Anda di halaman 1dari 14

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Kerapu Lumpur (Epinephelus tauvina)


Ikan kerapu hidup di perairan pantai hingga mencapai kedalaman 60
meter. Terumbu karang yang banyak di temukan di perairan Indonesia merupakan
tempat hidupnya. Biasanya ikan ini berdiam diri di celah-celah batu menanti
mangsa. Makanan utamanya adalah ikan-ikan kecil lainnya. Warna dasar tubuh
kerapu adalah cokelat muda, yang sesuai dengan lingkungan hidupnya. Bulatanbulatan merah atau coklat terdapat pada kepala bagian atas, tubuh dan sirip. Pada
kerapu besar jalur dan bulatan itu menghilang. Penyebaran ikan ini sangat luas,
mulai dari Laut Merah dan Afrika Selatan hingga Indonesia, Philipina, Jepang,
Hawaii dan Australia (Ratna dkk., 2001).
Larva kerapu pada umumnya menghindari permukaan air pada siang hari,
sebaliknya pada malam hari lebih banyak ditemukan di permukaan air.
Penyebaran vertikal tersebut sesuai dengan sifat ikan kerapu sebagai organisme
yang pada siang hari lebih banyak bersembunyi di liang-liang karang sedangkan
pada malam hari aktif bergerak di kolom air untuk mencari makan (Anidiastuti,
2004).
Ikan kerapu yang paling terkenal dan sering dibudidayakan di Indonesia
adalah Ikan kerapu lumpur. Adapun ciri-ciri kerapu lumpur secara morfologi yaitu
bentuk tubuh agak rendah, moncong panjang memipih dan menajam, maxillary
lebar di luar mata, gigi-gigi pada bagian sisi dentary 3 atau 4 baris, terdapat bintik
putih coklat pada kepala, badan dan sirip, bintik hitam pada bagian dorsal dan
posterior. Habitat ikan kerapu lumpur adalah pantai yang banyak ditumbuhi algae

Universitas Sumatera Utara

jenis Ulva reticulata dan Gracilaha spp. dan setelah dewasa hidup di perairan
yang lebih dalam dengan dasar yang terdiri atas pasir berlumpur (Purba, 1990).
Selain itu, Ikan kerapu lumpur memiliki badan yang berwarna dasar sawo
matang dan pada bagian bawah agak keputihan. Terdapat garis menyerupai pita
yang berwarna gelap, yang melintang pada badannya dalam jumlah sekitar 4-6
buah. Saat masih muda, pada seluruh tubuhnya terdapat noda-noda berwarna
merah sawo (Murtidjo, 2002). Adapun klasifikasi ikan kerapu lumpur adalah
sebagai berikut :
Kingdom

: Animalia

Filum

: Chordata

Kelas

: Actinopterygii

Ordo

: Perciformes

Famili

: Serranidae

Genus

: Epinephelus

Spesies

: Epinephelus tauvina

Gambar 2. Ikan Kerapu Lumpur (Epinephelus tauvina) (www.agrosukses.com)

Universitas Sumatera Utara

Gejala Penyakit Pada Ikan


Penyakit ikan dapat didefenisikan sebagai segala sesuatu yang dapat
menimbulkan gangguan suatu fungsi atau struktur dari alat tubuh atau sebagian
alat tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada prinsipnya penyakit
yang menyerang ikan tidak datang begitu saja, melainkan melalui proses
hubungan antara tiga faktor, yaitu kondisi lingkungan (kondisi di dalam air),
kondisi inang (ikan), dan adanya patogen. Dengan demikian timbulnya serangan
penyakit itu merupakan hasil interaksi yang tidak serasi antara lingkungan ikan,
dan organisme penyakit. Interaksi yang tidak serasi ini menyebabkan stress pada
ikan, sehingga mekanisme pertahanan diri yang dimilikinya menjadi lemah dan
akhirnya mudah diserang oleh penyakit (Kordi, 2004).
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) ada beberapa gejala penyebab
penyakit diantaranya :
1. Gejala Eksternal
Lesi

terjadi

secara

subkutan

dengan

pembengkakan

sehingga

menyebabkan ulcerative dermatitis (furunculosis), pembengkakan biasanya


menjadi luka terbuka berisi nanah, darah dan jaringan yang rusak di tengah luka
tersebut terbentuk cekungan, pada serangan akut tanda-tanda yang menyeluruh
mungkin tidak tampak, hemorhagi pada dasar sirip dan sirip dorsal geripis, mata
menonjol dan warna tubuh menjadi gelap.
2. Gejala Internal
Pada jaringan otot tubuh, usus bagian belakang lengket dan bersatu,
pembengkakan limfa dan ginjal yang berkembang menjadi nekrosis, serta
septicemia sangat jelas.

Universitas Sumatera Utara

3. Histopatologi
Nikrosis pada jaringan dengan kolonisasi bakteri, inflamasi sedikit
dijumpai karena bakteri menghasilkan leukocytolytic exotoxin.
Ikan kerapu yang menderita sakit biasanya memperlihatkan gejala-gejala yang
dapat diketahui dengan jelas dan mudah. Beberapa gejala yang dapat terlihat
dengan jelas seperti kelainan tingkah laku pada kondisi ikan berenang terlihat
sangat lemah dengan posisi miring (Menukik dari permukaan langsung ke dasar,
bergerak kembali ke permukaan dan akan tetap berada di permukaan), nafsu
makan berkurang dan daya tahan tubuh melemah, kelainan bentuk mata, sisik dan
warna tubuh, mata menonjol, sisik badan sebagian lepas, warna tubuh menjadi
lebih gelap, kelainan pada insang dan sirip ekor. Tutup insang membuka terusmenerus secara cepat, sirip ekor tidak normal serta kelainan pada kulit, ada lukaluka pada kulit dan bintik-bintik putih serta merah (Purba, 1990).

Jenis-Jenis Penyakit Pada Ikan Kerapu Lumpur


Pengembangan usaha budidaya ikan kerapu lumpur di keramba jaring
apung

mempunyai

kelebihan

antara

lain

rendahnya

biaya

operasional

dibandingkan dengan nilai ekonomi yang dihasilkan serta teknologi budidayanya


yang sederhana dan mudah diadaptasikan di masyarakat petani nelayan secara
luas. Permasalahan yang timbul pada budidaya ikan kerapu lumpur di keramba
jaring apung adalah terjadinya penyakit. Salah satu penyakit yang ditemukan
pada ikan kerapu lumpur adalah penyakit infeksi bakteri dengan gejala klinis
adanya borok pada bagian tubuh, dan sirip yang busuk (Johnny dkk., 2002).

Universitas Sumatera Utara

Sewaktu bakteri menginfeksi ikan, bakteri dapat menghasilkan zat beracun


yang disebut sebagai toksin yang merupakan produk ekstraseluler yang berkaitan
dengan antibiosis sehingga bisa mematikan organisme inang atau memudahkan
bakteri masuk ke dalam tubuh inang. Berdasarkan proses pengeluarannya, toksin
yang dihasilkan oleh bakteri dapat bersifat eksotoksin jika diekskresikan ke luar
sel, atau endotoksin jika racun tersebut tetap disimpan dalam sel bakteri dan tidak
diekskresikan (Todar, 2002).
Menurut Handajani dan Samsundari (2005) jenis penyakit ikan laut dan
organisme yang sering terjadi disebabkan oleh bakteri adalah sebagai berikut:
1. Penyakit sirip borok organisme penyebabnya Myxobacter sp. dan Vibrio sp.
2. Penyakit Bacterial sirip organisme penyebabnya Pseudomonas sp. dan Gram
Positif.
3. Penyakit Streptococciasis organisme penyebabnya Cocci.
4. Penyakit Vibriosis organisme penyebabnya Streptococcus dan Vibrio.
Kendala terbesar yang selalu dihadapi pada kegiatan budidaya ikan kerapu
adalah terjadinya serangan bakteri patogen terutama pada stadia larva. Serangan
bakteri patogen ini menimbulkan penurunan kualitas dan tingkat produksi pada
usaha pembenihan ikan kerapu, bahkan kematian dan kegagalan panen dapat
terjadi. Rukyani (1993) melaporkan bahwa akibat adanya serangan penyakit,
hanya sekitar 40% dari seluruh areal keramba di Indonesia yang masih beroperasi
sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar. Sekurang-kurangnya 300
miliar rupiah telah hilang pertahunnya dari seluruh areal keramba di Indonesia.
Mikroorganisme virus, bakteri atau parasit merupakan penyebab penyakit
yang sering ditemukan dalam pembenihan atau budidaya ikan. Menurut Shickney

Universitas Sumatera Utara

(2000) penyakit bakterial pada ikan kerapu lumpur adalah Vibrio sp., Aeromonas
sp., Pasteurella spp., Streptococcus dan Mycobacterium. Kasus penyakit bakterial
pada ikan kerapu macan disebabkan oleh adanya infeksi bakteri Vibrio sp. dan
dapat bersifat patogen ataupun hanya penyebab sekunder (Bessie, 1988 diacu oleh
Wong dkk.,1990). Sedangkan pada kerapu lumpur kasus penyakit yang
disebabkan oleh bakteri Vibrio harveyi (Saeed, 1995) atau Pseudomonas sp.
berupa peradangan pada kulit (Nash dkk., 1987).

Bakteri Vibrio sp.


Vibrio sp. merupakan salah satu bakteri patogen yang tergolong dalam
divisi bakteri, kelas Schizomycetes, ordo Eubacteriales, famili Vibrionaceae.
Bakteri ini bersifat gram negatif, fakultatif anaerobik, fermentatif, bentuk sel
batang dengan ukuran panjang antara 2 3 um, menghasilkan katalase dan
oksidase dan bergerak dengan satu flagella pada ujung sel (Austin, 1988). Vibrio
merupakan patogen oportunistik yang dalam keadaan normal ada dalam
lingkungan pemeliharaan, kemudian berkembang dari sifat yang saprofitik
menjadi patogenik jika kondisi lingkungannya memungkinkan.
Bakteri Vibrio yang patogen dapat hidup di bagian tubuh organisme lain
baik di luar tubuh dengan jalan menempel, maupun pada organ tubuh bagian
dalam seperti hati, insang, ginjal, dan limfa. Menurut Wagiyo (1975) dampak
langsung bakteri patogen dapat menimbulkan penyakit, parasit, pembusukan dan
toksin yang dapat menyebabkan kematian biota yang menghuni perairan tersebut.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa toksin yang dihasilkan oleh bakteri
patogen akan merusak sel dan jaringan inang secara keseluruhan. Kerusakan sel

Universitas Sumatera Utara

akibat interaksi antara toksin dengan inang. Bordas., dkk (2004), mengemukakan
bahwa beberapa jenis bakteri patogen memproduksi toksin tetrodotoksin. Bakteribakteri penghasil toksin tersebut antara lain adalah Vibrio alginolyticus, Vibrio
Parahaemolyticus dan Vibrio anguillarum yang berupa anhydrotetrodotoksin.
Beberapa jenis Vibrio yang bersifat patogen yaitu dengan mengeluarkan
toksin ganas dan seringkali mengakibatkan kematian pada manusia dan hewan.
Vibrio cholera yang berasal dari darat atau air tawar, sudah dikenal sebagai
penyebab penyakit muntah berak di Indonesia (Thayib, 1977). Jenis Vibrio yang
terdapat pada ikan dan invertebrata laut adalah Vibrio alginolyticus, Vibrio
damsela, Vibrio charchariae, Vibrio anguilarum, Vibrio ordalli, Vibrio cholerae,
Vibrio salmonicida, Vibrio vulnificus, Vibrio parahaemolyticus, Vibrio pelagia,
Vibrio splendida, Vibrio fischeri dan Vibrio harveyi (Austin dan Austin, 1993).
Umumnya ikan yang terserang penyakit Vibriosis memperlihatkan gejalagejala ikan kehilangan nafsu makan (anorexia), kulit ikan menjadi gelap, insang
ikan pucat, sering terjadi pembengkakan pada kulit yang lama-kelamaan akan
pecah menjadi luka (bisul) dan mengeluarkan cairan nanah berwarna kuning
kemerah-merahan, terjadi pendarahan pada dinding perut dan permukaan jantung
dan jika dilakukan pembedahan akan terlihat pembengkakan dan kerusakan pada
jaringan hati, ginjal dan limpa (Kordi, 2004).
Bakteri Vibrio sp. diketahui sebagai bakteri oportunistik dan merupakan
bakteri yang sangat ganas dan berbahaya pada budidaya ikan kerapu karena dapat
bertindak sebagai patogen primer dan sekunder. Sebagai patogen primer bakteri
masuk tubuh ikan melalui kontak langsung, sedangkan sebagai patogen sekunder

Universitas Sumatera Utara

bakteri menginfeksi ikan yang telah terserang penyakit lain, misalnya oleh parasit
(Post, 1987).
Ciri bakteri Vibrio adalah bentuknya seperti batang pendek, tidak
membentuk spora, sumbu melengkung atau lurus, ukurannya 0,51 mm x 1 2
mm, bersifat gram negatif, tumbuh baik pada kadar NaCl 1 1,5 %, terdapat
tunggal atau kadang-kadang bersatu dalam bentuk s atau spiral. Vibrio harveyi
umumnya hidup di air laut dan payau, terutama air dangkal serta musim dimana
temperatur air menjadi tinggi, ditemukan di habitat-habitat akuatik, sebagian pada
air laut, lingkungan estuarin dan berasosiasi dengan hewan laut. Bakteri Vibrio
spp termasuk jenis bakteri halofit. Dapat tumbuh secara optimum pada salinitas 20
30 ppt, dan dapat tumbuh dengan baik pada kondisi alkali, yaitu pH optimum
berkisar antara 7,5 8,5 (Prajitno, 2005).

Bakteri Aeromonas sp.


Bakteri Aeromonas sp dapat hidup di berbagai perairan di dunia seperti air
sungai, estuaria, air laut dan dikenal sebagai penyebab penyakit Motil Aeromonas
Septicaemia (MAS) dimana bakteri tersebut memproduksi berbagai produk
protein ekstraseluler, termasuk toksin, haemolysin dan enzim protease yang
diduga sebagai penyebab virulensi bakteri tersebut terhadap inangnya (Muslim,
dkk., 2009). Penularan bakteri ini melalui air, kontak badan, pemakaian alat yang
telah tercemar atau karena alat digunakan untuk pemindahan ikan yang telah
terserang bakteri Aeromonas.
Kerugian yang ditimbulkannya sangat besar, sebab dalam waktu relatif
singkat puluhan ton ikan mati secara masal, baik ukuran benih maupun induk.

Universitas Sumatera Utara

Serangan bakteri ini bersifat laten (berkepanjangan), jadi tidak memperlihatkan


gejala penyakit meskipun telah dijumpai pada tubuh ikan. Serangan bakteri ini
baru terlihat apabila ketahanan tubuh ikan menurun akibat stres yang disebabkan
oleh penurunan kualitas air, kekurangan pakan atau penanganan ikan yang kurang
baik (Kordi, 2004).
Ikan yang terserang bakteri Aeromonas menujukkan perubahan warna
tubuh menjadi gelap, berenang tidak beraturan, mata ikan rusak, sisik seperti akan
lepas, sirip rusak, insang berwarna pucat, ikan berenang ke permukaan seperti
kekurangan oksigen, insang rusak sehingga sulit bernapas, kulit ikan menjadi
kasat dan timbul pendarahan dengan luka-luka borok, perut menjadi besar (dropsi)
dan apabila dibedah akan terlihat pendarahan pada hati, ginjal dan limpa.
Aeromonas salmonicida

menyebabkan penyakit

Furuncolosis

dan

merupakan bakteri gram negatif. Bakteri gram negatif adalah bakteri yang tidak
mempertahankan zat warna metil ungu pada metode pewarnaan Gram.
Aeromonas salmonicida berbentuk batang pendek ( 1,3 2,0 x 0,8 1,3 m ),
non motil atau tidak bergerak, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob,
pertumbuhan optimum pada suhu 22C. Koloni bakteri ini berwarna putih, kecil,
bulat, dan cembung. Strain typical dapat menghasilkan pigmen coklat yang akan
lebih kelihatan apabila medium ditambah dengan tyrosine atau phenylalanine.
Pada media dengan kandungan asam amino tinggi pigmen coklat akan jelas
kelihatan pada umur kultur 48 jam. Secara biokimia bakteri ini bersifat oksidase
positif dan memfermentasi glukosa (Septiama, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Bakteri Edwardsiella sp.


Penyakit Edwardsiellosis disebabkan oleh bakteri dari genus Edwardsiella
yaitu Edwardsiella tarda dan Edwardsiella ictaluri. Bakteri ini menyerang
spesies-spesies ikan di daerah tropis. Bakteri E. tarda dan E. ictaluri bisa bertahan
hidup di air. Beberapa inang alamiah bisa bertahan sebagai carrier. Penularan
secara horizontal yaitu kontak antara inang satu dengan inang lainnya atau melalui
air. Gejala eksternal ikan yang terserang. Penyakit Edwardsiellosis pada infeksi
ringan, hanya menampakkan luka-luka kecil. Ukuran luka sebesar 3 5 mm. Luka
tersebut berada disamping bagian belakang badan (posterio-lateral)
(Mangunwiryo dkk., 1995).
Sebagai perkembangan penyakit lebih lanjut, luka bernanah berkembang
dalam otot rusuk dan lambung. Pada kasus akut akan terlihat luka bernanah secara
cepat bertambah dengan berbagai ukuran. Perkembangan lebih lanjut, luka-luka
(rongga-rongga) berisi gas. Terlihat bentuk cembung, menyebar ke seluruh tubuh.
Ikan tampak kehilangan warna, dan luka-luka kemudian merata di seluruh tubuh.
Jika luka digores, bau busuk tersebar. Bekas jaringan mati bisa berisi 3 rongga
(Nitimulyo dkk., 1993).
Edwardsiella ictaluri merupakan salah satu spesies yang juga termasuk
famili dari Enterobacteriaceae yang bersifat patogen. Menurut Irianto (2005)
bakteri ini berbeda dengan Edwardsiella tarda, ia justru menginfeksi ikan pada
saat masih muda (benih, seukuran jari). Bakteri dapat menyebabkan Enteric
Septicemia atau septikemia enterik yang menunjukkan gejala klinis seperti infeksi
sistemik bakteri pada umumnya, diantaranya nekrosa dan ulserasi organ distensi
abdominal, exophthalmia dan hemoragi pada kulit dan mulut. Pada negara empat

Universitas Sumatera Utara

musim, bakteri ini merupakan bakteri yang menyebabkan penyakit musiman. Ia


dapat bertahan hidup pada suhu sekitar 24 28C yang merupakan suhu optimum
untuk pertumbuhan bakteri. Tingkat prevalensinya meningkat pada bulan Mei
Juni dan September Oktober. Selain itu E. ictaluri dapat bertahan pada air kolam
selama 90 hari dengan suhu sekitar 25C (Songer dan Post, 2005).

Penularan Penyakit Ikan Melalui Air


Air merupakan kebutuhan mutlak bagi ikan, sebab seluruh hidupnya
berada dalam air. Namun demikian, tidak semua air dapat digunakan untuk
memelihara ikan. Sumber air yang digunakan untuk mengairi ikan kerapu harus
memenuhi syarat, baik kualitas maupun kuantitasnya, dan tersedia sepanjang
tahun (Supratno, 2006).
Pengendalian kondisi lingkungan budidaya agar tetap stabil dan optimal
bagi organisme perairan termasuk ikan sebagai hewan budidaya menjadi sangat
perlu dilakukan. Sehingga secara khusus pengolahan dan air sebagai tempat
budidaya perlu dilakukan. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya
perikanan tidak sekedar air (H2O), karena air mengandung banyak ion. Ion-ion
unsur yang kemudian menentukan apakah lingkungan tersebut cocok untuk
kegiatan budidaya. Jadi kualitas air yang baik adalah air yang cocok untuk
kegiatan budidaya, dimana jenis komoditas bisa hidup dan tumbuh dengan normal
(Maniagasi dkk., 2013).
Air yang digunakan untuk pembenihan maupun pembesaran ikan yang
telah tercemar oleh penyakit, biasanya ikan yang dibudidayakan juga akan
terserang oleh penyakit tersebut. Penggunaan air yang berkualitas rendah atau air

Universitas Sumatera Utara

yang telah tercemar oleh senyawa beracun dapat menyebabkan timbulnya


serangan penyakit pada ikan. Penyakit yang menyebabkan ikan sakit berupa
penyakit infeksi maupun non infeksi (Kordi, 2004).
Pengelolaan kualitas air untuk keperluan budidaya sangat penting, karena
air merupakan media hidup bagi kehidupan organisme akuakultur. Usaha untuk
memperbaiki dan mempertahankan kualitas air telah banyak dilakukan, baik
secara fisik maupun kimia. Tetapi biaya yang dibutuhkan cukup besar dan
terkadang tidak ramah lingkungan (Mulyanto, 1992).

Suhu
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari
permukaan laut, waktu harian, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta
kedalaman badan air (Effendi, 2006). Suhu dalam budidaya ikan berpengaruh
terhadap laju metabolisme, pemijahan dan penetasan telur, aktivitas patogen,
sistem imunitas, daya larut senyawa kimia, serta kalarutan oksigen dan
karbondioksida.
Ikan adalah hewan poikiotermal, dimana suhu lingkungan sangat
berpengaruh tehadap metabolisme termasuk sistem imunitas (Noga, 2000).
Apabila suhu mengalami penurunan akan menyebabkan kelarutan oksigen
meningkat, laju metabolisme menurun, nafsu makan berkurang, pertumbuhan
berkurang, sistem imun menurun, gerakan ikan melemah, disorientasi sehingga
ikan dapat mengalami kematian. Sedangkan bila suhu meningkat, maka suhu
tubuh meningkat, laju metabolisme juga meningkat, konsumsi oksigen bertambah
sedangkan kadar oksigen terlarut menurun, toksistas perairan dari senyawa kimia

Universitas Sumatera Utara

meningkat, jumlah patogen meningkat sehingga ikan mudah terekspose oleh


penyakit dan dapat menimbulkan kematian. Kisaran suhu standar untuk
pembenihan ikan kerapu adalah 28 32 C.

Salinitas
Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan. Salinitas
menggambarkan padatan total di dalam air, setelah semua karbonat di konversi
menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan oleh klorida, dan semua
bahan organik telah dioksidasi. Kisaran salinitas perairan laut antara 30 40 ppm.
Tingkat

salinitas

yang terlampau rendah atau terlampau tinggi dapat

mengakibatkan respon stres dari akut hingga kronis pada ikan budidaya (Noga
2000).
Semakin tinggi salinitas maka kadar oksigen terlaut di perairan akan
semakin menurun, hal ini menyebabkan ikan menjadi stress dam mudah terkena
penyakit, selain itu, perubahan salinitas yang signifikan dapat mempengaruhi
sistem osmoregulasi ikan (Effendi, 2006).

Kecerahan
Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan
merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan
menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter. Nilai
ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruahan, dan
padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran.
Pengkuran kecerahan sebaiknya dilakukan ketika cuaca cerah (Effendi, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Derajat Keasaman (pH)


Derajat keasaman (pH) didefinisikan sebagai logaritma negatif dari
aktivitas ion hidrogen. Kebanyakan perairan alam memiliki nilai pH 6,9 9. pH
berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas. Semakin tinggi nilai pH,
semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida
bebas. pH juga mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia yang dapat
menyebabkan kematian massal pada ikan. Noga (2000) mengatakan bahwa pH
rendah dapat menyebabkan penurunan tingkat produksi lendir sedangkan pH
tinggi dapat menyebabkan ikan stres. Sebagian besar biota akuatik sensitif
terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 8,5.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai