Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis paru (TB Paru) telah dikenal hampir di seluruh dunia, sebagai penyakit
kronis yang dapat menurunkan daya tahan fisik penderitanya secara serius dan merupakan
pembunuh nomor satu di antara penyakit menular. Tuberkulosis Paru sudah lama ada dan
menyebar di dunia. Indonesia merupakan negara ketiga terbesar di dunia setelah India dan
Cina. Diketahui pula bahwa di Indonesia setiap tahunnya bertambah dengan jumlah
seperempat juta kasus baru TB Paru dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya
akibat penyakit ini.
Infeksi pada TB paru menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan paru yang bersifat
permanen. Selain proses destruksi, terjadi pula secara simultan proses restorasi atau
penyembuhan jaringan paru sehingga terjadi perubahan struktural yang bersifat menetap
secara bervariasi yang menyebabkan berbagai macam kelainan faal paru (Didik Supardi,
2006).
Tuberculosis adalah penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru-paru yang
disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis (Somantri, 2008). Tuberkulosis Paru
menyerang tidak memandang usia produktif, kelompok ekonomi rendah, dan berpendidikan
rendah. Namun TB Paru lebih banyak ditemukan di daerah miskin. Hal tersebut dikarenakan
faktor lingkungan yang kurang mendukung menjadi penyebab TB Paru. Beberapa faktor
yang erat hubungannya dengan terjadinya infeksi basil tuberkulosis yaitu antara lain jumlah
basil yang cukup banyak dan terus menerus (memapar) calon penderita, adanya sumber
penularan, mikrobakteri tuberculosis keganasan basil serta daya tahan tubuh dimana daya
tahan tubuh ini erat kaitannya dengan faktor lingkungan misalnya perumahan dan pekerjaan,
faktor imunologis, dan juga keadaan penyakit yang memudahkan infeksi seperti diabetes
melitus.
Dalam rangka mengurangi penyebaran dan masalah TB Paru, diperlukan tindakan
atau penanganan awal yaitu penanganan dalam lingkup keluarga. Mengingat keluarga
merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa
orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling

ketergantungan (DEPKES RI, 1998), maka penyakit TB Paru ini akan mudah atau rentan
pada keluarga yang salah satu anggota keluarganya terkena TB Paru.
Tuberkulosis Paru yang tidak mendapatkan penanganan secara baik atau tidak
mengkonsumsi obat secara teratur maka akan mengakibatkan komplikasi perdarahan pada
saluran pernapasan bagian bawah, dan dapat menyebabkan kematian, dapat pula terjadi
penyebaran infeksi, ke organ lain misalnya otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya.
Untuk menanggulangi masalah peningkatan penderita tuberklosis paru diIndonesia
telah dilakukan berbagai macam usaha antara lain strategi DOTS yang dimulai pada tahun
2001 dengan melakukan pelatihan tenaga pelaksana secara bertahap dan pembentukan forum
kemitraan TBC nasioanal, adanya tim manajemen di tingkat propinsi. Akurasi penegakan
diagnosa menjadi lebih baik dengan diadakannya pelatihan untuk petugas laboraturium,
pengadaan mikroskop dan reagen dengan kualitas yang lebih baik, serta pengelolaan obat
anti tuberculosis (fixed Dose Combination). Selain itu untuk tim kesehatan seperti perawat
juga harus lebih peka dan peduli dalam masalah peningkatan penderita TB Paru dengan
melaksanakan berbagai macam usaha seperti pendidikan atau pemberian penyuluhan tentang
TB Paru dan cara pencegahannya. Serta pengetahuan pada keluarga yang anggota
keluarganya menderita TB Paru agar tidak sampai menularkan pada anggota keluarga yang
lain.
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Dapat menjelaskan konsep dasar asuhan keperawatan pada klien dengan TB Paru.
1.2.2

Tujuan Khusus
1. Menjelaskan definisi dari Tuberkulosis Paru.
2. Menjelaskan etologi dari Tuberkulosis Paru.
3. Menjelaskan klasifikasi dari Tuberkulosis Paru.
4. Menjelaskan patofisiologi dari Tuberkulosis Paru.
5. Menjelaskan manifestasi klinis dari Tuberkulosis Paru.
6. Menjelaskan penetalaksanaan medis dari Tuberkulosis Paru.
7. Menjelaskan pengkajian pada asuhan keperawatan klien Tuberkulosis Paru.
8. Menjelaskan diagnosa keperawatan pada asuhan keperawatan klien Tuberkulosis
Paru.
9. Menjelaskan rencana tindakan/intervensi pada asuhan keperawatan Tuberkulosis
Paru.

10. Menjelaskan kriteria hasil pada setiap diagnosa keperawatan pada asuhan
keperawatan klien Tuberkulosis Paru.
1.3 Manfaat
1.3.1 Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat lebih memahami hal-hal yang berkaitan dengan diagnose
1.3.2

tuberkulosis paru serta asuhan keperawatan pada klien dengan tuberculosis paru.
Bagi Perawat
Perawat atau tenaga kesehatan memiliki pengetahuan yang lebih luas tentang
tuberkulosis paru sehingga dapat melakukan asuhan keperawatan secara profesional.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tuberculosis adalah penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru-paru yang
disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis (Somantri, 2008).

Tuberculosis adalah suatu penyakit granulomatosa kronis yang menular yang


disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini biasanya menyerang paru, tetapi
mungkin menyerang semua organ, atau jaringan tubuh. (Robbins, 2007)
Tuberculosis adalah penyakit yang disebabkan Mycobacterium tuberculosis yang
dikendalikan oleh respons imunitas diperantarai sel (Sylvia & Marry, 2006)
2.2 Etiologi
Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium Tuberkulosis. Kuman adalah kuman
berbentuk batang langsing yang tahan asam, dan aerobik yang merupakan organisme
patogen maupun saprofit. Dengan ukuran panjang 1-4 /um dan tebal 0,3-0,6/um.
Sebagian besar komponen M. Tuberkulosis adalah berupa lemak atau lipid sehingga
kuman mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor fisik.
Mikroorganisme ini bersifat aerob yakni menyukai daerah yang banyak oksigen. Oleh sebab
itu, M. Tuberkulosis senang tinggal di daerah apikal paru-paru yang kandungan oksigennya
sangat tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang sangat kondusif untuk kuman penyebab
penyakit tuberculosis (Somantri, 2008).

2.3 Web of Caution

M. Tuberculosae

Masuk jalan
napas
Alveolus

peningkatan suhu
tubuh

Inflamasi

Nekrosis

Imun yang
adekuat

Tidak terjadi
kalsifikasi dan
fibrosis

Terjadi fibrosis

Ekpansi paru
menurun

Sukses
mengontrol
infeksi
Lesi

Imun yang tidak


adekuat

Sesak

Basil

TB Sekunder

Resiko infeksi
sekunder

Alveolus tidak
kembali saat
ekpirasi
Gangguan
difusi

Kurang informasi,
proses penyakit &
pengobatan

sputum
Reflek
batuk

Gg. Pertukan
gas
Sumber
stress

eksudasi

Nafsu makan

bersihan jalan
napas tidak
efektif

Nutrisi kurang
dari kebutuhan
tubuh

Kurang
pengetahuan

2.4 Klasifikasi Tuberkulosis


Klasifikasi TB paru dibuat berdasarkan gejala klinis, bakteriologik, radiologik dan
riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifiksi ini penting karena merupakan salah satu faktor
determinan untuk menentukan strategi terapi. Klasifikasi TB paru di bagi sebagai berikut :
1. TB Paru BTA positif dengan kriteria :
a. Dengan atau tanpa gejala klinik

b. BTA positif : mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1 kali disokong


biakan positif 1
c. Gambaran radiologik sesuai dengan TB paru
2. TB Paru BTA negatif dengan kriteria :
a. Gejala klinik dan gambaran radiologik sesuai dengan TB Paru aktif
b. BTA negatif, biakan negatif tetapi radiologik positif
3. Bekas TB Paru dengan kriteria :
a. Bakteriologik (mikroskopik dan biakan) negatif
b. Gejala klinik tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru
c. Radiologik menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan serial foto yang
tidak berubah
d. Ada riwayat pengobatan OAT yang adekuat (mendukung)
2.5 Manifestasi klinis
Tuberkulosis atau yang disebut the great imitator yaitu suatu penyakit yang
mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala umum
seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul hanya tampak
sebagai gejala asimtomatik.
Gambaran klinis TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik
dan gejala sistemik ( Djojodibroto, 2009):
1. Gejala respiratorik
a. Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering
dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan bercampur
darah bila sudah ada kerusakan jaringan.
b. Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau
bercak-bercak darah, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak.
Batuk darah terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah
tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah.
c. Sesak napas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada halhal yang menyertai seperi efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-lain.
d. Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul
apabila sistem persarafan di pleura terkena.
2. Gejala sistemik, meliputi:

a. Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam hari
mirip demam ifluenza, hilang timbul dan makin panjang serangannya. Sedangkan
masa bebas serangan makin pendek.
b. Gejala sistemik lain
Keringat malam, aoreksia, penurunan berat badan serta malaise. Timbulnya gejala
biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan tetapi penampilan akut dengan
batuk, panas, sesak napas walaupun jarang dapat juga timbul menyertai gejala
pneumonia.
Gejala klinis Haemoptoe
Kita harus memastikan bahwa perdarahan dari nasofaring dengan cara membedakan ciriciri sebagai berikut :
1. Batuk darah
Darah dibatukkan dengan rasa panas di tenggorokan
Darah berbuih bercampur udara
Darah segar berwarna merah muda
Darah bersifat alkalis
Anemia kadang-kadang terjadi
Benzidine test negatif
2. Muntah darah
Darah dimuntahkan dengan rasa mual
Darah berampur sisa makanan
Darah berwarna hitam karena bercampur asam lambung
Darah bersifat asam
Anemia sering terjadi
Benzidin test positif
3. Epistaksis
Darah menetes dari hidung
Batuk pelan kadang keluar
Darah berwrna merah segar
Darah bersifat alkalis
Anemia jarang terjadi
2.6 Pemeriksaan Diagnostik
a. Sputum kultur: untuk memastikan apakah keberadaan M. Tuberculosis pada stadium
aktif.
b. Ziehl neelsen (Acid-fast Staind applied to smear of body fluid): positif untuk BTA

c. Skin tes (PPD, mantoux) : reaksi positif (area indurasi 10mm atau lebih, timbul 48-72
jam setelah injeksi anti gen intradermal) mengidentifikasi lama dan adanya antibody,
tetapi tidak mengidikasikan penyakit yang sedang aktif.
d. Chest X-ray, dapat memperlihatkan infiltrasi pada lesi awal di bagian atas paru-paru.
e. Histology/ kultur jaringan (kumbah lambung, urine, dan CSF, serta biopsy kulit): positif
untuk M. Tuberculosis
f. Needle biopsy of lung tissue: positif untuk granulo TB, adanya sel-sel besar yang
mengindikasikan nekrosis.
g. Elektrolit: mungkin abnormal tergantung dari lokasi dan beratnya infeksi; misalnya
hiponatremi mengakibatkan retensi air, dapat ditemukan pada TB paru kronis lanjut.
h. BGA mungkin abnormal, tergantung lokasi, berat, dan sisa kerusakan paru-paru.
i. Bronkografi: merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat kerusakan bronkus atau
kerusakan paru-paru karena TB.
j. Darah: lekositosis, LED meningkat, VC menurun, dead space meningkat, menurunnya
saturasi oksigen yang merupakan suatu gejala sekunder dari fibrosis/ infiltrasi parenkim
paru-paru dan penyakit pleura.
2.6 Komplikasi
Pembesaran kelenjar sevikalis yang superfisial
Pleuritis tuberkulosa
Efusi pleura
Tuberkulosa milier
Meningitis tuberkulosa
Hemoptisis berat
Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial
Bronkietasis
Pneumothorak
Insifusiensi kardiopulmonal
2.7 Prognosis
Prognosis umumnya baik jika infeksi terbatas di paru, kecuali jika disebabkan oleh strain
resisten obat atau terjadi pada pasien berusia lanjut, dengan debilitas, atau mengalami
gangguan kekebalan, yang berisiko tinggi menderita tuberkulosis milier.
2.8 Penatalaksanaan
a. Penyuluhan
b. Pencegahan

c. Pemberian obat-obatan:
OAT
Terdiri atas:
-

Isoniazid (H) dikenal dengan INH, dosis harian dianjurkan 5 mg/kgBB.


Rifampisin (R), dosis 10 mg/kgBB
Pirazinamid (Z), dosis harian 25 mg/kgBB
Etambutol (E), dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kgBB
Streptomisin (S), dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kgBB melalui injeksi

intramuskuler.
Bronchodilator
Ekspectoran
OBH
Vitamin
d. Fisioterapi dan rehabilitasi
e. Konsultasi secara teratur

BAB 3
TINJAUAN TEORI

3.1 PENGKAJIAN
A.

PENGUMPULAN DATA
1. Identitas
Identitas klien meliputi : nama, jenis kelamin, umur (TBC dapat menyerang semua
usia), pekerjaan, pendidikan, status perkawinan, agama, kebangsaan, suku, alamat,
tipe rumah (permanen/ tidak), tanggal dan jam masuk RS, No. Reg, ruangan, serta
identitas yang bertanggung jawab.
2. Keluhan Utama
Biasanya klien TB Paru mengeluh sesak nafas, batuk-batuk yang terasa semakin
berat dimalam hari, berat badan menurun.
3. Riwayat Kesehatan
a.

Riwayat kesehatan sekarang.


Pada umumnya klien TB Paru sering mengalami panas lebih dari 2 minggu sering
terjadi bentuk berulang-ulang, anorexia, lemah, berkeringat banyak pada malam
hari dan kadang disertai dengan hemaptoe.

b.

Riwayat kesehatan lalu.


Keadaan atau penyakit yang pernah diderita oleh penderita yang mungkin
berhubungan dengan TBC antara lain ISPA, Efusi pleura, dan TB paru yang
kembal aktif.

c.

Riwayat kesehtan keluarga.


klien keluarganya tidak mempunyai penyakit menular atau mempunyai penyakit
keturunan.

d.

Riwayat psikososial.

Riwayat psikososial sangat berpengaruh dalam psikologis klien dimana status


ekonomi menengah ke bawah serta sanitasi yang kurang dengan padatnya
penduduk mengakibatkan klien merasa diasingkan dengan penyakitnya yang
dianggap menular.
4. Pemeriksaan Fisik
Berdasarkan sistem tubuh:
1. B1 (Breathing)
Pada sistem pernafasan didapatkan pemeriksaan fisik:
Inspeksi : adanya tanda-tanda retraksi dada, diafragma, pergerakan nafas
yang tertinggal, suara nafas melemah, adanya penggunaan otot bantu nafas,
takipnea.
Palpasi : fremitus vokal meningkat
Perkusi : redup
Auskultasi : suara nafas bronkhial dengan atau tanpa ronchi basah dan kasar
2. B2 (Blood)
Takikardi, cyanosis.
3. B3 (Brain)
Kesadaran Composmentis dengan GCS 15.
4. B4 (Blader)
Biasanya klien jarang mengalami gangguan pada sistem ini kecuali ada
komplikasi lebih lanjut.
5. B5 (Bowel)
Adanya selera makan menurun, anoreksia, BB turun.
6. B6 (Bone)
Adanya keterbatasan aktivitas akibat adanya kelemahan, kurang tidur dan
keadaan sehari-hari yang kurang menyenangkan. Pada kulit terjadi cyanosis,
dingin dan lembab, turgor kuli menurun.
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan penunjang

LED meningkat.
Leukosit meningkat.
Hb menurun.
Blood gas (PaCo2, PaCo3, PaO2)

b. X-foto

Di dapatkan pembesaran kelenjar para tracheal atau hiler dengan atau

tanpa adanya infiltrat.


Gambaran milier atau bercak kalsifikasi.

c. Pemeriksaan sputum / Bakteriologis

Pemeriksaan sputum BTA digunakan untuk memastikan diagnosis TB


Paru, namun pemeriksaan ini tidak sensitif karena hanya 30-70 % klien

dengan TB yang dapat di diagnoisis berdasarkan pemeriksaan ini.


Pemeriksaan sputum dilakukan dengan cara pengambilan mukus dan
dilakukan setiap pagi 3 hari berturut-turut yaitu sewaktu-pagi-sewaktu
(SPS).

d. Pemeriksaan mantoox test / uji tuberkulis

Sebagai standar dipakai PPO SIU atau OT 0,1 mg.


a). Indurasi 10 mm atau lebih : reaksi positif.
b). Indurasi 5 mm 9 mm : reaksi meragukan.
c). Indurasi 0-5 mm : reaksi negatif.

Tes Tuberkulin dapat negatif pada klien HIV / AIDS, malnutrisi berat, TB
milier, morbili meskipun orang tersebut menderita tuberkulosis.

3.2 ANALISA DATA


a.

b.

Data Subyektif
Klien mengeluh:
batuk kurang lebih 3 minggu.
batuk disertai darah.
sesak nafas dan rasa nyeri dada.
Anoreksia.
Demam meriang.
Data Obyektif
klien tampak panas yang naik turun.
Berat badan menurun, mual, muntah.
Batuk, ada darah, batuk ada sputum.
klien biasanya tampak lemah dan lesu.

TTV : Suhu terjadi peningkatan.


RR biasa terjadi peningkatan.
Tidak ada peningkatan TD.
Nadi : pada klien TBC bisa terjadi takikardi.

3.3 DIAGNOSA KEPERAWATAN

1.

Inefektifitas bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekret yang


kental

2.

Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan ekspansi


paru.

3.

Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


peningkatan produksi sputum atau batuk, dyspnea atau anoreksia.

4.

Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya


pertahanan primer atau sistem imun, penurunan gerakan silia, stasis dari sekresi.

5.

Kurang pengetahuan tentang kondisi, terapi dan pencegahan


berhubungan dengan informasi kurang atau tidak akurat.

3.4 INTERVENSI
Diagnosa 1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekret yang
kental
Tujuan : Bersihan jalan nafas kembali efektif.
Kriteria Hasil :
1). Sesak nafas pasien berkurang dalam waktu 1 x 24 jam.
2). Batuk berkurang dalam waktu 2 x 24 jam.
3). Mampu melakukan batuk efektif
4). Suara nafas vesikuler
5). RR dalam batas normal (16-20 x/menit)
Rencana Tindakan :
1).

Jelaskan kepada klien mengapa terdapat penumpukan sekret di saluran pernafasan dan
tentang kegunaan batuk yang efektif.
Rasional : pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan
klien terhadap rencana teraupetik.

2).

Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk efektif.


Rasional : batuk yang tidak terkontrol adalah menyebabkan kelelahan dan penurunan
selera makan.

3).

Ajarkan teknik nafas dalam dan perlahan saat duduk dan dengan posisi setegak
mungkin.
Rasional : memungkinkan ekspansi paru secara maksimal.

4).

Lakukan pernafasan diafragma.


Rasional : pernafasan diafragma menurunkan frekuensi nafas dan meningkatkan
ventilasi alveolar.

5).

Tahan nafas selama 3-5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan sebanyak
mungkin melalui mulut.
Lakukan nafas kedua, tahan dan batukan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek
dan kuat.
Rasional

: meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah pengeluaran


sekret.

6).

Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.


Rasional

7).

: pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien

Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : memperthankan hidrasi


yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 samapi 1500 cc / hari bila tidak
kontraindikasi.
Rasional

: sekresi kental sulit untuk encerkan dan dapat menyebabkan sumbatan


mukus, yang mengarah pada atelektasis.

8).

Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Dengan dokter dalam pemberian expectoran
dan pemberian antibiotika.
Konsul photo toraks.
Rasional : expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan mengevaluasi
perbaikan kondisi klien.

Diagnosa 2 : Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan ekspansi


paru.
Tujuan : pertukaran gas efektif Blood gas (pH, pCO2, pO2)
Kriteria Hasil :
1).

BGA dalam batas normal (pH : 7.35- 7.45, pCO2 : 35-45, pO2 : 80100)

2).

Memperlihatkan frekuensi pernafasan yang efektif.

3).

Tidak ada gejala distress nafas

Rencana Tindakan :
1) Kaji dyspnea, tachypnea, bunyi pernafasan abnormal, peningkatan upaya respirasi,
keterbatasan ekspansi dada dan kelemahan.
Rasional : Tubercolusis paru dapat menyebaban meluasnya jangkauan dalam paru-paru
yang berasal dari bronchopneumonia yang meluas menjadi inflamasi,
nekrosis, pleural effusion dan meluasnya fibrosis dengan gejala-gejala
respirasi distress.
2) Evaluasi perubahan tingkat kesadaran, catat tanda-tanda sianosis dan Perubahan warna
kulit, membran mukosa dan warna kuku.
Rasional : Akumulasi secret dapat menganggu oksigenasi di organ vital dan Jaringan.
3) Demonstrasikan / anjurkan untuk mengeluarkan nafas dengan bibir disiulkan, terutama
pada pasien dengan fibrosis atau kerusakan parenkim.
Rasional : Membantu pola nafas yang efektif
4) Anjurkan untuk tirah baring, batasi aktivitas dan bantu aktivitas klien Sesuai kebutuhan.
Rasional : Mengurangi konsumsi oksigen pada periode respirasi.
5) Kolaborasi - Monitor pemeriksaan BGA dan oxymeter
Rasional : menurunnya saturasi oksigen (pO2) atau meningkatnya pCO2, menunjukkan
perlunya penanganan yang lebih adekuat atau perubahan terapi.
6) Berikan oksigen tambahan yang sesuai
Rasional : Alat dalam memperbaiki hipoksemia yang dapat terjadi terhadap penurunan
ventilasi/menurunnya permukaan alveolar.

Diagnosa 3 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


kelemahan, sering batuk/produksi secret, dispnea, anoreksia dan
ketidakcukupan sumber keuangan.
Tujuan : kebutuhan nutrisi adekuat.
Kriteria Hasil :
1).

Menunjukkan berat badan meningkat dan bebas dari malnutrisi,

2).

Melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan mempertahankan berat


yang tepat.

Rencana Tindakan :
1).

Diskusikan penyebab anoreksia, dispnea dan mual.


Rasional: Dengan membantu kx memahami kondisi dapat menurunkan ansietas dan
dapat membantu memperbaiki kepatuhan teraupeutik
2) Berikan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernafasan
Rasional: Menurunkan rasa tidak enak karena sisa sputum atau obat untuk pengobatan
respirasi yang merangsang pusat muntah.
3) Anjurkan dan berikan periode istirahat sering
Rasional: Menghemat energi khususnya bila kebutuhan metabolik meningkat saat
demam.

2).

Pastikan pola diet klien, yang disukai dan tidak disukai


Rasional: membantu identifikasi kebutuhan, pertimbangan keinginan individu dapat
memperbaiki masukan diet.

3).

Observasi anoreksia, mual, muntah dan catat kemungkinan hubungan dengan obat.
Rasional: Dapat mempengaruhi diet dan mengidentifikasi pemecahan masalah untuk
meningkatkan pemasukan nutrisi.

4).

Anjurkan klien makan makanan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan
karbohidrat (TKTP).
Rasional: Memaksimalkan masukan nutrisi dan menurunkan iritasi daripada lambung.

5).

Jelaskan kebutuhan peningkatan masukan makanan tinggi elemen berikut :


a.

Vitamin B12 (telur, daging ayam, kerang).

b.

Asam folat (sayur berdaun hijau, kacang-kacangan, daging).

c.

Thiamiru (kacang-kacang, buncis, oranges).

d.

Zat besi (jeroan, buah yang dikeringkan, sayur hijau, kacang segar).

Rasional: masukan vitamin harus ditingkatkan untuk mengkompensasi penurunan


metabolisme dan penyimpanan vitamin karena kerusakan jaringan hepar.
6) Kolaboratif - kosultasikan ke ahli diet untuk menentukan komposisi diet.
Rasional: Memberikan bantuan dalam perencanaan diet dengan nutrisi adekuat untuk
kebutuhan metabolic dan diet.
7) Konsul untuk pemberian terapi 1-2 jam sebelum / sesudah makan.

Rasional: Dapat memebantu menurunkan insiden mual dan muntah sehubungan


dengan obat atau efek pengobatan pada perut yang penuh.
8) Konsul untuk pemeriksaan laboratorium seperti BUN, protein serum dan albumin.
Rasional: Nilai rendah menunjukkan malnutrisi dan menunjukkan kebutuhan
intervensi atau perubahan program terapi
9) Konsul untuk pemberian antipiretik.
Rasional: Demam meningkatkan kebutuhan metabolic dan juga konsumsi kalori.
Diagnosa 4 : Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tak
adekuat.
Tujuan : Penyebaran infeksi tidak terjadi selama dalam perawatan
Kriteria hasil :
1. Pasien dapat memperlihatkan perilaku sehat (menutup mulut ketika batuk atau bersin)
2. Tidak muncul tanda-tanda infeksi lanjutan
3. Tidak ada anggota keluarga/orang terdekat yang tertular penyakit seperti penderita.
Rencana tindakan :
1) Kaji patologi penyakit (fase aktif/inaktif) dan potensial penyebaran infeksi melalui udara
selama klien batuk, bersin, meludah, berbicara, tertawa, dll.
Rasional: Untuk mengetahui kondisi nyata dari masalah pasien fase inaktif tidak berarti
tubuh pasien sudah terbebas dari kuman tubercolusis.
2) Mengidentifikasi resiko anggota keluarga untuk tertular dengan penyakit yang sama
dengan pasien.
Rasional : Mengurangi resiko anggota keluarga untuk tertular dengan penyakit yang
sama dengan pasien.
3) Menganjurkan pasienklien untuk membuang sputum dengan wadah tertutup yang berisi
clorin, mereview pentingnya mengontrol infeksi, misalnya dengan menggunakan masker.
Rasional : Penyimpanan sputum pada wadah yang terdesinfeksi dan penggunaan masker
dapat meminimalkan penyebaran infeksi melalui droplet.
4) Tekankan pentingnya tidak menghentikan terapi obat.

Rasional

Periode singkat terakhir 2-3 hari setelah terapi awal tetapi pada adanya
penyakit luas-sedang, resiko penyebaran infeksi dapat berlanjut sampai 3

bulan.
5) Anjurkan pentingnya mengikuti kultur ulang secara periodic terhadap sputum untuk
lamanya terapi.
Rasional: Untuk pengawasan efek dan keefektifan obat dan respons pasien terhadap
terapi.
6) Kolaborasi - Konsultasi dengan dokter untuk pemberian OAT
Rasional: Untuk mempercepat proses kesembuhan pasien
Diagnosa 5: Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, terapi dan pencegahan
berhubungan dengan informasi kurang atau tidak akurat.
Tujuan

: Pasien mendapatkan informasi yang akurat tentang kondisi, terapi dan dapat
mencegah penularan kepada orang lain.

Kriteria hasil :
1. Mampu menyatakan pemahaman tentang proses inflamasi, kebutuhan pengobatan dan
kemungkinan komplikasi.
2. Mampu mengidentifikasi/melakukan pola hidup yang perlu atau perubahan perilaku
untuk mencegah terulangnya/terjadinya komplikasi.
Rencana tindakan :
1) Kaji kemampuan klien untuk belajar mengetahui masalah, kelemahan, lingkungan, media
yang terbaik bagi klien
Rasional: Belajar tergantung pada emosi dan kesiapan fisik dan tingkatkan pada tahapan
individu
2) Identifikasi gejala yang harus dilaporkan ke perawat. Contoh: hemoptisis, nyeri dada,
demam, kesulitan bernafas.
Rasional: Dapat menunjukkan kemajuan dalam pengetahuan pengaktifan penyakit atau
efek obat yang memerlukan evaluasi lanjut,
3) Jelaskan dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan dan alasan pengobatan
lama, kaji potensial interaksi dengan obat lain.
Rasional: Meningkatkan kerja sama dalam program pengobatan dan mencegah
penghentian obat sesuai dengan kondisi klien
4) Kaji efek samping pengobatan dan pemecahan masalah

Rasional: Mencegah dan menurunkan ketidaknyamanan sehubungan dengan terapi dan


meningkatkan kerjasama dalam program
5) Berikan instruksi dan informasi tertulis khusus pada klien ntuk rujukan. Contohnya
jadwal obat
Rasional: Informasi tertulis menurunkan hambatan klien untuk mengingat sejumlah besar
informasi. Pengulangan dapat menguatkan ingatan klien.

BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Tuberculosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis
yang menyerang parenkim paru (Somantri, 2008). Gejala yang tampak antara lain
batuk,batuk darah, sesak napas, demam, nyeri dada, muntah darah dan kadang epitaksis.
Diagnosa keperawatan yang bisa diambil untuk pasien TB Paru ini yaitu Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekret yang Purulen, kerusakan pertukaran gas
berhubungan dengan kerusakan membran alveolar-kapiler, perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan produksi sputum atau batuk, dyspnea

atau anoreksia, resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan primer. Serta kurang pengetahuan tentang kondisi, terapi dan pencegahan
berhubungan dengan informasi kurang atau tidak akurat.
4.2 Saran
1. Bagi pasien
Pasien mengerti tentang penyakit yang dideritanya dan pasien bersedia mematuhi
prosedur pengobatan serta kontrol rutin sesuai advis dokter. Pasien juga diharapkan
mengerti dan mengetahui gejala yang muncul pada tuberkulosis paru.
2. Bagi perawat
Dalam melakukan asuhan keperawatan perlu adanya pendekatan untuk menciptakan
hubungan saling percaya agar pasien itu mau mengungkapkan masalahnya sehingga
perawat dapat menjalankan asuhan keperawatan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Price, Sylvia A dan Mary P. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit . Edisi
6. Jakarta. Buku Kedokteran ECG
Wibisono, M. Yusuf, dkk. 2010. Buku Ajar Penyakit Paru. Surabaya. Departemen Ilmu
Penyakit Paru FK Unair RSUD Dr. Soetomo
Somantri, Irman. 2008. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta. Salemba Medika
Djojodibroto, Darmanto. 2009. Respirologi. Jakarta. Buku Kedokteran EGC
Aru, W. Sudoyo, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. InternaPublising
Kumar, Vinay. dkk. 2007. Buku Ajar Patologi, Edisi 7. Jakarta. EGC

MAKALAH
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TUBERKULOSIS PARU

Disusun Oleh:

DEWI AGUSTINA A. N.

131311123014

TIA KUMALA DEWI

131311123015

ANIS CANDRA DEWI

131311123016

RINA WAHYUNINGSIH

131311123017

WILDA KHARISMA

131311123019

STEFANI ANGEL K

131311123020

YOSINA MARTHA I

131311123021

MUBAROKAH ISNAENI

131311123059

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2013

Anda mungkin juga menyukai