Parameter klinis,
Fungsi paru,
laboratorium
Ringan
Sedang
Ancaman henti
nafas
Berat
Sesak
timbul-pada
saat (breathless)
Berjalan
Bayi:
menangis keras
Bicara
Kalimat
Berbicara
Bayi :
- Tangis pendek
dan lemah
- Kesulitan
makan/minum
Penggal kalimat
Posisi
Bisa berbaring
Kesadaran
Mungkin iritable
Biasanya iritable
Biasanya iritable
Sianosis
Sesak nafas
Tidak ada
Sedang,
sering
hanya pada akhir
ekspirasi
Minimal
Tidak ada
Nyaring, sepanjang
ekspirasi,
inspirasi
Sedang
Ada
Sangat
terdengar
stetoskop
Berat
Biasanya tidak
Biasanya ya
Ya
Gerakan
paradok torakoabdominal
Retraksi
Dangkal,
interkostal
Dalam,
ditambah
nafas cuping hidung
Dangkal
hilang
Meningkat
Menurun
Bradikardi
Mengi (wheezing)
retraksi
Sedang, ditambah
retraksi
suprasternal
Meningkat
Laju nafas
Meningkat
Pedoman nilai baku laju nafas pada anak sadar :
Usia
laju nafas normal
Usia
< 2 bulan
< 60 / menit
1 5 tahun
2 12 bulan
< 50 / menit
6 8 tahun
Laju nadi
Normal
Takikardi
Pedoman nilai baku laju nadi pada anak sadar :
Usia
laju nadi normal
2 12 bulan
< 160 / menit
1 2 tahun
< 120 / menit
3 8 tahun
< 110 / menit
Pulsus
paradoksus
Tidak ada
Ada
(pemeriksaannya
< 10 mmHg
10-20 mmHg
tidak praktis)
PEFR atau FEV1 (%
nilai dugaan/% nilai
terbaik)
- pra bronkodilator
- pasca
bronkodilator
SaO2 %
PaO2
PaCO2
Istirahat
Bayi :
Tidak
mau
makan/minum
Kata-kata
Duduk
bertopang
lengan
nyaring,
tanpa
Ada
> 20 mmHg
> 60%
> 80%
< 40%
40-60%
60-80%
> 95%
Normal
biasanya
tidak perlu diperiksa
< 45 mmHg
91-95%
< 60%
Respon < 2 jam
90%
> 60 mmHg
< 60 mmHg
< 45 mmHg
> 45 mmHg
Bingung
dan
mengantuk
Nyata/Jelas
Sulit/tidak
terdengar
Tidak
ada,
tanda kelelahan
otot nafas
Sianosis
(-)
(+) pada udara kamar
Aktifitas
otot-otot
pernafasan (-)
Sedang
tambahan
Pertukaran udara
Baik
Sedang
Keadaan mental
Normal Depresi/gelisah
Pulsus paradoksus (Torr)
< 10
10-40
PaO2 (Torr)
70-100
70 pada udara kamar
PaCO2 (Torr)
< 40
40-65
Skor :
0-4
: tidak ada bahaya
5-6
: akan terjadi gagal nafas siapkan UGD
7
: gagal nafas
seperti histamin, bradikinin dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi
lambat. Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar
jalan napas, bronkospasme, pembengkakakan membran mukosa dan pembentukan mukus
yang sangat banyak.
Berikut mediator fase awal :
1. Leukotrien C4, D4, dan E4 menyebabkan bronkokonstriksi berkepanjangan,
peningkatan permeabilitas vascular dan peningkatan sekresi musin
2. Prostagalandin D2, E2, dan F2alfa , memicu bronkokonstriksi dan vasodilatasi
3. Histamin, menyebabkan bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vascular
4. Platelet- activating factor, menyebabkan agregasi trombosit dan pembebasan
histamine dari granula
5. Triptase sel mast, menginaktifkan peptide yang menyebabkan bronkodilatasi normal
(vasoactive intestinal peptide)
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf vegal
melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau non alargi ketika ujung saraf pada jalan
nafas dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi polutan, jumlah
asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung
menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi. Individu
dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon parasimpatis.
Setelah pasien terpajan alergen penyebab atau faktor pencetus, segera akan timbul dispnea.
Pasien merasa seperti tercekik dan harus berdiri atau duduk dan berusaha penuh mengerahkan
tenaga untuk bernafas. Kesulitan utama terletak pada saat ekspirasi. Percabangan
trakeobronkial melebar dan memanjang selama inspirasi, tetapi sulit untuk memaksakan
udara keluar dari bronkiolus yang sempit, mengalami edema dan terisi mukus, yang dalam
keadaan normal akan berkontraksi sampai tingkatan tertentu pada saat ekspirasi.
Udara terperangkap pada bagian distal tempat penyumbatan, sehingga terjadi hiperinflasi
progresif paru. Akan timbul mengi ekspirasi memanjang yang merupakan ciri khas asma
sewaktu pasien berusaha memaksakan udara keluar. Serangan asma seperti ini dapat
berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam, diikuti batuk produktif dengan sputum
berwarna keputih-putihan.
Napas pendek
Pengetatan pada otot dada atau rasa sakit pada dada
Sulit tidur karena napas pendek, batuk atau napas sengau
Suara sengau atau siulan ketika bernapas
Batuk atau sengau yang memburuk ketika terserang virus pernapasan, seperti pilek dan
flu
2. Turunnya rata-rata maksimum aliran napas yang diukur oleh peak flow meter, peralatan
sederhana yang digunakan untuk memeriksa seberapa baik paru-paru anda bekerja
3. Meningkatnya kebutuhan untuk menggunakan bronchodilator pengobatan yang
membuka jalan napas dengan mengistirahatkan otot-otot saluran pernapasan
LO.1.6. Memahami dan Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding Asma Pada Anak
Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia, disebabkan
berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya penyakit yang sangat
bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita tidak merasa perlu ke
dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak
napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis
yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan
pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai
diagnostik.
Alur Diagnosis Asma :
1.
2.
3.
4.
5.
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang lebih
sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang relatif sangat
murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan
kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah
digunakan/ dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di
rumah sehari-hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan
ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas.
Manfaat APE dalam diagnosis asma
a. Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah inhalasi bronkodilator (uji
bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi kortikosteroid
(inhalasi/ oral , 2 minggu)
b. Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE harian
selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat berat penyakit (lihat
klasifikasi)
Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru lain, di samping
itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat obstruksi. Oleh karenanya
pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan nilai terbaik sebelumnya, bukan nilai
prediksi normal; kecuali tidak diketahui nilai terbaik penderita yang bersangkutan.
Cara pemeriksaan variabiliti APE harian
Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari untuk mendapatkan nilai
tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh melalui 2 cara :
a. Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/ perbedaan nilai APE pagi hari
sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari sebelumnya sesudah
bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam sebelumnya
sesudah bronkodilator menunjukkan persentase rata-rata nilai APE harian. Nilai > 20%
dipertimbangkan sebagai asma.
APE malam - APE pagi
Variabiliti harian = -------------------------------------------- x 100 %
1/2 (APE malam + APE pagi)
b. Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah APE pagi sebelum
bronkodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan dengan persentase dari nilai
terbaik (nilai tertinggi APE malam hari).
Contoh :
Selama 1 minggu setiap hari diukur APE pagi dan malam , misalkan didapatkan APE pagi
terendah 300, dan APE malam tertinggi 400; maka persentase dari nilai terbaik (% of the
recent best) adalah 300/ 400 = 75%. Metode tersebut paling mudah dan mungkin
dilakukan untuk menilai variabiliti.
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita dengan gejala
asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus . Pemeriksaan uji
provokasi bronkus mempunyai sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil
negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti
bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis
alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan
fibrosis kistik.
3. Pengukuran Status Alergi
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau
pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis
asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan
kontrol lingkungan dalam penatalaksanaan.
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya dilakukan
dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk diagnosis atopi, tetapi
juga dapat menghasilkan positif maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap
pajanan alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan.
Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain
dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan lain-lain).
Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/ atopi.
4. Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan
gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga
intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka
kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
a. Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
b. Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin
bertambah.
c. Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru
d. Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
e. Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka
dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
5. Scanning paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama
serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
DIAGNOSIS BANDING
Kebanyakan anak yang mengalami episode batuk dan mengi berulang menderita asma.
Penyebab lain penyumbatan jalan nafas adalah malformasi kongenital, benda asing pada jalan
nafas atau esofagus. Bronkiolitis infeksius, kistik fibrosis, penyakit defisiensi imunologis,
Tatalaksana awal
nebulisasi -agonis 1-3x, selang 20 menit (2)
nebulisasi ketiga + antikolinergik
jika serangan berat, nebulisasi. 1x (+antikoinergik)
Serangan ringan
Serangan berat
(nebulisasi 1-3x,
respons
baik, gejala hilang)
Serangan
sedang
(nebulisasi 3x,
observasi 2 jam
(nebulisasi 1-3x,
respons buruk)
respons parsial)
jika efek bertahan, boleh pulang
sejak awal berikan O2 saat / di luar nebulisasi
berikan oksigen (3)
jika gejala timbul lagi, perlakukan sebagai serangan sedang
pasang jalur parenteral
nilai kembali derajat serangan, jika sesuai dgn serangan
sedang,
observasi
di Ruang
Rawat
Sehari/observasi
nilai ulang
klinisnya,
jika sesuai
dengan
serangan
berat, rawat di Rua
foto Rontgen toraks
pasang jalur parenteral
ngBoleh
Rawat
pulang
Sehari/observasi
gen
bekali
teruskan
obat -agonis (hirupan / oral)
Ruang Rawat Inap
kanjika
steroid
sudah
oral
ada obat pengendali, teruskan
oksigen
teruskan
ulisasi
jika tiap
infeksi
2 jam
virus sbg. pencetus, dapat
diberi
steroid oral
atasi
dehidrasi
asidosis
ada
dalam
dalam
1224-48
jam perbaikan
jam kon-trol
klinis
ke stabil,
Klinik R.
boleh
Jalan,
pulang,
untukdan
reevaluasi
tetapi
jika jika
klinis
tetap belum membaik atau meburuk, alih rawat ke Ruang R
steroid IV tiap 6-8 jam
nebulisasi tiap 1-2 jam
aminofilin IV awal, lanjutkan rumatan
jika membaik dalam 4-6x nebulisasi, interval jadi 4-6 jam
jika dalam 24 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulang
jika dengan steroid dan aminofilin parenteral tidak membaik, bahkan timbul Ancaman henti nap
an:
enurut penilaian serangannya berat, nebulisasi cukup 1x langsung dengan -agonis + antikolinergik
rdapat tanda ancaman henti napas segera ke Ruang Rawat Intensif
ak ada alatnya, nebulisasi dapat diganti dengan adrenalin subkutan 0,01ml/kgBB/kali maksimal 0,3ml/kali
serangan sedang
terutama
berat,
oksigen
2-4 L/menit
diberikan
sejak distress
awal, termasuk
saat nebulisasi
1.dan
Anak
dengan
episode
pertama
wheezing
tanpa
pernapasan,
bisa dirawat
di
3.
4.
5.
6.
7.
a. Jika distres pernapasan sudah membaik dan tidak ada napas cepat, nasihati ibu untuk
merawat di rumah dengan salbutamol hirup atau bila tidak tersedia, beri salbutamol
sirup per oral atau tablet (lihat di ).
b. Jika distres pernapasan menetap, pasien dirawat di rumah sakit dan beri terapi
oksigen, bronkodilator kerja-cepat dan obat lain seperti yang diterangkan di bawah.
Jika anak mengalami sianosis sentral atau tidak bisa minum, rawat dan beri terapi
oksigen, bronkodilator kerja-cepat dan obat lain yang diterangkan di bawah.
Jika anak dirawat di rumah sakit, beri oksigen, bronkodilator kerja-cepat dan dosis
pertama steroid dengan segera.
Respons positif (distres pernapasan berkurang, udara masuk terdengar lebih baik saat
auskultasi) harus terlihat dalam waktu 20 menit. Bila tidak terjadi, beri bronkodilator
kerja cepat dengan interval 20 menit.
Jika tidak ada respons setelah 3 dosis bronkodilator kerja-cepat, beri aminofilin IV.
Berikan oksigen pada semua anak dengan asma yang terlihat sianosis atau mengalami
kesulitan bernapas yang mengganggu berbicara, makan atau menyusu (serangan sedangberat).
Nebulisasi ultrasonik
10 ml
3-5 menit
Respule 2,5 mg
Solution 0,025%
Dosis nebulisasi
5-10 tetes
1 nebule
mg/kg)
1 repsule
(0,1-0,15
Respule
Nebule
Nama Dagang
Medrol, Medixon
Lameson, Urbason
Hostacortin, Pehacort,
Sediaan
Tablet
4 mg
Tablet
Dosis
1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam
1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam
Triamsinolon
Dellacorta
Kenacort
Steroid Injeksi :
Nama Generik
M. prednisolon
suksinat
Hidrokortison-Suksinat
Deksametason
Betametason
Nama Dagang
Solu-Medrol
Medixon
Solu-Cortef
Silacort
Oradexon
Kalmetason
Fortecortin
Corsona
Celestone
5 mg
Tablet
4 mg
Sediaan
Vial 125 mg
Vial 500 mg
Vial 100 mg
Vial 100 mg
Ampul 5 mg
Ampul 4 mg
Ampul 4 mg
Ampul 5 mg
Ampul 4 mg
Jalur
IV / IM
IV / IM
IV / IM
IV / IM
Dosis
1-2 mg/kg
tiap 6 jam
4 mg/kgBB/x
tiap 6 jam
0,5-1mg/kgBB bolus,
dilanjutkan
1
mg/kgBB/hari
diberikan tiap 6-8 jam
0,05-0,1
mg/kgBB
tiap 6 jam
dibuat menggunakan gelas plastik atau botol plastik 1 liter. Dengan alat ini diperlukan
3-4 puff salbutamol dan anak harus bernapas dari alat selama 30 detik.
Efek samping 2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi, palpitasi, dan
takikardi.
Epinefrin (adrenalin) subkutan
Jika kedua cara untuk pemberian salbutamol tidak tersedia, beri suntikan epinefrin (adrenalin)
subkutan dosis 0.01 ml/kg dalam larutan 1:1 000 (dosis maksimum: 0.3 ml), menggunakan
semprit 1 ml (untuk teknik injeksi lihat halaman 331). Jika tidak ada perbaikan setelah 20
menit, ulangi dosis dua kali lagi dengan interval dan dosis yang sama. Bila gagal, dirawat
sebagai serangan berat dan diberikan steroid dan aminofilin.
Antikolinergik
Ipratropium bromida adalah suatu antikolinergik yang merupakan antagonis kompetitif asetilkolin
yang bekerja dengan cara berikatan di reseptor kolinergik sehingga menghambat efek asetilkolin.
Reseptor kolinergik yang dihambat adalah reseptor di otot polos dan kelenjar submukosa sehingga
mencegah peningkatan konsentrasi cyclic guanosine monophosphate (cyclic GMP) intraselular yang
terjadi akibat interaksi asetilkolin dengan reseptor muskarinik pada otot polos bronkus. Dengan
demikian dapat menghambat kontraksi otot polos dan mengurangi sekresi kelenjar submukosa saluran
napas.
Ipratropium bromida merupakan derivat atropin yang dikenal sebagai kuartener amonium sintetik.
Secara makroskopik ipratropium bromida adalah zat Kristal putih, sangat larut dalam air dan sedikit
larut dalam alkohol, tapi tidak larut dalam pelarut lipofilik seperti eter, kloroform, dan flurokarbon.
Ipratropium bromid tidak menembus sawar otak dan mukosa gastrointestinal sehingga efek
sistemiknya minimal yaitu dibawah 1%. Meskipun ipratropium bromide memiliki efek bronkodilator
tetapi efek bronkodilatasinya lebih lemah dan awitan kerjanya lambat bila dibandingkan dengan
agonis beta 2.
Seperti umumnya obat bronkodilator, ipratropium bromida mempunyai efek samping mulut kering,
mual, tremor, dan iritasi mata. Keluhan palpitasi dijumpai pada sebagian kecil pengguna ipratropium
bromida. Meskipun ipratropium bromida termasuk derivat atropin tetapi tidak dijumpai efek samping
retensi urin, gangguan penglihatan dan agitasi seperti pada atropin.
Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan 2 agonist inhalasi, tapi karena efek
sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini diberikan pada serangan
asma berat dengan kombinasi 2 agonist dan anticholinergick. Methilxanthine cepat
diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral.
1. Teofilin
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor adenosine dan
inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Pemberian teofilin IM harus dihindarkan karena menimbulkan
nyeri setempat yang lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat
kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi.
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi yang lebih tinggi
dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia.
2. Aminofilin
Jika anak tidak membaik setelah 3 dosis bronkodilator kerja cepat, beri aminofilin IV dengan
dosis awal (bolus) 6-8 mg/kgBB dalam 20 menit. Bila 8 jam sebelumnya telah mendapatkan
aminofilin, beri dosis setengahnya. Diikuti dosis rumatan 0.5-1 mg/kgBB/jam. Pemberian
aminofilin harus hati-hati, sebab margin of safety aminofilin amat sempit. Hentikan
pemberian aminofilin IV segera bila anak mulai muntah, denyut nadi >180 x/menit, sakit
kepala, hipotensi, atau kejang. Jika aminofilin IV tidak tersedia, aminofilin supositoria bisa
menjadi alternatif.
Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :
a. 1 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
b. 6 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
c. 1 9 tahun : 1,2 1,5 mg/kgBB/Jam
d. > 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam
Steroid
Jika anak mengalami serangan wheezing akut berat berikan kortikosteroid sistemik
metilprednisolon 0.3 mg/kgBB/kali tiga kali sehari pemberian oral atau deksametason 0.3
mg/kgBB/kali IV/oral tiga kali sehari pemberian selama 3-5 hari.
Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat ini bekerja
sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat sintesis eikosainoid,
menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain di jaringan paru dan
menurunkan permeabilitas vascular.
Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi kejaringan paru
lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek mineralokortikoid minimal. Dosis
metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis
Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 6 jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 1 mg/kgBB
dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 8 jam.
Antibiotik
Antibiotik tidak diberikan secara rutin untuk asma atau anak asma yang bernapas cepat tanpa
disertai demam. Antibiotik diindikasikan bila terdapat tanda infeksi bakteri.
OBAT OBAT PENGONTROL
Obat obat asma pengontrol pada anak anak termasuk inhalasi dan sistemik
glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled 2-agonist, theofilin, cromones, dan
long acting oral 2-agonist.
1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif dan
direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan penggunaan
inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam pengontrolan asma dan
mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi pemeliharaan dengan inhalasi
glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-gejala asma, mengurangi frekuensi dari
eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi
paru dan hiperresponsif bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis, mencegah terjadinya
neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi terjadinya down regulation receptor 2
agonist. Dosis yang dapat digunakan sampai 400ug/hari (respire anak). Efek samping berupa
gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan
mulut.
2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)
Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan mungkin hasilnya lebih
baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang yang membandingkannya dengan
steroid hirupan + LABA. Keuntungan memakai LTRA adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil leukotriane
Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap bronkokonstriktor
Dapat diberikan per oral.
Montelukas hanya diberikan sekali per hari., penggunaannya aman, dan tidak
mengganggu fungsi hati. Sayangnya preparat Montelukast ini belum ada di Indonesia
e. Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan meningkatkan
kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan transforming growth factor (TGF)
sehingga dapat mengendalikan terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos,
serta diharapkan mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.
Ada 2 preparat LTRA :
1. Montelukast Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1
kali sehari.(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg qhs. (gina)
2. Zafirlukast Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7 tahun
dengan dosis 10 mg 2 kali sehari. Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada
berbagai tingkat keparahan asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek
Pencegahan meliputi pencegahan primer yaitu mencegah tersensitisasi dengan bahan yang
menyebabkan asma, pencegahan sekunder adalah mencegah yang sudah tersensitisasi untuk
tidak berkembang menjadi asma; dan pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak terjadi
serangan / bermanifestasi klinis asma pada penderita yang sudah menderita asma.
Pencegahan Primer
Perkembangan respons imun jelas menunjukkan bahwa periode prenatal dan perinatal
merupakan periode untuk diintervensi dalam melakukan pencegahan primer penyakit asma.
Banyak faktor terlibat dalam meningkatkan atau menurunkan sensitisasi alergen pada fetus,
tetapi pengaruh faktor-faktor tersebut sangat kompleks dan bervariasi dengan usia gestasi,
sehingga pencegahan primer waktu ini adalah belum mungkin. Walau penelitian ke arah itu
terus berlangsung dan menjanjikan.
Periode prenatal
Kehamilan trimester ke dua yang sudah terbentuk cukup sel penyaji antigen (antigen
presenting cells) dan sel T yang matang, merupakan saat fetus tersensisitasi alergen dengan
rute yang paling mungkin adalah melalui usus, walau konsentrasi alergen yang dapat
penetrasi ke amnion adalah penting. Konsentrasi alergen yang rendah lebih mungkin
menimbulkan sensitisasi daripada konsentrasi tinggi. Faktor konsentrasi alergen dan waktu
pajanan sangat mungkin berhubungan dengan terjadinya sensitisasi atau toleransi imunologis.
Penelitian menunjukkan menghindari makanan yang bersifat alergen pada ibu hamil dengan
risiko tinggi, tidak mengurangi risiko melahirkan bayi atopi, bahkan makanan tersebut
menimbulkan efek yang tidak diharapkan pada nutrisi ibu dan fetus. Saat ini, belum ada
pencegahan primer yang dapat direkomendasikan untuk dilakukan.
Periode postnatal
Menghindari aeroelergen pada bayi dianjurkan dalam upaya menghindari sensitisasi. Akan
tetapi beberapa studi terakhir menunjukkan bahwa menghindari pajanan dengan kucing sedini
mungkin, tidak mencegah alergi; dan sebaliknya kontak sedini mungkin dengan kucing dan
anjing kenyataannya mencegah alergi lebih baik daripada menghindari binatang tersebut.
Penjelasannya sama dengan hipotesis hygiene, yang menyatakan hubungan dengan mikrobial
sedini mungkin menurunkan penyakit alergik di kemudian hari. Kontroversi tersebut
mendatangkan pikiran bahwa strategi pencegahan primer sebaiknya didesain dapat menilai
keseimbangan sel Th1dan Th2, sitokin dan protein-protein yang berfusi dengan alergen.
Asap rokok lingkungan (Enviromental tobacco smoke/ ETS)
Berbagai studi dan data menunjukkan bahwa ibu perokok berdampak pada kesakitan saluran
napas bawah pada anaknya sampai dengan usia 3 tahun, walau sulit untuk membedakan
kontribusi tersebut pada periode prenatal atau postnatal. Merokok dalam kehamilan
berdampak pada perkembangan paru, meningkatkan frekuensi gangguan mengi nonalergi
pada bayi, tetapi mempunyai peran kecil pada terjadinya asma alergi di kemudian hari.
Sehingga jelas bahwa pajanan asap rokok lingkungan baik periode prenatal maupun postnatal
(perokok pasif) mempengaruhi timbulnya gangguan/ penyakit dengan mengi
Pencegahan sekunder
Sebagaimana di jelaskan di atas bahwa pencegahan sekunder mencegah yang sudah
tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma. Studi terbaru mengenai pemberian
antihitamin H-1 dalam menurunkan onset mengi pada penderita anak dermatitis atopik. Studi
lain yang sedang berlangsung, mengenai peran imunoterapi dengan alergen spesifik untuk
menurunkan onset asma.
Pengamatan pada asma kerja menunjukkan bahwa menghentikan pajanan alergen sedini
mungkin pada penderita yang sudah terlanjur tersensitisasi dan sudah dengan gejala asma,
adalah lebih menghasilkan pengurangan /resolusi total dari gejala daripada jika pajanan terus
berlangsung.
Pencegahan Tersier
Sudah asma tetapi mencegah terjadinya serangan yang dapat ditimbulkan oleh berbagai jenis
pencetus. Sehingga menghindari pajanan pencetus akan memperbaiki kondisi asma dan
menurunkan kebutuhan medikasi/ obat.
LO.1.10. Memahami dan Menjelaskan Prognosis Asma
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir menunjukkan kurang
dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang berjumlah kira-kira 10 juta.
Namun, angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan
terbatas.
Informasi mengenai perjalanan klinis asma mengatakan bahwa prognosis baik ditemukan
pada 50 sampai 80 persen pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan timbul pada
masa kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita asma 7 sampai 10 tahun setelah diagnosis
pertama bervariasi dari 26 sampai 78 persen, dengan nilai rata-rata 46 persen; akan
tetapipersentase anak yang menderita penyakit yang berat relative rendah (6 sampai 19
persen).
Tidak seperti penyakit saluran napas yang lain seperti bronchitis kronik, asma tidak progresif.
Walaupun ada laporan pasien asma yang mengalami perubahan fungsi paru yang irreversible,
pasien ini seringkali memiliki tangsangan komorbid seperti perokok sigaret yang tidak dapat
dimasukkan salam penemuan ini. Bahkan bila tidak diobati, pasien asma tidak terus menerus
berubah dari penyakit yang ringan menjadi penyakit yang berat seiring berjalannya waktu.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa remisi spontan terjadi pada kira-kira 20 persen pasien
yang menderita penyakit ini di usia dewasa dan 40 persen atau lebih diharapkan membaik
dengan jumlah dan beratnya serangan yang jauh berkurang sewaktu pasien menjadi tua.