Anda di halaman 1dari 30

Skenario 3 :

STOVE EXPLODES

A woman of 35 years, 8 months pregnant during the antenatal care (ANC) has done
regular to a gynecologist. During the ANC obtained blood pressure 180/100 mmHg, the
second leg swelling.
One day he was taken to the Emergency Unit with burns along his chest and abdomen
caused by the explosion of a stove when she was cooking. Patients are aware of pain in
the chest and abdomen which caught fire. Slightly hoarse voice, his eyebrows on fire.
The patient complained of breathlessness and coughing, black sputum. Blisters were
found in the chest and abdomen, but the patient still feels pain.
At the time of the patient's sudden seizure and tension obtained 200/110 mmHg and a
weak but rapid pulse. On examination DJJ 160 x per minute ..
Laboratory results obtained: proteinuri +3.

STEP 1
Proteinuri : terdapatnya protein dalam urin manusia yang melebihi nilai normal yaitu
lebih dari 150 mg/hari.

STEP 2
1.
2.
3.
4.
5.

Bagaimana tatalaksana hipertensi pada kehamilan?


Bagaimana pemeriksaan terhadap luka bakar?
Bagaimana tatalaksana luka bakar?
Bagaimana tatalaksana eklampsi?
Bagaiamana patofisiologi dari kasus di skenario?

STEP 3
1. Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5-15% penyulit kehamilan dan
merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbilitas ibu
bersalin. Hipertensi gestasional (disebut juga transient hypertension) adalah
hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi
menghilang setelah 3 bulan pascapersalinan atau kehamilan dengan tanda-tanda
preeklampsia tetapi tanpa proteinuria.
Penatalaksanaan
1) penderita preeklampsia berat harus segera masuk Rumah sakit untuk rawat
inap dan dianjurkan tirah baring k=miring ke satu sisi (kiri).
2) Perawatan yang penting pada preeklampsia dan eklampsia berat ialah
pengelolaan cairan karena penderita preeklampsia dan eklampsia mempunyai
resiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oliguria.
3) Oleh karenaitu, monitoring input cairan (melalui oral ataupun infus)
dan output cairan (melalui urin) menjadi sangat penting. Artinya harus
dilakukan pengukuran secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan
dan dikeluarkan melalui urin.
4) Cairan yang diberikan berupa
a.

5% Ringer-dekstrose atau cairan daram faali, jumlah tetesan: < 125 cc/jam

b. Infus dektrose 5% yng tiap 1 liternya diselingi dengna infus Ringer Laktat
(60-125cc/jam) 500cc
Dipasang foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria terjadi bila
produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam.
5) Diberikan antasida untuk menetralisir asalam lambung sehingga bila
mendadak kejang, dapat menghindari resiko aspirasi asam lambung yan
sangat asam.
6) Diet yang cuukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam.
7) Pemberian obat anti kejang
-

MgSO4

Diazepam

Fenitoin

2. Diagnosis luka bakar, sbb:


a. Evaluasi luas area luka bakar, dengan:
- Palmar surface method: palmar pasien (termasuk jari-jari) mencapai 1 %
Total Body Surface Area (TBSA).
- Wallaces rule of nines
- Lund and Browder charts: menghitung variasi bentuk tubuh pada berbagai
macam usia dan menghasilkan penilaian akurat pada luka bakar anak.
b. Usia: bayi, anak dan dewasa
c. Kedalaman luka.
d. Luka bakar derajat 2 dan 3 yang sirkumferensial dapat menyebabkan
restriksi aliran darah pada ekstremitas, dada yang dapat menghambat
respirasi, membutuhkan eskarotomi.
3. Tatalaksana luka bakar
Perawatan luka bakar dapat dibagi menjadi 3 tahapan utama, yaitu fase
emergency/resusitasi, fase akut dan fase rehabilitasi.

1. Fase akut/syok berupa menghindarkan pasien dari sumber penyebab luka


bakar, evaluasi ABC, periksa apakah terdapat trauma lain, resusitasi cairan,
pemasangan kateter urine, pemasangan nasogastric tube (NGT), tanda vital
dan laboratorium; manajemen nyeri, profilaksis tetanus, pemberian antibiotik
dan perawatan luka.
2. Fase sub-akut dimulai ketika pasien secara hemodinamik telah stabil.
Penanganan fase akut berupa mengatasi infeksi, perawatan luka, dan nutrisi.
3. Fase

lanjut

dilakukan

rehabilitasi

bertujuan

untuk

meningkatkan

kemandirian melalui pencapaian perbaikan fungsi yang maksimal.


4. Prinsip pengobatan eklampsia :
1. Menghentikan kejang-kejang yang terjadi dan mencegah kejang-kejang
ulangan
2. Mencegah dan mengatasi komplikasi
3. Memperbaiki keadaan umum ibu maupun anak seoptimal mungkin
4. Pengakhiran kehamilan / persalinan mempertimbangkan keadaan ibu

A. Obat obat untuk anti kejang MgS04 (Magnesium Sulfat)


1. Dosis awal: 4 gr 20% iv pelan-pelan selama 3 menit atau lebih, disusul 10 gr
50% i.m. terbagi pada bokong kanan dan kiri
2. Dosis ulangan: tiap 6 jam diberikan 5 gr 50% i.m diteruskan sampai 6 jam
pasca persalinan atau 6 jam bebas kejang
Syarat:
- reflek patela harus positip
- tidak ada tanda-tanda depresi pernapasan (respirasi > 16 kali/menit)
- produksi urine tidak kurang dari 25 cc/jam atau 600 cc/hari
3. Apabila ada kejang-kejang lagi, diberikan MgS04 20%, 2 gr i.v pelan-pelan.
Pemberian i.v ulangan ini hanya sekali saja, apabila masih timbul kejang lagi,
maka diberikan Pentotal 5 mg/kg BB /i.v pelan pelan
4. Bila ada tanda-tanda keracunan, MgS04 diberikan antidotum Glukonas
Kalsikus 10 g%.l0cc i.v pelan-pelan selama 3 menit atau lebih
5. Apabila sudah diberi pengobatan diazepam sebelumnya tetapi tidak adekuat,
maka dilanjutkan pengobatan dengan MgS04.
B. Mencegah komplikasi
1. Obat-obat anti hipertensi
Bila sistole > 180 mmHg atau diastole > 110 mmHg digunakan injeksi 1 ampul
Klonidin
2. Diuretika
Obat obat diuretika hanya diberikan atas indikasi:

- edema paru-pani
- kelainan fungsi ginjal (apabila faktor pre renal sudah diatasi) diberikan
furosemid inj. 40 mg/i.m
3. Kardiotonika
Diberikan atas indikasi :
- adanya tanda-tanda payah jantung
- edema paru
Diberikan digitalisasi cepat dengan Cedilanid
4. Antibiotik : Di berikan Ampisilin 3 x 1 gr/iv
5. Antipiretik : Xylomidon 2 ccc/im dan/atau kompres dingin
C. Memperbaiki keadaan umum ibu
1. Infus RD5% / Dextran
2. Pasang CVP untuk:
- pemantauan keseimbangan cairan (pertimbangan pemberian Low Mol Dextran)
- pemberian kalori (Dekstrosa 10%)
- koreksi keseimbangan asam-basa (pada keadaan asidosis maka diberikan
Na.bic/Meylon 50 mm eq/i.v)
D. Pengakhiran kehamilan/persalinan
Setelah penderita tenang lebih kurang 15 menit setelah pemberian obat anti
kejang dilakukan pemeriksaan sebagai berikut:

- monitoring kesadaran dan dalamnya koma memakai 'Glasgow - Pitts burg


Coma Scale'
- diukur suhu rectal dan kadar hemoglobin/hematokrit
- dipasang kateter tetap dan diukur jumlah urine dan dilakukan pemeriksaan
albumin
- palpasi dan auskultasi, serta pemeriksaan dalam (VT) untuk evaluasi
- pemberian obat-obatan lainnya yang diperlukan
5. LO

STEP 4
1. Hipertensi Pada kehamilan
Definisi
Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5-15% penyulit kehamilan dan
merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbilitas ibu
bersalin.
Klasifikasi
Klasifikasi hipertensi dalam kehamilan:
a. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20
minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosa setelah umur
kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu
pascapersalinan.
b. Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan
disertai dengan proteinuria.
c. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang-kejang dan atau
koma.
d. Hipertensi gestasional (disebut juga

transient hypertension) adalah

hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan


hipertensi menghilang setelah 3 bulan pascapersalinan atau kehamilan
dengan tanda-tanda preeklampsia tetapi tanpa proteinuria.

Etiologi dan faktor resiko


Terdapat banyak resiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan, yang dapat
dikelompokkan dalam faktor resiko sebagai berikut :
- Primigravida, primipaternitas
- Hiperplasentosis, misalanya molahidatidosa, kehamilan multipel, DM, hidrops
fetalis, bayi besar.
- Umur yang ekstrim
- Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia

- Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil


- Obesitas
Patofisiologi
Penyebab hipertensi kehamilan masih belum diketahui dengan jelas. Banyak
teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi tersebut. Teori yang
sekarang dianut, yaitu :
-

Teori kelainan vaskularisasi plasenta

Teori iskemik plasenta, radikal bebas, dan difungsi endotel

Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin

Teori adaptasi kardiovaskularori genetik

Teori defisiensi gizi

Teori inflamasi

Manifestasi klinis
Gambaran klinik preeklampsia bervariasi luas dan sangat bervariasi luas dan
sangat individual. Kadang-kadang sukar untuk menentukan gejala preeklampsia
mana yang timbul lebih dulu. Secara teoritik urutan gejala-gejala yang timbul
pada preeklampsia ialah edema, hipertensi, dan terakhir proteinuria; sehingga
bila gejala-gejala ini timbul tidak dalam urtan diatas dapat dianggap bukan
preeklampsia.
Dari semua gejala tersebut, timbulnya hipertensi dan proteimuria merupakan
gejala yang sangat penting. Namun, sanyangnya penserita sering kali tidak
merasakan perubahan ini. Bila penderita sudah mengeluh adanya gangguan nyeri
kepal, gangguan penglihatan, atau nyeri epigastrium, maka penyakit ini sudah
cukup lanjut.
Klasifikasi preeklampsia
1.

Preeklampsia ringan

Definisi:
Suatu sindroma spesifik kehamilan dengan menurunnya perfusi organ yang
berakibat terjadinya vasospasme pembuluh darah dan aktivasi endotel.

10

Diagnosis
Diagnosis preeklampsia ringan ditegakkan berdasar atas timbulnya hipertensi
disertai proteinuria dan/atau edema setelah kehamilan 20 minggu.
-

Hipertensi sistolik/diastolik 140/90 mmHg. Kenaikan sistolik 30 mmHg


dan kenaikan diastolik 15 mmHg tidak dipakai lagi sebagai kriteria
preeklampsia.

Priteinuria: 300 mg/24 jam atau 1 + dipstik.

Edema lokal tidak dimasukkan dalam kriteria preeklampsia, kecuali edema


pada lengan, muka dan perut, edema generalisata.

2.

Preeklampsia Berat

Definisi
Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik 160
mmHg dan tekanan darah diastolik 1110 mmHg disertai proteinuria lebih 5
g/24 jam.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasar kriteria preeklampsia berat sebagimana
tercantum di bawah ini.
-

Tekanan darah sistolik 160 mmHg dan tekanan darah diastolik 110

mmHg. Tekanan darah ini tidak akan menurun meskipun ibu hamil sudah
dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring.
-

Proteinuria lebih 5 gr/ 24 jam atau 4 + dalam pemeriksaan kualitatif.

Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam.

Kenaikan kadar kreatinin plasma.

Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, byeri kepala, skotoma

dan pandangan kabur.


-

Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat

teregangnya kapsula Glisson)


-

Edema paru-paru dan sianosis.

Hemolisis mikroangiopati.

Trombositopenia berat: < 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit

dengan cepat.

11

Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoseluler): peningkatan kadar alanin

dan aspartae aminotransferase.

Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat.

Sindrom HELLP.

Pembagian preeklampsia berat


Preeklampsia berta dibagi menjadi:
-

preeklampsia berat tanpa impending eclmpsia dan


preeklampsia berat dengan Impending eclampsia bila preeklampsia berat
disertai gejala-gejala subjektif berupa nyeri kepla hebat, gangguan visus,
muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan progresif tekanan darah.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan ynag diperlukan untuk penegakan diagnosa adalah:

Darah rutin

Eritrosit

Leukosit

Trombosis

Hb

Ht

LED

Fungsi hati

SGOT/SGPT

Bilirubin

Protein serum

Aspartat aminotransferase

Fungsi Ginjal

Ureum

kreatinin

Rontgen atau CT_scan otak : untuk mengetahui sudah terdapat edema atau

tidak.
Penatalaksanaan
1) penderita preeklampsia berat harus segera masuk Rumah sakit untuk rawat inap
dan dianjurkan tirah baring k=miring ke satu sisi (kiri).
12

2) Perawatan yang penting pada preeklampsia dan eklampsia berat ialah


pengelolaan cairan karena penderita preeklampsia dan eklampsia mempunyai
resiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oliguria.
3) Oleh

karenaitu,

monitoring input cairan

(melalui

oral

ataupun

infus)

dan output cairan (melalui urin) menjadi sangat penting. Artinya harus dilakukan
pengukuran secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan
melalui urin.
4) Cairan yang diberikan berupa
a.

5% Ringer-dekstrose atau cairan daram faali, jumlah tetesan: < 125 cc/jam

b. Infus dektrose 5% yng tiap 1 liternya diselingi dengna infus Ringer Laktat (60125cc/jam) 500cc
Dipasang foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria terjadi bila
produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam.
5) Diberikan antasida untuk menetralisir asalam lambung sehingga bila mendadak
kejang, dapat menghindari resiko aspirasi asam lambung yan sangat asam.
6) Diet yang cuukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam.
7) Pemberian obat anti kejang
-

MgSO4

Diazepam

Fenitoin

Magnesium sulfat lebih efektif diberikan sebagai anti kejang, cara kerja
magnesium sulfat ialah mengahambat atau menurunkan asetikolin pada
rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi
neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium
sulft, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak
terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan iuo magnesium)
kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium
sulfat.

Cara pemberian:

Loading dose: initial dose

4 gram MgSO4: intravena, (40% dalam 10cc) selama 15 menit.

Meintenance dose:

13

Diberikan infus dalam larutan Ringer/6 jam atau diberikan 4 atau 5 gram i.m.
selanjutnya meintenance dose diberikan 4 gram i.m. tiap 4-6 jam.

Syarat-syarat pemberian MgSO4:

Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium

glukans 10% = 1 g (10% dalam 10cc) diberikan i.v. 3 menit.


-

Refleks patella (+) kuat.

Frekuensi pernapasan > 16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda distres napas.

Magnesium Sulfat dihentikan bila:

Ada tanda-tanda intoksiskasi

Setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang berakhir

Dosis teraupetik dan toksis MgSO4

Dosis terapeutik

4-7 mEq/liter

4,8-8,4 mg/dl

Hilangnaya refleks tendon

10 mEq/liter

12 mg/dl

Terhentinya pernapasan

15 mEq/liter

18 mg/dl

Terhentinya jantung

>30 mEq/liter

> 36 mg/dl

Pemberian Magnesium sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan


didapatkan 50% dari pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas).
Bila terjadi refrakter terhadap pemberian MgSO4, maka diberikan salah satu
obat berikut: tiopental sodium, sodium amobarbital, diasepam, atau fenitoin. 2

Pemberian antihipertensi

Obat pilihan adalah hidralazin, yang diberikan 5 mg IV pelan-pelan selama

5 menit sampai tekanan darah turun


-

Jika perlu, pemberian hidralazin dapat diulang setiap jam, atau 12,5 mg IM

setiap 2 jam.
-

Jika hidralazin tidak tersedia dapat diberikan:

Nifedipin 5 mg sublingual. Jika respon tidak baik setelah 10 menit, beri


tambahan 5 mg sublingual;
Labetolol 10 mg IV, yang jika respon tidak baik setelah 10 menit, diberikan
lagi labetolol 20 mg IV.
2. Luka Bakar
Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh api atau oleh penyebab lain,
misalnya pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan kimia serta
14

radiasi. Penyebab luka bakar di RSCM 56% api, 40% air mendidih, 3% listrik
dan 1% bahan kimia5.
I.

PATOFISIOLOGI
Kulit merupakan barrier yang kuat untuk transfer energi ke lapisan di
bawahnya. Area luka di again kulit terbagi menjadi 3 zona, yaitu zona
koagulasi, zona stasis dan zona hiperemia.
a. Zona koagulasi : Jaringan ini rusak irreversibel saat terjadi trauma
luka bakar.
b. Zona stasis : Area yang mengelilingi zona nekrotik terjadi gangguan
perfusi dengan derajat sedang. Pada zona stasis terjadi kerusakan
vaskular dan kebocoran pembuluh darah.
c.
Zona hiperemia : Karakter dari zona ini adalah vasodilatasi akibat
inflamasi.

Fase Luka Bakar


1. Fase Akut/syok. Penderita akan mengalami ancaman gangguan airway
(jalan nafas),

breathing (mekanisme bernafas), dan

circulation

(sirkulasi).
2. Fase Sub-akut, berlangsung setelah fase syok teratasi. Terjadi kerusakan
atau kehilangan jaringan akibat kontak dengan sumber panas. Luka yang
terjadi menyebabkan proses inflamasi disertai eksudasi protein plasma
dan infeksi yang dapat menimbulkan sepsis.
3. Fase Lanjut, terjadi setelah penutupan luka sampai terjadi maturasi.
Masalah yang timbul adalah jaringan parut, kontraktur dan deformitas
akibat kerapuhan jaringan atau organ strukturil.

II. DIAGNOSIS
1.

Evaluasi luas area luka bakar, dengan:

15

a.

Palmar surface method: palmar pasien (termasuk jari-jari) mencapai 1

% Total Body Surface Area (TBSA).


b.
c.

Wallaces rule of nines


Lund and Browder charts: menghitung variasi bentuk tubuh pada

berbagai macam usia dan menghasilkan penilaian akurat pada luka bakar
anak.
2.

Usia: bayi, anak dan dewasa

3.

Kedalaman luka.

4.

Luka bakar derajat 2 dan 3 yang sirkumferensial dapat menyebabkan

restriksi aliran darah pada ekstremitas, dada yang dapat menghambat


respirasi, membutuhkan eskarotomi.

III. TATA LAKSANA LUKA BAKAR


Perawatan luka bakar dapat dibagi menjadi 3 tahapan utama, yaitu fase
emergency/resusitasi, fase akut dan fase rehabilitasi.

1. Fase akut/syok berupa menghindarkan pasien dari sumber penyebab luka bakar,
evaluasi ABC, periksa apakah terdapat trauma lain, resusitasi cairan,
pemasangan kateter urine, pemasangan nasogastric tube (NGT), tanda vital dan
laboratorium; manajemen nyeri, profilaksis tetanus, pemberian antibiotik dan
perawatan luka.
2. Fase sub-akut dimulai ketika pasien secara hemodinamik telah stabil.
Penanganan fase akut berupa mengatasi infeksi, perawatan luka, dan nutrisi.
3. Fase lanjut dilakukan rehabilitasi bertujuan untuk meningkatkan kemandirian
melalui pencapaian perbaikan fungsi yang maksimal.

16

III.a. Resusitasi Cairan


III. b. Indikasi terapi cairan
Luka bakar derajat 2 atau 3 > 25% pada orang dewasa, luka bakar di daerah
wajah dengan trauma inhalasi dan tidak dapat minum, sedangkan pada anakanak dan orang tua > 15% maka resusitasi cairan intravena umumnya
diperlukan.
Menurut Baxter:
Hari pertama : luas luka bakar x berat badan (kg) x 4cc (RL)
Hari kedua: koloid :500-2000cc + glukosa 5% untuk mempertahankan cairan.
Pemberian cairan volume diberikan 8 jam pertama dan volume diberikan
16 jam berikutnya.
III. c. Indikasi rawat inap

Derajat 2 lebih dari 15% pada dewasa dan lebih dari 10% pada anak

Derajat 2 pada muka, tangan, kaki dan perineum

Derajat 3 lebih dari 2% pada orang dewasa dan setiap derajat 3 pada

anak

Luka bakar yang disertai trauma visera, tulang dan jalan nafas.

III. d. Perawatan luka


Pertama luka bakar harus dicuci dengan menggunakan larutan detergent encer
(baby soap), kita bersihkan kulit yang telah rusak. Luka dikeringkan dan dapat
dioleskan mecurochrom atau silver sulfa diazine. Dalam penanganan luka
diperlukan material protektif untuk menciptakan lingkungan yang optimal untuk
penyembuhan luka, melindungi luka dari bakteria, dari gesekan dan menyerap
ekudat yang keluar, inilah yang disebut sebagai dressing. Terdapat berbagai
macam jenis dressing, dimulai dari tradisional (madu) konvensional/passive
occlusive dressing (terbuka: krim mebo, krim silversulfadiazine; tertutup: kasa
basah, kasa kering, pembebatan) modern dressing/active occlusive dressing
(absorbent cellulosic material, tulle grass dressing dan film dressing).

17

STEP 5
1. Manajemen hipertensi dan eklampsia pada kehamilan
2. Patofisiologi dari kasus di skenario

STEP 6
Belajar Mandiri

18

STEP 7
1. Eklamsia
Etiologi / Patogenesis
Etiologi dan patogenesis preeklampsia dan eklampsia sampai saat ini masih belum
sepenuhnya difahami, masih banyak ditemukan kontroversi, itulah sebabnya penyakit
ini sering disebut the disease of theories. Pada saat ini hipotesis utama yang dapat
diterima untuk menerangkan terjadinya preeklampsia adalah : faktor imunologi, genetik,
penyakit pembuluh darah dan keadaan dimana jumlah trophoblast yang berlebihan dan
dapat mengakibatkan ketidakmampuan invasi trofoblast terhadap arteri spiralis pada
awal trimester satu dan trimester dua. Hal ini akan menyebabkan arteri spiralis tidak
dapat berdilatasi dengan sempurna dan mengakibatkan turunnya aliran darah di
plasenta. Berikutnya akan terjadi stress oksidasi, peningkatan radikal bebas, disfungsi
endotel, agregasi dan penumpukan trombosit yang dapat terjadi diberbagai organ.
Faktor Predisposisi Terjadinya Preeklampsia dan Eklampsia
Primigravida, kehamilan ganda, diabetes melitus, hipertensi essensial kronik, mola
hidatidosa, hidrops fetalis, bayi besar, obesitas, riwayat pernah menderita preeklampsia

19

atau eklamsia, riwayat keluarga pernah menderita preeklampsia atau eklamsia, lebih
sering dijumpai pada penderita preeklampsia dan eklampsia.
Terminologi
Dahulu, disebut pre eklampsia jika dijumpai trias tanda klinik yaitu : tekanan darah
140/90 mmHg, proteinuria dan edema. Tapi sekarang edema tidak lagi dimasukkan
dalam kriteria diagnostik, karena edema juga dijumpai pada kehamilan normal.
Pengukuran tekanan darah harus diulang berselang 4 jam, tekanan darah diastol 90
mmHg digunakan sebagai pedoman.
Eklampsia adalah pre eklampsia yang mengalami komplikasi kejang tonik klonik yang
bersifat umum. Koma yang fatal tanpa disertai kejang pada penderita pre eklampsia juga
disebut eklampsia. Namun kita harus membatasi definisi diagnosis tersebut pada wanita
yang mengalami kejang dan kematian pada kasus tanpa kejang yang berhubungan
dengan pre eklampsia berat. Mattar dan Sibai (2000) melaporkan komplikasi
komplikasi yang terjadi pada kasus persalinan dengan eklampsia antara tahun 1978
1998 di sebuah rumah sakit di Memphis, adalah solutio plasentae (10 %), defisit
neurologis (7 %), pneumonia aspirasi

(7 %), edema pulmo (5 %), cardiac arrest (4

%), acute renal failure (4 %) dan kematian maternal (1 %)


Gambaran Klinis Eklampsia
Seluruh kejang eklampsia didahului dengan pre eklampsia. Eklampsia digolongkan
menjadi kasus antepartum, intrapartum atau postpartum tergantung saat kejadiannya
sebelum persalinan, pada saat persalinan atau sesudah persalinan. Tanpa memandang
waktu dari onset kejang, gerakan kejang biasanya dimulai dari daerah mulut sebagai
bentuk kejang di daerah wajah. Beberapa saat kemudian seluruh tubuh menjadi kaku
karena kontraksi otot yang menyeluruh, fase ini dapat berlangsung 10 sampai 15 detik.
Pada saat yang bersamaan rahang akan terbuka dan tertutup dengan keras, demikian
juga hal ini akan terjadi pada kelopak mata, otot otot wajah yang lain dan akhirnya
seluruh otot mengalami kontraksi dan relaksasi secara bergantian dalam waktu yang
cepat. Keadaan ini kadang kadang begitu hebatnya sehingga dapat mengakibatkan
penderita terlempar dari tempat tidurnya, bila tidak dijaga. Lidah penderita dapat
tergigit oleh karena kejang otot otot rahang. Fase ini dapat berlangsung sampai 1

20

menit, kemudian secara berangsur kontraksi otot menjadi semakin lemah dan jarang dan
pada akhirnya penderita tidak bergerak.
Setelah kejang diafragma menjadi kaku dan pernafasan berhenti. Selama beberapa detik
penderita sepertinya meninggal karena henti nafas, namun kemudian penderita bernafas
panjang, dalam dan selanjutnya pernafasan kembali normal. Apabila tidak ditangani
dengan baik, kejang pertama ini akan diikuti dengan kejang kejang berikutnya yang
bervariasi dari kejang yang ringan sampai kejang yang berkelanjutan yang disebut status
epileptikus.
Setelah kejang berhenti penderita mengalami koma selama beberapa saat. Lamanya
koma setelah kejang eklampsia bervariasi. Apabila kejang yang terjadi jarang, penderita
biasanya segera pulih kesadarannya segera setelah kejang. Namun pada kasus kasus
yang berat, keadaan koma berlangsung lama, bahkan penderita dapat mengalami
kematian tanpa sempat pulih kesadarannya. Pada kasus yang jarang, kejang yang terjadi
hanya sekali namun dapat diikuti dengan koma yang lama bahkan kematian.
Frekuensi pernafasan biasanya meningkat setelah kejang eklampsia dan dapat mencapai
50 kali/menit. Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia sampai asidosis laktat, tergantung
derajat hipoksianya. Pada kasus yang berat dapat ditemukan sianosis. Demam tinggi
merupakan keadaan yang jarang terjadi, apabila hal tersebut terjadi maka penyebabnya
adalah perdarahan pada susunan saraf pusat.
Komplikasi
Proteinuria hampir selalu didapatkan, produksi urin berkurang, bahkan kadang kadang
sampai anuria dan pada umumnya terdapat hemoglobinuria. Setelah persalinan urin
output akan meningkat dan ini merupakan tanda awal perbaikan kondisi penderita.
Proteinuria dan edema menghilang dalam waktu beberapa hari sampai 2 minggu setelah
persalinan. Apabila keadaan hipertensi menetap setelah persalinan maka hal ini
merupakan akibat penyakit vaskuler kronis.
Edema pulmo dapat terjadi setelah kejang eklampsia. Hal ini dapat terjadi karena
pneumonia

aspirasi dari isi lambung yang masuk ke dalam saluran nafas yang

disebabkan penderita muntah saat kejang. Selain itu dapat pula karena penderita

21

mengalami dekompensasio kordis, sebagai akibat hipertensi berat dan pemberian cairan
yang berlebihan.
Pada beberapa kasus eklampsia, kematian mendadak dapat terjadi bersamaan atau
beberapa saat setelah kejang sebagai akibat perdarahan otak yang masiv. Apabila
perdarahan otak tersebut tidak fatal

maka penderita dapat mengalami hemiplegia.

Perdarahan otak lebih sering didapatkan pada wanita usia lebih tua dengan riwayat
hipertensi kronis. Pada kasus yang jarang perdarahan otak dapat disebabkan pecahnya
aneurisma Berry atau arterio venous malformation.
Pada kira kira10 % kasus, kejang eklampsia dapat diikuti dengan kebutaan dengan
variasi tingkatannya. Kebutaan jarang terjadi pada pre eklampsia. Penyebab kebutaan
ini adalah terlepasnya perlekatan retina atau terjadinya iskemia atau edema pada lobus
oksipitalis. Prognosis penderita untuk dapat melihat kembali adalah baik dan biasanya
pengelihatan akan pulih dalam waktu 1 minggu.
Pada kira- kira 5 % kasus kejang eklampsia terjadi penurunan kesadaran yang berat
bahkan koma yang menetap setelah kejang. Hal ini sebagai akibat edema serebri yang
luas. Sedangkan kematian pada kasus eklampsia dapat pula terjadi akibat herniasi uncus
trans tentorial.
Pada kasus yang jarang kejang eklampsia dapat diikuti dengan psikosis, penderita
berubah menjadi agresif. Hal ini biasanya berlangsung beberapa hari sampai sampai 2
minggu namun prognosis penderita untuk kembali normal baik asalkan tidak terdapat
kelainan psikosis sebelumnya. Pemberian obat obat antipsikosis dengan dosis yang
tepat dan diturunkan secara bertahap terbukti efektif dalam mengatasi masalah ini.
Diagnosis Diferensial
Secara umum seorang wanita hamil aterm yang mengalami kejang selalu didiagnosis
sebagai eklampsia. Hal ini karena diagnosis diferensial keadaan ini seperti, epilepsi,
ensefalitis, meningitis, tumor otak serta pecahnya aneurisma otak memberikan
gambaran serupa dengan eklampsia. Prinsip : setiap wanita hamil yang mengalami
kejang harus didiagnosis sebagai eklampsia sampai terbukti bukan
Prognosis

22

Eklampsia selalu menjadi masalah yang serius, bahkan merupakan salah satu keadaan
paling berbahaya dalam kehamilan. Statistik menunjukkan di Amerika Serikat kematian
akibat eklampsia mempunyai kecenderungan menurun dalam 40 tahun terakhir, dengan
persentase 10 % - 15 %. Antara tahun 1991 1997 kira kira 6% dari seluruh kematian
ibu di Amerika Serikat adalah akibat eklampsia, jumlahnya mencapai 207 kematian.
Kenyataan ini mengindikasikan bahwa eklampsia dan pre eklamsia berat harus selalu
dianggap sebagai keadaan yang mengancam jiwa ibu hamil.
Manajemen
Pritchard (1955) memulai standardisasi rejimen terapi eklampsia di Parkland Hospital
dan rejimen ini sampai sekarang masih digunakan. Pada tahun 1984 Pritchard dkk
melaporkan hasil penelitiannya dengan rejimen terapi eklampsia pada 245 kasus
eklampsia. Prinsip prinsip dasar pengelolaan eklampsia adalah sebagai berikut :
1. Terapi suportif untuk stabilisasi pada penderita
2. Selalu diingat mengatasi masalah masalah Airway, Breathing, Circulation
3. Kontrol kejang dengan pemberian loading dose MgSO4 intravena, selanjutnya
dapat diikuti dengan pemberian MgSO4 per infus atau MgSO4 intramuskuler
secara loading dose didikuti MgSO4 intramuskuler secara periodik.
4. Pemberian obat antihipertensi secara intermiten intra vena atau oral untuk
menurunkan tekanan darah, saat tekanan darah diastolik dianggap berbahaya.
Batasan yang digunakan para ahli berbeda beda, ada yang mengatakan 100
mmHg, 105 mmHg dan beberapa ahli mengatakan 110 mmHg.
5. Koreksi hipoksemia dan asidosis
6. Hindari penggunaan diuretik dan batasi pemberian cairan intra vena kecuali pada
kasus kehilangan cairan yang berat seperti muntah ataupun diare yang
berlebihan. Hindari penggunaan cairan hiperosmotik.
7. Terminasi kehamilan

23

Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI telah membuat pedoman pengelolaan


eklampsia yang terdapat dalam Pedoman Pengelolaan Hipertensi Dalam Kehamilan di
Indonesia, berikut ini kami kutipkan pedoman tersebut.
A. Pengobatan Medisinal
1. MgSO4 :
Initial dose :
- Loading dose : 4 gr MgSO4 20% IV (4-5 menit)
Bila kejang berulang diberikan MgSO4 20 % 2 gr IV, diberikan sekurang kurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir. Bila setelah diberikan dosis
tambahan masih tetap kejang dapat diberikan Sodium Amobarbital 3-5 mg/ kg BB IV
perlahan-lahan.
- Maintenace dose : MgSO4 1 g / jam intra vena
2. Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik > 110 mmHg. Dapat diberikan
nifedipin sublingual 10 mg. Setelah 1 jam, jika tekanan darah masih tinggi dapat
diberikan nifedipin ulangan 5-10 mg sublingual atau oral dengan interval 1 jam, 2
jam atau 3 jam sesuai kebutuhan. Penurunan tekanan darah tidak boleh terlalu
agresif. Tekanan darah diastolik jangan kurang dari 90 mmHg, penurunan tekanan
darah maksimal 30%. Penggunaan nifedipine sangat dianjurkan karena harganya
murah, mudah didapat dan mudah pengaturan dosisnya dengan efektifitas yang
cukup baik.
3. Infus Ringer Asetat atau Ringer Laktat. Jumlah cairan dalam 24 jam sekitar 2000 ml,
berpedoman kepada diuresis, insensible water loss dan CVP .

4. Perawatan pada serangan kejang :


Dirawat di kamar isolasi yang cukup tenang.
Masukkan sudip lidah ( tong spatel ) kedalam mulut penderita.

24

Kepala direndahkan , lendir diisap dari daerah orofarynx.


Fiksasi badan pada tempat tidur harus aman namun cukup longgar guna menghindari
fraktur.
Pemberian oksigen.
Dipasang kateter menetap ( foley kateter ).
5. Perawatan pada penderita koma : Monitoring kesadaran dan dalamnya koma
memakai Glasgow Pittsburg Coma Scale .
Perlu diperhatikan pencegahan dekubitus dan makanan penderita.
Pada koma yang lama ( > 24 jam ), makanan melalui hidung ( NGT = Naso Gastric
Tube : Neus Sonde Voeding ).
6. Diuretikum tidak diberikan kecuali jika ada :
- Edema paru
- Gagal jantung kongestif
- Edema anasarka
7. Kardiotonikum ( cedilanid ) jika ada indikasi.
8. Tidak ada respon terhadap penanganan konservatif pertimbangkan seksio sesarea.
Catatan:
Syarat pemberian Magnesium Sulfat:

Harus tersedia antidotum Magnesium Sulfat yaitu Kalsium Glukonas 10%,


diberikan iv secara perlahan, apabila terdapat tanda tanda intoksikasi MgSO4.

Refleks patella (+)

Frekuensi pernafasan > 16 kali / menit.

Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya ( 0,5 cc/ kg BB/ jam ).
Pemberian Magnesium Sulfat sampai 20 gr tidak perlu mempertimbangkan
diurese
25

B. Pengobatan Obstetrik :
1. Semua kehamilan dengan eklamsia harus diakhiri tanpa memandang umur kehamilan
dan keadaan janin.
2. Terminasi kehamilan
Sikap dasar : bila sudah stabilisasi ( pemulihan ) hemodinamika dan metabolisme
ibu, yaitu 4-8 jam setelah salah satu atau lebih keadaan dibawah ini :
Setelah pemberian obat anti kejang terakhir.
Setelah kejang terakhir.
Setelah pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir.
Penderita mulai sadar ( responsif dan orientasi ).
3. Bila anak hidup dapat dipertimbangkan bedah Cesar.
Perawatan Pasca Persalinan
Bila persalinan terjadi pervaginam, monitoring tanda-tanda vital dilakukan sebagaimana
lazimnya.
Pemeriksaan laboratorium dikerjakan setelah 1 x 24 jam persalinan.
Biasanya perbaikan segera terjadi setelah 24 - 48 jam pasca persalinan.

2. Patofisiologi hiperteensi dalam kehamilan

26

27

Patofisiologi trauma inhalasi


Trauma inhalasi terjadi melalui kombinasi dari kerusakan epitel jalan nafas oleh panasdan zat kimia, atau
akibat intoksikasi sistemik dari hasil pembakaran itu sendiri. Hasil dari pembakaran
tidak hanya terdiri dari udara saja, tetapi merupakan campuran dari udara, partikel padat
yang terurai di udara (melalui suatu efek iritasi dan sitotoksik). Aerosol daricairan yang
bersifat iritasi dan sitotoksik serta gas toksik dimana gabungan tersebut bekerjasistemik.
Partikel padat yang ukurannya lebih dari 10 mikrometer tertahan di hidung
dannasofaring. Partikel yang berukuran 3-10 mikrometer tertahan pada cabang
trakeobronkial,sedangkan partikel berukuran 1-2 mikrometer dapat mencapai alveoli
Trauma inhalasi terjadi melalui kombinasi dari kerusakan epitel jalan nafas oleh panasdan zat kimia, atau
akibat intoksikasi sistemik dari hasil pembakaran itu sendiri. Hasil dari pembakaran
tidak hanya terdiri dari udara saja, tetapi merupakan campuran dari udara, partikel padat
yang terurai di udara (melalui suatu efek iritasi dan sitotoksik). Aerosol daricairan yang
bersifat iritasi dan sitotoksik serta gas toksik dimana gabungan tersebut bekerjasistemik.
Partikel padat yang ukurannya lebih dari 10 mikrometer tertahan di hidung
dannasofaring. Partikel yang berukuran 3-10 mikrometer tertahan pada cabang
trakeobronkial,sedangkan partikel berukuran 1-2 mikrometer dapat mencapai alveoli

28

KEPUSTAKAAN

1. Cuningham FG, Mac Donald PC, Gant NF, et al. Hypertensive Disorders in
Pregnancy. In : William Obstetrics. 22th ed. Conecticut : Appleton and Lange, 2007
: 443 452.
2. Dekker GA, Sibai BM. Ethiology and Pathogenesis of Preeclampsia : Current
Concept. AmJ Obstet Gynecol 1998 ; 179 : 1359 75.
3. Lockwood CJ dan Paidas MJ. Preeclampsia and Hypertensive Disorders In Wayne
R. Cohen
4. Complications of Pregnancy. 5th ed. Philadelphia : Lippicott Williams dan Wilkins,
2000 : 207 -26.
5. Sibai BM. Hypertension in pregnancy. In : Obstetrics normal and problem
pregnancies. 4th edition, Churchill Livingstone USA, 2002 : 573-96.
6. Report of the National High Blood Pressure Education Program Working Group on
High Blood Pressure in Pregnancy. AmJ. Obstet Gynecol, 2000 ; 183 : S1 S22.
7. Angsar MD dkk. Pedoman Pengelolaan Hipertensi Dalam Kehamilan Di Indonesia.
Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI

29

30

Anda mungkin juga menyukai