Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 menyatakan bahwa kesehatan jiwa adalah


kondisi ketika seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial
sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat
bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Pengertian
kesehatan jiwa tersebut dengan jelas menerangkan bahwa setiap individu berhak untuk
mendapatkan kualitas hidup yang layak yang dititikberatkan pada perkembangan fisik, mental,
spiritual, dan sosial, sehingga memungkinkan individu tersebut mampu hidup produktif dan
mampu memberikan kontribusi untuk masyarakat.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pelayanan kesehatan bukan


hanya ditujukan untuk pelayanan fisik saja, melainkan harus melayani kesehatan jiwa dan
sosial serta bukan hanya mengobati penyakit, tetapi juga pengembangan kualitas hidup yang
sejahtera baik dari produktifitas, maupun sosial ekonomi. Dalam penjelasan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2014 dijelaskan, hak penderita gangguan jiwa sering terabaikan, baik secara
hukum maupun secara sosial, sehingga pelayanan kesehatan jiwa serta jaminan hak orang
dengan gangguan jiwa tidak bisa diwujudkan secara optimal yang menyebabkan menurunkan
produktivitas penderita, baik dalam bekerja maupun dalam beraktivitas sehari-hari.

Menurut WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang
terkena bipolar, 21 juta orang terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensia. Jumlah
penderita gangguan jiwa di Indonesia saat ini adalah 236 juta orang, dengan kategori gangguan
jiwa ringan 6% dari populasi dan 0,17% menderita gangguan jiwa berat, 14,3% diantaranya
mengalami pasung. Tercatat sebanyak 6% penduduk berusia 15-24 tahun mengalami gangguan
jiwa. Di Jawa Timur pasien dengan gangguan jiwa dengan pengobatan rawat jalan sebanyak
38.847 jiwa dengan prosentasi sebanyak 86,1 % (Depkes, 2015).
Pendidikan kesehatan menurut Suliha (2001) adalah suatu proses perubahan perilaku
yang dinamis dengan tujuan mengubah atau mempengaruhi perilaku manusia yang meliputi
kompoen pengetahuan, sikap ataupun praktik yang berhubungan dengan tujuan hidup sehat
baik secara individu, kelompok maupun masyarakat serta merupakan komponen program
kesehatan.

1
Menurut Warih Andan Puspitosari (Acandra, 2010) masyarakat dan keluarga
memerlukan pendidikan kesehatan jiwa, karena kesehatan jiwa milik semua orang. Pendidikan
kesehatan merupakan langkah pencegahan yang dapat dilakukan di masyarakat dan keluarga,
dengan tujuan untuk menghilangkan stigma agar masyarakat dapat menyikapi penderita
gangguan jiwa dengan empati.
Berdasarkan survey pendahuluan dan wawancara pada bulan Oktober 2017 kepada
beberapa keluarga di Desa Babat, peneliti menemukan bahwa tingkat pendidikan dan
pengetahuan pelatihan ketrampilan penderita baik pasien dan keluarga gangguan jiwa masih
rendah. Tidak jarang bahkan ada yang masih di pasung. Hal ini membuktikan tingkat
pendidikan dan ketrampilan dapat meningkatkan tingkat kemandirian para pasien dan
meningkatkan tingkat kesembuhan pada pasien gangguan jiwa.
Melihat masalah tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul Gambaran Tingkat Pendidikan dan Ketrampilan dengan Tingkat Kemandirian
pada Orang Dengan Gangguan Jiwa di Wilayah Puskesmas Babat.
Responden yang diambil pada mini project ini adalah pasien – pasien yang berada di
wilayah Puskesmas Babat dengan penyakit gangguan jiwa.

B . Rumusan Masalah
Bagaimanakah tingkat pendidikan dan tingkat ketrampilan mempengaruhi tingkat
kemandirian pada orang dengan gangguan jiwa?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
a. Untuk mengetahui tingkat kemandirian pasien dengan gangguan jiwa di
Kelurahan Babat periode 8 Oktober 2017 – 8 Februari 2017
b. Untuk mengetahui tingkat kemandirian pasien dengan gangguan jiwa terhitung
sejak 1 tahun terakhir, mencakup tanggal terakhir kontrol, di wilayah Kelurahan
Babat periode 8 Oktober 2017 – 8 Februari 2017
c. Untuk mengetahui tingkat pendidikan dan ketrampilan pada kasus gangguan
jiwa di Kelurahan Babat periode 8 Oktober 2017 – 8 Februari 2017

2
Tujuan Khusus
Untuk mengetahui Gambaran Tingkat Pendidikan dan Ketrampilan Terhadap
Peningkatan Tingkat Kemandirian pada Penderita Gangguan Jiwa di wilayah
Puskesmas Kelurahan Kebon Baru, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, tahun 2015

1.4 Manfaat Penelitian


1. Bagi Peneliti
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman bagi penulis dalam
meneliti secara langsung di lapangan.
b. Untuk memenuhi salah satu tugas peneliti dalam menjalani program internsip dokter
umum Indonesia
2. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan agar masyarakat semakin meningkatkan kepedulian dan
dukungan kepada penderita penyakit gangguan jiwa untuk mempercepat perkembangan
penyembuhan penyakit tersebut.
3. Bagi Institusi
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi Puskesmas Babat dalam rangka
meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya penyakit gangguan jiwa.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gangguan Jiwa
1. Pengertian gangguan jiwa
Gangguan jiwa atau mental illness adalah kesulitan yang harus dihadapi oleh seseorang
karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan karena persepsinya tentang kehidupan dan
sikapnya terhadap dirinya sendiri-sendiri (Djamaludin, 2001). Gangguan jiwa adalah gangguan
dalam cara berpikir (cognitive), kemauan (volition),emosi (affective), tindakan (psychomotor)
(Yosep, 2007).

Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000) adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa
yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada
individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran social. Menurut Townsend (1996)
mental illness adalah respon maladaptive terhadap stressor dari lingkungan dalam/luar
ditunjukkan dengan pikiran, perasaan, dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma lokal
dan kultural dan mengganggu fungsi sosial, kerja, dan fisik individu.

Konsep gangguan jiwa dari PPDGJ II yang merujuk ke DSM-III adalah sindrom atau
pola perilaku, atau psikologi seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan yang secara
khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment/disability)
di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia (Maslim, 2002).

Menurut American Psychiatric Association (1994), gangguan mental adalah gejala atau
pola dari tingkah laku psikologi yang tampak secara klinis yang terjadi pada seseorang dari
berhubungan dengan keadaan distress (gejala yang menyakitkan) atau ketidakmampuan
(gangguan pada satu area atau lebih dari fungsi-fungsi penting) yang meningkatkan risiko
terhadap kematian, nyeri, ketidakmampuan atau kehilangan kebebasan yang penting dan tidak
jarang respon tersebut dapat diterima pada kondisi tertentu.

2. Penyebab timbulnya gangguan jiwa

Penyebab gangguan jiwa itu bermacam-macam ada yang bersumber dari berhubungan
dengan orang lain yang tidak memuaskan seperti diperlakukan tidak adil, diperlakukan
semena-mena, cinta tidak terbatas, kehilangan seseorang yang dicintai, kehilangan pekerjaan,
dan lain-lain. Selain itu ada juga gangguan jiwa yang disebabkan faktor organik, kelainan saraf
dan gangguan pada otak (Djamaludin, 2001).

4
Para ahli psikologi berbeda pendapat tentang sebab-sebab terjadinya gangguan jiwa.
Menurut pendapat Sigmund Freud dalam Maslim (2002), gangguan jiwa terjadi karena tidak
dapat dimainkan tuntutan id (dorongan instinctive yang sifatnya seksual) dengan tuntutan super
ego (tuntutan normal social). Orang ingin berbuat sesuatu yang dapat memberikan kepuasan
diri, tetapi perbuatan tersebut akan mendapat celaan masyarakat. Konflik yang tidak
terselesaikan antara keinginan diri dan tuntutan masyarakat ini akhirnya akan mengantarkan
orang pada gangguan jiwa.Terjadinya gangguan jiwa dikarenakan orang tidak memuaskan
macam-macam kebutuhan jiwa mereka.

Beberapa contoh dari kebutuhan tersebut diantaranya adalah pertama kebutuhan untuk
afiliasi, yaitu kebutuhan akan kasih sayang dan diterima oleh orang lain dalam kelompok.
Kedua, kebutuhan untuk otonomi, yaitu ingin bebas dari pengaruh orang lain. Ketiga,
kebutuhan untuk berprestasi, yang muncul dalam keinginan untuk sukses mengerjakan sesuatu
dan lain-lain. Ada lagi pendapat Alfred Adler yang mengungkapkan bahwa terjadinya
gangguan jiwa disebabkan oleh tekanan dari perasaan rendah diri (infioryty complex) yang
berlebih-lebihan. Sebab-sebab timbulnya rendah diri adalah kegagalan di dalam mencapai
superioritas di dalam hidup. Kegagalan yang terus-menerus ini akan menyebabkan kecemasan
dan ketegangan emosi.

J.P Caplin dalam Kartini Kartono (2000) mengartikan bahwa kebutuhan ialah alat
substansi sekuler. Dorongan hewani atau motif fisiologis dan psikologis yang harus dipenuhi
atau dipuaskan oleh organisme, binatang atau manusia, supaya mereka bias sehat sejahtera dan
mampu melakukan fungsinya. Dari berbagai pendapat mengenai penyebab terjadinya
gangguan jiwa seperti yang dikemukakan diatas disimpulkan bahwa gangguan jiwa disebabkan
oleh karena ketidak mampuan manusia untuk mengatasi konflik dalam diri, tidak terpenuhinya
kebutuhan hidup, perasaan kurang diperhatikan (kurang dicintai) dan perasaan rendah diri.
(Djamaludin dan Kartini, 2001).

Menurut Sigmund Freud dalam Santrock (1999) adanya gangguan tugas perkembangan
pada masa anak terutama dalam hal berhubungan dengan orang lain sering menyebabkan
frustasi, konflik, dan perasaan takut, respon orang tua yang mal adaptif pada anak akan
meningkatkan stress, sedangkan frustasi dan rasa tidak percaya yang berlangsung terusmenerus
dapat menyebabkan regresi dan withdral.

Disamping hal tersebut di atas banyak faktor yang mendukung timbulnya gangguan
jiwa yang merupakan perpaduan dari beberapa aspek yang saling mendukung yang meliputi

5
Biologis, psikologis, sosial, lingkungan. Tidak seperti pada penyakit jasmaniah, sebab-sebab
gangguan jiwa adalah kompleks. Pada seseorang dapat terjadi penyebab satu atau beberapa
faktor dan biasanya jarang berdiri sendiri. Mengetahui sebabsebab gangguan jiwa penting
untuk mencegah dan mengobatinya.

Umumnya sebab-sebab gangguan jiwa menurut Santrock (1999) dibedakan atas :

a. Sebab-sebab jasmaniah/ biologic

1) Keturunan

Peran yang pasti sebagai penyebab belum jelas, mungkin terbatas dalam
mengakibatkan kepekaan untuk mengalami gangguan jiwa tapi hal tersebut sangat ditunjang
dengan faktor lingkungan kejiwaan yang tidak sehat.

2) Jasmaniah

Beberapa penyelidik berpendapat bentuk tubuh seorang berhubungan dengan gangguan


jiwa tertentu, Misalnya yang bertubuh gemuk / endoform cenderung menderita psikosa manik
depresif, sedang yang kurus/ ectoform cenderung menjadi skizofrenia.

3) Temperamen

Orang yang terlalu peka/ sensitif biasanya mempunyai masalah kejiwaan dan
ketegangan yang memiliki kecenderungan mengalami gangguan jiwa.

4) Penyakit dan cedera tubuh

Penyakit-penyakit tertentu misalnya penyakit jantung, kanker dan sebagainya, mungkin


menyebabkan merasa murung dan sedih. Demikian pula cedera/cacat tubuh tertentu dapat
menyebabkan rasa rendah diri.

b. Sebab Psikologik

Bermacam pengalaman frustasi, kegagalan dan keberhasilan yang dialami akan


mewarnai sikap, kebiasaan dan sifatnya dikemudian hari. Hidup seorang manusia dapat dibagi
atas 7 masa dan pada keadaan tertentu dapat mendukung terjadinya gangguan jiwa.

6
1) Masa bayi

Yang dimaksud masa bayi adalah menjelang usia 2 – 3 tahun, dasar perkembangan yang
dibentuk pada masa tersebut adalah sosialisasi dan pada masa ini. Cinta dan kasih sayang ibu
akan memberikan rasa hangat/ aman bagi bayi dan dikemudian hari menyebabkan kepribadian
yang hangat, terbuka dan bersahabat.

Sebaliknya, sikap ibu yang dingin acuh tak acuh bahkan menolak dikemudian hari akan
berkembang kepribadian yang bersifat menolak dan menentang terhadap lingkungan.
Sebaiknya dilakukan dengan tenang, hangat yang akan memberi rasa aman dan terlindungi,
sebaliknya, pemberian yang kaku, keras dan tergesa-gesa akan menimbulkan rasa cemas dan
tekanan.

2) Masa anak pra sekolah (antara 2 sampai 7 tahun)

Pada usia ini sosialisasi mulai dijalankan dan telah tumbuh disiplin dan otoritas.
Penolakan orang tua pada masa ini, yang mendalam atau ringan, akan menimbulkan rasa tidak
aman dan ia akan mengembangkan cara penyesuaian yang salah, dia mungkin menurut,
menarik diri atau malah menentang dan memberontak.

Anak yang tidak mendapat kasih sayang tidak dapat menghayati disiplin tak ada
panutan, pertengkaran dan keributan membingungkan dan menimbulkan rasa cemas serta rasa
tidak aman. hal-hal ini merupakan dasar yang kuat untuk timbulnya tuntutan tingkah laku dan
gangguan kepribadian pada anak dikemudian hari.

3) Masa Anak sekolah

Masa ini ditandai oleh pertumbuhan jasmaniah dan intelektual yang pesat. Pada masa
ini, anak mulai memperluas lingkungan pergaulannya. Keluar dari batas-batas keluarga.
Kekurangan atau cacat jasmaniah dapat menimbulkan gangguan penyesuaian diri. Dalam hal
ini sikap lingkungan sangat berpengaruh, anak mungkin menjadi rendah diri atau sebaliknya
melakukan kompensasi yang positif atau kompensasi negatif.

4) Masa Remaja

Secara jasmaniah, pada masa ini terjadi perubahanperubahan yang penting yaitu
timbulnya tanda-tanda sekunder (ciri-ciri diri kewanitaan atau kelaki-lakian) Sedang secara
kejiwaan, pada masa ini terjadi pergolakan - pergolakan yang hebat pada masa ini, seorang
remaja mulai dewasa mencoba kemampuannya, di suatu pihak ia merasa sudah dewasa (hak-

7
hak seperti orang dewasa), sedang di lain pihak belum sanggup dan belum ingin menerima
tanggung jawab atas semua perbuatannya.

Egosentris bersifat menentang terhadap otoritas, senang berkelompok, idealis adalah


sifat-sifat yang sering terlihat. Suatu lingkungan yang baik dan penuh pengertian akan sangat
membantu proses kematangan kepribadian di usia remaja.

5) Masa Dewasa muda

Seorang yang melalui masa-masa sebelumnya dengan aman dan bahagia akan cukup
memiliki kesanggupan dan kepercayaan diri dan umumnya ia akan berhasil mengatasi
kesulitan-kesulitan pada masa ini. Sebaliknya yang mengalami banyak gangguan pada masa
sebelumnya, bila mengalami masalah pada masa ini mungkin akan mengalami gangguan jiwa.

6) Masa dewasa tua

Sebagai patokan masa ini dicapai kalau status pekerjaan dan sosial seseorang sudah
mantap. Sebagian orang berpendapat perubahan ini sebagai masalah ringan seperti rendah diri.
pesimis. Keluhan psikomatik sampai berat seperti murung, kesedihan yang mendalam disertai
kegelisahan hebat dan mungkin usaha bunuh diri.

7) Masa Tua

Ada dua hal yang penting yang perlu diperhatikan pada masa ini Berkurangnya daya
tanggap, daya ingat, berkurangnya daya belajar, kemampuan jasmaniah dan kemampuan sosial
ekonomi menimbulkan rasa cemas dan rasa tidak aman serta sering mengakibatkan kesalah
pahaman orang tua terhadap orang di lingkungannya. Perasaan terasing karena kehilangan
teman sebaya keterbatasan gerak dapat menimbulkan kesulitan emosional yang cukup hebat.

c. Sebab Sosio Kultural

Kebudayaan secara teknis adalah ide atau tingkah laku yang dapat dilihat maupun yang
tidak terlihat. Faktor budaya bukan merupakan penyebab langsung menimbulkan gangguan
jiwa, biasanya terbatas menentukan “warna” gejala-gejala. Disamping mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan kepribadian seseorang misalnya melalui aturan-aturan
kebiasaan yang berlaku dalam kebudayaan tersebut.

Menurut Santrock (1999) Beberapa faktor-faktor kebudayaan tersebut :

1) Cara-cara membesarkan anak

8
Cara-cara membesarkan anak yang kaku dan otoriter , hubungan orang tua anak
menjadi kaku dan tidak hangat. Anakanak setelah dewasa mungkin bersifat sangat agresif atau
pendiam dan tidak suka bergaul atau justru menjadi penurut yang berlebihan.

2) Sistem Nilai

Perbedaan sistem nilai moral dan etika antara kebudayaan yang satu dengan yang lain,
antara masa lalu dengan sekarang sering menimbulkan masalah-masalah kejiwaan. Begitu pula
perbedaan moral yang diajarkan di rumah / sekolah dengan yang dipraktekkan di masyarakat
sehari-hari.

3) Kepincangan antar keinginan dengan kenyataan yang ada

Iklan-iklan di radio, televisi. Surat kabar, film dan lain-lain menimbulkan bayangan-
bayangan yang menyilaukan tentang kehidupan modern yang mungkin jauh dari kenyataan
hidup seharihari. Akibat rasa kecewa yang timbul, seseorang mencoba mengatasinya dengan
khayalan atau melakukan sesuatu yang merugikan masyarakat.

4) Ketegangan akibat faktor ekonomi dan kemajuan teknologi

Dalam masyarakat modern kebutuhan dan persaingan makin meningkat dan makin
ketat untuk meningkatkan ekonomi hasil-hasil teknologi modern. Memacu orang untuk bekerja
lebih keras agar dapat memilikinya. Jumlah orang yang ingin bekerja lebih besar dari
kebutuhan sehingga pengangguran meningkat, demikian pula urbanisasi meningkat,
mengakibatkan upah menjadi rendah. Faktor-faktor gaji yang rendah, perumahan yang buruk,
waktu istirahat dan berkumpul dengan keluarga sangat terbatas dan sebagainya merupakan
sebagian mengakibatkan perkembangan kepribadian yang abnormal.

5) Perpindahan kesatuan keluarga

Khusus untuk anak yang sedang berkembang kepribadiannya, perubahan-perubahan


lingkungan (kebudayaan dan pergaulan), sangat cukup mengganggu.

6) Masalah golongan minoritas

Tekanan-tekanan perasaan yang dialami golongan ini dari lingkungan dapat


mengakibatkan rasa pemberontakan yang selanjutnya akan tampil dalam bentuk sikap acuh
atau melakukan tindakan-tindakan yang merugikan orang banyak.

9
3. Penggolongan gangguan jiwa

Penggolongan gangguan jiwa sangatlah beraneka ragam menurut para ahli berbeda-
beda dalam pengelompokannya, menurut Maslim (1994) macam-macam gangguan jiwa
dibedakan menjadi gangguan mental organik dan simtomatik, skizofrenia, gangguan skizotipal
dan gangguan waham, gangguan suasana perasaan, gangguan neurotik, gangguan somatoform,
sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik, Gangguan
kepribadian dan perilaku masa dewasa, retardasi mental, gangguan perkembangan psikologis,
gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanak dan remaja.

a. Skizofrenia

Merupakan bentuk psikosa fungsional paling berat, dan menimbulkan disorganisasi


personalitas yang terbesar. Skizofrenia juga merupakan suatu bentuk psikosa yang sering
dijumpai dimanamana sejak dahulu kala. Meskipun demikian pengetahuan kita tentang sebab-
musabab dan patogenisanya sangat kurang (Maramis, 1994).

Dalam kasus berat, klien tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga pemikiran
dan perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini secara bertahap akan menuju kearah
kronisitas, tetapi sekali-kali bisa timbul serangan. Jarang bisa terjadi pemulihan sempurna
dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya berakhir dengan personalitas yang rusak
“cacat”.

b. Depresi

Merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam
perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu
makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh
diri (Kaplan, 1998). Depresi juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk gangguan kejiwaan
pada alam perasaan yang ditandai dengan kemurungan, keleluasaan, ketiadaan gairah hidup,
perasaan tidak berguna, putus asa dan lain sebagainya (Hawari, 1997).

Depresi adalah suatu perasaan sedih dan yang berhubungan dengan penderitaan. Dapat
berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan marah yang mendalam
(Nugroho, 2000).

Depresi adalah gangguan patologis terhadap mood mempunyai karakteristik berupa


bermacam-macam perasaan, sikap dan kepercayaan bahwa seseorang hidup menyendiri,

10
pesimis, putus asa, ketidakberdayaan, harga diri rendah, bersalah, harapan yang negatif dan
takut pada bahaya yang akan datang. Depresi menyerupai kesedihan yang merupakan perasaan
normal yang muncul sebagai akibat dari situasi tertentu misalnya kematian orang yang dicintai.

c. Kecemasan

Sebagai pengalaman psikis yang biasa dan wajar, yang pernah dialami oleh setiap orang
dalam rangka memacu individu untuk mengatasi masalah yang dihadapi sebaik-baiknya,
Maslim (1991). Suatu keadaan seseorang merasa khawatir dan takut sebagai bentuk reaksi dari
ancaman yang tidak spesifik (Rawlins 1993). Penyebabnya maupun sumber biasanya tidak
diketahui atau tidak dikenali. Intensitas kecemasan dibedakan dari kecemasan tingkat ringan
sampai tingkat berat. Menurut Sundeen (1995) mengidentifikasi rentang respon kecemasan
kedalam empat tingkatan yang meliputi, kecemasan ringan, sedang, berat dan kecemasan
panik.

d. Gangguan Kepribadian

Klinik menunjukkan bahwa gejala-gejala gangguan kepribadian (psikopatia) dan


gejala-gejala neurosa berbentuk hampir sama pada orang-orang dengan inteligensi tinggi
ataupun rendah. Jadi boleh dikatakan bahwa gangguan kepribadian, neurosa dan gangguan
inteligensi sebagian besar tidak tergantung pada satu dan lain atau tidak berkorelasi. Klasifikasi
gangguan kepribadian: kepribadian paranoid, kepribadian afektif atau siklotemik, kepribadian
skizoid, kepribadian axplosif, kepribadian anankastik atau obsesif-kompulsif, kepribadian
histerik, kepribadian astenik, kepribadian antisosial, Kepribadian pasif agresif, kepribadian
inadequat.

e. Gangguan Mental Organik

Merupakan gangguan jiwa yang psikotik atau non-psikotik yang disebabkan oleh
gangguan fungsi jaringan otak (Maramis,1994). Gangguan fungsi jaringan otak ini dapat
disebabkan oleh penyakit badaniah yang terutama mengenai otak atau yang terutama diluar
otak. Bila bagian otak yang terganggu itu luas , maka gangguan dasar mengenai fungsi mental
sama saja, tidak tergantung pada penyakit yang menyebabkannya bila hanya bagian otak
dengan fungsi tertentu saja yang terganggu, maka lokasi inilah yang menentukan gejala dan
sindroma, bukan penyakit yang menyebabkannya. Pembagian menjadi psikotik dan tidak
psikotik lebih menunjukkan kepada berat gangguan otak pada suatu penyakit tertentu daripada
pembagian akut dan menahun.

11
f. Gangguan Psikosomatik

Merupakan komponen psikologik yang diikuti gangguan fungsi badaniah (Maramis,


1994). Sering terjadi perkembangan neurotik yang memperlihatkan sebagian besar atau
semata-mata karena gangguan fungsi alat-alat tubuh yang dikuasai oleh susunan saraf vegetatif.

Gangguan psikosomatik dapat disamakan dengan apa yang dinamakan dahulu neurosa
organ. Karena biasanya hanya fungsi faaliah yang terganggu, maka sering disebut juga
gangguan psikofisiologik.

g. Retardasi Mental

Retardasi mental merupakan keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak
lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa
perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya
kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan social.

Sedangkan menurut Yosep (2007) penggolongan gangguan jiwa dan dibedakan


menjadi :

a. Neurosa

Neurosa ialah kondisi psikis dalam ketakutan dan kecemasan yang kronis dimana tidak
ada rangsangan yang spesifik yang menyebabkan kecemasan tersebut.

b. Psikosa

Psikosis merupakan gangguan penilaian yang menyebabkan ketidakmampuan


seseorang menilai realita dengan fantasi dirinya. Hasilnya, terdapat realita baru versi orang
psikosis tersebut. Psikosis dapat pula diartikan sebagai suatu kumpulan gejala atau sindrom
yang berhubungan gangguan psikiatri lainnya, tetapi gejala tersebut bukan merupakan gejala
spesifik penyakit tersebut.

4. Tanda dan gejala gangguan jiwa

Tanda dan gejala gangguan jiwa menurut Yosep (2007) adalah sebagai berikut :

a. Ketegangan (tension), rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas, perbuatan-
perbuatan yang terpaksa (convulsive), hysteria, rasa lemah, tidak mampu mencapai tujuan,
takut, pikiran-pikiran buruk.

12
b. Gangguan kognisi pada persepsi: merasa mendengar (mempersepsikan) sesuatu
bisikan yang menyuruh membunuh, melempar, naik genting, membakar rumah, padahal orang
di sekitarnya tidak mendengarnya dan suara tersebut sebenarnya tidak ada hanya muncul dari
dalam diri individu sebagai bentuk kecemasan yang sangat berat dia rasakan. Hal ini sering
disebut halusinasi, klien bisa mendengar sesuatu, melihat sesuatu atau merasakan sesuatu yang
sebenarnya tidak ada menurut orang lain.

c. Gangguan kemauan: klien memiliki kemauan yang lemah (abulia) susah membuat
keputusan atau memulai tingkah laku, susah sekali bangun pagi, mandi, merawat diri sendiri
sehingga terlihat kotor, bau dan acak-acakan.

d. Gangguan emosi: klien merasa senang, gembira yang berlebihan (Waham


kebesaran). Klien merasa sebagai orang penting, sebagai raja, pengusaha, orang kaya, titisan
Bung karno tetapi di lain waktu ia bisa merasa sangat sedih, menangis, tak berdaya (depresi)
sampai ada ide ingin mengakhiri hidupnya.

e. Gangguan psikomotor : Hiperaktivitas, klien melakukan pergerakan yang berlebihan


naik ke atas genting berlari, berjalan maju mundur, meloncat-loncat, melakukan apa-apa yang
tidak disuruh atau menentang apa yang disuruh, diam lama tidak bergerak atau melakukan
gerakan aneh. (Yosep, 2007).

5. Penanganan Gangguan Jiwa

a. Terapi psikofarmaka

Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada
Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku,
digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup
klien (Hawari, 2001).

Obat psikotropik dibagi menjadi beberapa golongan, diantaranya: antipsikosis, anti-


depresi, anti-mania, anti-ansietas, antiinsomnia, anti-panik, dan anti obsesif-kompulsif,.
Pembagian lainnya dari obat psikotropik antara lain: transquilizer, neuroleptic, antidepressants
dan psikomimetika (Hawari, 2001).

b. Terapi somatic

Terapi ini hanya dilakukan pada gejala yang ditimbulkan akibat gangguan jiwa
sehingga diharapkan tidak dapat mengganggu sistem tubuh lain. Salah satu bentuk terapi ini

13
adalah Electro Convulsive Therapy. Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis
pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak melalui elektroda yang
ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup menimbulkan kejang grand mal, yang darinya
diharapkan efek yang terapeutik tercapai. Mekanisme kerja ECT sebenarnya tidak diketahui,
tetapi diperkirakan bahwa ECT menghasilkan perubahan-perubahan biokimia di dalam otak
(Peningkatan kadar norepinefrin dan serotinin) mirip dengan obat anti depresan. (Townsend
alih bahasa Daulima,2006).

c. Terapi Modalitas

Terapi modalitas adalah suatu pendekatan penanganan klien gangguan yang bervariasi
yang bertujuan mengubah perilaku klien gangguan jiwa dengan perilaku maladaptifnya
menjadi perilaku yang adaptif.

Ada beberapa jenis terapi modalitas, antara lain:

1) Terapi Individual

Terapi individual adalah penanganan klien gangguan jiwa dengan pendekatan


hubungan individual antara seorang terapis dengan seorang klien. Suatu hubungan yang
terstruktur yang terjalin antara perawat dan klien untuk mengubah perilaku klien. Hubungan
yang dijalin adalah hubungan yang disengaja dengan tujuan terapi, dilakukan dengan tahapan
sistematis (terstruktur) sehingga melalui hubungan ini terjadi perubahan tingkah laku klien
sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di awal hubungan. Hubungan terstruktur dalam terapi
individual bertujuan agar klien mampu menyelesaikan konflik yang dialaminya. Selain itu
klien juga diharapkan mampu meredakan penderitaan (distress) emosional, serta
mengembangkan cara yang sesuai dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.

2) Terapi Lingkungan

Terapi lingkungan adalah bentuk terapi yaitu menata lingkungan agar terjadi perubahan
perilaku pada klien dari perilaku maladaptive menjadi perilaku adaptif. Perawat menggunakan
semua lingkungan rumah sakit dalam arti terapeutik. Bentuknya adalah memberi kesempatan
klien untuk tumbuh dan berubah perilaku dengan memfokuskan pada nilai terapeutik dalam
aktivitas dan interaksi.

14
3) Terapi Kognitif

Terapi kognitif adalah strategi memodifikasi keyakinan dan sikap yang mempengaruhi
perasaan dan perilaku klien. Proses yang diterapkan adalah membantu mempertimbangkan
stressor dan kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi pola berfikir dan keyakinan yang
tidak akurat tentang stressor tersebut. Gangguan perilaku terjadi akibat klien mengalami pola
keyakinan dan berfikir yang tidak akurat. Untuk itu salah satu memodifikasi perilaku adalah
dengan mengubah pola berfikir dan keyakinan tersebut.

Fokus asuhan adalah membantu klien untuk reevaluasi ide, nilai yang diyakini,
harapan-harapan, dan kemudian dilanjutkan dengan menyusun perubahan kognitif.

4) Terapi Keluarga

Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh anggota keluarga sebagai
unit penanganan (treatment unit). Tujuan terapi keluarga adalah agar keluarga mampu
melaksanakan fungsinya. Untuk itu sasaran utama terapi jenis ini adalah keluarga yang
mengalami disfungsi; tidak bisa melaksanakan fungsi-fungsi yang dituntut oleh anggotanya.

Dalam terapi keluarga semua masalah keluarga yang dirasakan diidentifikasi dan
kontribusi dari masing-masing anggota keluarga terhadap munculnya masalah tersebut digali.
Dengan demikian terlebih dahulu masing-masing anggota keluarga mawas diri; apa masalah
yang terjadi di keluarga, apa kontribusi masingmasing terhadap timbulnya masalah, untuk
kemudian mencari solusi untuk mempertahankan keutuhan keluarga dan meningkatkan atau
mengembalikan fungsi keluarga seperti yang seharusnya.

5) Terapi Kelompok

Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang dibentuk dalam kelompok,
suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media kelompok. Dalam terapi kelompok
perawat berinteraksi dengan sekelompok klien secara teratur. Tujuannya adalah meningkatkan
kesadaran diri klien, meningkatkan hubungan interpersonal, dan mengubah perilaku
maladaptive. Terapi Perilaku Anggapan dasar dari terapi perilaku adalah kenyataan bahwa
perilaku timbul akibat proses pembelajaran.

Perilaku sehat oleh karenanya dapat dipelajari dan disubstitusi dari perilaku yang tidak
sehat. Teknik dasar yang digunakan dalam terapi jenis ini adalah: Role model, Kondisioning
operan, Desensitisasi sistematis, Pengendalian diri dan Terapi aversi atau rileks kondisi.

15
6) Terapi Bermain

Terapi bermain diterapkan karena ada anggapan dasar bahwa anak-anak akan dapat
berkomunikasi dengan baik melalui permainan dari pada dengan ekspresi verbal. Dengan
bermain perawat dapat mengkaji tingkat perkembangan, status emosional anak, hipotesa
diagnostiknya, serta melakukan intervensi untuk mengatasi masalah anak tersebut.

6. Rehabilitasi Gangguan Jiwa

a. Pengertian Rehabilitasi

Rehabilitasi adalah segala tindakan fisik, penyesuaian psikososial dan latihan


vokasional sebagai usaha untuk memperoleh fungsi dan penyesuaian diri yang optimal serta
mempersiapkan klien secara fisik, mental, sosial dan vokasional untuk suatu kehidupan penuh
sesuai dengan kemampuannya (Nasution, 2006).

b. Tujuan Rehabilitasi

Maksud dan tujuan rehabilitasi klien mental dalam psikiatri yaitu mencapai perbaikan
fisik dan mental sebesar-besarnya, penyaluran dalam pekerjaan dengan kapasitas maksimal dan
penyesuaian diri dalam hubungan perseorangan dan sosial sehingga bisa berfungsi sebagai
anggota masyarakat yang mandiri dan berguna.

c. Tahapan Rehabilitasi

Upaya Rehabilitasi menurut Nasution (2006) terdiri dari 3 tahap yaitu ;

1) Tahap persiapan

a) Orientasi.

Selama fase orientasi klien akan memerlukan dan mencari bimbingan seorang yang
professional. Perawat menolong klien untuk mengenali dan memahami masalahnya dan
menentukan apa yang diperlukannya.

b) Identifikasi

Perawat mengidentifikasi dan mengkaji perasaan klien serta membantu klien seiring
penyakit yang ia rasakan sebagai sebuah pengalaman dan memberi orientasi positif akan
perasaan dan kepribadiannya serta memberi kebutuhan yang diperlukan.

16
2) Tahap pelaksanaan

Perawat melakukan eksploitasi dimana selama fase ini klien menerima secara penuh
nilai-nilai yang ditawarkan kepadanya melalui sebuah hubungan (Relationship). Tujuan baru
yang akan dicapai melalui usaha personal dapat diproyeksikan, dipindah dari perawat ke klien
ketika klien menunda rasa puasnya untuk mencapai bentuk baru dari apa yang dirumuskan.

3) Tahap pengawasan

Tahap pengawasan perawat melakukan resolusi. Tujuan baru dimunculkan dan secara
bertahap tujuan lama dihilangkan. Ini adalah proses dimana klien membebaskan dirinya dari
ketergantungan terhadap orang lain.

d. Jenis Kegiatan Rehabilitasi

Abroms dalam Stuart (2006) menekankan 4 keterampilan penting psikososial pada


klien gangguan jiwa yaitu:

1) Orientation

Orientaton adalah pencapaian tingkat orientasi dan kesadaran terhadap realita yang
lebih baik. Orientasi berhubungan dengan pengetahuan dan pemahaman klien terhadap waktu,
tempat atau maksud/ tujuan, sedangkan kesadaran dapat dikuatkan melalui interaksi dan
aktifitas pada semua klien.

2) Assertion

Assertion yaitu kemampuan mengekspresikan perasaan sendiri dengan tepat. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara mendorong klien dalam mengekspresikan diri secara efektif
dengan tingkah laku yang dapat diterima masyarakat melalui kelompok pelatihan asertif,
kelompok klien dengan kemampuan fungsional yang rendah atau kelompok interaksi klien.

3) Accuption

Accuption adalah kemampuan klien untuk dapat percaya diri dan berprestasi melalui
keterampilan membuat kerajinan tangan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan
aktifitas klien dalam bentuk kegiatan sederhana seperti teka- teki (sebagai aktivitas yang
bertujuan) mengembangkan keterampilan fisik seperti menyulam. Membuat bunga, melukis
dan meningkatkan manfaat interaksi sosial.

17
4) Recreation

Recreation adalah kemampuan menggunakan dan membuat aktifitas yang


menyenangkan dan relaksasi. Hal ini memberi kesempatan pada klien untuk mengikuti
bermacam reaksi dan membantu klien menerapkan keterampilan yang telah ia pelajari seperti:
orientasi asertif, interaksi sosial, ketangkasan fisik. Contoh aktifitas relaksasi seperti permainan
kartu, menebak kata dan jalan jalan, memelihara binatang, memelihara tanaman, sosio- drama,
bermain musik dan lain-lain.

B. Pendidikan

Sekolah adalah tempat yang baik untuk seorang anak mengembangkan


kemampuan bergaul dan memperluas sosialisasi, menguji kemampuan, dituntut prestasi,
mengekang atau memaksakan kehendaknya meskipun tak disukai oleh si anak.

Pendidikan adalah status resmi tingkat terakhir yang di tempuh oleh pasien. Pendidikan
menjadi suatu tolak ukur kemampuan klien untuk berinteraksi secara efektif. Keikutsertaan
pasien dalam belajar maupun pelatihan secara tidak langsung di pengaruhi oleh keinginan
untuk mendapatkan pengetahuan dan kemampuan. Ada penelitian yang mengatakan bahwa
sebagian besar orang dengan gangguan jiwa pada tingkat SMA dan ada pula penelitian yang
mengatakan orang yang gangguan jiwa lebih sering telah menempuh pendidikan selama 11,5
tahun dan 12,7 tahun.

18
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui
gambaran tingkat pendidikan dan ketrampilan terhadap peningkatan tingkat kemandirian pada
penderita gangguan jiwa di wilayah Puskesmas Babat Tahun 2017. Penelitian ini disajikan
dalam bentuk hubungan sebab-akibat dianalisa berdasarkan tinjauan pustaka dan
dideskripsikan secara naratif

B. Lokasi dan Waktu Penelitian


a. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di kelurahan Babat
b. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan tanggal 1 Desember sampai dengan 30 Desember 2017.

C. Populasi dan Subjek Penelitian


a. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita penyakit gangguan jiwa yang
berdomisili di desa Trepan dan desa Kebalan Pelang kelurahan Babat yang berobat ke
Puskesmas Babat.
b. Subjek Penelitian
Subjek Penelitian adalah populasi target yang masuk dalam kriteria inklusi

D. Kriteria Pemilihan Subjek Penelitian


a. Kriteria Inklusi

Semua penderita gangguan jiwa yang berdomisili di desa Trepan dan Kebalan Pelang
Babat yang berobat ke Puskesmas Kelurahan Babat.

19
b. Kriteria Eksklusi

 Penderita gangguan jiwa yang memiliki riwayat melakukan kekerasan dan tidak
kooperatif
 Keluarga penderita gangguan jiwa yang tidak kooperatif
 Keluarga penderita gangguan jiwa yang alamat tempat tinggalnya tidak sesuai
dengan data alamat

E. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data


a. Tehnik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data primer yang digunakan dalam penelitian adalah dengan metode
wawancara dan kuisioner. Dalam pengambilan data dari sampel penelitian ini, peneliti akan
mewawancarai responden secara langsung ataupun keluarga terdekat selaku walinya jika tidak
memungkinkan mewanwancarai respondennya. Peneliti akan menanyakan pertanyaan-
pertanyaan yang ada dalam kuisioner. Setelah selesai diisi, semua lembaran tersebut akan
dikembalikan ke peneliti untuk dianalisis lebih lanjut

b. Instrumen Penelitian
Alat atau instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner terkait
dengan status psikiatri responden. Selain data status psikiatri, akan ditanyakan juga mengenai
bagaimana perkembangan kehidupan sehari-hari dan tingkat kemandirian pasien dengan range
waktu 1 tahun meliputi tanggal terakhir kontrol, serta bagaimana keseharian pasien baik di
lingkungan keluarga hingga saat ini.
Tingkat kemandirian pasien selama 1 tahun yang lalu dibandingkan dengan tingkat
kemandirian saat ini, dan akan dihubungkan dengan tingkat pendidikan serta ketrampilan
selama proses penyembuhan. Tingkat kemandirian dianggap baik jika terdapat perkembangan
pada Activity Daily Life (ADL) sebanyak > 75%. Tingkat ketrampilan dianggap baik dan
mendukung penyembuhan jika jawaban korersponden sebanyak > 75% positif.

20
F. Teknik Pengolahan dan Analisa Data
a. Teknik Pengolahan Data
1. Pengolahan Data (editing)
Meneliti kembali apakah lembar kuesioner sudah cukup baik sehingga dapat di proses lebih
lanjut. Editing dapat dilakukan di tempat pengumpulan data sehingga jika terjadi kesalahan
maka upaya perbaikan dapat segera dilaksanakan.
2. Pengkodean (Coding)
Usaha mengklarifikasi jawaban-jawaban yang ada menurut macamnya, menjadi bentuk yang
lebih ringkas dengan menggunakan kode.
3. Pemasukan Data (Entry)
Memasukan data ke dalam perangkat komputer sesuai dengan kriteria.
4. Pembersihan Data (Cleaning data)
Data yang telah di masukan kedalam komputer diperiksa kembali untuk mengkoreksi
kemungkinan kesalahan.

b. Tehnik Analisis Data


Pada penelitian ini digunakan analisa univariat. Analisa univariat merupakan analisa yang
dilakukan terhadap setiap variabel dari hasil penelitian. Analisa ini hanya menghasilkan
distribusi dan persentase dari tiap variabel yang diteliti yaitu variabel dukungan keluarga dan
perkembangan penyembuhan pasien gangguan jiwa.

21
BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Lokasi Penelitian


Kecamatan Babat adalah salah satu dari 27 kecamatan yang berada di kabupaten
Lamongan dengan jarak kurang lebih 30 km dari ibukota kabupaten Lamongan.
Batas wilayah kecamatan Babat yaitu :
 Sebelah Utara : kec. Widang Kab Tuban
 Sebelah Timur : ds. Gembong (wilayah kerja UPT Pusk.Moropelang).
 Sebelah Selatan : ds. KarangKembang (wilayah kerja UPT Pusk. Kr.
Kembang
 Sebelah Barat : kec. Baureno Kab. Bojonegoro .

Kecamatan Babat terdiri dari 2 kelurahan, 7 desa, 52 RT, 154 RW dengan komposisi
jumlah penduduk 16.116 jiwa laki – laki dan 16.658 jiwa perempuan dengan luas
wilayah 2.037 km2.

1. Keadaan Demografis

Tabel 4.1 Luas wilayah Kecamatan Babat

LUAS WIL JUMLAH


NO DESA
(KM2) KEC DESA KEL
1 BABAT 1.5 1 0 1
2 BANARAN 1.55 0 0 1
3 BEDAHAN 1.41 0 1 0
4 SOGO 1.6 0 1 0
5 PLAOSAN 2.16 0 1 0
6 TREPAN 1.88 0 1 0
7 KB.PELANG 5.09 0 1 0
8 SM.GENUK 3.85 0 1 0
9 TRUNI 1.33 0 1 0
JUMLAH 2.037 1 7 2

22
2. JUMLAH PENDUDUK TAHUN 2014
Jumlah penduduk : 32.774 jiwa
Jenis kelamin :
 Perempuan : 16.658 orang
 Laki – laki : 16.116 orang

Kepadatan peenduduk : 16 orang

Jumlah rumah tangga : 8.873

3. JUMLAH PENDUDUK MENURUT GOLONGAN USIA DI

KELURAHAN BABAT TAHUN 2014

Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Kelurahan Babat

Usia Laki-laki Perempuan Jumlah


<1 239 225 464
1-4 951 996 1857
5-9 1249 1205 2454
10-14 1317 1036 2623
15-19 1264 1231 2495
20-24 1091 1103 2194
25-29 1054 1135 2189
30-34 1099 1128 2227
35-39 1205 1222 2427
40-44 1241 1335 2576
45-49 1255 1369 2624
50-54 1184 1298 2482
55-59 1018 1020 2038
60-64 838 884 1722
≥65 1111 1291 2402
Jumlah 16116 16658 32774

23
Puskesmas Babat berada di kecamatan Babat yang menjadi pusat kesehatan bagi
masyarakat setempat. Dalam menjalankan dan memenuhi tugasnya, puskesmas Babat
memiliki sumber daya manusia (SDM) seta sarana dan prasarana pelayanan kesehatan
yang baik dan terpadu, sebagai berikut :

Tabel 4.3 Sumber Daya Manusia (SDM) Puskesmas Babat

NO. JENIS TENAGA JUMLAH


1. Dokter Umum 2
2. Dokter Gigi 1
3. Perawat 11
4. Bidan 12
5. Perawat Gigi 1
6. Ahli Gizi 2
7. Apoteker 1
8. Asisten Apoteker 1
9. Analisis lab 2
10. Koordinator Imunisasi 3
11. Sanatarian 1
12. Administrasi Keuangan dan Barang 2
13. Administrasi Umum 2
14. Administrasi Loket 3
15. Penjaga Gedung/Tukang Kebun 2
JUMLAH

Tabel 4.4 Sarana dan Prasarana Puskesmas Babat

NO. SARANA PRASARANA JUMLAH


1 T T UGD 3
T T Rawat Inap 30
VIP 2
Klas I 2
Klas II 2
Klas III 12

24
2 ECG 1
3 Mobil sehat 4
4 Laboratorium 1
5 PONED kit 1
6 Ambulance 3
7 USG 1
8 UGD set 1

Data 10 Penyakit Terbanyak di Puskesmas Kelurahan Kebon Baru

Tabel 4.5 10 Penyakit Terbanyak Puskesmas Kelurahan Kebon Baru

No. Nama Penyakit Jumlah Persentase


1 Penyakit pada jaringan 25 14,2
ikat dan otot
2 Gastritis dan duodenitis 24 13,6
3 Penyakit pada kulit 22 12,5
4 Infeksi akut lain pada 22 12,5
saluran pernafasan
bagian atas
5 Hipertensi 21 11,9
6 Diabetes Mellitus 21 11,9
7 Tuberkulosis 20 11,3
8 Diare 14 7,9

9 Skizofrenia 4 2,2
10 Asma 3 1,7
Jumlah 176 100

25
B. Hasil Penelitian
1. Data umum
Karakteristik Responden

Berdasarkan hasil terhadap 10 sampel, didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 4.6 Jenis Kelamin Responden

Jenis Kelamin Jumlah Persentase


Laki-Laki 5 50
Perempuan 5 50
Dari penelitian di dapatkan responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 5
orang (50%), dan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 5 orang (50%).

Tabel 4.7 Pendidikan Terakhir Responden

Pendidikan Terakhir Jumlah Persentase


Tidak Sekolah 0 0
SD 2 20
SMP 5 50
SMA/Sederajat 3 30
Perguruan Tinggi 0 0
Pendidikan terakhir responden bervariasi dari 2 orang memiliki pendidikan terakhir
SD, 5 orang tamat SMP, dan 3 orang tamat SMA.

Tabel 4.8 Pekerjaan Responden

Pekerjaan Jumlah Persentase


Peg. Swasta 1 10
Peg. Negeri 0 0
Wiraswasta 2 20
Tidak bekerja 7 70
Pekerjaan responden bervariasi dari 1 orang peg. Swasta, 2 orang sebagai wiraswasta,
dan tidak bekerja sebanyak 7 orang.

26
Tabel 4.9 Jenis Gangguan Jiwa

Jenis Gangguan Jiwa Jumlah Persentase


Gangguan Gangguan Mood 1 10
Psikotik 8 80
Retardasi mental 0 0
Autisme 0 0
Gangguan neurotik 0 0
Penggunaan NAPZA 1 10
Gangguan Mental Organik 0 0

Dari tabel di atas didapatkan responden yang memiliki gangguan jiwa berupa gangguan mood
sebanyak 1 orang (10%), gangguan psikotik sebanyak 8 orang (80%), dan penggunaan napza
1 orang (10%).

2. Hasil wawancara

Gambaran Tingkat Kemandirian Pasien

Tabel 4.10 Psychiatric Activity Daily Living ( Client Categorization System)

Status Kemandirian Jumlah Persentase


Mandiri 6 60
Perlu pengawasan 2 20
Perlu bantuan 1 10
Tidak mandiri 1 10

Tabel diatas memperlihatkan bahwa sebagian besar responden memiliki keluarga


dengan gangguan jiwa yang telah mandiri dalam beraktifitas sehari – hari. Penderita gangguan
jiwa yang mandiri adalah sejumlah 6 orang (60%), perlu pengawasan sejumlah 2 orang
(20%),dan yang masih membutuhkan bantuan maupun tidak mandiri masing masing 1 orang
(10%).

27
Tabel 4.11 Distribusi Jawaban Pada Pertanyaan Mengenai Tingkat Kemandirian

Soal Mandiri Perlu pengawasan Perlu bantuan Tidak mandiri


(Nomor)*

1 8 responden 1 responden 1 responden 0 responden

2 10 responden 0 responden 0 responden 0 responden

3 8 responden 1 responden 1 responden 0 responden

4 8 responden 1 responden 0 responden 1 responden

5 9 responden 0 responden 1 responden 0 responden

6 8 responden 2 responden 0 responden 0 responden

7 7 responden 1 responden 1 responden 1 responden

8 6 responden 2 responden 1 responden 1 responden

9 8 responden 0 responden 0 responden 2 responden

10 8 responden 1 responden 1 responden 0 responden

*soal terlampir

Dari tabel diatas didapatkan 2 responden (20 %) yang tidak mandiri dalam
mengerjakan pertanyaan nomor 9 yaitu mengenai jadwal mandi..

Gambaran Tingkat Kemandirian Pasien selama 1 tahun terakhir (meliputi tanggal


terakhir kontrol)

Tabel 4.12 Tingkat Kemandirian 1 tahun terakhir (Brief Impairment Scale)

Nilai Jumlah Persentase

Baik 7 70

Masalah kecil – sedang 1 10

Masalah besar 2 20

28
Tabel diatas memperlihatkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat
kemandirian yang baik sejak 1 tahun yang lalu meliputi tanggal terakhir kontrol, sejumlah 7
responden (70 %), memiliki masalah ringan – sedang sebanyak 1 responden (10%), dan
sisanya memiliki masalah besar/berat sejumlah 2 orang (20%).

Tabel 4.13 Distribusi Jawaban Pada Pertanyaan Mengenai Tingkat Kemandirian 1


Tahun Terakhir

Soal
Tidak Ada Masalah Masalah Kecil - Sedang Masalah Besar
(Nomor) *

1 10 responden 0 responden 0 responden

2 9 responden 1 responden 0 responden

3 10 responden 0 responden 0 responden

4 10 responden 0 responden 0 responden

5 8 responden 1 responden 1 responden

6 8 responden 1 responden 1 responden

7 7 responden 2 responden 1 responden

8 9 responden 1 responden 0 responden

9 7 responden 2 responden 1 responden

10 8 responden 1 responden 1 responden

*soal terlampir

Dari tabel di atas terlihat bahwa dari 10 responden yang diteliti sebanyak 2 responden
dengan gangguan jiwa yang tidak pernah melakukan aktivitas di luar rumah dan berinteraksi
dengan lingkungan sekitar, dan sebanyak 2 responden gangguan jiwa yang tidak terlalu
memerhatikan kesehatannya sendiri.

29
Gambaran Keikutsertaan Pelatihan Ketrampilan

Tabel 4.14 Gambaran Keikutsertaan Pelatihan Ketrampilan

Nilai Jumlah Persentase

Pernah 9 90

Tidak Pernah 1 10

Tabel diatas memperlihatkan bahwa sebagian besar responden pernah mengikuti


kegiatan pelatihan sebesar 9 responden (90%). Dan satu diantaranya tidak pernah mengikuti
pelatihan ketrampilan (10%). Para responden kebanyakan pernah mendapatkan pelatihan
tentang keagamaan dan sisanya pernah mengikuti pelatihan kerja, pelatihan membuat kerajinan
dan pelatihan memasak.

Tabel 4.15 Distribusi Jawaban Pada Pertanyaan Mengenai Keikutsertaan Pelatihan


Ketrampilan

Soal
Tidak Pernah Pernah
(Nomor) *

1 1 responden 9 responden

2 1 responden 9 responden

3 6 responden 4 responden

*soal terlampir

Dari tabel di atas terlihat bahwa dari 10 responden yang diteliti sebanyak 9 responden
pernah mendapatkan pelatihan keagamaan karena sekolah di pesantran. Dari 10 responden
yang diteliti terdapat 6 responden yang pernah mengikuti pelatihan selain keagamaan, dengan
berbagai macam pelatihan di antaranya pelatihan kerja, pelatihan memasak, dan pelatihan
membuat kerajinan. Dan dari 10 responden yang diteliti terdapat 4 responden yang tidak
menggunakan hasil pelatihannya lagi, 6 di antaranya masih melakukan hasil dari pelatihannya
baik pelatihan agama maupun pelatihan kerja.

30
Gambaran Perbandingan Tingkat Pendidikan dan Ketrampilan dengan Perbaikan
Tingkat Kemandirian Pasien

Tabel 4.16 Perbandingan Tingkat Pendidikan Dengan Perbaikan Tingkat Kemandirian

Tingkat Tingkat Kemandirian

Pendidikan 1 tahun sebelumnya Saat ini

Memiliki
masalah Memiliki
Tidak kecil – masalah berat Butuh
Tidak
memiliki sedang dalam Mandiri bantuan/pen
mandiri
masalah dalam aktivitas gawasan
aktivitas sehari – hari
sehari - hari

SD 2 2

SMP 3 1 1 2 3

SMA 2 1 2 1

Total 7 1 2 6 3 1

Dari tabel diatas terlihat bahwa antara tingkat pendidikan dengan peningkatan tingkat
kemandirian pasien dengan gangguan jiwa berbanding lurus.

31
Tabel 4.17 Perbandingan Keikutsertaan Pelatihan Dengan Perbaikan Tingkat
Kemandirian

Tingkat Kemandirian
Ikut serta
Pelatihan 1 tahun sebelumnya Saat ini

Tidak Memiliki Memiliki mandiri Butuh Tidak


memiliki masalah masalah berat bantuan/pen mandiri
masalah kecil – dalam gawasan
sedang aktivitas
dalam sehari – hari
aktivitas
sehari - hari

Pernah ikut 6 1 2 5 3 1

Tidak pernah 1 1
ikut

Total 7 1 2 6 3 1

Dari tabel diatas terlihat bahwa antara keikutsertaan pelatihan ketrampilan dengan
peningkatan tingkat kemandirian pasien dengan gangguan jiwa berbanding lurus.

C. Hasil Intervensi
Hasil intervensi mulai tanggal 1 Desember sampai 30 Desember 2017 didapatkan hasil
2 responden mengalami perbaikan tingkat dukungan keluarga setelah diberikan intervensi
kepada keluarga berupa penyuluhan tentang pentingnya keikutsertaan pelatihan pada pasien
yang menderita gangguan jiwa dan juga melakukan hasil dari pelatihan tersebut untuk lebih
meningkatkan kemandirian pasien dengan gangguan jiwa agar mendapatkan kehidupan yang
ebih baik. (contoh: pelatihan memasak, pasien di ijinkan untuk memasak di rumah. Pelatihan
agama, maka pasien di ingatkan untuk mengaji. Apabila keadaan membaik di beri kesempatan
untuk bekerja di luar rumah agar lebih mandiri dan lebih bersosialisasi tentu saja dengan
pengawasan tetap minum obat dan pengawasan tingkat stress).

32
BAB V
PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden berpendidikan terakhir SD


yang 1 tahun terakhir tidak memiliki masalah dalam beraktivitas sehari – hari sejumlah 2 orang
(20%). Hal ini menunjukkan bahwa sejumlah responden dengan gangguan jiwa sudah memiliki
tingkat kemandirian yang baik sejak 1 tahun terakhir. Responden yang berpendidikan terakhir
SMP yang 1 tahun terakhir tidak memiliki masalah dalam aktivitas sehari – hari 3 orang (30%) ,
memiliki masalah kecil – sedang sejumlah 1 orang 10%) dan memiliki kesulitan besar dalam
beraktivitas sehari - hari sejumlah 1 orang (10%). Respoden yang berpendidikan SMA yang 1
tahun terakhir tidak memiliki masalah dalam beraktivitas sehari – hari sejumlah 2 orang (20%)
dan yang memiliki kesulitan besar dalam beraktifitas sehari – hari sejumlah 1 orang (10%).
Beberapa responden telah memiliki kesulitan beraktivitas sejak 1 tahun terakhir. Dan untuk
saat ini mengalami perubahan pada responden yang berpendidikan terakhir SMP, responden
yang mandiri ada 2 orang (20%) dan yang butuh bantuan serta butuh pengawasan 3 orang
(30%).
Dari hasil penelitian di ketahui bahwa responden yang pernah mengikuti pelatihan yang
1 tahun terkahir tidak memiliki masalah dalam beraktivitas sehari hari sejumlah 6 orang (60%),
yang memiliki kesulitan sedang sejumlah 1 orang (10%), dan yang memiliki kesulitan besar
dalam berakivitas sebanyak 2 orang (20%). Yang tidak pernah mengikuti pelatihan dan
terhitung tidak ada masalah dalam melakukan kegiatab sehari hari sejumlah 1 orang (10%).
Saat ini pasien tesebut juga telah mandiri dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Sedangkan
yang pernah mengikuti pelatihan saat ini terhitung ada 5 orang (50%) yang mandiri, 3 orang
(30%) yang butuh bantuan atau pengawasan dan 1 orang yang tidak mandiri (10%).
Kesulitan beraktivitas ini dapat disebabkan karena manifestasi penyakit gangguan jiwa
yang sesudah muncul tapi masih diabaikan oleh penderita sendiri diakibatkan tingkat
pendidikan pasien yang pada umumnya dari sekolah menengah pertama sampai sekolah
menengah atas dan tingkat dukungan keluarga yang rendah pada pasien dengan gangguan jiwa
diakibatkan tingginya stigma negatif yang melekat pada gangguan jiwa itu sendiri. Akan tetapi
juga bisa berpengaruh dari ketrampilan yang tidak lagi di lakukan setelah mendapatkan
pelatihan.

33
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diambil gambaran bahwa tingkat pendidikan dan
keikut sertaan pelatihan ketrampilan pada pasien gangguan jiwa di lingkungan kerja Puskesmas
Babat mempengaruhi tingkat kemandirian pasien itu sendiri.

6.2 Saran

 Perlu ditingkatkan sosialisasi tentang pentingnya dukungan keluarga pada kasus –


kasus gangguan jiwa. Sosialisasi tersebut meliputi mendukung kegiatan positif dari
pasien termsuk memberikan kepercayaan untuk melakukan kegiatan positif di
masyarakat sehinga stigma negatif tentang gangguan jiwa dapat perlahan terhapuskan,
juga perlu di tingkatkan tingkat kepatuhan minum obat dan pentingnya kontrol
perkambangan penyakit ke dokter dan puskesmas secara berkala.
 Dilakukan pendekatan kepada tokoh - tokoh masyarakat agar warga yang memiliki
gangguan jiwa dapat segera dilaporkan dan dibawa berobat agar tidak ada lagi kasus –
kasus kekerasan diakibatkan gangguan jiwa yang tidak tertangani dengan baik serta
bagi warga yang sudah melakukan pengobatan tidak serta merta di kucilkan, maka perlu
sering di lakukan sosialisasi mengenai bagaimana menangani atau menghadapi pasien
dengan gangguan jiwa tentunya dapat di bantu oleh petugas kesehatan setempat.

34
BAB VII

DAFTAR PUSTAKA

.
1. Riskesda. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Depkes RI. Jakarta.
2. Notoatmodjo, S. 2007.Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
3. American Psychiatric Assiciation. 1994. Diagnostic and statistical manual of mental
disorders. 4thEd. Washington DC :American Psychiatric Assiciation. Dilihat di
http://upetd.up.ac.za/thesis/submitted/etd07252005115242/unrestricted/03back.pdf. .
4. Baihaqi MIF, dkk. 2005. Psikiatri : Konsep Dasar Dan Gangguan- Gangguan.
Bandung : PT Refika aditama.
5. Charles. 2013. Enviornmental Connections: A Deeper Look into Mental Illness.
National Institute of Enviornmental Health Science, Vol. 115, No. 8. Pubmed: US.
6. Marramis Willy,F.2009.Ilmu Kedokteran Jiwa edisi 2. Airlangga University press,
Surabaya,Indonesia 157-168
7. Hawari,Dadang. 2001. Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa, Skizofrenia. Jakarta :
FKUI.
8. Henuhili ,Supiyani. 2013. Mari Kenali Kesehatan Jiwa!. medistra Hospital. Dilihat di
http://www.medistra.com/index.php?option=com_content&view=article&id=177..
9. Maslim, Rusdi. 2003. Diagnosis gangguan jiwa PPDGJ –III. Jakarta : bagian ilmu
kedokteran jiwa FK-unika Atmajaya.
10. Meilan. 2013. The Factors that Influences Mental Health Problems. Living Healthy.
Available on: www.livinghealthy360.com/index.php/what-influences-mental-health-
problems-79982/
11. Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Editor: Aep Gunarsa. Bandung. PT. Refika
Aditama.
12. www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KES.../15_Jatim_2015.pdf
13. Acandra (2010). Masyarakat Perlu Pendidikan Kesehatan Jiwa. Diakses pada
tanggal 21 agustus 2013 dari
http://kesehatan.kompas.com/read/2010/04/05/15005989/Masyarakat.Perlu.Pendidika
n.Kesehatan.Jiwa
14. Suliha, U.et all (2001). Pendidikan Kesehatan dalam Keperawatan. EGC. Jakarta

35
15. (http://www.link.pdf.com/download/dl/askep-gangguan-jiwa-pdf). Diakses pada
tanggal 12 Desember 2017 pukul 09.15 WIB.
16. ( http:// perawat psikiatri. blogspot. com/ mental disorder. html)
17. (http://rsjlawang.com/artikel_080512a.html).

36
Lampiran

Kuisioner Penelitian

Gambaran Dukungan Keluarga Terhadap Peningkatan Tingkat Kemandirian pada


Penderita Gangguan Jiwa di wilayah Puskesmas Kelurahan Kebon Baru, Kecamatan
Tebet, Jakarta Selatan.

Data Pasien
Nama :
Usia :
Jenis Kelamin :
Alamat :
No. Telpon :
Tanggal kontrol terakhir :

Data Koresponden
Nama :
Usia :
Jenis Kelamin :
Pekerjaan :
Hubungan dengan pasien :
Alamat :
No. Telpon :

37
Tingkat Kemandirian Pasien

1. Apakah pasien pernah mencederai orang lain maupun dirinya sendiri?

(a) tidak
(b) memiliki keinginan untuk melakukan itu, tapi dapat dicegah dengan nasihat dari
orang – orang di sekitarnya
(c) ada keinginan untuk melakukan itu dan tidak dapat dicegah dengan nasihat dari
orang – orang di sekitarnya
(d) sudah sering melakukan perbuatan seperti itu

2. Bagaimanakah komunikasi pasien dengan orang – orang di sekitarnya?

(a) Lancar
(b) Tidak lancar
(c) Lancar, tapi pembicaraan sering tidak sesuai
(d) Tidak ada respon/komunikasi buruk

3. Apakah pasien membutuhkan bantuan saat makan?


(a) pasien dapat makan sendiri tanpa bantuan
(b) perlu pengawasan
(c) perlu bantuan
(d) pasien tidak mau makan

2. Apakah pasien membutuhkan bantuan untuk mandi?

(a) Pasien dapat mandi sendiri tanpa bantuan


(b) Perlu pengawasan
(c) Perlu bantuan
(d) Pasien tidak mau mandi

3. Apakah pasien membutuhkan bantuan untuk berpakaian?


(a) Pasien dapat berpakaian sendiri tanpa bantuan
(b) Perlu pengawasan
(c) Perlu bantuan
(d) Pasien tidak mau berpakaian
4. Bagaimana kualitas tidur pasien?
(a) Pasien dapat tidur dengan tenang
(b) Pasien terbangun maksimal satu kali dalam satu malam
(c) Pasien terbangun beberapa kali dalam semalam
(d) Pasien tidak bisa tidur sama sekali/ pasien tidur terus – terusan sepanjang hari

38
5. Apakah pasien minum obat dengan teratur?
(a) Ya
(b) Butuh diingatkan
(c) Harus dipaksa minum obat
(d) Tidak mau minum obat sama sekali

6. Apakah pasien makan sesuai dengan jadwal makan yang berlaku di keluarga (rumah)?
(a) Ya
(b) Butuh diingatkan maksimal satu kali
(c) Butuh diingatkan berkali – kali
(d) Pasien tidak mau mengikuti jadwal makan di rumah

7. Apakah pasien mandi sesuai dengan jadwal mandi yang berlaku di rumah?
(a) Ya
(b) Butuh diingatkan maksimal satu kali
(c) Butuh diingatkan berkali – kali
(d) Pasien tidak mau mengikuti jadwal mandi di rumah

8. Apakah pasien berpakaian dengan pantas seperti anggota keluarga lain di rumah?
(a) Ya
(b) Butuh diingatkan maksimal satu kali
(c) Butuh diingatkan berkali – kali
(d) Pasien tidak mau berpakaian seperti anggota keluarga lain di rumah

Tingkat kemandirian dalam 1 tahun terakhir

1. Apakah pasien memiliki masalah dengan ayahnya?


(a) Tidak ada masalah
(b) Masalah kecil – sedang
(c) Masalah besar

2. Apakah pasien memiliki masalah dengan ibunya?


(a) Tidak ada masalah
(b) Masalah kecil – sedang
(c) Masalah besar

3. Apakah pasien memiliki masalah dengan saudara/i nya?


(a) Tidak ada masalah
(b) Masalah kecil – sedang
(c) Masalah besar

39
4. Apakah pasien memiliki masalah dalam melakukan aktivitas dengan anggota keluarga
lainnya?
(a) Tidak ada masalah
(b) Masalah kecil – sedang
(c) Masalah besar

5. Apakah pasien memiliki masalah dengan orang lain selain anggota keluarga?
(a) Tidak ada masalah
(b) Masalah kecil – sedang
(c) Masalah besar

6. Apakah pasien memiliki masalah dalam berteman dengan orang lain?


(a) Tidak ada masalah
(b) Masalah kecil – sedang
(c) Masalah besar

7. Apakah pasien terlibat dalam kegiatan di luar rumah (selain olahraga)?


(a) Sering terlibat dalam banyak kegiatan di luar rumah
(b) Jarang terlibat dalam kegiatan di luar rumah
(c) Tidak pernah terlibat dalam kegiatan apapun di luar rumah

8. Apakah ada hal yang dapat membuat pasien tertarik?


(a) Banyak hal yang dapat membuat pasien tertarik
(b) Ada beberapa hal yang dapat membuat pasien tertarik
(c) Pasien tidak memiliki ketertarikan pada hal apapun

9. Apakah pasien peduli pada kesehatannya sendiri?


(a) Peduli
(b) Tidak terlalu peduli
(c) Sangat tidak peduli

10. apakah pasien peduli pada keamanan dirinya sendiri dan orang lain?
(a) Peduli
(b) Tidak terlalu peduli
(c) Sangat tidak peduli

Keikutsertaan Pelatihan Ketrampilan

1. Apakah pasien pernah mengikuti pelatihan kerja atau ketrampilan?


(a) Pernah
(b) Tidak pernah

40
2. Apakah pasien pernah mengikuti pelatihan keagamaan?
(a) Pernah
(b) Tidak pernah
3. Apakah pasien masih melakukan hasil dari pelatihan tersebut?
(a) Ya
(b) Tidak

41

Anda mungkin juga menyukai