Bab Ii Tinjauan Pustaka Seminar Geologi PDF
Bab Ii Tinjauan Pustaka Seminar Geologi PDF
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Geologi Regional
2.1.1. Fisiografi Regional
Menurut Pannekoek (1949) fisiografi Pulau Jawa dapat dibedakan
menjadi tiga zona yang membujur dari barat sampai timur yaitu:
1.
Zona Selatan/ Zona Plato, terdiri dari beberapa plato dengan kemiringan
kearah selatan menuju Samudra Indonesia dan umumnya di bagian utara
dipotong oleh gawir. Di beberapa tempat gawir tersebut hampir tidak
terlihat lagi, untuk kemudian berganti menjadi dataran aluvial.
2. Zona Tengah/Zona Depresi Vulkanik, merupakan daerah depresi yang
disusun oleh endapan vulkanik muda, hal ini disebabkan karena pada
daerah tersebut banyak tumbuh Gunung Api Kuarter.
3. Zona Utara/Zona Lipatan, yang terdiri dari rangkaian pegunungan lipatan
yang diselingi oleh beberapa gunungapi dan sering berbatasan dengan
aluvial. Zona utara ini dibagi lagi menjadi dua sub - zona, yaitu :
Perbukitan Kendeng dan Perbukitan Rembang. Kedua perbukitan ini
dipisahkan oleh depresi yang memanjang dengan arah barat - timur,
yang oleh van Bemmelen (1949) depresi ini disebut sebagai Zona
Randublatung.
Dipihak lain, van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Pulau Jawa
Gambar 2.1. Peta Fisiografi Daerah Jawa Tengah - Jawa Timur (modifikasi dari
van Bemmelen, 1949 dalam Hartono, 2010). Daerah Penelitian ditunjukkan
dengan titik berwarna merah.
2.1.2. Stratigrafi Regional
a. Formasi Wungkal-Gamping
Formasi Wungkal-Gamping Lokasi tipe formasi ini terletak di G.
Wungkal dan G. Gamping, keduanya di Perbukitan Jiwo. Satuan batuan Tersier
tertua di daerah Pegunungan Selatan ini di bagian bawah terdiri dari
perselingan antara batupasir dan batulanau serta lensa batugamping. Pada bagian
atas, satuan batuan ini berupa napal pasiran dan lensa batugamping. Formasi ini
tersebar di Perbukitan Jiwo, antara lain di G. Wungkal, Desa Sekarbolo,
Jiwo Barat, menpunyai ketebalan sekitar 120 meter (Bronto dan Hartono, 2001).
Di bagian bawah, Formasi Wungkal-Gamping mengandung fosil foraminifera
besar, yaitu Assilina sp., Nummulites javanus VERBEEK, Nummulites
bagelensis VERBEEK dan Discocyclina javana VERBEEK. Kelompok fosil
tersebut menunjukkan umur Eosen Tengah bagian bawah sampai tengah.
Sementara itu bagian atas formasi ini mengandung asosiasi fosil foraminifera
kecil yang menunjukkan umur Eosen Akhir. Jadi umur Formasi WungkalGamping ini adalah Eosen Tengah sampai dengan Eosen Akhir
(Sumarso
dan Ismoyowati, 1975). Sebagian dari satuan batuan ini semula merupakan
endapan laut dangkal yang kaya akan fosil. Karena pengaruh gaya berat di
lereng bawah laut, formasi ini kemudian meluncur ke bawah dan diendapkan
kembali di laut dalam sehingga merupakanexotic faunal assemblage (Rahardjo,
1980). Formasi ini tersebar luas di Perbukitan Jiwo dan K. Oyo di utara G. Gede,
menindih secara tidak selaras batuan metamorf serta diterobos oleh Diorit
Pendul dan di atasnya, secara tidak selaras, ditutupi oleh batuan sedimen klastika
gunungapi (volcaniclastic sediments) yang dikelompokkan ke dalam Formasi
Kebo-Butak, Formasi Semilir, Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu.
Bothe
disebut sebagai Kebo beds, tersusun atas perselang selingan antara batupasir,
batulanau dan batulempung yang khas menunjukkan struktur turbidit, dengan
perselingan batupasir konglomeratan yang
lempung
atau lanau, ketebalan dari formasi ini kurang lebih 800 m. urutan batuan yang
membentuk Kebo Butak ini ditafsirkan terbentuk pada lingkungan lower
submarine fan dengan beberapa interupsi pengendapan tipe mid fan (Raharjo,
1983), yang terbentuk pada akhir Oligosen (N2-N3) (Sumarso & Ismoyowati,
van Gorsel et al.,1987).
c.
Formasi Semilir
Secara umum batu ini tersusun atas batupasir dan batulanau yang bersifat
ringan, tufan, kadang kadang dijumpai selaan breksi vulkanik. Fragmen yang
membentuk breksi maupun batupasir pada umumnya berupa fragmen batuapung
yang bersifat asam. Di lapangan pada umumnya menunjukkan perlapisan yang
baik, struktur struktur yang mencerminkan
Langkanya
kandungan
fosil
pada
formasi
menunjukkan
bahwa
tersusun
oleh
bongkah bongkah lava andesit dan juga bom andesit. Di antara massa breksi
tersebut ditemukan sisipan lava yang sebagian besar telah mengalami breksiasi.
Formasi ini ditafsirkan sebagai hasil pengendapan aliran rombakan yang
berasal dari gunung api bawah laut, dalam
lingkungan
laut
dan
proses
gaya
runtuhnya gunung
berat.
ini
Van
dapat
Lokasi yang diamati untuk EGR tahun 2002 berada pada sisi lain sungai Putat,
di mana kontak kedua formasi ini ditunjukkan oleh kontak struktural.
e.
Formasi Sambipitu
Di atas Formasi Nglanggran kembali terdapat formasi batuan yang
tersusun
batulanau ataubatulempung.
ini
vulkanik sedang ke
berubah
batupasir
yang
bersifat
dan foraminifera besar yang berasal dari lingkungan terumbu laut dangkal, yang
terseret masuk ke dalam lingkungan yang lebih dalam akibat pengaruh arus
turbid.
Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Sambipitu pada jalan raya
Yogyakarta-Patuk-Wonosari kilometer 27,8. Secara lateral, penyebaran formasi
ini sejajar di sebelah selatan Formasi Nglanggran, di kaki selatan Subzona
Baturagung, namun menyempit dan kemudian menghilang di sebelah timur.
Ketebalan Formasi Sambipitu ini mencapai 230 meter. Batuan penyusun formasi
ini di bagian bawah terdiri dari batupasir kasar, kemudian ke atas berangsur
menjadi batupasir halus yang berselang-seling dengan serpih, batulanau dan
batulempung. Pada bagian bawah kelompok batuan ini tidak mengandung bahan
karbonat. Namun di bagian atasnya, terutama batupasir, mengandung bahan
karbonat. Formasi Sambipitu mempunyai kedudukan menjemari dan selaras di
atas Formasi Nglanggran. Santoso (1986, dalam Bronto dan Hartono, 2001)
menentukan
sampai awal
menunjukkan adanya
pada
terbentuk
singkapan di
selama
jaman
Miosen.
f.
Formasi Wonosari
Selaras di atas Formasi Sambipitu terdapat Formasi Oyo /Wonosari.
Formasi ini terdiri terutama dari batugamping dan napal. Penyebarannya meluas
hamper setengah bagian selatan dari pegunungan Selatan memanjang ke arah
timur, membelok ke arah utara di sebelah timur perbukitan panggung
mencapai bagian barat dari daerah depresi Wonogiri / Baturetno.
hingga
yang
berupa
dan
dinamakan
keras
rudstone,
sebagai
anggota Wonosari dari Formasi Oyo / Wonosari (BOTHE, 1929) atau Formasi
Wonosari (Rahardjo dkk,
g. Endapan kuarter
Di atas seri batuan sediment Tersier seperti tersebut di depan terdapat
suatu kelompok sediment yang sudah agak mengeras hingga
masih lepas.
Karena kelompok sedimen ini berada di atas bidang erosi, serta proses
pembentukannya masih berlanjut hingga saat ini, maka secara keseluruhan
sedimen ini disebut sebagai Endapan Kuarter. Penyebarannya meluas mulai dari
daerah timur laut Wonosari hingga
Singkapan yang baik dari endapan kuarter ini terdapat di daerah Eromoko
sekitar waduk Gajah Mungkur, namun pada EGR ini tidak dilewati.
Secara stratigrafis endapan Kuarter di daerah Eromoko, Wonogiri
terletak tidak selaras di atas sedimen Tersier yang berupa batu gamping berlapis
dari Formasi Wonosari atau breksi polimik dari formasi Nglanggran. Ketebalan
tersingkap dari endapan Kuarter tersebut berkisar
aktivitas sungai.
Gambar 2.2. Stratigrafi Pegunungan Selatan, Jawa Tengah (Surono, et al. 1992)
dan penarikan umur absolut menurut peneliti terdahulu.
fase
serangkaian
horst (tinggian) dan graben (rendahan). Aktivitas magmatik Kapur Akhir dapat
diikuti menerus dari Timurlaut Sumatra Jawa Kalimantan Tenggara.
Pembentukan cekungan depan busur (fore arc basin) berkembang di daerah
selatan Jawa Barat dan Serayu Selatan di Jawa Tengah.
Mendekati Kapur Akhir Paleosen, fragmen benua yang terpisah dari
Gondwana, mendekati zona subduksi Karangsambung-Meratus. Kehadiran
allochthonous micro-continents di wilayah Asia Tenggara telah dilaporkan oleh
banyak penulis (Metcalfe, 1996). Basement bersifat kontinental yang terletak di
sebelah timur zona subduksi Karangsambung Meratus dan yang mengalasi
Selat Makasar teridentifikasi di Sumur Rubah-1 (Conoco, 1977) berupa granit
pada kedalaman 5056 kaki, sementara didekatnya Sumur Taka Talu-1
menembus basement diorit. Docking (merapatnya) fragmen mikro-kontinen
pada bagian tepi timur Sundaland menyebabkan matinya zona subduksi Karangsambung-Meratus
Pegunungan Meratus
terjadinya
tektonik
regangan
Konfigurasi
cekungan syn-rift
Jawa, dan
struktur
basement
mempengaruhi
arah
Kalimantan Tenggara)
utara Formasi Totogan ada yang langsung kontak secara tidak selaras dengan
batuan dasar Komplek Melange Luk Ulo. Di daerah Nanggulan kontak
ketidakselarasan terdapat diantara Anggota Seputih yang berumur Eosen Akhir
dengan satuan breksi volkanik Formasi Kaligesing yang berumur Oligosen
Tengah. Demikian pula di daerah Bayat, bagian atas Formasi Wungkal-Gamping
yang berumur Eosen Akhir, tandatanda ketidak selarasan ditunjukkan oleh
terdapatnya fragmen- fragmen batuan Eosen di sekuen bagian bawah Formasi
Kebobutak yang berumur Oligosen Akhir. Ketidakselarasan di Nanggulan dan
Bayat merupakan ketidakselarasan menyudut yang diakibatkan oleh deformasi
tektonik
yang
sama
yang
menyebabkan
terdeformasinya
Formasi
Karangsambung.
Akibat deformasi ini di daerah Cekungan Jawa Timur tidak jelas teramati
karena endapan Eosen Formasi Ngimbang disini pada umumnya selaras dengan
endapan Oligosen Formasi Kujung. Deformasi ini kemungkinan juga berkaitan
dengan pergerakan ke utara Benua Australia. Ketika Wharton Ridge masih aktif
Benua Australia bergerak ke utara sangat lambat. Setelah
matinya
pusat
pemekaran Wharton pada 45 jt, India dan Australia berada pada satu lempeng
tunggal dan bersama-sama bergerak ke utara. Pergerakan
Australia ke utara
menjadi lebih cepat dibanding ketika Wharton Ridge masih aktif. Bertambahnya
kecepatan ini meningkatkan laju kecepatan penunjaman Lempeng Samudera
Hindia di Palung Jawa dan mendorong ke arah barat, sepanjang sesar mendatar
yang keberadaannya diperkirakan,
Mikrokontinen
Jawa
yang
Timur
sehingga
mengakibatkan
di
wilayah
endapan
Asia
syn-rift
Eosen. Di Cekungan Jawa Timur fase kompresi ini menginversi graben RMKS
menjadi zona Sesar RMKS. Di selatan Jawa,
menjadi tidak aktif dan mengalami
sepanjang
sesar-
di
bagian
paling
selatan dan
perioda
muka air
klastik di
Pegunungan
Selatan
sangat
terpengaruh
oleh
kegiatan
vulkanisme yang secara jelas dapat diamati sejak Kala Oligosen, yaitu
terbentuknya Formasi Kebo-Butak, hingga Formasi Oyo pada Miosen Tengah.
Gambar 2.6. Sistem Geothermal dan Endapan Bijih Hidrothermal (Corbett &
Leach, 1998)
Gambar 2.7. Sistem Hidrothermal di Back Arc Rift (Corbett & Leach, 1998)
Gambar 2.8. Sistem Hidrothermal di Volcanic Arc (Corbett & Leach, 1998)
Proses ini hanya terlihat sebatas urat dan sekitarnya. Hal ini
dimungkinkan karena batuan yang bersifat tidak permeabel, atau jumlah fluida
yang sedikit.
3. Pengaruh pada keseluruhan batuan secara pervasive
Pengaruh ini terjadi disebabkan oleh banyaknya jalur rekahan atau
batuan memiliki permeabilitas tinggi, sehingga memungkinkan fluida untuk
mengubah seluruh komposisi batuan.
Salah satu contoh proses ubahan mineral primer menjadi mineral
sekunder (alterasi) akibat fluida hidrotermal seperti k-feldspar menjadi kaolin,
dapat dilihat dalam reaksi dibawah ini.
K2O.Al2O3.6SiO2 + CO2 + 2H2O = K2CO3 + 4SiO2 + Al2O3.2SiO2.2H2O
(K-feldspar)
(soluble)
(silika)
(kaolin)
batuan dilalui oleh fluida hidrotermal yang sangat asam (pH <4). Alterasi ini
dicirikan oleh kehadiran mineral dickite, kaolinit, alunit, pirofilit dan kuarsa.
Serisit, dan pirit juga seringkali hadir. Alterasi argilik lanjut merupakan zona
dengan urat logam dasar atau endapan pipa yang berasosiasi dengan stock
batuan plutonik asam. Alterasi ini dapat dijumpai juga di lingkungan mata air
panas dan pada endapan logam dangkal (telescoped). Bijih yang sering dijumpai
yaitu kovelit, digenit, pirit dan enargit.
2.
berubah menajdi serisit. Mineral penciri dalam alterasi ini adalah serisit dan
kuarsa. Pirit juga seringkali hadir sebagai sulfida yang berasosiasi dengan
alterasi ini. Kuarsa sekunder hadir sebagai hasil alterasi, sedangkan kuarsa
primer tidak terubah. Zona alterasi ini berada di bawah zona arglilik.
3.
4.
Alterasi propilitik
Alterasi propilitik merupakan alterasi yang kompleks yang dicirikan
oleh kehadiran klorit, epidot, albit, dan karbonat (kalsit, dolomit dan ankerit).
Serisit, pirit dan magnetit dapat hadir dalam jumlah minor, sedangkan zeolit dan
montmorilonit dapat juga hadir namun kelimpahannya sangat sedikit. Alterasi
ini terbentuk pada pH netral hingga alkalin.
5. Silisifikasi
Alterasi silisifikasi terjadi akibat meningkatnya proporsi kuarsa atau
silika kriptokristalin seperti silika cherthy atau silika opaline dalam batuan yang
teralterasi. Silika tersebut dapat berasal dari larutan hidrotermal seperti pada
cherthy limestone yang dapat berasosiasi dengan endapan timbal-seng-fluoritbarit atau sebagai hasil sampingan dari alterasi pada feldspar atau mineral
lainnya selama proses leaching.
Untuk lebih memudahkan dalam mempelajari tipe alterasi beserta
mineral-mineral pencirinya Mayer dan Hemley (1967) membuat tabel klasifikasi
alterasi hidrotermal jenis aluminosilikat pada batuan vulkanik, sedimen dan
metamorf seperti Tabel 2.1. dibawah ini.
Tabel 2.1. Klasifikasi jenis alterasi jenis aluminosilikat pada batuan vulkanik,
sedimen dan metamorf (Meyer dan Hemley, 1967 dengan modifikasi)
Jenis
alterasi
Mineral-mineral
penciri alterasi
Mineralmineral
aksesoris
Suhu
Argilik
Smektit
atau Sulfida,
perlapisan antara zeolit,
smektit-illit
kuarsa, kalsit
<200 Kondisi pH
C
netral,
+
+
aCa /aH
moderat
Serisitik
Sulfida,
oksida,
kaolinit
(minor)
>220 pH
netral
C
tetapi
kandungan
+
+
aH /aK
meningkat
Propiliti
k
Epidot
Argilik
lanjut
(temper
atur
rendah)
Kaolinit,
alunit
Argilik
lanjut
(temper
atur
tinggi)
dan Kalsedon,
180
kristobalit,
C
kuarsa dan
pirit
Kimia fluida
pH
netral
kandungan
+
+
aCa /zH
relatif tinggi
Kondisi
asam
pH
250
Kondisi
C
- asam
320
C
pH
kelompok mineral awal menjadi mineral kumpulan mineral baru yang relatif
lebih stabil pada kondisi hidrotermal. Kondisi hidrothermal tersebut meliputi
suhu, tekanan, dan komposisi larutan (Evans, 1993).
Proses hidrotermal mengahasilkan endapan hidrotermal. Endapan
hidrotermal adalah endapan yang terbentuk akibat pengendapan larutan
hidrotermal, yaitu cairan panas yang berasal dari kulit bumi yang kemudian
bergerak ke atas dengan membawa komponen mineral-mineral logam.
Evans (1993) membagi endapan hidrotermal berdasar kondisi
geologi dan temperaturnya menjadi 3 jenis yaitu :
a. Endapan Epitermal
Endapan epitermal adalah endapan yang terbentuk pada kedalaman
dangkal di bawah permukaan bumi. Kedalaman dari endapan ini <1km dan
mempunyai temperatur 50C - 200C dan tekanan <100atm. Ciri yang paling
utama dari endapan ini adalah melimpahnya mineral klorit.
b. Endapan Mesotermal
Endapan mesotermal adalah endapan yang terbentuk ada kedalaman
menengah.Kedalaman dari endapan ini berkisar antara 1km 2km di bawah
permukaan bumi.Sedangkan temperatur dari endapan ini berkisar antara 200C 300C. Mineral penciri utama dari endapan ini adalah serisit.
c. Endapan Hipotermal
Endapan hipotermal adalah endapan yang terbentuk pada kedalaman
yang berkisar antara 2km 4km dari permukaan bumi. Endapan ini terbentuk
pada temperatur sekitar 400C. Mineral penciri utama dari endapan ini adalah
muskovit, kuarsa, dan topaz. Tipe endapan hidrotermal yang akan dibahas
lebih lanjut adalah tipe endapan epitermal.
Gambar 2.9. Tabel Mineralogi Alterasi Sistem Hidrotermal (Corbett & Leach
1998).
dengan batuan sehingga bersifat asam dan teroksidasi. Komponen fluida yang
utama dalam sistem ini adalah H2SO4, H2S dan HCl yang semuanya bersifat
asam (pH 0-2) sehingga mampu melarutkan batuan disekitarnya; (Rye, 1993
dalam White dan Hedenquist, 1995).
Gambar 2.12. Perbedaan sistem bukaan fase kompresi dan ekstensi pada
kondisi orthogonal convergence (Corbett dan Leach, 1998).
Hal yang paling penting dalam menentukan tipe endapan epitermal baik
sulfidasi tinggi maupun rendah salah satunya dengan melihat bentukan dari
tubuh endapan bijih tersebut (White dan Hedenquist, 1995). Endapan epitermal
sulfidasi rendah dan tinggi sering overlap karakteristiknya, namun banyak
perbedaan yang dapat dilihat untuk membedakan kedua sistem tersebut (Tabel
3.2). Kebanyakan endapan epitermal sulfidasi rendah dicirikan oleh tekstur
pengisian urat dengan batas yang jelas, dan adanya stockwork pada urat yang
kecil, sedangkan untuk epitermal sulfidasi tinggi lebih dicirikan oleh bijih yang
terdiseminasi dengan batuan samping yang mengalami pelarutan (White dan
Hedenquist, 1995).
Bentuk Endapan
Sulfidasi Rendah
Sulfidasi tinggi
magmatik dimana intrusi berada pada batuan impermeable seperti pluton yang
berumur lebih tua, batuan sedimen ataupun batuan metamorf, sirkulasi
hidrotermal melalui zona permeable dari host rock tersebut yang dapat terbentuk
akibat adanya struktur (contoh : dilational jogs), breksi (contoh : diatrem) atau
kontak geologi (contoh : rekahan pada dome).
Pada saat pendinginan magma (intrusi) tekanan pada reservoir menurun
sehingga air yang kaya CO2 dan asam sulfat yang dekat dengan permukaan
dapat turun sampai kedalaman 1,5 - 2km untuk mengaktikan sistem hidrotermal
(Reyes 1990a; Mitchell & Leach, 1991).
Gambar 2.14. Pengaruh air terhadap mineralogi alterasi pada sistem sulfidasi
rendah (Corbettt & Leach, 1998)
Gambar 2.16 Model endapan epitermal sulfidasi rendah (Hedenquist dkk, 2000)
2.5.2. Endapan Epitermal Sulfdasi Tinggi
Endapan epitermal sulfidasi tinggi terbentuk ketika fluida asam yang
didominasi dari reaktivasi gas magmatic bergerak secara vertikal dan lateral
mengikuti struktur dan batuan yang permeable (litologi yang poros atau
porositas sekunder) kemudian mengalami reaksi dengan host rock atau
pencampuran fluida (Corbett & Leach, 1998). Meskipun sering disebut sebagai
endapan epithermal, sulfidasi tinggi juga dapat terjadi pada lingkungan
mesothermal mendekati porifiri. Kedalaman dari pembentukan sulfidasi tinggi
ini dapat disimpulkan melalui alterasi mineralogi pada central silica zone
(mengindikasikan temperature dari fluida asam yang bergerak) dan peripheral
clay zone (mengindikasikan kondisi batuan induk). Zat volatil (H2O, CO2, SO2,
HCl, HF) dari magma dapat langsung menuju permukaan melaluri rekahan
utama menjadi solfatara.
Gambar 2.18. Mineralogi alterasi pada sistem sulfidasi tinggi (Corbett & Leach,
1998).