Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN
Seorang

praktisi

medik

dalam

praktek

sehari-hari

sering

dihadapkan pada berbagai permasalahan pengobatan yang kadang


memerlukan

pertimbangan-pertimbangan

khusus,

seperti

misalnya

pengobatan pada kelompok umur tertentu (anak dan usia lanjut),


kehamilan

serta

menyusui.

Kehamilan,

persalinan

dan

menyusui

merupakan proses fisiologi yang perlu dipersiapkan oleh wanita dari


pasangan subur agar dapat dilalui dengan aman. Selama masa
kehamilan, ibu dan janin adalah unit fungsi yang tak terpisahkan.
Kesehatan ibu hamil adalah persyaratan penting untuk fungsi optimal dan
perkembangan kedua bagian unit tersebut.
Pemakaian obat pada kehamilan merupakan salah satu masalah
pengobatan yang penting untuk diketahui dan dibahas. Hal ini mengingat
bahwa dalam pemakaian obat selama kehamilan, tidak saja dihadapi
berbagai kemungkinan yang dapat terjadi pada ibu, tetapi juga pada janin.
Hampir sebagian besar obat dapat melintasi sawar darah/plasenta,
beberapa diantaranya mampu memberikan pengaruh buruk, tetapi ada
juga yang tidak member pengaruh apapun. Beberapa jenis obat dapat
menembus plasenta dan mempengaruhi janin dalam uterus, baik melalui
efek farmakologik maupun efek teratogeniknya. Secara umum faktorfaktor yang dapat mempengaruhi masuknya obat ke dalam plasenta dan
memberikan efek pada janin adalah:
(1) sifat fisikokimiawi dari obat
(2) kecepatan obat untuk melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin
(3) lamanya pemaparan terhadap obat
(4) bagaimana obat didistribusikan ke jaringan-jaringan yang berbeda
pada janin
(5) periode perkembangan janin saat obat diberikan dan
(6) efek obat jika diberikan dalam bentuk kombinasi.

Kemampuan obat untuk melintasi plasenta tergantung pada sifat


lipolik dan ionisasi obat. Obat yang mempunyai lipofilik tinggi cenderung
untuk segera terdifusi ke dalam serkulasi janin. Contoh, tiopental yang
sering digunakan pada seksio sesarea, dapat menembus plasenta segera
setelah pemberian, dan dapat mengakibatkan terjadinya apnea pada bayi
yang

dilahirkan.

Obat

yang

sangat

terionisasi

seperti

misalnya

suksinilkholin dan d-tubokurarin, akan melintasi plasenta secara lambat


dan terdapat dalam kadar yang sangat rendah pada janin. Kecepatan dan
jumlah obat yang dapat melintasi plasenta juga ditentukan oleh berat
molekul. Obat-obat dengan berat molekul 250-500 dapat secara mudah
melintasi plasenta, tergantung pada sifat lipofiliknya, sedangkan obat
dengan berat molekul > 1000 sangat sulit menembus plasenta.
Jika

memungkinkan

konseling

seharusnya

dilakukan

untuk

seseorang waktu sebelum merencanakan kehamilan termasuk diskusi


tentang risiko-risiko yang berhubungan dengan obat-obat spesifik, obat
tradisional, dan pengaruh buruk bahan kimia seperti rokok dan alkohol.
Suplemen

seperti

asam

folat

sebaiknya

diberikan

selama

penatalaksanaan kehamilan karena penggunaan asam folat mengurangi


cacat selubung saraf. Obat sebaiknya diresepkan pada kehamilan hanya
jika keuntungan yang diharapkan bagi ibu hamil /dipikirkan lebih besar
daripada risiko bagi janin. Semua obat jika mungkin sebaiknya dihindari
selama trimester pertama.
Pada proses menyusui, pemberian beberapa obat (misalnya
ergotamin) untuk perawatan si ibu dapat membahayakan bayi yang baru
lahir, sedangkan pemberian digoxin sedikit pengaruhnya. Beberapa obat
yang dapat menghalangi proses pengeluaran ASI antara lain misalnya
estrogen.
Keracunan pada bayi yang baru lahir dapat terjadi jika obat
bercampur dengan ASI secara farmakologi dalam jumlah yang signifikan.
Konsentransi obat pada ASI (misalnya iodida) dapat melebihi yang ada di
plasenta sehingga dosis terapeutik pada ibu dapat menyebabkan bayi

keracunan. Beberapa jenis obat menghambat proses menyusui bayi


(misalnya

phenobarbital).

Obat

pada

ASI

secara

teoritis

dapat

menyebabkan hipersensitifitas pada bayi walaupun dalam konsentrasi


yang sangat kecil pada efek farmakologi.
Perubahan fisiologi selama kehamilan dan menyusui dapat
berpengaruh terhadap kinetika obat dalam ibu hamil dan menyusui yang
kemungkinan berdampak terhadap perubahan respon ibu hamil terhadap
obat yang diminum.
Dengan demikian, perlu pemahaman yang baik mengenai obat apa
saja yang relatif tidak aman hingga harus dihindari selama kehamilan
ataupun menyusui agar tidak merugikan ibu dan janin yang dikandung
ataupun bayinya.
Untuk memberikan pengetahuan mengenai penggunaan obat pada
ibu hamil dan menyusui, maka apoteker perlu dibekali pedoman dalam
melaksanakan pelayanan kefarmasian bagi ibu hamil dan menyusui.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PROSES KEHAMILAN
Proses kehamilan didahului oleh proses pembuahan satu sel telur
yang bersatu dengan sel spermatozoa dan hasilnya akan terbentuk zigot.
Zigot mulai membelah diri satu sel menjadi dua sel, dari dua sel menjadi
empat sel dan seterusnya. Pada hari ke empat zigot tersebut menjadi
segumpal sel yang sudah siap untuk menempel / nidasi pada lapisan
dalam rongga rahim (endometrium). Kehamilan dimulai sejak terjadinya
proses nidasi ini. Pada hari ketujuh gumpalan tersebut sudah tersusun
menjadi lapisan sel yang mengelilingi suatu ruangan yang berisi
sekelompok sel di bagian dalamnya.
Sebagian besar manusia, proses kehamilan berlangsung sekitar 40
minggu (280 hari) dan tidak lebih dari 43 minggu (300 hari). Kehamilan
yang berlangsung antara 20 38 minggu disebut kehamilan preterm,
sedangkan bila lebih dari 42 minggu disebut kehamilan postterm.
Menurut usianya, kehamilan ini dibagi menjadi 3 yaitu kehamilan
trimester pertama 0 14 minggu, kehamilan trimester kedua 14 28
minggu dan kehamilan trimester ketiga 28 42 minggu.
Gangguan pada kehamilan

Mual dan muntah


Liur melimpah
Tekanan pada dada
Lemah dan pusing
Sariawan
Gangguan buang air besar
Varises
Wasir atau ambeien
Kejang kaki
Keputihan

B. Farmakokinetika dan Farmakodinami Pada Kehamilan

1. Farmakokinetika
Selama kehamilan terjadi perubahan-perubahan fisiologi yang
mempengaruhi

farmakokinetika

obat.

Perubahan

tersebut

meliputi

peningkatan cairan tubuh misalnya penambahan volume darah sampai


50% dan curah jantung sampai dengan 30%. Pada akhir semester
pertama aliran darah ginjal meningkat 50% dan pada akhir kehamilan
aliran darah ke rahim mencapai puncaknya hingga 600-700 ml/menit.
Peningkatan cairan tubuh tersebut terdistribusi 60 % di plasenta, janin dan
cairan amniotik, 40% di jaringan si ibu.
Perubahan volume cairan tubuh tersebut diatas menyebabkan
penurunan kadar puncak obat-obat di serum, terutama obat-obat yang
terdistribusi di air seperti aminoglikosida dan obat dengan volume
distribusi yang rendah.
Peningkatan cairan tubuh juga menyebabkan pengenceran albumin
serum (hipoalbuminemia) yang menyebabkan penurunan ikatan obatalbumin. Steroid dan hormon yang dilepas plasenta serta obat-obat lain
yang ikatan protein plasmanya tinggi akan menjadi lebih banyak dalam
bentuk tidak terikat. Tetapi hal ini tidak bermakna secara klinik karena
bertambahnya kadar obat dalam bentuk bebas juga akan menyebabkan
bertambahnya kecepatan metabolisme obat tersebut.
Gerakan saluran cerna menurun pada kehamilan tetapi tidak
menimbulkan efek yang bermakna pada absorpsi obat. Aliran darah ke
hepar relatif tidak berubah. Walau demikian kenaikan kadar estrogen dan
progesteron akan dapat secara kompetitif menginduksi metabolisme obat
lain, misalnya fenitoin atau menginhibisi metabolisme obat lain misalnya
teofilin.
Peningkatan aliran darah ke ginjal dapat mempengaruhi bersihan
(clearance) ginjal obat yang eliminasi nya terutama lewat ginjal, contohnya
penicilin.
Perpindahan obat lewat plasenta.

Perpindahan obat lewat plasenta umumnya berlangsung secara


difusi sederhana sehingga konsentrasi obat di darah ibu serta aliran darah
plasenta akan sangat menentukan perpindahan obat lewat plasenta.
Seperti juga pada membran biologis lain perpindahan obat lewat plasenta
dipengaruhi oleh hal-hal dibawah ini.
Kelarutan dalam lemak
Obat yang larut dalam lemak akan berdifusi dengan mudah
melewati plasenta masuk ke sirkulasi janin. Contohnya , thiopental, obat
yang umum digunakan pada dapat menyebabkan apnea (henti nafas)
pada bayi yang baru dilahirkan.
Derajat ionisasi
Obat yang tidak terionisasi akan mudah melewati plasenta.
Sebaliknya obat yang terionisasi akan sulit melewati membran Contohnya
suksinil kholin dan tubokurarin yang juga digunakan pada seksio sesarea,
adalah obat-obat yang derajat ionisasinya tinggi, akan sulit melewati
plasenta sehingga kadarnya di di janin rendah. Contoh lain yang
memperlihatkan pengaruh kelarutan dalam lemak dan derajat ionisasi
adalah salisilat, zat ini hampir semua terion pada pH tubuh akan melewati
akan tetapi dapat cepat melewati plasenta. Hal ini disebabkan oleh
tingginya kelarutan dalam lemak dari sebagian kecil salisilat yang tidak
terion.
Permeabilitas membran plasenta terhadap senyawa polar tersebut
tidak absolut. Bila perbedaan konsentrasi ibu-janin tinggi, senyawa polar
tetap akan melewati plasenta dalam jumlah besar.
Ukuran molekul
Obat dengan berat molekul sampai dengan 500 Dalton akan
mudah melewati pori membran bergantung pada kelarutan dalam lemak
dan derajat ionisasi. Obat-obat dengan berat molekul 500-1000 Dalton
akan lebih sulit melewati plasenta dan obat-obat dengan berat molekul
>1000 Dalton akan sangat sulit menembus plasenta. Sebagai contoh

adalah heparin, mempunyai berat molekul yang sangat besar ditambah


lagi adalah molekul polar, tidak dapt menembus plasenta sehingga
merupakan obat antikoagulan pilihan yang aman pada kehamilan.
Ikatan protein.
Hanya obat yang tidak terikat dengan protein (obat bebas) yang
dapat melewati membran. Derajat keterikatan obat dengan protein,
terutama albumin, akan mempengaruhi kecepatan melewati plasenta.
Akan tetapi bila obat sangat larut dalam lemak maka ikatan protein tidak
terlalu mempengaruhi, misalnya beberapa anastesi gas. Obat-obat yang
kelarutannya dalam lemak tinggi kecepatan melewati plasenta lebih
tergantung pada aliran darah plasenta. Bila obat sangat tidak larut di
lemak dan terionisasi maka perpindahaan nya lewat plasenta lambat dan
dihambat oleh besarnya ikatan dengan protein. Perbedaan ikatan protein
di ibu dan di janin juga penting, misalnya sulfonamid, barbiturat dan
fenitoin, ikatan protein lebih tinggi di ibu dari ikatan protein di janin.
Sebagai contoh adalah kokain yang merupakan basa lemah,
kelarutan dalam lemak tinggi, berat molekul rendah (305 Dalton) dan
ikatan protein plasma rendah (8-10%) sehingga kokain cepat terdistribusi
dari darah ibu ke janin.
Metabolisme obat di plasenta dan di janin.
Dua mekanisme yang ikut melindungi janin dari obat disirkulasi ibu
adalah :
1. Plasenta yang berperan sebagai penghalang semipermiabel juga
sebagai tempat metabolisme beberapa obat yang melewatinya.
Semua jalur utama metabolisme obat ada di plasenta dan juga
terdapat beberapa reaksi oksidasi aromatik yang berbeda misalnya
oksidasi etanol dan fenobarbital. Sebaliknya, kapasitas metabolisme
plasenta ini akan menyebabkan terbentuknya atau meningkatkan
jumlah metabolit yang toksik, misalnya etanol dan benzopiren. Dari
hasil penelitian prednisolon, deksametason, azidotimidin yang struktur

molekulnya analog dengan zat-zat endogen di tubuh mengalami


metabolisme yang bermakna di plasenta.
2. Obat-obat yang melewati plasenta akan memasuki sirkulasi janin
lewat vena umbilikal. Sekitar 40-60% darah yang masuk tersebut akan
masuk hati janin, sisanya akan langsung masuk ke sirkulasi umum
janin. Obat yang masuk ke hati janin, mungkin sebagian akan
dimetabolisme sebelum masuk ke sirkulasi umum janin, walaupun
dapat dikatakan metabolisme obat di janin tidak berpengaruh banyak
pada metabolisme obat maternal. Obat-obat yang bersifat teratogenik
adalah asam lemah, misalnya talidomid, asam valproat, isotretinoin,
warfarin. Hal ini diduga karena asam lemah akan mengubah pH sel
embrio. Dan dari hasil penelitian pada hewan menunjukkan bahwa pH
cairan sel embrio lebih tinggi dari pH plasma ibu, sehingga obat yang
bersifat asam akan tinggi kadarnya di sel embrio.
2. Farmakodinamika
Mekanisme kerja obat ibu hamil.
Efek obat pada jaringan reproduksi, uterus dan kelenjar susu, pada
kehamilan kadang dipengaruhi oleh hormon-hormon sesuai dengan fase
kehamilan. Efek obat pada jaringan tidak berubah bermakna karena
kehamilan tidak berubah, walau terjadi perubahan misalnya curah jantung,
aliran darah ke ginjal. Perubahan tersebut kadang menyebabkan wanita
hamil membutuhkan obat yang tidak dibutuhkan pada saat tidak hamil.
Contohnya glikosida jantung dan diuretik yang dibutuhkan pada
kehamilan karena peningkatan beban jantung pada kehamilan. Atau
insulin yang dibutuhkan untuk mengontrol glukosa darah pada diabetes
yang diinduksi oleh kehamilan.
Mekanisme kerja obat pada janin.
Beberapa penelitian untuk mengetahui kerja obat di janin
berkembang dengan pesat, yang berkaitan dengan pemberian obat pada
wanita

hamil

yang

ditujukan

untuk

pengobatan

janin

walaupun

mekanismenya masih belum diketahui jelas. Contohnya kortikosteroid


diberikan untuk merangsang matangnya paru janin bila ada prediksi

kelahiran

prematur. Contoh

lain

adalah

fenobarbital

yang

dapat

menginduksi enzim hati untuk metabolisme bilirubin sehingga insidens


jaundice (bayi kuning) akan berkurang. Selain itu fenobarbital juga dapat
menurunkan risiko perdarahan intrakranial bayi kurang umur. Anti aritmia
juga diberikan pada ibu hamil untuk mengobati janinnya yang menderita
aritmia jantung.
Kerja obat teratogenik.
Penggunaan

obat

pada

saat

perkembangan

janin

dapat

mempengaruhi struktur janin pada saat terpapar. Thalidomid adalah


contoh obat yang besar pengaruhnya pada perkembangan anggota badan
(tangan, kaki) segera sesudah terjadi pemaparan. Pemaparan ini akan
berefek pada saat waktu kritis pertumbuhan anggota badan yaitu selama
minggu ke empat sampai minggu ke tujuh kehamilan.
Mekanisme berbagai obat yang menghasilkan efek teratogenik
belum diketahui dan mungkin disebabkan oleh multi faktor.

Obat dapat bekerja langsung pada jaringan ibu dan juga secara tidak

langsung mempengaruhi jaringan janin.


Obat mungkin juga menganggu aliran oksigen atau nutrisi lewat

plasenta sehingga mempengaruhi jaringan janin.


Obat juga dapat bekerja langsung pada proses perkembangan
jaringan janin, misalnya vitamin A (retinol) yang memperlihatkan
perubahan pada jaringan normal. Dervat vitamin A (isotretinoin,

etretinat) adalah teratogenik yang potensial.


Kekurangan substansi yang esensial diperlukan juga akan berperan
pada abnormalitas. Misalnya pemberian asam folat selama kehamilan
dapat menurunkan insiden kerusakan pada selubung saraf, yang
menyebabkan timbulnya spina bifida.
Paparan berulang zat teratogenik dapat menimbulkan efek

kumulatif. Misalnya konsumsi alkohol yang tinggi dan kronik pada


kehamilan, terutama pada kehamilan trimester pertama dan kedua akan

menimbulkan fetal alcohol syndrome yang berpengaruh pada sistem saraf


pusat, pertumbuhan dan perkembangan muka.
C. Farmakokinetika dan Farmakodinamik Pada Menyusui
1. Farmakokinetika
Hampir semua obat yang diminum perempuan menyusui terdeteksi
didalam ASI , untungnya konsentrasi obat di ASI umumnya rendah.
Konsentrasi obat dalam darah ibu adalah faktor utama yang berperan
pada proses transfer obat ke ASI selain dari faktor-faktor fisiko-kimia obat.
Volume darah/cairan tubuh dan curah jantung yang meningkat pada
kehamilan akan kembali normal setelah 1 bulan melahirkan. Karena itu
pemberian obat secara kronik mungkin memerlukan penyesuaian dosis.
Obat yang larut dalam lemak, yang non-polar dan yang tidak terion
akan mudah melewati membran sel alveoli dan kapiler susu. Obat yang
ukurannya kecil (< 200 Dalton) akan mudah melewati pori membran epitel
susu. Obat yang terikat dengan protein plasma tidak dapat melewati
membran, hanya obat yang tidak terikat yang dapat melewatinya.
Plasma relatif sedikit lebih basa dari ASI. Karena itu obat yang
bersifat basa lemah di plasma akan lebih banyak dalam bentuk tidak
terionisasi dan mudah menembus membran alveoli dan kapiler susu.
Sesampainya di ASI obat yang bersifat basa tersebut akan mudah terion
sehingga tidak mudah untuk melewati membran kembali ke plasma.
Fenomena tersebut dikenal sebagai ion trapping.
Rasio M:P adalah perbandingan antara konsentrasi obat di ASI dan di
plasma ibu. Rasio M:P yang >1 menunjukkan bahwa obat banyak
berpindah ke ASI, sebaliknya rasio M:P < 1 menunjukkan bahwa obat
sedikit berpindah ke ASI.
Pada umumnya kadar puncak obat di ASI adalah sekitar 1- 3 jam
sesudah ibu meminum obat. Hal ini mungkin dapat membantu
mempertimbangkan untuk tidak memberikan ASI pada kadar puncak. Bila
ibu menyusui tetap harus meminum obat yang potensial toksik terhadap
bayinya maka untuk sementara ASI tidak diberikan tetapi tetap harus di

pompa. ASI dapat diberikan kembali setelah dapat dikatakan tubuh bersih
dari obat dan ini dapat diperhitungkan setelah 5 kali waktu paruh obat.
Rasio benefit dan risiko penggunaan obat pada ibu menyusui dapat
dinilai dengan mempertimbangkan :
1. Farmakologi obat: reaksi yang tidak dikehendaki
2. Adanya metabolit aktif
3. Multi obat : adisi efek samping`
4. Dosis dan lamanya terapi
5. Umur bayi.
6. Pengalaman/bukti klinik
7. Farmakoepidemiologi data.
Farmakokinetika bayi.
Absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi pada bayi berbeda
nyata dengan orang dewasa. Kecepatan absorpsi lewat saluran cerna
lebih rendah, misalnya absorpsi fenobarbital, fenitoin, asetaminofen dan
distribusi obat juga akan berbeda karena rendahnya protein plasma,
volume cairan tubuh yang lebih besar dari orang dewasa. Metabolisme
obat juga rendah karena aktivitas enzim yang rendah. Ekskresi lewat renal
pada awal kehidupan masih rendah dan akan meningkat dalam beberapa
bulan.
Selain banyaknya obat yang diminum oleh bayi melalui ASI, juga
kinetika obat pada bayi menentukan akibat yang ditimbulkan oleh obat.
Yang perlu diperhatikan adalah bila efek yang tidak diinginkan tidak
bergantung dari banyaknya obat yang diminum, misalnya reaksi alergi,
maka sedikit atau banyaknya ASI yang diminum bayi menjadi tidak
penting, tetapi apakah si bayi meminum atau tidak meminum ASI menjadi
lebih penting.
2. Farmakodinamika.
Mekanisme kerja obat pada ibu menyusui dapat dikatakan tidak
berbeda. Sedangkan farmakodinamik obat pada bayi masih sangat
terbatas dipelajari. Kemungkinan sensitivitas reseptor pada bayi lebih

rendah, sebagai contoh, dari hasil penelitian bahwa sensitivitas dtubokurarin meningkat pada bayi.
D. OBAT YANG DIGUNAKAN PADA MASA KEHAMILAN
Peresepan obat pada wanita hamil menjadi pembicaraan luas
setelah krisis talidomid yang mengakibatkan penarikan obat tersebut pada
tahun 1961. (lihat BAB 7 Reaksi Obat Yang Tidak Dikehendaki).
Kenyataan

bahwa

obat

dapat

menembus

sawar

uri

dan

bisa

menyebabkan efek yang berbahaya pada janin sangat diperhatikan dalam


pengobatan pada wanita hamil. Banyak perusahaan obat yang ragu untuk
menganjurkan

penggunaan

obatnya

pada

ibu

hamil

dan

sering

memberikan pernyataan yang tidak spesifik seperti jangan digunakan


pada kehamilan kecuali bila manfaatnya melebihi resiko pengobatannya.
Nemun pemberian obat sering kali diperlukan dan perkiraan bahwa 90%
wanita pernah mendapatkan sekitar 3 atau 4 obat selama masa
kehamilannya. Laporan lainnya menyimpulkan bahwa sepertiga wanita
hamil mendapatkan sedikitnya satu seri pengobatan yang baru.
Pemahaman yang mendalam terhadap penggunaan obat saat
hamil dilanjutkan pada masa menyusui sangat penting bagi farmasis klinis
yang

diharapkan

dapat

memberikan

pengaruh

dalam

pelayanan

kefarmasian untuk kelompok pasien tersebut.


1.

Perkembengan embrio dan janin


Periode perkembangan janin manusia adalah 38 minggu, dan di

bagi menjadi trimester pertama, kedua dan ketiga yang masing-masing


berlangsung selama tiga bulan. Tahap perkembangan janin tersebut pra
embrionik, embrionik, dan janin. Tahap pra embrionik adalah saat sel yang
telah dibuahi membelah secara cepat ini dapat berlangsung selama 17
hari setelah konsepsi (postconception). Sistem organ utama terbentuk
setelah tahap embrionik (18 sampai 56 hari), dengan pematangan,

perkembangan, dan pertumbuhan terus berlanjut selama tahap janin (8


sampai 38 minggu).
2. Obat yang berpengaruh pada janin dan neonatus
2.1 Teratogenesis
Teratogenesis adalah bahan apapun yang diberikan kepada ibu,
yang dapat menyebabkan atau berpengaruh terhadap malformasi atau
kelainan fungsi fisiologis ataupun perkembangan jiwa janin atau pada
anak setelah lahir. Hal inilah yang sering ditakutkan oleh pasien dan
dokter pada saat mempertimbangkan pengobatan pada masa kehamilan.
Namun, hanya beberapa obat saja dari sekian banyak obat yang
digunakan yang menunjukkan efek yang membahayakan terhadap janin.
Masalah yang mungkin timbul dapat bersifat fisiologis, misalnya gagal
ginjal atau penghambatan pertumbuhan maupun bersifat anatomis, seperti
bibir sumbing atau kelainan tulang belakang (spina bifida). Contoh obat
yang dapat menyebabkan teratogen tercantum dalam tabel 11.1 (walker &
Edwards,1999). Perlu ditekankan bahwa obat yang bersifat teratogenik
tidak selalu membahayakan janin. Sebagai contoh, obat anti kejang yang
hanya memiliki efek teratogenik pada kurang dari 10% janin yang terpapar
oleh obat tersebut.
Penelitian menunjukkan bahwa lebih kurang 2% bayi yang hidup,
menderita kelainan bawaaan yaitu cacat sejak lahir yang tak dapat
diperbaiki (non reversible). Lima persen dari kasus tersebut diperkirakan
disebabkan oleh paparan obat terhadap janin.
Tabel 11.1
Obat yang terbukti/ dicurigai
Androgen (mis. Danazol)
Obat sitotoksik
Karbimazol (metimazol)
Dietilstilbestrol
Etanol (alcohol)
Etritinat
Isdotretionin

Bersifat teratogenik
Litium
Penisilamin
Fenitoin
Tetrasiklin
Talidomid
Vitamin
Warfarin

2.2 PERPINDAHAN OBAT MELALUI SAWAR URI


Difusi obat melalui sawar uri ke dalam sirkulasi darah janin
merupakan fenomena yang biasa dijumpai. Obat yang memiliki berat

molekul (BM) tinggi, seprti heparin dan insulin, merupakan perkecualian


terhadap aturan umum ini. Difusi melalui sawar uri ini lebih mudah bagi
obat yang bersifat lipofil dan tidak terionisasi. Obat yang bersifat basa
cenderung terperangkap dalam sirkulasi darah janin, karena pHnya sedikit
lebih rendah dibandingkan pada plasma ibu.
Perpindahan obat melalui sawar uri ini dimanfaatkan untuk
pengobatan beberapa gangguan pada janin. Sebagai contoh adalah
pemberian flekainid pada ibu untuk mengobati takikardi pada janin.
Saat

mengevaluasi

keamanan

obat

yang

digunakan

pada

kehamilan, harus dipertimbangkan kemungkinan terjadinya perpindahan


obat melalui sawar obat ini. Namun pengalaman klinis disertai
pemahaman farmakologi dan toksikologi obat terbukti jauh lebih penting
dalam pengambilan keputusan mengenai hal tersebut.
2.3 Efek farmakologis dan Idiosinkrasi
Beberapa obat yang memasuki sirkulasi janin menunjukkan aksi
farmakologis yang kuat secara langsung pada janin. Kortikosteroid dosis
besar (> 10 mg prednisolon atau setara dengan jumlah itu, sehari) yang
diminum oleh wanita hamil dapat menyebabkan supresi adrenal pada
janin. Efek farmakologis ini umumnya dapat dperkirakan dan berkaitan
dengan besarnya dosis obat.
Efek obat pada janin lebih sulit diperkirakan. Efek idiosinkrasi ini
sering mengakibatkan kelainan bawaan yang serius dan menetap.
Mekanisme terjadinya perubahan dianggap berkaitan dengan predisposisi
genetik janin, walaupun hal tersebut belum diketahui secara jelas. Dalam
kasus ini, tampaknya terdapat ambang batas dosis, dimana dosis obat
yang

lebih

besar

dapat

menyebabkan

ketidaknormalan.

Hal

ini

membuktikan alasan lain yang kuat untuk meminimalkan dosis yang


diberikan selama kehamilan.
2.4 Waktu Terjadinya Paparan Obat

Walaupun efek obat terhadap janin sangat beragam tergantung pada


dosis, penyakit yang diderita ibu pada saat itu, dan pada beberapa kasus
kerentanan genetik, saat terjadinya paparan obat pada trimester
kehamilan sangat menentukan apakah efeknya dapat membahayakan
janin.
Suatu bahan teratogen yang diberikan pada dua minggu pertama
konsepsi (tahap praembrionik) tampaknya memberikan efek semua atau
sama sekali tidak, yang dapat menyebabkan kematian pada janin
(keguguran) atau justru sembuh sempurna dan perkembangan janin dapat
berlangsung secara normal. Jelas bahwa paparan obat yang terjadi
selama trimester pertamalah yang paling berisiko besar terhadap janin.
Organogenesis yaitu periode 10 minggu pertama setelah konsepsi
merupakan tahap perkembangan dari seluruh struktur tubuh utama
(kecuali susunan saraf pusat, mata, gigi, alat kelamin luar dan telinga).
Oleh karena itu paparan terhadap obat selama periode ini dapat
menimbulkan resiko terjadinya pembentukan organ-organ tersebut secara
permanen.
Oleh sebab itu, prinsip utamanya adalah sedapat mungkin
menghindari atau meminimalkan penggunaan segala jenis obat selama
trimester pertama kehamilan. Harus diwaspadai bahwa bahan teratogenik
yang dihentikan pemakainnya sebelum konsepsi, dapat tetap ada dalam
tubuh selama organogenesis. Hal ini dapat menimbulkan masalah dengan
retinoid. Selama trimester kedua dan ketiga, obat dapat mempengaruhi
pertumbuhan serta perkembangan fungsional janin atau memberikan efek
toksik pada jaringan janin; dan obat yang diberikan sesaat sebelum waktu
atau selama kelahiran bisa menyebabkan efek samping pada kelahiran
atau pada neonatus setelah kelahirannya. Sebagai contoh, penghambat
enzim pengonversi angiotensis (angiotensin converting enzyme (ACE)
inhibitor) yang diberikan setelah trimester pertama dapat menimbulkan
gangguan fungsi ginjal yang parah, sedangkan obat anti radang non
streroid (anti inflammatory non steroid AINS) pada trimester ketiga dapat

menyebabkan gangguan pendarahan, kerusakan ginjal janin serta


penundaan

proses

kelahiran.

AINS

juga

dapat

menyababkan

penyumbatan ductus arteriosus janin pada akhir masa kehamilan. Oleh


karena itu, penggunaan AINS secara rutin harus dihindari pada trimester
ketiga.
Beberapa kelas obat yang menyababkan gangguan pertumbuhan
dan perkembangan janin tercantum dalam tebel 11.2 (Rubin P; 1998)
Tabel 11.2
Obat yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin
Obat
Gol.ACE inhibitor
Obat antitiroid
Benzodiazepine
Beta-bloker

Efek yang mungkin terjadi


Gagal ginjal pada janin dan neonatus
Hipertiroidisme
Ketergantungan obat pada janin
Hambatan pertumbuhan jika digunakan selama masa

Barbiturat
AINS
Tetrasiklin
Warfarin

kehamilan (terbukti pada atenolol)


Ketergantungan obat pada janin
Kontriksi pada ductus arteriosus
Pewarnaan gigi, hamabtan pertumbuhan tulang
Perdarahan dalam otak pada janin

Pada

beberapa

obat

terdapat

suatu

periode

waktu

yang

mempunyai resiko tertinggi untuk terjadi kegagalan tertentu. Sebagai


contoh, paparan terhadap natrium valproat, pada saat saluran saraf
(neural tube) menutup (antara 17 dan 30 hari post-conception) dapat
menyebabkan spina bufida. Contoh lainnya adalah fenobarbital yang
dapat menyebabkan kelainan genetik pada trimester pertama kehamilan,
sedangkan pemberian obat ini pada trimester ketiga kehamilan dapat
menyebabkan perdarahan pada janin.
2.5 Obat-obat Baru
Pemberian obat baru pada masa kehamilan dapat menimbulkan
kesulitan. Diperlukan waktu bertahun-tahun sebelum terkumpul data yang
cukup berkaitan dengan resiko penggunaan bahan tersebut selama masa
kehamilan. Cara untuk mempercepatnya adalah dengan mendorong
dokter agar selalu memberikan laporan kepada produsen obat dan badan

yang berwenang dalam pengobatan setiap kali seorang wanita hamil


diberi obat tersebut. Dengan cara ini jumlah paparan maupun efek
samping yang timbul dapat dipantau.
3. Perubahan farmakokinetika dan dosis obat pada wanita hamil dan
neonatus
Selama kehamilan dosis obat yang diberikan harus diusahakan
serendah mungkin untuk meminimalkan potensi efek toksik terhadap
janin. Pengobatan harus diberikan, maka penting untuk menurunkan
sampai kadar terendah yang masih efektif sesaat sebelum terjadi
konsepsi pada kehamilan yang direncanakan, atau selama trimester
pertama. Bila obat berpotensi menyebabkan efek putus obat pada janin,
dosis dapat diturunkan pada saat mencapai akhir masa kehamilan,
contohnya pengobatan dengan anti psikootik dan anti depresan.
Namun, perubahan farmakokinetika yang terjadi selama kehamilan
mungkin

memerlukan

peningkatan

dosis

bagi

obat-obat

tertentu.

Pemahaman yang baik terhadap perubahan ini penting untuk menentukan


dosis yang paling tepat bagi pasien yang sedang hamil.
3.1 Distribusi
Saat hamil terjadi peningkatan kadar air dan lemak dalam tubuh,
sehingga volume distribusi untuk kebanyakan obat juga meningkat.
Mungkin diperlukan peningkatan dosis muatan, terutama bila diperlukan
efek terapi yang cepat.
Terdapat penurunan yang bermakna pada kadar albumin plasma
yang akan mengakibatkan peningkatan kadar obat bebas dalam plasma.
Dan ini penting karena efek klinis sebanding dengan jumlah obat yang tak
berkaitan. Namun, makna dari hal tersebut dapat berguna jika didasari
oleh penilaian klinis, karena ada factor lain yang terlibat.
Sebagai contoh adalah fenitoin, yaitu obat yang bersifat asam dan
memiliki ikatan protein tinggi. Kadar dalam serum dapat menurun selama
masa kehamilan, karena peningkatan metabolisme melalui hati dan klirens

dalam plasmanya. Dosis fenotoin mungkin harus ditingkatkan untuk


menjaga kadar obat bebas dalam serum. Namun fenitoin diketahui
memiliki sifat teratogenik, sehingga harus cermat dalam pemakainnya.
Lagi pula, penurunan kadar albumin dalam serum dalam masa kehamilan
(yang bisa mencapai 30%) dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi
obat aktif yang bebas, walaupun kadar obat total mungkin tidak berubah
atau bahkan menjadi rendah. Karena berbagai hal yang membingungkan
ini, beberapa ahli menyarankan pemantauan kadar obat dalam serum
secara teliti. Sedangkan yang lain cenderung menganjurkan penyesuaian
dosis sesuai keadaan klinis wanita hamil, tergantung pada frekuensi
terjadinya kejang (seizure) dan bukan berdasarkan pada kadar fenitoin
dalam serum.
3.2 Metabolisme
Peningkatan metabolisme beberapa obat melalui hati teramati pada
wanita hamil sehingga memerlukan dosis penjagaan yang lebih tinggi
pada obat yang terpengaruh, misalnya fenitoin dan metadon. Perubahan
dalam metabolism tersebut mungkin disebabkan oleh induksi ensim oleh
progesteron endogen, namun efek pada masing-masing obat sulit
diramalkan. Kenyataannya metabolism teofilin justru menurun sehingga
memerlukan pengurangan dosis penjagaannya.
3.3 Ekskresi
Laju filtrasi glomeruler meningkatkan sekitar 50% selama mingguminggu pertama kehamilan. Laju akan bertahan pada tingkat ini sampai
setelah bayi lahir. Klirens obat yang terutama terekresi dalam bentuk tak
berubah melalui ginjal juga akan meningkat. Obat sejenis litium atau laktam dapat terpengaruh, sehingga dosis pemeliharaan mungkin harus
ditingkatkan.
Penelitian menunjukkan bahwa neonatus dapat juga dipengaruhi
oleh pengobatan ibunya. Kapasitas neonatus untuk mengeliminasi obat,
seperti juga janin, adalah minimal dan sejumlah obat dapat tertimbun
sehingga mencapai kadar toksik. Tabel 11.3 menunjukkan bagaimana nilai

klirens bayi pada tahap awal kehidupannya sering kali lebih kecil secara
bermaka dibandingkan pada orang dewasa.
Tabel 11.3
Klirens pada bayi baru lahir
Usia
2-3 bulan pertama
Term
1-2 bulan
3.6 Bulan
>6 bulan

Klirens
10
33
50
66
100

Anti depresan dan neuroleptik merupakan dua contoh obat yang


mengakibatkan toksisitas secara langsung pada neonatus, oleh karena itu
dosisnya harus diturunkan perlahan selama proses kelahiran. Pada kasus
yang lain penurunan dosis tak diharapkan, sebagai contoh pada metadon
dan litium, dimana control terhadap gejala penyakit paa ibunya harus
dipertahankan. Dalam keadaan ini, harus dicari pilihan lain seperti
penggunaan larutan morfin untuk membebaskan metadon dari tubuh bayi
yang sedang disusui.

BAB III
PEMBAHASAN
III.1 PENGARUH OBAT PADA JANIN
Pengaruh buruk obat terhadap janin dapat bersifat toksik,
teratogenik maupun letal, tergantung pada sifat obat dan umur kehamilan
paga saat minum obat. Pengaruh toksik adalah jika obat yang diminum
selama masa kehamilan menyebabkan terjadinya gangguan fisiologik atau

bio-kimiawi dari janin yang dikandung, dan biasanya gejalanya baru


muncul beberapa saat setelah kelahiran. Pengaruh obat bersifat
teratogenik jika menyebabkan terjadinya malformasi anatomik pada
petumbuhan organ janin. Pengaruh teratogenik ini biasanya terjadi pada
dosis subletal. Sedangkan pengaruh obat yang bersifa letal, adalah yang
mengakibatkan kematian janin dalam kandungan. Secara umum pengaruh
buruk obat pada janin dapat beragam, sesuai dengan fase-fase berikut,
1. Fase implantasi, yaitu pada umur kehamilan kurang dari 3 minggu.
Pada fase ini obat dapat memberi pengaruh buruk atau mungkin tidak
sama sekali. Jika terjadi pengaruh buruk biasanya menyebabkan
kematian embrio atau berakhirnya kehamilan (abortus).
2. Fase embional atau organogenesis, yaitu pada umur kehamilan antara
4-8 minggu. Pada fase ini terjadi diferensiasi pertumbuhan untuk
terjadinya

malformasi

anatomik

(pengaruh

teratogenik).

Berbagai

pengaruh buruk yang mungkin terjadi pada fase ini antara lain :
Gangguan fungsional atau metabolik yang permanen yang biasanya
baru muncul kemudian, jadi tidak timbul secara langsung pada saat
kehamilan. Misalnya pemakaian hormon dietilstilbestrol pada trimester
pertama

kehamilan

terbukti

berkaitan

dengan

terjadinya

adenokarsinoma vagina pada anak perempuan di kemudian hari (pada


saat mereka sudah dewasa).
Pengaruh letal, berupa kematian janin atau terjadinya abortus.
Pengaruh sub-letal, yang biasanya dalam bentuk malformasi anatomis
pertumbuhan organ, seperti misalnya fokolemia karena talidomid.
3. Fase fetal, yaitu pada trimester kedua dan ketiga kehamilan. Dalam
fase ini terjadi maturasi dan pertumbuhan lebih lanjut dari janin. Pengaruh
buruk senyawa asing terhadap janin pada fase ini tidak berupa malformasi
anatomik lagi. tetapi mungkin dapat berupa gangguan pertumbuhan, baik
terhadap fungsi-fungsi fisiologik atau biokimiawi organ-organ. Demikian
pula pengaruh obat yang dialami ibu dapat pula dialami janin, meskipun
mungkin dalam derajat yang berbeda. Sebagai contoh adalah terjadinya

depresi pernafasan neonatus karena selama masa akhir kehamilan, ibu


mengkonsumsi obat-obat seperti analgetika-narkotik; atau terjadinya efek
samping pada sistem ekstrapiramidal setelah pemakaian fenotiazin.
Dalam upaya mencegah terjadinya yang tidak diharapkan dari obat-obat
yang diberikan selama kehamilan, maka oleh U.S. Food and Drug
Administration (FDA-USA) maupun Australia Drug Evaluation Commitee,
obat-obat dikategorikan sebagai berikut (Australian Drug Evaluation
Commitee).
Kategori A:
Yang termasuk dalam kategori ini adalah obat-obat yang telah banyak
digunakan oleh wanita hamil tanpa disertai kenaikan frekuensi malformasi
janin atau pengaruh buruk lainnya. Obat-obat yang termasuk dalam
kategori A antara lain adalah parasetamol, penisilin, eritromisin, glikosida
jantung, isoniazid serta bahan-bahan hemopoetik seperti besi dan asam
folat.
Kategori B:
Obat kategori B meliputi obat-obat yang pengalaman pemakainya pada
wanita hamil masih terbatas, tetapi tidak terbukti meningkatkan frekuensi
malformasi

atau

pengaruh

buruk

lainnya

pada

janin.

Mengingat

terbatasnya pengalaman pemakaian pada wanita hamil, maka obat-obat


kategori B dibagi lagi berdasarkan temuan-temuan pada studi toksikologi
pada hewan, yaitu:
B1: Dari penelitian pada hewan tidak terbukti meningkatnya kejadian
kerusakan janin (fetal damage). Contoh obat-obat yang termasuk pada
kelompok ini misalnya simetidin, dipiridamol, dan spektinomisin.
B2: Data dari penilitian pada hewan belum memadai, tetapi ada petunjuk
tidak meningkatnya kejadian kerusakan janin, tikarsilin, amfoterisin,
dopamin, asetilkistein, dan alkaloid belladona adalah obat-obat yang
masuk dalam kategori ini.

B3: Penelitian pada hewan menunjukkan peningkatan kejadian kerusakan


janin, tetapi belum tentu bermakna pada manusia. Sebagai contoh adalah
karbamazepin, pirimetamin, griseofulvin, trimetoprim, dan mebendazol.
Kategori C:
Merupakan obat-obat yang dapat memberi pengaruh buruk pada janin
tanpa

disertai

malformasi

anatomic

semata-mata

karena

efek

farmakologiknya. Umumnya bersifat reversibel (membaik kembali).


Sebagai contoh adalah analgetika-narkotik, fenotiazin, rifampisin, aspirin,
antiinflamasi non-steroid dan diuretika.
Kategori D
Obat-obat yang terbukti menyebabkan meningkatnya kejadian malformasi
janin pada manusia atau menyebabkan kerusakan janin yang bersifat
ireversibel (tidak dapat membaik kembali). Obat-obat dalam kategori ini
juga mempunyai efek farmakologik yang merugikan terhadap janin.
Misalnya: androgen, fenitoin, pirimidon, fenobarbiton, kinin, klonazepam,
valproat, steroid anabolik, dan antikoagulansia.
Kategori X
Obat-obat yang masuk dalam kategori ini adalah yang telah terbukti
mempunyai risiko tinggi terjadinya pengaruh buruk yang menetap
(irreversibel) pada janin jika diminum pada masa kehamilan. Obat dalam
kategori ini merupakan kontraindikasi mutlak selama kehamilan. Sebagai
contoh adalah isotretionin dan dietilstilbestrol.

III.2 PEMAKAIAN BEBERAPA OBAT SELAMA PERIODE KEHAMILAN


III.2.1. Antibiotika & antiseptika
Infeksi pada saat kehamilan tidak jarang terjadi, mengingat secara
alamiah risiko terjadinya infeksi pada periode ini lebih besar, seperti
misalnya infeksi saluran kencjng karena dilatasi ureter dan stasis yang
biasanya muncul pada awal kehamilan dan menetap sampai beberapa

saat setelah melahirkan. Dalam menghadapi kehamilan dengan infeksi,


pertimbangan pengobatan yang harus diambil tidak saja dari segi ibu,
tetapi juga segi janin, mengingat hamper semua antibiotika dapat
melintasi plasenta dengan segala konsekuensinya. Berikut akan dibahas
antibiotika yang dianjurkan maupun yang harus dihindari selama
kehamilan, agar di samping tujuan terapetik dapat tercapai semaksimal
mungkin, efek samping pada ibu dan janin dapat ditekan seminimal
mungkin.
III.2.1.1. Penisilin
Obat-obat yang termasuk dalam golongan penisilin dapat dengan
mudah menembus plasenta dan mencapai kadar terapetik baik pada janin
maupun cairan amnion. Penisilin relatif paling aman jika diberikan selama
kehamilan, meskipun perlu pertimbangan yang seksama dan atas indikasi
yang ketat mengingat kemungkinan efek samping yang dapat terjadi pada
ibu.
III.2.1.2. Sefalosporin
Sama halnya dengan penisilin, sefalosporin relatif aman jika
diberikan pada trimester pertama kehamilan. Kadar sefalosporin dalam
sirkulasi janin meningkat selama beberapa jam pertama setelah
pemberian dosis pada ibu, tetapi tidak terakumulasi setelah pemberian
berulang atau melalui infus. Sejauh ini belum ada bukti bahwa pengaruh
buruk sefalosporin seperti misalnya anemia hemolitik dapat terjadi pada
bayi yang dilahirkan oleh seorang ibu yang mendapat sefalosporin pada
trimester terakhir kehamilan.
III.2.1.3. Tetrasiklin
Seperti halnya penisilin dan antibiotika lainnya, tetrasiklin dapat
dengan mudah melintasi plasenta dan mancapai kadar terapetik pada
sirkulasi janin. Jika diberikan pada trimester pertama kehamilan, tetrasiklin
menyebabkan terjadinya deposisi tulang in utero, yang pada akhirnya
akan menimbulkan gangguan pertumbuhan tulang, terutama pada bayi

prematur. Meskipun hal ini bersifat tidak menetap (reversibel) dan dapat
pulih kembali setelah proses remodelling, namun sebaiknya tidak
diberikan pada periode tersebut. Jika diberikan pada trimester kedua
hingga ketiga kehamilan, tetrasiklin akan mengakibatkan terjadinya
perubahan warna gigi (menjadi kekuningan) yang bersifat menetap
disertai hipoplasia enamel. Mengingat kemungkinan risikonya lebih besar
dibanding manfaat yang diharapkan maka pemakaian tetrasiklin pada
wanita hamil sejauh mungkin harus dihindari.
III.2.1.4. Aminoglikosida
Aminoglikosida

dimasukkan

dalam

kategori

obat

D,

yang

penggunaannya oleh wanita hamil diketaui meningkatkan angka kejadian


malformasi dan kerusakan janin yang bersifat ireversibel. Pemberian
aminoglikosida pada wanita hamil sangat tidak dianjurkan. Selain itu
aminoglikosida juga mempunyai efek samping nefrotoksik dan ototoksik
pada ibu, dan juga dapat menimbulkan kerusakan ginjal tingkat seluler
pada janin, terutama jika diberikan pada periode organogeneis. Kerusakan
saraf kranial VIII juga banyak terjadi pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh
ibu yang mendapat aminoglikosida pada kehamilan.
III.2.1.5. Kloramfenikol
Pemberian kloramfenikol pada wanita hamil, terutama pada
trimester II dan III, di mana hepar belum matur, dapat menyebabkan
angka terjadinya sindroma Grey pada bayi, ditandai dengan kulit sianotik
(sehingga bayi tampak keabuabuan), hipotermia, muntah, abdomen
protuberant, dan menunjukkan reaksi menolak menyusu, di samping
pernafasan yang cepat & tidak teratur, serta letargi. Kloramfenikol
dimasukkan

dalam

kategori

C,

yaitu

obat

yang

karena

efek

farmakologiknya dapat menyebabkan pengaruh buruk pada janin tanpa


disertai malformasi anatomik. Pengaruh ini dapat bersifat reversibel.
Pemberian kloramfenikol selama kehamilan sejauh mungkin dihindari,
terutama pada minggu-minggu terakhir menjelang kelahiran dan selama
menyusui.

III.2.1.6. Sulfonamida
Obat-obat yang tergolong sulfonamida dapat melintasi plasenta dan
masuk dalam sirkulasi janin, dalam kadar yang lebih rendah atau sama
dengan kadarnya dalam sirkulasi ibu. Pemakaian sulfonamida pada
wanita hamil harus dihindari, terutama pada akhir masa kehamilan. Hal ini
karena sulfonamida mampu mendesak bilirubin dari tempat ikatannya
dengan protein, sehingga mengakibatkan terjadinya kern-ikterus pada
bayi yang baru dilahirkan. Keadaan ini mungkin akan menetap sampai 7
hari setelah bayi lahir.
III.2.1.7. Eritromisin
Pemakaian eritromisin pada wanita hamil relatif aman karena
meskipun dapat terdifusi secara luas ke hampir semua jaringan (kecuali
otak dan cairan serebrospinal), tetapi kadar pada janin hanya mencapai 12% dibanding kadarnya dalam serum ibu. Di samping itu, sejauh ini belum
terdapat bukti bahwa eritromisin dapat menyebabkan kelainan pada janin.
Kemanfaatan eritromisin untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh
Chlamydia pada wanita hamil serta pencegahan penularan ke janin cukup
baik, meskipun bukan menjadi obat pilihan pertama. Namun ditilik dari
segi keamanan dan manfaatnya, pemakaian eritromisin untuk infeksi
tersebut lebih dianjurkan dibanding antibiotika lain, misalnya tetrasiklin.
III.2.1.8. Trimetoprim
Karena volume distribusi yang luas, trimetoprim mampu menembus
jaringan fetal hingga mencapai kadar yang lebih tinggi dibanding
sulfametoksazol, meskipun kadarnya tidak lebih tinggi dari ibu. Pada uji
hewan, trimetoprim terbukti bersifat teratogen jika diberikan pada dosis
besar. Meskipun belum terdapat bukti bahwa trimetoprim juga bersifat
teratogen pada janin, tetapi pemakaiannya pada wanita hamil perlu
dihindari. Jika terpaksa harus memberikan kombinasi trimetoprim +
sulfametoksazol pada kehamilan, diperlukan pemberian suplementasi
asam folet.
III.2.2. Analgetika

Keluhan nyeri selama masa kehamilan umum dijumpai. Hal ini


berkaitan dengan masalah fisiologis dari si ibu, karena adanya tarikan
otot-otot dan sendi karena kehamilan, maupun sebab-sebab yang lain.
Untuk nyeri yang tidak berkaitan dengan proses radang, pemberian obat
pengurang nyeri biasanya dilakukan dalam jangka waktu relative pendek.
Untuk nyeri yang berkaitan dengan proses radang, umumnya diperlukan
pengobatan dalam jangka waktu tertentu. Penilaian yang seksama
terhadap penyebab nyeri perlu dilakukan agar dapat ditentukan pilihan
jenis obat yang paling tepat.
III.2.2.1 Analgetika-narkotika
Semua analgetika-narkotika dapat melintasi plasenta dan dari berbagai
penelitian pada gewan uji, secara konsisten obat ini menunjukkan adanya
akumulasi pada jaringan otak janin. Terdapat bukti meningkatkan kejadian
permaturitas, retardasi pertumbuhan intrauteri, fetal distress dan kematian
perinatal

pada

bayi-bayi

yang

dilahirkan

oleh

ibu

yang

sering

mengkonsumsi analgetika-narkotik. Keadaan withdrawl pada bayi-bayi


yang baru lahir tersebut biasanya manifes dalam bentuk tremor, iritabilitas,
kejang, muntah, diare dan takhipnoe.
Metadon:
Jika

diberikan pada

kehamilan

memberi

gejala withdrawal

yang

munculnya lebih lambat dan sifatnya lebih lama dibanding heroin.


Beratnya withdrawal karena metadon nampaknya berkaitan dengan
meningkatnya dosis pemeliharaan pada ibu sampai di atas 20 mg/hari
Petidin
Dianggap paling aman untuk pemakaian selam proses persalinan. Tetapi
kenyataannya bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat petidin
selama proses kelahiran menunjukkan skala neuropsikologik yang lebih
rendah disbanding bayi-bayi yang ibunya tidak mendapat obat ini, atau
yang mendapat anestesi lokal. Dengan alasan ini maka pemakaian petidin
pada persalinan hanya dibenarkan apabila anestesi epidural memang
tidak memungkinkan.

III.2.2.2. Analgetika-antipiretik
Parasetamol:
Merupakan analgetika-antipiretik yang relatif paling aman jika diberikan
selama kehamilan. Meskipun kemungkinan terjadinya efek samping
hepatotoksisitas tetap ada, tetapi umumnya terjadi pada dosis yang jauh
lebih besar dari yang dianjurkan.
Antalgin:
Dikenal secara luas sebagai pengurang rasa nyeri derajat ringan. Salah
satu efek samping yang dikhawatirkan pada penggunaan antalgin ini
adalah terjadinya agranulositosis. Meskipun angka kejadiannya relatif
sangat jarang, tetapi pemakaian selama kehamilan sebaiknya dihindari.
II.2.2.3. Antiinflamasi non-steroid
Dengan dasar mekanisme kerjanya yaitu menghambat sintesis
prostaglandin,

efek

samping

obat-obat

antiinflamasi

non-steroid

kemungkinan lebih sering terjadi pada trimester akhir kehamilan. Dengan


terhambatnya sintesis prostaglandin, pada janin akan terjadi penutupan
duktus arteriosus Botalli yang terlalu dini, sehingga bayi yang dilahirkan
akan menderita hipertensi pulmonal. Efek samping yang lain adalah
berupa tertunda dan memanjangnya proses persalinan jika obat ini
diberikan pada trimester terakhir. Sejauh ini tidak terdapat bukti bahwa
antiiflamasi non-steroid mempunyai efek teratogenik pada janin dalam
bentuk malformasi anatomik. Namun demikian, pemberian obat-obat
tersebut selama kehamilan hendaknya atas indikasi yang ketat disertai
beberapa pertimbangan pemilihan jenis obat. Pertimbangan ini misalnya
dengan memilih obat yang mempunyai waktu paruh paling singkat,
dengan risiko efek samping yang paling ringan.
III.2.4. Antiepilepsi
Fenitoin (difenilhidantoin) dapat melintasi plasenta dan mencapai
sirkulasi janin setelah pemberian dosis terapetik secara intravenosa. Dosis
tertinggi pada janin ditemukan dalan hepar, jantung, dan glandula adrenal.

Pada wanita hamil yang mendapat pengobatan fenitoin jangka panjang,


kadar fenitoin dalam sirkulasi janin sama dengan kadarnya dalam sirku
janin sama dengan kadarnya dalam sirkulasi ibu. Waktu paruh fenitoin
pada bayi baru lahir sekitar 60-70 jam dan obat masih didapat dalam
plasma bayi, hingga hari ke lima setelah kelahiran. Pemberian fenitoin
selama kehamilan dalam jangka panjang ternyata berkaitan erat dengan
meningkatnya angka kejadian kelainan congenital pada bayi yang
dilahirkan. Kelainan ini berupa malformasi kraniofasial disertai penyakit
jantung kongenital, celah fasial, mikrosefalus dan beberapa kelainan pada
kranium dan tulang-tulang lainnya. Oleh karena itu pemakaian fenitoin
selama kehamilan sangat tidak dianjurkan. Obat-obat antiepilepsi lain
seterti karbamazepin dan fenobarbiton ternyata juga menyebabkan
terjadinya malformasi kongendital (meskipun lebih ringan ) pada bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang mengkonsumsi obat-obat tersebut selama masa
kehamilannya.
Pemakaian asam valproat selama kehamilan mungkin meningkatkan
derajat defek tuba neuralis. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa 12 % spina bifida pada bayi baru lahir terjadi karena ibu mengkonsumsi
asam valproat selama masa kehamilannya.
III.2.5. Antihipertensi
Dalam praktek sehari-hari tidak jarang kita menjumpai seorang wanita
yang dalam masa kehamilannya menderita hipertensi. Dalam hal ini yang
harus diperhatikan adalah apakah wanita tersebut memang penderita
hipertensi atau hipertensi yang dialami hanya terjadi selama masa
kehamilan. Meskipun pendekatan terapi antar keduanya berbeda, tetapi
tujuan terapinya adalah sama yaitu mencegah terjadinya hipertensi yang
lebih berat agar kehamilannya dapat dipertahankan hingga cukup bulan,
serta menghindari kemungkinan terjadinya kematian maternal karena
eklamsia atau hemoragi serebral terutama saat melahirkan. Sejauh
mungkin juga diusahakan agar tidak terjadi komplikasi atau kelainan pada

bayi yang dilahirkan, baik karena hipertensinya maupun komplikasi yang


menyertainya. Berikut akan dibahas pemakaian obat-obat antihipertensi
selama masa kehamilan.
- Golongan penyekat adrenoseptor beta
Obat-obat golongan ini seperti misalnya oksprenolol dan atenolol dapat
melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin dengan memberi efek
blokade beta pada janin. Oksprenolol dan atenolol relatif aman dan tidak
terbukti meningkatkan kejadian kejadian malformasi janin, meskipun
terdapat beberapa kasus bayi dengan bradikardi temporer setelah
pemberian atenolol pada ibu selama kehamilannya.
- Vasodilator
Pada kehamilan, diazoksid, dan hidralazin umumnya digunakan untuk
mencegah kelahiran prematur akibat eklampsia, dimana efeknya tidak
saja berupa relaksasi otot vaskuler tetapi juga berpengaruh terhadap otot
uterus.

Jika

digunakan

selama

masa

kehamilan

aterm

dapat

mengakibatkan lambatnya persalinan. Pada pemakaian jangka panjang,


diazoksid dapat menyebabkan terjadinya alopesia dan gangguan toleransi
glukosa pada bayi baru lahir.
- Golongan simpatolitik sentral:
Metildopa relatif aman selama masa kehamilan. Obat ini mampu melintasi
barier plasenta dengan kadar yang hampir sama dengan kadar maternal.
Pemberian metildopa hanya efektif untuk hipertensi yang lebih berat.
Klonidin juga relatif aman untuk ibu dan janin, tetapi pada dosis besar
sering memberi efek samping seperti sedasi dan mulut kering. Secara
lebih tegas, obat-obat antihipertensi yang tidak dianjurkan selama
kehamilan meliputi :
1. Pemakaian obat-obat golongan antagonis kalsium seperti verapamil,
nifedipin, dan diltiazem selama kehamilanternyata

menunjukkan

kecenderungan terjadinya hipoksia fetal jika terjadi hipotensi pada


maternal.

2. Diuretika sangat tidak dianjurkan selama masa kehamilan karena di


samping

mengurangi

volume

plasma

juga

mengakibatkan

berkurangnya perfusi utero-plasenta.


3. Obat-obat seperti reserpin sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil
karena dapat menyebabkan hilangnya termoregulasi pada neonatal jika
dikonsumsi selama trimester III.
4. Obat-obat penyekat neuroadrenergik seperti debrisokuin dan guanetidin
sebaiknya juga tidak diberikan selama kehamilan karena menyebabkan
hipotensi postural dan menurunkan perfusi uteroplasental.
5. Pemakaian obat Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor seperti
kaptopril dan enalapril sangat tidak dianjurkan selama kehamilan
karena meningkatkan kejadian mortalitas janin.

Penggolongan obat untuk wanita hamil


Golongan I
Golongan I meliputi obat-obatan yang telah terbukti aman bagi wanita
hamil dalam trimester tertentu, antara lain :
Nama Generik
Antidiare : Kaolin
Antimuntah :
Vitamin B6
Antihistaminika :

Dalam trimester
Trimester 1, 2 dan 3
Trimester 1 dan 2
Tidak berkaitan dengan efek samping pada janin
Trimester 1 dan 2

Dimenhidrat
Doksilamin
Antihipertensi :
Hidralazin

Propranolol
Atenolol, dan
Oksprenolol
Antibakteri :
Penisilin

Sefalosporin,
Eritromisin,
Linkomisin,
Klindamisin
Methenamin

Tidak berkaitan dengan efek samping pada janin


Trimester 1 , 2 dan 3
Sekarang hanya digunakan secara parenteral, untuk mengatasi
krisis hipertensi.
Trimester 1 , 2 dan 3
Tidak terjadi abnormalitas. Laporan hambatan pertumbuhan dan
jarang menyebabkan hipoglikemia, depresi pernapasan pada
neonates, dan memperpanjang kelahiran. Kemanan didapat
dengan penggunaan yang ekstensif.
Trimester 1 , 2 dan 3
Dalam batas terapi normal, tidak ada laporan reaksi pada janin,
hati-hati sensitasi dalam rahim.
Trimester 1 , 2 dan 3
Dalam batas terapi normal, tidak ada laporan terjadi reaksi pada
janin.
Trimester 1
Tidak ada laporan terjadi reaksi janin.

Antifungi :
Nistatin
Mikonazol
Antiparkinson :
Bromokriptin
Asma :
Aminofilin, Teofilin
Beta-stimulan
(Oral)

Trimester 1 , 2 dan 3
Baik terhadap vaginitis monilial, dalam waktu pendek.
Trimester 1 dan 2
Dapat menghambat ukuran kadar prolactin, tapi bayi lahir normal
pada penggunaan terus-menerus selama hamil.
Trimester 1 dan 2
Dilaporkan terjadi iritabilitas dan apnoea, ketagihan dan
gangguan farmakokinetik sesuai dengan kadarnya.
Trimester 2
Takikardia,menghambat kelahiran,dan dilaporkan meningkatkan
anomaly minor. Hindari penggunaannya dalam

Kromoglikat

Kortikosteroid :
Betametason
Hipoglikemik :
Insulin
Laksan :
Laksan
Pembentuk
Gumpalan
(misalnyaPsilium)
Sediaan tiroid :
1- Tiroksin

Trimester 1 , 2 dan 3
Dengan dosis terapi, tidak dilaporkan terjadi efek samping pada
janin.
Trimester 3
Digunakan untuk mempercepat kesempurnaan paru janin dengan
sindroma susah bernapas, dan juga mempermudah metabolism
obat pada neonatus.
Trimester 1 , 2 dan 3
Aman jika dihindari terjadinya hipoglikemia pada ibunya. Insulin
monokomponen lebih menjadi obat pilihan.
Trimester 1 , 2 dan 3

Trimester 1 dan 2
Periksa fungsi tiroid dari neonatus

Golongan II
Golongan II meliputi obat-obatan yang dianggap aman bagi wanita dalam
trimester tertentu, dengan catatan data informasi yang didapat masih
terbatas, antara lain :
Nama Generik
Analgetika-Antiradang :
Antiradang
Non-steroid
Parasetamol

Antidepresan :
Amitriptilin

Dalam trimester
Trimester 1
Tidak ada bukti terjadinya efek organogenesis, penutupan premature dari
ductus arteriosus dan hipertensi paru pada waktu melahirkan.
Trimester 1 , 2 dan 3
Menjadi obat pilihan dibandingkan asetosal, waktu paruh pendek, dan
kadar dalam darah rendah. Dengan dosis terapi baik untuk mengatasi
sakit kepala ringan. Dosis 10-15 kali lebih besar dari dosis yang
dianjurkan, dapat menimbulkan hepatotoksisitas dan kerusakan ginjal.
Trimester 1
Gejala putus obat

Nortriptilin

Trimester 1
Dilaporkan terjadi 1 kasus urine pada neonates.

Imipramin

Trimester 1
Dilaporkan terjadi 1 kasus masalah yang terjadi pada pernapasan, saraf
dan peredaran darah, dan 1 kasus terjadi trombositopenia.
Trimester 1 , 2 dan 3
Diperlukan pengalaman lebih banyak. Tidak ada laporan terjadi anomaly.
Perbandingan risiko-keuntungan, baik bagi wanita hamil penderita
hipertensi. Dapat mempercepat kesempurnaan paru.

Antihipertensi :
Labetalol

Prazosin
Sedativa-Hipnotika
Oksazepam
Termazepam
Imunosupresif :
Siklosporin A

Trimester 1 , 2 dan 3
Pengalaman masih terbatas, tapi perbandingan risiko-keuntungan cukup
baik.
Trimester 3
Dilaporkan tidak menyebabkan sindroma bayi yang berat dan terkulai.
Trimester 3
Trimester 1
Dilaporkan terjadi hambatan pertumbuhan janin yang berat. Kemungkinan
terjadi efek langsung siklosporin A pada janin tidak dapat diabaikan.

Golongan III
Golongan III meliputi obat-obatan yang digunakan hati-hati pada wanita
hamil dalam trimester tertentu, dan mempertimbangkan dengan cermat
risiko-keuntungan yang didapat, antara lain :
Nama Generik
Anestetika :

Dalam trimester
Tidak terbukti membahayakan, asal hipotensi dan depresi pernapasan
pada ibu dihindari.

Dihirup

Trimester 2 dan 3
Dapat menekan pernapasan neonates, dsan kemungkinan terjadi
anomaly pada alat pendengaran. Kemungkinan terjadi efek abortif pada
wanita hamil dari tim bedah.

Secara IV

Trimester 3
Mungkin mempengaruhi pernapasan neonates.

Tripenton

Trimester 3
Dapat menyebabkan depresi system saraf pusat.

Lokal

Trimester 3
Dosis besar dapat menekan pernapasan neonates, selanjutnya hipotonia,
bradikardia setelah blockade paraservik/epidural, kemudian apnoea,
kunvulsi.

Prilokain,
Prokain

Trimester 3
Dilaporkan terjadi methemoglobin dan depresi sistem saraf pusat pada
noenatus.

Lignokain

Trimester 3
Dilaporkan terjadi methemoglobin, hipotensi, bradikardia dan depresi
sistem saraf pusat pada janin.

Mepivakain

Trimester 3
Dilaporkan terjadinya reaksi pada janin, termasuk methemoglobin,
hipotensi, bradikardia dan depresi system saraf pusat.

Analgetika-Antiradang
Opioid Kuat
Trimester 3
Ketergantungan pada golongan opioid, disebabkan oleh besarnya
kemungkinan terjadi komplikasi pada ibu dan janinnya. Gejala nya putus
obat yang tiba-tiba, dapat menyebabkan kematian janin dalam kandungan
atau kelahiran premature. Obat golongan opioid yang digunakan pada
waktu mendekati kelahiran, dapat menyebabkan depresi klinik dan
pernapasan pada neonates.
Metadon

Trimester 3
Dapat menyebabkan sindroma putus obat pada bayi.

Dekstropropoksifen

Trimester 3
Menimbulkan efek putus obat.

Pentazosin

Trimester 3
Penyalahgunaan, dapat menimbulkan efek langsung daripada efek
lingkungan.

Kodein

Trimester 3
Menimbulkan efek putus obat

Asetosal

Trimester 1 dan 2
Pada penyalahgunaan rutin dengan dosis terapi, tidak ada bukti
membahayakan, tapi selain dengan dosis dilaporkan terjadi
embriyotoksisitas.

Antiradang nonsteroid
Antikolinergik :
Atropin, Hiosin
Disiklomin
Antikolinesterase

Neotigmin,
Piridostigmin
Antikoagulan :
Heparin

Antikonvulsan :
Fenobarbital

Primidon
Karbamazepin

Sulthiame,
Klonazepam
Klobazam
Antidepresan :
Golongan trisiklik

Nortriptilin
Imipramin
Antidiare :
Sulfasalazin
Antimuntah :
Meklozin
Prometazin

Trimester 2
Lihat catatan antiradang non-steroid pada golongan II.
Trimester 1 , 2 dan 3
Meningkatkan kecepatan jantung janin dan menutupi bahaya yang terjadi.
Trimester 1 , 2 dan 3
Dapat terjadi reaksi ringan pada janin.
Trimester 3
Dapat menyebabkan kelemahan otot yang bersifat sementara.
Trimester 3
Dosis besar menyebabkan myasthesia pada neonatus
Trimester 1 , 2 dan 3
Antikoagulan pilihan, melintasi plasenta dalam jumlah kecil, tapi
dilaporkan terjadi osteoporosis setelah dalam waktu lama, aborsi dan
kejadian bayi lahir mati tinggi.
Trimester 2
Digital,facial abnormalitas, koagulopati, pendarahan neonates, tapi
digunakan untuk mempercepat konjugasi glukoronida bilirubin.
Trimester 2
Lihat fenobarbital
Trimester 1 , 2 dan 3
Terapi alternative logis untuk fenitoin, lingkar kepala bayi dapat lebih kecil
tapi pertumbuhan normal.
Trimester 1 , 2 dan 3
Tidak terdapat informasi
Trimester 3
Kadang-kadang terjadi iritabilitas, takikardia, spasme otot, konvulsi,
retensi urine, dan efek putus obat. Dilaporkan terjadi reaksi pada janin jika
menggunakan golongan trisiklik dalam waktu lama dan tidak terdapat
informasi dari penggunaan obat baru non-trisiklik.
Trimester 3
Dilaporkan 1 kasus retensi urine.
Trimester 3
Dilaporkan 1 kasus yang berkaitan dengan pernapasan, peredaran darah,
dan saraf, selain 1 kasus trombositopenia.
Trimester 1, 2 dan 3
Potensial terjadi risiko hemolysis, kernicterus dan jaundice pada
neonates.
Lihat obat antihistaminika.
Trimester 1 dan 2

Tidak berkaitan dengan anomaly pada janin, tapi menekan reaksi bayi
pada waktu kelahiran.
Proklorperazin

Metoklopramid

Vitamin B-6
Antihistaminika :
Meklozin
Antihipertensi :
ACE Inhibitor

Trimester 1
Laporan terjadinya efek samping pada janin, belum dapat dibuktikan.
Trimester 1,2 dan 3
Tidak dilaporkan terjadi efek samping pada janin, tapi tidak banyak
digunakan pada wanita hamil.
Trimester 3
Tidak dikaitkan dengan efek samping pada janin.
Trimester 3
Dugaan terjadinya embriotoksisitas, tidak terbukti.
Trimester 1, 2 dan 3
Kemungkinan anuria neonates, dan monitor ductus arteriosus pada
pasien bayi.

Klonidin

Trimester 1, 2 dan 3
Tidak ada informasi

Diazoksida

Trimester 1, 2 dan 3
Penggunaan dalam waktu lama dapt menyebabkan alopecia,hipoglikemia
yang jarang terjadi, menghambat aktivitas Rahim pada waktu melahirkan,
hipotonia, dan apnoea. Hindari hipotensi pada si ibu.

Beta-Bloker
Antibakteri :
Sulfonamida

Ko-trimoksazol

Asam nalidiksat
Nitrofurantoin
Trikomoniasida :
Golongan Nitroimidazol

Antifungi :
Ketokonazol

Trimester 1, 2 dan 3
Hipotensi pada bayi, hipoglikemia pada neonates dan dilaporkan terjadi
bradikardia, tapi hubungan penyebab efek tidak jelas.
Trimester 1 dan 2
Hemolisis pada neonates yang kekurangan G6PD, dan mempercepat
terjadi jaundice dan kernicterus.
Trimester 1 dan 2
Dalam batas terapi normal tidak dilaporkan terjadi reaksi pada janin,tapi
waspada terhadap sensitasi dalam Rahim. Penggunaannya perlu hati-hati
karena risiko terjadi kernicterus pada neonates yang menderita jaundice.
Trimester 1
Dapat menyebabkan penyimpanan kromosom
Trimester 2
Dapat menyebabkan hemolysis pada kasus kekurangan G6PD,kecuali
dosis yang tepat mungkin aman.
Trimester 1, 2 dan 3
Dilaporkan efek tumorigenic pada binatang, tapi tidak dilaporkan terjadi
malformasi pada janin.
Trimester 1, 2 dan 3
Jika dosis tinggi menimbulkan tumorigenic pada binatang. Dosis tinggi

juga memblokade sintesa androgen dan kortikosteroid. Tidak dilaporkan


terjadi kasus malformasi.
Antituberkulosa :
Etambutol

INH
Antimalaria :
Primakuin

Klorokuin

Trimester 1, 2 dan 3
Teoritis menyebabkan risiko malformasi, tapi tidak terjadi kerusakan.
Trimester 1, 2 dan 3
Umumnya tidak menimbulkan efek samping pada ibu maupun janinnya.
Penambahan 10 mg vitamin B-6 pada setiap dosis, untuk mencegah
kerusakan syaraf.
Trimester 2
Kurang toksik dibandingkan dengan kina, pada neonates yang
kekurangan G6PD dapat terjadi hemolysis dan methemoglobinemia.
Trimester 1, 2 dan 3
Dengan dosis yang dianjurkan, tidak menimbulkan efek samping pada
janin.

Golongan IV
Golongan IV meliputi obat-obatan yang harus digunakan sebagai pilihan
kedua dalam trimester tertentu, jika tidak tersedia obat golongan I, Ii dan
III yang lebih aman. Pemilihan obat dari golongan ini perlu hati-hati.
Nama Generik
Antikonvulsan :

Dalam trimester
Resiko terjadi malformasi janin pada ibu penderita epilepsy, 2-3 kali
dibandingkan dengan ibu non-epilepsi. Biasanya terjadi facial cleft, gernia
diafragmatik, dan abnormalitas jantung. Pertimbangan keuntungan yang
didapat si ibu, menambah risiko pada janin. Dalam 2-15 hari setelah
dilahirkan, efek putus obat mencapai 20-60% pada neonates. Selama
hamil, kebutuhan obat antikonvulsan meningkat dan dengan cepat
kembali normal setelah melahirkan. Dosis disesuaikan selam masa
kehamilan.

Fenitoin

Trimester 1, 2 dan 3
Telah diketahui fenitoin mempunyai efek embriotoksik ringan (sindroma
fetal hidantoin). Anomali yang serius masih diperdebatkan, tapi kasus
anomaly bawaan mencapai 10%. Gangguan pertumbuhan atau
kekurangan mental dapat mencapai 30%. Kemungkinan terjadi
pendarahan dan timbul efek putus obat pada janin.

Fenobarbital

Trimester 1 dan 3
Lihat catatan fenobarbital dalam golongan III.

Primidon

Trimester 1 dan 3
Lihat catatan Primidon dalam golongan III
Trimester 1, 2 dan 3
Perlu hati-hati karena dapat menembus plasenta, terutama dapat
menyebabkan cacat tube saraf. Disarankan untuk dilakukan diagnose
prenatal.

Antibakteri :
Sulfonamida

Trimester 3

Lihat catatan sulfonamide dalam golongan 3


Ko-trimosazol

Trimester 3
Lihat catatan ko-trimosazol dalam golongan 3

Trimetoprim

Trimester 1, 2 dan 3
Menginaktifkan obat kontrasepsi oral, dan meningkatkan risiko
pendarahan pada neonates. Pada binatang percobaan merupakan
embriotoksik, kematian dalam Rahim dan malformasi.

Antituberkulosa :
Rifampisin

Antimalaria :
Dapson

Trimester 1, 2 dan 3
Menginaktifkan obat kontrasepsi oral, dan meningkatkan risiko
pendarahan pada neonates. Pada binatang percobaan merupakan
embriotoksik, kematian dalam Rahim dan malformasi.
Trimester 1, 2 dan 3
Hemolisis dan methemoglobinemia pada neonates. Tidak ada bukti
menyebabkan dismorfogenitas.

Kina

Trimester 1, 2 dan 3
Dosis sangat tinggi merupakan embriotoksik

Primakuin

Trimester 3
Lihat catatan primakuin dalam golongan III

Primetamin

Trimester 1, 2 dan 3
Antagonis folat, mungkin bersifat embriotoksik meskipun belum pernah
dilaporkan terjadi pada manusia.

Sulfadoksin

Trimester 1, 2 dan 3
Dapat menyebabkan jaundice dan kernicterus. Terjadi sensitisasi silang
dengan golongan sulfon.

Proguanil

Trimester 1, 2 dan 3
Antagonis folat, kemungkinan timbul risiko seperti pada penggunaan
primetamin.

Antipsikotika/
Antimaniak
Golongan
Fenotiazin
Antiarithmia :
Amiodaron
Stimulan system syaraf
pusat :
Amfetamin
Diuretika :
Golongan Tiazida
Hipnotika-Sedativa :
Barbital

Trimester 1 dan 2
Lihat catatan golongan fenotiazin dalam gol.III
Trimester 2 dan 3
Risiko timbul pada neonates. Monitor fungsi tiroid dari neonates
Trimester 1, 2 dan 3
Kemungkinan bersifat embriotoksik, dan timbul gejala putus obat pada
neonates.
Trimester 2 dan 3
Trombositopenia, depresi susmsum tulang, hipobilirubinemia dan asidosis,
dapat terjadi pada neonatus.
Trimester 2 dan 3
Dikaitkan dengan cleft palate bibir, dapat menyebabkan pendarahan

kemudian keganasan, gejala putus obat pada neonates dan serangan.


Hipoglikemik :
Golongan sulfonylurea

Trimester 1, 2 dan 3
Tidak dianjurkan untuk digunakan pada wanita hamil.
Tidak ada bukti terjadinya embriotoksisitas, tapi diduga dapat
menimbulkan efek samping hipoglikemia pada neonates, gangguan
pernapasan, dan meningkatkan risiko mortalitas pada janin. Sebagai
pengganti dapat digunakan insulin, atau terapi per oral dihentikan lebih
dari 2 hari sebelum melahirkan.

Golongan V
Golongan V meliputi obat-obatan yang penggunaannya dalam trimester
tertentu merupakan kontraindikasi, antara lain :
Nama Generik
Analgetika-antiradang :
Asetosal

Dalam trimester
Trimester 3
Lihat catatan asetosal pada golongan III

Antiradang
Non-steroid
Antikoagulan :
Antikoagulan oral

Warfarin

Antikonvulsan :
Ethoksusimid
Antihipertensi :
Antagonis Ca

Trimester 3
Lihat catatan obat antiradang non-steroid dalam golongan III
Trimester 1, 2 dan 3
Kontraindikasi, pendarahan multiple pada janin dan neonates, kematian
janin, dan malformasi bawaan.
Trimester 1, 2 dan 3
Embriotoksik, kurang lebih 30% neonates menunjukkan terjadinya efek
samping seperti pendarahan pada neonates terutama penggunaan dalam
waktu lama, tapi responsive terhadap vitamin K. Dapat juga terjadi aborsi,
lahir mati, cacat system saraf pusat, morbiditas perinatal meningkat dan
kematian janin dalam Rahim.
Trimester 1
Kemungkinan bersifat embriotoksik
Trimester 3
Dapat menghalangi kelahiran

Bethanidin,
Debrisokuin
Guanethidin

Trimester 1, 2 dan 3
Hipotensi postural, dan menurunkan perfusi plasenta.

Vasokontriktor
Metaraminol

Trimester 1, 2 dan 3
Hindari, dapat menurunkan perfusi plasenta.

Metildopa

Trimester 1, 2 dan 3
Kemungkinan aman jika di bawah pengawasan, dan memberikan hasil
positif langsung terhadap Coombs Test.

Antibakteri :
Aminoglikosida

Trimester 1, 2 dan 3

Kerusakan saraf ke-8, risiko lebih tinggi pada penggunaan sterptomisin


dan kanamisin dibandingkan dengan Gentamisin dan tobramisin
Golongan
Tetrasiklin

Kloramfenikol

Trimester 1, 2 dan 3
Kadar pada janin 50% dari kadar dalam darah ibunya. Penggunaan dosis
besar secara parenteral memounyai efek hepatoksisitas. Pada anaknya
dapat mengganggu pertumbuhan tulang dan pewarnaan gigi.
Trimester 3
Dilaporkan terjadi eraksi pada janin, termasuk Grey Syndrome. Kolaps
kardiovaskular, hypothermia, sianosis dan kematian.
Trimester 1, 2 dan 3
Nefrotoksisitas dan neurotoksisitas

Polimiksin B

Trimester 1, 2 dan 3

Kolistin

Trimester 1, 2 dan 3
Otottoksisitas dan nefrotoksisitas

Vankomisin
Antifungi :
Flusitosin

Amfoterisin B
Griseofulvin
Antineoplastik :
Alkilator
Klormabusil

Trimester 1, 2 dan 3
Embriotoksik pada binatang, kemungkinan juga pada manusia.
Trimester 1, 2 dan 3
Embriotoksik, abnormalitas multiple dan aborsi
Trimester 1, 2 dan 3
Aborsi dan malformasi
Trimester 1
Risiko tinggi embriotoksik
Trimester 1 dan 2
Embriotoksisitas dan hambatan pertumbuhan janin dalam rahim.

Metotreksat

Trimester 1, 2 dan 3
Bersifat embriotoksik

Merkaptopurin

Trimester 1
Risiko efek embrionitoksik, dapat menyebabkan aborsi.

Sitarabin

Trimester 1 dan 2
Kemungkinan terjadi abnormalitas, hemolitik dan anemia lebih besar.

Daktinomisin

Trimester 1, 2 dan 3
Dapat menyebabkan kematian dan menghambat pertumbuhan janin
dalam Rahim.
Trimester 1 dan 2
Efek samping terjadi pada binatang, yang dapat menyeabkan malformasi.

Vinblastin,
Vinkristin dan
Vindesin

BAB IV
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa obat-obat yang tidak boleh diberikan
pada ibu hamil adalah

a. Antibiotik :Tetrasiklin, Aminoglikosida, Kloramfenikol, Sulfonamida,


Trimetoprim dan Nitrofurantoin.
b. Analgetik : anarkotik (metadon, petidin)
c. Antihipertensi : antagonis kalsium (verapamil, nifedipin, diltiazem),
diuretik, reserpin, ACE inhibitor.

DAFTAR PUSTAKA
1. Australian Drug Evaluation Committee (1989) Medicine in Pregnancy.
Australian Goverment Publishing Service, Canberra.

2. Katzung BG (1987) Basic and Clinical Pharmacology,3rd edition.


Lange Medical Book, California.
3. Speight TM (1987) Averys Drug Treatment: Principles and Practice of
Clinical

Pharmacology

and

Therapeutics,

3 rd

edition.ADIS

press,Auckland.
4. Suryawati

et

al

(1990),

Pemakaian

Obat

pada

Kehamilan.Laboratorium Farmakologi Klinik FK-UGM, Yogyakarta


5. Rubin, Peter dan Margareth Ramsay.Prescribing in Pregnancy 4
edition.Blackwell Publishing. Australia. 2008. Hal 2 dan 4.
6. Sartono. 2005. Obat dan Wanita. Bandung : Penerbit ITB.
7. Tambayong, Jan. 2001. Farmakologi untuk Keperawatan.Jakarta :
Widya Medika.
8. Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2006. Pedoman
Pelayanan Farmasi untuk Ibu Hamil DAN Menyusui. Jakarta :
Departemen Kesehatan R I

TUGAS FARMASI KLINIK

PEMAKAIAN OBAT PADA IBU HAMIL

OLEH :
KELOMPOK 5
Suharafitaningsih
Annisyiah Wira Mahkota
Nurhasanah
Mela Sari Handayani
Rosvianti
Ira Damayanti
Anita Puspitasari
Eva Khairunnisa
KELAS B
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013

Anda mungkin juga menyukai