Anda di halaman 1dari 19

TINJAUAN PUSTAKA

SINDROMA NEFROTIK
A. Definisi
Sindrom nefrotik (SN) merupakan penyakit ginjal dengan gejala proteinuria
masif > 3 g/hari, hipoalbuminemia < 3 g/dl, edema, hiperlipidemia, lipiduria dan
hiperkoagulabilitas terkait kelainan glomerulus akibat penyakit tertentu atau
tidak diketahui.1,2,3,4
B. Etiologi
Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang
berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui
dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu. 1
Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi
penyebab SN. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi
neopterin serum dan rasio neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel
T dalam darah perifer pasien SN yang mencerminkan kelainan imunitas yang
diperantarai sel T. 1
Tabel 1. Penyebab SN yang jarang dijumpai 2

Penyebab SN sekunder sangat banyak, di antaranya penyakit infeksi,


keganasan, obat-obatan, penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi,

penyakit metabolik, penyakit herediter-familial, toksin, transplantasi ginjal,


trombosis vena renalis, stenosis arteri renalis, obesitas massif. Di klinik (75%80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik). 1
Sindrom nefrotik dengan proteinuria berat merupakan penyakit paling
berat dalam nefrologi dan dapat disebabkan oleh glomerulonefritis, diabetes
melitus ataupun amiloidosis. Pada kasus berat, sebagian besar pasien akan
masuk dalam kondisi end stage renal disease (ESRD) dimana terjadi kegagalan
fungsi ginjal yang berujung pada kehilangan protein.5
C. Histopatologi
Kelainan histopatologi pada SN primer meliputi nefropati lesi minimal,nefropati
membranosa, glomerulo-sklerosis fokal segmental, glomerulonefritis
membrano-proliferatif. 1 Penyakit glomelurus yang berhubungan dengan SN
ialah :
1. Minimal Change Disease (MCD)
Kelainan glomerulus ini terjadi pada 80% SN pada anak lebih muda dari 16
tahun dan 20% terjadi pada orang dewasa. Insiden puncaknya terjadi pada
usia 6 dan 8 tahun. Hematuria mikroskopik muncul pada 20-30% kasus.
Jarang disertai oleh hipertensi dan insufisiensi ginjal.3,6
Sebagian besar etiologi MCD ini idiopatik dan biasanya terjadi setelah
infeksi saluran pernafasan atas, imunisasi dan serangan atopi. Pasien dengan
atopi

dan MCD

mengalami peningkatan

insiden HLA-B12 yang

menunjukkan adanya predisposisi genetik MCD sering kali berhubungan


dengan nefritis interstitialis yang merupakan efek samping yang jarang dari
pemberian obat anti inflamasi non steroid (OAINS), rifampisin dan
interferon . 6
Keterkaitan

dengan

keganasan

limfoproliferatif

seperti

limfoma

Hodgkin, kerentanan MCD idiopatik untuk mengalami remisi selama infeksi


virus seperti campak dan respon yang baik terhadap agen imunosupresan
menunjukkan adanya etiologi imun dalam kasus ini 10. Pada anak-anak, urin
mengandung albumin dan sebagian kecil protein dengan berat molekul yang
lebih tinggi seperti Ig G dan makroglobulin 2. Adanya proteinuria selektif
menunjukkan adanya keruskan pada podosit dan hilangnya kemampuan
filtrasi glomerulus terhadap protein 3,6
MCD ini disebut juga penyakit nil, nefrosis lipoid dan memiliki gambaran:

Pemeriksaan mikroskop cahaya : morfologi normal

Pemeriksaan mikroskop elektron: Ig M yang negatif

Identifikasi imunofluoresensi : gambaran Ig M dan C3 yang negatif.

Etiologi dari MCD meliputi : 6


Idiopatik (sebagian besar)
Berhubungan dengan penyakit sistemik maupun obat :
-

Nefritis interstitialis akibat OAINS, rifampisin, interferon

Penyakit Hodgkin dan keganasan limfoproliferatif

Infeksi HIV

2. Glomerulosklerosis Fokal dan Segmental (FSGS)


Lesi morfologi patognomonik FSGS ini ialah hialinosis yang mengenai
hingga 50% bagian glomerulus. Insiden dari FSGS idiopatik meningkat
selama dua dekade terakhir dan merupakan satu pertiga bagian kasus SN
pada orang dewasa6
Etiologi FSGS ini masih belum jelas ini . ada bukti yang menunjukkan
bahwa faktor permeabilitas non imunoglobulin dalam sirkulasi ikut memicu
terjadinya FSGS. Hasil pemeriksaan biopsi jaringan ginjal menunjukkan
bahwa FSGS memiliki gambaran:
Pemeriksaan mikroskop cahaya : Adanya materi hialin amorf. sklerosis
segmental awal pada beberapa glomerulus dengan atrofi tubulus, bila
lanjut dapat mengenai seluruh tubulus7
Pemeriksaan mikroskop elektron: fusi foot process, sklerosis, hialin
Identifikasi imunofluoresensi : Ig M fokal dan segmental 6
Etiologi dari FSGS meliputi : 6
Idiopatik (sebagian besar)
Berhubungan dengan penyakit sistemik maupun obat
-

Infeksi HIV

- Sialidosis

Diabetes melitus

-Penyakit Charcot Marie Tooth

Penyakit Fabry

Konsekuensi dari sustained glomerular capillary hypertension


-

Oligonefropati kongenital
1. Agenesis renal unilateral
2. Oligomeganefronia

Acquired nephron loss


1. Reseksi bedah
2. Refluks nefropati
3. Glomerulonefritis atau nefritis tubulointerstitialis

Respon adaptif lainnya

1. Nefropati sickle cell


2. Obesity dengan sindrom sleep apnea
3. Disautonomia familial
-

Penggunaan obat Heroin

3. Nefropati Membranosa (Glomerulopati membranosa)


Lesi ini merupakan penyebab SN pada dewasa hampir 30-40% dan jarang
dijumpai pada anak. Insiden tertinggi pada usia 30 hingga 50 tahun dengan
rasio pria : wanita 2:1. Hematuria mikroskopik dijumpai pada lebih dari 50%
kasus. Hipertensi terjadi pada 10-30% kasus dan lebih sering dijumpai jika
telah memasuki fase gagal ginjal progresif

Hasil pemeriksaan biopsi jaringan ginjal menunjukkan bahwa FSGS


memiliki gambaran:

Pemeriksaan mikroskop cahaya : Penebalan GBM dengan adanya


maupun tanpa inflamasi atau proliferasi seluler7

Pemeriksaan mikroskop elektron: deposit subepitelial dan ekspansi


GBM5.

Identifikasi imunofluoresensi : deposit Ig G, C3 dan komponen terminal


komplemen (C5b-9) di sekitar dinding kapiler glomerulus7.

Etiologi dari Nefropati membranosa meliputi : 6


Idiopatik (sebagian besar)
Berhubungan dengan penyakit sistemik maupun obat
-

Infeksi : Hepatitis B dan C, sifilis kongenital dan sekunder,


malaria, lepram filariasis, endokarditis enterokokus, penyakit
hidatid

Penyakit autoimun sistemik : SLE, rheumatoid, penyakit


Hashimoto, sindrom Sjogren, penyakit Graves, dermatitis
herpetiformis, myasthenia gravis, spondilitis ankilosa, sirosis
bilier primer dll.

Neoplasia : Karsinoma mamae, paru, colon, dan esofagus

Obat : penicillamin, captopril, OIANS, mercury

Lain-lainnya : sarcoidosis, diabetes melitus, penyakit Crohn, penyakit


weber-Christian, defisiensi antitripsin, sindrom Fanconi.
4. Glomerulonefritis membranoproliferatif (MPGN)
Kelainan ini juga dikenal sebagai glomerulonefritis mesangiokapiler dengan
ciri adanya penebalan GBM dan perubahan proliferatif.7 Ada dua tipe MPGN
yaitu :

MPGN tipe I dengan gambaran :

Pemeriksaan mikroskop cahaya : glomerulus hiperseluler duplikasi


GBM5.

Pemeriksaan mikroskop elektron: deposit subendotelial dan mesangial


yang mengandung C3 dan Ig G atau Ig M. 7

Identifikasi imunofluoresensi : deposit Ig G, Ig M, C3 dan kadangkadang Ig A. atau deposit imun subendotelial.6

MPGN tipe II dengan gambaran :

Pemeriksaan mikroskop cahaya: glomerulus hiperseluler duplikasi


GBM9.

Pemeriksaan mikroskop elektron: adanya deposit padat elektron dalam


GBM dan membran basement renal lainnya. GBM padat.7

Identifikasi imunofluoresensi : C3 dinding kapiler dan nodul mesangial 7

Etiologi dari MPGN meliputi : 6


Idiopatik (sebagian besar)
-

Tipe I dengan deposit subendotelial dan mesangial

Tipe II dengan deposit padat intramembranosa dengan maupun


tanpa Ig yang berhubungan dengan faktor nefritik C3

Tipe III Gambaran MPGN tipe I dan nefropati membranosa

Berhubungan dengan penyakit sistemik maupun obat


-

Penyakit imun kompleks : SLE, krioglobulinemia, sindrom


Sjogren

Infeksi kronik : hepatitis B dan C, HIV, endocarditis bakterialis,


abses visceral, shunt ventriculoatrial

Keganasan : Leukemia, limfoma

Penyakit hati : Lipodistrofi parsial, penggunaan heroin,


sarkoidosis, mikroangiopati trombotik

Lain-lain

5. Fibrillary-Immunatactoid Glomerulopathy
Kasus ini hanya terjadi pada 1% dari semua diagnosis berdasarkan biopsi
ginjal . Pada semua kasus ini terjadi proteinuria dan lebih dari 50%
mengalami SN. Gambaran penyakit ini ialah :

Pemeriksaan mikroskop cahaya : Ekspansi mesangial dan penebalan


membran basalis dengan materi PAS positif terhadap glomerulonefritis
proliferatif dan kreskentik.

Pemeriksaan mikroskop elektron : Materi PAS positif yang mengandung


mikrofibril maupun mikrotubulus dengan komposisi yang belum baku.

6. Glomerulonefritis Proliferatif Mesangial


Sekitar 5-10% kasus ini muncul dengan SN idiopatik. Proteinuria persisten
menandakan prognosis yang buruk. Penyakit ini memiliki gambaran :

Pemeriksaan mikroskop cahaya : Meningkatnya selularitas glomerulus


yang difus akibat proliferasi sel mesangial dan endotel serta adanya
proses infiltrasi monosit.

Identifikasi imunofluoresensi : bervariasi meliputi adanya deposit Ig A,


Ig G dan Ig M dan.atau komplemen tanpa adanya reaktan imun.7

7. Sindrom nefrotik kongenital


Merupakan kelaian autosomal resesif dengan defek pada struktur kimia
membran basalis. Kelainan ini mungkin diawali dalam uterus dengan adanya
peningkatan kadar alfa-fetoprotein dalam cairan amnion pada gestasi minggu
ke 20. Saat lahir, biasanya plasenta besar dan beratnya hampir 25-40% berat
bayi. Proteinuria terjadi saat lahir dan 25% telah mengalami edema, 25%
lainnya mengalami edema

dalam minggu pertama. Azotemia jarang

dijumpai. Prognosisnya biasanya buruk, hanya 25% yang dapat bertahan


sampai usia 1 tahun dan 3% yang bertahan sampai usia 3 tahun .3
D. Patofisiologi
Ginjal mengandung satu juta nefron dimana setiap nefron memiliki peran
terhadap nilai total Glomerulus Filtratin Rate (GFR). Ginjal mempunyai
kemampuan untuk mempertahankan GFR dengan hiperfiltrasi dan kompensasi
hipertrofi yang dilakukan oleh nefron yang sehat bila terjadi trauma ginjal yang
disertai destruksi progresif dari nefron,. Nefron ini menyesuaikan diri untuk
memungkinkan berlanjutnya bersihan plasma normal seperti zat urea dan
kreatinin yang mulai menunjukkan peningkatan yang bermakna dalam kadar
plasma hanya setelah GFR total menurun hingga 50%. 3
Tiga penyebab utama SN nefrotik primer ialah

nefropati minimal change (MCN/ nefropati perubahan minimal),

glomerulosklerosis fokal dan

nefropati membranosa.8

Pada SN terjadi kerusakan dinding kapiler glomerulus yang


menyebabkan kebocoran sel darah merah dan protein yang lebih dari normal
melalui kapiler glomelurus menuju lumen tubulus renalis yang menyebabkan
terjadinya hematuria dan proteinuria.7

Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuria sebagian besar


berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular) dan hanya sebagian
kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular). Perubahan integritas
membrana basalis glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas
glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang diekskresikan
dalam urin adalah albumin. 1
Derajat proteinuria tidak berhubungan langsung dengan keparahan
kerusakan glomerulus. Pasase protein plasma yang lebih besar dari 70 kD
melalui membrana basalis glomerulus normalnya dibatasi oleh charge selective
barrier (suatu polyanionic glycosaminoglycan) dan size selective barrier.Pada
nefropati lesi minimal, proteinuri disebabkan terutama oleh hilangnya charge
selectivity sedangkan pada nefropati membranosa disebabkan terutama oleh
hilangnya size selectivity. 1
Penurunan GFR pada SN terjadi akibat infiltrasi kapiler glomerular oleh
sel radang maupun oleh karena sel kontraktil (contohnya sel mesangial) yang
memberikan respon terhadap zat vasoaktif dengan menyebabkan restriksi aliran
darah menuju berbagai kapiler glomerulus.7
Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan
peningkatan katabolisme albumin di ginjal.Sintesis protein di hati biasanya
meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam
urin), tetapi mungkin normal atau menurun. 1,3
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein
(HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hiperlipidemia ini disebabkan
peningkatan sintesis lipoprotein di hepar dan penurunan katabolisme di perifer
(penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate
density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi
oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik. 1,3
Hiperkoagulasi terjadi akibat multifaktorial dan sebagian kecil
disebabkan karena lolosnya antitrombin III dalam urin, perubahan kadar atau
aktivitas protein C dan S, hiperfibrinogenemia akibat meningkatnya sintesis
dalam hati, gangguan fibrinolisis dan meningkatnya kemampuan agregasi
platelet. 5
Retensi natrium pada SN terjadi akibat menurunnya volume sirkulasi
berhubungan dengan jatuhnya tekanan koloid plasma (COP) atau timbulnya
stable edema tanpa memandang jenis sindrom nefrotik MCD atau non MCD.

Proses terjadinya edema mempunyai hubungan dengan proteinuria.


Pembentukan edema secara klasik merupakan akibat sekunder adanya retensi
natrium yang meningkat dari deplesi volume intravaskular pada tekanan onkotik
plasma yang rendah. 9 Derajat edema biasanya sejalan dengan kadar albumin
serum.
Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan lewat
ginjal, penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan
peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti Streptococcus
pneumonia, Klebsiella, Haemophilus Pada SN juga terjadi gangguan imunitas
yang diperantarai sel T. Sering terjadi bronkopneumoni dan peritonitis. 1
Sindrom nefrotik juga dapat timbul akibat lesi glomerular yang
berhubungan dengan keganasan. Beberapa tumor yang dapat memicu terjadinya
SN pada varian tertentu ialah sebagai berikut : 10

E. Diagnosis
Diagnosis SN dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium
berupa proteinuri masif (> 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari),
hipoalbuminemi
(<3
g/dl),
edema,
hiperlipidemi,
lipiduri
dan
hiperkoagulabilitas. Pemeriksaan tambahan seperti venografi diperlukan untuk
menegakkan diagnosis trombosis vena yang dapat terjadi akibat
hiperkoagulabilitas. Pada SN primer untuk menentukan jenis kelainan
histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan respon terhadap terapi,
diperlukan biopsi ginjal. 1
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan SN meliputi :3

1. Terapi spesifik berdasarkan keadaan morfologi dan jika mungkin, penyakit


kausalnya
2. Kendali umum akan proteinuria jika remisi tidak dapat dicapai dengan
pemberian terapi imunosupresan dan ukuran lainnya
3. Kendali terhadap komplikasi nefrotik
Keadaan proteinuria perlu dikendalikan terutama jika pasien tidak
memberikan respon terhadap terapi imunosupresan dan adanya gagal ginjal
progresif dengan komplikasi yang berat. Pengobatan nonspesifik yang dapat
mengurangi proteinuria ialah pemberian ACE inhibitor dan OAINS. Pemberian
obat ini bertujuan untuk menurunkan proteinuria dan memperlambat
progresivitas gagal ginjal kronis (GGK) dengan menurunkan tekanan
intraglomerulus dan mencegah kegagalan hemodinamik akibat adanya
glomerulosklerosis.3
Adanya edema harus ditindak lanjuti lebih serius dengan restriksi garam
biasanya 1 hingga 2 g setiap harinya dan penggunaan diuretik yang tepat.
Pemindahan edema lebih dari 1 kg per harinya dengan diuresis bukanlah
tindakan yang tepat karena akan menyebabkan deplesi volume intravaskuler dan
memicu azotemia prerenal.3
1. Penatalaksanaan non Farmakologi
Penatalaksanaan Diet
Belum ada konsensus yang mengatur diet yang optimal bagi pasien SN.
Diet tinggi protein untuk mencegah malnutrisi protein tidaklah
membantu. Disarankan pemberian suplemen vitamin D bila dijumpai
bukti defisiensi vitamin D.3
Pada SN dilakukan restriksi protein dengan diet protein 0,8
gram/kgBB ideal/hari + ekskresi protein urin dalam 24 jam. Bila fungsi
ginjal menurun, diet disesuaikan hingga 0,6 mg/kgBB ideal/hari +
ekskresi protein urin 24 jam. Diet rendah garam dan restriksi cairan pada
edema. Diet rendah kolesterol < 600 mg/hari. Pasien diharuskan berhenti
merokok.
2. Penatalaksanaan Farmakologi
a. Penatalaksanaan Edema
Pemberian

diuretik

ditujukan

untuk

menekan

edema

dengan

memobilisasi cairan dari sirkulasi. Dosis perlu dipertimbangkan agar

pasien dapat mengalami reduksi edema dengan penurunan berat badan 12 pon setiap harinya bahkan pada pasien dengan edema masif karena
hipotensi dapat terjadi bila cairan hilang terlalu cepat.

11

Beberapa

diuretika yang sering dipakai ialah


Furosemide (loop diuretic) dapat dipakai sebagai diuretika tunggal.
Dosis dinaikkan sampai timbul diuresis. Diperlukan suplementasi
kalium 15 Pemberian furosemid direkomendasikan 40 mg sehari. Bila
tidak ada respon dosis dinaikkan menjadi 40 mg setiap 12 jam hingga
dosis maksimal 160 mg tercapai. Jika masih tidak memberikan
respon maka ditambahkan diuretik lainnya seperti metolazon yang
bersifat potensiasi terhadap diuretik loop. Hampir semua pasien
memberikan respon terhadap terapi oral walaupun beberapa
memerlukan furosemide 160 mg plus metolazone 10 mg dua kali
sehari untuk mencapai efek yang diinginkan.11
Spironolakton, sebaiknya dihindari jika kadar kalium serum tinggi
atau pasien mengalami gangguan fungsi ginjal
Klortiazid memiliki kerja sinergistik dengan furosemide dan
spironolakton.

Gambar 1. Proses terbentuknya pada sindrom nefrotik9


Penderita SN kadang menunjukkan resistensi terhadap diuretika
yang sering digunakan dan sering memerlukan pengobatan dengan dosis
tinggi diuretika loop (misalnya furosemide, torsemide, bumetanide).
Resistensi diuretika loop dapat diterangkan melalui ikatannya terhadap
albumin dan protein yang lain. Obat-obatan ini masuk ke dalam lumen
nefron melalui sekresi aktif lewat sel-sel tubulus proksimal. Jika terjadi
proteinuria berat, obat yang disekresikan terikat protein di lumen tubulus,
membatasi kemungkinannya untuk berikatan dengan reseptor-reseptor
pada bagian nefron yang lebih jauh. Resistensi ini diatasi dengan
meningkatkan dosis obat. Untuk mendapatkan diuresis yang cukup
sering diperlukan kombinasi diuretika loop dan diuretika mirip thiazide.
12

Diuretika yang berlebihan dapat mempercepat kekurangan volume


dan gagal ginjal akut-suatu fenomena yang sering dijumpai pada penderitapenderita dengan minimal change disease. Dalam penatalaksanaan edema
jarang sekali diberikan diuretik intravena atau infus albumin untuk
menekan edema tetapi kombinasi infus albumin dan diuretika loop
mungkin diperlukan untuk mencapai diuresis pada penderitapenderita dengan hipoalbuminemia berat.11
b. Penatalaksanaan Proteinuria dan hipertensi
Proteinuria adalah petanda utama penyakit ginjal. Proteinuria dapat juga
digunakan sebagai penentu prognosis. Penderita glomerulonefritis yang
mengalami ekskresi protein urin lebih dari 1 gram perhari, biopsi
ginjalnya sangat mungkin menunjukkan glomerulosklerosis atau
scarring. Sedang mereka yang proteinurianya lebih dari 2 gram sehari,
follow up jangka panjangnya menunjukkan insiden untuk mengalami
gagal ginjal yang lebih tinggi. Dulu dipercaya proteinura adalah akibat
kerusakan ginjal, tetapi akhir-akhir ini bukti-bukti menunjukkan bahwa
kebalikannya juga benar; yaitu proteinuria dapat langsung menyebabkan
kerusakan ginjal. 12,13

Gambar 2. Proses kerusakan ginjal akibat proteinuria12


Jika ada kebocoran protein yang berlebihan dalam tubulus ginjal,
sel-sel tubulus proksimal (Proximal Tubular Cells - PTC) menjadi
kelebihan beban protein. Lysosome PTC akan membengkak jika menelan
protein ini, kemudian pecah dan melepaskan enzym-enzym lysosome,
sehingga timbul kerusakan tubulo-interstitiel disertai fibrosis yang
memicu gagal ginjal. Kelebihan protein pada PTC juga mendorong
pelepasan faktor pertumbuhan seperti PDGF dan transforming growth
factor-beta (TGF-) yang mitogenik pada PTC. Materi ini memicu
produksi kolagen berlebihan serta proliferasi sel-sel interstitiel yang
menimbulkan fibrosis dan gagal ginjal. Beban protein PTC juga
menyebabkan aktivasi gen-gen transkriptase, pelepasan bahan vasoaktif
pengkode gen-gen dan mediator peradangan. Pelepasan ini memicu
vasokonstriksi dan peradangan jaringan ginjal sehingga akhirnya teradi
kerusakan dan gagal ginjal (Gambar 2).12
Saat ini pengobatan untuk mengurangi proteinuria pada penyakit
ginjal dianggap penting seperti halnya penurunan tekanah darah pada
penderita hipertensi karena keduanya penting untuk memelihara fungsi
ginjal. Dalam keadaan normal, setiap hari kedua ginjal mengeksresi
kurang dari 150 mg protein dalam urin. Proteinuria pada penderitapenderita di atas harus diturunkan serendah mungkin hingga mencapai
batas di bawah 0,5 gram sehari. Salah satu cara terbaik melindungi ginjal
dari kerusakan akibat proteinuria ialah menggunakan ACE Inhibitor. 12
Pada kondisi sesungguhnya yang dihubungkan dengan
proteinuria, ada fenomena hiperfiltrasi glomerulus (Glomerular
Hyperfiltration - HF) yang menginduksi proteinuria disamping efek
imunologis langsung dari glomerulonefritis yang juga menyebabkan

kerusakan ginjal dengan kebocoran protein ke dalam urin. HF adalah


kondisi akiba glomerulus rusak atau sklerosis. Glomerulus disekitarnya
yang masih normal kemudian menjadi sasaran aliran darah berlebihan
dengan vasodilatasi arteriol glomerulus aferen. 12

Gambar 3. Fungsi glomerulus dan penghambatan ACE menurut Lewis15


Pada arteriol glomerulus eferen, terjadi vasokonstriksi dimediasi
Angiotensin II (ATII). Aliran darah meningkat saat masuk dari arteriol
aferen dan menurun saat keluar dari arteriol eferen memicu kelebihan
darah
glomerulus
dan
meningkatkan
tekanan
darah
intraglomerulus(Intraglomerular Hypertension,IG-HPT). Pada awalnya
IG-HPT dihubungkan dengan peningkatan GFR satu nefron disertai
kebocoran protein dalam urin. Seiring berjalannya waktu, timbul
kerusakan ginjal disertai sklerosis ginjal akibat IG-HPT dan akhirnya
terjadi gagal ginjal. 12
Penghambatan kerja AT-II dengan ACE inhibitor pada arteriol
glomerulus eferen memicu vasodilatasi sehingga menurunkan IG-HPT dan
mempertahankan fungsi ginjal (Gambar 3). Sekitar 20 - 30% pasien yang
mendapat ACE Inhibitor akan mengalami efek samping batuk kering dan
menjadi lebih berat jika ada infeksi saluran napas. Pada pasien ini, dianjurkan
ARB yang tidak memiliki efek samping batuk. ARB bersaing dengan
reseptor angiotensin dan karena itu menghambat kerja angiotensin. Obat ini
sama efektif dengan ACE Inhibitor dalam menurunkan proteinuria dan
memelihara fungsi ginjal. 12
Angiotensin receptor blocker (ARB) ternyata juga dapat
memperbaiki proteinuri karena menghambat inflamasi dan fibrosis
interstisium, menghambat pelepasan sitokin, faktor pertumbuhan, adesi

molekul akibat kerja angiotensin II lokal pada ginjal. Kombinasi ACEI


dan ARB dilaporkan memberi efek antiproteinuri lebih besar pada
glomerulonefritis primer dibandingkan pemakaian ACEI atau ARB saja.
Obat antiinflamasi non-steroid dapat digunakan pada pasien nefropati
membranosa dan glomerulosklerosis fokal segmental untuk menurunkan
sintesis prostaglandin1.
Dengan menggunakan ACE Inhibitor atau ARB, target awal
penurunan proteinuria adalah 50%. Dengan kata lain, dosis ACE
Inhibitor atau ARB kalau perlu harus dinaikkan secara bertahap sampai
mecapai dosis maksimum untuk mencapai penurunan proteinuria yang
efektif. 12,14
Penggunaan ACE inhibitor dan Angiotensin II Receptor
Antagonist (ARB), Calcium Channel Blocker (CCB) Non
Dehydropiridine (DHPP) (antagonis kalsium juga mempunyai sifat
antiproteinuria) ditujukan untuk menekan GFR dan membatasi
kehilangan protein dalam urin. 12
OAINS dapat menekan proteinuria melalui reduksi GFR. Efek
samping akibat inhibisi prostaglandin seperti efek dinamik perfusi ginjal,
pembentukan efema, hiperkalemia dan oksisitas renal telah membatasi
pemakaian obat ini. Demikian pula dengan inhibitor selektif
siklooksigenase II (COX-II) yang juga menunjukkan manfaatnya dalam
menekan proteinuria. 5
Pemberian heparin jangka pendek juga dapat menekan
proteinuria dan memperbaiki insufisiensi ginjal. Walaupun demikian,
glikosaminoglikan, bagian membran basal glomerulus, seperti halnya
heparin bekerja sebagai polianion dan antagonis efek merusak polikation
seperti protamin sehingga turnover sel mesangial menurun. Pada kasus
diabetes melitus akibat gangguan degradasi matriks ekstraseluler,
glikosaminoglikan dapat memodulasi defek ini pada glomerulus dan
retina dengan menghambat kaskade TGF-. Saat ini glikosaminoglikan
tersedia sebagai medikasi oral non antikoagulan.5,14
Pemberian antikoagulan harus diberikan pada pasien dengan
proteinuria, atau dengan kadar albumin dibawah 20 g/l atau keduanya
mengingat risiko tromboemboli yang cukup tinggi. Pada SN, trombosis
arterial lebih jarang dijumpai daripada trombosis vena tetapi komplikasi
serius ini menyebabkan morbiditas penting. Pasien SN dengan trombosis

arteri plmonal dan tromboemboli saat ini dapat diterapi dengan


trombolitik seperti pemberian urokinase intravena atau streptokinase
yang diinfuskan dalam arteri pulmonalis.3
Bila pasien memiliki komplikasi tromboemboli simptomatis
maka heparin harus diberikan walaupun efeknya cukup kuat karena
kadar anti trombin III menurun. Fungsi trombosit meningkat, akibatnya
perlu diberikan inhibitor agregasi trombosit misalnya aspirin dosis
rendah sebagai pilihan yang rasional walaupun belum ada studi
terkontrol yang mendukung.3
c. Penatalaksanaan dislipidemia
Sindrom nefrotik menyebabkan lipiduria : sedimen urin dalam cahaya
terpolarisasi memberikan gambaran Maltese crosses ang merupakan
ester kolesterol yang terikat pada protein. Sindrom nefrotik juga
menyebabkan hiperlipidemia. 11
Pada sebuah penelitian di Amerika Serikat ditemukan sekitar 87%
pasien SN memiliki kadar kolesterol diatas 200 mg/dl, 53% diatas 300
mg/dl dan 25% diatas 400 mg/dl. Kadar kolesterol diatas 600 mg/dl
jarang dijumpai. 11
Pada penelitian yang sama, dijumpai peningkatan LDL dimana
77% kasus menunjukkan kadar LDL diatas 130 mg/dl dan 65% kasus
menunjukkan kadar LDL diatas 160 mg/dl. 11
Mekanisme hiperlipidemia tidak diketahui. Kadar albumin rendah
dan tekanan osmotik rendah dapat memicu hati meningkatkan sintesis
lipoprotein untuk mengikat kolesterol. Teori lain menyatakan hilangnya
protein regulator dalam urin memberikan umpan balik dan meningkatkan
produksi lipid elevating lipoprotein dalam hati. Walaupun hati pada SN
menghasilkan lipoprotein tetapi kadar HDL tidak meningkat. Kadar
HDL-2 sebagai faktor protektif aterosklerosis seringkali rendah. 11
Penatalaksanaan hiperlipidemia ini ditujukan untuk menekan
kadar kolesterol hingga berada dibawah 200 mg/dl dan kadar LDL
dibawah 100 mg/dl. Beberapa obat yang dapat diberikan pada
penatalaksanaan hiperlipidemia ialah :
Golongan statin ; lovastatin dapat menekan kolesterol total, LDL dan
trigliserida. Makin poten obat statin ini maka efek reduksinya juga
makin tinggi. Statin dapat memperbaiki fungsi endotel dan

memperlambat progresivitas penyakit


albuminuria pada beberapa kasus.11

ginjal

serta

menekan

Hydroxymethylglutrayl coenzyme A reductase inhibitors memiliki


efek menekan lipid yang kuat terutama pada dislipoproteinemia
akibat SN, berperan menekan aterosklerosis dan progresivitas ginjal.5
Torcetrapib merupakan obat yang sedang dikembangkan. Mekanisme
kerjanya melalui blok protein transfer ester kolesterol sehingga dapat
meningkatkan kadar HDL.11
e. Penatalaksanaan kausal
1. Pemberian kortikosteroid
Pada MCD dapat diberikan serial prednisolon dimulai dosis 60 mg
atau 1 mg/kgBB.hari dan diturunkan secara bertahap dalam periode 3
bulan. Bila dijumpai kegagalan maka dipertimbnagkan
siklosfosfamid
Pada glomerulonefritis proliferatif mesangial difus ringan, pemberian
prednisolon juga dapat memberikan hasil yang baik
Pada glomerulonefritis membranosa biasanya memberikan respon
pada pemberian prednisolon selama 3 bulan
Pada FSGN, respon yang baik dapat tercapai dengan pemberian
prednisolon dan siklosfosfamid selama 6 bulan, bila gagal
dipertimbangkan siklosporin 12
Efek samping dari pemberian kortikosteroid sangat banyak dan
memiliki korelasi dengan dosis kumulatif. Efek samping seperti obesitas,
hirsutisme, hipertensi arterial dan gangguan psikologi biasanya bersifat
reversibel setelah terapi dihentikan, namun striae dan katarak tidak
reversibel. Disamping itu gangguan pertumbuhan terjadi pada pasien
yang mendapat terapi kortikosteroid jangka panjang setiap harinya,
sedangkan pada pasein yang mendapat terapi kortikosteroid jangka
panjang dengan pemberian selang sehari tidak dijumpai gangguan
pertumbuhan.3
2. Penggunaan obat sitotoksik
Beberapa obat sitotoksik yang digunakan sebagai obat immunosupresif
pada sindrom nefrotik ialah :
Siklofosfamid
Siklofosfamid diberikan untuk induksi remisi pada

o MCD dan nefritis lupus yang tidak memberikan respon


terhadap prednison dan sering mengalami kekambuhan.
Siklofosfamid yang dianjurkan ialah 2 mg/kgBB selama 3
bulan. Bila gagal dengan siklofosfamid maka diberikan
siklosporin. 12
o Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus yang gagal
memberikan respon terhadap prednison
o Glomerulonefritis membranosa yang gagal memberikan
respon terhadap prednisolon selama 3 bulan
o FSGS primer, diberikan bersama prednison selama 6 bulan.
Jika gagal dapat diberikan siklosporin 12
Siklosporin. Siklosporin bekerja dengan menghambat produksi
interleukin 2 dan telah digunakan dalam transplantasi sejak tahun
1980. Penggunaannya dalam glomerulonefritis diuji-coba mulai
tahun 1986. Mekanisme kerjanya pada glomerulonefritis tidak
diketahui. Siklosporin memberikan efek samping hipertensi dan
nefropati.7 Beberapa indikasi siklosporin ialah :
o MCD dan nefritis lupus yang gagal terhadap terapi
siklofosfamid, diberikan serial siklosporin 5 mg/kgBB selama
3 bulan dan diturunkan dalam 3 bulan berikutnya.12
o FSGS yang tidak memberikan respon terhadap prednison dan
siklofosfamid 12

Klorambucil

A.

Pemberian

klorambucil

dapat

menginduksi remisi bebas steroid yang lebih lama terutama pada


anak dengan FRNS dan SDNS dan efeknya setara dengan
siklosfosfamid atau bahkan lebih baik. Dosis yang diberikan sekitar
0,2 mg/kgBB selama 8 hingga 12 minggu. Kemungkinan risiko
terjadinya keganasan hematologi lebih tinggi pada klorambucil
dibandingkan dengan siklosfosfamid. 12
Takrolimus, bekerja dengan memblok aktivasi interleukin-2 dalam
sel T dan digunakan pada beberapa kasus resistensi seperti halnya
siklosporin. 5
Mizoribine (MZR). Penelitian di Jepang memunculkan Mizoribine
(MZR) sebagai agen imunosupresan novel dengan kemampuan
inhibisi ioosin monofosfat dehidrogenase yang memicu efek inhibisi

proliferasi sel T dan sel B. MZR digunakan tanpa efek samping


serius pada kasus tranplantasi ginjal dan semua kasus SN. Walaupun
demikian pemakaian MZR ini masih terbatas dalam SN dan belum
seluas agen lainnya seperti siklosfosfamid maupun siklosporin.
Namun pemakaian terapi MZR oral pada pasien SRNS dengan
kombinasi prednison memberikan efek anti proteinurik yang kurang
adekuat.5
Mycophenolate Mofetil (MMF) bekerja menghambat sintesis purin de
novo sehingga menekan proliferasi sel B dan T, demikian pula
dengan proliferasi sel otot polos dan fibroblas sehingga dapat
melindungi ginjal dari penyakit yang progresif. 5 Bersama FK 506,
dosis 0,1-0,2 mg/kgBB/hari, MMF diberikan pada dosis 0,75-1 g dua
kali sehari selama 3 bulan. 12
G. Tindak Lanjut
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap,
remisi parsial dan resisten. Dikatakan remisi lengkap jika proteinuri minimal (<
200 mg/24 jam), albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum < 300 mg/dl, diuresis
lancar dan edema hilang. Remisi parsial jika proteinuri <3,5 g/hari, albumin
serum >2,5 g/dl, kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar dan masih
edema. Dikatakan resisten jika klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan
perubahan atau perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid. 1
Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus SN
nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau parsial pada 50% SN nefropati
membranosa dan 20%-40% pada glomerulosklerosis fokal segmental. Perlu
diperhatikan efek samping pemakaian kortikosteroid jangka lama di antaranya
nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis, hipertensi, diabetes melitus. 1

DAFTAR PUSTAKA
1. Gunawan C. Sindrom Nefrotik : Patogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin Dunia
Kedokteran
2. Orth SR, Ritz E. The Nephrotic Syndrome. N Engl J Med 1998;338(17):1202-9
3. Brady HR, OMeare Y, Brenner BM. The Major Glomerulopathies. Dalam :
Braunwald, Fauci, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, penyunting. Harrisons
Principles of Internal Medicine. Edisi ke-15. Mc Graw Hill 2001. h 1584-88
4. Sumboonnanonda A, Chongchate N, Suntornpoch V, Pattaragarn A, Supavekin S.
Difficult to Treat Nephrotic Syndrome: Management and Outcome. J Med Assoc
Thai 2005;8(8):S142-8
5. Schwarz A. New Aspect of Treatment of Nephrotic Syndrome. J Am Soc Nephrol
2001;12:544-47
6. Roth KS, Amaker BH, Chan JCM. Nephrotic Syndrome : Pathogenesis and
Management. Pediatr Rev 2002;23:237-44
7. Lingappa VR. Renal Disease. Dalam : McPhee SJ, Lingappa VR, Ganong WF,
Lange JD, penyunting. Pathophysiology of Disease : an introduction to clinical
Medicine.Edisi ke 3. New York: Mc Graw Hill. 1999. h.400-2
8. Darmawan J. Remisi Lengkap Proteinuri dan Remisi bebas terapi Sindrom
Nefrotik (Pengamatan 10 tahun). Maj Kedokt Indon 2000;50(6):312-16
9. Hamm LL, Batuman V. Edema in the Nephrotic Syndrome : New Aspect of an Old
Enigma. J Am Soc Nephrol 2003;14:3288-9
10. Ahmed M, Solangi K, Abbi R, Adler S. Nephrotic Syndrome, renal Failure and
Renal Malignancy : An Unsual tumor-associated Glomerulonephritis. Am J Soc
Nephrol 1997;8:848-52
11. Appel GB. Improved Outcomes in Nephrotic Syndrome. CCJM 2006;73(2):161-8
12. Yogiantoro M. The Management of Nephrotic Syndrome. Dalam : Adi S, Setiawan
PB, Yogiantoro M, Pranawa, Tjokroprawiro, penyunting. Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan XVI. Surabaya 18-19 Agustus 2001. h.95-111
13. Kashif W, Siddiqi N, Dincer HE, Dincer AP, Hirsch S. Proteinuria : How to
Evaluate an Important Finding. CCJM 2003;70(6):535-42
14. Schwarz A. New Aspects of The Treatment of Nephrotic Syndrome. J Am Soc
Nephrol 2001;12:544-7

Anda mungkin juga menyukai