
5.
6.

2.

Kelompok hijau
Kelompok makanan yang harus dimakan sesuai kebutuhan. Contohnya sayursayuran dan buah-buahan. Karena mengandung serat, makanan ini bisa mencegah
sembelit. Makanan ini mengandung pula vitamin dan mineral.
Kelompok merah
Terdiri atas makanan banyak protein misalnya daging, telur, ikan dan lain-lain.
Konsumsi makanan kelompok ini harus berhati-hati karena bila dikonsumsi dalam
jumlah berlebih akan mengakibatkan peningkatan kadar ammonia dalam darah.
Pemilihan Bahan Makanan Bagi Penderita Hepatitis:4,5
Hindari makanan yang dapat menimbulkan gas, seperti ubi, singkong, kacang
merah, kol, sawi, lobak, nangka, durian dan lain-lain.
Hindari makanan yang telah diawetkan seperti sosis, ikan asin, kornet, dan lainlain.
Pilihlah bahan makanan yang kandungan lemaknya tidak banyak seperti daging
yang tidak berlemak, ikan segar, ayam tanpa kulit.
Sebaiknya pilih sayur-sayuran yang sedikit mengandung serat seperti bayam,
wortel, bit, labu siam, kacang panjang muda, buncis muda, daun kangkung dan
sebagainya.
Bumbu-bumbu jangan terlalu merangsang. Salam, laos, kunyit, bawang merah,
bawang putih dan ketumbar boleh dipakai tetapi jangan terlalu banyak.
Hindarkan makanan yang terlalu berlemak seperti daging babi, usus, babat, otak,
sum-sum dan santan kental.
Bagi penderita hepatitis, terapi diet sangat penting untuk dilakukan. Kandungan
gizi pada terapi diet penderita hepatitis berbeda-beda tergantung pada kondisi
penderita. Total kalori yang diberikan juga berbeda, tergantung besar badan dan
aktifitas penderita. Selain itu, pada umumnya kurang baik jika terlalu banyak
mengurangi lemak kecuali bila ada gejala kuning pada mata atau kulit. Lemak
yang mengandung banyak asam lemak esensial seperti minyak nabati atau minyak
ikan boleh diberikan seperti biasa.
Farmakologi

Pada pasien yang diidentifikasi sebagai kandidat yang sesuai untuk


mendapat terapi antivirus, tujuan terapi adalah untuk menekan replikasi HBV dan
mencegah progresi penyakit hati. Respon terapi antivirus dapat diklasifikasikan
menjadi biokimia (menormalkan ALT), virologis (pembersihan DNA HBV),
serologis (menghilangkan HBeAg, serokonversi HBeAg, menghilangkan
HBsAg), atau histologis (perbaikan histologihati). Penting untuk menilai respon
virologis tidak saja selama terapi antivirus namun juga setelah terapi dihentikan,
dan menilai apakah muncul resistensi pada pasien yang melanjutkan terapi untuk
jangka panjang.3
Interferon
IFN Merupakan sitokin yang memiliki efek antivirus, antiproliferatif, dan
imunomodulator. Pemberian IFN memerlukan frekuensi pemberian 3 kali
seminggu, sehingga digantikan oleh pegylated-IFN (PEG-IFN) karena PEG-IFN
memiliki waktu paruh yang lebih panjang daripada IFN, dan dapat diberikan 1
kali/minggu. Efek samping: kelelahan, demam, sakit kepala, mual, tidak nafsu
makan, kekakuan, mialgia, artralgia, nyeri muskuloskeletal, insomnia, depresi,4
Lamivudin
Lamivudin, adalah obat antivirus pertama yang dilabel untuk terapi infeksi
HBV kronis di USA untuk pasien dewasa, juga diindikasikan untuk anak-anak
yang terinfeksi HBV dan HIV. Lamivudin efektif menekan DNA HBV pada
pasien HBe-Ag-positif dan negative, dan dapat menstabilkan atau memperbaiki
fungsi hati pada pasien dengan penyakit hati tingkat lanjut temasuk sirosis
terdekompensasi. Manfaat lamivudin antara lain pemberian per oral yang nyaman,
relative murah disbanding obat lain, dan ditoleransi dengan sangat baik serta
aman. Namun, manfaat lamivudin sebagai monoterapi untuk infeksi HBV kronis
sangat dibatasi oleh tingginya angka resistensi. Resistensi lamivudin meningkat
seiring dengan durasi terapi dan dilaporkan terjadi pada sekitar 16-32%, 42% dan
60-70% pasien setelah 1, 2 dan 5 tahun terapi. Lamivudin masih berperan pada
beberapa pasien khusus, namun karena tingginya resistensi, lamivudin monoterapi
tidak lagi menjadi pilihan untuk pasien dengan infeksi HBV kronis yang
memerlukan terapi jangka panjang.4,6
Adefovir Dipivoxil
Adepovir dipivoxil, pro-drug adefovir, diindikasikan untuk terapi infeksi
HBV kronis pada pasien dewasa dan remaja usia paling sedikit 12 tahun. Adefovir
efektif menekan DNA HBV dan lebih baik dibandingkan dengan lamivudin,
resistensi terjadi lebih lambat selama terapi adefovir dipivoxil, angka resistensi
berkisar 0%, 3% dan 30% setelah penggunaan 48 minggu, 96 minggu dan 240
minggu. Adefovir dipivoxil biasanya dapat ditoleransi dengan baik, namun
nefrotoksisitas terjadi pada dosis tinggi (30 mg/hari) dan muncul ketika terdapat
penyakit ginjal yang mendasari atau selama terapi bersamaan den obat lain yang
juga nefrotoksik.7
Entecavir
Entecavir diindikasikan sebagai terapi HBV kronis pada dewasa dan remaja
usia minimum 16 tahun, termasuk pasien yang terbukti terinfeksi HBV resistenlamivudin. Manfaat utama entecavir adalah potensi yang sangat baik dan
resistensi yang jarang terjadi pada pasien yang belum pernah menggunakan
analog nukleotida/nukleosida sebelumnya.7

Pencegahan 6
Pencegahan dapat dilakukan dengan melalui tindakan Health Promotion baik
pada hospes maupun lingkungan dan perlindungan khusus terhadap penularan.
Health Promotion terhadap hos berupa pendidikan kesehatan, peningkatan
higiene perorangan, perbaikan gizi, perbaikan sistem transfusi darah dan
mengurangi kontak erat dengan bahan-bahan yang berpotensi menularkan virus
VHB.
Pencegahan virus hepatitis B melalui lingkungan, dilakukan melalui upaya:
meningkatkan perhatian terhadap kemungkinan penyebaran infeksi VHB melalui
tindakan melukai seperti tindik, akupuntur, perbaikan sarana kehidupan di kota
dan di desa serta pengawasan kesehatan makanan yang meliputi tempat penjualan
makanan dan juru masak serta pelayan rumah
Pada negara dengan prevalensi tinggi, immunisasi diberikan pada bayi yang
lahir dari ibu HBsAg positif, sedang pada negara yang prevalensi rendah
immunisasi diberikan pada orang yang mempunyai resiko besar tertular. Vaksin
hepatitis diberikan secara intra muskular sebanyak 3 kali dan memberikan
perlindungan selama 2 tahun.
Program pemberian sebagai berikut: Dewasa:Setiap kali diberikan 20 g IM yang
diberikan sebagai dosis awal, kemudian diulangi setelah 1 bulan dan berikutnya
setelah 6 bulan. Anak :Diberikan dengan dosis 10 g IM sebagai dosis awal ,
kemudian diulangi setelah 1 bulan dan berikutnya setelah 6 bulan.

H.
-

KOLESISTITIS KRONIK
1. 1. Definisi
Kolesistitis kronik adalah peradangan kandung empedu menahun Mungkin
merupakan kelanjutan dari kolesistitis akut berulang, tapi keadaan ini dapat
muncul tanpa riwayat serangan akut..1,4
2. Epidemiologi
Di dunia, faktor risiko utama untuk kolesistitis, memiliki peningkatan prevalensi
di kalangan orang-orang keturunan Skandinavia, Pima India, dan populasi
Hispanik, dan jarang terjadi di antara orang dari sub-Sahara Afrika dan Asia
Sejauh ini belum ada data epidemiologis penduduk di Indonesia, insidens
kolesistitis di Indonesia relative lebih rendah di banding negara-negara barat1.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita dan angka kejadiannya meningkat
pada
usia
diatas
40
tahun.1,4
3. Etiologi dan Patogenesis
Sama seperti kolesistitis akut, kolesistitis kronik juga berhubungan erat dengan
batu empedu. Namun batu empedu tampaknya tidak berperan langsung dalam
inisiasi peradangan atau nyeri. Supersaturasi empedu mempermudah terjadinya
peradangan kronik dan terutama pembentukan batu. Mikroorganisme (E. coli dan
enterokokus) dapat dibiak dari empedu pada 1/3 kasus.1,3.4
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis adalah stasis cairan
empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Factor resiko
lainnya adalah wanita, usia, obesitas, obat obatan hormonal, kehamilan.
Kolesistitis kronis dapat merupakan kelanjutan dari kolesisititis akut,

Diperkirakan 90 95% penyebab utama dari kolesistitis akut adalah kolelitiasis


(batu empedu) yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan
empedu. Sedangkan sebagian kecil kasus timbul tanpa adanya batu empedu
(akalkulus). Factor lain yang mempengaruhi adalah kepekatan cairan empedu,
kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding
empedu
diikuti
reaksi
inflamasi
dan
supurasi.1,3
5.
Manifestasi
Klinis1,4:
Kolesistitis akut
Keluhan khas adalah nyeri kolik di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri
tekan, ditemukan pula nyeri menjalar ke pundak dan scapula kanan yang dapat
berlangsung hingga 60 menit tanpa reda, disertai demam. Berat ringan gejala
tergantung tingkat inflamasi yang terjadi.
Pada pemeriksaan fisik teraba massa kandung empedu, nyeri tekan disertai tanda
tanda peritonitis local (Murphy sign). Ikterus ditemui pada 20 % kasus
umumnya derajat ringan (bilirubin <40 mg/dl). Konsentrasi bilirubin yang tinggi
menunjukkan adanya penyumbatan hampir atau total, sehingga perlu dipikirkan
adanya kolelitiasis1,3,4,5
.
Kolesistitis kronik 1,3,4,5
Diagnosis sulit ditegakkan karena gejala yang minimal dan tidak menonjol seperti
dyspepsia, rasa penuh di epigastrium, dan nausea khususnya setelah makan
makanan berlemak tinggi, yang kadang hilang setelah bersendawa. Riwayat
penyakit batu empedu di keluarga, ikterus dan kolik berulang, nyeri local didaerah
kandung empedu disertai Murphys sign (+) menyokong diagnosis.
6. Pemeriksaan Laboratorium4

Leukositosis dengan shift kiri dapat diamati pada kolesistitis.

tingkat Alanine aminotransferase (ALT) dan aspartate aminotransferase


(AST) digunakan untuk mengevaluasi keberadaan hepatitis dan dapat meningkat
pada kolesistitis atau dengan penyumbatan saluran empedu umum.
Bilirubin dan tes fosfatase alkali yang digunakan untuk mengevaluasi
bukti penyumbatan saluran umum.
Amilase / lipase tes digunakan untuk mengevaluasi kehadiran pankreatitis.
Amilase juga mungkin meningkat sedikit pada kolesistitis.
Tingkat alkali fosfatase tinggi diamati pada 25% pasien dengan
kolesistitis.
Urine digunakan untuk menyingkirkan pielonefritis dan batu ginjal.
Semua wanita usia subur harus memiliki pengujian kehamilan.
Perubahan morfologik pada kolesistitis kronis sangat bervariasi dan kadang
minimal. Keberadaan batu empedu dalam kandung empedu, bahkan tanpa adanya
peradangan akut, sudah bisa ditegakkan diagnosis. Kandung empedu mungkin
mengalami kontraksi, berukuran normal/membesar. Ulserasi mukosa jarang
terjadi; submukosa dan subserosa sering menebal akibat fibrosis. Tanpa adanya
kolesistitis akut, limfosit di dalam lumen adalah satu-satumya tanda peradangan
7.
Pemeriksaan
Penunjang1,4,5:
Kolesistografi oral, USG, kolangiografi dapat memperlihatkan kolelitiasis dan
afungsi
kandung
empedu. Endoscopic
Retrograde
Cholangio

Pancreatography (ERCP), bermanfaat dalam mendeteksi batu di kandung


empedu dan duktus koledous dengan sensitivitas 90%, spesivitas 98%, dan
akurasi 96%, tapi prosedur invasif ini dapat menimbulkan komplikasi pankreatitis
dan kolangitis yang dapat berakibat fatal.
Radiografi (tanpa kontras)
Batu empedu dapat digambarkan dalam 10-15% kasus. Penemuan ini hanya
menunjukkan cholelithiasis, dengan atau tanpa kolesistitis aktif.
Udara bebas di Subdiaphragmatic tidak bisa berasal dari saluran empedu, dan, jika
ada, ini menunjukkan proses lain penyakit. Gas yang terbatas pada dinding
kandung empedu atau lumen merupakan kolesistitis emphysematous , biasanya
karena bakteri pembentuk gas, seperti Escherichia coli dan spesies streptokokus
anaerob dan clostridial. Emphysematous kolesistitis erat kaitannya dengan
meningkatnya tingkat kematian dan terjadi paling sering pada pria dengan
diabetes dan dengan kolesistitis acalculous .
Ultrasonografi
Ultrasonografi memilik lebih dari 95% sensitivitas dan spesifisitas untuk
diagnosis batu empedu lebih dari 2 mm. Ultrasonography 90-95% sensitif bagi
kolesistitis dan 78-80% spesifik. Temuan ultrasonografi yang sugestif dari
kolesistitis akut adalah sebagai berikut: cairan pericholecystic, penebalan dinding
kandung empedu lebih besar dari 4 mm, dan sonografi tanda Murphy. Adanya
batu empedu juga membantu untuk mengkonfirmasikan diagnosis. Ultrasonografi
terbaik dilakukan segera setelah minimal 8 jam karena batu empedu yang
divisualisasikan paling baik dalam kandung empedu yang penuh .
8.
Penatalaksanaan1
1. Pengobatan umum: istirahat total, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan,
obat penghilang rasa nyeri (petidin) dan anti spasmodik. Antibiotic untuk
mencegah komplikasi peritonitis, kolangitis, dan septisemia, seperti golongan
ampisilin, sefalosporin dan metronidazol mampu mematikan kuman yang umum
pada kolesistitis akut (E. coli, S. faecalis, Klebsiella)
1. Kolesistektomi, masih diperdebatkan. Ahli bedah pro operasi dini
menyatakan gangren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat
dihindarkan; dan menekan biaya perawatan RS. Ahli bedah kontra
operasi dini menyatakan akan terjadi penyebaran infeksi ke rongga
peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena proses inflamasi akut di
sekitar duktus mengaburkan anatomi
2. Saat ini banyak di gunakan kolesistektomi laparoskopik. Walau invasif tapi
bisa mengurangi rasa nyeri pasca operasi, menurunkan angka kematian,
secara kosmetik lebih baik, menurunkan biaya perawatan RS dan
mempercepat aktivitas pasien..
9. Diagnosis Banding1,4
Intoleransi lemak, ulkus peptic, kolon spastic, karsinoma kolon kanan, pancreatitis
kronik, hepatitis kronik, kolelitiasis. Penyakit ini perlu dipertimbangkan sebelum
melakukan kolesistektomi
10. Komplikasi1,4
Kolesistitis kronik dapat menyebabkan kolangitis, pankreatitis, hepatitis akibat
penyebaran infeksinya.
11. Prognosis1,4

Tindakan bedah akut pada pasien >75 tahun mempunyai prognosis buruk, bisa
terjadi komplikasi pasca bedah. Prognosis tepat dari kolesistitis kronis belum
dapat diperkirakan (dubia)
DAFTAR PUSTAKA
1. Pridadi. Kolesistitis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Ed.IV. Hal 477- 478. Jakarta : FKUI. 2007 . Hal 477 478

Anda mungkin juga menyukai