Anda di halaman 1dari 6

ISLAND OF PALMAS CASE (Permanent Court of Arbitration, 1928)

Tugas Studi Kasus Hukum Internasional

KASUS UTAMA
A.

Fakta Hukum
1. Pulau Palmas atau disebut juga Pulau Miangas merupakan pulau dengan nilai
ekonomi yang kecil dengan lokasi yang tidak strategis. Pulau ini memiliki luas
sebesar 3,15

km 2

dengan populasi sebanyak 750 jiwa pada tahun 1932. Pulau

Palmas terletak di antara Mindanao, bagian paling selatan wilayah Filipina, dan
Pulau Nanusa, yang juga terletak bagian paling utara Indonesia.
2. Pada tahun 1898, Spanyol menyerahkan Filipina kepada Amerika Serikat dalam
Treaty of Paris (1898) dimana perjanjian tersebut memuat batas-batas demarkasi
Amerika Serikat setelah kemenangannya atas perang melawan Spanyol yang
menjajah Filipina.
3. Pada tahun 1906, Amerika Serikat menemukan bahwa Belanda juga mengklaim
kedaulatannya atas pulau tersebut. Amerika Serikat beranggapan bahwa pulau
tersebut merupakan bagian dari Filipina yang diserahkan oleh Spanyol kepadanya
berdasarkan Treaty of Paris tersebut. Sedangkan pihak Belanda mengklaim
kepimilikan atas pulau tersebut berdasarkan pendudukan dan pelaksanaan
pemerintahan secara kontinu yang berlangsung lama tanpa adanya klaim dari
pihak lain.
4. Demi menyelesaikan kasus ini, kedua pihak setuju untuk tunduk kepada keputusan
arbitrase yang mengikat pada 23 Januari 1928. Arbitrator dalam kasus ini adalah
Max Huber, seseorang yang berwarga Negara Swiss. Persoalan yang ingin
diselesaikan oleh arbitrator adalah untuk menyelesaikan apakah Pulau Miangas
secara keseluruhan merupakan bagian dari wilayah Amerika Serikat atau Belanda.
B.

Masalah Hukum
Apakah wilayah Pulau Palmas dimiliki oleh penemu pertama dari wilayah tersebut
walaupun tidak ada wewenang yang dijalankan atas wilayah tersebut atau dimiliki
oleh negara yang secara nyata menjalankan kedaulatan atas wilayah tersebut?

C.

Putusan

Max Huber selaku arbitrator atas kasus ini mendukung posisi Belanda dan
menyatakan Belanda sebagai pemilik Pulau Palmas.
D.

Dasar Pertimbangan Putusan


1. Amerika Serikat menyatakan bahwa Spanyol berwenang atas Pulau Palmas karena
pihak Spanyol-lah yang menemukan wilayah tersebut dalam keadaan tidak
dikuasai oleh pihak manapun (terra nullius). Kewenangan Spanyol atas Pulau
Palmas dikarenakan pulau tersebut merupakan bagian dari Filipina dan telah
diserahkan kepada Amerika Serikat melalui Treaty of Paris (1898). Kendatipun
demikian, Spanyol sebagai penemu tidak pernah melaksanakan kewenangannya.
Sehingga arbitrator beranggapan bahwa Spanyol tidak dapat memberikan secara
sah apa yang tidak dikuasainya, dan Treaty of Paris tidak dapat memberikan Pulau
Palmas ke Amerika Serikat karena tidak adanya pemerintahan Spanyol yang
berdaulat di pulau tersebut.
2. Argumentasi Amerika Serikat bahwa Pulau Palmas merupakan wilayah teritorial
Amerika karena pulau tersebut lebih dekat dari Filipina dari Indonesia (dahulu
Hindia Belanda) ditanggapi oleh arbitrator yang berpendapat bahwa tidak ada
hukum internasional positif yang mendukung pendekatan terra firma dimana
status kepemilikan suatu pulau atau wilayah diberikan kepada daerah yang
terdekat dengan pulau atau wilayah tersebut.
3. Dalam putusan kasus ini, terdapat tiga peraturan penting dalam menyelesaikan
sengketa teritorial kepulauan:
a. Pertama, kepemilikan berdasarkan kedekatan wilayah tidak memiliki dasar
dalam hukum internasional
b. Kedua, kepemilikan dari penemuan merupakan kepemilikan yang belum
lengkap
c. Terakhir, apabila suatu pihak menjalankan kedaulatannya dan pihak penemu
tidak memperebutkan klaim ini, maka klaim dari pihak yang melaksanakan
kewenangan atas kedaulatannya memiliki kepemilikan yang lebih besar dari
sekadar kepemilikan berdasarkan penemuan.

KASUS PEMBANDING I: SOVEREIGNTY OVER PEDRA BRANCA/PULAU BATU


PUTEH, MIDDLE ROCKS AND SOUTH LEDGE (MALAYSIA V. SINGAPORE) ICJ,
2008
A.

Fakta Hukum

1. Pedra Branca merupakan pulau granit yang terletak 46 km dari wilayah timur
Singapura dan 14.3 km dari selatan Johor, Malaysia, dimana Selat Singapura
bertemu dengan Laut Cina Selatan.
2. Singapura mengelola Pedra Branca sejak Mercusuar Horsburgh dibangun di pulau
tersebut oleh Inggris antara 1850 dan 1851. Singapura diserahkan kepada Sultan
Hussein Shah dan Temenggung Abdul Rahman Sri Maharajah dari Johor kepada
British East India Company di bawah Treaty of Friendship and Alliance pada
tanggal 2 Agustus 1824 dan menjadi bagian dari Straits Settlements pada tahun
1826. Pada waktu mercusuar pada Pulau Pedra Branca dibangun, Straits
Settlements berada di bawah kekuasaan Inggris melalui Pemerintah India.
3. Pada 21 Desember 1929, Direktur Pemetaan Nasional Malaysia menerbitkan peta
berjudul Territorial Waters and Continental Shelf Boundaries of Malaysia yang
menunjukkan Pedra Branca yang terletak di dalam perairan teritorialnya.
4. Singapura menolak klaim ini dalam catatan diplomatik pada tanggal 14 Februari
1980 dan meminta perbaikan terhadap peta tersebut. Di akhir 1980an, Jaksa
Agung Singapura Tan Boon Teik diutus oleh Perdana Menteri Singapura Lee
Kuan Yew untuk mengungkapkan bukti-bukti surat yang dimiliki Singapura
kepada Jaksa Agung Malaysia.
5. Upaya korespondensi dan dan diskusi antar pemerintah pada tahun 1993 dan 1994
yang juga mengangkat isu terkait kedaulatan Middle Rocks dan South Ledge tidak
menyelesaikan permasalahan yang ada sehingga baik Malaysia maupun Singapura
sepakat untuk mengajukan permasalahan ini ke Mahkamah Internasional.
B.

Masalah Hukum
Pihak manakah yang berhak berdaulat atas Pedra Branca, Middle Rocks dan South
Ledge?

C.

Putusan
1. Dengan suara 12:4, diputuskan bahwa kedaulatan Pedra Branca merupakan milik
Singapura.
2. Dengan suara 15:1, diputuskan bahwa kedaulatan Middle Rocks merupakan milik
Malaysia.
3. Dengan suara 15:1, diputuskan bahwa kedaulatan South Ledge merupakan milik
negara yang memiliki perairan teritorial dimana South Ledge terletak.

D.

Dasar Pertimbangan Putusan


1. Singapura berargumentasi bahwa Pedra Branca berstatus terra nullius, namun
pendapat ini ditolak oleh mahkamah dengan menyetujui pendapat Malaysia yang
mengklaim bahwa Kesultanan Johor memiliki kepemilikan terhadap Pedra

Branca. Namun, dibangunnya mercusuar oleh Singapura tanpa adanya protes dari
pihak Johor menjadi bentuk kedaulatan Singapura terhadap wilayah tersebut.
2. Middle Rocks tetap di dalam kedaulatan Malaysia karena tidak adanya
pelaksanaan kewenangan oleh Inggris ataupun Singapura. Karena Kesultanan
Johor merupakan pemilik asli dari Middle Rocks, maka kepemilikan tersebut tetap
berada pada Malaysia sebagai penerus Kesulatanan Johor.
3. Mahkamah tidak dapat menentukan kedaulatan terhadap South Ledge karena
keberadaannya yang tumpang tindih dengan Malaysia, Pedra Branca dan Middle
Rocks. Meskipun dalam pengajuan kasus Malaysia dan Singapura meminta
mahkamah untuk menentukan negara mana yang memiliki kedaulatan South
Ledge, mahkamah tidak diminta untuk membatasi sejauh mana wilayah perairan
kedua negara pada daerah bersangkutan. Karenanya, mahkamah hanya
menyatakan bahwa South Ledge sebagai low-tide elevation dan belum dapat
menentukan negara manakah yang berhak berdaulat atas South Ledge.

KASUS PEMBANDING II: SOVEREIGNTY OVER PULAU SIPADAN AND PULAU


LIGITAN (INDONESIA V. MALAYSIA) ICJ, 2002
A.

Fakta Hukum
1. Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan pulau kecil yang terletak di Laut
Sulawesi di lepas pantai tenggara Sabah, Malaysia.
2. Kedaulatan terhadap pulau-pulau ini telah dipersengketakan oleh Indonesia dan
Malaysia sejak 1969 dan memanas pada tahun 1991 ketika Indonesia menemukan
bahwa Malaysia telah membangun area wisata pada Pulau Sipadan.
3. Indonesia mengklaim bahwa pihaknya telah membuat perjanjian secara verbal
pada tahun 1969 untuk mendiskusikan kedaulatan terhadap pulau-pulau tersebut.
Akan tetapi Malaysia tidak mengakui adanya perjanjian yang dibuat di antara
kedua belah pihak, beranggapan bahwa pulau-pulau tersebut merupakan bagian
dari Sabah.
4. Kedua negara belum menentukan batas zona-zona maritim pada area tersebut dan
pada 2 November 1998, baik Indonesia maupun Malaysia sepakat untuk
membawa masalah ini ke Mahkamah Internasional.

B.

Masalah Hukum
Pihak manakah yang berdaulat atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan?

C.

Putusan

Dengan suara 16:1, mahkamah menetapkan bahwa kedaulatan Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan merupakan milik Malaysia.
D.

Dasar Pertimbangan Putusan


Kedua pulau tersebut pada awalnya dianggap sebagai terra nullius, namun Inggris
sebagai pendahulu Malaysia telah mengembangkan kedua pulau tersebut secara
signifikan dibandingkan dengan Belanda sebagai pendahulu Indonesia. Kendali secara
efektif oleh Malaysia menjadi pertimbangan utama mahkamah untuk menyerahkan
kedaulatan terhadap kedua pulau tersebut kepada Malaysia. Kemudian, terdapat
dokumentasi dari Malaysia di dalam Perjanjian Inggris dengan Kesulatanan Sulu di
saat Inggris memperoleh daerah Kesultanan Sulu sebagai bagian dari British Borneo
pada tahun 1878, sementara sebagian besar klaim Indonesia hanya didasarkan pada
Perjanjian Batas antara Inggris dan Belanda pada tahun 1891.

ANALISIS
Pada kasus Island of Palmas, Amerika Serikat mengklaim kepemilikannya atas Pulau
Palmas. Dalam klaimnya, Amerika Serikat berpendapat bahwa Spanyol yang menjajah
Filipina telah menyerahkan Filipina kepada pihaknya, termasuk di dalamnya wilayah Pulau
Palmas yang ditemukan oleh pihak Spanyol. Akan tetapi, Spanyol tidak pernah melaksanakan
kewenangannya terhadap pulau ini, sementara Belanda telah menjalankan kedaulatannya di
pulau tersebut sejak tahun 1677. Arbitrator juga menegaskan bahwa Amerika Serikat tidak
dapat memberikan dokumentasi yang membuktikan bahwa pemerintahan Spanyol berjalan di
pulau tersebut selain dokumen yang menyebutkan secara spesifik penemuan pulau tersebut.
Hal yang sama terjadi pada kedua kasus pembandingnya. Pada kasus Pedra Branca,
disebutkan bahwa Pulau Pedra Branca pada awalnya dimiliki oleh Kesultanan Johor sebagai
pendahulu Malaysia. Namun, ketika Mercusuar Horsburgh dibangun dan dirawat oleh Inggris
selaku pendahulu Singapura dibangun di pulau tersebut, tidak ada protes dari pihak
Kesultanan, menjadikan kedaulatan Singapura berlaku di pulau tersebut.
Demikian halnya pada kasus Sipadan-Ligitan, karena administrasi secara kontinu
terhadap kedua pulau tersebut oleh Malaysia, maka Malaysia-lah yang berhak berdaulat atas
kedua pulau tersebut. Putusan Mahkamah Internasional terhadap kasus ini didasarkan pada
manifestasi otoritas Malaysia terhadap Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, terutama pada tahun

1930an ketika Malaysia berada di bawah kekuasaan Inggris tanpa adanya protes Indonesia
terhadap tindakan Malaysia tersebut hingga tahun 1969.
Dari ketiga kasus di atas, terhadap satu kesamaan, yaitu sengketa antar negara
terhadap suatu pulau pada umumnya dimenangkan oleh pihak yang melaksanakan kedaulatan
negaranya di pulau tersebut. Hal ini terjadi karena pelaksanaan kedaulatan oleh pihak A
tersebut tidak mengundang adanya protes dari pihak B dalam kurun waktu yang cukup lama,
menjadikan dasar pertimbangan bahwa pihak B secara tidak langsung mengakui kedaulatan
pihak lainnya atas wilayah yang dipersengketakan tersebut, dan wilayah yang
dipersengketakan tersebut jatuh pada pihak A. Sebagaimana telah diuraikan dalam dasar
pertimbangan Kasus Island of Palmas, apabila suatu pihak menjalankan kedaulatannya dan
pihak penemu tidak memprotes hal tersebut, maka klaim dari pihak yang melaksanakan
kewenangan atas kedaulatannya memiliki kepemilikan yang lebih besar dari sekadar
kepemilikan berdasarkan penemuan.

Anda mungkin juga menyukai