Anda di halaman 1dari 5

Konektivitas Mobius Strip dan Teori Visual Perception Gibson pada Game (Screen

Based Design)
Esai ini bermula dari pertanyaan saya terkait konektivitas. Konektivitas adalah hal
yang sangat penting pada topologi. Salah satu turunannya adalah mobious strip. Mobious
strip mampu menggabungkan 2 surface yang berbeda sisi menjadi 1 segmen surface yang
kontinu. Terdapat art of connectivity yang menurut saya menjadi penting di sini, yang mana
akhirnya konektivitas itu sendiri menjadi tidak tersadari apabila observer berada di
dalamnya/melintasi permukaan tersebut. Pada kasus ini topologi dan konektivitasnya
merupakan suatu benda physical. Bagaimana jika konektivitas dikaitkan dengan visual
perception? Perubahan visual perception dapat terasa jika memang substansi/medium adalah
salah satu yang menyebabkan terjadinya perubahan meaning/persepsi dalam nesting
principles yang mana perubahan tersebut terasa seamless, tentu ada keterlibatan konektivitas
di dalamnya. Apakah ada hubungan/keterkaitan antara teori nesting principle oleh Gibson
dengan teori Topologi yaitu Mobious Strip?
the view, the ambient arrays of energy surrounding the observerlight, sound waves,
patterns of pressure on tactile receptors, and so onare structured by the objects and surfaces
in the environment in ways that specify those objects and surfaces; thus, information arrives
at sensory receptors already richly imbued with structure. This structure is not carried in a
static image; it is only apparent in relations that emerge over transformations in space and
time (movement of objects or the observer, edges, gradients, flow, etc.). Structured arrays of
energy contain the information through

which perception of the self and environment

occurs (E. J. Gibson, 1970)


Teori Nesting Principle oleh Gibson secara tidak langsung menunjukkan bahwa akan
terjadinya perubahan meaning/informasi yang didapat oleh manusia terhadap suatu
objek/benda tertentu secara bertahap sehingga semakin lama ia akan menemukan benda yang
ia lihat sebenarnya adalah berbeda dengan apa yang ia persepsikan sebelumnya. Hal yang
membuat benda ini diperspsikan menjadi berbeda adalah karena ada medium/substansi
diantara manusia (user) itu dengan objek yang ia persepsikan dan juga dipengaruhi oleh
posisi observer terhadap objek dan bagaimana objek diposisikan dalam surface. Pada contoh
gunung yang dari jauh terlihat hanya berbentuk segitiga dan berwarna biru, dan dari dekat
semakin terlihat bahwa ia terdiri dari pohon-pohon berwarna hijau, secara tidak langsung ada
pengaruh jarak/posisi pada kasus ini. Akan tetapi, kehadiraan jarak ini menentukan

sebeberapa banyak medium/substansi diantara manusia dengan objeknya sehingga apa yang
ia persepsikan dapat menjadi berbeda. Oleh karena itu, posisi antara observer dan objek
menjadi sangat penting karena akan dipengaruhi oleh perubahan density substansi
(environment). Belajar dari hal ini dapat kita temui bahwa yang terpenting dalam persepssi
visual manusia bukan lagi tentang apa yang ada pada benda itu, melainkan apa yang terjadi
pada manusia (user) dan benda itu. Salah satu yang terpenting adalah posisi. Itulah arsitektur.
Aristektur merupakan mediumnya, arsitektur tidak mendesain experience, arsitektur hanya
memberikan sebuah framework di mana experience itu terjadi.
Menurut saya, tentu terdapat konektivitas pada setiap perubahan informasi tersebut,
yang mana perubahan konektivitas ini terasa seamless tergantung pada seberapa cepatnya kita
bergerak terhadap objek. Akan tetapi, kita tidak dapat benar-benar mengetahui posisi pasti di
mana tepatnya informasi tersebut berubah, apabila kita ada di sana sebagai user/observernya.
Perubahan ini dapat terasa seamless karena seiring space dan time kita bergerak, akan terjadi
akumulasi maupun degradasi elemen-elemen yang mampu te-register oleh indera kita. Baik
itu tekstur, pola, warna, dsb.

perubahan
informasi
yang
seamless

Sementara pada Mobius strip, konektivitas menjadi seamless bukan mutlak karena
adanaya perubahan substansi yang teregister oleh indera, melainkan karena memang observer
hanya dan harus dapat mengalami satu surface dalam satu waktu meskipun sebenarnya
terdapat 2 surface yang dapat terjadi dalam satu waktu, sehingga titik pertemuan antara kedua
surface tersebut menjadi ambigu/seamless. Kemudian yang pertanyaan adalah,apakah bisa
kita sebagai user merancang arsitektur kita sendiri? Selama ini kita telah di biarkan berexperience dalam lingkungan arsitektur tertentu, mampukah kita menjadi arsitek atas
experience kita sendiri di kehidupan sehari-hari? Mampukah arsitektur merancang kita untuk
merancang medium/substansi kita sendiri? Kemudian mengalami medium itu dan meraih
persepsi visual tertentu yang dihasilkan karena itu? Dan bagaimana kita dapat memastikan di

titik mana sebenarnya perubahan atau konektivitas itu terjadi? Hal ini mungkin dapat
terjawab dengan participatory design dalam game/screen-based design.
participatory design thereby creating a new kind of proximity between people and
the built environment (Walz, Steffen P. 2010: 26)
never design the actual player experience, only the framework wherein the
experience take place (Walz, Steffen P 2010:27)
Participatory urban planning implies a partial loss of authorship for architects and
urban planners, but gives individual more freedom to choose and influences sites
(Christiansee and Lehnerer2007:373 dalam Walz, Steffen P 2010:27)

(Walz, Steffen P 2010:28)


Berdasarkan yang dipaparkan alam jurnal di atas, dikatakan bahwa virtual worlds
are places where imaginary meets the real (Bartle 2004:1 dalam Walz 2010:28) Tentu
terdapat suatu konektivitas di sini, konektivitas ini merupakan interface antara imaginary
world dan real world itu sendiri. Yang tidak lain adalah monitor/screen dan segala sesuatu
yang dapat memberikan perintah pada dunia imajinasi tersebut ketika secara nyata diberi
perlakuan seperti diklik/ditekan. Konektivitas ini yang menghubungkan 2 surface dalam satu
waktu. Dimana dalam atu waktu terjadi 2 peristiwa yang berbeda namun sejalan, dan
konektivitas yang terjadi yaitu ketika user emang mengharapkan terjadi koneksi pada dunia
lainnya yang ia hadapi dengan memberi perlakuan secara real pada interface di hadapannya
denan harapan bahwa apa yang ia perlakukan adalah benar yang akan terjadi di dunia
imajinasi tersebut.

user interface:
click command
in virtual game
playing

An object or an environment can become actionable in virtually every way the agent
wants it to and is capable of making it (Walz, Steffen P. 2010)
Oleh karena itu, dengan virtual game, user bisa memilih atau punya pilihan akan
jalan/ experience apa yang ia akan ambil, dan visual persepsi apa yang akan dia dapatkan dari
setiap experience tersebut. Meskipun satu peristiwa ini terjadi di dua nature dunia yang sanat
berbeda, terdapat aspek kinetis sebagai dimensi ke-empat yang menhubugkan semuanya,
seperti ritme, tempo, intensi, sehingga user dapat merasakan kapan ia harus melakukan
pemilihan (choice) akan experience yang akan dia ambil dan ketika ia memilih untuk
melakukan itu, satu-satunya akses yang menghubungkan mereka hanyalah interface yang
dilakukan oleh tangan/kaki secara kinetis dan memberikan command yang tercermin kembali
melalui screen dan sound yang diterima oleh mata dan telinga user sehingga mendapat
experience tersebut.

REFERENCE

Walz, Steffen P. 2010. Toward a Ludic Architecture: The space of Play and Games. Chicago:
ETC Press [online]
Adolph,Karen E. Kretch, Kari S. (2015). Gibsons Theory of Perceptual Learning. NYU
Psychology, [online]

Anda mungkin juga menyukai