PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada sebagian kaum wanita, biasanya tujuh sampai sepuluh hari menjelang
menstruasi timbul gejala-gejala yang disebut dengan sindrom premenstruasi
diantara rasa cemas, cepat marah, mudah tersinggung, rasa takut atau gelisah yang
berlebihan, badan lemas, perut kembung, nyeri payudara, susah tidur, nafsu
makan berkurang serta sukar berkonsentrasi. Hal ini merupakan hal yang wajar
terjadi pada wanita saat menjelang menstruasi. Namun, pada sebuah studi yang
dilakukan terhadap siswi SMA didapatkan bahwa sindrom premenstruasi
merupakan keluhan yang dirasakan paling mengganggu dan menyebabkan remaja
perempuan absen dari sekolah. Efek gangguan menstruasi yang dilaporkan antara
lain waktu istirahat yang memanjang dan kemampuan belajar yang menurun
(Sianipar et al, 2010). Selain itu, fakta yang terjadi di SMP Negeri 8 Kupang pada
tahun 2013, berdasarkan hasil wawancara terhadap 29 siswi, didapatkan bahwa
sebanyak 21 orang siswi sering mengalami sindrom premenstruasi atau nyeri
sebelum menstruasi yang seringkali membuat mereka mengalami kram di perut,
malas melakukan aktivitas, dan sering marah-marah dengan orang terdekat (Riny,
2013).
Dari hasil wawancara yang dilakukan pada siswi dan guru di SMP Negeri 8
Kupang, mereka mengatakan bahwa selama ini siswi tidak pernah diberikan
pendidikan kesehatan tentang sindrom premenstruasi sehingga mereka kurang
mendapatkan informasi tentang sindrom premenstruasi. Selain itu, sekolah juga
belum memiliki buku pengetahuan atau artikel tentang perubahan fisiologis pada
remaja putri khususnya sindrom premenstruasi. Pengetahuan yang rendah karena
Sedangkan,
menurut
Notoatmodjo
(2012),
promosi
atau
yang terdiri dari 60-75% mengalami PMS sedang dan berat (Suparman & Ivan,
2011). Dalam penelitian Alen A. Singal (2014) di Bandung didapatkan, 55%
mengalami sindrom premenstruasi gejala sedang dan 45% dengan gejala berat.
Pada penelitian sebelumnya di SMP N 8 Kupang, didapatkan 72,4% siswa
mengalami sindrom premenstruasi (Riny, 2013). Penelitian yang dilakukan di
Surabaya, didapatkan pengetahuan yang kurang sebesar 70,15% (Sondang, 2012).
Dalam penelitian Riny (2013) yang dilakukan di SMP N 8 Kupang didapatkan
sebanyak 41 orang responden (73,2%) memiliki pengetahuan yang kurang tentang
pencegahan sindrom premenstruasi dan sebanyak 46 orang responden (82,1%)
memiliki pengetahuan yang kurang terhadap penanganan sindrom premenstruasi.
Penelitian yang dilakukan di SMP N 4 Ngrayun, Ponorogo didapatkan 52,77%
memiliki perilaku yang negatif dan 47,23% berperilaku positif (Nurhayati, 2012).
Penyebab terjadinya sindrom premenstruasi belum diketahui hingga kini.
Banyak teori yang dikemukakan oleh para ahli, salah satunya adalah peran dari
hormon estrogen dan progesteron (Pribakti, 2010). Selain itu menurut Pudiastuti
(2012), ada 3 faktor penyebab diantaranya faktor hormonal, faktor metabolisme
tubuh, dan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya sindrom
premenstruasi. Seperti kurangnya beraktifitas atau olahraga, nutrisi yang
inadekuat, dan sebagainya. Bila sindrom premenstruasi tidak dicegah atau
ditangani oleh remaja putri di sekolah, maka siswi akan mengalami berbagai tanda
dan gejala seperti nyeri, sukar tidur, gelisah, sakit kepala, gangguan emosional,
perasaan malas beraktivitas, dan sebagainya yang akan mengakibatkan mereka
malas untuk datang ke sekolah dan prestasi belajar yang menurun (Zaitun, 2008).
Kurangnya sumber informasi juga dapat mempengaruhi terjadinya sindrom
premenstruasi. Menurut Notoatmodjo (2012), pendidikan merupakan upaya
persuasif atau pemebelajaran kepada individu atau masyarakat agar individu atau
masyarakat
tersebut
mau
melakukan
tindakan-tindakan
(praktik)
untuk
memelihara (mengatasi masalah-masalah) dan meningkatkan kesehatannya. Halhal tersebut hendaknya harus diperhatikan oleh berbagai pihak, seperti orang tua
atau keluarga, guru, dan diri sendiri sehingga dapat mengurangi insiden atau
kejadian sindrom premenstruasi.
Salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan remaja putri yaitu
dengan memberikan pendidikan kesehatan. Model pembelajaran koperatif tipe
STAD merupakan pendekatan Cooperative Learning yang menekankan pada
aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling
membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang
maksimal (Slavin, 2010). Pembelajaran kooperatif tipe STAD memiliki kelebihan
diantaranya dapat mengembangkan prestasi, rasa percaya diri meningkat,
hubungan interpersonal yang baik dalam kelompok, remaja dapat belajar
mengenai sikap, keterampilan, informasi, perilaku sosial, dan pandanganpandangan, meningkatnya kemampuan memandang masalah dan situasi dari
berbagai perspektif, dan sebagainya (Nurhadi, 2004). Menurut Slavin (2010), pada
model pembelajaran tipe STAD ini, siswi akan dibagi kedalam kelompokkelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang. Penyuluh akan memberikan
pendidikan kesehatan tentang sindrom premenstruasi secara garis besar, kemudian
kelompok akan diberikan tugas untuk mengukur pengetahuan atau pemahaman
kelompok. Dalam diskusi ini setiap anggota akan saling mendukung dan
memotivasi dalam menguasai materi serta menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diberikan, selain itu metode ini juga mengajarkan kepada siswi untuk dapat
meningkatkan aktivitas dan interaksi sosialnya (Maidiyah, 1998). Setelah itu,
Pengetahuan dan
sikap remaja putri
Kejadian sindrom
premenstruasi di SMP
Negeri 8 Kupang tahun
2013 72,4% siswa
mengalami sindrom
premenstruasi.
Pengetahuan yang kurang
di SMP Negeri 8 Kupang
tentang pencegahan tahun
2013 sebanyak 73,2%.
Pengetahuan yang kurang
di SMP Negeri 8 Kupang
tentang penanganan tahun
2013 sebanyak 82,1%.
Penkes Sindrom
premenstruasi belum ada
Pendidikan
kesehatan