PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang
terkena bipolar, 21 juta orang terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensia. Jumlah
penderita gangguan jiwa di Indonesia saat ini adalah 236 juta orang, dengan kategori gangguan
jiwa ringan 6% dari populasi dan 0,17% menderita gangguan jiwa berat, 14,3% diantaranya
mengalami pasung. Tercatat sebanyak 6% penduduk berusia 15-24 tahun mengalami gangguan
jiwa. Di Jawa Timur pasien dengan gangguan jiwa dengan pengobatan rawat jalan sebanyak
38.847 jiwa dengan prosentasi sebanyak 86,1 % (Depkes, 2015).
Pendidikan kesehatan menurut Suliha (2001) adalah suatu proses perubahan perilaku
yang dinamis dengan tujuan mengubah atau mempengaruhi perilaku manusia yang meliputi
kompoen pengetahuan, sikap ataupun praktik yang berhubungan dengan tujuan hidup sehat
baik secara individu, kelompok maupun masyarakat serta merupakan komponen program
kesehatan.
1
Menurut Warih Andan Puspitosari (Acandra, 2010) masyarakat dan keluarga
memerlukan pendidikan kesehatan jiwa, karena kesehatan jiwa milik semua orang. Pendidikan
kesehatan merupakan langkah pencegahan yang dapat dilakukan di masyarakat dan keluarga,
dengan tujuan untuk menghilangkan stigma agar masyarakat dapat menyikapi penderita
gangguan jiwa dengan empati.
Berdasarkan survey pendahuluan dan wawancara pada bulan Oktober 2017 kepada
beberapa keluarga di Desa Babat, peneliti menemukan bahwa tingkat pendidikan dan
pengetahuan pelatihan ketrampilan penderita baik pasien dan keluarga gangguan jiwa masih
rendah. Tidak jarang bahkan ada yang masih di pasung. Hal ini membuktikan tingkat
pendidikan dan ketrampilan dapat meningkatkan tingkat kemandirian para pasien dan
meningkatkan tingkat kesembuhan pada pasien gangguan jiwa.
Melihat masalah tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul Gambaran Tingkat Pendidikan dan Ketrampilan dengan Tingkat Kemandirian
pada Orang Dengan Gangguan Jiwa di Wilayah Puskesmas Babat.
Responden yang diambil pada mini project ini adalah pasien – pasien yang berada di
wilayah Puskesmas Babat dengan penyakit gangguan jiwa.
B . Rumusan Masalah
Bagaimanakah tingkat pendidikan dan tingkat ketrampilan mempengaruhi tingkat
kemandirian pada orang dengan gangguan jiwa?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
a. Untuk mengetahui tingkat kemandirian pasien dengan gangguan jiwa di
Kelurahan Babat periode 8 Oktober 2017 – 8 Februari 2017
b. Untuk mengetahui tingkat kemandirian pasien dengan gangguan jiwa terhitung
sejak 1 tahun terakhir, mencakup tanggal terakhir kontrol, di wilayah Kelurahan
Babat periode 8 Oktober 2017 – 8 Februari 2017
c. Untuk mengetahui tingkat pendidikan dan ketrampilan pada kasus gangguan
jiwa di Kelurahan Babat periode 8 Oktober 2017 – 8 Februari 2017
2
Tujuan Khusus
Untuk mengetahui Gambaran Tingkat Pendidikan dan Ketrampilan Terhadap
Peningkatan Tingkat Kemandirian pada Penderita Gangguan Jiwa di wilayah
Puskesmas Kelurahan Kebon Baru, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, tahun 2015
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gangguan Jiwa
1. Pengertian gangguan jiwa
Gangguan jiwa atau mental illness adalah kesulitan yang harus dihadapi oleh seseorang
karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan karena persepsinya tentang kehidupan dan
sikapnya terhadap dirinya sendiri-sendiri (Djamaludin, 2001). Gangguan jiwa adalah gangguan
dalam cara berpikir (cognitive), kemauan (volition),emosi (affective), tindakan (psychomotor)
(Yosep, 2007).
Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000) adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa
yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada
individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran social. Menurut Townsend (1996)
mental illness adalah respon maladaptive terhadap stressor dari lingkungan dalam/luar
ditunjukkan dengan pikiran, perasaan, dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma lokal
dan kultural dan mengganggu fungsi sosial, kerja, dan fisik individu.
Konsep gangguan jiwa dari PPDGJ II yang merujuk ke DSM-III adalah sindrom atau
pola perilaku, atau psikologi seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan yang secara
khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment/disability)
di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia (Maslim, 2002).
Menurut American Psychiatric Association (1994), gangguan mental adalah gejala atau
pola dari tingkah laku psikologi yang tampak secara klinis yang terjadi pada seseorang dari
berhubungan dengan keadaan distress (gejala yang menyakitkan) atau ketidakmampuan
(gangguan pada satu area atau lebih dari fungsi-fungsi penting) yang meningkatkan risiko
terhadap kematian, nyeri, ketidakmampuan atau kehilangan kebebasan yang penting dan tidak
jarang respon tersebut dapat diterima pada kondisi tertentu.
Penyebab gangguan jiwa itu bermacam-macam ada yang bersumber dari berhubungan
dengan orang lain yang tidak memuaskan seperti diperlakukan tidak adil, diperlakukan
semena-mena, cinta tidak terbatas, kehilangan seseorang yang dicintai, kehilangan pekerjaan,
dan lain-lain. Selain itu ada juga gangguan jiwa yang disebabkan faktor organik, kelainan saraf
dan gangguan pada otak (Djamaludin, 2001).
4
Para ahli psikologi berbeda pendapat tentang sebab-sebab terjadinya gangguan jiwa.
Menurut pendapat Sigmund Freud dalam Maslim (2002), gangguan jiwa terjadi karena tidak
dapat dimainkan tuntutan id (dorongan instinctive yang sifatnya seksual) dengan tuntutan super
ego (tuntutan normal social). Orang ingin berbuat sesuatu yang dapat memberikan kepuasan
diri, tetapi perbuatan tersebut akan mendapat celaan masyarakat. Konflik yang tidak
terselesaikan antara keinginan diri dan tuntutan masyarakat ini akhirnya akan mengantarkan
orang pada gangguan jiwa.Terjadinya gangguan jiwa dikarenakan orang tidak memuaskan
macam-macam kebutuhan jiwa mereka.
Beberapa contoh dari kebutuhan tersebut diantaranya adalah pertama kebutuhan untuk
afiliasi, yaitu kebutuhan akan kasih sayang dan diterima oleh orang lain dalam kelompok.
Kedua, kebutuhan untuk otonomi, yaitu ingin bebas dari pengaruh orang lain. Ketiga,
kebutuhan untuk berprestasi, yang muncul dalam keinginan untuk sukses mengerjakan sesuatu
dan lain-lain. Ada lagi pendapat Alfred Adler yang mengungkapkan bahwa terjadinya
gangguan jiwa disebabkan oleh tekanan dari perasaan rendah diri (infioryty complex) yang
berlebih-lebihan. Sebab-sebab timbulnya rendah diri adalah kegagalan di dalam mencapai
superioritas di dalam hidup. Kegagalan yang terus-menerus ini akan menyebabkan kecemasan
dan ketegangan emosi.
J.P Caplin dalam Kartini Kartono (2000) mengartikan bahwa kebutuhan ialah alat
substansi sekuler. Dorongan hewani atau motif fisiologis dan psikologis yang harus dipenuhi
atau dipuaskan oleh organisme, binatang atau manusia, supaya mereka bias sehat sejahtera dan
mampu melakukan fungsinya. Dari berbagai pendapat mengenai penyebab terjadinya
gangguan jiwa seperti yang dikemukakan diatas disimpulkan bahwa gangguan jiwa disebabkan
oleh karena ketidak mampuan manusia untuk mengatasi konflik dalam diri, tidak terpenuhinya
kebutuhan hidup, perasaan kurang diperhatikan (kurang dicintai) dan perasaan rendah diri.
(Djamaludin dan Kartini, 2001).
Menurut Sigmund Freud dalam Santrock (1999) adanya gangguan tugas perkembangan
pada masa anak terutama dalam hal berhubungan dengan orang lain sering menyebabkan
frustasi, konflik, dan perasaan takut, respon orang tua yang mal adaptif pada anak akan
meningkatkan stress, sedangkan frustasi dan rasa tidak percaya yang berlangsung terusmenerus
dapat menyebabkan regresi dan withdral.
Disamping hal tersebut di atas banyak faktor yang mendukung timbulnya gangguan
jiwa yang merupakan perpaduan dari beberapa aspek yang saling mendukung yang meliputi
5
Biologis, psikologis, sosial, lingkungan. Tidak seperti pada penyakit jasmaniah, sebab-sebab
gangguan jiwa adalah kompleks. Pada seseorang dapat terjadi penyebab satu atau beberapa
faktor dan biasanya jarang berdiri sendiri. Mengetahui sebabsebab gangguan jiwa penting
untuk mencegah dan mengobatinya.
1) Keturunan
Peran yang pasti sebagai penyebab belum jelas, mungkin terbatas dalam
mengakibatkan kepekaan untuk mengalami gangguan jiwa tapi hal tersebut sangat ditunjang
dengan faktor lingkungan kejiwaan yang tidak sehat.
2) Jasmaniah
3) Temperamen
Orang yang terlalu peka/ sensitif biasanya mempunyai masalah kejiwaan dan
ketegangan yang memiliki kecenderungan mengalami gangguan jiwa.
b. Sebab Psikologik
6
1) Masa bayi
Yang dimaksud masa bayi adalah menjelang usia 2 – 3 tahun, dasar perkembangan yang
dibentuk pada masa tersebut adalah sosialisasi dan pada masa ini. Cinta dan kasih sayang ibu
akan memberikan rasa hangat/ aman bagi bayi dan dikemudian hari menyebabkan kepribadian
yang hangat, terbuka dan bersahabat.
Sebaliknya, sikap ibu yang dingin acuh tak acuh bahkan menolak dikemudian hari akan
berkembang kepribadian yang bersifat menolak dan menentang terhadap lingkungan.
Sebaiknya dilakukan dengan tenang, hangat yang akan memberi rasa aman dan terlindungi,
sebaliknya, pemberian yang kaku, keras dan tergesa-gesa akan menimbulkan rasa cemas dan
tekanan.
Pada usia ini sosialisasi mulai dijalankan dan telah tumbuh disiplin dan otoritas.
Penolakan orang tua pada masa ini, yang mendalam atau ringan, akan menimbulkan rasa tidak
aman dan ia akan mengembangkan cara penyesuaian yang salah, dia mungkin menurut,
menarik diri atau malah menentang dan memberontak.
Anak yang tidak mendapat kasih sayang tidak dapat menghayati disiplin tak ada
panutan, pertengkaran dan keributan membingungkan dan menimbulkan rasa cemas serta rasa
tidak aman. hal-hal ini merupakan dasar yang kuat untuk timbulnya tuntutan tingkah laku dan
gangguan kepribadian pada anak dikemudian hari.
Masa ini ditandai oleh pertumbuhan jasmaniah dan intelektual yang pesat. Pada masa
ini, anak mulai memperluas lingkungan pergaulannya. Keluar dari batas-batas keluarga.
Kekurangan atau cacat jasmaniah dapat menimbulkan gangguan penyesuaian diri. Dalam hal
ini sikap lingkungan sangat berpengaruh, anak mungkin menjadi rendah diri atau sebaliknya
melakukan kompensasi yang positif atau kompensasi negatif.
4) Masa Remaja
Secara jasmaniah, pada masa ini terjadi perubahanperubahan yang penting yaitu
timbulnya tanda-tanda sekunder (ciri-ciri diri kewanitaan atau kelaki-lakian) Sedang secara
kejiwaan, pada masa ini terjadi pergolakan - pergolakan yang hebat pada masa ini, seorang
remaja mulai dewasa mencoba kemampuannya, di suatu pihak ia merasa sudah dewasa (hak-
7
hak seperti orang dewasa), sedang di lain pihak belum sanggup dan belum ingin menerima
tanggung jawab atas semua perbuatannya.
Seorang yang melalui masa-masa sebelumnya dengan aman dan bahagia akan cukup
memiliki kesanggupan dan kepercayaan diri dan umumnya ia akan berhasil mengatasi
kesulitan-kesulitan pada masa ini. Sebaliknya yang mengalami banyak gangguan pada masa
sebelumnya, bila mengalami masalah pada masa ini mungkin akan mengalami gangguan jiwa.
Sebagai patokan masa ini dicapai kalau status pekerjaan dan sosial seseorang sudah
mantap. Sebagian orang berpendapat perubahan ini sebagai masalah ringan seperti rendah diri.
pesimis. Keluhan psikomatik sampai berat seperti murung, kesedihan yang mendalam disertai
kegelisahan hebat dan mungkin usaha bunuh diri.
7) Masa Tua
Ada dua hal yang penting yang perlu diperhatikan pada masa ini Berkurangnya daya
tanggap, daya ingat, berkurangnya daya belajar, kemampuan jasmaniah dan kemampuan sosial
ekonomi menimbulkan rasa cemas dan rasa tidak aman serta sering mengakibatkan kesalah
pahaman orang tua terhadap orang di lingkungannya. Perasaan terasing karena kehilangan
teman sebaya keterbatasan gerak dapat menimbulkan kesulitan emosional yang cukup hebat.
Kebudayaan secara teknis adalah ide atau tingkah laku yang dapat dilihat maupun yang
tidak terlihat. Faktor budaya bukan merupakan penyebab langsung menimbulkan gangguan
jiwa, biasanya terbatas menentukan “warna” gejala-gejala. Disamping mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan kepribadian seseorang misalnya melalui aturan-aturan
kebiasaan yang berlaku dalam kebudayaan tersebut.
8
Cara-cara membesarkan anak yang kaku dan otoriter , hubungan orang tua anak
menjadi kaku dan tidak hangat. Anakanak setelah dewasa mungkin bersifat sangat agresif atau
pendiam dan tidak suka bergaul atau justru menjadi penurut yang berlebihan.
2) Sistem Nilai
Perbedaan sistem nilai moral dan etika antara kebudayaan yang satu dengan yang lain,
antara masa lalu dengan sekarang sering menimbulkan masalah-masalah kejiwaan. Begitu pula
perbedaan moral yang diajarkan di rumah / sekolah dengan yang dipraktekkan di masyarakat
sehari-hari.
Iklan-iklan di radio, televisi. Surat kabar, film dan lain-lain menimbulkan bayangan-
bayangan yang menyilaukan tentang kehidupan modern yang mungkin jauh dari kenyataan
hidup seharihari. Akibat rasa kecewa yang timbul, seseorang mencoba mengatasinya dengan
khayalan atau melakukan sesuatu yang merugikan masyarakat.
Dalam masyarakat modern kebutuhan dan persaingan makin meningkat dan makin
ketat untuk meningkatkan ekonomi hasil-hasil teknologi modern. Memacu orang untuk bekerja
lebih keras agar dapat memilikinya. Jumlah orang yang ingin bekerja lebih besar dari
kebutuhan sehingga pengangguran meningkat, demikian pula urbanisasi meningkat,
mengakibatkan upah menjadi rendah. Faktor-faktor gaji yang rendah, perumahan yang buruk,
waktu istirahat dan berkumpul dengan keluarga sangat terbatas dan sebagainya merupakan
sebagian mengakibatkan perkembangan kepribadian yang abnormal.
9
3. Penggolongan gangguan jiwa
Penggolongan gangguan jiwa sangatlah beraneka ragam menurut para ahli berbeda-
beda dalam pengelompokannya, menurut Maslim (1994) macam-macam gangguan jiwa
dibedakan menjadi gangguan mental organik dan simtomatik, skizofrenia, gangguan skizotipal
dan gangguan waham, gangguan suasana perasaan, gangguan neurotik, gangguan somatoform,
sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik, Gangguan
kepribadian dan perilaku masa dewasa, retardasi mental, gangguan perkembangan psikologis,
gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanak dan remaja.
a. Skizofrenia
Dalam kasus berat, klien tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga pemikiran
dan perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini secara bertahap akan menuju kearah
kronisitas, tetapi sekali-kali bisa timbul serangan. Jarang bisa terjadi pemulihan sempurna
dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya berakhir dengan personalitas yang rusak
“cacat”.
b. Depresi
Merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam
perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu
makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh
diri (Kaplan, 1998). Depresi juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk gangguan kejiwaan
pada alam perasaan yang ditandai dengan kemurungan, keleluasaan, ketiadaan gairah hidup,
perasaan tidak berguna, putus asa dan lain sebagainya (Hawari, 1997).
Depresi adalah suatu perasaan sedih dan yang berhubungan dengan penderitaan. Dapat
berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan marah yang mendalam
(Nugroho, 2000).
10
pesimis, putus asa, ketidakberdayaan, harga diri rendah, bersalah, harapan yang negatif dan
takut pada bahaya yang akan datang. Depresi menyerupai kesedihan yang merupakan perasaan
normal yang muncul sebagai akibat dari situasi tertentu misalnya kematian orang yang dicintai.
c. Kecemasan
Sebagai pengalaman psikis yang biasa dan wajar, yang pernah dialami oleh setiap orang
dalam rangka memacu individu untuk mengatasi masalah yang dihadapi sebaik-baiknya,
Maslim (1991). Suatu keadaan seseorang merasa khawatir dan takut sebagai bentuk reaksi dari
ancaman yang tidak spesifik (Rawlins 1993). Penyebabnya maupun sumber biasanya tidak
diketahui atau tidak dikenali. Intensitas kecemasan dibedakan dari kecemasan tingkat ringan
sampai tingkat berat. Menurut Sundeen (1995) mengidentifikasi rentang respon kecemasan
kedalam empat tingkatan yang meliputi, kecemasan ringan, sedang, berat dan kecemasan
panik.
d. Gangguan Kepribadian
Merupakan gangguan jiwa yang psikotik atau non-psikotik yang disebabkan oleh
gangguan fungsi jaringan otak (Maramis,1994). Gangguan fungsi jaringan otak ini dapat
disebabkan oleh penyakit badaniah yang terutama mengenai otak atau yang terutama diluar
otak. Bila bagian otak yang terganggu itu luas , maka gangguan dasar mengenai fungsi mental
sama saja, tidak tergantung pada penyakit yang menyebabkannya bila hanya bagian otak
dengan fungsi tertentu saja yang terganggu, maka lokasi inilah yang menentukan gejala dan
sindroma, bukan penyakit yang menyebabkannya. Pembagian menjadi psikotik dan tidak
psikotik lebih menunjukkan kepada berat gangguan otak pada suatu penyakit tertentu daripada
pembagian akut dan menahun.
11
f. Gangguan Psikosomatik
Gangguan psikosomatik dapat disamakan dengan apa yang dinamakan dahulu neurosa
organ. Karena biasanya hanya fungsi faaliah yang terganggu, maka sering disebut juga
gangguan psikofisiologik.
g. Retardasi Mental
Retardasi mental merupakan keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak
lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa
perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya
kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan social.
a. Neurosa
Neurosa ialah kondisi psikis dalam ketakutan dan kecemasan yang kronis dimana tidak
ada rangsangan yang spesifik yang menyebabkan kecemasan tersebut.
b. Psikosa
Tanda dan gejala gangguan jiwa menurut Yosep (2007) adalah sebagai berikut :
a. Ketegangan (tension), rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas, perbuatan-
perbuatan yang terpaksa (convulsive), hysteria, rasa lemah, tidak mampu mencapai tujuan,
takut, pikiran-pikiran buruk.
12
b. Gangguan kognisi pada persepsi: merasa mendengar (mempersepsikan) sesuatu
bisikan yang menyuruh membunuh, melempar, naik genting, membakar rumah, padahal orang
di sekitarnya tidak mendengarnya dan suara tersebut sebenarnya tidak ada hanya muncul dari
dalam diri individu sebagai bentuk kecemasan yang sangat berat dia rasakan. Hal ini sering
disebut halusinasi, klien bisa mendengar sesuatu, melihat sesuatu atau merasakan sesuatu yang
sebenarnya tidak ada menurut orang lain.
c. Gangguan kemauan: klien memiliki kemauan yang lemah (abulia) susah membuat
keputusan atau memulai tingkah laku, susah sekali bangun pagi, mandi, merawat diri sendiri
sehingga terlihat kotor, bau dan acak-acakan.
a. Terapi psikofarmaka
Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada
Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku,
digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup
klien (Hawari, 2001).
b. Terapi somatic
Terapi ini hanya dilakukan pada gejala yang ditimbulkan akibat gangguan jiwa
sehingga diharapkan tidak dapat mengganggu sistem tubuh lain. Salah satu bentuk terapi ini
13
adalah Electro Convulsive Therapy. Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis
pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak melalui elektroda yang
ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup menimbulkan kejang grand mal, yang darinya
diharapkan efek yang terapeutik tercapai. Mekanisme kerja ECT sebenarnya tidak diketahui,
tetapi diperkirakan bahwa ECT menghasilkan perubahan-perubahan biokimia di dalam otak
(Peningkatan kadar norepinefrin dan serotinin) mirip dengan obat anti depresan. (Townsend
alih bahasa Daulima,2006).
c. Terapi Modalitas
Terapi modalitas adalah suatu pendekatan penanganan klien gangguan yang bervariasi
yang bertujuan mengubah perilaku klien gangguan jiwa dengan perilaku maladaptifnya
menjadi perilaku yang adaptif.
1) Terapi Individual
2) Terapi Lingkungan
Terapi lingkungan adalah bentuk terapi yaitu menata lingkungan agar terjadi perubahan
perilaku pada klien dari perilaku maladaptive menjadi perilaku adaptif. Perawat menggunakan
semua lingkungan rumah sakit dalam arti terapeutik. Bentuknya adalah memberi kesempatan
klien untuk tumbuh dan berubah perilaku dengan memfokuskan pada nilai terapeutik dalam
aktivitas dan interaksi.
14
3) Terapi Kognitif
Terapi kognitif adalah strategi memodifikasi keyakinan dan sikap yang mempengaruhi
perasaan dan perilaku klien. Proses yang diterapkan adalah membantu mempertimbangkan
stressor dan kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi pola berfikir dan keyakinan yang
tidak akurat tentang stressor tersebut. Gangguan perilaku terjadi akibat klien mengalami pola
keyakinan dan berfikir yang tidak akurat. Untuk itu salah satu memodifikasi perilaku adalah
dengan mengubah pola berfikir dan keyakinan tersebut.
Fokus asuhan adalah membantu klien untuk reevaluasi ide, nilai yang diyakini,
harapan-harapan, dan kemudian dilanjutkan dengan menyusun perubahan kognitif.
4) Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh anggota keluarga sebagai
unit penanganan (treatment unit). Tujuan terapi keluarga adalah agar keluarga mampu
melaksanakan fungsinya. Untuk itu sasaran utama terapi jenis ini adalah keluarga yang
mengalami disfungsi; tidak bisa melaksanakan fungsi-fungsi yang dituntut oleh anggotanya.
Dalam terapi keluarga semua masalah keluarga yang dirasakan diidentifikasi dan
kontribusi dari masing-masing anggota keluarga terhadap munculnya masalah tersebut digali.
Dengan demikian terlebih dahulu masing-masing anggota keluarga mawas diri; apa masalah
yang terjadi di keluarga, apa kontribusi masingmasing terhadap timbulnya masalah, untuk
kemudian mencari solusi untuk mempertahankan keutuhan keluarga dan meningkatkan atau
mengembalikan fungsi keluarga seperti yang seharusnya.
5) Terapi Kelompok
Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang dibentuk dalam kelompok,
suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media kelompok. Dalam terapi kelompok
perawat berinteraksi dengan sekelompok klien secara teratur. Tujuannya adalah meningkatkan
kesadaran diri klien, meningkatkan hubungan interpersonal, dan mengubah perilaku
maladaptive. Terapi Perilaku Anggapan dasar dari terapi perilaku adalah kenyataan bahwa
perilaku timbul akibat proses pembelajaran.
Perilaku sehat oleh karenanya dapat dipelajari dan disubstitusi dari perilaku yang tidak
sehat. Teknik dasar yang digunakan dalam terapi jenis ini adalah: Role model, Kondisioning
operan, Desensitisasi sistematis, Pengendalian diri dan Terapi aversi atau rileks kondisi.
15
6) Terapi Bermain
Terapi bermain diterapkan karena ada anggapan dasar bahwa anak-anak akan dapat
berkomunikasi dengan baik melalui permainan dari pada dengan ekspresi verbal. Dengan
bermain perawat dapat mengkaji tingkat perkembangan, status emosional anak, hipotesa
diagnostiknya, serta melakukan intervensi untuk mengatasi masalah anak tersebut.
a. Pengertian Rehabilitasi
b. Tujuan Rehabilitasi
Maksud dan tujuan rehabilitasi klien mental dalam psikiatri yaitu mencapai perbaikan
fisik dan mental sebesar-besarnya, penyaluran dalam pekerjaan dengan kapasitas maksimal dan
penyesuaian diri dalam hubungan perseorangan dan sosial sehingga bisa berfungsi sebagai
anggota masyarakat yang mandiri dan berguna.
c. Tahapan Rehabilitasi
1) Tahap persiapan
a) Orientasi.
Selama fase orientasi klien akan memerlukan dan mencari bimbingan seorang yang
professional. Perawat menolong klien untuk mengenali dan memahami masalahnya dan
menentukan apa yang diperlukannya.
b) Identifikasi
Perawat mengidentifikasi dan mengkaji perasaan klien serta membantu klien seiring
penyakit yang ia rasakan sebagai sebuah pengalaman dan memberi orientasi positif akan
perasaan dan kepribadiannya serta memberi kebutuhan yang diperlukan.
16
2) Tahap pelaksanaan
Perawat melakukan eksploitasi dimana selama fase ini klien menerima secara penuh
nilai-nilai yang ditawarkan kepadanya melalui sebuah hubungan (Relationship). Tujuan baru
yang akan dicapai melalui usaha personal dapat diproyeksikan, dipindah dari perawat ke klien
ketika klien menunda rasa puasnya untuk mencapai bentuk baru dari apa yang dirumuskan.
3) Tahap pengawasan
Tahap pengawasan perawat melakukan resolusi. Tujuan baru dimunculkan dan secara
bertahap tujuan lama dihilangkan. Ini adalah proses dimana klien membebaskan dirinya dari
ketergantungan terhadap orang lain.
1) Orientation
Orientaton adalah pencapaian tingkat orientasi dan kesadaran terhadap realita yang
lebih baik. Orientasi berhubungan dengan pengetahuan dan pemahaman klien terhadap waktu,
tempat atau maksud/ tujuan, sedangkan kesadaran dapat dikuatkan melalui interaksi dan
aktifitas pada semua klien.
2) Assertion
Assertion yaitu kemampuan mengekspresikan perasaan sendiri dengan tepat. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara mendorong klien dalam mengekspresikan diri secara efektif
dengan tingkah laku yang dapat diterima masyarakat melalui kelompok pelatihan asertif,
kelompok klien dengan kemampuan fungsional yang rendah atau kelompok interaksi klien.
3) Accuption
Accuption adalah kemampuan klien untuk dapat percaya diri dan berprestasi melalui
keterampilan membuat kerajinan tangan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan
aktifitas klien dalam bentuk kegiatan sederhana seperti teka- teki (sebagai aktivitas yang
bertujuan) mengembangkan keterampilan fisik seperti menyulam. Membuat bunga, melukis
dan meningkatkan manfaat interaksi sosial.
17
4) Recreation
B. Pendidikan
Pendidikan adalah status resmi tingkat terakhir yang di tempuh oleh pasien. Pendidikan
menjadi suatu tolak ukur kemampuan klien untuk berinteraksi secara efektif. Keikutsertaan
pasien dalam belajar maupun pelatihan secara tidak langsung di pengaruhi oleh keinginan
untuk mendapatkan pengetahuan dan kemampuan. Ada penelitian yang mengatakan bahwa
sebagian besar orang dengan gangguan jiwa pada tingkat SMA dan ada pula penelitian yang
mengatakan orang yang gangguan jiwa lebih sering telah menempuh pendidikan selama 11,5
tahun dan 12,7 tahun.
18
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui
gambaran tingkat pendidikan dan ketrampilan terhadap peningkatan tingkat kemandirian pada
penderita gangguan jiwa di wilayah Puskesmas Babat Tahun 2017. Penelitian ini disajikan
dalam bentuk hubungan sebab-akibat dianalisa berdasarkan tinjauan pustaka dan
dideskripsikan secara naratif
Semua penderita gangguan jiwa yang berdomisili di desa Trepan dan Kebalan Pelang
Babat yang berobat ke Puskesmas Kelurahan Babat.
19
b. Kriteria Eksklusi
Penderita gangguan jiwa yang memiliki riwayat melakukan kekerasan dan tidak
kooperatif
Keluarga penderita gangguan jiwa yang tidak kooperatif
Keluarga penderita gangguan jiwa yang alamat tempat tinggalnya tidak sesuai
dengan data alamat
b. Instrumen Penelitian
Alat atau instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner terkait
dengan status psikiatri responden. Selain data status psikiatri, akan ditanyakan juga mengenai
bagaimana perkembangan kehidupan sehari-hari dan tingkat kemandirian pasien dengan range
waktu 1 tahun meliputi tanggal terakhir kontrol, serta bagaimana keseharian pasien baik di
lingkungan keluarga hingga saat ini.
Tingkat kemandirian pasien selama 1 tahun yang lalu dibandingkan dengan tingkat
kemandirian saat ini, dan akan dihubungkan dengan tingkat pendidikan serta ketrampilan
selama proses penyembuhan. Tingkat kemandirian dianggap baik jika terdapat perkembangan
pada Activity Daily Life (ADL) sebanyak > 75%. Tingkat ketrampilan dianggap baik dan
mendukung penyembuhan jika jawaban korersponden sebanyak > 75% positif.
20
F. Teknik Pengolahan dan Analisa Data
a. Teknik Pengolahan Data
1. Pengolahan Data (editing)
Meneliti kembali apakah lembar kuesioner sudah cukup baik sehingga dapat di proses lebih
lanjut. Editing dapat dilakukan di tempat pengumpulan data sehingga jika terjadi kesalahan
maka upaya perbaikan dapat segera dilaksanakan.
2. Pengkodean (Coding)
Usaha mengklarifikasi jawaban-jawaban yang ada menurut macamnya, menjadi bentuk yang
lebih ringkas dengan menggunakan kode.
3. Pemasukan Data (Entry)
Memasukan data ke dalam perangkat komputer sesuai dengan kriteria.
4. Pembersihan Data (Cleaning data)
Data yang telah di masukan kedalam komputer diperiksa kembali untuk mengkoreksi
kemungkinan kesalahan.
21
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Kecamatan Babat terdiri dari 2 kelurahan, 7 desa, 52 RT, 154 RW dengan komposisi
jumlah penduduk 16.116 jiwa laki – laki dan 16.658 jiwa perempuan dengan luas
wilayah 2.037 km2.
1. Keadaan Demografis
22
2. JUMLAH PENDUDUK TAHUN 2014
Jumlah penduduk : 32.774 jiwa
Jenis kelamin :
Perempuan : 16.658 orang
Laki – laki : 16.116 orang
23
Puskesmas Babat berada di kecamatan Babat yang menjadi pusat kesehatan bagi
masyarakat setempat. Dalam menjalankan dan memenuhi tugasnya, puskesmas Babat
memiliki sumber daya manusia (SDM) seta sarana dan prasarana pelayanan kesehatan
yang baik dan terpadu, sebagai berikut :
24
2 ECG 1
3 Mobil sehat 4
4 Laboratorium 1
5 PONED kit 1
6 Ambulance 3
7 USG 1
8 UGD set 1
9 Skizofrenia 4 2,2
10 Asma 3 1,7
Jumlah 176 100
25
B. Hasil Penelitian
1. Data umum
Karakteristik Responden
26
Tabel 4.9 Jenis Gangguan Jiwa
Dari tabel di atas didapatkan responden yang memiliki gangguan jiwa berupa gangguan mood
sebanyak 1 orang (10%), gangguan psikotik sebanyak 8 orang (80%), dan penggunaan napza
1 orang (10%).
2. Hasil wawancara
27
Tabel 4.11 Distribusi Jawaban Pada Pertanyaan Mengenai Tingkat Kemandirian
*soal terlampir
Dari tabel diatas didapatkan 2 responden (20 %) yang tidak mandiri dalam
mengerjakan pertanyaan nomor 9 yaitu mengenai jadwal mandi..
Baik 7 70
Masalah besar 2 20
28
Tabel diatas memperlihatkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat
kemandirian yang baik sejak 1 tahun yang lalu meliputi tanggal terakhir kontrol, sejumlah 7
responden (70 %), memiliki masalah ringan – sedang sebanyak 1 responden (10%), dan
sisanya memiliki masalah besar/berat sejumlah 2 orang (20%).
Soal
Tidak Ada Masalah Masalah Kecil - Sedang Masalah Besar
(Nomor) *
*soal terlampir
Dari tabel di atas terlihat bahwa dari 10 responden yang diteliti sebanyak 2 responden
dengan gangguan jiwa yang tidak pernah melakukan aktivitas di luar rumah dan berinteraksi
dengan lingkungan sekitar, dan sebanyak 2 responden gangguan jiwa yang tidak terlalu
memerhatikan kesehatannya sendiri.
29
Gambaran Keikutsertaan Pelatihan Ketrampilan
Pernah 9 90
Tidak Pernah 1 10
Soal
Tidak Pernah Pernah
(Nomor) *
1 1 responden 9 responden
2 1 responden 9 responden
3 6 responden 4 responden
*soal terlampir
Dari tabel di atas terlihat bahwa dari 10 responden yang diteliti sebanyak 9 responden
pernah mendapatkan pelatihan keagamaan karena sekolah di pesantran. Dari 10 responden
yang diteliti terdapat 6 responden yang pernah mengikuti pelatihan selain keagamaan, dengan
berbagai macam pelatihan di antaranya pelatihan kerja, pelatihan memasak, dan pelatihan
membuat kerajinan. Dan dari 10 responden yang diteliti terdapat 4 responden yang tidak
menggunakan hasil pelatihannya lagi, 6 di antaranya masih melakukan hasil dari pelatihannya
baik pelatihan agama maupun pelatihan kerja.
30
Gambaran Perbandingan Tingkat Pendidikan dan Ketrampilan dengan Perbaikan
Tingkat Kemandirian Pasien
Memiliki
masalah Memiliki
Tidak kecil – masalah berat Butuh
Tidak
memiliki sedang dalam Mandiri bantuan/pen
mandiri
masalah dalam aktivitas gawasan
aktivitas sehari – hari
sehari - hari
SD 2 2
SMP 3 1 1 2 3
SMA 2 1 2 1
Total 7 1 2 6 3 1
Dari tabel diatas terlihat bahwa antara tingkat pendidikan dengan peningkatan tingkat
kemandirian pasien dengan gangguan jiwa berbanding lurus.
31
Tabel 4.17 Perbandingan Keikutsertaan Pelatihan Dengan Perbaikan Tingkat
Kemandirian
Tingkat Kemandirian
Ikut serta
Pelatihan 1 tahun sebelumnya Saat ini
Pernah ikut 6 1 2 5 3 1
Tidak pernah 1 1
ikut
Total 7 1 2 6 3 1
Dari tabel diatas terlihat bahwa antara keikutsertaan pelatihan ketrampilan dengan
peningkatan tingkat kemandirian pasien dengan gangguan jiwa berbanding lurus.
C. Hasil Intervensi
Hasil intervensi mulai tanggal 1 Desember sampai 30 Desember 2017 didapatkan hasil
2 responden mengalami perbaikan tingkat dukungan keluarga setelah diberikan intervensi
kepada keluarga berupa penyuluhan tentang pentingnya keikutsertaan pelatihan pada pasien
yang menderita gangguan jiwa dan juga melakukan hasil dari pelatihan tersebut untuk lebih
meningkatkan kemandirian pasien dengan gangguan jiwa agar mendapatkan kehidupan yang
ebih baik. (contoh: pelatihan memasak, pasien di ijinkan untuk memasak di rumah. Pelatihan
agama, maka pasien di ingatkan untuk mengaji. Apabila keadaan membaik di beri kesempatan
untuk bekerja di luar rumah agar lebih mandiri dan lebih bersosialisasi tentu saja dengan
pengawasan tetap minum obat dan pengawasan tingkat stress).
32
BAB V
PEMBAHASAN
33
BAB VI
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diambil gambaran bahwa tingkat pendidikan dan
keikut sertaan pelatihan ketrampilan pada pasien gangguan jiwa di lingkungan kerja Puskesmas
Babat mempengaruhi tingkat kemandirian pasien itu sendiri.
6.2 Saran
34
BAB VII
DAFTAR PUSTAKA
.
1. Riskesda. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Depkes RI. Jakarta.
2. Notoatmodjo, S. 2007.Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
3. American Psychiatric Assiciation. 1994. Diagnostic and statistical manual of mental
disorders. 4thEd. Washington DC :American Psychiatric Assiciation. Dilihat di
http://upetd.up.ac.za/thesis/submitted/etd07252005115242/unrestricted/03back.pdf. .
4. Baihaqi MIF, dkk. 2005. Psikiatri : Konsep Dasar Dan Gangguan- Gangguan.
Bandung : PT Refika aditama.
5. Charles. 2013. Enviornmental Connections: A Deeper Look into Mental Illness.
National Institute of Enviornmental Health Science, Vol. 115, No. 8. Pubmed: US.
6. Marramis Willy,F.2009.Ilmu Kedokteran Jiwa edisi 2. Airlangga University press,
Surabaya,Indonesia 157-168
7. Hawari,Dadang. 2001. Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa, Skizofrenia. Jakarta :
FKUI.
8. Henuhili ,Supiyani. 2013. Mari Kenali Kesehatan Jiwa!. medistra Hospital. Dilihat di
http://www.medistra.com/index.php?option=com_content&view=article&id=177..
9. Maslim, Rusdi. 2003. Diagnosis gangguan jiwa PPDGJ –III. Jakarta : bagian ilmu
kedokteran jiwa FK-unika Atmajaya.
10. Meilan. 2013. The Factors that Influences Mental Health Problems. Living Healthy.
Available on: www.livinghealthy360.com/index.php/what-influences-mental-health-
problems-79982/
11. Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Editor: Aep Gunarsa. Bandung. PT. Refika
Aditama.
12. www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KES.../15_Jatim_2015.pdf
13. Acandra (2010). Masyarakat Perlu Pendidikan Kesehatan Jiwa. Diakses pada
tanggal 21 agustus 2013 dari
http://kesehatan.kompas.com/read/2010/04/05/15005989/Masyarakat.Perlu.Pendidika
n.Kesehatan.Jiwa
14. Suliha, U.et all (2001). Pendidikan Kesehatan dalam Keperawatan. EGC. Jakarta
35
15. (http://www.link.pdf.com/download/dl/askep-gangguan-jiwa-pdf). Diakses pada
tanggal 12 Desember 2017 pukul 09.15 WIB.
16. ( http:// perawat psikiatri. blogspot. com/ mental disorder. html)
17. (http://rsjlawang.com/artikel_080512a.html).
36
Lampiran
Kuisioner Penelitian
Data Pasien
Nama :
Usia :
Jenis Kelamin :
Alamat :
No. Telpon :
Tanggal kontrol terakhir :
Data Koresponden
Nama :
Usia :
Jenis Kelamin :
Pekerjaan :
Hubungan dengan pasien :
Alamat :
No. Telpon :
37
Tingkat Kemandirian Pasien
(a) tidak
(b) memiliki keinginan untuk melakukan itu, tapi dapat dicegah dengan nasihat dari
orang – orang di sekitarnya
(c) ada keinginan untuk melakukan itu dan tidak dapat dicegah dengan nasihat dari
orang – orang di sekitarnya
(d) sudah sering melakukan perbuatan seperti itu
(a) Lancar
(b) Tidak lancar
(c) Lancar, tapi pembicaraan sering tidak sesuai
(d) Tidak ada respon/komunikasi buruk
38
5. Apakah pasien minum obat dengan teratur?
(a) Ya
(b) Butuh diingatkan
(c) Harus dipaksa minum obat
(d) Tidak mau minum obat sama sekali
6. Apakah pasien makan sesuai dengan jadwal makan yang berlaku di keluarga (rumah)?
(a) Ya
(b) Butuh diingatkan maksimal satu kali
(c) Butuh diingatkan berkali – kali
(d) Pasien tidak mau mengikuti jadwal makan di rumah
7. Apakah pasien mandi sesuai dengan jadwal mandi yang berlaku di rumah?
(a) Ya
(b) Butuh diingatkan maksimal satu kali
(c) Butuh diingatkan berkali – kali
(d) Pasien tidak mau mengikuti jadwal mandi di rumah
8. Apakah pasien berpakaian dengan pantas seperti anggota keluarga lain di rumah?
(a) Ya
(b) Butuh diingatkan maksimal satu kali
(c) Butuh diingatkan berkali – kali
(d) Pasien tidak mau berpakaian seperti anggota keluarga lain di rumah
39
4. Apakah pasien memiliki masalah dalam melakukan aktivitas dengan anggota keluarga
lainnya?
(a) Tidak ada masalah
(b) Masalah kecil – sedang
(c) Masalah besar
5. Apakah pasien memiliki masalah dengan orang lain selain anggota keluarga?
(a) Tidak ada masalah
(b) Masalah kecil – sedang
(c) Masalah besar
10. apakah pasien peduli pada keamanan dirinya sendiri dan orang lain?
(a) Peduli
(b) Tidak terlalu peduli
(c) Sangat tidak peduli
40
2. Apakah pasien pernah mengikuti pelatihan keagamaan?
(a) Pernah
(b) Tidak pernah
3. Apakah pasien masih melakukan hasil dari pelatihan tersebut?
(a) Ya
(b) Tidak
41