KAJIAN PUSTAKA
2.1
Selulosa
Selulosa adalah polimer glukosa yang berbentuk rantai linier dan
hidroksil yang terdapat dalam daerah-daerah kristalin dengan berkas yang rapat
dan ikatan antar rantai yang kuat mungkin tidak dapat dicapai sama sekali.
Pembengkakan awal selulosa diperlukan baik dalam eterifikasi (alkali) maupun
dalam esterfikasi (asam) (Sjstrm 1995).
Selulosa
memiliki
struktur
yang unik
karena
kecenderungannya
10
11
2.2
Enzim Selulase
Enzim adalah katalis biologis/ senyawa yang mempercepat proses reaksi
tanpa ikut bereaksi dalam suatu reaksi kimia organik. Seluruh enzim adalah
protein. Molekul awal yang disebut substrat akan dipercepat perubahannya
menjadi molekul lain yang disebut produk. Jenis produk yang akan dihasilkan
bergantung pada suatu kondisi/ zat yang disebut promoter. Enzim bekerja dengan
cara bereaksi dengan molekul substrat untuk menghasilkan senyawa intermediat
melalui suatu reaksi kimia organik yang membutuhkan energi aktivasi lebih
rendah, sehingga percepatan reaksi kimia terjadi karena reaksi kimia dengan
energi aktivasi lebih tinggi, membutuhkan waktu lebih lama (Palmer 1995).
Salah satu jenis enzim yang dapat menghidrolisis ikatan (1-4) pada
selulosa adalah enzim selulase. Enzim selulase merupakan enzim yang memegang
peranan penting dalam proses biokonversi limbah-limbah organik berselulosa
menjadi glukosa, protein sel tunggal, makanan ternak, etanol dan lain-lain (Chalal
1983).
Selulase merupakan enzim ekstraseluler yang terdiri atas kompleks endo-1,4-glukonase (CMCase, Cx selulase endoselulase, atau carboxymethyl
12
13
pertama, enzim endoglukonase menyerang daerah amorf dari selulosa secara acak
dan membentuk makin banyak ujung-ujung nonpereduksi yang memudahkan
kerja eksoglukonase. Enzim eksoglukonase selanjutnya menghidrolisis daerah
kristal dari selulosa dengan membebaskan dua unit glukosa. Kerja sama kedua
enzim ini menghasilkan unit-unit sakarida yang lebih kecil yang selanjutnya
dihidrolisis oleh -glukosidae menghasilkan glukosa (Nugraha 2006).
Menurut Enari (1983) (Tabel 1) serta Prescott and Dunns (1981) (Gambar
7) mengelompokkan enzim utama selulase berdasarkan spesifikasi substrat
masing-masing enzim yaitu :
1.
Endo--1,4-glukanase
(-1,4-D-glukan-4-glukanohidrolase,
EC
3.2.1.4)
menghidrolisis ikatan glikosidik -1,4 secara acak. Enzim ini dapat bereaksi
dengan selulosa kristal tetapi kurang aktif. Enzim ini secara umum dikenal
sebagai CMC-ase atau selulase Cx.
2. -1,4-D-glukan selobiohidrolase (EC.3.2.1.91) atau secara umum dikenal
dengan selulase C1, memutus ujung rantai selulosa non pereduksi dan
membebaskan selobiosa.
3. -1,4-D-glukan glukohidrolase (EC.3.2.1.74) memutus ujung rantai selulosa
non pereduksi dan membebaskan glukosa. Enzim ini menghidrolisis selulosa yang
telah dilunakkan dengan asam fosfat, selo-oligosakarida dan CMC.
4.
-1,4-glikosidase
(-1,4-D-glukosida
glukohidrolase,
EC
3.2.1.21)
14
Substrat
Selotetraosa
Selobiosa
Selulosa
amorf
+
Selobiohidrolase +
- Glukosidase
Endoglukonase
Selulosa
kristalin
-
CMC
15
16
seringkali diuji dengan substrat avisel sehingga enzim eksoglukanase disebut dengan
aviselase (Zhang et al., 2006).
enzim
selobiohidrolase
dan
glukosa
menghambat
enzim
Bakteri Laut
Sekitar 80 persen dari spesies bakteri laut telah teridentifikasi dan
diketahui sebagai bakteri kelompok basil gram negatif. Dari pengamatan terhadap
koloni yang ditumbuhkan pada cawan petri maupun pemeriksaan mikroskopis
17
secara langsung dari bahan laut yang diwarnai dengan metode Gram, diperkirakan
sekitar 95 persen dari bakteri laut adalah gram negatif. Hal ini menunjukkan
perbedaan yang cukup besar dibandingkan dengan persentasi bakteri gram negatif
yang ditemukan di perairan tawar dan dua kali jumlah dari gram negatif yang
ditemukan di dalam tanah. Sebagian besar bakteri yang ditemukan di laut
termasuk motil aktif (Zobell 1990).
Bakteri pembentuk spora juga diketahui tidak banyak ditemukan di
lingkungan laut. Bakteri pembentuk spora yang ditemukan di lingkungan laut di
antaranya Bacillus abysseus, B.borborokoites, B.cirroflagellosus, B.filicolonicus,
B.imomarinus, B.submarinus, B.thalassokoites, dan B.epiphyticus. Secara ratarata, ukuran bakteri laut lebih kecil dibandingkan bakteri yang terdapat di dalam
susu, air limbah, air tawar, atau tanah .Rata-rata panjang ukuran sel adalah 2
sampai 3 m dan lebar ukuran sel rata-rata 0,4 - 0,6 m (Zobell 1990).
Secara umum, bakteri laut tumbuh lebih lambat dan koloninya lebih kecil
dibandingkan kebanyakan mikroorganisme dari tanah, limbah, dan susu. Pada
pengamatan pertumbuhan bakteri, nampak bahwa bakteri terestrial sudah
mencapai pertumbuhan optimum pada usia kultur tujuh hari, sedangkan pada
bakteri laut pada usia kultur 10 hari masih tampak kenaikan pertumbuhan (Zobell
1990).
Ciri-ciri bakteri yang tumbuh di lingkungan perairan, termasuk bakteri laut
adalah bersifat kromogenik, yaitu mampu menghasilkan beragam pigmen.
Distribusi warna adalah sebagai berikut: 31,3 persen kuning, 15,2 persen oranye,
9,9 persen kecoklatan, 7,4 persen neon, 5.4 persen merah atau pink, dan 0,2
persen hijau. Jenis paling umum yang berpendar berwarna kehijauan. Bakteri laut
yang mempunyai pigmen berwarna kuning diantaranya
Flavohaclerium
Ps.oceanica,
Ps.vadosa,
Ps.xanthochrus,
Vibrio
adaptatus,
18
laut memiliki aktifitas yang cukup tinggi sebagai agen proteolitik, namun sedikit
yang merupakan agen sakarolitik. Semua bakteri heterotrofik laut mampu
menyerap glukosa, hanya 46 dari 60 kultur yang di fermentasi glukosa dengan
pembentukan asam, dan tidak satupun dari mereka menghasilkan "gas" dari
glukosa. Hal ini mungkin karena kurangnya kemampuan fermentasi, tetapi lebih
besar kemungkinan karena efisiensi dari organisme dalam asimilasi bahan
organik. Bila dikultivasi dalam media cair, bakteri laut mampu mengkonversi 30
sampai 35 persen glukosa pada protoplasma atau produk-produk metabolit,
sisanya yang teroksidasi menjadi karbon dioksida dan air sebagai sumber energi
(Zobell 1990).
Bakteri laut dapat dibedakan dari bakteri terestrial berdasarkan
toleransinya terhadap garam. Pada penelitian yang telah dilakukan diketahui
bahwa bakteri laut mampu mentolerir keberadaan garam hingga konsentrasi diatas
100% dalam medium. Kebutuhan salinitas dari bakteri laut terkait dengan adaptasi
fisiologis sel terhadap lingkungan berkadar garam tinggi. Bakteri genus Bacillus
dan Micrococcus yang diisolasi dari lingkungan laut diketahui memiliki tingkat
toleransi salinitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan genus Pseudomonas
atau Vibrio (Zobell 1990).
2.4
Bakteri Selulolitik
Mikroorganisme
yang
mampu
mendegradasi
selulosa
dinamakan
19
20
2.5
Buffer
yang biasanya
terdiri
atas
bahan-bahan
kimia
untuk
21
proses yang ketiga adalah terjadinya pemanjangan dari primer yang telah
menempel (polimerasi) pada suhu 72o - 75oC (Setiawan 2003).
Menurut Nurutami (2011) tiga tahap utama kerja PCR dalam satu siklus
yaitu :
a. Denaturation (Pemecahan)
Tahap pemecahan berlangsung pada suhu tinggi, 94o - 96oC ikatan
hidrogen DNA terputus dari DNA utas ganda menjadi utas tunggal. Biasanya
pada siklus awal PCR, tahap ini dilakukan lebih lama (5 menit) untuk
memastikan semua berkas DNA terpisah. Denaturation menyebabkan DNA tidak
stabil dan siap menjadi template (patokan) bagi primer. Umumnya waktu durasi
yang dibutuhkan yaitu selama 1 sampai 2 menit.
b. Annealing (penempelan)
Primer menempel pada bagian template DNA yang berkomplementer
urutan basanya. Tahap ini dilakukan pada suhu antara 46 o - 60 oC. Penempelan ini
bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat menyebabkan tidak terjadinya
penempelan atau primer menempel di sembarang tempat. Umumnya waktu/durasi
yang dibutuhkan untuk tahap ini yaitu selama 1 sampai 2 menit.
c. Extension (pemanjangan)
Suhu untuk proses ini tergantung dari jenis enzim DNA polimerase yang
dipakai. Karena suhu dinaikkan ke dalam kisaran suhu optimum kerja enzim
DNA polimerase. Dengan Taq polimerase, proses ini biasanya dilakukan pada
suhu 70o - 76 oC. Pada tahap ini DNA polimerase akan memasangkan dNTP yang
sesuai pada pasangannya (pasangan A adalah T, dan C dengan G, begitu pula
sebaliknya). Enzim akan memperpanjang rantai baru ini hingga ke ujung
(Gambar 8a). Lamanya waktu ekstensi bergantung pada panjang daerah yang
akan diamplifikasi, misalnya adalah 1 menit untuk setiap 1000 basepair (bp).
Selain ketiga proses tersebut umumnya tahap kerja PCR didahului dan
diakhiri oleh tahapan berikut :
a. Pra-denaturasi
22
b. Final Elongasi
memastikan bahwa setiap utas tunggal yang tersisa sudah diperpanjang secara
sempurna. Proses final elongasi dilakukan setelah PCR terakhir.
Karena hasil sintesa DNA dalam satu siklus dapat berperan sebagai
cetakan (template) pada siklus berikutnya, maka jumlah DNA target menjadi
berlipat dua pada setiap akhir siklus (Gambar 8b), dengan kata lain DNA target
meningkat secara eksponensial, sehingga setelah 30 siklus akan dihasilkan
milyaran (230) amplifikasi DNA target. DNA target yang telah berlipat ganda
jumlahnya dapat dideteksi dengan elektroforesis gel agarosa. Setelah diwarnai
dengan Ethidium Bromide (EtBr), hasil elektroforesis yang berupa pita DNA
dapat dilihat dengan alat UV trans-iluminator (Contoh Gambar 9) dan foto
dengan kamera Polaroid atau sistem dokumentasi gel yang lain (Sunarto 2006).
a
b
Gambar 8. Prinsip dan Cara Kerja PCR
(Sumber : Sunarto 2006)
Tahapan kerja PCR konvensional terdiri dari isolasi DNA/RNA
(ekstraksi), amplifikasi menggunakan mesin thermal cycler, visualisasi DNA
(elektroforesis) menggunakan tangki elektroforesis dan dokumentasi (Astuti
2011).
23
2.6
Primer
Primer adalah untai DNA pendek yang terdiri atas beberapa nukleotida,
24
25
seperti konsentrasi DNA contoh, ukuran panjang primer, komposisi basa primer,
konsentrasi ion Mg, dan suhu hibridisasi primer harus dikontrol dengan hati-hati
agar dapat diperoleh pita-pita DNA yang utuh dan baik. Keberhasilan teknik ini
lebih didasarkan kepada kesesuaian primer dan efisiensi dan optimasi proses PCR.
Primer yang tidak spesifik dapat menyebabkan teramplifikasinya daerah lain
dalam genom yang tidak dijadikan sasaran atau sebaliknya tidak ada daerah
genom yang teramplifikasi (Rybicki 1996).
Optimasi PCR juga diperlukan untuk menghasilkan karakter yang
diinginkan. Optimasi ini menyangkut suhu denaturasi dan annealing DNA dalam
mesin PCR. Suhu denaturasi yang rendah dapat menyebabkan belum terbukanya
DNA utas ganda sehingga tidak dimungkinkan terjadinya polimerisasi DNA baru.
Proses penempelan primer pada utas DNA yang sudah terbuka memerlukan suhu
optimum, sebab suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan amplifikasi tidak
terjadi atau sebaliknya suhu yang terlalu rendah menyebabkan primer menempel
pada sisi lain genom yang bukan sisi homolognya; akibatnya dapat teramplifikasi
banyak daerah tidak spesifik dalam genom tersebut. Suhu penempelan (annealing)
ini ditentukan berdasarkan primer yang digunakan yang dipengaruhi oleh panjang
dan komposisi primer. Suhu penempelan ini sebaiknya sekitar 5 0C di bawah suhu
leleh. Tm merupakan temperatur yang diperlukan oleh separuh primer dupleks
mengalami disosiasi/lepas ikatan (President's DNA Initiative 2013). Secara umum
suhu leleh (Tm) dihitung dengan rumus Tm = 4(G+C) + 2(A+T) 0C (Rybicky
1996), sedangkan suhu annealing (Ta) dapat dihitung dengan rumus Ta = 0.3 x
Tm (primer) + 0.7 Tm (produk) 25 (President's DNA Initiative 2013)
Primer-primer
degenerate
adalah
campuran
oligonukleotida
yang
bervariasi dalam hal urutan basa nukleotidanya, tetapi mempunyai panjang atau
jumlah nukleotida yang sama. Campuran oligonukleotida tersebut dapat
digunakan sebagai primer dalam PCR untuk melakukan amplifikasi suatu gen atau
fragmen DNA tertentu. Primer-primer degenerate tersebut berguna dalam PCR
jika ingin mengamplifikasikan suatu fragmen DNA yang belum banyak diketahui
urutan nukleotidanya sehingga primer yang spesifik tidak dapat dibuat. Primerprimer semacam itu juga berguna jika ingin melakukan amplifikasi suatu gen
26
yang belum diketahui urutan nukleotidanya tetapi gen tersebut termasuk dalam
kelompok famili gen (gene family) tertentu. Dengan menggunakan informasi
mengenai urutan nukleotida gen lain yang termasuk dalam famili yang sama maka
dapat menyintesis primer-primer degenerate untuk mengamplifikasi gen yang
belum diketahui urutannya tersebut. Di samping itu, primer-primer degenerate
juga dapat digunakan untuk melakukan amplifikasi anggota-anggota suatu famili
gen untuk identifikasi atau analisis selanjutnya (Yuwono 2006).
2.7
Karakterisasi In Silico
Karakterisasi In Silico merupakan salah satu kegiatan penggunaan
27
untuk berevolusi melalui penambahan atau pengurangan suatu unit tertentu pada
modul domain tersebut. Identifikasi motif dan domain pada suatu protein
merupakan aspek penting pada proses klasifikasi sekuen protein dan annotasi
fungsional. Dikarenakan aspek divergensi pada evolusi, hubungan fungsional
diantara protein-protein seringkali tidak dapat dibedakan begitu saja melalui
BLAST atau pencarian database FASTA. Selain itu, protein atau enzim terkadang
memiliki fungsi ganda yang tidak dapat sepenuhnya dijelaskan menggunakan
annotasi tunggal melalui pencarian database sekuen sehingga diperlukan
identifikasi motif dan domain untuk mengatasi hal tersebut (Xiong 2006).