Anda di halaman 1dari 9

.

Anatomi Paru
Paru-paru adalah organ penting dari respirasi, jumlahnya ada dua, terletak di samping kanan dan
kiri mediastinum, dan terpisah satu sama lain oleh jantung dan organ lainnya dalam
mediastinum. Paru-paru memiliki area permukaan alveolar kurang lebih seluas 40 m2 untuk
pertukaran udara (Faiz & Moffat, 2003).
Karakteristik paru-paru yaitu berpori, tekstur kenyal ringan; mengapung di air, dan sangat elastis.
Permukaan paru-paru halus, bersinar, dan membentuk beberapa daerah polihedral, yang
menunjukkan lobulus organ: masing-masing daerah dibatasi oleh garis-garis yang lebih ringan
(fisura). Paru kanan dibagi oleh fisura transversa dan oblik menjadi tiga lobus: atas, tengah, dan
bawah. Paru kiri memiliki fisura oblik dan dua lobus (Gray, 2008).
Gambar 2.1. Anatomi paru
Sumber : Sobotta: Atlas Anatomi Manusia (2013)
Setiap paru memiliki bentuk kerucut yang terdiri dari bagian puncak (apeks), dasar (basis), tiga
perbatasan, dan dua permukaan. Puncak (apeks pulmonis) memiliki permukaan halus dan
tumpul. Puncak apeks menonjol ke atas dalam leher sekitar 2,5 cm di atas klavikula. Dasar (basis
pulmonis) memiliki permukaan luas, konkaf, dan terletak di atas diafragma, yang memisahkan
paru-paru kanan dari lobus kanan hati, dan paru-paru kiri dari lobus kiri hati, lambung, dan
limpa. Karena diafragma sebelah kanan lebih tinggi daripada di sisi kiri, kecekungan dasar paru
kanan lebih dalam dari yang di sebelah kiri. Basis pulmonalis paru turun selama inspirasi dan
naik selama ekspirasi (Snell, 2012).
Permukaan mediastinal adalah permukaan medial yang cekung. Pada permukaan mediastinal
terdapat dari hilus pulmonis, yaitu suatu cekungan dimana bronkus, pembuluh darah, dan saraf
yang membentuk radiks pulmonalis masuk dan keluar paru. Ligamentum pulmonal adalah
lipatan ganda yang menghubungkan kedua lapisan pleura pada hilus paru. Ruang diafragma
(base) tergantung dengan permukaan cembung diafragma dimana di sebelah kanan lebih cekung
karena adanya hati (Snell, 2012).
2.2. Fisiologi Paru
a. Mekanisme Bernapas.
Perubahan ritme kapasitas volume rongga dada dipengaruhi oleh kinerja oto-totot pernapasan.
Pada pernapasan normal, saat inprirasi, otot interkostal eksternal berkontraksi, tulang kosta dan
sternum akan tertarik ke atas, karena tulang kosta pertama tidak bergerak. Diameter anteriorposterior dari rongga dada bagian atas akan membesar dan memperbesar diameter transversal
rongga dada bagian bawah.
Pada saat inspirasi, diafragma berkontraksi sehingga turun, akibatnya kapasitas rongga dada
meningkat (Faiz & Moffat, 2003). Akibatnya, tekanan antar permukaan pleura (dalam keadaan
normal negatif) menjadi lebih negatif: -2.5 menjadi -6 mmHg, lalu jaringan elastis pada paru
akan meregang, dan paru akan mengembang memenuhi kapasitas rongga dada. Pada saat ini
tekanan udara di alveolus adalah -1,5 mmHg (lebih rendah dari tekanan atmosfir). Udara akan
masuk ke dalam alveolus akibat perbedaan tekanan tersebut.
Sebaliknya, pada saat ekspirasi dalam pernapasan normal, otot interkostal eksternal akan
relaksasi. Tulang kosta dan sternum akan turun. Lebar dan dalamnya dada akan berkurang.
Diafragma akan relaksasi, melengkung naik, panjang rongga dada akan berkurang. Kapasitas
rongga dada akan berkurang. Tekanan antar permukaan pleura menjadi kurang negatif: dari -6
menjadi -2 mmHg. Jaringan elastic paru akan kembali ke keadaan semula. Tekanan udara pada

alveolus saat ini adalah +1,5 mmHg (lebih tinggi dari tekanan udara). Udara akan terdorong
keluar alveolus.
Gambar 2.2. Aktifitas otot pernafasan saat inspirasi dan ekspirasi
Sumber : Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem (2011)
Pada keadaan pernafasan paksa, tepatnya saat inspirasi, otot cuping hidung dan otot glotis akan
berkontraksi untuk membantu masuknya udara ke dalam paru-paru. Otot pada leher akan
berkontraksi, tulang kosta pertama akan bergerak ke atas (dan sternum bergerak naik dan ke
depan). Pada saat ekspirasi pada pernapasan paksa, otot interkostal internal berkontraksi,
sehingga tulang kosta akan menurun lebih dari pernafasan normal. Otot abdominal juga
berkontraksi untuk membantu naiknya diafragma (Sherwood, 2011).
b. Volume dan Kapasitas Paru
Volume tidal: volume udara yang masuk dan keluar selama pernapasan normal. Volume tidal
pada manusia umumnya kurang lebih 500 ml. Volume cadangan inspirasi (Inspiratory Reserve
Volume ,IRV): volume udara tambahan yang dapat secara maksimal dihirup di atas volume alun
napas istirahat.
IRV dicapai oleh kontraksi maksimal diafragma, otot interkostal eksternal, dan otot inspirasi
tambahan. Nilai rerata = 3000 ml.
Kapasitas inspirasi (inspiratory capacity, IC): volume udara maksimal yang dapat dihirup pada
akhir ekspirasi tenang normal (IC = IRV + TV). Nilai rerata =3500 ml.
Volume cadangan ekspirasi (Expiratory Reserve Volume, ERV): volume udara tambahan yang
dapat secara aktif dikeluarkan dengan mengkontraksikan secara maksimal otot-otot ekspirasi
melebihi udara secara normal dihembuskan secara pasif pada akhir volume alun napas istirahat.
Nilai rerata = 1000 ml.
Volume residual (Residual Volume, RV): volume udara minimal yang tertinggal di paru bahkan
setelah ekspirasi maksimal. Nilai rerata = 1200 ml.
Kapasitas residual fungsional (Functional Residual Capacity, FRC): volume udara di paru pada
akhir ekspirasi pasif normal (FRC = ERV + RV). Nilai rerata = 2200 ml.
Kapasitas vital (Forced Vital Capacity, FVC) volume udara maksimal yang dapat dikeluarkan
dalam satu kali bernapas setelah inspirasi maksimal (VC = IRV + TV + ERV). Kapasitas ini
menggambarkan nilai kapasitas fungsional paru. Nilai rerata = 4500 ml.
Volume ekspirasi paksa dalam satu detik (forced expiratory volume in one second, FEV1):
volume udara yang dapat dihembuskan selama detik pertama ekspirasi dalam suatu penentuan
VC. Normalnya FEV1 adalah sekitar 80% dari VC. Rasio antara FVC dengan FEV1 sangat
berguna untuk menentukan tingkat penyakit jalan napas (Sherwood, 2011).
Gambar 2.3. Variasi volume paru pada laki-laki dewasa sehat
Sumber : Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem (2011)
2.3. Penyakit Paru Obstruktif Kronik
2.3.1. Pengertian
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang sering terjadi yang dapat
dicegah ataupun diterapi dengan karakteristik terbatasnya aliran udara persisten yang biasanya
progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi yang kronik di saluran nafas dan paru-paru
terhadap gas ataupun partikel berbahaya (GOLD, 2014).
2.3.2. Epidemiologi

Menurut hasil Riskesdas 2013, prevalensi tertinggi penderita PPOK dengan umur 30 tahun,
terdapat di Nusa Tenggara Timur (10,0%), diikuti Sulawesi Tengah (8,0%), Sulawesi Barat, dan
Sulawesi Selatan masing-masing 6,7 persen. Untuk Sumatera Utara, prevalensi penderita PPOK
adalah 3,6 persen. Menurut karakteristik, prevalensi PPOK meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Sekitar 1,6 persen penderita PPOK berusia 25-34 tahun. Sedangkan di
Amerika, pada tahun 2007 sampai 2009, sekitar 5,1% atau 11,8 juta orang berusia 18 tahun ke
atas menderita PPOK. Angka tersebut berjalan stabil sejak 1998 sampai 2009 (Akinbami & Liu,
2011).
Prevalensi PPOK lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan dan lebih tinggi terjadi di
perdesaan dibanding perkotaan. Prevalensi PPOK cenderung lebih tinggi pada masyarakat
dengan pendidikan rendah dan kuintil indeks kepemilikan terbawah (Riskesdas, 2013).
2.3.3. Faktor Risiko
1. Genetik
Genetik sebagai faktor risiko yang pernah di ditemukan adalah defisiensi berat antitripsin alfa-1,
yang merupakan inhibitor dari sirkulasi serin protease. Walaupun defisiensi antitripsin alfa-1
relevan hanya pada sedikit populasi di dunia, itu cukup menggambarkan interaksi antara genetik
dan paparan lingkungan dapat menyebabkan PPOK.
Risiko genetik terhadap keterbatasan bernafas telah di observasi pada saudara atau orang terdekat
penderita PPOK berat yang juga merokok, dengan sugesti dimana genetik dan faktor lingkungan
secara bersamaan dapat mempengaruhi terjadinya PPOK. Gen tunggal seperti gen yang memberi
kode matriks metalloproteinase 12 (MMP12) berhubungan dengan menurunnya fungsi paru
(GOLD, 2014).
2. Umur dan Jenis Kelamin
Umur sering dikaitkan sebagai faktor risiko PPOK. Masih belum jelas apakahvkeadaan fisik
yang menurun pada usia tua atau akibat pajanan lingkungan yang secara kumulatif didapat di
sepanjang hidup yang menjadi penyebab PPOK. Sebelumnya, kebanyakan penelitian
menunjukkan prevalensi dan angka mortalitas lebih tinggi pada pria dibanding wanita. Namun
pada data di negara berkembang menunjukkan bahwa prevalensi penyakit pada pria maupun
wanita hampir sama, mungkin akibat perubahan pola merokok tembakau di masyarakat.
Beberapa penelitian juga memperkirakan wanita lebih mudah terkena efek rokok tembakau
dibanding pria (GOLD, 2014).
3. Pertumbuhan dan Perkembangan Paru
Pertumbuhan paru berhubungan dengan proses masa kehamilan, kelahiran, dan pajanan pada
masa kecil dan remaja. Sebuah penelitian besar, secara meta analisis menemukan hubungan
positif antara berat lahir dan FEV1 pada masa dewasa dan beberapa menemukan infeksi paru
saat anak-anak (GOLD, 2014).
4. Merokok
Di seluruh dunia, merokok merupakan faktor risiko paling umum pada PPOK. Prevalensi
tertinggi gejala gangguan pernafasan dan penurunan fungsi paru terjadi pada perokok. Angka
penurunan FEV1, dan angka mortalitas lebih tinggi didapat pada perokok dibanding non
perokok. Paparan asap rokok pada perokok pasif juga merupakan faktor risiko terjadinya
gangguan pernafasan dan PPOK dengan peningkatan kerusakan paru akibat partikel dan gas
yang masuk. Pada penelitian yang telah dilakukan di negara-negara Eropa dan Asia,
menunjukkan bahwa adanya hubungan antara merokok dan terjadinya PPOK menggunakan
metode cross-sectional dan cohort (Eisner et al, 2010).
5. Paparan lingkungan kerja

Paparan lingkungan kerja seperti debu organik dan anorganik, bahan kimia, dan asap dari bahan
kimia, tidak begitu dipermasalahkan sebagai faktor risiko PPOK. Eisner dkk (2010) sudah
menemukan cukup bukti untuk menyimpulkan bahwa adanya hubungan antara paparan
lingkungan kerja dan peningkatan keparahan PPOK. Hubungan yang konsisten antara paparan
lingkungan kerja dan PPOK tersebut sudah diobservasi dengan penelitian epidemiologi multipel
berkualitas tinggi.
6. Polusi udara
Polusi udara di daerah kota dengan level tinggi sangat menyakitkan bagi pasien PPOK.
Penelitian cohort longitudinal menunjukkan bukti kuat tentang hubungan polusi udara dan
penurunan pertumbuhan fungsi paru di usia anak-anak dan remaja Hubungan tersebut
diobservasi dengan ditemukannya karbon hitam di makrofag pada saluran pernafasan dan
penurunan fungsi paru yang progresif. Hal ini menunjukkan hal yang masuk akal secara biologi
bagaimana peran polusi udara terhadap penurunan perkembangan fungsi paru (GOLD, 2014).
7. Asma
Asma tidak digolongkan sebagai PPOK karena bersifat reversibel (Ward, Ward, Leach & Wiener,
2007). Ada hubungan antara asma kronik dengan obstruksi jalan napas dan percepatan
penurunan fungsi paru. Karena obstruksi jalan napas dapat menyebabkan PPOK, dapat
disimpulkan bahwa asma, dengan atau tanpa faktor risiko tambahan, dapat menjadi predisposisi
terjadinya PPOK (GOLD, 2014).
2.3.4. Patofisiologi
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk
sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi
terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Bronkitis kronik dan emfisema
merupakan dua penyakit yang sering ditemukan bersama-sama pada PPOK. Temuan patologis
utama pada bronkitis kronik adalah hipertrofi kelenjar mukosa bronkus dan peningkatan jumlah
dan ukuran sel-sel goblet, dengan infiltrasi sel-sel radang dan edema mukosa bronkus.
Pembentukan mukus yang meningkat mengakibatkan gejala khas yaitu batuk produktif. Batuk
kronik yang disertai peningkatan sekresi mukus menyebabkan bronkiolus rusak dan dindingnya
melebar (Wilson, 2012). Pasien bronkitis kronik lanjut mengalami penurunan dorongan respirasi
dan retensi CO2, yang berhubungan dengan nadi kuat,vasodilatasi, konfusi, nyeri kepala,
flapping tremor, dan edema papil (Ward, Ward, Leach & Wiener, 2007). Rokok dan polusi udara
merupakan predisposisi infeksi rekuren karena memperlambat aktivitas silia dan fagositosis,
sehingga timbunan mukus meningkat sedangkan mekanisme pertahanannya melemah. Alfa1antiprotease penting sebagai perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami.
Kekurangan protease ini merupakan faktor penting terjadinya emfisema. Protease dihasilkan oleh
bakteri, PMN, monosit, dan makrofag sewaktu proses fagositosis berlangsung dan mampu
memecah elastin dan makromolekul lain pada jaringan paru. Normalnya, antiprotease mencegah
kerusakan jaringan paru. Selama inspirasi, lumen bronkiolus melebar sehingga udara dapat
melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa dan banyaknya mukus. Tetapi sewaktu
ekspirasi, lumen bronkiolus tersebut kembali menyempit, sehingga sumbatan dapat menghalangi
keluarnya udara. Hilangnya elastisitas dinding bronkiolus pada emfisema juga dapat
menyebabkan kolaps prematur. Dengan dengan demikian udara terperangkap pada segmen paru
yang terkena, akibatnya terjadi pengembangan (distensi) berlebihan serta penggabungan
beberapa segmen alveolus. Pada emfisema dapat timbul banyak bula (rongga parenkim yang
terisi udara dengan diameter lebih dari 1 cm) yang dapat ataupun tidak saling berhubungan. Bleb

(rongga subpleura yang terisi udara) yang terbentuk akibat ruptura alveoli dapat pecah ke dalam
rongga pleura sehingga menimbulkan pneumotoraks spontan (Wilson, 2012).
2.3.5. Diagnosis
Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, lalu pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Diagnosis klinis pada PPOK harus dipertimbangkan pada pasien yang mengalami sesak napas
(dyspnea), batuk kronis atau produksi sputum kronis, mengi dan riwayat terpapar faktor resiko
dari PPOK (Gleadle, 2006). Batuk kronis merupakan gejala awal pada umumnya, sering
diabaikan pasien sebagai gejala karena dianggap merupakan gejala konsekuensi dari merokok
ataupun paparan lingkungan.
Produksi sputum pada penderita PPOK umunya terjadi ketika pasien mengalami batuk yang kuat
(GOLD, 2014). Pada pasien bronchitis kronik, produksi sputum dialami hampir setiap hari
selama 3 bulan atau 2 tahun berturut-turut (Gleadle, 2006).
Dyspnea merupakan penyebab utama keterbatasan dan kekhawatiran pada pasien. Penilaian
kuantitas dyspnea dan hubungannya dengan kualitas kesehatan dan prediksi mortalitas penderita
PPOK dapat diukur menggunakan kuesioner Modified Medical Research Council scale (mMRC
scale) (GOLD, 2014).
Tabel 2.1. Skala sesak menurut Modified Medical Research Council (mMRC)
Skala Sesak
Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas
0 Hanya mengalami sesak saat melakukan aktivitas berat.
1 Sesak mulai timbul jika berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat.
2 Berjalan lebih lambat dibandingkan orang-orang seumur saya karena
merasa sesak dan akan berhenti berjalan untuk bernapas saat berjalan.
3 Sesak timbul jika berjalan 100 meter atau setelah beberapa menit.
4 Sesak bila berjalan keluar rumah atau sesak bila mandi atau berpakaian.
(GOLD, 2014)
Pertimbangkan kemungkinan pasien pernah terpapar zat iritan yang bermakna di tempat kerja.
Pasien dengan riwayat penyakit emfisema pada keluarga juga perlu kita pertimbangkan dalam
anamnesis pasien PPOK. Faktor predisposisi pada masa bayi/anak misalnya berat bayi lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas, infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok
dan polusi udara dapat membantu penegakkan diagnosa kita (PDPI, 2003).
2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Terlihat adanya tanda-tanda seperti pursed - lips breathing yaitu sikap seseorang yang bernapas
dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme
tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik. Hal lain yang dapat ditemukan
pada inspeksi penderita PPOK adalah barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal
sebanding), penggunaan otot bantu napas, hipertropi otot bantu napas, pelebaran sela iga, bila
telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai.
Selain itu tampak juga penampilan pink puffer yaitu gambaran yang khas pada emfisema,
penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed lips breathing atau blue bloater, yaitu
gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan
ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer (PDPI, 2003).

b. Palpasi
Pada emfisema didapati suara fremitus melemah dan sela iga melebar (PDPI,
2003).
c. Perkusi
Pada emfisema, terdengar suara perkusi hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
lebih rendah, dan hepar terdorong ke bawah (PDPI, 2003).
d. Auskultasi
Pada saat auskultasi terdengar suara napas vesikuler normal, atau melemah. Selain itu terdengar
suara ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa. Periode
ekspirasi pada pasien PPOK terdengar memanjang dan bunyi jantung terdengar jauh (PDPI,
2003).
3. Pemeriksaan penunjang
a. Faal paru
Pemeriksaan rutin faal paru menggunakan spirometri. Dalam hasil pemeriksaan spirometri akan
didapatkan hasil VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP. Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1
prediksi dalam persen (%) dan atau VEP1/KVP dalam persen (%). Dinyatakan obstruksi apabila
nilai persentase VEP1(VEP1/VEP1 pred) adalah < 80% dan nilai persentase VEP1 (VEP1/KVP)
<75 %. VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK
dan memantau perjalanan penyakit. Uji bronkodilator dilakukan dengan menggunakan
spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi
sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan
VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml. Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK
stabil (PDPI, 2003).
b. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
c. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain Pada emfisema
terlihat gambaran hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar,
jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance). Pada bronkitis
kronik gambaran paru cenderung normal, namun terdapat corakan bronkovaskuler bertambah
pada 21 % kasus (PDPI, 2003).
d. Pemeriksaan bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk
mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia (PDPI, 2003).
2.3.6. Klasifikasi
Tabel 2.3. Tabel klasifikasi PPOK berdasarkan spirometri
Berat Penyakit Fungsi Paru Hasil Spirometri
Derajat I (Ringan) VEP1/KVP < 70%, VEP1 80% prediksi
Derajat II (Sedang) VEP1/KVP < 70%
50% VEP1 < 80% prediksi
Derajat III (Berat) VEP1/KVP < 70%
30% VEP1 < 50% prediksi
Derajat IV (Sangat berat) VEP1/KVP < 70%, VEP1 < 30% prediksi
(GOLD, 2014)

2.3.7. Diagnosis banding


Lima penyakit yang menjadi diagnosis banding PPOK adalah asma, sindroma obstruksi
pascatuberkulosis, pneumotoraks, gagal jantung kronik, dan penyakit obstruksi saluran napas
lain misalnya bronkiektasis (PDPI, 2003).
Tabel 2.4. Tabel gejala klinis diagnosis banding PPOK
Diagnosis Gambaran Klinis
PPOK Onset pada usia tua.
Progresifitas simptom lambat.
Riwayat merokok atau terpapar rokok.
Asma Onset pada usia muda (biasanya pada anak-anak).
Gejala berbeda jauh dari hari ke hari.
Gejala memburuk pada pagi atau malam hari.
Alergi, rinitis, dan/atau eczema juga didapati.
Ada riwayat asma pada keluarga.
Penyakit Jantung
Kongestif
X-ray dada menunjukkan dilatasi jantung, edema paru.
Tes fungsi pulmonal menunjukkan restriksi volume,
bukan terbatasnya aliran udara.
Bronkiektasis Sputum purulen dalam volume besar.
Umumnya berhubungan dengan infeksi bakteri.
Gambaran X-ray/CT dada menunjukkan dilatasi bronkial,
penebalan dinding bronkial.
Tuberkulosis Onset terjadi pada semua umur.
Gambaran X-ray dada menunjukkan infiltrat paru.
Konfirmasi mikrobiologi.
Berada pada daerah prevalensi tinggi tuberculosis.
Bronkiolitis Obliteratif Onset pada usia muda, bukan perokok.
Memiliki riwayat arthritis reumatik atau paparan debu
akut.
Terjadi setelah transplantasi paru atau sumsum tulang.
Gambaran CT pada saat ekspirasi menunjukkan
gambaran hipodens.
Panbronkitis difus Terjadi pada laki-laki dan bukan perokok.
Kebanyakan pasien memiliki sinusitis kronis.
Gmabaran X-ray dada dan HRCT menunjukkan nodul
cenntrilobular difus kecil dan hiperinfalsi.
(GOLD, 2014)
2.3.8. Penatalaksanaan
1. Edukasi
Menurut skala prioritas, edukasi yang pertama adalah berhenti merokok. (PDPI, 2003). Dokter
juga harus berpartisipasi mengatasi kecanduan nikotin yang dialami perokok. Dalam
mempertahankan pasien tidak merokok dalam jangka panjang, dokter bisa menganjurkan
konsumsi nikotin dalam bentuk permen karet, inhaler, spray, dan tablet sublingual. Dokter harus
memberi edukasi tentang dosis konsumsi yang tepat agar hasilnya optimal. Kontraindikasi
pemberian nikotin tersebut adalah penyakit arteri koroner tidak stabil, ulkus peptikum, dan

stroke. Selain konsumsi nikotin pengganti rokok, dokter juga dapat meresepkan sediaan
varenicline dan bupropion dalam mengatasi kecanduan nikotin (GOLD, 2014).
2. Bronkodilator
Merupakan penatalaksanaan yang meningkatkan FEV1 dan variabel spirometri lainnya.
Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebulizer tidak dianjurkan pada penggunaan jangka
panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat
berefek panjang (long acting). Golongan antikolinergik digunakan pada derajat ringan sampai
berat. Golongan ini bekerja menginhibisi reseptor muskarinik (Chest, 2008). Pada short acting
antikolonergik seperti ipratotrium bromida dan oxitropium bromida, akan menginhibisi reseptor
M2 dan M3. Pada long acting seperti tiotropium, akan menginhibisi reseptor M3 dan M1
(GOLD, 2014). Disamping sebagai bronkodilator, antikolinergik juga mengurangi sekresi lendir
(PDPI, 2003).
Golongan agonis beta 2 bekerja mereleaksasi otot polos pernafasan dengan menstimulasi
reseptor beta-2 adrenergik yang akan menghasilkan antagonis fungsional bronkokonstriksi
(GOLD, 2014). Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak. Peningkatan jumlah
penggunaan dapat digunakan sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan
sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang (long acting) seperti tulobuterol.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, namun tidak dianjurkan
untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip dapat digunakan
untuk mengatasi eksaserbasi berat (PDPI, 2003).
Kombinasi antikolinergik dan agonis beta 2 akan memperkuat efek bronkodilatasi, yang lebih
baik karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita (PDPI, 2003).
Golongan xantin dalam bentuk lepas lambat (slow release) digunakan sebagai pengobatan
pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Sediaan teoflin biasanya
berguna bagi anak yang tidak dapat menggunakan inhalan dan orang orang dewasa yang gejala
nokturnalnya lebih dominan (Neal, 2006).
Bentuk tablet biasa atau puyer digunakan untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan
bolus atau drip digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang harus
monitor kadar aminofilin darah (PDPI, 2003).
3. Antiinflamasi
Antiinflamasi digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi. Golongan yang dipilih umumnya metilprednisolon
atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator yaitu meningkat > 20%
dan minimal 250 mg (PDPI, 2003).
4. Antibiotik
Antibiotik diberikan pada pasien yang memiliki riwayat infeksi saluran napas. Ditandai dengan
adanya demam, leukositosis, dan perubahan temuan radiografi (Chest, 2008). Antibiotik yang
digunakan sebagai lini pertama umumnya amoksisilin dan makrolid. Lini kedua antibiotik
diberikan sediaan amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, dan makrolid baru.
Jika pasien dalam perawatan di rumah sakit dapat dipilih sediaan amoksilin dan klavulanat atau
sefalosporin generasi II & III injeksi atau kuinolon per oral dan dikombinasikan dengan yang
anti pseudomonas seperti aminoglikose per injeksi, kuinolon per injeksi, sefalosporin
generasi IV per injeksi (PDPI, 2003).

5. Mukolitik
Mukolitik bekerja mengurangi viskositas sputum dan mengurangi adhesitivitas untuk membantu
ekspektorasi (Chest, 2008). Namun jika dievaluasi secara keseluruhan, manfaat mukolitik pada
PPOK hanya sedikit (GOLD, 2014).
Mukolitik hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena. Walaupun mukolitik dapat
mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian
rutin. (PDPI, 2003)
6. Antitusif
Batuk, walaupun sering dikeluhkan pasien, namun dapat menjadi factor protektif signifikan.
Oleh karena itu, antitusif harus diberikan dengan hati hati (GOLD, 2014).
7. Terapi oksigen
Terapi oksigen berkepanjangan (> 15 jam per hari) pada pasien PPOK telah terbukti
meningkatkan daya tahan pasien dengan hipoksemia berat. Indikasi pemberian terapi oksigen
berkepanjangan adalah PaO2 7.3 kPa (55 mmHg) atau SaO2 88%, dengan atau tanpa
hiperkapinia dikonfirmasi terjadi dua kali dalam periode tiga minggu. Indikasi lain terapi oksigen
berkepanjangan pada PPOK adalah PaO2 berada diantara 7.3 kPa (55 mmHg) dan 8.0 kPa (60
mmHg) atau SaO2 berada di 88% disertai hipertensi pulmonal, edema perifer akibat penyakit
gagal jantung kongestif, atau polisitemia (hematokrit >55%) (GOLD, 2014).
Terapi oksigen jangka panjang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama bila tidur atau
sedang aktivitas. Lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul 1 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi
bila penderita tidur. Terapi oksigen pada waktu aktivitas bertujuan menghilangkan sesak napas
dan meningkatkan kemampuan aktivitas. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di
atas 90% (PDPI, 2003).
8. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal napas
akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan napas kronik.
Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.Ventilasi mekanik
terdiri dari ventilasi intermiten non invasif (NIV), baik yang menggunakan tekanan negatif
ataupun positif (NIPPV), dan ventilasi mekanik invasif dengan oro-tracheal tube atau
trakeostomi. Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik
dengan intubasi (PDPI,2003).
2.3.9. Komplikasi
Komplikasi dari PPOK adalah adanya gagal napas. Gagal napas kronik dijumpai hasil analisis
gas darah PO2 < 60 mmHg dan PCO2 > 60 mmHg, dan pH normal. Gagal napas akut dan gagal
napas kronik ditandai dengan adanya sesak napas dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah
dan purulen, demam, dan kesadaran menurun. Selain gagal napas, infeksi berulang juga menjadi
komplikasi PPOK. Pada pasien PPOK, produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini sistem imun
menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah. Kor pulmonal juga
menjadi komplikasi PPOK yang ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat
disertai gagal jantung kanan. (PDPI, 2003).

Anda mungkin juga menyukai