Anda di halaman 1dari 25

BAGIAN RADIOLOGI

LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN

SEPTEMBER 2015

UNIVERSITAS HASANUDDIN

OSTEOARTHRITIS

Oleh:
Fauziah
Leonard Tatukude
Waazalimah binti Wahid

Pembimbing Residen:
dr. Hantoro
Pembimbing Dosen:
dr. Luthfy Attamimi, Sp.Rad

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
CONGESTIVE HEART FAILURE

I.

KASUS
Nama pasien/umur
: Jumali L./52 tahun
No. Rekam Medik
: 633813
Alamat
: Jl. Poros Pinrang Sidrap
Ruang perawatan
: Lontara 1 bawah belakang, kamar 2 (II) bed 3
Tanggal MRS
: 23 Oktober 2013
A. Anamnesis
Keluhan utama:
Riwayat sesak napas
Anamnesis terpimpin:
Dialami sejak + 5 hari SMRS, hilang-timbul, terutama setelah
beraktivitas, tidak dipengaruhi posisi, riwayat sering sesak napas pada
malam hari (+). Demam (-). Batuk (-), nyeri dada (-). Mual (-), muntah

(-).
Bab : biasa, kuning
Bak : lancar, kuning
Riwayat penyakit sebelumnya
Riwayat penyakit yang sama sebelumnya (-)
Riwayat penyakit asma di keluarga (-)
Riwayat batuk lama (-)
Riwayat penyakit darah tinggi (+) + sejak 1 tahun terakhir, tidak
terkontrol
Riwayat penyakit gula dan penyakit jantung disangkal.
Riwayat minum minuman beralkohol (-), riwayat merokok (+) + sejak
20 tahun yang lalu, 3 bungkus perhari.

B.

Pemeriksaan fisis
Keadaan umum
: Sakit sedang
Kesadaran
: Komposmentis (GCS 15)
Tanda Vital
Tekanan darah

: 150/110 mmHg

Pernapasan

: 24 x/menit

Nadi

: 96 x/menit

Suhu

: 36.6 0C

Mata
Kelopak mata

: Edema (-)

Konjungtiva

: Anemis (-)

Sklera

: Ikterus (-)

Kornea

: Jernih

Pupil

: Bulat, isokor

THT
Mulut

: Dalam batas normal

Bibir

: Pucat (-), kering (-)

Lidah

: Kotor (-), hiperemis (-), kandidiasis oral (-)

Tonsil

: T1 T1, hiperemis (-)

Faring

: Hiperemis (-)

Leher
KGB

: Tidak ada pembesaran

DVS

: R+1 cmH2O

Dada
o Inspeksi
Bentuk

: Simetris kiri = kanan

Sela iga

: Dalam batas normal

Lain-lain

: (-)

Paru-paru
o Palpasi
Nyeri tekan

: (-)

Massa tumor

: (-)

o Perkusi
Paru kiri

: Sonor

Paru kanan

: Sonor

o Auskultasi

Bunyi pernapasan

: Vesikuler

Bunyi tambahan

: Rh -/- , Wh -/-

Jantung
Inspeksi

: Iktus kordis tidak tampak

Palpasi

: Iktus kordis tidak teraba

Perkusi

: Pekak

Auskultasi

: Bunyi jantung I/II murni regular


: Bunyi tambahan (-)

Abdomen
Inspeksi

: Datar, ikut gerak napas

Auskultasi

: Peristaltik (+) kesan normal

Palpasi

: Nyeri tekan (-), Massa tumor (-)


: Hepar-lien tidak teraba

Perkusi

: Timpani

Ekstremitas
Edema

: -/-

Deformitas

: -/-

Tanda perdarahan : -/C. Laboratorium

Jenis Pemeriksaan

DR
22/10/13

Elektrolit
22/10/13

Kimia
Darah
22/10/13

Profil
Lipid
22/10/13
Enzim
Jantung
22/10/13

WBC
RBC
HGB
HCT
MCV
MCH
MCHC
PLT
RDW
MPV
NEU
LYM
MON
EOS
BAS
Na+
K+
ClSGOT
SGPT
Ureum
Kreatinin
GDS
Albumin
Kolesterol total
HDL
LDL
Trigliserida
CK
CK-MB
Troponin T

Hasil

Rujukan

143
4.1
107
27 U/L
20 U/L
48 mg/dl
1.3 mg/dl
103
2.9
225
26
163
99
57
14
0.84

4 - 10 x 103/ul
4 - 6 x 106/ul
12 - 16 g/dl
37 - 48 %
76 - 92 pl
22 - 31 pg
32 - 36 g/dl
150 - 400 x 103/ul
11.0 - 16.0 %
6.0-11.0 um3
0.0 99.9 %
0.0 99.9 %
0.0 99.9 %
0.0 99.9 %
0.0 99.9 %
135 145 mmol/l
3.5 5.1 mmol/l
97 111 mmol/l
< 38 U/L
< 41 U/L
10 50 mg/dl
< 1.3 mg/dl
< 140 mg/dl
3.5 5 gr/dl
< 200 mg/dl
L (>55), P (>65) mg/dl
< 130 mg/dl
< 200 mg/dl
L (<190), P (<167) U/L
< 25 U/L
< 0.05

D. Radiologi

Foto thoraks AP:


Tampak dilatasi pembuluh darah suprahilar disertai perkabutan pada
paracardial kedua paru
Cor membesar dengan CTI: 0.58, apex terangkat (RVE), aorta dilatasi
Kedua sinus dan diafragma baik
Tulang-tulang intak
Kesan
Cardiomegaly dengan edema paru
Dilatatio aortae
E. Diagnosis
Congestive Heart Failure
F. Terapi
Furosemid 40 mg 1-0-0
Aspilet 80 mg 1x1
Clopidogrel 75 mg 1x1
Farsorbid 10 mg 3x1
Captopril 25 mg 2x1

II.

DISKUSI
A. Pendahuluan
Gagal jantung kongestif (congestive heart failure) adalah suatu sindrom
klinis akibat penyakit jantung, ditandai dengan kesulitan bernapas serta retensi
natrium dan air yang abnormal, yang sering menyebabkan edema. Kongesti ini
dapat terjadi dalam paru-paru atau sirkulasi perifer atau keduanya, bergantung

pada apakah gagal jantungnya pada sisi kanan atau menyeluruh. Faktor risiko
terpenting untuk CHF adalah penyakit arteri koroner dengan penyakit jantung
iskemik. Hipertensi adalah faktor risiko terpenting kedua untuk CHF. Faktor
risiko lain terdiri dari kardiomiopati, aritmia, gagal ginjal, diabetes, dan penyakit
katup jantung. Gagal jantung adalah komplikasi tersering dari segala jenis
penyakit

jantung

kongenital

maupun

didapat.

Mekanisme

yang

dapat

menyebabkan gagal jantung meliputi keadaan-keadaan yang (1) meningkatkan


beban awal, (2) meningkatkan beban akhir, atau (3) menurunkan kontraktilitas
miokardium.1,2,3,4
Gagal jantung dapat diklasifikasikan menurut beberapa faktor.
The New York Heart Association (NYHA) classification for heart
failure membaginya menjadi 4 kelas, berdasarkan hubungannya dengan
gejala dan jumlah atau usaha yang dibutuhkan untuk menimbulkan
gejala, sebagai berikut:
1.

Kelas I: Penderita dengan gagal jantung tanpa adanya pembatasan aktivitas


fisik, dimana aktivitas biasa tidak menimbulkan rasa lelah dan sesak napas.

2.

Kelas II: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya


pembatasan aktivitas fisik yang ringan, merasa lega jika beristirahat.

3.

Kelas III: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya


pembatasan aktivitas fisik yang ringan, kegiatan fisik yang lebih ringan dari
kegiatan biasa sudah memberi gejala lelah, sesak napas.

4.

Kelas IV: Penderita dengan gagal jantung yang tidak sanggup melakukan
kegiatan apapun tanpa keluhan, gejala sesak napas tetap ada walaupun saat
beristirahat.4
B. Resume Klinis
Laki-laki 52 tahun MRS dengan keluhan riwayat dispneu + 5 hari SMRS,

hilang- timbul, baru pertama kali dialami. Dispneu tidak dipengaruhi cuaca.
Dyspnea on exertion (+), orthopneu (-), paroxysmal nocturnal dyspnea (+). Batuk
(-), nyeri dada (-). Nausea (-), vomitus (-). Riwayat penyakit asma di keluarga (-),
riwayat batuk lama (-). Riwayat hipertensi (+) + sejak 1 tahun terakhir, tidak
terkontrol. Riwayat merokok (+) + sejak 20 tahun yang lalu, 3 bungkus perhari.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan pasien sakit sedang, composmentis, dengan
tanda vital: tekanan darah 150/110 mmHg, frekuensi nadi 96 x/menit, frekuensi
pernapasan 24 x/menit, dan suhu tubuh axilla 36.6 0C. DVS R+1 cmH2O.
Pemeriksaan fisik lainnnya dalam batas normal. Pemeriksaan laboratorium
menunjukkan adanya hipoalbuminemia dan dislipidemia. Pada pemeriksaan
radiologi didapatkan kesan kardiomegali dengan edema paru dan juga dilatasi
aorta.

C. Radiologi
Penilaian Kelayakan Foto Thoraks
Sebelum mulai membaca foto kita harus menentukan jenis foto apa dari
foto yang akan dibaca. Jika melihat hasil foto di atas, maka diketahui bahwa foto
di atas adalah foto thoraks. Hal pertama yang perlu dinilai dari foto thoraks diatas

adalah kelayakan foto. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menilai
kelayakan suatu foto thoraks. Yang pertama adalah memastikan identitas pasien
pada foto. Foto yang hendak dibaca, harus memiliki label identitas pasien. Hal ini
sangat penting karena sering terjadi kesalahan yang berhubungan dengan labeling
identitas pasien, baik nama, umur, maupun nomor rekam medik. Selain identitas
pasien, marker foto juga harus terdapat pada foto. Foto yang tidak memiliki
identitas pasien atau marker tidak layak untuk dibaca. Foto thoraks di atas, telah
memiliki label identitas pasien dan juga marker, maka dapat dikatakan bahwa foto
thoraks diatas telah layak baca.5,6

Penilaian Kualitas Foto Thoraks


Jika foto thoraks telah layak untuk dibaca, maka hal selanjutnya yang
harus dilakukan adalah menilai kualitas foto thoraks yang akan dibaca. Hal
pertama yang harus dinilai adalah cukup tidaknya inspirasi pasien pada foto.
Inspirasi dinilai dari kosta depan atau belakang yang terlihat atau tidak tertutup
oleh diafragma. Dikatakan insiprasi baik jika kosta posterior dekstra yang terlihat
minimal sampai kosta X atau kosta anterior VI, dengan catatan diafragma dekstra
lebih tinggi dari pada diafragma sinistra. Jika kosta yang terlihat kurang dari X
untuk kosta posterior dan kurang dari VI untuk kosta anterior, maka dikatakan
foto thoraks kurang inspirasi.6
Hal kedua yang harus diperhatikan dalam menilai kelayakan foto thoraks
adalah simetris tidaknya posisi pasien. Pasien harus diposisikan dengan tepat saat
proses foto. Pasien yang mengalami rotasi, akan memberikan gambaran yang

berbeda pada film. Untuk menilai ada atau tidaknya rotasi, dilakukan pengukuran
jarak antara prosesus spinosus ke ujung klavikula kanan dan kiri. Jika jaraknya
berbeda, maka kemungkinan pasien mengalami rotasi.5,6

Gambar 1. Tampak inspirasi cukup dari diafragma dekstra yang


menutupi kosta X posterior. Tampak juga bahwa jarak midline ke
klavikula sinistra dan dekstra sama. Hal ini menandakan bahwa
posisi pasien saat foto diambil adalah simetris.6

10

Yang ketiga yang harus dinilai dari suatu foto thoraks adalah cakupannya.
Foto thoraks yang baik, haruslah mencakup seluruh lapangan paru dan cavum
thoraks. Jika ada sebagian dari foto thoraks yang tidak terlihat, maka kelainan
yang seharusnya ditemukan bisa jadi tidak ditemukan. Contohnya jika sinus
kostofrenikus tidak terlihat dengan baik, maka suatu efusi pleura mungkin tidak
dapat terlihat.6
Hal terakhir yang harus diperhatikan dalam menilai kualitas foto thoraks
adalah penetrasi dan paparan sinar X-Ray. Penetrasi ditentukan oleh pengaturan
voltase mesin foto dalam satuan kV (kiloVolts). Penetrasi dikatakan baik jika
korpus vertebra dapat terlihat melalui jantung, tidak terlalu putih ataupun gelap.
Jika terlalu putih, itu artinya photon yang ditembakkan tidak cukup, sebaliknya
jika terlalu gelap artinya photon yang ditembakkan terlalu banyak. Sedangkan
paparan ditentukan dari seberapa banyak jumlah sinar yang sampai di film atau
detektor, tergantung dari seberapa besar mAs (miliAmpersecond) yang diatur.
Paparan dikatakan baik jika daerah paparan yang murni udara atau udara bebas
terlihat hitam sekali (hiperradiolusen) dan daerah paparan yang tidak murni udara
terlihat lebih abu-abu atau lebih terang (radiolusen) seperti pada paru-paru. Jika
paparan kurang, maka film akan terlihat lebih putih dan akan susah menentukan
ada atau tidak kelainan di paru-paru. Jika paparan berlebih, maka film akan
terlihat lebih gelap dan penanda paru menjadi tidak jelas.5,6
Pada foto thoraks diatas, dapat dilihat bahwa inspirasi baik, terlihat dari
diafragma kiri yang menutupi kosta hingga X. Selain itu, foto thoraks di atas juga
simetris, dapat dilihat dari jarak prosesus spinosus ke klavikula kiri dan kanan

11

sama. Foto mencakup seluruh cavum thoraks dengan penetrasi dan paparan yang
baik. Maka dapat dikatakan kualitas foto thoraks ini baik.5,6

Menentukan posisi PA atau AP


Langkah selanjutnya setelah menilai kualitas film adalah menilai posisi
foto, apakah foto ini dalam posisi PA atau AP. Foto thoraks yang paling sering
dibuat adalah foto thoraks posisi PA dimana film berada di anterior dan sinar
datang dari posterior. Dengan posisi ini, jantung dan organ mediastinum yang
terletak di anterior berada lebih dekat ke film, sehingga magnifikasi yang terjadi
akan sangat minimal dan batas atau kontur organ-organ anterior akan jadi semakin
jelas.6,7
Pada situasi tertentu diamana pasien terlalu sakit untuk berdiri atau duduk
untuk difoto dalam posisi PA, maka foto diambil dalam posisi AP. Pada posisi ini,
film ditempatkan di bawah pasien dan sinar ditembakkan dari atas pasien. Ini
berarti, jantung dan organ mediastinum lainnya akan terletak lebih jauh dari film
dibandingkan pada posisi PA, sehingga jika dibandingkan dengan foto posisi PA,
ukuran organ-organ anterior akan lebih besar dan konturnya menjadi kurang
jelas.6,7
Suatu foto thoraks biasanya sudah disertai dengan satu label posisi, namun
jika fotografer tidak menyertakan label posisi, maka pemeriksa dapat menilai
sendiri apakah foto thoraks ini posisi PA atau AP. Selain perbedaan yang sudah
disebutkan di atas tadi, bahwa ukuran organ-oragan terlihat lebih besar dan kontur
kurang jelas pada AP, posisi skapula juga dapat digunakan untuk mebedakan

12

posisi PA atau AP. Pada posisi PA, pasien biasanya diposisikan memeluk detektor
atau berdiri dengan tangan dipinggang, hal ini dilakukan dengan harapan skapula
tidak akan menghalangi photon yang ditembakkan. Maka dari itu, jika ujung
skalpula tidak terlihat atau terlihat sedikit dan tertarik ke arah lateral, maka foto
thoraks tersebut adalah foto thoraks PA, sedangkan jika skapula terlihat lebih ke
medial, maka foto thoraks tersebut adalah foto AP. Pada foto thoraks di atas
terlihat skapula lebih mengarah ke medial, maka dari itu, foto ini adalah foto
thoraks posisi AP.6,8

Gambar 2. Tampak skapula lebih mengarah ke medial. Hal ini


menandakan bahwa foto thoraks posisi AP.6

13

Pembacaan Foto Thoraks


Setelah menentukan posisi foto thoraks, langkah selanjutnya yang
dilakukan adalah melakukan pembacaan foto. Dalam membaca foto thoraks,
penilaian dilakukan dari atas ke bawah. Yang pertama dinilai dari adalah trakea.
Yang dinilai dari trakea adalah posisi anatomisnya. Normalnya, trakea bagian atas
terletak tepat di midline, namun posisi anatomi ini dapat berubah, baik akibat
dorongan atau tarikan dari suatu kondisi patologis. Dari foto diatas, dapat dilihat
bahwa trakea terletak pada posisi anatomisnya.6,9
Setelah menilai trakea, yang selanjutnya harus dinilai adalah hilus. Pada
97% pasien, letak hilus kiri lebih tinggi dibandingkan letak hilus kanan, dengan
perbedaan + 1cm. Hal ini disebabkan oleh karena letak arteri pulmonalis sinistra
lebih superior dibandingkan arteri pulmonalis dekstra. Corakan bronkovaskular
normalnya hanya terlihat pada 2/3 lapangan paru medial, jika corakan
bronkovaskular terlihat hingga 1/3 lateral, maka disebut corakan bronkovaskular
meningkat. Corakan bronkovaskular yang meningkat paling sering terlihat pada
penyakit bronkitis kronik. Pada foto diatas, terlihat dilatasi pembuluh darah
suprahilar disertai perkabutan pada parahilar kedua paru. Hal ini bisa terjadi
akibat peningkatan tekanan arteri pulmonalis, atau peningkatan tekanan vena
pulmonalis, atau keduanya. Temuan ini menunjukkan adanya tanda-tanda edema
paru.6,9,10
Setelah menilai hilus, hal berikutnya yang harus dinilai adalah paru-paru.
Harus dinilai apakah ada proses spesifik yang terjadi pada paru. Proses spesifik
yang dimaksud bisa berarti suatu bercak, perselubungan baik homogen maupun

14

inhomogen,

garis

fibrosis

atau

bintik

kalsifikasi

atau

densitas

yang

hiperradiolusen pada paru, baik vaskular maupun avaskular. Pada foto diatas
tampak perselubungan suprahilar dan paracardial yang menandakan adanya tandatanda edema paru.6

Gambar 3. Tampak dilatasi pada suprahilar dan paracardial. Hal


ini menunjukkan tanda-tanda suatu edema paru.6

15

Setelah menilai paru-paru, selanjutnya adalah menilai jantung. Untuk


menilai pembesaran jantung, dapat dilakukan pengukuran cardio-thoracic index
(CTI). Untuk menghitung CTI, panjang jantung yang paling panjang sebelah
kanan (A) ditambah panjang jantung paling panjang sebelah kiri (B), dibagi
dengan panjang diafragma (C). Normalnya, CTI berkisar antara 0.48-0.50. Jika
CTI > 0.50, maka jantung mengalami pembesaran. Jika terdapat kardiomegali dan
apex jantung tertanam, maka yang membesar adalah ventrikel kiri, sedangkan jika
apex jantung terangkat, maka yang membesar adalah ventrikel kanan.10

A+B
CTI

Pada foto diatas didapatkan nilai A = 3.2 cm, B = 10 cm, C = 22.6 cm. Dengan
menggunakan rumus diatas, maka didapatkan CTI: 0.58. Hal ini menandakan
adanya suatu pembesaran jantung (kardiomegaly). Pada foto juga didapatkan apex
terangkat, dimana ini menandakan terjadinya pembesaran pada jantung,
khususnya pada ventrikel kanan.10

16

Gambar 4. Cara mengukur CTI. Pada foto thoraks ini didapatkan


CTI 0.58, dimana hal ini menunjukkan adanya kardiomegali.10

Selanjutnya yang harus dinilai adalah aorta. Ada tiga hal yang harus
diperhatikan pada aorta, yaitu panjang, kaliber, dan ada atau tidaknya kalsifikasi
pada aorta. Pengukuran panjang aorta dilakukan dengan cara mengukur jarang
antara batas teratas arkus aorta dengan klavikula, normalnya jaraknya > 1 cm. Jika
jarak antara arkus aorta dengan klavikula < 1 cm, maka disebut aorta mengalami

17

elongasi. Pengukuran kaliber aorta dilakukan dengan cara mengukur dari midline
sampai pinggir arkus aorta (ke arah lateral sinistra), normalnya kaliber aorta < 4
cm. Jika kaliber yang didapat > 4 cm, maka aorta disebut mengalami dilatasi.
Pada foto diatas didapatkan bahwa aorta mengalami dilatasi tetapi tidak
elongasi.10

Gambar 5. Dari pengukuran didapatkan kaliber aorta > 4 cm, dan


panjang aorta < 1 cm, maka dikatakan bahwa aorta mengalami
dilatasi, tapi tidak elongasi.10

18

Yang selanjutnya harus dinilai adalah diafragma. Pada keadaan normal,


diafragma kanan lebih tinggi daripada diafragma kanan, dengan perbedaannya
antara 1.5-2 cm. Hal ini disebabkan karena dibawah diafragma kanan terdapat
hepar. Selain ketinggian diafragma, sudut kostofrenikus juga harus dinilai. Pada
keadaan normal, sinus kostofrenikus berbentuk lancip. Jika sinus kostofrenikus
menumpul, maka itu menandakan ada sesuatu yang mengisi sinus, paling sering
adalah suatu efusi pleura. Pada foto diatas, tidak terlihat adanya abnormalitas pada
diafragma atau sinus kostofrenikus, baik kiri maupun kanan.6
Yang terakhir harus dinilai adalah tulang dan jaringan lunak. Bagian ini
sering terlupakan, sebab pemeriksa biasanya hanya fokus terhadap organ-organ
seperti paru-paru atau jantung. Yang harus diperhatikan adalah apakah tulangtulang intak dan ada tidaknya kelainan berupa fraktur atau dilokasi. Pada foto
diatas terlihat bahwa tulang-tulang intak.6
Deskripsi Hasil Pemeriksaan
Berdasarkan uraian diatas, didapatkan beberapa gambaran dari foto
thoraks pasien, antara lain:
Tampak dilatasi pembuluh darah suprahilar disertai perkabutan pada
paracardial kedua paru
Cor membesar dengan CTI: 0.58, apex terangkat (RVE), aorta dilatasi
Kedua sinus dan diafragma baik
Tulang-tulang intak

Kesan yang didapatkan berdasarkan hasil baca di atas adalah:


Cardiomegaly dengan edema paru
Dilatatio aortae

19

Kardiomegali akibat kontraksi terus menerus otot jantung


Pompa yang tidak adekuat dari jantung merupakan dasar terjadinya gagal
jantung. Pompa yang lemah tidak dapat memenuhi keperluan terus-menerus dari
tubuh akan oksigen dan zat nutrisi. Sebagai reaksi dari hal tersebut awalnya
dinding jantung merentang untuk menahan lebih banyak darah karena hal ini,
maka otot jantung menebal untuk memompa lebih kuat. Sementara itu ginjal
menyebabkan tubuh menahan cairan dan sodium. Ini menambah jumlah darah
yang beredar melalui jantung dan pembuluh darah. Hal ini menyebabkan kenaikan
yang progresif pada tekanan pengisian sistemik rata-rata dimana tekanan atrium
kanan meningkat sampai akhirnya jantung mengalami peregangan yang
berlebihan atau menjadi sangat edema sehingga tidak mampu memompa darah
yang adekuat. Tubuh kemudian mencoba untuk berkompensasi dengan
melepaskan hormon yang membuat jantung bekerja lebih keras. Dengan
berlalunya waktu, mekanisme pengganti ini gagal dan gejala-gejala gagal jantung
mulai timbul. Seperti karet yang direntang berlebihan, maka kemampuan jantung
untuk merentang dan mengerut kembali akan berkurang. Hal inilah yang akan
menyebabkan terjadinya kardiomegaly.11

Edema paru & dilatasi aorta akibat tekanan intravaskular yang meningkat
Gangguan kontraktilitas miokardium ventrikel kiri yang menurun pada gagal
jantung akan mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel, sehingga volume
residu ventrikel menjadi meningkat akibat berkurangnya stroke volume yang

20

diejeksikan oleh ventrikel kiri tersebut. Dengan meningkatnya EDV (End


Diastolic Volume), maka terjadi pula peningkatan LVEDP (Left Ventricle End
Diastolic Pressure), yang mana derajat peningkatannya bergantung pada
kelenturan ventrikel. Dengan mekanisme kompensasi ini, strok volume akan
bertambah, dalam waktu yang lama, hal ini dapat menyebabkan dilatasi dari aorta.
Oleh karena selama diastole atrium dan ventrikel berhubungan langsung, maka
peningkatan LVEDP akan meningkatkan LAP (Left Atrium Pressure), sehingga
tekanan kapiler dan vena paru-paru juga akan meningkat. Jika tekanan hidrostatik
di kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik vaskular, maka akan terjadi
transudasi cairan ke interstitial dan bila cairan tersebut merembes ke dalam
alveoli, terjadilah edema paru. Ditemukannya edema paru disertai dengan
kardiomegali menunjang untuk diagnosis suatu gagal jantung kongestif.11
D. Differential Diagnosis
1. Stenosis Mitral
Penyakit rheuma atau infeksi oleh coccus, menimbulkan jaringan parut
yang dapat menyempitkan orifisium katup mitral. Penyempitan yang berat dengan
diameter 1 cm atau kurang, menyebabkan hambatan bagi darah yang mengalir
dari paru melalui vena-vena pulmonalis. Vena-vena ini melebar karena bertambah
isinya dan tampak pada foto sebagai pembuluh darah lebar dan pendek di atas
hilus dengan arah ke atas. Selain itu, tekanan atrium kiri (hingga sering
menyebabkan pembesaran atrium kiri) dan vena pulmonalis juga bertambah
tinggi, sehingga menyebabkan pekerjaan ventrikel kanan menjadi bertambah. Otot
ventrikel kanan mengalami hipertrofi diikuti oleh dilatasi ventrikel kanan yang
nantinya akan mempengaruhi fungsi katup trikuspid, sehingga dapat juga terjadi

21

insufisiensi trikuspid. Dilatasi ventrikel kanan ini akan nampak pada foto jantung
pada posisi PA. Ventrikel kiri biasanya tidak mengalami banyak perubahan.
Pembuluh darah paru bertambah, terutama di daerah suprahilar kanan.9,10
2. Insufisiensi Mitral
Bila pada stenosis mitral katup menyempit, tetapi masih dapat menutup
dengan baik, maka pada insufisiensi mitral, katup tidak dapat menutup dengan
sempurna. Hal ini disebabkan karena adanya gangguan pada otot papillaris,
prolaps katup, atau karena cincin katup melebar. Bentuk jantung pada insifisiensi
mitral ini hampir sama dengan stenosis mitral dan masih memiliki bentuk
konfigurasi mitral. Pada insufisiensi mitral, ventrikel kiri terlihat membesar,
sedang pada stenosis mitral, ventrikel ini normal. Akibat regurgitasi darah pada
insufisiensi mitral ini mengakibatkan beban kerja jantung kiri meningkat,
sehingga terjadilah pembesaran ventrikel dan atrium kiri. Pembesaran atrium kiri
ini akan menghambat masuknya darah dari paru melalui vena-vena pulmonalis.
Vena-vena pulmonalis terbendung, melebar dan dapat menyebabkan terjadinya
edema paru. 10

22

Gambar 6 & 7. Mitral Stenosis dan Mitral Regurgitasi. Gambar 6 menunjukkan


menunjukkan pembesaran atrium kiri akibat dari suatu mitral stenosis. Gambar 7
menunjukkan mitral regurgitasi denga tanda-tanda pembesaran atrium kiri tanpa
adanya hipertensi vena pulmonalis.9
3. Stenosis Pulmonal
Stenosis

pulmonal

untuk

sebagian

besar

merupakan

kelainan

kongenital, sebagian lainnya disebabkan oleh penyempitan katup akibat radang


rheuma. Lubang katup menjadi kecil karena tidak berkembang. Tekanan yang
meningkat pada ventrikel kanan menyebabkan bertambahnya beban kerja
ventrikel kanan. Lama kelamaan, hal ini akan menyebabkan terjadinya
pembesaran ventrikel kanan. Aliran darah yang kecil dan keras dari ventrikel
kanan menyebabkan arus yang bergolak di belakang katup dan menekan dinding,
menyebabkan dilatasi pada bagian belakang katup yang disebut dilatasi
pascastenotik. Pada foto, dilatasi ini nampak sebagai penonjolan pada arteri
pulmonalis.10

Gambar 8. Tampak dilatasi pada arteri pulmonalis


sinistra pada stenosis pulmonal.9

23

E. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
radiologi, dapat disimpulkan bahwa diagnosis pasien ini adalah congestive heart
failure. Gagal jantung kongestif (congestive heart failure) adalah suatu sindrom
klinis akibat penyakit jantung, ditandai dengan kesulitan bernapas serta retensi
natrium dan air yang abnormal, yang sering menyebabkan edema. Hal ini
didukung dengan adanya temuan radiologi berupa kardiomegali disertai edema
paru, dimana hipertensi yang tidak terkontrol, riwayat merokok selama 20 tahun,
serta hasil laboratorium yang menunjukkan tanda-tanda dislipidemia merupakan
faktor risiko pada pasien ini.11
DAFTAR PUSTAKA
1. Hurianti H, et al, eds. Kamus kedokteran Dorland edisi 29. Jakarta : EGC.
2002. p. 801.
2. Figueroa

MS,

Peters

JI.

Congestive

Heart

Failure:

Diagnosis,

Pathophysiology, Therapy and Implications for Respiratory Care.


RCJournal2006;51(4):403-11.
3. Davis RC, Hobbs FDR, Lip GYH. ABC of Heart Failure: History and
Epidemiology. BMJ2000;320:9 18.
4. ODonnell MM, Carleton PF. Disfungsi Mekanis Jantung dan Bantuan
Sirkulasi. In: Price SA, Wilson L, eds. Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006. p. 633-40.
5. Donelly EF. The Medical Students Guide to the Plain Chest Film. New
York: Carchedon Publishing. 2006. p.21-32.
6. Misra R, Planner A, Uthappa M. A-Z of Chest Radiology. New York:
Cambridge University Press. 2007. p.1-18.

24

7. Oulette H, Tetreault P. Clinical Radiology Made Ridiculously Simple.


Miami: MedMaster. 2002. p.18-21.
8. Radiology Masterclass. (2007). Chest X-Ray Projection.
http://www.radiologymasterclass.co.uk/tutorials/chest/chest_quality/chest_
xray_quality_projection.html. Diakses tanggal 24 Oktober 2013.
9. Murfitt J. The Normal Chest Methods of Investigation and Differential
Diagnosis. In: Sutton D, ed. Textbook of Radiology and Imaging 7th
Edition Volume 1. London: Churchil Livingstone. 2002. p.5-303
10. Purwohudoyo SS. Sistem Kardiovaskular. In: Rasad S. Radiologi
Diagnostik Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010. p.165-81.
11. Braunwald E. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Kasper DL, et al, eds.
Harrisons principle of internal medicine 16 th Edition. New York:
McGraw-Hill. 2005. p. 1367-71.

25

Anda mungkin juga menyukai