Anda di halaman 1dari 5

4.1.

Hujan Asam
4.1.1. Sejarah Hujan Asam
Fenomena hujan asam mulai dikenal sejak akhir abad 17. Hal ini
diketahui dari buku karya Robert Boyle pada tahun 1960 dengan judul
A General History of the Air. Buku tersebut menggambarkan fenomena
hujan asam sebagai nitrous or salino-sulforus spiris. Selanjutnya
revolusi industri di Eropa yang dimulai sekitar awal abad ke 18 memaksa
penggunaan bahan bakar batubara dan minyak sebagai sumber utama
energi untuk mesin-mesin. Sebagai akibatnya, tingkat emisi precursor
(faktor penyebab) dari hujan asam yakni gas-gas SO2, NOX dan HCl
meningkat. Padahal biasanya precursor hanya berasal dari gas-gas
gunung berapi dan kebakaran hutan (Anonim, 2009).
Istilah hujan asam pertama kali digunakan oleh Robert Angus
Smith pada tahun 1872 saat menguraikan keadaan di Manchester, sebuah
daerah industri di Inggris bagian utara. Smith menjelaskan fenomena
hujan pada bukunya yang berjudul Air and Rain: The Beginnings of
Chemical Technology.
Masalah hujan asam dalam skala yang cukup besar pertama terjadi
pada tahun 1960-an ketika sebuah danau di Skandinavia meningkat
keasamannya hingga mengakibatkan berkurangnya populasi ikan. Hal
tersebut juga terjadi di Amerika Utara, pada masa itu pula banyak hutanhutan di bagian Eropa dan Amerika yang rusak. Sejak saat itulah dimulai
berbagai

usaha

penaggulangannya,

baik

melalui

bidang

ilmu

pengetahuan maupun teknis (Anonim, 2009).


4.1.1. Pengertian Hujan Asam
Istilah hujan asam pertama kali diperkenalkan oleh Angus Smith
pada tahun 1972 ketika ia menulis tentang polusi industri di Inggris.
Tetapi istilah hujan asam tidaklah tepat, yang benar adalah deposisi

asam. Deposisi asam ada dua jenis, yaitu deposisi kering dan deposisi
basah. Deposisi kering ialah peristiwa terkenanya benda dan makhluk
hidup oleh asam yang ada dalam udara. Ini dapat terjadi pada daerah
perkotaan karena pencemaran udara akibat kendaraan maupun asap
pabrik. Selain itu deposisi kering juga dapat terjadi di daerah perbukitan
yang terkena angin yang membawa udara yang mengandung asam.
Biasanya deposisi jenis ini terjadi dekat dari sumber pencemaran.
Deposisi basah ialah turunnya asam dalam bentuk hujan. Hal ini
terjadi apabila asap di dalam udara larut di dalam butir-butir air di
awan. Jika turun hujan dari awan tadi, maka air hujan yang turun
bersifat asam. Deposisi asam dapat pula terjadi karena hujan turun
melalui udara yang mengandung asam sehingga asam itu terlarut ke
dalam air hujan dan turun ke bumi. Asam itu tercuci atau wash out.
Deposisi jenis ini dapat terjadi sangat jauh dari sumber pencemaran.
Hujan secara alami bersifat asam karena karbon dioksida (CO 2)
di udara yang larut dengan air hujan memiliki bentuk sebagai asam
lemah. Jenis asam dalam hujan ini sangat bermanfaat karena membantu
melarutkan mineral dalam tanah yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan
binatang.
Hujan pada dasarnya memiliki tingkat keasaman berkisar pH 5,
apabila hujan terkontaminasi dengan gas belerang yang bereaksi serta
bercampur di atmosphere sehingga tingkat keasaman lebih rendah dari
pH 5, disebut dengan hujan asam.
4.1.1. Penyebab Terjadinya Hujan Asam
Secara alami hujan asam dapat terjadi akibat semburan dari
gunung Merapi dan dari proses biologis tanah, rawa dan laut. Akan
tetapi, mayoritas hujan asam disebabkan oleh aktivitas manusia seperti
industri, pembangkit tenaga listrik, kendaraan bermotor dan pabrik
pengolahan pertanian. Gas-gas yang dihasilkan oleh proses ini dapat

terbawa angin hingga beberapa kilometer di atmosfer sebelum berubah


menjadi asam dan terdeposit ke tanah (Agustiarni, 2008).
Hujan asam disebabkan oleh belerang (sulfur) yang merupakan
pengotor dalam bahan bakar fosil serta nitrogen di udara yang bereaksi
dengan oksigen membentuk sulfur dioksida dan nitrogen oksida. Zat-zat
ini berdifusi ke atmosfer dan bereaksi dengan air untuk membentuk
asam sulfat dan asam nitrat yang mudah larut sehingga jatuh bersama
air hujan. Nitrogen oksida, diemisikan dari pembakaran pada
temperatur tinggi yang bereaksi dengan bensin yang tidak terbakar
dengan sempurna dan zat hidrokarbon lain akan membentuk ozon
rendah atau smog kabut berawan coklat kemerahan (Susanta dan
Sutjahjo, 2008).
Bahan bakar fosil merupakan sumber utama terjadinya
pencemaran udara. Pencemaran udara yang terjadi berbanding lurus
dengan pengembangan industri modern, pembangkit tenaga listrik,
penggunaan batubara dan kemajuan sektor transportasi. Pembakaran
sempurna bahan bakar fosil menghasilkan CO2 dan H2O bersama
beberapa nitrogen oksida yang muncul dari fiksasi nitrogen dan
atmosfer pada suhu tinggi. Pembakaran yang tidak sempurna
menghasilkan asap hitam yang terdiri dari partikel-partikel karbon atau
hidrokarbon kompleks atau CO dan senyawa organik yang teroksidasi
sebagian (Kristanto, 2002).
4.1.1. Proses Terjadinya Hujan Asam
Hujan asam disebabkan oleh belerang yang merupakan pengotor
dalam bahan bakar fosil ditambah nitrogen di udara, yang kemudian
bereaksi dengan oksigen membentuk sulfur dioksida dan nitrogen
oksida. Zat-zat tersebut kemudian berdifusi ke atmosfer dan bereaksi
dengan air membentuk asam sulfat serta asam nitrat yang mudah.
Kemudian asam sulfat dan asam nitrat yang ada di atmosfer baik
sebagai gas maupun cair terdeposisikan ke tanah, sungai, danau, hutan,

lahan pertanian, atau bangunan melalui tetes hujan, kabut, embun, salju,
atau butiran-butiran cairan (aerosol), ataupun jatuh bersama angin
(Sumahamijaya, 2009)
Asam-asam tersebut berasal dari faktor penyebab hujan asam
dari kegiatan manusia seperti emisi pembakaran batubara dan minyak
bumi, serta emisi dari kendaraan bermotor serta kegiatan alam seperti
letusan gunung berapi. Reaksi pembentukan asam di atmosfer dari
faktor penyebab hujan asamnya melalui reaksi katalitis dan photokimia.
Gas belerang atau SOx terdiri atas gas SO2 dan SO3 yang
keduanya mempunyai sifat berbeda. Gas SO2 berbau tajam dan tidak
mudah terbakar, sedangkan SO3 bersifat sangat reaktif. Gas SO3 mudah
bereaksi dengan uap air yang ada di udara untuk membentuk asam
sulfat atau H2SO4. Asam sulfat sangat reaktif, mudah bereaksi bendabenda lain yang mengakibatkan kerusakan, seperti proses pengkaratan
dan proses kimiawi lainnya.
Konsentrasi gas SO2 di udara akan mulai terdeteksi oleh indera
manusia dan tercium baunya dengan konsentrasinya berkisar antara
0,3-1 ppm. Gas buangan hasil pembakaran umumnya mengandung gas
SO2 lebih banyak dari pada gas SO 3, sehingga yang dominan adalah gas
SO2. Namun demikian gas SO2 akan bertemu dengan oksigen yang ada
di udara dan kemudian membentuk gas SO3 melalui reaksi sebagai
berikut:
2SO2 + O2 (udara) ------> 2SO3
Gas SO2 juga dapat membentuk garam sulfat apabila bertemu dengan
oksida logam, yaitu melalui proses kimiawi berikut ini:
4MgO + 4SO2 -----> 3MgSO4 + MgS
Udara yang mengandung uap air akan bereaksi dengan gas SO 2
sehingga membentuk asam sulfit melalui reaksi berikut:
SO2 + H2O -----> H2SO3 (asam sulfit)
Udara yang mengandung uap air juga bereaksi dengan
membentuk asam sulfat:

gas SO3

SO3 + H2O -----> H2SO4 (asam sulfat)


(Wardhana, 2004)

Anda mungkin juga menyukai