Anda di halaman 1dari 12

BAB 2

ISI

2.1.

Definisi Sistem Integumen


Integumen membentuk lapisan terluar pada tubuh, integument terdiri dari kulit
dan beberapa derivative kulit terspesialisasi tertentu, antara lain rambut, kuku, dan
beberapa jenis kelenjar (Kozier, 2010). Kulit adalah organ yang paling luas pada

tubuh sekitar 16% dari berat badan orang dewasa. Secara structural, kulit
adalah suatu organ kompleks yang terdiri dari epidermis, dermis, dan
subkutis. Perubahan seperti keriput, atropi dan kendur ini pada prinsipnya
terjadi karena hubungan antara penuaan intrinsic (alami) dan penuaan
ekstrinsik (lingkungan). Kulit berperan penting dalam termoregulasi dan
adaptasi terhadap lingkungan. Kulit juga bertindak sebagai organ eksresi,
sekresi, absorpsi, dan akumulasi (Stanley, 2006).

2.2........................................................................Perubahan Fisik Lansia pada Sistem Integumen


Kulit terdiri dari tiga lapis secara struktural, yaitu: epidermis, dermis, dan
jaringan subkutan (Miller, 2012). Kulit adalah organ paling luas yang ada di
area tubuh yaitu sekitar 16% dari berat badan orang dewasa, hal yang sering
dikaitkan dengan penuaan, khususnya perubahan yang terjadi pada kulit,
antara lain adalah atropi, keriput, dan kulit yang kendur. Perubahan ini pada
prinsipnya terjadi karena hubungan antara penuaan intrinsik (alami) dan
penuaan ekstrinsik (lingkungan). Peran kulit pada tubuh manusia masuk
kedalam peran termoregulasi dan adaptasi terhadap lingkungan. Selain itu,
kulit juga berperan sebagai organ eksresi, sekresi, absoprsi, dan akumulasi
(Stanley, 2006).
Lapisan terluar epidermis, stratum korneum terdiri dari timbunan
korneosit. Seiring dengan pertambahan usia, jumlah keseluruhan sel-sel dan
lapisan sel secara esensial tidak berubah, tetapi kohesi sel mengalami
penurunan. Penurunan kekohesivan sel memiliki hubungan dengan penurunan
penggantian sel terhadap lansia. Pelembap pada stratum korneum berkurang

tetapi status barrier air tampaknya tetap terpelihara yang berakibat pada
penampilan kulit yang kasar dan kering (Balin & Pratt, 1989 dalam Stanley,
2006).
Bagian epidermis mengalami perubahan ketebalan seiring dengan proses
penuaan seseorang. Namun, terdapat perlambatan dalam proses perbaikan sel,
jumlah sel basal yang lebih sedikit, dan penurunan jumlah dan kedalaman
persimpangan dermal-epidermal yang dibentuk oleh penonjolan epidermal
dari lapisan basal yang mengarah ke dalam dermis. Pendataran dari
persimpangan dermal-epidermal mengakibatkan kulit dapat mengelupas akibat
penggunaan plester, kulit juga mudah terpisah dan mengalami kerusakan.
Selain itu, melanosit mengalami penurunan. Melanosit adalah sel epidermis
yang memberikan warna kulit dan memberikan lapisan pelindung terhadap
radiasi ultraviolet. Mulai sekitar usia 25 tahun, jumlah melanosit yang aktif
menurun sebesar 10% sampai 20% setiap decade (Miller, 2012). Penurunan
melanosit menyebabkan rambut manusia beruban, pigmentasi kulit yang tidak
merata, serta berkurangnya perlindungan dari sinar UV. Sel Langerhans yang
juga menurun menyebabkan respon terhadap pemeriksaan kulit berkurang
(Stanley, 2006).
Pada saat manusia mengalami proses penuaan, volume dermal mengalami
penurunan, dermis menjadi tipis, dan jumah sel biasanya menurun.
Konsekuensi fisiologis dari perubahan ini termasuk penekanan timbulnya
penyakit kulit, penutupan dan penyembuhan luka lambat, penurunan
termoregulasi, penurunan respon inflamasi, dan penurunan absorpsi kulit
terhadap zat-zat topikal. Serabut elastik dan jaringan kolagen secara bertahap
dihancurkan

oleh

enzim-enzim,

menghasilkan

adanya

kantung

dan

peneriputan pada sekitar mata. Pada saat elastisitas menurun, dermis


meningkatkan kekuatan peregangannya menyebabkan kulit menjadi lentur dan
tugor kulit berkurang atau hilang (Cua, et al., 1990 dalam Stanley, 2006)
dimulai pada awal masa dewasa, ketebalan kulit manusia secara bertahap
berkurang, dengan kolagen menipis pada tingkat 1% per tahun. Elastin
meningkat secara kuantitas dan kualitas karena perubahan usia dan di
pengaruhi oleh faktor lingkungan (Miller, 2010). Vaskularitas juga menurun

dan dermis berisi lebih sedikit fibroblast, makrofag, dan sel batang. Secara
visual, kulit tampak pucat dan kurang mampu untuk melakukan termoregulasi,
berisiko mengalami hipertermia dan hipotermia.
Lapisan jaringan subkutan mengalami penipisan seiring penuaan, hal ini
turut berperan lebih lanjut terhadp kelemahan kulit dan penampilan kulit yang
kendur diatas tulang rangka. Penurnan lapisan lemak terutama dapat dilihat
secara jelas pada area wajah, tangan, kaki dan betis. Pembuluh darah jadi lebih
terlihat dan lebih jelas, serta jaringan menjadi lebih cenderung untuk
mengalami trauma. Tumpukan lemak cenderung meningkat pada abdomen
baik pria dan wanita, sama seperti halnya bagian paha pada wanita (Montagna
& Carlsile, 1990 dalam Stanley, 2006)
2.3.

Faktor yang Memengaruhi Fungsi Kulit Lansia


Menurut Miller (2012), factor-faktor yang yang dapat mempengaruhi kulit
dan rambut pada individu lansia ada 3 yaitu: hereditas, gaya hidup dan factor
lingkungan, dan efek pengobatan yang merugikan.
1. Hereditas (Pengaruh Genetik)
Hereditas membawa peran penting bagi perubahan kulit dan rambut.
Seseorang yang memiliki kulit berwarna cerah, rambut berwarna
terang dan mata yang berwarna terang akan lebih sensitif terhadap efek
sinar ultraviolet jika dibandingkan dengan seseorang yang mempunyai
kulit, rambut dan mata dengan warna gelap. Sudah terbukti bahwa hal
ini dapat mempengaruhi risiko terkena kanker kulit (Miller, ).
2. Gaya Hidup dan Faktor Lingkungan
Merokok,

paparan

sinar

matahari,

stress

emosional,

dan

penyalahgunaan zat dan minum alcohol merupakan gaya hidup dan


factor lingkungan yang dapat mempengaruhi kesehatan kulit secara
signifikan (Miller, 2012). Factor lingkungan dan gaya hidup lain yang
dapat berkontribusi dalam kerusakan kulit pada lansia yaitu mandi
dengan air panas, penggunaan sabun yang terlalu banyak, dan kondisi
yang kering seperti saat musim dingin, iklim gurun atau penggunaan
AC (Foy White-Chu & Reddy 2011 dalam Tabloski 2014).

Seorang lansia yang telah menghabiskan banyak waktunya di luar


ruangan

untuk

bekerja

ataupun

menghabiskan

waktu

luang

kemungkinan dapat mengalami kerusakan jangka panjang akibat


radiasi sunar ultraviolet yang disebut dengan photoaging (Tabloski,
2014). Perubahan ini terjadi di daerah wajah, leher, lengan, dan tangan.
Ini termasuk bitnik-bintik di muka, kehilangan elastisitas kulit,
kerusakan pembuluh darah, dan kulit kasar serta penamilan yang
lapuk. Pada lansia yang gaya hidupnya ataupun pigmentasinya
melindunginya dari radiasi sinar ultraviolet akan terlihat lebih muda
dibandingkan teman sebayanya. Kerusakan yang lebih lanjut dapat
menjadi perkembangan lesi prakanker yang disebut actinic keratosis,
yang dapat berkembang menjadi kanker kulit (Skin Cancer
Faoundation 2011 dalam Tabloski, 2014). Selain itu, merokok dapat
mengurangi kemampuan kulit dalam melindungi dari paparan sinar
ultraviolet dan meningkatkan risiko kanker kulit (Miller, 2012).
3. Efek Pengobatan
Efek samping pengobatan yang sering timbul berupa pruritus,
dermatosis, dan rekasi fotosensitivitas. Efek samping yang lebig jarang
timbul pada kulit dan rambut termasuk alopecia dan perubahan
pigmentasi pada kullit dan rambut. Agen-agen sitotoksik merupakan
jenis obat yang biasanya berkaitan dengan efek samping berupa
kerontokan rambut, tetapi obat lainnya dapat menyebabkan alopecia.
Ditambah lagi obat-obatan juga mampu memperburuk perubahan kulit
yang terjadi saat bertambahnya usia. Sebagai contoh individu lansia
yang mengonsumsi obat antikoagulan akan lebih mudah memar dan
memiliki memar yang lebih luas (Miller, 2012). Dermatosis atau ruam
merupakan efek obat-obatan yang paling sering dilaporkan terjadi.
Antibiotic merupakan tipe pengobatan yang paling sering dikaitkan
dengan erupsi kulit, tetapi setiap pengobatan dapat menimbulkan
reaksi di kulit. Medikasi yang biasanya menyebabkan dermatitis
termasuk allopurinol, ampicillin, bacitracin, erythromycin, gentamicin,
miconazole,

naproxen,

neomycin,

penicillin,

pseudoephedrine,

streptomycin, and inhaled or systemic corticosteroids (Habif, 2010;


Nijhawan, Molenda, Airwas, & Jacob, 2009 dalam Miller 2012).
Fotosensitivitas merupakan efek medikasi yang dapat meningkatkan
respons terhadap radiasi sinar ultraviolet. Medikasi yang dapat
menyebabkan fotosensitivitas yaitu amiodarone, furosemid, naproxen,
phenothiazin, sulfonamid, tetracyclin, dan thiazide (Habif, 2010 dalam
Miller 2012).
2.4.

Gangguan Patologis pada Lansia

2.4.1

Kerusakan Kulit yang Berhubungan dengan Penuaan Dini karena


Sinar Matahari
Perubahan pada kulit yang berhubungan dengan penuuan dini
karena sinar matahari merupakan bukti yang paling jelas dalam daerah
kulit yang terpajan sinar UV matahari. Penuaan dini karena sinar
matahari adalah suatu kondisi pada kulit akibat dari sinar UV yang
merusak. Wajah, leher, lengan, dan tangan paling banyak menunjukkan
perubahan ini dan disebabkan pula karena perubahan ekstrinsik dan
intrinsic. Perubahan dini adalah hasil peradangan kronis, yang dikenal
sebagai elastosis (Balin & Pratt, 1989 dalam Stanley, 2006). Serabut
elastic secara perlahan mengalami degradasi, menjadi tebal, dan kulit
menjadi kendur. Ketika peradangan kronis dan perubahan dini
berlanjut, kulit tidak mengalami perubahan inflamasi dan adanya
fibroblast yang diam. Keseluruhan jumlah kolagen yang matang
menurun dan pembuluh darah kecil mulai mengalami dilatasi,
menghasilkan telangiektasi yang terlihat jelas. Pada daerah tubuh yang
terpajan sinar matahari cukup banyak, terutama pada wajah, kelenjar
sebasea membesar dan ukuran pori pori membesar.
Miller, akhir lebih lanjut akibat penuaan dini karena sinar
Perubahan tahap
C.A.

(2012) penurunan respons perlindungan kulit terhadap


matahari termasuk
.
Nursin
sinar matahari karena distribusi melanin berkurang dan menjadi tidak
g For
beraturan. LesiWellne
yang khas dari pajanan sinar matahari termasuk
ss In
Older solar lentigines, keratoakantoma, epitelioma sel
keratosis seboroik,
Adults
:
Theor
y And
Practi
ce (6th
Ed.).

basal, dan karsinoma sel skuamosa (Stanley, 2006). Perubahan


ekstrinsik pada kulit yang ditambah dengan perubahan intrinsik ini
pada akhirnya dapat menyebabkan perubahan intrinsik menjadi
lengkap.
2.4.2

Kerusakan Kulit yang Berhubungan dengan Tekanan

2.4.2.1 Ulkus Dekubitus


Menurut Miller (2012), ulkus dekubitus adalah luka pada kulit
dan/atau jaringan di bawahnya, biasanya terjadi pada bagian yang
terdapatpenonjolantulang,sebagaiakibatdaritekananataukombinasi
antaratekanandangesekan.Lansiaberisikomengalamidekubituskarena
adanyaperubahannutrisi,perubahansensasiuntukperlindunganterhadap
tekanan, adanya penyakit kronis, deficit perawatan diri, dukungan di
rumah tidak adekuat, inkontinensia, deficit mobilitas, dan perubahan
tingkat kesadaran. Dekubitus terjadi terutama di atas tonjolan tulang
tetapi mungkin juga terjadi pada daerah jaringan lain yang tertekan.
Setiapjaringandapatmengalamiulserasijikaterpajantekanandariluar
yanglebihbesardibandingkantekananpenutupankapileruntukjangka
waktulama.
Derajat ulserasi bergantung pada beberapa factor, baik factor
instrinsikmaupunekstrinsik.Padasaattekananterusberlanjuttanpajeda,
jaringantersebutmenjadikekuranganoksigendannutrisiyangpenting
bagi metabolism sel dan kemudian sel mengalami hipoksia dan
membengkak.Jikadiberitekananpadatitikini,jaringanakandipenuhi
darahkarenapembuluhdarahkapilermembesardandaerahtersebutakan
berwarnakemerahanatauhyperemiaregional.Periodehyperemiaakan
bertahan separuh dari lamanya periode hipoksia. Area yang berada di
bawahtekanandapatdengansepenuhnyakembalikekondisisemulapada
saatfactorresikotelahdikenalidandihilangkandantindakanpencegahan
dimulai.Namun,jikamasalahtidakdiketahuipadatitikini,tekanantidak
akan dapat dihilangkan dan edema sel akan berkembang menjadi

thrombosispembuluhdarahkecil,penurunansuplaioksigenyanglebih
lanjut,danjaringanakanmulaimengalamiulserasi(Stanley,2006).
Ulkusdekubitusdibagimenjadiempattahap(Miller,2012).Tahap
pertama,kulitmasihutuhnamunkemerahandanpucatpadasatudaerah
terfokus.Tahapkedua,lukamulaiterbukanamunmasihdangkal,tidak
bernanah,danberwarnamerahhinggamerahmuda.Tahapketiga,luka
semakindalamditandaidenganhilangnyajaringankulityangtebalserta
dapatberairataubernanahtetapihaltersebuttidakmenutupikedalaman
luka. Tahap keempat, luka semakin dalam ditandai dengan terlihatnya
tulang, tendon, atau otot. Jika hingga pada tahap empat tidak segera
ditanganidapatmeningkatkanrisikoterkenaosteomyelitis.
2.4.2.2 Kanker Kulit
Kanker kulit, yang didefinisikan sebagai pertumbuhan abnormal
sel-sel kulit, adalah jenis yang paling umum yang dapat dicegah dari
kanker. Lansia sangat rentan terhadap dua jenis yang paling umum dari
kanker kulit, terutama karena efek kumulatif dari paparan sinar matahari.
Karsinoma sel basal, yang merupakan jenis yang paling umum dan jarang
bermetastasis, timbul dari lapisan sel basal epidermis atau folikel rambut,
kekambuhan umum terjadi, biasanya muncul di area tubuh yang sering
terpajan sinar matahari, seperti kepala dan leher, dan tampak sebagai
nodul kecil. Karsinoma sel skuamosa, jenis yang paling umum kedua,
biasanya terjadi pada kulit yang rusak akibat terbakar sinar matahari,
tampak sebagai tumor kulit yang kasar dan me-ngalami penebalan,
asimtomatik dan mungkin terjadi perdarahan, ditemukan pada area kepala,
leher, dan lengan bagian dorsal.
Melanoma merupakan jenis kanker kulit yang paling serius atau
parah berasal dari melanosit. Kejadian melanoma telah secara bertahap
meningkat dalam beberapa dekade terakhir, dengan laki-laki yang lebih
tua yang menjadi proporsional peningkatan (Tucker, 2009 dalam Miller,
2011). Melanoma adalah kanker kulit yang paling mungkin untuk
bermetastasis dan menyebabkan kematian, dengan hampir tiga perempat

dari seluruh kematian melanoma terjadi pada orang berusia 55 tahun dan
lebih tua (Geller, 2009 dalam Miller, 2011). Deteksi dini dan pengobatan
penting untuk meningkatkan hasil dari semua jenis kanker kulit, dan
perawat memiliki peran penting dalam menilai dan mengajarkan lansia
tentang kanker kulit. Usia lanjut meningkatkan risiko untuk semua jenis
penyakit kulit termasuk kanker kulit. Paparan sinar UV, merupakan faktor
risiko yang sangat berhubungan dengan kanker kulit. Penelitian
menunjukkan bahwa paparan sinar matahari yang kronis, merupakan
jenis risiko untuk melanoma dari paparan berlebihan intermiten (Berwick
& Erdei, 2009 dalam Miller, 2011).
2.5 Pengkajian Kulit Lansia pada Masalah Ulkus Dekubitus
Pengkajian pada integument pada lansia dapat diawali dengan
pengkajian anamnesis. Pengkajian ini dilakukan untuk melihat sejauh pada
lansia memahami tentang persepsi masalah integument yang dialaminya,
faktor-faktor yang berkontribusi pada gangguan integument, dan kebiasaan
perawatan diri yang biasa dilakukan oleh lansia. Beberapa informasi penting
untuk diketahui perawat dalam anamnesis ini, diantaranya ialah pemenuhan
cairan, status nutrisi, serta mobilitas dan keamanan lansia (Miller, 2012).
Pengkajian selanjutnya ialah observasi kulit, rambut, dan kuku. Saat
mengobservasi kulit lansia, perawat perlu memerhatikan warna kulit, turgor
kulit, kelembapan kulit, kondisi kulit secara menyeluruh, dan tanda-tanda
kemungkinan adanya kondisi patologis pada lansia. Pada pengkajian ini,
perawat juga perlu memerhatikan kultural pada klien, misalnya pada lansia
Asia atau Afrika biasa terdapat tanda-tanda kebiruan pada tangan, paha, dan
abdomen yang dapat disalah artikan perawat sebagai memar (Miller, 2012).
Jika saat pengkajian kulit pada lansia terdapat lesi, perawat perlu
mengkaji lesi karakteristik lesi tersebut. Tanda-tanda bahwa lesi pada kulit
lansia membutuhkan pengkajian tambahan ialah jika terdapat adanya
kemerahan, pembengkakan, kehitaman, nyeri, dan berkembang secara
irregular. Selain itu, perlu dikaji juga besarnya lesi, warna, lokasi, bentuknya
macular (datar) atau popular (timbul), di superfisial atau penetrating,

memiliki tepi atau tidak, serta apakah ada tanda-tanda inflamasi. Hal ini
dikarenakan lesi pada lansia memiliki ciri-ciri khusus yang dapat merujuk
pada penyakit tertentu (Miller, 2012)
Salah satu gangguan pada kulit yang sering diderita pada lansia ialah
dekubitus. Pada umumnya, dekubitus banyak diderita pada lansia dengan
riwayat diabetes meilitus. Namun, menurut Zaine et.al (2016), dekubitus
pada lansia banyak diderita oleh lansia laki-laki dengan BMI normal dan
tanpa riwayat diabetes meilitus. Pada penelitian yang dilakukannya pada
tahun 2011 di Foot Wound Clinic, Australia, menemukan bahwa penyebab
dekubitus pada lansia berumur lebih dari 78 tahun tanpa riwayat diabetes
meilitus disebabkan karena riwayat hipertensi dan terjadi pada lansia dengan
status sosioekonomi yang rendah dengan kebersihan diri yang kurang (Zaine
et.al, 2016). Hal ini terindikasi bahwa dekubitus pada lansia ini dikarenakan
perawatan yang kurang, sehingga diperlukan pengkajian untuk deteksi dini
dekubitus pada lansia.

Pengkajian yang dibutuhkan agar lansia deteksi dini dekubitus dapat


menggunakan Braden Scale. Sekala ini memiliki 6 subskala yang dapat
mengkaji tingkat sensori persepsi, kelembapan kulit, tingkat kegiatan fisik,
mobilitas, nutrisi, pergesekan kulit, pencukuran. Pada braden Scale, tiap
penilaian subskala memiliki nilai setiap katagorinya yang nantinya akan
dijumlahkan. Jika hasil penjumlahan pengkajian bernilai 19-23 artinya tidak
ada resiko untuk terjadinya dekubitus, nilai 15-18 adanya resiko kecil
terjadinya dekubitus, nilai 13-14 artinya ada resiko sedang terjadinya
dekubitus, nilai 10-12 artinya ada resiko tinggi terjadinya dekubitus, dan
nilai dibawah 9 artinya lansia sangat beresiko terjadinya dekubitus (Reichel,
2009)
Jika lansia telah memiliki dekubitus, maka perawat harus mengkaji
tingkat dekubitus pada lansia. Menurut Reichel, (2009), dekubitus memiliki
5 tingkt keparahan. Tingkat 1 memiliki ciri-ciri permukaan kulit tampak
kemerahan dengan area diatas tulang, pigmen kehitaman pada kulit
mungkin tidak terlihat, warnanya berbeda dengan area sekitarnya. Tingkat 2
dekubitus
memiliki
ciri-ciri luka
mengenai
lapisan
dermis
partial
dengan
terlihat
adanya luka
terbuka
dengan
warna merah
muda tanpa adanya tanda terkelupas dan terlihat adanya rupturnya
gelembung kemerahan. Tingkat 3 dekubitus memiliki ciri-ciri jaringan yang
hilang lebih dalam, jaringan lemak dapat terlihat namun tulang, tendon,

ataupun otot belum terlihat dengan luka terlihat seperti terowongan. Tingkat
4 dekubitus memiliki ciri-ciri luka pada jaringan lebih dalam dengan
terlihatnya tulang, tendon, atau otot dan luka tanpa memburuk. Pada tingkat
terakhir atau unstageable, dekubitus terlihat dengan luka berwarna tan,
coklat, atau hitam dengan jaringan mati berwarna kuning,tan,abu-abu,hijau,
atau coklat (Riechel, 2009).

DAFTAR PUSTAKA
Berman, A., Snyder, S.J., Kozier, B., dan Erb, G. (2008). Kozier & Erbs
fundamentals of nursing: concepts, process, and practice 8th ed. New
Jersey: PearsonEducation Inc.
Miller, C.A. (2012). Nursing for wellness in older adults: theory and practice (6th
Ed.)Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkin.
Price, A. S., Wilson M. L,. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC
Rao, S., Banerjee, S., Ghosh, S. K., Gangopadhyay, D. N., Jana, S., & Mridha, K.
(2010). Nail Changes and Nail Disorders in The Elderly. Indian J
Dermatol.

Reichel, W.(2009).Reichels Care of The Elderly : Clinical Aspects of Aging (6th


Ed.).New York: Cambridge University Press
Stanley M., Beare Patricia G,.(2006). Buku ajar keperawatan Gerontik.Edisi 2.
Terjemahan: Eny Meiliya & Monica Ester. Jakarta: EGC
Tabloski, P. A. (2014). Gerontological nursing, 3rd ed. New Jersey: Pearson.
Williams & Wilikns.
Yoshimura, Y., Uchida K., Jeong S., Yamaga M.(2016).Effects of Nutritional
Supplements on Muscle Mass and Activities of Daily Living in Elderly
Rehabilitation Patients with Decreased Muscle Mass : A Randomized
Controlled Trial.Journal Nutr Health Aging. 869-1106
Zaine, N.H., Kerry H., Mauro V., John P.F., Lindy B., & Joshua B.(2016).
Characteristics of non-diabetic foot ulcers in Western Sydney, Australia.
Journal of Foot and Ankle Research. DOI 10.1186/s13047-016-0137-6,
9:6

Anda mungkin juga menyukai