Anda di halaman 1dari 12

Menuju Birokrasi yang Humanis

Birokrasi selalu menjadi perhatian

masyarakat kita. Dan tiap kali mendengar kata birokrasi, kita langsung terpikir
mengenai berbagai urusan prosedural penyelesaian surat-surat yang berkaitan dengan
pemerintahan. Birokrasi kini
dipandang sebagai sebuah sistem dan alat manajemen pemerintahan yang amat buruk.
Dikatakan demikian karena kita
mencium bahwa aroma birokrasi sudah melenceng dari tujuan semula sebagai medium
penyelenggaraan tugas-tugas
kemanusiaan, yaitu melayani masyarakat (public service) dengan sebaik-baiknya.
Lagi-lagi, yang terpampang birokrasi kini identik dengan peralihan dari meja ke meja, proses
yang ribet, berbelit-belit, dan
tidak efisien. Urusan-urusan birokrasi selalu menjengkelkan karena selalu berurusan dengan
pengisian formulir-formulir,
proses perolehan izin yang melalui banyak kontrol secara berantai, aturan-aturan yang ketat
yang mengharuskan
seseorang melewati banyak sekat-sekat formalitas dan sebagainya.
Citra buruk yang melekat dalam tubuh birokrasi dikarenakan sistem ini telah dianggap
sebagai tujuan bukan lagi
sekadar alat untuk mempermudah jalannya penyelenggaraan pemerintahan.
Kenyataannya, birokrasi telah lama
menjadi bagian penting dalam proses penyelenggaraan pemerintahan negara. Terkesan,
mustahil negara tanpa
birokrasi. Tapi, birokrasi seperti apa yang sangat menjanjikan bagi kita kalau sudah demikian
parahnya penyakit yang
melekat dalam tubuhnya itu?

Sangat penting apabila kita meninjau kembali definisi birokrasi. Menurut Peter M. Blau
(2000:4), birokrasi adalah tipe
organisasi yang dirancang untuk menyelesaikan tugas-tugas administratif dalam skala besar
dengan cara
mengkoordinasi pekerjaan banyak orang secara sistematis. Poin pikiran penting dari definisi
di atas adalah bahwa
birokrasi merupakan alat untuk memuluskan atau mempermudah jalannya penerapan
kebijakan pemerintah dalam upaya
melayani masyarakat.
Kenyataan yang terjadi hingga detik ini, birokrasi hanya sebagai perpanjangan
tangan pemerintah untuk dilayani
masyarakat. Atau dengan birokrasi pejabat pemerintahan ingin mencari keuntungan lewat
birokrasi. Sebuah logika yang
terbalik, memang! Seharusnya birokrasi adalah alat untuk melayani masyarakat dengan
berbagai macam bentuk
kebijakan yang dihasilkan pemerintah.
Birokrasi menjadi sarang penyamun bagi beberapa oknum yang berupaya memanfaatkan
sistem ini. Birokrasi telah
menjadi terali besi (iron cage) yang membuat pengap kondisi bangsa kita akibat ulah para
penjahat berbaju birokrat.
Konsep Max Weber
Berbicara soal birokrasi, kita pasti teringat konsep yang digagas Max Weber, sosiolog
ternama asal Jerman, yang dikenal
melalui ideal type (tipe ideal) birokrasi modern. Model itulah yang sering diadopsi dalam
berbagai rujukan birokrasi negara
kita, walaupun dalam penerapan tidak sepenuhnya bisa dilakukan. Tipe ideal itu melekat
dalam struktur organisasi
rasional dengan prinsip rasionalitas, yang bercirikan pembagian kerja, pelimpahan
wewenang, impersonalitas,
kualifikasi teknis, dan efisiensi.
Pada dasarnya, tipe ideal birokrasi yang diusung oleh Weber bertujuan ingin menghasilkan
efisiensi dalam pengaturan
negara. Tapi, kenyataan dalam praktik konsep Weber sudah tidak lagi sepenuhnya tepat
disesuaikan dengan keadaan
saat ini, apalagi dalam konteks Indonesia. Perlu ada pembaharuan makna dan kandungan
birokrasi.
Secara filosofis dalam paradigma Weberian, birokrasi merupakan organisasi yang rasional
dengan mengedepankan
mekanisme sosial yang memaksimumkan efisiensi. Pengertian efisiensi digunakan secara
netral untuk mengacu pada
aspek-aspek administrasi dan organisasi. Dalam pandangan ini, birokrasi dimaknai sebagai
institusi formal yang
memerankan fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat.
Jadi, birokrasi dalam

pengertian Weberian adalah fungsi dari biro untuk menjawab secara rasional terhadap
serangkaian tujuan yang
ditetapkan pemerintahan.
Kalau boleh dibilang, birokrasi Weber berparadigma netral dan bebas nilai. Tidak ada unsur
subyektivitas yang masuk
dalam pelaksanaan birokrasi karena sifatnya impersonalitas: melepaskan baju individu
dengan ragam kepentingan yang
ada di dalamnya.
Berbeda dengan konsep birokrasi yang digagas oleh Hegel dan Karl Marx. Keduanya
mengartikan birokrasi sebagai
instrumen untuk melakukan pembebasan dan transformasi sosial. Hanya saja Marx pesimis
dengan birokrasi karena
instrumen negara ini hanya dijadikan alat untuk meneguhkan kekuatan kapitalisme dan
akhirnya jauh dari harapan dan
keinginan masyarakat.
Sebagai sebuah konsep pemerintahan yang paling penting, birokrasi sering dikritik karena
ternyata dalam praktiknya
banyak menimbulkan problem inefisiensi. Menjadi sebuah paradoks, seharusnya dengan
adanya birokrasi segala
urusan menjadi beres dan efisien tapi ternyata setelah diterapkan menjadi batu penghalang
yang tidak lagi menjadi
efisien. Ada yang mengkritik bahwa birokrasi hanya menjadi ajang politisasi yang dilakukan
oleh oknum partai yang ingin
meraih kekuasaan dan jabatan politis. Term efisiensi layak digugat.
Zaman Sudah Berbeda
Rasionalitas dan efisiensi adalah dua hal yang sangat ditekankan oleh Weber. Rasionalitas
harus melekat dalam
tindakan birokratik, dan bertujuan ingin menghasilkan efisiensi yang tinggi. Menurut Miftah
Thoha (2003:19), kaitan
keduanya bisa dilacak dari kondisi sosial budaya ketika Weber masih hidup dan
mengembangkan pemikirannya. Kata
kunci dalam rasionalisasi birokrasi ialah menciptakan efisiensi dan produktifitas yang tinggi
tidak hanya melalui rasio
yang seimbang antara volume pekerjaan dengan jumlah pegawai yang profesional tetapi juga
melalui pengunaan
anggaran, pengunaan sarana, pengawasan, dan pelayanan kepada masyarakat.
Kalau ditelisik, konsep rasionalitas dan efisiensi yang membingkai dalam ramuan birokrasi
adalah susunan hirarki, di
mana ukurannya tergantung kebutuhan pada masing-masing zaman. Zaman kita sangat
berbeda dengan zaman yang
tengah terjadi pada saat Weber masih hidup.
Hal yang sangat menarik adalah kritik yang disampaikan Warren Bennis melalui tulisannya
Organizational Developments
and the Fate of Bureucracy dalam Industrial Management Review 7 (1966). Bennis

mencoba melakukan prediksi masa


depan tentang berbagai macam perubahan yang pada gilirannya akan mempengerahui
eksistensi birokrasi. Menurut
Bennis, birokrasi merupakan penemuan sosial yang sangat elegan, suatu bentuk kemampuan
yang luar biasa untuk
mengorganisasikan, mengkoordinasikan proses-proses kegiatan yang produktif pada masa
Revolusi Industri.
Birokrasi dikembangkan untuk menjawab berbagai persoalan yang hangat pada waktu itu,
misalnya persoalan
pengurangan peran-peran persobal, persoalan subyektivitas yang keterlaluan, dan tidak
dihargainya hubungan kerja
kemanusiaan.
Singkatnya, dalam pandangan Bennis, birokrasi adalah produk kultural dan sangat terikat
oleh proses zaman pada saat
kemunculannya. Kita sangat membutuhkan birokrasi yang berorientasi kemanusiaan, tidak
secara konseptual semata tapi
merambah pada dataran praktis di lapangan.
Hal ini menjadi pekerjaan sangat penting untuk mendekatkan birokrasi pada manusia, bukan
lagi pada mesin. Sebuah
teori akan diuji menurut kelayakan historis dan kebutuhan pada sebuah masa. Birokrasi yang
humanis masih menjadi
pekerjaan rumah (PR) yang harus serius digarap oleh para pemerhati masalah-masalah
adminsitrasi negara dan
kebijakan publik.
Happy Susanto adalah Peneliti The International Institute of Islamic Thoughts (IIIT)
Indonesia
Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0401/01/opi01.html
Minggu, 20 Januari 2013
Birokrasi

1. Pengertian Birokrasi
Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa inggris bureau + cracy),
diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk
piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat
atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer.
(Wikipedia)
Berikut beberapa definisi birokrasi menurut para ahli :
1. Jay M Shafritz dan E. W Russel (1997)
Jay M Shafritz dan E. W Russel merumuskan birokrasi sebagai :

Semua Kantor Pemerintah

Semua kantor yang melaksanakan fungsi publik yang dijalankan oleh


pemerintah.

Semua Pegawai Pemerintah

Semua pegawai pemerintah dari tingkatan terendah hingga tertinggi, yang


dipilih maupun yang diangkat.

Karakteristik Negatif

Segala sesuatu yang menunjukkan karakterisitik negatif birokrasi seperti korupsi,


kaku, prosedural, berbelit-belit dan inefisiensi.

Karakteristik Struktural menurut Max Weber

Birokrasi identik dengan karakteristik struktural yang dikemukakan oleh Max


Weber, seperti adanya pembidangan tugas yang jelas, prinsip hierarki,
spesialisasi dan formalisme
2. Max Turner dan David Hulme (1997)
Mendefinisikan birokrasi sama dengan administrasi negara yaitu dengan melihat
aspek-aspek unik dalam administrasi negara seperti keterkaitan administrasi
negara dengan pemerintah atau negara, keterkaitan dengan hukum, dan adanya
aspek akuntabilitas publik.
3. Brown (1989)
Mengemukakan definisi birokrasi yang minimalis, yakni mengemukakan asumsi
yang seminimal mungkin tentang bagaimana birokrasi seharusnya bekerja dan
lebih banyak melihat pada birokrasi sesungguhnya.
4. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Birokrasi didefinisikan sebagai :
o

Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah


karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan.

Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta


menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak likulikunya dan sebagainya.

Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya didefinisikan


sebagai :

Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak


dipilih oleh rakyat.

Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.

1. Ciri-ciri Tipe Ideal Birokrasi


Ciri-ciri tipe ideal birokrasi menurut Max Weber adalah sebagai berikut :

Jabatan administratif yang terorganisasi/tersusun secara hirarkis.


(Administratice offices are organized hierarchically)

Setiap jabatan mempunyai wilayah kompetensinya sendiri (Each office


has its own area of competence)

Pegawai negeri ditentukan, tidak dipilih, berdasarkan pada kualifikasi


teknik yang ditunjukan dengan ijazah atau ujian. (Civil cervants are
appointed, not electe, on the basis of technical qualifications as
determined by diplomas or examination)

Pegawai negeri menerima gaji tetap sesuai dengan pangkat atau


kedudukannya. (Civil servants receive fixed salaries according to rank)

Pekerjaan merupakan karir yang terbatas, atau pada pokoknya,


pekerjaannya sebagai pegawai negeri. (The job is a career and the sole, or
at least primary, employment of the civil servant)

Para pejabat tidak memiliki kantor sendiri. (The official does not own his or
her office)

Para pejabat sebagai subjek untuk mengontrol dan mendisiplinkan. (the


official is subject to control and discipline)

Promosi didasarkan pada pertimbangan kemampuan yang melebihi ratarata. (Promotion is based on superiors judgement)

1. Pengertian Appointed dan Elected


Pengertian appointed adalah pegawai atau karyawan dari birokrasi yang
pengangkatannya dilakukan oleh pejabat yang berwenang, karena kariernya
akan ditentukan oleh pejabat yang diatasnya dalam hirarki organisasi sedangkan
pengertian elected adalah pegawai atau karyawan birokrasi yang cara
mendapatkannya melalui pemilihan seperti Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati
dan Lurah.
1. Pengertian Jabatan Struktural dan Jabatan Fungsional
1. a.

Jabatan Struktural

Jabatan struktural adalah jabatan yang secara tegas ada dalam struktur
organisasi. Kedudukan jabatan struktural bertingkat-tingkat dari tingkat yang

terendah (eselon IV/b) hingga yang tertinggi (eselon I/a). Contoh jabatan
struktural di PNS Pusat adalah: Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal, Kepala Biro,
dan Staf Ahli. Sedangkan contoh jabatan struktural di PNS Daerah adalah:
sekretaris daerah, kepala dinas/badan/kantor, kepala bagian, kepala bidang,
kepala seksi, camat, sekretaris camat, lurah, dan sekretaris lurah.
1. b.

Jabatan Fungsional

Jabatan fungsional adalah jabatan teknis yang tidak tercantum dalam struktur
organisasi, tetapi dari sudut pandang fungsinya sangat diperlukan dalam
pelaksansaan tugas-tugas pokok organisasi, misalnya: auditor (Jabatan
Fungsional Auditor atau JFA), guru, dosen, dokter, perawat, bidan, apoteker,
peneliti, perencana, pranata komputer, statistisi, pranata laboratorium
pendidikan, dan penguji kendaraan bermotor.
Sumber Referensi :
Dari Buku :

Dra. Sri Yuliani, M.Si, Pengantar Ilmu Administrasi Negara, FISIP


Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2004

Patalogi Birokrasi
Senin, 22 Oktober 2012
Kritik Birokrasi "ideal type" Weber ditinjau dari ekologi
BIROKRASI PEMERINTAHAN DAN KEKUASAAN DI INDONESIA
(KRITIK TERHADAP : PERCAKAPAN IMAJINER DENGAN MAX WEBER)
Penulis : Prof. Miftah Thoha, MPA

PENGANTAR

Penulis mencoba melakukan pemahan dasar tentang definisi Birokrasi


Webrian dengan metode Imajiner antara penulis dengan Max Weber. Diharapkan
Birokrasi Weberian dapat dipahami secara mudah oleh para pembaca dan dapat
mengambil kesimpulan mengenai Birokrasi pada jaman Weber (Hubungan antar
Impersonalitas untuk mencapai Rasionalitas). Dalam bab ini penulis
memadukan anatara konsep Birokrasi Weber dengan perkembangan zaman yang
terjadi dengan menggabungkan pemahaman konsep (Impersonalitas dan
Personal dalam mencapai Rasionalitas) yang disesuaikan dengan kondisi
karakteristik masyarakat Indonesia.

KRITIK SUMBANG PEMIKIRAN

Pertama saya ingin mencoba menyimpulkan konsep Birokrasi Weberian


yang dengan model ideal type. Dimana konsep ini menjelaskan tata hubungan
organisasi dengan rasional. Dengan mengatur orang dalam suatu organisasi
dalam menjalankan sebuah pekerjaannya yang diatur oleh hukum dalam
mencapai suatu tujuan organisasi. Model yang ditawarkan oleh Weber adalah
ideal type, yang dia rancang untuk mampu menampung prinsi-prinsip
kehidupan
manusia
secara
berorganisasi,
yang
menekankan
pada
impersonalitas untuk mencapai rasionalitas. Tanpa memberikan kesempatan
bagi berbagai aspirasi yang sifatnya pribadi (personal).
Saya ingin mengulas sedikit konsepsi birokrasi yang menonjol menurut
Max Weber, baik organisasi pemerintah atau nonpemerintah. Pertama, hal-hal
kedinasan harus diatur berdasarkan hukum yang terkait dengan
pembagian tugas yang jelas kepada para pejabat kewenangan
birokrasi dan management. Kedua, prinsip tata jenjang dala kedinasan
dan tingkat kewenangan, yang mempunyai tujuan agar tercipta
keserasian, keharmonisan, dan rasionalitas dalam beroganisasi. Ketiga,
Prinsip-prinsip pengolahan organisasi harus didasarkan oleh dokumendokumen sebagai pencatatan administrasi kegiatan organisasi.
Keempat, perlu adanya spesialisasi dalam manajemen atau organisasi,
memiliki kompetensi dan keahlian bagi para pejabat yang sesuai
dengan bidangnya. Kelima,
Hubungan kerja dalam organisasi
didasarkan atas prinsip impersonal tanpa mencampurkan dan meberi
peluang pada prinsip personal.
KRITIK dan SUMBANG SARAN, menurut saya sampai dengan saat ini
konsep birokrasi yang ditawarkan oleh Max Weber dengan model ideal type
akan tetap terpakai sebagai acuan (pondasi) dalam menjalankan
sebuah organisasi. Namun hakikatnya dalam perkembangan zaman yang
semakin modern, dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin
berkembang, ditambah pertumbuhan penduduk dan perekonomian yang kian
maju diberbagai Negara. Membuat dinamikan permasalah kehidupan semakin
kompleks membawa banyak pengaruh terhadap corak pekerjaan dalam
organisasi. Sehingga mendorong perlunya peneyesuaian kembali terhadap
ideal type birokrasi Weberian. Hal ini senada dengan adanya kritik dari Werren
Bennis, yang menitikberatkan pada hubungan personalisasi dan impersonalitas
dalam memcapai rasionalitas. Dan mempertegas dengan perubahan mendasar
pada pengembalian nilai-nilai kemanusian dalam mengefektifkan sebuah
birokrasi.
Dengan konsep birokrasi yang ditawarkan Bennis, Maka lahirlah pemahan
yang universal mengenai konsep birokrasi yang menekankan pada
perkembangan zaman dari tradisional menuju modern guna menjawab persoalan

yang terjadi saat ini dan mampu meramalkan persoalan yang akan datang.
Perubahan tersebut juga mempengaruhi penataan kembali tatanan organisasi,
yaitu suatu pertumbuhan yang cepat dalam organisasi yang akan mengalami
penambahan dan perubahan yang bervariasi guna menerobos kesulitan birokrasi
itu sendiri.
Dan akhirnya saya berpendapat bahwa birokrasi Weberian merupakan dasar
munculnya sebuah teori Birokrasi dengan model ideal type dengan
menitikberatkan pada impersonalitas guna tercapainya rasionalitas. Yang saya
yakini sebagai Pondasi dari konsep birokrasi itu sendiri. Namun sesuai dengan
perkembangan jaman maka bermunculan bentuk-bentuk organisasi baru, dan ini
memerlukan perpaduan antara impersonal dan personal. Karena manusia
bagaimanapun tetap manusia, sehingga mampu menggabungkan kedua
konsepsi ini dalam menjawab permasalahan dalam organisasi sehingga muncul
suatu Keseimbangan Birokrasi (Miftah Thoha).
MAP UGM Angkatan 57

BIROKRASI IDEAL: PEMISAHAN POLITIK DALAM BIROKRASI INDONESIA


01-11-2013 10:04
maav gan ane msh newbie lagi belajar buat thread.. (mohon saran jika salah
kamar atw kesalahan laennya
semoga bisa menambah informasi buat agan2 semua

BIROKRASI IDEAL: PEMISAHAN POLITIK DALAM BIROKRASI INDONESIA

Spoilerfor BIROKRASI IDEAL: PEMISAHAN POLITIK DALAM BIROKRASI INDONESIA:


BIROKRASI IDEAL: PEMISAHAN POLITIK DALAM BIROKRASI INDONESIA - Reformasi
politik dan desentralisasi pemerintahan berlangsung dengan cepat sejak 1998,
hal ini tentunya harus diikuti oleh perubahan tata penyelenggaraan
pemerintahan yang cukup mendasar. Perubahan system pemerintahan termasuk
dari pranata-pranata diperlukan untuk mendukung system politik demokratis,
otonomi daerah.
Selain produk hukum, pranata utama yang harus diperbaiki adalah system
birokrasi, sebagai salah satu instrument di dalam praktik penyelenggaraan
Negara, birokrasi mempunyai peran penting didalam masyarakat. Mervitalisasi
kedudukan birokrasi sebagai pelaksana administrasi pemerintahan kemudian
menjadikan perannya sebagai instrument pelayanan publk dan meletakkan
birokrasi sesuai pada fungsinya tentu membutuhkan netralitas tanpa intevensi
dan kepentingan politisasi. Joko prasajo mengatakan: Indonesia harus belajar
dari Negara-negara maju seperti korea, reformasi birokrasi dinegara-negara
tersebut pada umumnya dilakukan melalu dua startegi, yaitu; (1) merevitalisasi
kedudukan, peran dan fungsi kelembagaan yang menjadi motor penggerak
reformasi birokrasi, dan (2) menata kembali system administrasi Negara baik
dalam hal struktur, proses dan sumber daya manusia (pegawai negeri) serta
relasi antara Negara dan masyarakart (Joko prasojo : 2008),
Sejak jatuhnya orde baru maka Indonesia berusaha melakukan reformasi pada
tatanan birokrasi, hal ini terlihat dari produk-produk hukum yang diterbitkan
yaitu PP Nomor 5 Tahun 1999 (PP No.5 Tahun 1999), yang menekankan
kenetralan pegawai negeri sipil (PNS) dari partai politik dan kemudian diperkuat
oleh Undang-Undang nomor 43 tahun 1999 tentang Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Diterbitkannya Undang-Undang nomor 43 tahun 1999 ternyata menyisakan
permasalahan yang lain pada desentralisasi daerah, Ginandjar Kartasasmita
dalam pidato pada sidang paripurna DPD RI pada tanggal 19 Agustus 2009,
mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil pemantauan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD RI) terkait dengan permasalahan di daerah khususnya masalah
desentralisasi bahwa UU Nomor 43 tahun 1999 menimbulkan masalah yang
perlu dikritisi dan direvisi lagi. Hal ini karena dalam UU tersebut memungkinkan
bagi kepala daerah (Bupati) untuk melakukan pengangkatan dan pemberhentian
aparat birokrasi di daerah secara sepihak. Kewenangan kepala daerah yang

mutlak dalam rekrutmen aparat dan penempatan pejabat di daerahnya, dapat


mengurangi derajat profesonalisme birokrasi di daerah. Hal ini sangat erat
terkait mandat presiden kepada Gubernur, Bupati dan walikota dan pembinaan
PNS di daerah. Begitupun dengan maraknya pemutasian aparat birokrasi diluar
prosedural oleh kepala daerah yang dinilai sangat politis.
Warsito Utomo dalam Abas, (2009) mengatakan bahwa:
..Peraturan, UU, maupun Kebijakan akan selalu terkait atau dikaitkan bahkan
dipengaruhi oleh system politik, suasana politik atau bahkan keinginan power elit
pada suatu waktu.. Konteks ini tidak hanya terjadi dalam skala nasional tetapi
juga pada lingkup daerah. Artinya bahwa lahirnya Otonomi Daerah yang
berorientasi dalam memperhatikan aspirasi serta kepentingan masyarakat dan
daerah terjadi tarik menarik kepentingan (Tidak hanya pada pusat dan daerah
tetapi juga internal daerah, elit politik, atau elit kekuasaan)..
Keberadaan otonomi daerah melalui undang-undang 22 tahun 1999 kemudian
mampu membiaskan keinginan dari menetralkan birokrasi diberbagai tingkatan
wilayah, keberadaan kepala daerah sebagai Pembina PNS dilingkungan
pemerintahan masing-masing menyebabkan banyak permasalahan di tatanan
birokrasi daerah, dimulai dari rekuitmen aparatur pemerintahan kemudian diikuti
dengan penempatan pejabat yang merupakan kewenangan kepala daerah,
sehingga profesionalitas melalui procedural pemerintahan menjadi jauh dari
kenyataan.
Parahnya, praktik politisasi birokrasi begitu mengakar kuat dalam tubuh birokrasi
di berbagai daerah. Ancaman-ancaman politis tidak saja terjadi pada tingkat
pejabat struktural saja akan tetapi pegawai-pegawai honorerpun mendapatkan
perlakuan yang serupa. Adanya kekuatan politik aparat pejabat daerah dalam
mempengaruhi pilihan politik warga menunjukkan dominasi power kekuasaan
tanpa batasan dan kontrol cenderung menjadi tirani bagi masyarakat daerah.
Dengan demikian, harapan untuk dapat mewujudkan Good Governance menjadi
semakin sulit. Dominasi dan kecenderungan terjadinya penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power), kurang profesionalnya pejabat publik di daerah dan
arah kebijakan pembangunan daerah (termasuk pembinaan PNS daerah), masih
sangat besar ketika kepala daerah memiliki kewenangan penuh untuk melakukan
pengangkatan dan pemindahan tanpa adanya standar profesioanlisme.
Paling tidak permasalahan tersebut terlihat dari beberapa hal, diantaranya:
Pertama, Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999 tersebut belum menjiwai
semangat otonomi daerah dan desentralisasi di mana hakekatnya adalah
otonomisasi masyarakat dan bukan otonomisasi kepala daerah. Kedua, Masih
tersedianya ruang bagi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan
(abuse of power) oleh pejabat daerah. Hal ini seperti diungkapkan Lord Action,
power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Paling tidak,
penyalahgunaan kekuasaan akan terjadi pada level kepala daerah. Ketiga, belum
menggambarkan terwujudnya Good Local Governance yakni tercapainya wujud
pemerintahan yang baik di daerah. Prasojo (2008).
By Antonius (Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Universitas Bengkulu)

Anda mungkin juga menyukai