Anda di halaman 1dari 14

DEEP VEIN THROMBOSIS

Definisi
Deep vein thrombosis (DVT) merupakan pembentukan bekuan darah pada lumen vena
dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh darah dan jaringan
perivena (Wakefield, 2008). DVT disebabkan oleh disfungsi endotel pembuluh darah,
hiperkoagulabilitas dan gangguan aliran darah vena (stasis) yang dikenal dengan trias virchow
(JCS Guidelines, 2011; Bailey, 2009; Hirsh, 2002). DVT merupakan kelainan kardiovaskular
tersering nomor tiga setelah penyakit koroner arteri dan stroke (Patterson, 2011). DVT terjadi
pada kurang lebih 0,1% orang/tahun. Insidennya meningkat 30 kali lipat dibanding dekade yang
lalu. Insiden tahunan DVT di Eropa dan Amerika Serikat kurang lebih 50/100.000 populasi/tahun
(JCS Guidelines, 2011). Faktor resiko DVT antara lain faktor demografi/lingkungan (usia tua,
imobilitas

yang

lama),

kelainan

patologi

(trauma,

hiperkoagulabilitas

kongenital,

antiphospholipid syndrome, vena varikosa ekstremitas bawah, obesitas, riwayat tromboemboli


vena,

keganasan),

kehamilan,

tindakan

bedah,

obat-obatan

(kontrasepsi

hormonal,

kortikosteroid) (JCS Guidelines, 2011; Goldhaber, 2010; Sousou, 2009; Bailey, 2009). Meskipun
DVT umumnya timbul karena adanya faktor resiko tertentu, DVT juga dapat timbul tanpa
etiologi yang jelas (idiopathic DVT) (Bates, 2004; Hirsh, 2002). Untuk meminimalkan resiko
fatal terjadinya emboli paru diagnosis dan panatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan.
Kematian dan kecacatan dapat terjadi sebagai akibat kesalahan diagnosa, kesalahan terapi dan
perdarahan karena penggunaan antikoagulan yang tidak tepat, oleh karena itu penegakan
diagnosa dan penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan (Bates, 2004; Hirsh, 2002).

Diagnosis
DVT dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe sentral (iliac DVT dan femoral DVT) dan tipe
perifer (DVT pada vena poplitea dan daerah distal). Berdasarkan gejala dan tanda klinis serta
derajat keparahan drainase vena DVT dibagi menjadi DVT akut dan kronis. Diagnosis DVT
ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda yang ditemukan pada pemeriksaan fisik
serta ditemukannya faktor resiko (Bates, 2004). Tanda dan gejala DVT antara lain :

Edema (Oedem)

Nyeri (Pain)
Perubahan warna kulit (phlegmasia alba dolens/milk leg, phlegmasia cerulea

dolens/blue leg) (JCS Guidelines, 2011).


Skor dari Wells (tabel 1) dapat digunakan untuk stratifikasi (clinical probability) menjadi
kelompok resiko ringan, sedang atau tinggi (JCS Guidelines, 2011; Hirsh, 2002).
Tabel-1. Skor Wells (Hirsh, 2002)

Pasien dengan DVT dapat memiliki gejala dan tanda yang minimal dan tidak khas
karenanya pemeriksaan tambahan seringkali diperlukan untuk menegakkan diagnosa (Hirsh,
2002). Pemeriksaan D-dimer <0,5 mg/ml dapat menyingkirkan diagnosis DVT. Nilai prediktif
negatif pemeriksaan D-dimer pada DVT lebih dari 95%, pemeriksaan ini bersifat sensitif tapi
tidak spesifik, sehingga tidak dapat dipakai sebagai tes tunggal untuk diagnosis DVT (Adam,
2009; Wolberg, 2009). Angiografi (venografi atau flebografi) merupakan pemeriksaan baku yang
paling bermakna (gold standard), namun pemeriksaan non invasive ultrasound (USG Doppler)
dapat menggantikan peran angiografi pada kondisi tertentu. USG Doppler memberikan
sensitivitas 95% dan spesifisitas 96% untuk mendiagnosa DVT yang simptomatis dan terletak
pada bagian proksimal akan tetapi pada isolated calf vein thrombosis sensitivitasnya hanya 60%
dan spesifisitasnya kurang lebih 70% (JCS Guidelines, 2011; Righini, 2007; Hirsh, 2002: Ramzi,
2004). Jika dengan metode pemeriksaan USG doppler dan D-dimer diagnosis DVT belum dapat

ditegakkan maka magnetic resonance venography (MRV) harus dilakukan (JCS Guidelines,
2011). Algoritme diagnosis DVT dapat dilihat pada gambar-1.

Gambar-1. Algoritme diagnosis DVT (Hirsh, 2002)

Terapi Inisial
Tujuan terapi jangka pendek DVT adalah mencegah pembentukan trombus yang makin
luas dan emboli paru. Tujuan jangka panjangnya adalah mencegah kekambuhan dan terjadinya
sindrom post trombotik. Kombinasi heparin dan antikoagulan oral merupakan terapi inisial dan
drug of choice DVT (Key, 2010; Scarvelis , 2006; Ramzi, 2004; Bates, 2004).

Unfractionated Heparin (UFH)


Unfractionated heparin (UFH) memiliki waktu mula kerja yang cepat tapi harus

diberikan

secara

intravena.

UFH

berikatan

dengan

antitrombin

dan

meningkatkan

kemampuannya untuk menginaktivasi faktor Xa dan trombin (Mackman, 2010; Deitcher, 2009).
Dosis Unfractionated heparin berdasarkan berat badan dan dititrasi sesuai kadar activated
partial-thromboplastin time (APTT). Dosis heparin yang disesuaikan berdasarkan berat badan
dan APTT dapat dilihat pada tabel-2. Target APTT yang diinginkan adalah antara 1,5 sampai 2,3
kali kontrol. Respon antikoagulan dari UFH berbeda pada tiap-tiap individu karena obat ini
berikatan secara nonspesifik dengan plasma dan protein sel. Efek samping meliputi perdarahan
dan trombositopeni. Pada terapi inisial resiko terjadinya perdarahan kurang lebih 7%, hal ini
tergantung pada dosis, usia, penggunaan bersama dengan antitrombotik atau trombolitik.
Trombositopeni transien terjadi pada 10-20% pasien. Pemberian heparin dapat dihentikan 4-5

hari setelah penggunaanya bersama warfarin jika target International Normalized Ratio (INR)
dari prothrombin clotting time lebih dari 2,0 (Ramzi, 2004; Bates, 2004).

Low Molecular Weight heparin (LMWH)


Low Molecular Weight Heparin (LMWH) bekerja dengan cara menghambat faktor Xa

melalui ikatan dengan antitrombin (Mackman, 2011). LMWH merupakan antikoagulan yang
memiliki beberapa keuntungan dibanding UFH antara lain respon antikoagulan yang lebih dapat
diprediksi, waktu paruh yang lebih panjang, dapat diberikan sub kutan satu sampai dua kali
sehari, dosis yang tetap, tidak memerlukan monitoring laboratorium. LMWH banyak
menggantikan peranan UFH sebagai antikoagulan (Deitcher, 2009; Hirsh, 2002).
Tabel-2. Dosis heparin berdasarkan berat badan dan APTT
(Ramzi, 2004)

Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih jarang terjadi dibanding
penggunaan UFH. Kontraindikasi terapi antikoagulan antara lain kelainan darah, riwayat stroke
perdarahan, metastase ke central nervous system (CNS), kehamilan peripartum, operasi abdomen
atau ortopedi dalam tujuh hari dan perdarahan gastrointestinal. Penggunaan LMWH pada pasien
rawat jalan aman dan efektif terutama jika pasien edukatif serta ada sarana untuk memonitor.
Penggunaan LMWH pada pasien rawat jalan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan
trombosis masif, memiliki kecenderungan perdarahan yang tinggi seperti usia tua, baru saja

menjalani pembedahan, riwayat penyakit ginjal dan liver serta memiliki penyakit penyerta yang
berat (Hirsh, 2002; Bates, 2004; Ramzi, 2004). LMWH diekskresikan melalui ginjal, oleh karena
itu pada penderita ganguan fungsi ginjal perannya dapat digantikan oleh UFH (Mackman, 2011;
Key, 2010).
Seperti UFH pemberian LMWH juga dikombinasikan dengan warfarin selama empat
sampai lima hari dan dihentikan jika kadar INR setelah penggunaanya bersama warfarin
mencapai 2 atau lebih. Enoxaparin (lovenox) adalah LMWH pertama yang dikeluarkan oleh U.S.
Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi DVT dengan dosis 1 mg/kgBB, dua kali
sehari. Dalteparin (Fragmin) hanya digunakan untuk terapi profilaksis dengan dosis 200
IU/kgBB/hari dalam dosis terbagi dua kali sehari. Tinzaparin (Innohep) diberikan dengan dosis
175 IU/kgBB/hari (Ramzi, 2004). Pilihan lain adalah penggunaan fondaparinux (Arixtra).
Fondaparinux adalah pentasakarida sintetik yang bekerja menghambat faktor Xa dan trombin
(Mackman, 2011). Dapat digunakan sebagai profilaksis dan terapi pada kondisi akut dengan
dosis 5 mg (BB <50 kg), 7,5 mg (BB 50-100 kg), atau 10 mg (BB >100 kg) secara subkutan,
satu kali perhari (Mackman, 2011; Buller, 2004).

Terapi Jangka Panjang


Setelah terapi inisial dengan UFH atau LMWH, terapi antikoagulan dilanjutkan dengan
pemberian derivat kumarin sebagai profilaksis sekunder untuk mencegah kekambuhan (Bates,
2004). Warfarin adalah obat yang paling sering diberikan. Warfarin adalah antagonis vitamin K
yang menghambat vitamin K-dependent clotting factor (faktor II, VII, IX, X) melalui hambatan
terhadap enzim vitamin K epoxide reductase (Dietrich, 2009). Dosis awal yang diberikan adalah
5 mg pada hari pertama sampai hari keempat, dosis dititrasi tiap 3 sampai 7 hari dengan target
kadar INR berkisar 2,0 sampai 3,0. Dosis yang lebih kecil (2-4 mg) diberikan pada usia tua, BB
rendah dan kondisi malnutrisi (Bates, 2004; Hirsh, 2002).
Therapeutic window warfarin sangat sempit sehingga monitoring INR secara berkala
diperlukan untuk mencegah trombosis rekuren dan efek samping perdarahan. INR sebaiknya
diperiksa 2 kali per minggu selama 1 sampai 2 minggu awal penggunaan, diikuti 1 kali
perminggu untuk 4 minggu berikutnya, lalu tiap 2 minggu sekali untuk 1 bulan berikutnya dan
akhirnya tiap sebulan sekali jika target INR tercapai dan pasien dalam kondisi optimal (Bates,
2004; Hirsh, 2002). Penggunaan LMWH sebagai terapi alternatif jangka panjang sedang

dievaluasi. LMWH memiliki beberapa keuntungan dibanding warfarin yaitu tidak memerlukan
monitoring INR sehingga cost effective dan dapat digunakan jika ada kesulitan akses
laboratorium, LMWH juga memiliki onset dan offset of action yang lebih cepat daripada
warfarin, lebih efektif pada trombosis pasien kanker dan kasus rekurensi trombosis pada
penggunaan warfarin jangka lama. Akan tetapi kelemahan LMWH adalah penggunaannya yang
tidak nyaman bagi pasien karena harus diberikan subkutan disamping harganya yang mahal
(Hirsh, 2002: Bates, 2004).
Warfarin sebagai terapi jangka panjang DVT memiliki banyak kelemahan antara lain
onset of action yang lambat, dosis yang bervariasi antar individu, interaksi dengan banyak jenis
obat dan makanan, therapeutic window yang sempit sehingga membutuhkan monitoring ketat.
Oleh karenanya dibutuhkan agen antikoagulan oral yang baru dan lebih baik untuk
menggantikannya. Ada beberapa macam antikoagulan baru yang telah banyak dipakai sebagai
profilaksis DVT seperti rivaroxaban (inhibitor faktor Xa), apixaban (inhibitor faktor Xa) dan
dabigatran etexilate (inhibitor trombin) tetapi belum ada yang digunakan sebagai terapi pada
DVT akut. Secara teori obat antikoagulan baru memiliki kelebihan dibanding warfarin antara lain
onset of action yang cepat dan tidak membutuhkan terapi inisial dengan antikoagulan parenteral,
tapi belum ada penelitian tentang hal ini. Kekurangan obat antikoagulan baru adalah tidak
adanya antidotum yang spesifik terehadap efek samping perdarahan sehingga penggunaan obatobat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut, selain itu harganya jauh lebih mahal dari
warfarin (Key, 2010; Garcia, 2010; Mackman, 2010).
Durasi Penggunaan Antikoagulan
Durasi penggunaan antikoagulan tergantung pada resiko terjadinya perdarahan dan
rekurensi dari trombosis. Resiko perdarahan selama terapi inisial dengan UFH atau LMWH
kurang lebih 2-5%, sedangkan pada penggunaan warfarin kurang lebih 3% pertahun. Annual
case fatality rate pada penggunaan antikoagulan adalah 0,6%. Case fatality rate rekurensi DVT
kurang lebih 5% (Hirsh, 2002). Banyak studi membandingkan keuntungan dan kekurangan
pemberian oral vitamin K antagonis jangka panjang (>3 bulan) karena adanya fakta bahwa
kejadian DVT sebenarnya merupakan kasus kronik dengan angka rekurensi jangka panjang yang
cukup signifikan (<50% setelah 10 tahun penghentian antikoagulan) (Key, 2010; Zhu, 2009).

Terapi antikoagulan yang inadekuat dapat meningkatkan resiko terjadinya rekurensi dan
sindroma post trombotik (Zhu, 2009).
Secara umum antikoagulan diberikan selama minimal 3 bulan. Pasien dengan faktor
resiko reversibel memiliki resiko rekurensi yang rendah setelah terapi antikoagulan selama 3
bulan, sebaliknya pada pasien DVT idiopatik/unprovoked yang hanya diterapi selama 3 bulan
memiliki resiko rekurensi sekitar 10-27%. Berdasarkan hasil penelitian prospektif dan
ekstrapolasi dari penelitian terhadap resiko rekurensi setelah episode awal trombosis, pasien
dapat diklasifikasikan menjadi kelompok resiko rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi (Bates,
2004; Hirsh, 2002)
Tabel-4. Kategori resiko rekurensi dan rekomendasi durasi terapi (Hirsh, 2002)

Terapi Trombolitik
Trombolitik memecah bekuan darah yang baru terbentuk dan mengembalikan patensi
vena lebih cepat daripada antikoagulan (Bates, 2004). Trombolitik dapat diberikan secara
sistemik atau lokal dengan catheter-directed thrombolysis (CDT). Terapi trombolitik pada
episode akut DVT dapat menurunkan resiko terjadinya rekurensi dan post thrombotic syndrome
(PTS) (Key, 2010; Kahn, 2009). Serine protease inhibitor endogen seperti urokinase dan
rekombinan tissue plasminogen activator (r-TPA) menggantikan fungsi streptokinase sebagai
obat pilihan pada terapi trombolitik sistemik dengan efek samping yang lebih minimal, akan
tetapi banyak pusat-pusat kesehatan lebih memilih menggunakan alteplase (Patterson, 2010).
Trombolitik sistemik dapat menghancurkan bekuan secara cepat tapi resiko perdarahan juga
tinggi. Penggunaan trombolitik dengan CDT akan menghasilkan konsentrasi lokal yang lebih

tinggi daripada secara sistemik dan secara teori seharusnya dapat meningkatkan efikasinya dan
menurunkan resiko perdarahan (Patterson, 2010; Scarvelis, 2006; Bates, 2004).
Resiko terjadinya perdarahan pada penggunaan trombolitik lebih besar dibanding
penggunaan heparin (Bates, 2004; Patterson, 2010). Indikasi dilakukan trombolisis antara lain
trombosis luas dengan resiko tinggi terjadi emboli paru, DVT proksimal, threatened limb
viability, adanya predisposisi kelainan anatomi, kondisi fisiologis yang baik (usia 18-75 tahun),
harapan hidup lebih dari 6 bulan, onset gejala <14 hari, tidak ada kontraindikasi dilakukan
trombolisis (Patterson, 2010; Scarvelis, 2006). Kontraindikasi trombolisis antara lain bleeding
diathesis/trombositopeni, resiko perdaraham spesifik organ (infark miokard akut, trauma
serebrovaskular, perdarahan gastrointestinal, pembedahan, trauma), gagal hati atau gagal ginjal,
keganasan (metastase otak), kehamilan, stroke iskemi dalam waktu 2 bulan, hipertensi berat yang
tidak terkontrol (SBP>180 mmHg, DBP>110 mmHg) (JCS Guiedelines, 2011; Patterson, 2010).
CDT dilakukan dengan tuntunan ultrasound sehingga dapat meminimalkan terjadinya
komplikasi dan punksi multipel pembuluh darah (Patterson, 2010). Protokol tindakan trombolisis
dapat dilihat pada tabel 3.
Pemilihan untuk dilakukan trombolisis atau tidak, pemilihan agen trombolitik,
penggunaan venous stenting tambahan dan inferior vena cava filter (IVC) berbeda-beda pada
tiap pusat kesehatan. IVC tidak rutin dilakukan dan umumnya hanya dipakai sementara,
penggunaannya dilakukan pada kondisi tertentu seperti adanya kontraindikasi penggunaan
antikoagulan dan timbulnya DVT pada penggunaan rutin antikoagulan. Penggunaanya harus
melalui diskusi tim multidisiplin dan kasus per kasus (Patterson, 2010; Scarvelis, 2006; Bates,
2004). Pemasangan stent endovaskular pada saat dilakukan CDT dapat dilakukan pada kasus
tertentu seperti adanya kelainan anatomi yang mendasari timbulnya DVT (May-Thurner
syndrome). Pada sindrom ini vena iliaka komunis ditekan oleh arteri iliaca komunis sehingga
terjadi tekanan dan kerusakan pembuluh darah. Penyebab lain yaitu kompresi oleh tumor daerah
pelvis, osteofit, retensi urin kronik, aneurisma arteri iliaka, endometriosis, kehamilan, tumor
uterus (Patterson, 2010). Aspiration thrombectomy juga dapat dilakukan bersama CDT pada
kasus tertentu. Terapi antikoagulan tetap harus dilakukan setelah tindakan trombolisis untuk
mencegah progresivitas dan munculnya kembali trombus (JCS Guidelines, 2011; Patterson,
2010).

Terapi Non Farmakologis


Terapi non farmakologis / physical therapy hanya sedikit evidence based nya. Latihan dan
compression dapat mengurangi pembengkakan, nyeri serta mengurangi insiden terjadinya post
thrombotic syndrome (PTS). Penggunaan compression stockings selama kurang lebih 2 tahun
dimulai 2-3 minggu ketika diagnosa DVT ditegakkan menurunkan resiko timbulnya PTS.
Peranan compression stockings atau intermitten pneumatic compression (IPC) dalam mencegah
PTS belum sepenuhnya dimengerti, namun penggunaannya telah digunakan secara luas.
Compression stockings sebaiknya digunakan pada pasien dengan gejala berat dan mereka yang
memiliki fungsi vena yang jelek (JCS Guidelines, 2011; Kahn, 2009; Bates, 2004).
Tabel-3. Protokol trombolisis pada DVT (Patterson, 2010)

Trombektomi
Indikasi open surgical thrombectomy antara lain DVT iliofemoral akut tetapi terdapat
kontraindikasi trombolitik atau gagal dengan trombolitik maupun mechanical thrombectomy, lesi
yang tidak dapat diakses oleh kateter, lesi dimana trombus sukar dipecah dan pasien yang
dikontraindikasikan untuk penggunaan antikoagulan. Trombus divena iliaka komunis dipecah
dengan kateter embolektomi fogarty dengan anestesi lokal. Trombus pada daerah perifer harus
dihilangkan dengan cara antegrade menggunakan teknik milking dan esmarch bandage.
Kompresi vena iliaka harus diatasi dengan dilatasi balon dan atau stenting. Setelah tindakan
pembedahan, heparin diberikan selama 5 hari dan pemberian warfarin harus dimulai 1 hari
setelah operasi dan dilanjutkan selama 6 bulan setelah pembedahan. Untuk hasil yang maksimal

tindakan pembedahan sebaiknya dilakukan kurang dari 7 hari setelah onset DVT. Pasien dengan
phlegmasia cerulea dolens harus difasiotomi untuk tujuan dekompresi kompartemen dan
perbaikan sirkulasi (JCS Guidelines, 2011).
Postthrombotic Syndrome (Pts)
Postthrombotic syndrome adalah komplikasi kronik dari DVT. Kurang lebih sepertiga dari
pasien DVT akan timbul komplikasi PTS, 5-10% menjadi PTS berat dengan gejala ulserasi vena
(Kahn, 2009). Diagnosis PTS merupakan diagnosis klinis yang didasarkan pada timbulnya gejala
berupa kelemahan tungkai, nyeri, edema, gatal, kram, parestesi pada tungkai bawah, memberat
pada aktivitas, berdiri, berjalan dan membaik dengan istirahat. Gejala ini disebabkan karena
hipertensi vena yang persisten (karena obstruksi intravena residual) atau insufisiensi valvular
vena (Key 2010; Kahn, 2009). Pada pemeriksaan fisik didapatkan edema, teleangiektasi perimalleolar, ektasis vena, hiperpigmentasi, kemerahan, sianosis, ulkus. The Subcommittee on
Control of Anticoagulation of the Scientific and Standardization Committee of the International
Society on Thrombosis and Hemostasis merekomendasikan penggunaan skala villalta untuk
diagnosis PTS. Compression Ultrasonography dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
pada pasien dengan kecurigaan PTS tanpa ada riwayat DVT sebelumnya (Kahn, 2009).
Penatalaksanaan PTS meliputi penggunaan elastic compression stockings (ECS) untuk
mengurangi edema dan keluhan, intermitten pneumatic compression efektif untuk PTS
simptomatik berat, agen venoaktif seperti aescin atau rutosides memberikan perbaikan gejala
jangka pendek. Compression therapy, perawatan kulit dan topical dressings digunakan untuk
ulkus vena (Kahn, 2009). PTS dapat dicegah dengan penggunaan tromboprofilaksis pada pasien
resiko tinggi, rekurensi trombus ipsilateral dicegah dengan pemberian antikoagulan yang tepat
dosis dan durasi, menggunakan elastic compression stocking selama kurang lebih 2 tahun setelah
diagnosis DVT ditegakkan. Peran trombolisis pada pencegahan PTS belum diketahui secara
jelas. Peranan CDT dalam rangka prevensi PTS juga membutuhkan evaluasi lebih lanjut (Kahn,
2009).
Tabel-5. Skala PTS Villalta

Ringkasan
Deep vein thrombosis (DVT) merupakan pembentukan bekuan darah pada lumen vena dalam
(deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh darah dan jaringan perivena,
disebabkan oleh disfungsi endotel pembuluh darah, hiperkoagulabilitas dan gangguan aliran
darah vena. Faktor resiko DVT antara lain faktor demografi/lingkungan (usia tua, imobilitas
yang lama), kelainan patologi (trauma, hiperkoagulabilitas kongenital, antiphospholipid
syndrome, vena varikosa ekstremitas bawah, obesitas, riwayat tromboemboli vena, keganasan),
kehamilan, tindakan bedah, obat-obatan (kontrasepsi hormonal, kortikosteroid). Tanda dan gejala
DVT antara lain edema, nyeri dan perubahan warna kulit (phlegmasia alba dolens/milk leg,
phlegmasia cerulea dolens/blue leg). Angiografi (venografi atau flebografi) merupakan
pemeriksaan baku yang paling bermakna (gold standard), namun pemeriksaan non invasive
ultrasound (USG Doppler) dapat menggantikan peran angiografi pada kondisi tertentu.
Pemeriksaan D-dimer <0,5 mg/ml dapat menyingkirkan diagnosis DVT. Tujuan terapi jangka
pendek DVT adalah mencegah pembentukan trombus yang makin luas dan emboli paru. Tujuan
jangka panjangnya adalah mencegah kekambuhan dan terjadinya sindrom post trombotik.
Kombinasi heparin dan antikoagulan oral (warfarin) merupakan terapi inisial dan drug of choice
DVT. Secara umum antikoagulan diberikan selama minimal 3 bulan. Indikasi dilakukan
trombolisis antara lain trombosis luas dengan resiko tinggi terjadi emboli paru, DVT proksimal,
threatened limb viability, adanya predisposisi kelainan anatomi, kondisi fisiologis yang baik
(usia 18-75 tahun), harapan hidup lebih dari 6 bulan, onset gejala <14 hari, tidak ada

kontraindikasi dilakukan trombolisis. Indikasi open surgical thrombectomy antara lain DVT
iliofemoral akut tetapi terdapat kontraindikasi trombolitik atau gagal dengan trombolitik maupun
mechanical thrombectomy, lesi yang tidak dapat diakses oleh kateter, lesi dimana trombus sukar
dipecah dan pasien yang dikontraindikasikan untuk penggunaan antikoagulan. Terapi non
farmakologis/physical therapy hanya sedikit evidence based nya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Adam S, Key N, Greenberg C (2009). D-dimer antigen: current concepts and future prospects.
2.

Blood, 113:2878-87
Bailey A, Scantlebury D, Smyth S (2009). Thrombosis and antithrombotic in women.

Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:284-88


3. Bates S, Ginsberg G (2004). Treatment of deep vein thrombosis. N Engl J Med, 351:268-77
4. Buller H, Davidson B, Decousus H, Gallus A, Gent M (2004). Fondaparinux or enoxaparin for
the initial treatment of symptomatic deep vein thrombosis. Ann Intern Med, 140:867-73
5. Deitcher S, Rodgers D (2009). Thrombosis and antithrombotic therapy. In: Greer J. Wintrobes
clinical hematology,12th ed, Lippincott william and wilkins. Philadhelphia: p 1465-99
6. Garcia D, Libby E, Crowther M (2010). The new oral anticoagulants. Blood, 115:15-20
7. Goldhaber S (2010). Risk factors for venous thromboembolism. Journal of the American
College of Cardiology, 56:1-7
8. Hirsh J, Lee A (2002). How we diagnose and treat deep vein thrombosis. Blood, 99: 3102-3110
9. JCS Guidelines (2011). Guidelines for the diagnosis, treatment and prevention of pulmonary
thromboembolism and deep vein thrombosis (JCS 2009). Circ J; 75: 1258-1281
10. Kahn S (2009). How I treat postthrombotic syndrome. Blood, 114:4624-4631
11. Key NS, Kasthuri RS. Current treatment of venous thromboembolism. Arterioscler Thromb Vasc
Biol, 30: 372-375
12. Mackman N, Becker R (2010). DVT: a new era in anticoagulant therapy. Arterioscler Thromb
Vasc Biol, 30: 369-371
13. Patterson B, Hinchliffe R, Loftus I (2010). Indications for catheter-directed thrombolysis in the
management of acute proximal deep venous thrombosis. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 30: 669674
14. Ramzi D, Leeper K (2004). DVT and pulmonary embolism: part II. treatment and prevention.
Am Fam Physician, 69:2841-48
15. Righini M (2007). Is it worth diagnosing and treating distal vein thrombosis? no. J Thromb
Haemost, 5:55-9
16. Scarvelis D, Wells P (2006). Diagnosis and treatment of deep vein thrombosis. CMAJ, 175:108792
17. Sousou T, Khorana A (2009). New insights into cancer-associated thrombosis. Arterioscler
Thromb Vasc Biol, 29:316-20
18. Wakefield T, Myers D, Henke P (2008). Mechanisms of venous thrombosis and resolution.
Arterioscler Thromb Vasc Biol, 28:387-91
19. Wolberg A, Mackman N (2009). Venous thromboembolism: risk factors, biomarkers, and
treatment. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:296-297

20. Zhu T, Isabelle M, Emmerich J (2009). Venous thromboembolism: risk factor for reccurence.
Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:298-310

Anda mungkin juga menyukai